Rabu, 09 Juli 2014

Cerpen "With You"




          “Kita putus saja, Ric,” Karin membuka suara ketika mereka sudah berdiam diri hampir selama 15 menit. Eric tampak terkejut. Ia menatap perempuan cantik di sampingnya dengan kaget.
“Maksudmu?” ia meminta penegasan.
“Aku ingin berpisah denganmu. Aku sudah tak bisa lagi menjadi kekasihmu,” jawab Karin tegas.
“Kenapa? Apa aku telah melakukan kesalahan yang tak  dapat kau maafkan?”
Karin menggeleng.
“Tidak, aku hanya merasa lelah saja, Ric,”
“Lelah? Apa menjadi pacarku begitu melelahkan?”
Karin mengangguk.
“Rin?”
“Aku tahu kau masih berusaha mencari tahu tentang keberadaan Nadia. Kita sudah berpacaran selama hampir 3 tahun dan yang ada di pikiranmu masih saja tentang dia. Kau masih saja mencari info tentang dia, mengkhawatirkannya, merindukannya, dan itu benar-benar membuatku terluka,”
“Tapi aku mencintaimu,” potong Eric.
“Ya, aku tahu kau mencintaiku, tapi tidak tulus,”
“Nadia adalah bagian dari diriku di masa lalu. Dan itu tidak mudah untuk melupakannya. Bukankah aku pernah bilang padamu bahwa aku masih perlu waktu untuk melupakannya sama sekali. Haruskah aku berlutut dan memohon padamu untuk memberiku waktu lagi?” suara Eric terdengar memohon dan frustasi.
Karin tersenyum sinis.
“Waktu? Selama itu? Maaf, aku sudah tak sanggup,” jawab perempuan tersebut.
Terdengar Eric menghela nafas dengan berat.
“Apa kau sudah tak mencintaiku lagi, Rin?” tanyanya kemudian.
Karin tak segera menjawab.
Aku mencintaimu, dengan setulus hatiku. Bahkan jika kau menduakanku, aku akan tetap mencintaimu! Ia merutuk dalam hati.
“Carilah dia jika kau ingin tetap mencari. Mungkin kalian bisa berbicara lagi dari hati ke hati jika kalian sudah bertemu,”
Karin beranjak.
“Rin?” panggil Eric seraya beranjak dan menarik lengan  tangan Karin.
“Maaf, aku sudah tak sanggup lagi menjadi kekasihmu,” ucap Karin seraya menghalau tangan lelaki tersebut. Ia beranjak meninggalkan Eric sendirian.
Karin bertemu Eric ketika pemuda tersebut sedang patah hati karena perpisahannya dengan perempuan bernama Nadia. Karin sendiri juga tak tahu alasan kenapa kenapa Eric berpisah dengan cinta pertama dan teman semasa kecilnya tersebut, karena Eric selalu menolak untuk menceritakannya pada Karin. Yang ia tahu, Nadia pergi begitu saja meninggalkan Eric. Dan itu yang membuatnya hancur dan terluka. Sedangkan bagi Karin, ia sudah jatuh cinta pada pemuda kharismatik itu sejak pertama kali bertemu dengannya di sebuah seminar tentang perekonomian. Waktu itu Karin masih sebagai mahasiswa baru. Sedangkan Eric adalah seseorang yang mulai berkecimpung di dunia usaha.
Mereka mulai berkenalan dan akhirnya menjadi dekat. Ketika mereka mulai berpacaran, Eric bicara dengan jujur dengan perasaannya bahwa ia masih belum bisa melupakan sepenuhnya tentang percintaannya dengan Nadia, cinta pertamanya. Dan waktu itu, Karin tak keberatan. Ia berpikir bahwa dengan berlalunya waktu, ia pasti bisa membuat Eric melupakan perempuan tersebut. Tapi ternyata, ia salah. Eric begitu mencintai wanita tersebut dan ia nyaris belum bisa melupakannya sama sekali! Ia masih saja memikirkannya, mengkhawatirkannya dan mencari-cari kabar tentang keberadaannya.  Awalnya Karin tak keberatan. Toh selama ini Eric selalu baik padanya, ia selalu perhatian dan memberikannya limpahan kasih sayang hingga membuatnya bahagia. Tapi tiap kali melihat duka di kedua mata Eric tatkala memikirkan Nadia, hatinya sakit luar biasa. Ia lelah dan ia menyerah!

***

            Sudah hampir 3 hari ini Karin mengurung diri di dalam kamar. Ia tak ke kampus, ia tak bekerja (selama ini ia bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji), ia juga menolak bertemu dengan Eric. Berkali-kali pemuda itu datang ke rumahnya, dan Karin selalu meminta ibunya untuk berbohong dengan mengatakan ia sedang keluar kota.
Tapi siang itu, Nana, sahabat baiknya datang ke rumah. Dan dengan antusias ia mau menemuinya. Itupun karena ada sesuatu hal penting yang harus ia bicarakan dengan cewek tomboy tersebut.
“Astaga, ada apa denganmu? Kau terlihat kacau!” Nana nyaris berteriak menyaksikan keadaan Karin yang berantakan. Bagaimana tidak, Karin tak terlihat seperti biasanya. Rambutnya acak-acakan, raut mukanya kusut.
“Aku sedang patah hati. Sudahlah, jangan bicarakan tentang aku. Bagaimana dengan permintaan tolongku?” Karin beranjak dan kembali duduk di ranjangnya sementara Nana mengekor dan ikut duduk di sampingnya.
“Apa kau begitu mencintai Eric hingga keadaanmu berantakan seperti ini?” tanya Nana.
“Ya,” jawab Karin pendek.
“Kalau begitu kenapa kau minta putus dengannya kalau kau tak sanggup berpisah dengannya!?” teriak Nana.  Karin mendesah.
“Sudahlah, Na. jangan bicarakan dia. Bukankah aku mengundangmu ke sini karena ada sesuatu yang harus dibicarakan? Bagaimana? Kau sudah dapat kabar tentang dia?” Karin seolah mengingatkan Nana. Perempuan berambut pendek itu tak segera menjawab.
Karin memang meminta tolong pada Nana untuk mencari tahu tentang Nadia. Ia ingin tahu tentang semua hal  tentang perempuan tersebut. Termasuk tentang alasan perpisahannya dengan Eric. Ia minta tolong pada Nana, karena sahabatnya itu sangat hobi dengan hal-hal yang berbau penyelidikan. Maklum, dia dulu bercita-cita jadi polisi. Tapi karena ia pendek, akhirnya ia gagal masuk ke akademi kepolisian.
“Ya, aku sudah tahu keberadaan tentang perempuan tersebut,” Nana mengambil secarik kertas dari tas nya lalu menyodorkannya ke arah Karin. Kertas tersebut berisi sederet alamat. Alamat rumah Nadia yang sekarang.
“Sejak berpisah dari Eric, Nadia menikah dengan seorang pengusaha kaya asal Surabaya. Tapi tak lama kemudian, pengusaha itu bangkrut dan 2 tahun yang lalu mereka bercerai, tanpa anak. Dan sekarang, Nadia seorang janda. Ia tinggal sendirian dan punya sebuah usaha boutique kecil-kecilan,”
“Apakah alasan ia meninggalkan Eric untuk menikah dengan seorang pengusaha?”
Nana menggeleng.
“mereka di jodohkan,” jawabnya.
“Yang aku tahu, kedua orang tua Nadia tidak pernah menyetujui hubungannya dengan Eric karena Eric belum punya pekerjaan tetap. Oleh karena itu, ia memaksa mereka putus, lalu menikahkan Nadia dengan lelaki lain yang lebih kaya,” lanjutnya kemudian.
“Pastinya orang tua Nadia akan menyesal jika mereka tahu kalau Eric sekarang telah menjadi seorang pengusaha muda sukses,” gumam Karin.
Nana manggut-manggut.
“dan sepertinya kau juga harus tahu bahwa Nadia pernah mengandung anak Eric,”
Karin terhenyak.
“Apa!?” ia nyaris memekik.
“Ya, Rin. Nadia pernah mengandung anak Eric. Dan sepertinya, orang tua Nadia memaksanya untuk menggugurkan kandungannya lalu memaksanya untuk menikah dengan lelaki lain,”
“Apa kau yakin?”
Nana mengangguk.
“Aku sangat yakin dengan info yang kudapat, jika kau tak percaya, kau bisa bertemu dan bertanya langsung pada Nadia,”
Karin merasakan tubuhnya lemas.
“Sekarang Nadia janda. Ia bercerai dari suaminya yang kaya raya itu setahun yang lalu. Dan saat ini, ia mengelola butik kecil peninggalan orang tuanya. Ia bercerai tanpa anak,” Nana menambahkan.
“Apa Eric tahu bahwa Nadia pernah mengandung anaknya?”
Nana mengangguk.
Karin merasakan tubuhnya gemetar. 
“Rin?” panggil Nana lembut seraya meraih tangan perempuan tersebut dan menggenggamnya dengan erat.
“Kamu nggak apa-apa ‘kan?” tanyanya lagi. Karin tak bersuara. Air mata mulai menitik dari kedua matanya yang bening indah. Dan ia pun terisak. Astaga, jadi inilah sebabnya kenapa Eric tidak pernah bisa melupakan perempuan tersebut. Ini pasti terlalu menyakitkan buatnya. Hubungan yang begitu bahagia, ada calon anak di antara mereka, dan tiba-tiba saja harus terpisahkan dengan tragedi semacam itu, Eric pasti merasakan sakit luar biasa. Ah, andaikan Karin mengetahuinya lebih awal, tentu ia lebih bisa memahami perasaan Eric, memahami luka-lukanya.

***

            Karin sedang berkemas-kemas ketika hari itu Nana kembali mengunjunginya.
“Kau benar-benar akan pergi ke Papua hari ini?” tanya dia seraya membantu Karin merapikan beberapa barang. Karin mengangguk.
“Aku sudah bilang pada ibuku kalo aku ingin tinggal sementara di rumah om Haris. Aku perlu menenangkan diri, Na,” jawabnya.
Om Haris adalah adik bungsu ibunya. Ia bekerja di sebuah perusahaan kontraktor di Papua. Beliau sudah tinggal beberapa tahun di sana bersama istri dan ketiga anaknya. Karin sudah beberapa kali ke sana, dan ia sangat menyukai suasananya yang asri, nyaman, dan jauh dari kebisingan. Karin pikir, tentu itu sangat cocok untuk menenangkan pikirannya.
“Eric tahu kau akan kesana?”
Karin menggeleng.
“Tolong jangan beritahu dia, Na,” suara Karin terdengar memohon.
“Kalo dia nanya aku harus jawab gimana dong?”
“bilang saja kau tak tahu,”
“Eric takkan percaya,”
“Ya udah, bilang aja kalo aku yang melarangmu untuk memberitahunya. Dan, tolong kasihkan ini padanya,”
Karin menyodorkan sepucuk surat ke arah Nana. Nana meneriman surat tersebut dengan keheranan.
“Apa ini?”
“berikan aja padanya kalo kau bertemu dengannya,” jawab Karin.
Perlu waktu semalam penuh untuk menulis surat tersebut. Dan ia harus menulisnya dengan berlinang air mata.
Ini tak mudah bagi Karin karena ia begitu mencintai Eric dengan segenap jiwa raganya. Hanya saja, jika mengingat penderitaannya dengan Nadia, hatinya ikut sakit.
“Aku merelakannya, Na,” ia kembali membuka suaranya.
“Aku mencintainya, sangat. Bahkan jika hatinya bukan milikku seutuhnya, aku akan tetap mencintainya. Tapi, sepertinya Eric akan lebih bahagia jika bersama Nadia. Mereka berdua sudah melewati banyak hal, masa-masa sulit dan menyakitkan, jadi, sudah saatnya mereka berbahagia. Dan aku akan dengan tulus mengikhlaskannya. Aku hanya perlu waktu untuk menenangkan diri, menyembuhkan luka di hatiku,
Karin menarik nafas sesaat lalu tersenyum ke arah Nana.
“Aku sudah menulis semuanya di dalam surat tersebut. Dan aku juga sudah mencantumkan alamat Nadia agar ia bisa menemuinya dan berbicara tentang banyak hal padanya. Dan juga, bilang padanya untuk tidak mengkhawatirkan aku karena aku akan baik-baik saja,” lanjutnya kemudian. Nana menatap sahabatnya dengan trenyuh tanpa tahu harus berkata apa. Ingin ia protes dengan langkah yang ia ambil, tapi ia tak punya hak. Maka, yang ia lakukan adalah memeluk sahabat tercintanya tersebut. Berharap agar beban di hatinya sedikit berkurang.

***

            Karin menyusuri jalanan setapak di sekitar bukit dengan perlahan. Arloji di tangannya menunjukkan hampir pukul delapan pagi tapi udara masih terasa dingin menusuk hingga membuat perempuan tersebut berkali-kali merapatkan jaketnya. 
Sudah hampir 3 minggu ini Karin tinggal bersama om Haris dan tante Rina. Mulanya mereka heran karena Karin ke sana tidak dalam masa-masa liburan. Tapi, Karin bicara jujur pada mereka bahwa ia sudah putus dengan Eric dan kini ia perlu tempat untuk menenangkan diri. Karin tidak menyembunyikan apapun tentang hubungannya dengan Eric kepada om dan tantenya, toh mereka sudah tahu tentang hubungan mereka sejak lama. Mereka bisa mengerti keadaan Karin. Mereka bahkan senantiasa memberikan support padanya dan menyuruhnya untuk senantiasa sabar dan tabah. Dan karinpun sangat berterima kasih dengan mereka.
Selama di rumah om Haris, tak banyak yang Karin lakukan. Setiap pagi ia senantiasa berjalan-jalan menyusuri jalanan perbukitan, menghirup segarnya udara pagi dan menikmati suasana pegunungan yang masih asri. Setelah itu, kadang-kadang ia juga membantu tante Rina di tokonya karena tantenya juga punya toko kecil-kecilan. Kadang-kadang pula ia menemani omnya di kebun setelah dia pulang bekerja. Ia lebih sering juga bermain game di rumah dengan Edi dan Lulu, anak om Haris. Yang jelas, lingkungan tempat tinggal om Haris benar-benar begitu nyaman dan tenang. Tak bisa disebut sebagai kota, tapi tak bisa pula dikatakan desa terpencil. Yang jelas, sedang-sedang saja dan pas untuk suasana hati Karin. Ia bahkan sempat berpikir untuk mencari pekerjaan saja di sana. Tapi, tentu saja setelah lulus kuliah.
Karin berhenti di sebuah jembatan kecil dan menatap jernihnya aliran sungai kecil yang berada di bawahnya selama beberapa menit.
Dan, ia kembali teringat akan Eric. Sejauh ia mencoba untuk melupakan cowok tersebut, kerinduan semakin dalam menerpa dirinya. Ia senantiasa terpikir akan dirinya. Ingin ia tahu sedang apa dia, sudah makan apa belum, apakah pekerjaan di perusahaannya berjalan lancar, apakah selama ini ia tidur nyenyak, apakah selama ini ia hidup dengan baik, ah, banyak hal sekali yang ingin ia tahu tentang cowok tersebut. Dan, tiba-tiba saja ia juga terpikir akan Nadia. Apakah Eric menemuinya? Apakah mereka kembali bersama? Apakah mereka bahagia? Astaga, Karin serasa gila. Dan ia kembali merasa sakit luar biasa.
Lamunan Karin perlahan buyar ketika ia mendengar langkah kaki berjalan ke arahnya. Ia menoleh dan seketika ia merasakan tubuhnya membeku. Ia sempat mengedip-ngedipkan kedua mata indahnya untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang sedang ia lihat bukanlah mimpi. Dan ia memang sedang tak bermimpi atau tengah berkhayal.
Tampak olehnya Eric tengah berjalan perlahan mendekatinya. Langkahnya terlihat berat dan ragu-ragu. Ia tak melihatnya selama 3 minggu, tapi sepertinya banyak hal telah berubah padanya. Matanya sayu, wajahnya sendu, terlihat kumis dan cambangnyapun  mulai tumbuh. Karin sempat bertanya-tanya, apakah itu memang dia? Eric tersayangnya? Yang ia tahu, selama ini Eric adalah orang yang sangat rapi. Baju-baju yang ia kenakan selalu rapi. Dan, ia tak pernah suka memelihara kumis ataupun cambang. Ada apa dengannya? Ia terlihat sedikit berantakan.
“Eric,” panggilnya lirih.
Lelaki itu berjalan mendekatinya dan tanpa berkata-kata, ia merengkuh tubuh ramping perempuan itu lalu memeluknya dengan erat.
“terima kasih, Tuhan. Akhirnya aku menemukanmu,” ucapnya pelan. Ia menarik nafas. Ada kelegaan di sana.
“Kau __ mencariku?” tanya Karin agak ragu. Terasa olehnya Eric menganggukan kepala.
“Ya, aku mencarimu, kemana-mana. Berhari-hari, seperti orang gila,” jawabnya.
“Kenapa?”
“Karena aku benar-benar tak bisa hidup tanpa dirimu,”
Jawaban Eric membuat Karin tersentak. Perlahan perempuan itu melepaskan dirinya dari pelukan Eric, lalu menatap pemuda di depannya dengan heran.
“Kau benar-benar ke sini untuk mencariku? Menemuiku?” ia kembali bertanya dengan ragu.
Eric tersenyum lembut lalu kembali mengangguk pelan.
“Kenapa?”
“Bukankah aku sudah bilang, aku benar-benar tak bisa hidup tanpa dirimu,”
Karin menatap lelaki di depannya dengan rasa tak percaya.
“Kau menerima surat dariku ‘kan?” tanyanya lagi.
Eric mengangguk.
“Kau juga sudah membacanya ‘kan?”
“Tentu saja,”
“Kau tak menemui Nadia?”
Eric tak menjawab.
“Aku menuliskan alamatnya di surat tersebut,”
“Ya, aku tahu,”
“Kau menemuinya?”
Eric menggeleng.
“Kenapa?”
“Aku hanya tak ingin menemuinya,”
“bukankah selama ini kau senantiasa mencari kabar tentang dirinya? Dan __  apakah kau tahu bahwa dia __ pernah mengandung anakmu?”
Eric kembali mengangguk.
“Jadi,kenapa kau tak menemuinya?”
Eric kembali menatap perempuan di depannya dengan lembut.
“Nadia memang pernah menjadi orang terpenting dalam hidupku. Tapi itu semua adalah masa lalu. Jikalau selama ini aku mencari tahu akan dirinya, aku hanya mengkhawatirkannya. Itu saja. Dan sekarang, karena aku sudah tahu bagaimana hidupnya yang sekarang, dan dia baik-baik saja, bagiku itu sudah cukup. Aku tak menghendaki lebih lagi,” jawabnya. Ia meraih  kedua tangan Karin lalu menggenggamnya dengan erat.
Kedua mata perempuan itu nampak berkaca-kaca.
“Bagiku, kaulah masa depanku, Rin. Aku terbiasa akan kehadiranmu di sisiku. Aku terbiasa akan perhatianmu, celotehanmu, tawamu, semua tentang dirimu. Sejak kau meninggalkanku, aku seperti orang gila. Aku merasa berantakan, hidupku dan pekerjaanku kacau. Aku mencarimu kemana-mana seperti orang gila. Nana tak mau jujur padaku tentang keberadaanmu, begitu pula orang tuamu. Jadi, aku terpaksa mengunjungi semua saudaramu satu persatu. Dan  akhirnya, aku berada di sini,”
Karin mengernyitkan dahinya.
“Kau mengunjungi semua saudaraku?”
Eric mengangguk.
“Aku ke Yogyakarta, ke rumah pakde Hasan. Aku juga ke Surabaya, ke Manado, lalu ke sini.  Aku bahkan juga mengunjungi semua teman-temanmu,” jawab Eric lagi. Karin merasakan perasaan haru luar biasa mendengar jawaban Eric hingga air matanya menitik.
“Tidak, jangan. Jangan menangis, Rin,” pemuda itu menyentuh pipi Karin dengan lembut lalu menghapus air matanya dengan jemarinya. Perlahan ia menunduk, lalu mengecup bibir Karin dengan lembut dan perlahan.
“Andai saja aku tahu dari awal bahwa berpisah denganmu akan terasa sesakit ini, maka aku takkan pernah membiarkanmu pergi dariku,”bisiknya. Ia kembali meraih tubuh Karin lalu memeluknya dengan erat.
“demi Tuhan, Rin, aku benar-benar tak bisa hidup tanpa dirimu. Aku ingin menghabiskan seluruh sisa hidupku bersamamu. Hanya bersamamu, tidak perempuan manapun,” lanjutnya kemudian. Dan Karinpun terisak dalam pelukan Eric, selama beberapa menit. Dan dengan penuh kasih sayang, Eric membelai rambut perempuan tersebut dan membiarkannya menangis di pelukannya. Barulah ketika tangis Karin mereda, ia mendorong bahu perempuan tersebut dengan perlahan lalu menatapnya lekat.
“Jadi, maukah kau menerimaku lagi?” tanya dia kemudian. Karin mengangguk. Ya, ialah yang serasa tak sanggup  hidup jika saja Eric tak berada di sisinya.
“Kalau begitu, menikahlah denganku,”
Karin menaikkan kedua alisnya, terkejut.
“Menikah?”
Eric mengangguk.
“Kapan?”
“Dalam waktu dekat ini,”
“Tapi, setidaknya aku harus selesai sarjana dulu,”
“Tidak, aku bahkan tak bisa menunggu sampai kau lulus kuliah. Aku takut kau kabur lagi dariku. Kau tetap bisa melanjutkan kuliah setelah kita menikah. Aku juga takkan melarangmu bekerja jika kau ingin bekerja,” jawab Eric tegas. Karin tersenyum.
“Baiklah, kalau begitu bicarakanlah dengan orang tuaku,” jawabnya kemudian. Eric tersenyum.
“baik, kalau begitu ikutlah pulang bersamaku, dan aku akan segera membicarakan tentang hal ini pada papa dan mamamu,” ucapnya. Karin tersenyum. Eric kembali menghadiahinya sebuah ciuman yang hangat dan lembut. Lelaki itu kembali merengkuh tubuhnya ke dalam pelukannya.
“Terima kasih karena kau mau memberiku kesempatan lagi, Rin,” bisiknya lembut. Karin memejamkan matanya sesaat.
Dan terima kasih karena kau telah memilihku untuk bersamamu. Ucapnya dalam hati.

Selesai.

Nganjuk, 11 September 2012
01.05
Wiwin W




Tidak ada komentar:

Posting Komentar