Here we’re!
Hai, namaku Aki
Sabrina. Haha, Aki!?
Dulu ketika
masih kecil, aku biasa dipanggil Aki. Tapi makin gede, aku ngerti kalo Aki tuh
semacam ‘baterei’ untuk kendaraan hingga akhirnya aku ogah di panggil Aki lagi.
Dan akhirnya, aku mengganti nama panggilanku
dengan Kiki.
Aku bener-bener nggak tahu deh apa yang
ada di kepala orang tuaku ketika memberikanku nama itu. But, it’s okay. Aku
menerimanya dengan lapang dada.
Sekarang, aku
duduk di kelas 2 SMA. Dan aku menjalani kehidupanku dengan bahagia dan fun!
Kenapa, karena selain punya keluarga yang bahagia (basically, aku adalah cewek
yang selalu bersyukur dan bahagia, itu intinya! sehingga aku berani mengatakan
bahwa keluargaku adalah keluarga yang bahagia), aku juga punya temen-temen yang
baiknya selangit! (cieeeh, gombal!)
Well, langsung saja kuperkenalkan dengan
temen-temen baikku. Genk? Bukan. We’re just best friend, that’s it!
Olla :
Anaknya imut dan manja banget. Anaknya juga lebay. Dandanannya lebay, gaya
bicaranya juga lebay. Everything about her is just ‘too much’! But, we love
her, definitely!
Sonya :
Dia paling badung dan paling tomboi di antara kami. Paling benci kalo dipanggil
‘Son’. Dalam hal seft defense, dia jagonya. Taekwondo, sabuk hitam Dan tiga. Hebat ‘kan? Makanya, nggak ada
yang berani macem-macem sama kami kalo si Sonya ada bersama kami. Bisa babak
belur tuh orang yang mau cari perkara.
Fifi :
Pendiam, kutu buku, bermata empat (maksudnya, berkaca mata). Tapi, ortunya
tajirrrr banget. Perlu waktu beberapa hari untuk menjelaskan aset-aset mereka.
So, nggak usah repot-repot. Intinya, mereka orang kaya, banget! Fifi paling
pinter di antara kami. Otaknya encer. Nggak heran kalo dia punya cita-cita
untuk bisa masuk ke Universitas Harvard dan mendapat gelar Magister di sana.
Wuihh....
Jihan :
Kalo ada pemilihana miss complain, dia-lah pemenangnya! Kerjaannya komplain
melulu sih! But, aslinya dia baik kok. Suerrr!
Well, langsung aja
kubawa kalian ke kisah kami... yang pertama...
Olala,
Olla..
Aku,
Fifi, Sonya dan Jihan berpandangan silih berganti. Sesekali, Sonya memainkan
rambutnya yang zig-zag dengan manyunnya. (Zig-zag? Maksudnya keriting ala
telenovela Maria mercedes gitu...)
“Jadi, gimana dong?” tanyaku lagi. Aku
sudah menanyakan hal yang sama sekitar 3 kali dan tetap saja temen-temenku itu
tak bersuara.
“Son, gimana menurutmu?” aku langsung
maen tunjuk pada sobatku yang tomboi itu. Sonya mendelik.
“Aduh, plis deh! Jangan panggil Son
kenapa sih?”
“Lha
terus?”
“Sonya,” ia melotot kearahku.
“Sonya,” ia melotot kearahku.
“Kepanjangan, non. Lebih simpel Son
‘kan?” jawabku.
“Tapi nggak enak di dengar, Ki!”
“Tapi aku nggak salah panggil ‘kan?
Namamu emang Sonya. Orang mau manggil Son atau Nya, suka-suka dong. Kalo namamu
Sonya tapi aku panggil Ayu, baru kamu boleh protes! Ribet amat sih,” jawabku asal.
“Tetep aja nggak enak di dengar!” Sonya
tetap protes.
Aku dan Sonya bersitegang. Dan Fifi
mulai mendamaikan, kayak biasanya.
“Kita di sini ‘kan lagi musyawarah,
jangan berantem sendiri dong!” ia setengah membentak.
“Aduuh, kenapa udara di sini panas banget
sih? AC-nya nggak di nyalain ya?” Jihan kipas-kipas. Mulai deh...
“Nggak ada minuman yang lebih dingin
lagi ya?” tanyanya lagi.
Aku melotot.
“Pergi ke kutub utara sana aja, jeng! Di
jamin, adem selamanya,” sahutku.
Fifi dan Sonya ikut mendelik. Jihan
hanya tersenyum nyengir.
Kami berkumpul di sini untuk melakukan
sidang dadakan. Masalahnya: Olla! Ya, sudah beberapa hari ini temen kami yang
biasanya ceria itu berubah pendiam. Dia murung. Di kelas dia diem, di rumah
juga gitu. Tiap kali ditanya kenapa, jawabannya selalu aja nangis. Si Ronald,
pacarnya yang tersayang, kami tanya habis-habisan, eh, katanya sih nggak lagi
berantem.
“Ayo, ngaku! Kamu pasti lagi berantem
sama Olla ‘kan sampek dia berubah jadi senewen kayak gitu? Ngaku nggak?” Sonya
beranjak, meraih kerah baju Ronald, penuh emosi, kayak biasanya. Padahal,
sumpah, body Ronald tuh lebih gede dari pada Sonya! Kalo dia anarki, si Sonya
bisa klepek-klepek. Tapi untung deh si Ronald tuh rada-rada penakut.
Nah, ini juga yang bikin aku heran. Kenapa
si Olla bisa kepincut sama si kunyuk ini? Well, Ronald tuh emang tampan banget.
Tapi kalo soal mental, nol. Dia super duper penakut! Gelap, takut. Maen
sendirian, takut. Sama kecoa aja, dia takut. ‘N nggak usah heran, dia tuh
boboknya masih sama mamanya! Yaakkh...
“Sumpah Son...” Sonya melotot seraya
mempererat cengkeraman tangannya. Kontan aja si Ronald langsung pucat. “Sonya,”
lanjutnya lagi, nyengir. Dia baru nyadar kalo Sonya nggak suka dipanggil ‘Son’.
“Udah deh, jangan kayak gini,” Fifi
melerai. Dengan kasar Sonya melepaskan kerah baju Ronald lalu mundur beberapa
langkah. Tatapan kami langsung tertuju kembali ke arah Ronald, menunggu ia
menjelaskan sesuatu.
“Sumpah, aku nggak lagi berantem kok.
Jangankan kalian, aku sendiri juga lagi heran. Dia murung. Sering nangis
sendirian. Tiap kali kutanya ada apa, langsung aja nangis. Aku udah beberapa
minggu ini dicuekin. Telponku direject, smsku gak di bales, tiap maen ke
rumahnya, dia nggak mau nemuin aku. Hik, hatiku sakit, Ki,” Ronald menatap ke
arahku, dengan mata berkaca-kaca. Oh please, jangan nangis di depanku, dasar
cengeng!
“Apa dia nggak cinta sama aku lagi ya?
Ato jangan-jangan dia selingkuh?” Kami melotot ke arah Ronald. Sonya beranjak
dan kembali menarik kerah baju cowok berambut klimis tersebut.
“Olla bukan tipe cewek yang suka
gonta-ganti cowok seenak perutnya. Well, aku emang lebih suka dia putus sama kamu karena jujur
aja aku tuh nggak suka sama kamu, tapi dia bukan tipe pengkhianat, ngerti nggak
sih kamu?” Sonya melotot. Ronald manggut-manggut dengan gugup. Air mata di
sudut matanya sudah nyaris tumpah. Tuh ‘kan, aku benci cowok cengeng!
“Udah deh, kita pikirin aja cara lain.
Ronald nggak tahu apa-apa,” ucapku. Kami berpandangan. Dan akhirnya, kami melewati hari itu tanpa hasil
apa-apa. Kami tetap belum tahu apa masalah Olla yang sebenarnya!
***
Rencana
selanjutnya, mulai dijalankan...
“Aku
dah beliin komik ini khusus buat Olla, semoga dia terhibur,” Jihan menunjukkan
sebuah komik serial cantik karya Yukari Kawatchi. Olla emang suka banget baca
manga.
”Dan ta-da! Aku juga udah ngedapetin
posternya Arashi, plus tanda tangan mereka. Dan coba tebak, aku juga dapat dvd
live concertnya mereka. Aku menghabiskan beberapa hari mantengin internet Cuma
agar bisa ngedapetin ini. Ah, semoga Olla seneng lagi,”
Sonya berucap bangga sambil nunjukkin
poster dan dvd Arashi, boyband asal Jepang. Olla emang tergila-gila dengan
segala hal berbau Jepang, dan Arashi adalah boyband favoritnya.
“Aku dah dapat tiket konsernya Arashi di
Tokyo Dome, minggu depan. Aku pesen ini langsung dari Jepang. Papaku yang ke
sana. Dan aku juga udah nyiapin transport sama akomodiasinya kalo Olla bersedia
berangkat ke sana,” Fifi berucap dengan ekpresi biasa. Aku, Sonya dan Jihan
hanya melotot ke arahnya. Gila, papanya ke Jepang langsung cuma buat beli tiket
ini doang!?
Fifi hanya mengangkat bahu menyadari
ekpresi takjub dari kami.
“Biasa aja kali. Ini nggak ada
apa-apanya. Sahabat lebih penting, oke,” jawabnya. Kami nyengir.
“Kalo kamu, apa Ki?” Jihan bertanya
langsung ke arahku. Dan aku masih nyengir.
Aih, aku jarang nonton tv. Aku juga
jarang berlelancar di internet.
Aku lebih suka membaca novel petualangan
atau hanya sekedar main game.
Dan aku juga nggak terlalu ngikutin
perkembangan dunia hiburan. Yang katanya lagi heboh k-pop, j-pop, atau apalah,
aku nggak ngerti sama sekali.
Tapi satu hal yang pasti, aku adalah
penggemar berat Maroon 5. Khususnya, Adam Levine. Dulu temen-temen sempat
protes dengan seleraku yang nggak biasa. Well, umurku baru belasan tahun tapi
aku mengidolakan band yang personilnya udah bapak-bapak. Mereka bilang,
seleraku nggak cocok aja sama umurku. But, whatever! Aku tetep suka sama
lagu-lagunya, dan terutama sama vokalisnya.
“aku punya ini,” ucapku ragu-ragu sambil
nunjukkin posternya Adam Levine yang segede pintu kamarku.
Poster itu sudah ditanda tangani.
Aku mendapatkan poster itu sekitar
sebulan lalu dengan pertumpahan darah! Eh, maksudku, berkorban habis-habisan.
Bayangin aja, posternya edisi terbatas, langsung di buat di Amrik, dan harganya
pun selangit! Aku nangis-nangis minta uang sama mama untuk beli ini, tapi cuma
di kasih separo. Aku nangis-nangis darah pun tetap aja nggak di kasih.
Akhirnya, aku ikut kerja paruh waktu di tempatnya pakdeku. Pakdeku punya usaha
pemotongan hewan ternak, terutama ayam boiler. Akhirnya, aku ikut bantu-bantu
dia. Kerjaannya gampang kok, cuma megangin aja waktu ayamnya mau disembelih. So, itulah kenapa aku
bilang poster ini kudapetin dengan pertumpahan darah. Mksudnya, darahnya si
ayam gitu...
“Gimana sih kamu Ki? ‘Kan janjinya
beliin barang yang bisa bikin Olla seneng. Dia mana seneng sama gambarnya si
Adam. Dia nggak bakalan ngerti sama om-om kayak gini,” Jihan protes. Aku
nyengir.
“Aku nggak ngerti sama boyband yang
disukai Olla. Iya sih aku ngerti kalo dia suka Arashi. Cuma personilnya yang
mana aja aku nggak tahu. Nah, daripada salah lagi. Aku ngasih ini aja. Ya?”
ucapku.
Dan itu benar. Pernah suatu ketika aku
mencoba ngasih surprise dengan ngasih postcard yang gambarnya boyband
ganteng-ganteng. Aku kira itu Arashi. Eh, ternyata Super Junior.
“Arashi itu berlima, nah kalo super
junior itu selusin. Arashi dari Jepang, kalo Super Junior tuh dari Korea. Masak
gitu aja kamu nggak ngerti,” waktu itu Olla protes. Dan aku cuma bisa nyengir.
Sumpah, aku bener-bener nggak bisa bedain mana Arashi sama Super Junior. Aku
pikir mereka sama aja. Haha..
Tapi, usahaku nggak berhenti sampek
situ. Aku tetap pengen ngasih kejutan sama Olla. Dan, waktu itu aku ganti
ngasih dia poster mini dari sebuah boyband ganteng-ganteng. Tadinya aku yakin
banget kalo itu Arashi, tapi tetap aja aku salah. Itu bukan Arashi, tapi
boyband K-Otic dari Thailand. Hadeh, apa pula itu?
“Udah deh, jadi ke rumahnya Olla nggak
sih? Biarin aja Kiki ngasih gambar itu. Do’ain aja Olla mau nerima, biar Kiki
gigit jari,” ucap Sonya sengit. Aku mencibir.
Tapi, tetap aja nyaliku ciut. Sebenarnya
aku nggak tega ngasihkan poster ini ke Olla. Aduh, berat deh pisah sama Adam
Levine. Tapi mo gimana lagi, demi teman ‘kan?
Akhirnya kami segera cabut ke rumahnya
Olla. Begitu nyampek sana, kami langsung ngasihkan barang yang kami bawa. Dan,
tetap nggak ada reaksi. Iya sih Olla nerima (termasuk poster kesayanganku,
hik), tapi nggak ada keceriaan sama sekali di wajahnya. Ia tetap murung, malas
ngomong. Habis itu, dia ngacir ke kamarnya dan menguncinya dari dalam.
***
Siang
itu, di kantin sekolah...
“Nyerah
deh. Aku nggak tahu mesti gimana bikin Olla ceria lagi, bikin dia mau cerita ke
kita apa masalahnya,” Sonya mengeluh. Fifi dan Jihan segera mengamini. Kami
saling berpandangan, putus asa.
“Kita lihat dulu deh perkembangannya
dalam beberapa hari. Kalo si Olla membaik ya syukur. Kalo keadaannya tetep, ya terpaksa kita paksa dia untuk
ngomongin masalahnya dia. Oke?” ucapku. Ketika sobatku segera mengiyakan.
Dan benarlah adanya. Semuanya butuh
waktu. Buktinya, beberapa hari setelah pembicaraan kami di kantin, pagi itu
Olla datang ke sekolah, seperti biasanya dan dengan wajah yang berseri-seri
kayak biasanya pula. Bajunya khas Olla, bling-bling, pink. Rambutnya dihias
pita 7 warna. Aduh, warnanya tabrakan lagi!
Senyum centilnya pun kembali menghiasi
wajahnya yang rupawan.
“Helllooooo, girls. Good morniiiiing,”
nah, gaya bicaranya pun centil khas Olla. Kami tersenyum melihatnya. Lega.
“kami seneng La lihat kamu kembali sehat
kayak gini,” ucap Fifi. Olla tersenyum.
“Iya, emang bener. Sori banget ya kalo
kemarin-kemarin akyu sempat bikin kalian cemas. Sekarang, gigiku udah nggak
sakit lagi. Jadi, ceria lagi deh,” jawab Olla seraya mengayun-ayun kipas mungil
di tangannya. Kami tersenyum gembiara, tapi kemudian ...
“Sakit ... gigi?” kami bertanya hampir
bersamaan seraya menatap ke arah Olla.
Cewek itu kembali tersenyum dan
mengangguk.
“Iyaaaaa, kemarin akyu lagi sakit gigi.
Jadinya nggak semangat deh. Bikin kalian cemas ya? Tapi tenang, akyu sudah dari
dokter kok. Dan gigiku yang sakit udah di cabut. So, akyu kembali ceria lagi
deh. Thanksa yaaaaaa udah diperhatiin,” jawabnya.
“Jadi maksudmu, selama ini kamu murung,
kamu sedih, kamu nangis-nangis, kamu nggak masuk sekolah, karena ... sakit
gigi?” Sonya memastikan.
Dan kami seperti kejatuhan bom ketika
Olla kembali mengangguk dengan ekpresi polos bak tanpa dosa.
Aku, Fifi, Jihan dan Sonya berpandangan
silih berganti. Aku bisa melihat bahwa masing-masing dari kami sedang sesak
nafas.
“Oh iya, makasih ya Fi dah dikasih tiket
konsernya Arashi. Akyu pasti nonton di Jepang langsung. Dan Jihan, makasih juga
ya komiknya. ‘en Sonya, tenkyu banget ya sama dvd-nya. Akyu udah nyariin itu ke
semua toko kaset di Indonesia tapi nggak ketemu. Eh, kamu mau baik hati deh
nyariin buat akyu. ‘en buat kamu Ki, akyu nggak terlalu suka sama om Adam
Levine. Tapi mamaku lumayan suka. Sekarang dipasang tuh di kamarnya mamaku.
Wuih, mamaku hepi banget. Apalagi ada tanda tangannya. Dia bilang makasih buat
kamu,” ucap Olla.
“Yuk ah, masuk ke kelas. Bentar lagi di
bel nih,” Ia melenggang, seraya mengipas-ngipas wajahnya. Aku menarik nafas.
Yakin, aku bisa merasakan ada uap di
atas ubun-ubunku.
“BALIKIN POSTERKUUUUUUUUU,!!!” Aku
histeris.
End.
Wiwin W.
Selesai : 8/9 September 2001
Revisi : 17 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar