Aku menatap sebuah mobil mewah yang
terparkir di halaman rumahku. Emang sih hampir setiap hari papa selalu menerima
tamu. Entah rekan bisnisnya ataupun teman-temannya semasa kuliah, tapi
percayalah, aku hafal mobil mereka. Dan mobil yang sekarang berada di halaman
rumahku ini adalah yang pertama kalinya ke sini. Nomor plat mobilnya pun dari
luar kota.
Aku menatap ke arah mobil tersebut lalu
ke arah ruang tamu - yang ramai terdengar oleh orang yang bercengkerama -
secara bergantian. Tapi akhirnya, aku hanya mengangkat bahu cuek seraya
melangkahkan kakiku memasuki rumahku melewati pintu samping, hal yang selalu
kulakukan jika ada tamu. Ah, pasti urusan orang tua. Ucapku dalam hati.
Aku baru saja menginjakkan kakiku di
anak tangga yang menuju ke lantai dua ketika mama menghadang langkahku.
“Coba tebak siapa yang datang ke sini,”
ucapnya. Aku tertawa.
“Mama gimana sih? Aku baru aja pulang
udah di ajak maen tebak-tebakkan. Ogah ah. Paling temennya papa ‘kan?”
Mama mengangguk.
“Bener, emang temennya papamu. Tapi kamu
juga kenal kok. Dan kamu akan seneng dengan kejutannya,”
Aku mengernyitkan dahiku.
“Siapa Ma?”
“Kemarilah, dan temuilah sendiri,” Mama
menggandeng tanganku dan mengajakku ke ruang tamu. Ketika sampai di sana, aku
di buat terkejut oleh dua orang tamu tersebut.
“Om Heri? Tante Wita?” aku nyaris
berteriak.
Tante Wita tertawa riang, begitu pula om
Heri.
“Halo, Ki, apa kabar? Idih, sudah besar
ya?”
Aku menghambur ke arah mereka lalu
memeluk mereka dengan erat secara bergantian.
Mama bener, aku bener-bener terkejut
dengan kedatangan mereka.
Aku mengenal Om Heri dan tante Wita
sejak kecil. Dulu mereka adalah tetangga kami. Rumah mereka bahkan persis berada
di sebelah kami. Tapi, sejak beberapa tahun yang lalu, ketika kami masuk di
kelas 1 es-em-pe, mereka pindah. Om Heri mendapatkan tawaran pekerjaan di
Singapura, sehingga mereka sekeluarga pindah ke sana. Waktu itu aku sangat
sedih karena jujur saja, hubungan keluarga kami sangat dekat. Aku sering maen
ke rumah mereka karena mereka sangat baik dan sudah menganggapku sebagai anak.
Dan begitu pula sebaliknya, dia juga sering maen ke sini karena papa dan mamaku
juga sudah menganggapnya sebagai anak.
Oh, tunggu! Dia? Jika om Heri dan tante
Wita di sini, maka anak tunggalnya? Si hidung mancung dan mata teduh itu ...
kemana?
Aku menatap sekelilingku, mencoba
mencari sosoknya.
“Nyariin Rangga ya?” Om Heri seakan
memahami perasaanku. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Dia nggak ikut ya om?”
“Ikut kok,” Mamaku yang menjawab. Ia
tertawa lirih.
“Dia udah nggak betah nungguin kamu.
Jadi, bersiaplah. Kayaknya sekarang ia udah mengobrak-abrik isi kamarmu,” ia
melanjutkan. Aku melotot.
Dia di kamarku!?
“Oh
tidakkk!” aku segera beranjak, berlari dengan kecepatan luar biasa menaiki anak
tangga menuju kamarku. Dan, dia udah ada di sana. Persis seperti dugaanku. Ia
membuka isi lemari bajuku, mengacak-acak koleksi novelku, bahkan menyentuh
semua perlengkapan make-up ku. (Cuma ada bedak sama lipgloss doang kok karena
aku tuh nggak hobi dandan. hehe)
“Rangga?” aku memanggil duluan. Rangga
berbalik dan menatap ke arahku. Sesaat tatapan kami beradu dan aku merasakan
tubuhku meleleh.
Astaga, aku bener-bener nggak percaya
ini! Well, aku tahu Rangga tuh cakep sejak kecil. Tapi sekarang? Gilaaa! Dia
luar biasa tampan!
Tubuhnya makin jangkung, kulitnya
bersih, rambutnya hitam mengkilap, hidungnya mancung, dan mata itu ... Mata
teduh yang membuatku jatuh cinta untuk yang pertama kalinya, tetap saja bening
menawan...
A-ha, barusan aku menyebut kata ‘jatuh
cinta’? yup, jika ada yang mau tahu, Rangga adalah cinta pertamaku. Aku nggak
ingat detailnya. Tapi, dialah cowok pertama yang membuat jantungku berdebar
sejak kelas 4 SD! Sayangnya, dia nggak pernah tahu itu karena aku emang nggak
pernah ngasih tahu dia.
“Kikiiii???!!! Seneng banget bisa ketemu
sama kamu lagi,” Rangga berteriak dan segera menghambur ke arahku, memelukku
erat hingga membuatku klepek-klepek!
“Aku nggak bisa nafas, oei,” aku
berteriak.
“Aku kangen banget sama kamu,” ucapnya.
“Aku enggak,” jawabku asal. Rangga
menarik dirinya lalu menatapku kesal dan
... takk! Ia menjitak keningku dengan jari tengahnya. Aku menjerit kesakitan.
“Dasar
pembohong. Aku tahu kamu juga kangen sama aku, nggak usah pura-pura deh,”
ucapnya. Aku menatapnya, lalu tertawa.
“Iya, aku juga kangen kok,” jawabku
lagi. Dan kami kembali berpelukan.
“Apa kamu berhenti tumbuh?” ia bertanya
dengan nada menghina ketika menyadari bahwa tinggi badanku mungkin hanya
sebatas dadanya. Segera aku mendorong tubuhnya dan tinjukupun bersarang di
perutnya. Aku nggak pendek-pendek amat kok. Tapi, 158 memang akan kelihatan
pendek jika di sandingkan dengan dirinya yang menjulang.
“Aku pernah ikut karate, jika cuma
menghajarmu dengan satu gerakan, aku pasti mampu melakukannya. Jadi, hati-hati
kalo ngomong ya?” aku melotot. Rangga
meringis.
“Oke, oke, tapi aku juga pernah ikut
karate, jadi kayaknya kita harus duel,” jawabnya enteng.
Kayak biasanya, kami bersitegang sesaat.
Dan begitulah kami. Selalu ada pertengkaran kecil yang mewarnai persahabatan
kami. Dan buat kami, itu asyik-asyik aja.
Rangga beranjak dan menghempaskan
tubuhnya di tempat tidurku. Ia kembali menatap ke arahku, lekat.
“Kamu makin ... manis ya?” ucapnya,
sambil menawan tawa.
“Hitam maksudmu?” aku memastikan dengan
kesal seraya melemparnya dengan bantal. Dia ngakak.
“Aku aktif di klub pecinta alam. Aku
sering mendaki dan beginilah akhirnya,” entah kenapa, aku berusaha menjelaskan
hal kecil itu, padanya.
“Woah, pecinta alam, seru dong,”
jawabnya.
Aku manggut-manggut seraya duduk di
sampingnya.
Kami kembali mengobrol dengan asyik,
persis kayak teman lama yang udah lama nggak ketemu untuk berbagi cerita.
“By the way, kepulanganmu ke sini untuk
liburan ato pulang kesini selamanya?”
“Liburan,” jawab Rangga.
“Tapi kayaknya, semester depan aku akan
balik ke Indonesia selamanya. Papa mengajukan diri untuk di tempatkan di kantor
yang berada di Jakarta dan di terima. Jadiiiii, bersiap-siaplah ketemu diriku
lagi karena aku sedang mengincar es-em-a yang sama dengamu,”
Aku melongo, Rangga menyeringai nakal ke
arahku.
“Ini nggak mungkin,” desisku.
“Mungkin, banget,” jawabnya, tetap
dengan senyum nakalnya.
“Dasar kurang kerjaan,” keluhku.
“Udah punya pacar?”
“Udah, banyak,” jawabku asal. Rangga
ngakak.
“Kamu pikir aku percaya. Taruhan deh,
kamu pasti masih belum laku sampek detik ini,”
Segera bantal melayang ke kepala Rangga.
“Dan kamu? Udah punya pacar?” tanyaku.
Rangga terkekeh.
“Udah, banyak,” jawabnya percaya diri.
Aku menggigit bibir kesal. Ya iyalah, cowok cakep macam dia nggak akan mungkin
jomblo? Pasti seabrek cewek-cewek yang ngejar-ngejar dia.
“Terserah deh. Mau punya pacar seabrek,
mau enggak, nggak ada urusannya sama aku,” jawabku kemudian.
Rangga manggut-manggut.
“Oh iya, berapa hari di sini?”
“Besok dah balik,”
“Cepet
banget?”
Rangga mengangguk.
“Ki, jalan-jalan yuk,” ucapnya.
“Kapan?”
“Sekarang,”
“Sekarang? Ogah ah. Aku ‘kan baru aja
pulang sekolah. Capek. Besok aja ya,”
“Tapi besok aku dah balik,”
“Tapi..”
“Plis, aku pengen bernostalgia ke
tempat-tempat yang dulu sering kita kunjungi waktu masih kecil. Oke,”
“Rangga,”
“Yuk,”
Aku belum sempat protes ketika Rangga
sudah menarik lengan tanganku.
“Paling enggak, biarin aku ganti baju
dulu,” teriakku.
“Oke, oke,” jawabnya, tanpa beranjak.
Aku melotot ke arahnya.
“What?” Ia balas
menatapku, heran.
Aku mendesis.
“Aku mau ganti baju, keluar dong dari
kamarku,” perintahku.
Rangga tertawa.
“Dulu ‘kan kamus sering ganti baju di
depanku, Ki,”
“Iya, itu ‘kan dulu. Waktu kita masih
SD. Sekarang ‘kan beda,” aku membentak.
Rangga manggut –manggut seraya beranjak,
tetap dengan gelak tawanya yang khas.
Dan akhirnya, aku menuruti keinginannya
untuk jalan-jalan. Ke tempat-tempat yang dulu sering kami kunjungi ketika kami
masih kecil. Sungai kecil dibelakang Sekolah Dasar kami, taman bermain di dekat
taman-taman kanak, bahkan warung bakso di sebelah alun kota-kota pun tak luput
dari kunjungan kami. Aku juga membawa Rangga menemui temen-temenku di base camp
kami. Dan aku juga memperkenalkannya pada Fifi, Jihan, Sonya dan Olla.
Temanku, teman dia juga ‘kan?
***
Keesokan
paginya, aku dibuat terkejut ketika melihat Rangga telah berada di dalam
kamarku pada pukul 6 pagi.
“Bangun
pemalas!” ia memencet hidungku dengan gemas sambil sesekali menarik-narik
lengan tanganku.
“Apaan sih?” teriakku kesal, tetap
dengan mata setengah tertutup.
“Bangun dulu dong, penting nih!” ia
menarik tubuhku melalui kedua lengan tanganku hingga mau tak mau akupun membuka
mata dan duduk menghadapnya.
“Apa sih, Ga?” tanyaku sambil
mengucek-ucek mataku.
Rangga tersenyum.
“Bisa kasih tahu ke aku nomor teleponnya
Fifi,” ucapnya.
“Fifi?”
Aku mengulangi menyebut nama itu seraya menatap ke arah Rangga dengan lebih
serius.
Rangga
mengangguk dengan yakin.
“Kayaknya
aku jatuh cinta padanya, Ki,” jawabnya.
“Hah?”
aku membelalak.
“Sejak
kau kenalkan dia kemarin, aku selalu kepikiran sama dia. Dan aku juga merasakan
dadaku berdebar ketika pertama kali melihatnya. Sumpah, dia bener-bener cewek
yang manis, Ki. Dan aku ingin mengenalnya lebih jauh,”
Aku
melotot. Ini sebuah kejutan yang tak terduga di pagi buta.
“Tolong
ya, beri aku nomor hape-nya, plis?” Wajah Rangga terlihat makin tampan ketika
merajuk. Aku hanya mengangguk-angguk tanpa sadar sambil meraih phonselku. Dan
aku memberikan dia nomor hape-nya Fifi. Dan bersamaan dengan itu, aku merasakan
ada sesuatu yang menghilang dari dalam hatiku. Entah, apa itu?
***
Sore itu kami kembali ngumpul-ngumpul di
rumah Jihan. Nggak ada kerjaan. Jadi kami memutuskan untuk duduk-duduk santai
sambil nonton tv, dan kadang – kadang maen ular tangga buat seru-seruan aja.
Sebuah aktifitas yang sering kami lakukan untuk ngisi waktu luang. Sampai
akhirnya aku menyadari bahwa Fifi tengah asyik sendiri dengan phonselnya.
Beberapa kali ia tersenyum sendiri ketika membaca sebuah pesan singkat.
“Kenapa
sih Fi? Senyum-senyum kayak orang senewen aja?” Olla nyeletuk. Oh, ternyata
nggak cuman aku aja yang menyadari hal itu.
Fifi
tersenyum. Ia menatap ke arahku tetap dengan senyum manisnya. Aku menelan
ludah. Dadaku berdebar. Oh tidak, apa aku akan mendengar kabar yang nggak
nyenengin lagi?
“Dari
Rangga,” ucapnya.
Nah
loh, aku seraya mendengar pecahan kaya di dalam dadaku.
“Oh
ya?” Jihan, Sonya, dan Olla bertanya hampir bersamaan. Mereka beringsut
mendekat ke arah Fifi dengan penuh antusias.
“Rangga
kemarin itu ya? Temennya Kiki? Yang cakep itu?” tanya Olla lagi seraya melirik
ke arahku. Aku tersenyum blo’on. Fifi mengangguk dengan mata berbinar-binar.
Dan
temen-temenku yang laen segera bersorak.
“Jadi
selama ini hubungan kalian terus nyambung?”
“Iya,
dia rajin sms dan nanya kabarku. Dan, dia cowok yang baik. Dan dia juga sudah
nembaku aku,”
Jreeeng, apa lagi itu??
Jreeeng, apa lagi itu??
“Terus?”
“Aku bilang iya aja. Karena aku tahu dia
cowok yang baik. Jarak buat kami nggak masalah. Selama kami berkomunikasi
dengan baik, kami pasti baik-baik aja. Ya ‘kan Ki?”
Aku setengah gelagapan mendengar namaku
disebut. Tapi aku segera bersikap biasa kayak semula.
“Bener, dia cowok yang baik. Aku
mengenalnya sejak kecil. Dan aku yakin banget kalo kalian akan jadi pasangan
yang cocok,” jawabku.
Kami kembali bersorak.
“Wah, akhirnya Fifi dapat cowok lagi.
Gimana dengan kamu Ki?” tanya Sonya. Aku mendelik. Nih anak nggak bosen-bosen
ya ngajakin perang?
“Kalo nggak ada yang mau sama kamu,
pacaran aja sama hantu. Yang ketemu kamu waktu kamu tersesat di hutan itu
tuh... siapa namanya ... Leo,” ucapnya lagi.
Bantal sofa yang ada di depanku segera
melayang ke kepalanya.
Dan kamipun tertawa lagi.
Beberapa saat kemudian aku memohon diri
pada mereka untuk pulang dengan alasan nganterin mama ke apotik. Padahal
enggak, yang sebenarnya adalah, aku butuh udara segar.
Aku butuh menyendiri beberapa saat
setelah apa yang terjadi. Aku hanya nggak menyangka kalo semua akan berlangsung
secepat ini. Setelah sekian tahun lamanya, aku kembali dipertemukan dengan
cinta pertamaku, dan hanya dalam hitungan jam aku harus tahu kalo cinta
pertamaku itu ternyata naksir dengan temen baikku, bahkan memacarinya.
Menyakitkan. Tapi, ya sudahlah. inilah
hidup...
The End
Wiwin
W
Sambikerep, 10-07-2013P.S. Gambar adalah Mario Maurer