Jumat, 25 Juli 2014

Cerpen Kiki Kaka 7 : Goodbye my first love ...



Aku menatap sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman rumahku. Emang sih hampir setiap hari papa selalu menerima tamu. Entah rekan bisnisnya ataupun teman-temannya semasa kuliah, tapi percayalah, aku hafal mobil mereka. Dan mobil yang sekarang berada di halaman rumahku ini adalah yang pertama kalinya ke sini. Nomor plat mobilnya pun dari luar kota.
Aku menatap ke arah mobil tersebut lalu ke arah ruang tamu - yang ramai terdengar oleh orang yang bercengkerama - secara bergantian. Tapi akhirnya, aku hanya mengangkat bahu cuek seraya melangkahkan kakiku memasuki rumahku melewati pintu samping, hal yang selalu kulakukan jika ada tamu. Ah, pasti urusan orang tua. Ucapku dalam hati.
Aku baru saja menginjakkan kakiku di anak tangga yang menuju ke lantai dua ketika mama menghadang langkahku.
“Coba tebak siapa yang datang ke sini,” ucapnya. Aku tertawa.
“Mama gimana sih? Aku baru aja pulang udah di ajak maen tebak-tebakkan. Ogah ah. Paling temennya papa ‘kan?”
Mama mengangguk.
“Bener, emang temennya papamu. Tapi kamu juga kenal kok. Dan kamu akan seneng dengan kejutannya,”
Aku mengernyitkan dahiku.
“Siapa Ma?”
“Kemarilah, dan temuilah sendiri,” Mama menggandeng tanganku dan mengajakku ke ruang tamu. Ketika sampai di sana, aku di buat terkejut oleh dua orang tamu tersebut.
“Om Heri? Tante Wita?” aku nyaris berteriak.
Tante Wita tertawa riang, begitu pula om Heri.
“Halo, Ki, apa kabar? Idih, sudah besar ya?”
Aku menghambur ke arah mereka lalu memeluk mereka dengan erat secara bergantian.
Mama bener, aku bener-bener terkejut dengan kedatangan mereka.
Aku mengenal Om Heri dan tante Wita sejak kecil. Dulu mereka adalah tetangga kami. Rumah mereka bahkan persis berada di sebelah kami. Tapi, sejak beberapa tahun yang lalu, ketika kami masuk di kelas 1 es-em-pe, mereka pindah. Om Heri mendapatkan tawaran pekerjaan di Singapura, sehingga mereka sekeluarga pindah ke sana. Waktu itu aku sangat sedih karena jujur saja, hubungan keluarga kami sangat dekat. Aku sering maen ke rumah mereka karena mereka sangat baik dan sudah menganggapku sebagai anak. Dan begitu pula sebaliknya, dia juga sering maen ke sini karena papa dan mamaku juga sudah menganggapnya sebagai anak.
Oh, tunggu! Dia? Jika om Heri dan tante Wita di sini, maka anak tunggalnya? Si hidung mancung dan mata teduh itu ... kemana?
Aku menatap sekelilingku, mencoba mencari sosoknya.
“Nyariin Rangga ya?” Om Heri seakan memahami perasaanku. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Dia nggak ikut ya om?”
“Ikut kok,” Mamaku yang menjawab. Ia tertawa lirih.
“Dia udah nggak betah nungguin kamu. Jadi, bersiaplah. Kayaknya sekarang ia udah mengobrak-abrik isi kamarmu,” ia melanjutkan. Aku melotot.
Dia di kamarku!?
 “Oh tidakkk!” aku segera beranjak, berlari dengan kecepatan luar biasa menaiki anak tangga menuju kamarku. Dan, dia udah ada di sana. Persis seperti dugaanku. Ia membuka isi lemari bajuku, mengacak-acak koleksi novelku, bahkan menyentuh semua perlengkapan make-up ku. (Cuma ada bedak sama lipgloss doang kok karena aku tuh nggak hobi dandan. hehe)
“Rangga?” aku memanggil duluan. Rangga berbalik dan menatap ke arahku. Sesaat tatapan kami beradu dan aku merasakan tubuhku meleleh.
Astaga, aku bener-bener nggak percaya ini! Well, aku tahu Rangga tuh cakep sejak kecil. Tapi sekarang? Gilaaa! Dia luar biasa tampan!
Tubuhnya makin jangkung, kulitnya bersih, rambutnya hitam mengkilap, hidungnya mancung, dan mata itu ... Mata teduh yang membuatku jatuh cinta untuk yang pertama kalinya, tetap saja bening menawan...
A-ha, barusan aku menyebut kata ‘jatuh cinta’? yup, jika ada yang mau tahu, Rangga adalah cinta pertamaku. Aku nggak ingat detailnya. Tapi, dialah cowok pertama yang membuat jantungku berdebar sejak kelas 4 SD! Sayangnya, dia nggak pernah tahu itu karena aku emang nggak pernah ngasih tahu dia.
“Kikiiii???!!! Seneng banget bisa ketemu sama kamu lagi,” Rangga berteriak dan segera menghambur ke arahku, memelukku erat hingga membuatku klepek-klepek!
“Aku nggak bisa nafas, oei,” aku berteriak.
“Aku kangen banget sama kamu,” ucapnya.
“Aku enggak,” jawabku asal. Rangga menarik dirinya  lalu menatapku kesal dan ... takk! Ia menjitak keningku dengan jari tengahnya. Aku menjerit kesakitan.
 “Dasar pembohong. Aku tahu kamu juga kangen sama aku, nggak usah pura-pura deh,” ucapnya. Aku menatapnya, lalu tertawa.
“Iya, aku juga kangen kok,” jawabku lagi. Dan kami kembali berpelukan.
“Apa kamu berhenti tumbuh?” ia bertanya dengan nada menghina ketika menyadari bahwa tinggi badanku mungkin hanya sebatas dadanya. Segera aku mendorong tubuhnya dan tinjukupun bersarang di perutnya. Aku nggak pendek-pendek amat kok. Tapi, 158 memang akan kelihatan pendek jika di sandingkan dengan dirinya yang menjulang.
“Aku pernah ikut karate, jika cuma menghajarmu dengan satu gerakan, aku pasti mampu melakukannya. Jadi, hati-hati kalo ngomong  ya?” aku melotot. Rangga meringis.
“Oke, oke, tapi aku juga pernah ikut karate, jadi kayaknya kita harus duel,” jawabnya enteng.
Kayak biasanya, kami bersitegang sesaat. Dan begitulah kami. Selalu ada pertengkaran kecil yang mewarnai persahabatan kami. Dan buat kami, itu asyik-asyik aja.
Rangga beranjak dan menghempaskan tubuhnya di tempat tidurku. Ia kembali menatap ke arahku, lekat.
“Kamu makin ... manis ya?” ucapnya, sambil menawan tawa.
“Hitam maksudmu?” aku memastikan dengan kesal seraya melemparnya dengan bantal. Dia ngakak.
“Aku aktif di klub pecinta alam. Aku sering mendaki dan beginilah akhirnya,” entah kenapa, aku berusaha menjelaskan hal kecil itu, padanya.
“Woah, pecinta alam, seru dong,” jawabnya.
Aku manggut-manggut seraya duduk di sampingnya.
Kami kembali mengobrol dengan asyik, persis kayak teman lama yang udah lama nggak ketemu untuk berbagi cerita.
“By the way, kepulanganmu ke sini untuk liburan ato pulang kesini selamanya?”
“Liburan,” jawab Rangga.
“Tapi kayaknya, semester depan aku akan balik ke Indonesia selamanya. Papa mengajukan diri untuk di tempatkan di kantor yang berada di Jakarta dan di terima. Jadiiiii, bersiap-siaplah ketemu diriku lagi karena aku sedang mengincar es-em-a yang sama dengamu,”
Aku melongo, Rangga menyeringai nakal ke arahku.
“Ini nggak mungkin,” desisku.
“Mungkin, banget,” jawabnya, tetap dengan senyum nakalnya.
“Dasar kurang kerjaan,” keluhku.
“Udah punya pacar?”
“Udah, banyak,” jawabku asal. Rangga ngakak.
“Kamu pikir aku percaya. Taruhan deh, kamu pasti masih belum laku sampek detik ini,”
Segera bantal melayang ke kepala Rangga.
“Dan kamu? Udah punya pacar?” tanyaku.
Rangga terkekeh.
“Udah, banyak,” jawabnya percaya diri. Aku menggigit bibir kesal. Ya iyalah, cowok cakep macam dia nggak akan mungkin jomblo? Pasti seabrek cewek-cewek yang ngejar-ngejar dia.
“Terserah deh. Mau punya pacar seabrek, mau enggak, nggak ada urusannya sama aku,” jawabku kemudian.
Rangga manggut-manggut.
“Oh iya, berapa hari di sini?”
“Besok dah balik,”
 “Cepet banget?”
Rangga mengangguk.
“Ki, jalan-jalan yuk,” ucapnya.
“Kapan?”
“Sekarang,”
“Sekarang? Ogah ah. Aku ‘kan baru aja pulang sekolah. Capek. Besok aja ya,”
“Tapi besok aku dah balik,”
“Tapi..”
“Plis, aku pengen bernostalgia ke tempat-tempat yang dulu sering kita kunjungi waktu masih kecil. Oke,”
“Rangga,”
“Yuk,”
Aku belum sempat protes ketika Rangga sudah menarik lengan tanganku.
“Paling enggak, biarin aku ganti baju dulu,” teriakku.
“Oke, oke,” jawabnya, tanpa beranjak.
Aku melotot ke arahnya.
“What?” Ia balas menatapku, heran.
Aku mendesis.
“Aku mau ganti baju, keluar dong dari kamarku,” perintahku.
Rangga tertawa.
“Dulu ‘kan kamus sering ganti baju di depanku, Ki,”
“Iya, itu ‘kan dulu. Waktu kita masih SD. Sekarang ‘kan beda,” aku membentak.
Rangga manggut –manggut seraya beranjak, tetap dengan gelak tawanya yang khas.
Dan akhirnya, aku menuruti keinginannya untuk jalan-jalan. Ke tempat-tempat yang dulu sering kami kunjungi ketika kami masih kecil. Sungai kecil dibelakang Sekolah Dasar kami, taman bermain di dekat taman-taman kanak, bahkan warung bakso di sebelah alun kota-kota pun tak luput dari kunjungan kami. Aku juga membawa Rangga menemui temen-temenku di base camp kami. Dan aku juga memperkenalkannya pada Fifi, Jihan, Sonya dan Olla.
Temanku, teman dia juga ‘kan?

***


Keesokan paginya, aku dibuat terkejut ketika melihat Rangga telah berada di dalam kamarku pada pukul 6 pagi.
 “Bangun pemalas!” ia memencet hidungku dengan gemas sambil sesekali menarik-narik lengan tanganku.
“Apaan sih?” teriakku kesal, tetap dengan mata setengah tertutup.
“Bangun dulu dong, penting nih!” ia menarik tubuhku melalui kedua lengan tanganku hingga mau tak mau akupun membuka mata dan duduk menghadapnya.
“Apa sih, Ga?” tanyaku sambil mengucek-ucek mataku.
Rangga tersenyum.
“Bisa kasih tahu ke aku nomor teleponnya Fifi,” ucapnya.
“Fifi?” Aku mengulangi menyebut nama itu seraya menatap ke arah Rangga dengan lebih serius.
Rangga mengangguk dengan yakin.
“Kayaknya aku jatuh cinta padanya, Ki,” jawabnya.
“Hah?” aku membelalak.
“Sejak kau kenalkan dia kemarin, aku selalu kepikiran sama dia. Dan aku juga merasakan dadaku berdebar ketika pertama kali melihatnya. Sumpah, dia bener-bener cewek yang manis, Ki. Dan aku ingin mengenalnya lebih jauh,”
Aku melotot. Ini sebuah kejutan yang tak terduga di pagi buta.
“Tolong ya, beri aku nomor hape-nya, plis?” Wajah Rangga terlihat makin tampan ketika merajuk. Aku hanya mengangguk-angguk tanpa sadar sambil meraih phonselku. Dan aku memberikan dia nomor hape-nya Fifi. Dan bersamaan dengan itu, aku merasakan ada sesuatu yang menghilang dari dalam hatiku. Entah, apa itu?

***

Sore itu kami kembali ngumpul-ngumpul di rumah Jihan. Nggak ada kerjaan. Jadi kami memutuskan untuk duduk-duduk santai sambil nonton tv, dan kadang – kadang maen ular tangga buat seru-seruan aja. Sebuah aktifitas yang sering kami lakukan untuk ngisi waktu luang. Sampai akhirnya aku menyadari bahwa Fifi tengah asyik sendiri dengan phonselnya. Beberapa kali ia tersenyum sendiri ketika membaca sebuah pesan singkat.
“Kenapa sih Fi? Senyum-senyum kayak orang senewen aja?” Olla nyeletuk. Oh, ternyata nggak cuman aku aja yang menyadari hal itu.
Fifi tersenyum. Ia menatap ke arahku tetap dengan senyum manisnya. Aku menelan ludah. Dadaku berdebar. Oh tidak, apa aku akan mendengar kabar yang nggak nyenengin lagi?
“Dari Rangga,” ucapnya.
Nah loh, aku seraya mendengar pecahan kaya di dalam dadaku.
“Oh ya?” Jihan, Sonya, dan Olla bertanya hampir bersamaan. Mereka beringsut mendekat ke arah Fifi dengan penuh antusias.
“Rangga kemarin itu ya? Temennya Kiki? Yang cakep itu?” tanya Olla lagi seraya melirik ke arahku. Aku tersenyum blo’on. Fifi mengangguk dengan mata berbinar-binar.
Dan temen-temenku yang laen segera bersorak.
“Jadi selama ini hubungan kalian terus nyambung?”
“Iya, dia rajin sms dan nanya kabarku. Dan, dia cowok yang baik. Dan dia juga sudah nembaku aku,”
Jreeeng, apa lagi itu??
“Terus?”
“Aku bilang iya aja. Karena aku tahu dia cowok yang baik. Jarak buat kami nggak masalah. Selama kami berkomunikasi dengan baik, kami pasti baik-baik aja. Ya ‘kan Ki?”
Aku setengah gelagapan mendengar namaku disebut. Tapi aku segera bersikap biasa kayak semula.
“Bener, dia cowok yang baik. Aku mengenalnya sejak kecil. Dan aku yakin banget kalo kalian akan jadi pasangan yang cocok,” jawabku.
Kami kembali bersorak.
“Wah, akhirnya Fifi dapat cowok lagi. Gimana dengan kamu Ki?” tanya Sonya. Aku mendelik. Nih anak nggak bosen-bosen ya ngajakin perang?
“Kalo nggak ada yang mau sama kamu, pacaran aja sama hantu. Yang ketemu kamu waktu kamu tersesat di hutan itu tuh... siapa namanya ... Leo,” ucapnya lagi.
Bantal sofa yang ada di depanku segera melayang ke kepalanya.
Dan kamipun tertawa lagi.
Beberapa saat kemudian aku memohon diri pada mereka untuk pulang dengan alasan nganterin mama ke apotik. Padahal enggak, yang sebenarnya adalah, aku butuh udara segar.
Aku butuh menyendiri beberapa saat setelah apa yang terjadi. Aku hanya nggak menyangka kalo semua akan berlangsung secepat ini. Setelah sekian tahun lamanya, aku kembali dipertemukan dengan cinta pertamaku, dan hanya dalam hitungan jam aku harus tahu kalo cinta pertamaku itu ternyata naksir dengan temen baikku, bahkan memacarinya.
Menyakitkan. Tapi, ya sudahlah. inilah hidup...


The End

Wiwin W
Sambikerep, 10-07-2013


P.S. Gambar adalah Mario Maurer 

Jumat, 18 Juli 2014

Cerpen Kiki Kaka 6 : Gue ogah jadi pacar loe!



            Aku menyeruak ke kamar Jihan. Ketiga sobatku sudah berada di sana. Kami memang menjadikan rumah Jihan sebagai base camp karena rumahnya yang paling nyaman. Sebenarnya sih rumahnya nggak besar, juga nggak kecil. Tapi ia punya semacam rumah pribadi yang berada di belakang rumah induknya yang terdiri dari kamar tidur, kamar mandi, kamar tamu, dan juga beranda yang menghadap langsung ke kebun bunga. Pokoknya, nyaman banget deh di sana. Belum lagi rumah pribadi itu berada sekitar 100 meter dari rumah induk, sehingga kami serasa punya privasi penuh di tempat ini. Kami bebas melakukan apapun yang kami mau. Nonton film, nyanyi-nyanyi bareng, teriak-teriak kayak orang senewen, pokoknya, all out deh!
Dan untungnya lagi, Jihan adalah miss complain. Jadi dia nggak akan ngebiarin hal-hal yang nggak perfect di wilayahnya. rumahnya selalu bersih. Selalu wangi. Selalu adem, selalu penuh makanan dan minuman. Haha..
“Tolongin aku!” teriakku. Mereka menatapku keheranan.
“Ada apa sih, Ki?”
Aku berjingkat ke sisi Jihan.
“Tolongin aku, Jeeeiiii,” ucapku. Aku mengucapkan kata ‘Jei’ dengan sangat manis.
‘Jei’ adalah nama panggilan yang sengaja kuciptakan untuk Jihan. Jihan suka banget kalo dipanggil ‘Jei’, itulah kenapa, kalo lagi ada maunya, aku bersedia manggil dia ‘Jei’ ratusan kali...
“Hadeh, kalo panggilan ‘Jei’ keluar dengan nada lebay kayak gitu, pasti ada maunya nih...” Sonya mencibir, dia hafal dengan kebiasaanku. 
“apaan? ... aduh, kamu nggak mandi ya, Ki. Kamu bau, kamu keringetan,” ucapnya. Aku nggak menjawab komplain yang keluar dari mulutnya. Aku emang habis lari-lari dari jalan raya ke sini, pantes kalo aku keringetan.
 “Plis Jei, aku butuh bantuan kamu. Dan kayaknya hanya kamu yang bisa bantu,” jawabku.
“Oke, ceritain apa yang terjadi. Jangan teriak-teriak nggak jelas kayak gini,”
Aku menelan ludah dan menatap nafasku.
“Gini, beberapa hari yang lalu aku kenal sama cowok. Dia dari SMA 19. Kami ketemu dan kenal beberapa hari yang lalu ketika aku menghadiri acara latihan gabungan klub pecinta alam di sekolahnya,”
Teman-temanku manggut-manggut.
“Setelah itu ... dia ngejar-ngejar aku terus,”
Keempat sobatku ngakak.
“Serius kamu dikejar-kejar sama cowok? Emang ada yang mau sama kamu?” Sonya nyeletuk. Aku melotot.
Nih anak, sejak jadian sama Dimas, sombongnya tambah selangit.
“Kenapa? Nggak percaya?”
“Terus?” Fifi yang masih fokus dengan ceritaku.
“Ya gitu deh, dia sering telpon aku, sms-in aku, ngasih bunga ke aku. Pokoknya gitu deh. Sumpah, dia cakep banget, manis banget, baik banget, tapi ...”
Kalimatku terhenti.
“Kenapa?,”
“Pokoknya hanya Jihan yang bisa bantu aku. Nanti sore, dia ngajakin ketemu di kafe. Aku udah nolak berkali-kali. Kalo sampek kali ini aku nolak lagi, dia nggak bakalan berhenti ngejar-ngejar aku. So, bantuin aku ya Jei. Temani aku ketemu sama dia, ya?”
Jihan terdiam sesaat, terlihat ragu. Tapi perlahanpun ia mengangguk. Ah, selamatlah aku.

***

Aku bertemu dengan Rendi, cowok yang kuceritakan tadi siang di kafe, tepat jam 3 sore.
Dan seperti yang sudah kurencanakan, aku hanya mengajak Jihan. Olla, Sonya dan Fifi sengaja kularang ikut karena mereka hanya akan jadi biang kerok.
Jujur aja, Rendi tuh cowok yang manis banget. Pertama kali ketemu dengannya, aku sempat kesengsem sama parasnya. Pokoknya, dia sangat-amat-sungguh-manis-sekali! Titik! Tapi, begitu ngobrol ‘en deket sama dia, ketahuan deh nih cowok bikin aku garuk-garuk kepala!
Kami sudah berada di kafe selama hampir setengah jam, dan yang dilakukan Rendi selama hampir 30 menit itu adalah : komplain!
Dia komplain tentang apa aja. Pelayan, makanan, minuman, dekorasi, cuaca, bahkan tentang baju yang aku kenakan. Dia bilang bajuku terlalu seksi. Astaga, padahal aku cuma pake celana jeans dan t-shirt!
Dan, pasti kalian tahu apa yang dilakukan oleh Jihan? Ha, sama! dia juga komplain tentang apa aja yang di komplain oleh Rendi. Termasuk masalah bajuku.
“Sehari-hari aku juga pake baju kayak ini ‘kan, Jei? Kenapa baru sekarang kamu bilang terlalu seksi?” aku protes. Jihan mengangkat bahu, cuek.
“Nggak tahu deh. Tapi kayaknya hari ini kamu emang terlalu seksi,” jawabnya. Dan Rendi segera mengiyakan.
“Aku nggak mau punya cewek kalo cara berpakaiannya kayak gitu,” ia menambahkan.
Aku melotot. Siapa juga yang mau jadi pacarmu?!
Berada di sini lebih lama akan membuat kepalaku meledak. Aku berbisik pada Jihan. Eh, dia malah asyik ngobrol dengan Rendi. Aku menyenggol kakinya dengan kasar. Ia melihat ke arahku.
What?
Ia sempat menatap ke arahku dengan sembunyi-sembunyi. Mulutnya bergerak-gerak seolah ingin menanyakan : emang ada masalah apa dengan cowok ini?
Dan aku menatapnya dengan dengan kesal seraya membisikkan : dia satu spesies sama kamu!
Jihan menggeleng.
Dia biasa aja. Tapi dia nyenengin. Ia kembali berbisik.
Aku menarik nafas panjang. Oke, peranku sampek di sini aja.
“Kalian mengobrol-lah. Aku pulang, bye,” tanpa menunggu mereka berkata-kata, aku meraih tasku dan beranjak meninggalkan tempat tersebut.
Dan, aku lega.

***


          Sejak hari itu, Rendi tak lagi menggangguku. Ia nggak berkirim pesan, nggak menelpon, dan nggak lagi sok romantis dengan ngirimin bunga. Aku juga nggak nanya macam-macam ke Jihan. Tapi sore itu, ketika kami ngumpul-ngumpul di rumahnya. Ia mulai mengakuinya.
“Beberapa hari ini aku sering jalan sama Rendi. Kami makan, hang out, dan pergi ke tempat-tempat romantis. Dan jujur aja, dia cowok yang baik,” ucapnya.
Aku manggut-manggut.
“Kamu nggak apa-apa ‘kan, Ki?” ia kembali bertanya. Aku mendelik.
“Emang aku kenapa?” tanyaku seraya menyeruput es jerukku, masa bodo.
“Dia ‘kan ngejar-ngejar kamu duluan. Dan sekarang, aku mendekatinya. Kamu nggak marah ‘kan?”
Aku ngakak.
“Enggak, sumpah, seratus persen asli!” jawabku.
“Iya, Jei. Lagian, Kiki nggak berhak kok marah-marah. Dia ‘kan udah nolak Rendi, berarti kamu bebas kok memilikinya,” Olla menambahkan.
Aku nyengir. Bener banget.
Well, aku emang belum punya pacar, tapi ya nggak segitunya kali hingga aku harus tahan sama cowok kayak Rendi.
Dia emang cakep, tapi komplainnya itu yang bikin gak betah. Dia bisa komplain sama  semua hal yang aku lakukan. Sok ngatur lagi!
Dan aku bakal sangat stress menghadapinya. Oh, Tidaaaaak!
Tapi Jihan udah nyelesaiin hal itu ‘kan? So, hal itu ku anggap beres. Cheers!

The End

Selesai : Kamis, 04 Juli 2013
0.05

p.s : gambar adalah Avan Jogia

Kamis, 17 Juli 2014

Cerpen Kiki Kaka 5 : Sonya Jatuh Cinta



           Sonya diskor dari sekolah selama seminggu karena terlibat perkelahian dengan Nita, anak XI-2.
Dan kami sama sekali nggak tahu tentang kejadian perkelahian itu. Kami juga nggak tahu ada apa sebenarnya antara Sonya dan Nita. Setahu kami, mereka berdua sama-sama aktif di klub basket dan kayaknya mereka baik-baik aja tuh selama ini. Lah, sekarang kenapa jadi jambak-jambakan kayak gini??
“Ada apa sih Son?” tanyaku ketika kami bersiap-siap pulang, bel sudah berbunyi sekitar 3 menit yang lalu.
Tak seperti biasa dimana Sonya akan segera menjitak kepalaku jika aku memanggilnya ‘Son’, kali ini ia hanya terdiam seraya merapikan alat-alat tulisnya, tanpa melihat ke arahku, maupun ke arah kami.
“Son, plis? Cerita dong ke kami,” pintaku lagi.
Sonya menarik nafas lalu mendongak ke arah kami.
“Sori, untuk kali ini, aku belum siap cerita. Kapan-kapan aja ya kalo aku udah tenang. Aku ingin cepat-cepat sampek rumah ‘en tidur. Ya?” ia manjawab dengan nada putus asa.
Kami hanya bisa mengiyakan dengan berat hati. Dan kami nggak bisa tahu info apa-apa dari dia, sampai keesokan harinya. Sonya selalu menolak cerita.
“Jadi gimana? Nggak ada gosip apa-apa soal Sonya maupun Nita?” Jihan bertanya ke arahku. Aku terdiam sesaat seraya memainkan penaku, coret-coret tak menentu di atas bukuku. Olla dan Fifi duduk tepat di bangku di depanku. Tatapannya lurus ke arahku, seolah-olah nunggu kalimat dariku.
“aku cuma dengar kalo dia dan Nita berantem gara-gara cowok. Nggak mungkin banget ‘kan?” jawabku kemudian. Aku dapat info ini dari beberapa anak yang suka menggosip di kantin. Ketiga sahabatku melongo.
“Hah, berantem gara-gara cowok?” mereka bertanya hampir bersamaan. Aku mengangguk sambil memanyunkan bibirku. Kami saling berpandangan, heran.
Tentu kabar ini aneh buat kami, dan tentu aja nggak masuk akal.
Kami tahu Sonya tomboi, tapi berantem gara-gara cowok nggak ada dalam kamusnya! Dia lebih memilih jomblo selamanya daripada harus adu otot gara-gara rebutan makhluk Adam yang buat dia - nggak penting sama sekali!
“Kamu pasti dapat info yang salah,” Fifi menyergah.
Aku kembali mengangkat bahu. Ya, semoga aja.
“Kita cari aja Nita, mungkin dia mau jelasin ke kita,” ucap Jihan.
“Dia ‘kan juga di skors. Mau tanya gimana?” ucapku.
“Dia nggak di skors kok,” jawab Olla polos.
Aku, Jihan dan Fifi melotot ke arahnya.
“Kalo Sonya di skors kenapa Nita enggak? Kan mereka sama-sama berantem adu jotos?” kami bertnya hampir bersamaan.
“Kata anak-anak, Sonya yang mukul en jambak duluan. Jadi, kesalahan ada pada Sonya. Makanya si Nita nggak di skors karena  dia dianggap sebagai korban,”
“Jadi kamu tahu soal ini?” Aku nyaris berteriak.
Olla mengangguk. Aku melotot.
“Busyet,kenapa kamu nggak ngomong dari tadi?” bentakku. Olla cuma nyengir.
“Ya udah, kita cari aja Nita. Hanya dia yang bisa jelasin duduk masalahnya. Yuk,”
tanpa menunggu jawaban dari temen-temenku, aku segera beranjak, menuju kelasnya Nita.
Sesampainya di sana, kami melihat ia tengah bersenda gurau dengan rekan-rekannya, di depan kelasnya. Kurang ajar banget sih nih anak. Sonya di skors, eh, dia malah tralala trilili di sini!
“Bisa bicara sebentar?” aku langsung menyapanya dengan pertanyaan. Tawa Nita segera berhenti dan segera berganti dengan tatapan kesal ke arahku.
“Oh, ini nih geng-nya. Mau apa? Mau balas dendam karena rekan kalian yang rese itu di skors? Syukurin,” ia menjawab, lantang, di dampingi ketiga sobatnya yang mirip bodyguard di sisi kanan dan kirinya. Amit-amit..
“Siapa yang rese? Sonya maksudmu?” aku balas menatapnya, lantang.
“Siapa lagi? Si rese yang hobinya ngerebut pacar orang,” Nita kembali ngoceh.
Nah loh, belum juga di tanya, eh, udah nyerocos duluan. Suatu kebetulan, banget!
“Bicara deh yang jelas, jangan muter-muter kayak bajaj,” aku menatapnya gemes.
“Kamu leader-nya? Kalian se-geng kan?” Nita kembali bertanya syirik.
Aku tergelak.
“Leader apaan? Girlband kaleeee,” balasku.
Nita melotot, diikuti temen-temennya.
“Oke deh, kalo Sonya terlalu malu untuk cerita, biar aku yang cerita.  Sonya udah ngerebut  Dimas, pacarku. Kami bahkan belum putus tapi mereka udah bermesraan. Aku juga baru tahu kalo selama ini mereka selingkuh. Aku mergoki mereka lagi jalan berduaan di Mall. Mesra banget, kalo bukan selingkuh lantas apaan? Dasar Sonya-nya aja yang kegatelan, sukanya sama pacar temen. Nggak level banget! Dikasih tau baek-baek, eh, malah ngajakin berantem. Diskors baru tau rasa,”
Aku melotot.
“Sonya bukan cewek macem gitu!” terdengar Jihan berteriak dari belakangku.
“Tanya aja sama dia kalo nggak percaya,”
Aku manggut-manggut.
“Oke, aku pasti akan nanya ke dia. Tapi sebelum semuanya jelas, jaga mulutmu ya. Jangan ngomong sembarangan. Ntar aja kalo udah ketahuan mana yang bener dan mana yang salah, baru kita buat perhitungan. Oke,” aku beranjak, diikuti Jihan, Fifi dan Olla. Aku sempat mendengar Nita mengomel nggak karuan. Ah, bodo amat.
“Jadi, kita kemana Ki? Ke rumah Sonya?”
Aku terkekeh.
“Sonya? Kita sujud-sujud di depannya pun dia nggak bakalan mau cerita masalahnya. Kalian tahu sendiri ‘kan Sonya itu kayak apa? So, nyariin dia bakalan percuma,” jawabku.
“Lantas?”
“Nyariin Dimas. Langsung nanya ke sumber masalah. Kalo dia nolak cerita, akan kubuat dia mau cerita, meski harus nonjok mukanya sampek babak belur,” jawabku  tanpa menghentikan langkahku.
“Dia kelas XI-7 ‘kan?” aku memastikan yang selanjutnya disahut oleh rekan-rekanku dengan jawaban ‘ya’.
Oke, langsung ke sumber masalah!
Dimas, kami nggak terlalu kenal dengan anak itu. Yang kami tahu, dia juga aktif di klub basket, sama seperti Sonya dan Nita. Jujur kami nggak tahu kalo Dimas ternyata pacar Nita.

***

          Kami bertemu Dimas di lapangan basket, setelah kami tak dapat menemukan cowok itu di kelasnya. Dia tampak keheranan ketika kami berbondong-bondong mencarinya.
“Bisa ngomong bentar?” kami langsung menodonganya dengan ajakan. Ia menatap kami sekilas secara bergantian, kemudian mengangguk pelan.
“Ada masalah, girls? Kalian kelihatan kayak ... mau ngeroyok orang?” ia bertanya dengan ragu sambil menatap kami satu persatu.
Kami bergerak menjauhi lapangan basket.
“Kayaknya aku ngerti apa yang akan kalian omongkan ke aku,” tanpa diduga, Dimas berkata seperti itu. Aku tersenyum. Good job, hari ini aku nggak perlu susah-susah untuk ngeluarin banyak energi buat nanya-nanya ke orang kayak dia.
“Bagus dong. Jadi, gimana nih ceritanya si Nita dan Sonya sampek berantem gara-gara ... kamu? Yaah, itu sih info awal yang baru aku dapat,” aku menjawab.
“Aku bener-bener minta maaf atas apa yang terjadi sama Sonya. Tapi, semua itu karena kesalah pahaman. Aku yang salah,”
“Kesalah pahaman apa? Siapa yang salah paham? Siapa  yang salah?” Olla bertanya dengan tak sabar.
Dimas duduk di salah satu bangku panjang yang berada di pinggir lapangan basket.
“Aku dan Nita emang pernah pacaran hampir satu tahun. Tapi kami putus sekitar beberapa bulan yang lalu. Yang jelas, kami nggak cocok lagi. Nita menolak putus, tapi aku tetep pingin putus. Lalu ... aku mulai deket sama Sonya. Nita kira, aku mutusin dia karena Sonya. Padahal enggak. Aku deket sama Sonya setelah resmi putus sama Nita,”
“Lah, kenapa Nita bilang kalo kalian belum resmi putus?”
Dimas mengangkat bahu.
“Sumpah, aku nggak tahu. Yang jelas, aku udah putus. Kalo dia mikir kami belum resmi putus, ya, itu pendapat dia aja,” ucapan Dimas terdengar putus asa.
Kami terdiam dan saling pandang.
“Oke deh, untuk sementara ini, itu dulu aja yang kami pengen tahu. Sisanya, biar kami konfirm sendiri, yuk,” kami beranjak.
“Aku bener-bener suka sama Sonya,” ucapan Dimas membuat langkah kami terhenti. Bebarengan kami menoleh ke arah cowok jangkung nan tampan itu.
“Aku bener-bener ... cinta sama dia,” ucapnya lagi.
Aku mendesah.
Astaga, kenapa aku harus ikut campur urusan kayak gini.
Lebay deh!


***

          Siang itu kami mendatangi rumah Sonya. Seperti yang kami duga, sobat kami yang tomboy itu hanya menghabiskan waktunya di kamar. Awalnya dia tetep nolak cerita tapi begitu kami mengungkapkan semua yang sudah kami tahu baik dari Nita maupun dari Dimas, ia akhirnya membuka suara.
“Iya, aku emang deket sama Dimas. Sumpah, aku bener-bener nggak tahu kalo dia dan Nita belum resmi putus. Oke, aku tahu kalo mereka emang pacaran. Tapi waktu itu, Dimas bilang kalo dia udah putus. Eh, nggak tahunya aku dilabrak Nita. Dia nuduh aku ngerebut pacarnya. Dia bilang mereka belum putus. Ah, aku nggak tahu mana yang harus kupercaya, ” ia mengeluh.
“Kenapa kamu nggak cerita kalo kamu deket sama Dimas?” Fifi bertanya dengan bijak.
Sonya tak segera menjawab.
“Aku pikir nggak ada yang perlu diceritain karena aku sendiri belum yakin,”
“Belum yakin soal apa?” tanya Jihan.
“Soal perasaanku pada Dimas,”
“Maksudnya?” kami bertanya hampir bersamaan.
“Aku ... belum yakin tentang perasaanku padanya. Maksudku, oke, aku seneng deket sama Dimas. Aku nyaman bersamanya dan dia cowok yang baek. Hanya saja aku nggak tahu itu cinta atau bukan,”
Kami terdiam. Sesaat.
“Dan sekarang, apa kau sudah yakin dengan perasaanmu padanya?” aku bertanya dengan hati-hati. Sonya menatap kami secara bergantian, dan tiba-tiba tangisnya meledak.
“Aku rindu sama dia. Huaaaa....!” teriaknya.
Aku, Jihan dan Olla berpandangan. Ah, ya! Sekarang kami tahu bahwa sobat kami yang cuek dan tomboy ini sedang .... jatuh cinta!
‘Jatuh Cinta’. Hadeeh, ill-feel gue dengernya!


Gambar dari film Ada Apa Dengan Cinta?
***

          Hari itu Sonya sudah diperbolehkan masuk. Dia terlihat biasa, tapi aku tahu dia agak nervous.
“Are you okay?” aku melingkarkan lenganku ke bahunya. Dia terkekeh, angkuh, kayak biasanya juga.
“Aku selalu baik-baik aja. Nggak peduli aku harus ketemu Nita ataupun Dimas duluan, aku pasti akan baik-baik aja,” jawabnya. Kami berlima menyusuri
trotoar dengan riang. Ketika kami nyampek di depan pintu gerbang sekolah, kami menyaksikan Nita dan Dimas ribut-ribut di ujung jalan.
“Bakal perang dunia lagi nih,” desisku.
“Bel masuk masih sepuluh menit lagi ‘kan, girls?” Sonya bertanya.
Kami mengangguk.
“Oke, biar aku bantu nyelesaiin ini. Siapa yang ikut?” ia beranjak, mendekati Dimas dan Nita. Aku melotot, ketiga rekanku juga. Tapi kami sepakat mengekor di belakang Sonya.
Melihat kedatangan kami, perdebatan di antara Nita dan Dimas terhenti. Nita menatap ke arah Sonya dengan tatapan sengit.
“Semua ini gara-gara kamu!” ia berteriak.
Sonya tertawa.
“Plis deh, siapa gara-gara siapa? Apapun yang terjadi di antara kalian, aku nggak ikut campur. Mau pacaran ya pacaran aja. Putus ya putus aja. Jangan salahin siapa-siapa dong. Aku akan ngejelasin ini berkali-kali, mumpung kita semua di sini. Aku nggak pernah ngerebut Dimas darimu, Nita. Bahkan jika aku harus di skors lagi, aku tetap akan nonjok hidungmu kalo kamu berani nuduh aku lagi. Dan aku juga nggak keberatan untuk menjambak rambutmu lagi jika kamu berani menuduhku pencuri pacar orang,” kalimat Sonya terdengar serius.
“Kami emang deket, tapi setelah kalian putus. Setidaknya itu yang di ucapin sama Dimas,”
“Ya, kami emang udah putus,” Dimas menjawab. Nita melotot.
“Tapi aku belum bersedia putus, Dimas,” ia menyangkal, manja. Amit-amit deh...
 “ya itu terserah kamu. Yang penting aku mau putus, titik,”
Dimas dan Nita kembali bersitegang. Kami serasa nonton sinetron live di sini, di pinggir jalan.
“Hellooo, terserah deh kalian mo berantem di sini sampek sore apa sampek besok, suka-suka kalian. Tapi satu hal yang pasti, aku nggak ngerebut Dimas dari kamu,” Sonya menatap ke arah Nita.
“Dan kamu, Dim,” ia ganti melihat ke arah Dimas.
“Aku cinta sama kamu. Jika kamu sudah resmi putus dengan Nita dan urusan kalian sudah selesai, kayaknya kita bisa mulai dekat lagi. Telpon aku jika kamu sudah siap, oke,” Sonya berbalik, meninggalkan kedua orang tersebut dengan angkuh. Aku, Olla, Jihan dan Fifi hanya melongo.
Nah, ini dia! Sonya yang cuek dan pemberani!
“Kalian mau disini disitu terus nonton mereka berantem, apa ikut masuk ke kelas?” Sonya berteriak dari samping gerbang sekolah. Aku, Jihan, Fifi dan Olla terhenyak dari kebengongan kami.
“masuk kelas dong,” kami menjawab seraya berlari-lari menghampiri Sonya. Dan kami seneng karena Sonya ceria lagi...

The End



Selesai : 29 Juni 2013