“Kita putus
saja, Ric,” Karin membuka suara ketika mereka sudah berdiam diri hampir selama
15 menit. Eric tampak terkejut. Ia menatap perempuan cantik di sampingnya
dengan kaget.
“Maksudmu?” ia meminta
penegasan.
“Aku ingin berpisah
denganmu. Aku sudah tak bisa lagi menjadi kekasihmu,” jawab Karin tegas.
“Kenapa? Apa aku telah
melakukan kesalahan yang tak dapat kau
maafkan?”
Karin menggeleng.
“Tidak, aku hanya
merasa lelah saja, Ric,”
“Lelah? Apa menjadi
pacarku begitu melelahkan?”
Karin mengangguk.
“Rin?”
“Aku tahu kau masih
berusaha mencari tahu tentang keberadaan Nadia. Kita sudah berpacaran selama
hampir 3 tahun dan yang ada di pikiranmu masih saja tentang dia. Kau masih saja
mencari info tentang dia, mengkhawatirkannya, merindukannya, dan itu benar-benar
membuatku terluka,”
“Tapi aku
mencintaimu,” potong Eric.
“Ya, aku tahu kau
mencintaiku, tapi tidak tulus,”
“Nadia adalah bagian
dari diriku di masa lalu. Dan itu tidak mudah untuk melupakannya. Bukankah aku
pernah bilang padamu bahwa aku masih perlu waktu untuk melupakannya sama
sekali. Haruskah aku berlutut dan memohon padamu untuk memberiku waktu lagi?”
suara Eric terdengar memohon dan frustasi.
Karin tersenyum sinis.
“Waktu? Selama itu?
Maaf, aku sudah tak sanggup,” jawab perempuan tersebut.
Terdengar Eric
menghela nafas dengan berat.
“Apa kau sudah tak
mencintaiku lagi, Rin?” tanyanya kemudian.
Karin tak segera
menjawab.
Aku mencintaimu, dengan setulus hatiku. Bahkan jika kau
menduakanku, aku akan tetap mencintaimu! Ia merutuk dalam
hati.
“Carilah dia jika kau
ingin tetap mencari. Mungkin kalian bisa berbicara lagi dari hati ke hati jika
kalian sudah bertemu,”
Karin beranjak.
“Rin?” panggil Eric
seraya beranjak dan menarik lengan
tangan Karin.
“Maaf, aku sudah tak
sanggup lagi menjadi kekasihmu,” ucap Karin seraya menghalau tangan lelaki
tersebut. Ia beranjak meninggalkan Eric sendirian.
Karin bertemu Eric
ketika pemuda tersebut sedang patah hati karena perpisahannya dengan perempuan
bernama Nadia. Karin sendiri juga tak tahu alasan kenapa kenapa Eric berpisah
dengan cinta pertama dan teman semasa kecilnya tersebut, karena Eric selalu
menolak untuk menceritakannya pada Karin. Yang ia tahu, Nadia pergi begitu saja
meninggalkan Eric. Dan itu yang membuatnya hancur dan terluka. Sedangkan bagi
Karin, ia sudah jatuh cinta pada pemuda kharismatik itu sejak pertama kali
bertemu dengannya di sebuah seminar tentang perekonomian. Waktu itu Karin masih
sebagai mahasiswa baru. Sedangkan Eric adalah seseorang yang mulai berkecimpung
di dunia usaha.
Mereka mulai
berkenalan dan akhirnya menjadi dekat. Ketika mereka mulai berpacaran, Eric
bicara dengan jujur dengan perasaannya bahwa ia masih belum bisa melupakan
sepenuhnya tentang percintaannya dengan Nadia, cinta pertamanya. Dan waktu itu,
Karin tak keberatan. Ia berpikir bahwa dengan berlalunya waktu, ia pasti bisa
membuat Eric melupakan perempuan tersebut. Tapi ternyata, ia salah. Eric begitu
mencintai wanita tersebut dan ia nyaris belum bisa melupakannya sama sekali! Ia
masih saja memikirkannya, mengkhawatirkannya dan mencari-cari kabar tentang
keberadaannya. Awalnya Karin tak
keberatan. Toh selama ini Eric selalu baik padanya, ia selalu perhatian dan
memberikannya limpahan kasih sayang hingga membuatnya bahagia. Tapi tiap kali
melihat duka di kedua mata Eric tatkala memikirkan Nadia, hatinya sakit luar
biasa. Ia lelah dan ia menyerah!
***
Sudah hampir 3 hari ini Karin
mengurung diri di dalam kamar. Ia tak ke kampus, ia tak bekerja (selama ini ia
bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji), ia juga menolak bertemu
dengan Eric. Berkali-kali pemuda itu datang ke rumahnya, dan Karin selalu
meminta ibunya untuk berbohong dengan mengatakan ia sedang keluar kota.
Tapi siang itu, Nana,
sahabat baiknya datang ke rumah. Dan dengan antusias ia mau menemuinya. Itupun
karena ada sesuatu hal penting yang harus ia bicarakan dengan cewek tomboy tersebut.
“Astaga, ada apa
denganmu? Kau terlihat kacau!” Nana nyaris berteriak menyaksikan keadaan Karin
yang berantakan. Bagaimana tidak, Karin tak terlihat seperti biasanya.
Rambutnya acak-acakan, raut mukanya kusut.
“Aku sedang patah
hati. Sudahlah, jangan bicarakan tentang aku. Bagaimana dengan permintaan
tolongku?” Karin beranjak dan kembali duduk di ranjangnya sementara Nana
mengekor dan ikut duduk di sampingnya.
“Apa kau begitu
mencintai Eric hingga keadaanmu berantakan seperti ini?” tanya Nana.
“Ya,” jawab Karin
pendek.
“Kalau begitu kenapa
kau minta putus dengannya kalau kau tak sanggup berpisah dengannya!?” teriak
Nana. Karin mendesah.
“Sudahlah, Na. jangan
bicarakan dia. Bukankah aku mengundangmu ke sini karena ada sesuatu yang harus
dibicarakan? Bagaimana? Kau sudah dapat kabar tentang dia?” Karin seolah
mengingatkan Nana. Perempuan berambut pendek itu tak segera menjawab.
Karin memang meminta
tolong pada Nana untuk mencari tahu tentang Nadia. Ia ingin tahu tentang semua
hal tentang perempuan tersebut. Termasuk
tentang alasan perpisahannya dengan Eric. Ia minta tolong pada Nana, karena
sahabatnya itu sangat hobi dengan hal-hal yang berbau penyelidikan. Maklum, dia
dulu bercita-cita jadi polisi. Tapi karena ia pendek, akhirnya ia gagal masuk
ke akademi kepolisian.
“Ya, aku sudah tahu
keberadaan tentang perempuan tersebut,” Nana mengambil secarik kertas dari tas
nya lalu menyodorkannya ke arah Karin. Kertas tersebut berisi sederet alamat.
Alamat rumah Nadia yang sekarang.
“Sejak berpisah dari
Eric, Nadia menikah dengan seorang pengusaha kaya asal Surabaya. Tapi tak lama
kemudian, pengusaha itu bangkrut dan 2 tahun yang lalu mereka bercerai, tanpa
anak. Dan sekarang, Nadia seorang janda. Ia tinggal sendirian dan punya sebuah
usaha boutique kecil-kecilan,”
“Apakah alasan ia
meninggalkan Eric untuk menikah dengan seorang pengusaha?”
Nana menggeleng.
“mereka di jodohkan,”
jawabnya.
“Yang aku tahu, kedua
orang tua Nadia tidak pernah menyetujui hubungannya dengan Eric karena Eric
belum punya pekerjaan tetap. Oleh karena itu, ia memaksa mereka putus, lalu
menikahkan Nadia dengan lelaki lain yang lebih kaya,” lanjutnya kemudian.
“Pastinya orang tua
Nadia akan menyesal jika mereka tahu kalau Eric sekarang telah menjadi seorang
pengusaha muda sukses,” gumam Karin.
Nana manggut-manggut.
“dan sepertinya kau
juga harus tahu bahwa Nadia pernah mengandung anak Eric,”
Karin terhenyak.
“Apa!?” ia nyaris
memekik.
“Ya, Rin. Nadia pernah
mengandung anak Eric. Dan sepertinya, orang tua Nadia memaksanya untuk
menggugurkan kandungannya lalu memaksanya untuk menikah dengan lelaki lain,”
“Apa kau yakin?”
Nana mengangguk.
“Aku sangat yakin
dengan info yang kudapat, jika kau tak percaya, kau bisa bertemu dan bertanya
langsung pada Nadia,”
Karin merasakan
tubuhnya lemas.
“Sekarang Nadia janda.
Ia bercerai dari suaminya yang kaya raya itu setahun yang lalu. Dan saat ini,
ia mengelola butik kecil peninggalan orang tuanya. Ia bercerai tanpa anak,”
Nana menambahkan.
“Apa Eric tahu bahwa
Nadia pernah mengandung anaknya?”
Nana mengangguk.
Karin merasakan
tubuhnya gemetar.
“Rin?” panggil Nana
lembut seraya meraih tangan perempuan tersebut dan menggenggamnya dengan erat.
“Kamu nggak apa-apa
‘kan?” tanyanya lagi. Karin tak bersuara. Air mata mulai menitik dari kedua
matanya yang bening indah. Dan ia pun terisak. Astaga, jadi inilah sebabnya
kenapa Eric tidak pernah bisa melupakan perempuan tersebut. Ini pasti terlalu
menyakitkan buatnya. Hubungan yang begitu bahagia, ada calon anak di antara mereka,
dan tiba-tiba saja harus terpisahkan dengan tragedi semacam itu, Eric pasti
merasakan sakit luar biasa. Ah, andaikan Karin mengetahuinya lebih awal, tentu
ia lebih bisa memahami perasaan Eric, memahami luka-lukanya.
***
Karin sedang berkemas-kemas ketika
hari itu Nana kembali mengunjunginya.
“Kau benar-benar akan
pergi ke Papua hari ini?” tanya dia seraya membantu Karin merapikan beberapa
barang. Karin mengangguk.
“Aku sudah bilang pada
ibuku kalo aku ingin tinggal sementara di rumah om Haris. Aku perlu menenangkan
diri, Na,” jawabnya.
Om Haris adalah adik
bungsu ibunya. Ia bekerja di sebuah perusahaan kontraktor di Papua. Beliau
sudah tinggal beberapa tahun di sana bersama istri dan ketiga anaknya. Karin
sudah beberapa kali ke sana, dan ia sangat menyukai
suasananya yang asri, nyaman, dan jauh dari kebisingan. Karin pikir, tentu itu
sangat cocok untuk menenangkan pikirannya.
“Eric tahu kau akan
kesana?”
Karin menggeleng.
“Tolong jangan
beritahu dia, Na,” suara Karin terdengar memohon.
“Kalo dia nanya aku
harus jawab gimana dong?”
“bilang saja kau tak
tahu,”
“Eric takkan percaya,”
“Ya udah, bilang aja
kalo aku yang melarangmu untuk memberitahunya. Dan, tolong kasihkan ini
padanya,”
Karin menyodorkan
sepucuk surat ke arah Nana. Nana meneriman surat tersebut dengan keheranan.
“Apa ini?”
“berikan aja padanya
kalo kau bertemu dengannya,” jawab Karin.
Perlu waktu semalam
penuh untuk menulis surat tersebut. Dan ia harus menulisnya dengan berlinang
air mata.
Ini tak mudah bagi
Karin karena ia begitu mencintai Eric dengan segenap jiwa raganya. Hanya saja,
jika mengingat penderitaannya dengan Nadia, hatinya ikut sakit.
“Aku merelakannya,
Na,” ia kembali membuka suaranya.
“Aku mencintainya,
sangat. Bahkan jika hatinya bukan milikku seutuhnya, aku akan tetap
mencintainya. Tapi, sepertinya Eric akan lebih bahagia jika bersama Nadia.
Mereka berdua sudah melewati banyak hal, masa-masa sulit dan menyakitkan, jadi,
sudah saatnya mereka berbahagia. Dan aku akan dengan tulus mengikhlaskannya.
Aku hanya perlu waktu untuk menenangkan diri, menyembuhkan luka
di hatiku,”
Karin menarik nafas
sesaat lalu tersenyum ke arah Nana.
“Aku sudah menulis
semuanya di dalam surat tersebut. Dan aku juga sudah mencantumkan alamat Nadia
agar ia bisa menemuinya dan berbicara tentang banyak hal padanya. Dan juga,
bilang padanya untuk tidak mengkhawatirkan aku karena aku akan baik-baik saja,”
lanjutnya kemudian. Nana menatap sahabatnya dengan trenyuh tanpa tahu harus
berkata apa. Ingin ia protes dengan langkah yang ia
ambil, tapi ia tak punya hak. Maka, yang ia lakukan adalah memeluk sahabat
tercintanya tersebut. Berharap agar beban di hatinya sedikit berkurang.
***
Karin menyusuri jalanan setapak di
sekitar bukit dengan perlahan. Arloji di tangannya menunjukkan hampir pukul
delapan pagi tapi udara masih terasa dingin menusuk hingga membuat perempuan
tersebut berkali-kali merapatkan jaketnya.
Sudah hampir 3 minggu
ini Karin tinggal bersama om Haris dan tante Rina. Mulanya mereka heran karena
Karin ke sana tidak dalam masa-masa liburan. Tapi, Karin bicara jujur pada
mereka bahwa ia sudah putus dengan Eric dan kini ia perlu tempat untuk
menenangkan diri. Karin tidak menyembunyikan apapun tentang hubungannya dengan
Eric kepada om dan tantenya, toh mereka sudah tahu tentang hubungan mereka
sejak lama. Mereka bisa mengerti keadaan Karin. Mereka bahkan senantiasa
memberikan support padanya dan menyuruhnya untuk senantiasa sabar dan tabah.
Dan karinpun sangat berterima kasih dengan mereka.
Selama di rumah om
Haris, tak banyak yang Karin lakukan. Setiap pagi ia senantiasa berjalan-jalan
menyusuri jalanan perbukitan, menghirup segarnya udara pagi dan menikmati
suasana pegunungan yang masih asri. Setelah itu, kadang-kadang ia juga membantu
tante Rina di tokonya karena tantenya juga punya toko kecil-kecilan.
Kadang-kadang pula ia menemani omnya di kebun setelah dia pulang bekerja. Ia
lebih sering juga bermain game di rumah dengan Edi dan Lulu, anak om Haris.
Yang jelas, lingkungan tempat tinggal om Haris benar-benar begitu nyaman dan
tenang. Tak bisa disebut sebagai kota, tapi tak bisa pula dikatakan desa
terpencil. Yang jelas, sedang-sedang saja dan pas untuk suasana hati Karin. Ia
bahkan sempat berpikir untuk mencari pekerjaan saja di sana. Tapi, tentu saja
setelah lulus kuliah.
Karin berhenti di sebuah jembatan kecil dan menatap jernihnya aliran sungai kecil yang
berada di bawahnya selama beberapa menit.
Dan, ia kembali
teringat akan Eric. Sejauh ia mencoba untuk melupakan cowok tersebut, kerinduan
semakin dalam menerpa dirinya. Ia senantiasa terpikir akan dirinya. Ingin ia
tahu sedang apa dia, sudah makan apa belum, apakah pekerjaan di perusahaannya
berjalan lancar, apakah selama ini ia tidur nyenyak, apakah selama ini ia hidup
dengan baik, ah, banyak hal sekali yang ingin ia tahu tentang cowok tersebut.
Dan, tiba-tiba saja ia juga terpikir akan Nadia. Apakah Eric menemuinya? Apakah
mereka kembali bersama? Apakah mereka bahagia? Astaga, Karin serasa gila. Dan
ia kembali merasa sakit luar biasa.
Lamunan Karin perlahan
buyar ketika ia mendengar langkah kaki berjalan ke arahnya. Ia menoleh dan
seketika ia merasakan tubuhnya membeku. Ia sempat mengedip-ngedipkan kedua mata
indahnya untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang sedang ia lihat bukanlah
mimpi. Dan ia memang sedang tak bermimpi atau tengah berkhayal.
Tampak olehnya Eric
tengah berjalan perlahan mendekatinya. Langkahnya terlihat berat dan ragu-ragu.
Ia tak melihatnya selama 3 minggu, tapi sepertinya banyak hal telah berubah
padanya. Matanya sayu, wajahnya sendu, terlihat kumis dan cambangnyapun mulai tumbuh. Karin sempat
bertanya-tanya, apakah itu memang dia? Eric
tersayangnya? Yang ia tahu, selama ini Eric adalah orang yang sangat rapi.
Baju-baju yang ia kenakan selalu rapi. Dan, ia tak pernah suka memelihara kumis
ataupun cambang. Ada apa dengannya? Ia terlihat sedikit berantakan.
“Eric,” panggilnya
lirih.
Lelaki itu berjalan
mendekatinya dan tanpa berkata-kata, ia merengkuh tubuh ramping perempuan itu
lalu memeluknya dengan erat.
“terima kasih, Tuhan.
Akhirnya aku menemukanmu,” ucapnya pelan. Ia menarik nafas. Ada kelegaan di
sana.
“Kau __ mencariku?”
tanya Karin agak ragu. Terasa olehnya Eric menganggukan kepala.
“Ya, aku mencarimu,
kemana-mana. Berhari-hari, seperti orang gila,” jawabnya.
“Kenapa?”
“Karena aku
benar-benar tak bisa hidup tanpa dirimu,”
Jawaban Eric membuat
Karin tersentak. Perlahan perempuan itu melepaskan dirinya dari pelukan Eric, lalu menatap
pemuda di depannya dengan heran.
“Kau benar-benar ke
sini untuk mencariku? Menemuiku?” ia kembali bertanya dengan ragu.
Eric tersenyum lembut
lalu kembali mengangguk pelan.
“Kenapa?”
“Bukankah aku sudah
bilang, aku benar-benar tak bisa hidup tanpa dirimu,”
Karin menatap lelaki
di depannya dengan rasa tak percaya.
“Kau menerima surat
dariku ‘kan?” tanyanya lagi.
Eric mengangguk.
“Kau juga sudah
membacanya ‘kan?”
“Tentu saja,”
“Kau tak menemui
Nadia?”
Eric tak menjawab.
“Aku menuliskan
alamatnya di surat tersebut,”
“Ya, aku tahu,”
“Kau menemuinya?”
Eric menggeleng.
“Kenapa?”
“Aku hanya tak ingin
menemuinya,”
“bukankah selama ini
kau senantiasa mencari kabar tentang dirinya? Dan __ apakah kau tahu bahwa dia __ pernah
mengandung anakmu?”
Eric kembali
mengangguk.
“Jadi,kenapa kau tak
menemuinya?”
Eric kembali menatap perempuan di depannya dengan lembut.
“Nadia memang pernah
menjadi orang terpenting dalam hidupku. Tapi itu semua adalah masa lalu.
Jikalau selama ini aku mencari tahu akan dirinya, aku hanya mengkhawatirkannya.
Itu saja. Dan sekarang, karena aku sudah tahu bagaimana hidupnya yang sekarang,
dan dia baik-baik saja, bagiku itu sudah cukup. Aku tak menghendaki lebih
lagi,” jawabnya. Ia meraih kedua tangan
Karin lalu menggenggamnya dengan erat.
Kedua mata perempuan
itu nampak berkaca-kaca.
“Bagiku, kaulah masa
depanku, Rin. Aku terbiasa akan kehadiranmu di sisiku. Aku terbiasa akan
perhatianmu, celotehanmu, tawamu, semua tentang dirimu. Sejak kau
meninggalkanku, aku seperti orang gila. Aku merasa berantakan, hidupku dan
pekerjaanku kacau. Aku mencarimu kemana-mana seperti orang gila. Nana tak mau
jujur padaku tentang keberadaanmu, begitu pula orang tuamu. Jadi, aku terpaksa
mengunjungi semua saudaramu satu persatu. Dan
akhirnya, aku berada di sini,”
Karin mengernyitkan
dahinya.
“Kau mengunjungi semua
saudaraku?”
Eric mengangguk.
“Aku ke Yogyakarta, ke
rumah pakde Hasan. Aku juga ke Surabaya, ke Manado, lalu ke sini. Aku bahkan juga mengunjungi semua
teman-temanmu,” jawab Eric lagi. Karin merasakan perasaan haru luar biasa
mendengar jawaban Eric hingga air matanya menitik.
“Tidak, jangan. Jangan
menangis, Rin,” pemuda itu menyentuh pipi Karin dengan lembut lalu menghapus
air matanya dengan jemarinya. Perlahan ia menunduk, lalu mengecup bibir Karin
dengan lembut dan perlahan.
“Andai saja aku tahu
dari awal bahwa berpisah denganmu akan terasa sesakit ini, maka aku takkan
pernah membiarkanmu pergi dariku,”bisiknya. Ia kembali meraih tubuh Karin lalu
memeluknya dengan erat.
“demi Tuhan, Rin, aku
benar-benar tak bisa hidup tanpa dirimu. Aku ingin menghabiskan seluruh sisa
hidupku bersamamu. Hanya bersamamu, tidak perempuan manapun,” lanjutnya
kemudian. Dan Karinpun terisak dalam pelukan Eric, selama beberapa menit. Dan
dengan penuh kasih sayang, Eric membelai rambut perempuan tersebut dan
membiarkannya menangis di pelukannya. Barulah ketika tangis Karin mereda, ia
mendorong bahu perempuan tersebut dengan perlahan lalu menatapnya lekat.
“Jadi, maukah kau
menerimaku lagi?” tanya dia kemudian. Karin mengangguk. Ya, ialah yang serasa tak
sanggup hidup jika saja Eric tak berada
di sisinya.
“Kalau begitu,
menikahlah denganku,”
Karin menaikkan kedua
alisnya, terkejut.
“Menikah?”
Eric mengangguk.
“Kapan?”
“Dalam waktu dekat
ini,”
“Tapi, setidaknya aku
harus selesai sarjana dulu,”
“Tidak, aku bahkan tak
bisa menunggu sampai kau lulus kuliah. Aku takut kau kabur lagi dariku. Kau
tetap bisa melanjutkan kuliah setelah kita menikah. Aku juga takkan melarangmu
bekerja jika kau ingin bekerja,” jawab Eric tegas. Karin tersenyum.
“Baiklah, kalau begitu
bicarakanlah dengan orang tuaku,” jawabnya kemudian. Eric tersenyum.
“baik, kalau begitu
ikutlah pulang bersamaku, dan aku akan segera membicarakan tentang hal ini pada
papa dan mamamu,” ucapnya. Karin tersenyum. Eric kembali menghadiahinya sebuah
ciuman yang hangat dan lembut. Lelaki itu kembali merengkuh tubuhnya ke dalam
pelukannya.
“Terima kasih karena
kau mau memberiku kesempatan lagi, Rin,” bisiknya lembut. Karin memejamkan
matanya sesaat.
Dan terima kasih karena kau telah memilihku untuk bersamamu. Ucapnya dalam hati.
Selesai.
Nganjuk, 11 September 2012
01.05
Wiwin W
Tidak ada komentar:
Posting Komentar