Shit! Aku kembali
mengumpat. Astaga, jadi inikah hasilnya? Dibela-belain ikut mendaki anak-anak
pecinta alam, dan ini hasil yang aku dapatkan?
I lost! Aku tersesat!
Ya ampun, ini toh bukan pertama kalinya
aku ikut acara kayak gini. Tapi, kenapa aku bisa ceroboh. Kenapa aku bisa
terpisah dari rekan-rekanku yang lain dan sekarang, di sinilah aku! Sendirian,
di tengah-tengah hutan belantara. Hapeku mati, aku buta arah dan aku nggak tahu
sama sekali wilayah ini!
“Hoei! Ada yang bisa denger aku nggak?!”
aku berteriak, untuk yang ke sekian kalinya.
“Tolong! Aku tersesat!” aku kembali
berteriak. Tak ada jawaban. Hanya suaraku yang bergema. Aku kembali menarik
nafas panjang.
“Oke, oke, anggap aja aku lagi ngomong
sama angin ... ah!” kalimatku berganti jeritan ketika tiba-tiba kakiku
terpeleset dan aku terguling ke bawah lereng.
Bug, tubuhku menghantam salah satu
pohon. Aku segera meringis kesakitan.
Aku menggerak-gerakkan tangan dan
kakiku. Untung nggak ada yang patah.
Aku mendongak. Matahari mulai terbenam.
Hari akan segera gelap. Aku duduk terdiam, mencoba berdamai dengan situasi.
Oke, aku terima kalo aku tersesat. Tapi aku nggak akan mati di sini ‘kan?
Aku meraih tasku. Persediaan air minum
dan bahan makananku terbatas, jadi aku harus berhemat. Perlahan aku bangkit,
dan aku mulai-mulai mencari-cari ranting kering untuk kujadikan perapian. Well,
aku memang harus menginap di sini malam ini.
***
Aku mengerjapkan
mataku ketika kurasakan cahaya matahari mulai menimpa wajahku. Kulirik
sekelilingku, keadaan masih sama seperti kemarin. Berarti aman.
Aku bangkit. Kuraih botol minumku dan
minum sedikit air dari sana. Aku juga melahap sepotong roti sisa semalam.
Lumayan untuk sarapan.
Aku baru saja mengunyah potongan
terakhir dari rotiku ketika tiba-tiba aku mendengar suara berisik dari
semak-semak yang berada di belakangku. Segera aku bangkit dan memasang
kuda-kuda kalau saja itu adalah hewan buas. Beberapa detik aku menunggu, suara
gemerisik itu tak berhenti. Tapi tak ada sosok apapun yang keluar dari semak-semak
itu, maksudku, belum.
“Siapa di situ? Manusia? Hewan? Atau
hantu?” aku berteriak.
“Manusia atau hantu, keluarlah!
Tampakkan wujudmu, aku nggak takut!” teriakku lagi. Tetap tak ada penampakan.
Aku mundur beberapa langkah ketika gemerisik itu semakin menjadi-jadi. Aku
menyiapkan kedua tinjuku. Aku pernah ikut kelas karate, jadi jika ada hewan
buas menyerang, aku pasti bisa mengatasinya.
Dan kegelisahanku berganti takjub ketika
beberapa saat kemudian, sesosok cowok jangkung muncul. Kami berpandangan, tanpa
berkata-kata.
Seraut wajah yang tampan. Kulitnya agak
kecoklatan karena sinar matahari, tapi, mata di bawah alis tebal itu begitu
bening dan teduh. Astaga, dia tampan luar biasa.
“Siapa kamu?” aku bertanya, tetap dengan
sikap waspada.
“Dan kamu sendiri, siapa?” ia balik
bertanya. Dia punya timbre suara yang seksi.
“Aku
yang nanya duluan, kamu siapa?” aku kembali bertanya.
“Aku juga berhak nanya, kamu siapa?” ia
kembali balik bertanya.
“Kamu manusia apa hantu?”
“Dan kamu sendiri, manusia apa hantu?”
“Ya ampun, kenapa kamu selalu ngembaliin
pertanyaanku?”
“Dan kenapa kamu selalu banyak nanya?”
ia terlihat kesal. Aku mendesah. Sikapku berubah nyantai sekarang. Masa bodoh
dia siapa, yang jelas aku lega bisa ketemu manusia.
“Aku tersesat,” ucapku kemudian.
“Sama. aku juga tersesat,” ia menjawab.
“Ah, syukurlah,” gumamku.
Cowok itu menatapku heran.
“Aku tersesat dan kamu bersyukur?” ia
terdengar kesal.
“Bukan gitu, maksudku, aku lega karena
setidaknya aku nggak sendirian,” jawabku. Aku terduduk lemas. Dan tanpa
kusangka, cowok itu berjalan menghampiriku lalu duduk di sampingku.
“Ya, aku juga lega karena ternyata aku juga nggak sendirian,” ia menjawab seraya
tersenyum. Aku terkesiap. Astaga, dia ganteng banget!
“Aku Leo,” ia mengulurkan tangan.
“Kiki,” jawabku seraya menyambut uluran
tanganya. Tangannya dingin dan penuh keringat. Ia tampak sama kelelahannya
denganku.
“Sejak kapan tersesat?”
“Kemarin,” jawabku.
“Sama,” ucap cowok bernama Leo itu.
Dan begitulah akhirnya. Aku tersesat,
berdua, bersama cowok keren yang kutemui di hutan, Leo.
Melegakan karena ternyata kami seumuran
dan duduk di tingkat kelas yang sama. Ia juga kelas XI. Dan surprise ketika aku
juga tahu bahwa dia berasal dari es-em-a yang hanya berjarak 15 km dari
sekolahku.
Dan nggak butuh waktu lama bagi kami
untuk akrab satu sama lain. Bukan karena kami senasib, tapi kami juga banyak
kecocokan. Nggak tahu kenapa, pokoknya kami serasa nyambung aja.
Kami bahu membahu untuk mencoba mencari
jalan keluar dari tempat ini. Kami berbagi air minum dan juga makanan. Ia
bahkan membantu mengobati luka gores di kaki dan juga tanganku. Kotak P3K-nya
bahkan lebih lengkap dari yang aku bawa.
“Persediaan makananku menipis,” ucapku.
“Sama, aku juga,” ia menjawab.
Langkahnya terhenti, dan aku mengikutinya. Ia menatap ke arahku.
“Kita harus hemat energi aja. Kita akan
simpan tenaga kita untuk cari sesuatu yang bisa dimakan. Keluar dari sini
memang penting. Tapi yang paling penting adalah kita harus hidup, nggak peduli
sampai kapan kita akan di sini. Oke?”
Aku mengangguk.
Hari mulai gelap. Dan kami memutuskan
untuk bermalam di tempat tersebut.
Aku memeluk kedua lututku dan memilih
duduk sedekat mungkin dengan perapian. Entahlah, tapi udara malam ini kayaknya
lebih dingin daripada semalam.
“Kamu nggak apa-apa ‘kan, Ki?” Leo
bertanya dengan nada cemas. Dan aku sempat ge-er. Aku belum pernah sedekat ini
dengan cowok manapun dan belum pernah juga ada cowok yang bertanya dengan penuh
kekhawatiran seperti itu. Ah, aku tersanjung.
“Kayaknya
malam ini lebih dingin dari semalam ya? Aku kedinginan,” jawabku jujur. Dan aku
memang merasakan tubuhku menggigil. Leo bangkit, melepas jaketnya lalu
melingkarkannya di tubuhku. Aku mengernyit.
“Apa-apaan sih?” tanyaku. Aku menatap
baju yang sedang di pake Leo. Sebuah sweater tipis.
“Nggak ah, aku ‘kan udah pake jaket.
Kamu lebih butuh jaket ini, bajumu tipis,” aku melepaskan jaketnya lalu
menyodorkannya ke arahnya.
“Kamu kedinginan, Ki,” Leo kembali
melingkarkan jaket itu menutupi tubuhku.
“Tapi kamu juga akan kedinginan,”
“Helloo, aku ini cowok, Ki. Aku nggak
selemah itu. Aku bisa bertahan di dalam cuaca seperti ini dengan baju seperti
ini,”
“Tapi, tetap aja kamu ....”
“Kiki?”
“Enggak, pake aja jaketmu. Aku nggak mau
kamu sakit,” aku kembali menyerahkan jaket tersebut.
“Kamu keras kepala ya?”
“Dan kamu juga,” jawabku. Leo terdiam
sesaat.
“Oke, gini aja,” ia beranjak, duduk
tepat di sampingku, menempel padaku lalu merentangkan jaket itu hingga menutupi
sisi bahu kami.
“Ini lebih adil ‘kan?” ucapnya seraya
tersenyum tulus. Aku merasakan dadaku berdegup kencang. Apakah pipiku bersemu
merah sekarang?
“Oke deh, cukup adil,” jawabku kemudian.
Dan jadilah kami duduk berdua, berdekatan, berselimut jaket yang sama. Dan aku
tak menolaknya. Dan aku bahkan tak menolak ketika aku merasakan Leo
merentangkan tangannya lalu memeluk diriku hingga aku tertidur dalam
dekapannya.
***
Leo
berdiri di pinggir tebing. Tatapannya menerawang jauh ke seberang sana.
“Gimana?” tanyaku. Leo menoleh ke
arahku.
“Aku melihat asap di seberang sana.
Berdo’a aja itu adalah sebuah desa. Masalahnya adalah, untuk nyampek sana, kita
harus mengitari 2 bukit lagi. Dan kayaknya nggak akan cukup kita lakuin dalam waktu
sehari,” jawab Leo. Aku manggut-manggut.
“Nggak apa-apa. Kita coba aja,” aku
meyakinkannya. Ia beranjak mendekatiku.
“Yakin kamu masih kuat?” ia bertanya
lagi, dengan nada cemas lagi. Ah, semakin ia mencemaskanku, aku semakin suka.
“Yup, yuk,” aku meraih tasku lalu berjalan
mendahuluinya. Tapi, lagi-lagi aku kurang hati-hati. Kakiku terpeleset dan aku
nyaris terjun ke jurang jika saja Leo tak segera menangkap lengan tanganku.
“Kamu nggak apa-apa ‘kan?” ia bertanya
dengan ketakutan. Aku menelan ludah. Sama takutnya. Perlahan aku mengangguk.
“It’s oke, it’s oke, kamu aman
sekarang,” kalimat Leo terdengar menenangkan ketika melihat ketakutan dalam
wajahku. Ia mengangkat tubuhku lalu mengajakku ke tempat yang lebih datar, di
bawah pohon.
“Kita istirahat dulu di sini,” ucapnya.
“Gimana? Ada yang luka? Yang mana yang
sakit?” ia nyerocos. Aku menunjuk ke arah lutut dan tulang keringku yang
mengeluarkan darah. Sepertinya tergores bebatuan tebing.
“Ya Tuhan,” Leo menggumam lirih. Dengan
sigap ia memeriksa lukaku dan segera mengolesinya dengan obat merah.
“Mana lagi yang luka?”
Aku menggeleng.
“Udah, itu aja,” jawabku kemudian.
Aku menatap Leo dengan takjub. Cowok itu
merawat lukaku dengan sempurna.
“Minumlah,” ia menyodorkan botol air
minumnya. Aku menggeleng.
“Nggak usah, aku nggak terlalu haus.
Lagipula, kita harus hemat ‘kan? Persediaan air minum kita terbatas,”
“Ki, plis. Aku nggak mau kamu pingsan.
Ntar aku akan coba nyari mata air di sekitar sini,”
Leo gigih memaksaku untuk minum air
tersebut, dan akhirnya aku nyerah. Sebenarnya nggak tega minum sendirian,
apalagi air kami tinggal ini. Tapi, aku bener-bener lemes. Dan aku nggak mau
pingsan di sini. Jika aku tak sadarkan diri, Leo akan semakin susah mengurusi
aku.
“Kita istirahat di sini aja, oke,” ia
menyarankan.
Aku mengangguk.
“Aku akan mencoba berkeliling. Siapa
tahu ada mata air di sini. Kamu nggak apa-apa ‘kan kalo ku tinggal di sini?”
Aku mengangguk tanda setuju. Dan,
akhirnya Leo meninggalkanku. Sesaat setelah ia pergi, aku merasakn tubuhku
ambruk. Kakiku yang terluka terasa
berdenyut-denyut sakit. Dan kepalaku juga. Mataku terasa berat terbuka hingga
perlahan-lahan mataku terpejam dengan sendirinya tanpa mampu ku tahan.
Aku mengantuk, ah, entahlah. Aku
merasakan tubuhku melayang-layang. Ada semacam perasaan naik turun kayak naik
rollercoaster. Di saat yang lain, tubuhku seraya mati rasa. Tangan dan kakiku
terasa kebas. Apakah aku pingsan?
Samar-samar aku mendengar seseorang
memanggil namaku lalu kurasakan sebuah sentuhan lembut di kening dan juga
pipiku.
“Ki, bangunlah. Buka matamu, please,”
Ajaib, setelah panggilan yang
berulang-ulang, mataku terbuka dengan perlahan. Tampak Leo berlutut di
sampingku, tatapan matanya cemas dan putus asa.
“Kamu nggak apa-apa ‘kan? Kamu tak
sadarkan diri ketika aku kembali,”
Oh, aku benar-benar pingsan. Lidahku
ingin mengatakan sesutu, tapi nggak bisa. Susah banget membuka mulut.
“Aku dapat air. Ada mata air tak jauh
dari sini. Dan aku juga membawa beberapa buah-buahan liar yang layak di
konsumsi. Lumayan, kita nggak akan kelaparan,” Leo menarik punggungku, ia
menyandarkan kepalaku di pundaknya. Segera menyodorkan botol yang berisi air
penuh ke depan mulutku.
“Minumlah,” ia memerintahkan. Aku
membuka mulut dengan susah payah, tapi akhirnya bisa meminum air tersebut. Lega
sekali rasanya. Tenagaku seakan sedikit kembali. Aku memijit pelipisku dengan
ringan.
“Thanks, tapi aku udah bisa duduk
sendiri,” aku menarik diri perlahan dari dekapan Leo, lalu duduk sendiri. Leo
menyodorkan buah-buahan ke arahku dan aku melahapnya kayak orang kelaparan.
Beracun ato enggak, aku nggak peduli. Bodo amat! Kayaknya lebih baek mati
keracunan daripada mati kelaparan.
“Lebih
baek?”
Aku mengangguk.
“Bentar lagi gelap. Kita bermalam di
sini aja,”
Aku kembali mengangguk.
“Say
something, please,” ucapan Leo seakan penuh permohonan. Aku mengernyitkan
dahiku. Bingung.
“Aku lega kalo dah dengar suaramu.
Setidaknya, dengan mendengarmu berbicara, aku yakin kamu baik-baik aja,”
lanjutnya. Aku menelan sisa buah-buahan dalam mulutku.
“Aku ... baik,” jawabku kemudian, lirih.
Senyum segera merekah di bibir Leo. Ia manggut-manggut.
“Aku akan menyiapkan perapian,” ucapnya
seraya beranjak.
Dan ketika malam mulai merangkak, aku
merasakan keadaanku jauh lebih baik. Aku minum air yang cukup, dan buah-buahan
yang gak beracun itupun cukup memberikanku energi. Hanya, kakiku yang masih
terluka-lah yang masih berdenyut-denyut sakit.
“Kita nggak akan mati di sini ‘kan?” aku
membuka suara setelah sekian lama kami asyik dengan pikiran kami masing-masing,
duduk diam di dekat perapian. Leo menoleh. Ia duduk tepat di sampingku, seperti
kemarin malam.
“Kenapa kamu nanya kayak gitu?”
Aku mengangkat bahu.
“Entahlah, aku hanya takut kalo kita
nggak akan ditemukan dan ... kita mati kelaparan di sini,” ucapku.
Leo menatapku lembut.
“Kamu akan selamat. Percayalah, kamu
akan sampai di rumah dengan selamat,” ucapnya yakin.
“tim SAR pasti akan menemukan kita. Mereka
hanya masih butuh waktu. Dan percayalah, kita nggak akan mati kelaparan. Aku
nggak akan membiarkanmu mati kelaparan. Percayalah padaku, oke,”
Aku terkesima. Sumpah, kalimatnya
bener-bener membuat jantungku berdebar, jungkir balik nggak karuan.
“Apa kita akan tetep jadi temen kalo
kita sudah keluar dari sini?” aku kembali bertanya dan Leo kembali membalasnya
dengan senyuman. Perlahan cowok cakep itu mengangguk.
***
Matahari
terasa tepat di atas kepalaku. Panasnya bukan maen. Kulitku terasa terbakar. Aku
berjalan terseok-seok di belakang Leo. Ia juga ngalamin hal yang sama.
“Masih jauhkah?” tanyaku. Nafasku sudah
kembang kempis kayak balon yang siap meletus.
“Yup, kita lewati bukit ini dan kita kan
nyampek di desa itu, semoga,” ucapan Leo terdengar nggak yakin. Aku ingin
mengatakan sesuatu, tapi aku sudah nggak mampu ngomong. Lututku lemas dan aku
ambruk. Leo segera berbalik dan berlari ke arahku.
“Ki? Kiki?” ia menepuk-nepuk pipiku.
Mataku setengah terpejam.
“Aku nggak kuat,” jawabku, lirih.
“Ayolah, Ki. Kamu harus kuat. Tinggal
dikit lagi,” Leo kembali menepuk-nepuk pipiku hingga membuat mataku sedikit
terjaga oleh sentuhannya.
“Kamu, lanjutkanlah perjalananmu.
Pergilah ke desa itu dan carilah bantuan. Aku akan nungguin kamu di sini,”
ucapku lagi.
“aku
nggak akan ninggalin kamu. Kita akan nyampek ke desa itu bareng-bareng. Dan
kita akan ditemukan bareng-bareng,”
“Tapi aku udah nggak kuat,” ucapku lagi.
“Duduklah dulu,” ia memerintahkan seraya
membantuku duduk. Cowok itu melepaskan tas ranselnya lalu ganti meletakannya di
depan tubuhnya, melingkari dada dan perutnya. Kemudian ia berlutut
membelakangiku.
“naiklah, aku akan menggendongmu,”
ucapnya.
“oh, enggak. Ini akan semakin
menyusahkanmu,” ucapku lagi. Aku belum sempat melanjutkan kalimatku ketika ia
menarik kedua lengan tanganku, menjulurkannya melewati kedua bahunya lalu mulai
menggendongku di punggungnya. Aku bisa merasakan bahwa ia bersusah payah untuk
berdiri kemudian melangkahkan kakinya. Ia melangkah dengan hati-hati melewati
terjalnya lereng dan ... ia juga menggendongku dengan penuh hati-hati.
Aku terdiam, tenagaku bahkan sudah habis
hanya untuk mengatakan sesuatu. Aku menyandarkan kepalaku dipunggung Leo, dan
setelah itu, aku tak sadarkan diri.
***
Aku
sudah berada di rumah sakit ketika membuka mata. Terbaring lemah di ruang rawat
inap, di kelilingi temen-temenku dan juga keluargaku. Kakiku terasa sakit.
Kepalaku berdenyut-denyut. Tapi aku udah bisa sadar sepenuhnya. Kedua mata papa
dan mamaku tampak sembab. Mereka baru saja nangis. Ke empat sobatku juga gitu.
Kedua mata Fifi dan Sonya tampak merah. Sementara Olla dan Jihan masih
sesenggukan.
“Aku baik-baik aja ‘kan?” aku seakan
bertanya pada diriku sendiri.
Mereka mengangguk hampir bersamaan. Mama
duduk di sampingku dan menyentuh tanganku dengan lembut.
“Syukurlah kamu nggak apa-apa, sayang.
Kami bener-bener khawatir sama kamu. Tim SAR udah berjuang dengan maksimal
untuk menemukanmu. Dan mama bener-bener bersyukur kamu selamat dan baik-baik
aja,” Mama kembali sesenggukan. Papa segera meraih bahunya dan memeluknya
lembut.
“Dimana Leo?” tanyaku kemudian.
Mereka berpandangan silih berganti.
“Dia baik-baik aja ‘kan?” aku kembali
bertanya dengan cemas. Pasti ada yang nggak beres!
“Leo?” Fifi menggumam.
“Leo siapa?” Sonya bertanya duluan.
“Leo? Cowok yang juga tersesat sama aku.
Kami berjuang bareng untuk bisa keluar dari hutan tersebut,”
Dan mereka kembali berpandangan. Ampuh
deh, aku jadi cemas sekarang. Perlahan aku bangkit untuk duduk, mama membantuku
dan meletakkan bantal di belakang punggungku hingga aku bisa bersandar.
“Aku tersesat bersama seorang cowok
bernama Leo. Dia yang membantuku keluar dari tempat tersebut. Dia
menggendongku, dia merawat lukaku, dan dia ...” kalimatku terhenti.
“Dia nggak apa-apa ‘kan?” aku kembali
bertanya dengan hati-hati.
Dan mereka kembali berpandangan.
“Mereka menemukanmu sendirian, Ki. Nggak
ada seorangpun yang bersamamu ketika tim SAR melihatmu tergeletak di lereng
bukit,”
Aku mengernyit.
“Lantas, kemana dia? Aku bersamanya. Dia
bahkan menggendongku. Apa dia jatuh ke jurang?”
Mereka menggeleng.
“Nggak ada, Ki. Nggak ada siapapun di
sana. Tim SAR sudah menyisir tempat tersebut dan ... kamu sendirian,” Fifi
kembali menjelaskan.
Aku menelan ludah.
“Sebentar, akan kupertegas ini, girls.
Aku tersesat selama hampir 4 hari di hutan, dan aku ketemu seorang cowok yang
juga tersesat di sana bernama Leo. Bagaimana mungkin mereka bilang aku sendirian?Atau mungkin ... dia
bener-bener jatuh ke jurang?” aku mulai kesal sekaligus khawatir.
“Oke, dengerin baik-baik ya Ki. Kami
tahu kamu masih syok setelah apa yang terjadi sama kamu. Tapi, kami akan
ngejelasin ini biar kamu nggak tambah bingung. Sekali lagi, mereka nemuin kamu
sendirian. Nggak ada siapapun di sana, tidak juga dengan sosok cowok yang kamu
bilang tadi. Tapi tak jauh dari tempatmu tergeletak tak sadarkan diri, mereka
nemuin sesosok kerangka manusia yang diperkirakan telah meninggal sekitar 5
tahun yang lalu. Pihak berwajib udah nyelidiki ini. Dan mereka juga udah
mengidentifikasi kerangka tersebut.
Mereka bilang itu adalah kerangka pendaki yang hilang selama 5 tahun yang lalu.
Mereka sudah memastikan bahwa itu adalah kerangka cowok berumur sekitar 17
tahun bernama Leonard Aditya. Pihak
keluarga juga sudah ikut memastika hal itu. Mereka bahkan sudah mengambil
jenasah yang tinggal belulang tersebut. Dan, mereka akan memakamkannya denga
layak besok pagi,” Sonya menjelaskan panjang lebar.
Aku mematung.
Pendaki yang telah hilang 5 tahun yang
lalu? Tinggal tulang belulang? Leo?
Leonard Aditya?
“Kamu pengen ketemu dengan papanya?”
Aku mendongak, menatap ke arah mamaku
dengan tak percaya.
“Papanya ... siapa?” tanpa sadar aku
menggumam.
“Papanya Leonard. Yang kerangkanya baru
ditemukan bebarengan dengan ditemukannya dirimu,” jawab mama lagi. Aku
mengangguk mantap. Dan tak lama kemudian, seorang lelaki berumur sekitar 55
tahun masuk ke kamarku.
Aku membelalak. Astaga, aku seperti
melihat Leo dalam versi yang lebih tua. Wajahnya sama persis. Alisnya yang
tebal, tatapan matanya yang lembut, hidungnya
yang mancung, tulang pipinya, bibirnya ketika tersenyum. Ya Tuhan, itu
dia!
“Kami akan nunggu di luar, Ki. Bicaralah
dengan tenang dengan bapak ini,” Jihan memohon diri di ikuti ketiga sobatku
yang lain, juga papa dan mamaku.
“Selamat siang, nak kiki,” lelaki itu
menyapa duluan dengan ramah. Ia tersenyum. Aku juga tersenyum, kaku.
Dan lelaki itu mulai memperkenalkan
diri. Tujuan ia ke sini menemuiku adalah untuk berterima kasih padaku karena
berkat dirikulah (menurut versi dia) jenasah putranya yang telah meninggal
bertahun-tahun yang lalu dapat ditemukan.
Leonard Aditya, kelas 2 SMA, berumur
sekitar 17 tahun, itu putranya. 5 tahun yang lalu, ia mengikuti acara mendaki
dengan rekan-rekan pecinta alamnya. Tapi setelah itu, ia hilang. Kemungkinan
yang terjadi adalah, ia tersesat, dan akhirnya ditemukan meninggal dengan
menyisakan tulang belulangnya saja.
“Leo meninggal pada saat seusiamu nak
Kiki. Andaikan saja dia hidup, mungkin saja ia sudah sarjana. Ah, dia
benar-benar anak yang baik,” lelaki itu mendesah.
“Tapi om sudah ikhlas. Segala sesuatu
sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Dan om beserta seluruh keluarga besar
kami sudah menerimanya dengan lapang dada. Dan, dengan mewakili mereka semua,
om akan tetap mengucapkan terima kasih pada nak Kiki karena berkat nak Kiki-lah
jenasahnya bisa ditemukan sehingga bisa dikuburkan secara layak. Pastinya
sekarang, Leo sudah lebih tenang di alam sana,”
Aku menelan ludah mendengar penuturan
lelaki itu.
“Bapak masih foto Leo, jika masih, bisakah
saya melhatnya sebentar,”
“Oh ada, om punya fotonya yang selalu om
bawa di dompet,” lelaki itu mengambil secarik foto usang dari dompetnya lalu
menyodorkannya ke arahku. Aku menerimanya dengan tangan gemetar. Aku
memberanikan diri melihat foto tersebut, dan tubuhku serasa kaku.
Itu memang dia. Gambar di foto itu sama
persis dengan Leo yang bersamaku di dalam hutan tersebut.
Ya Tuhan, apa itu bener? Aku telah
menghabiskan waktuku berhari-hari di hutan bersama ... hantu?
Seketika aku merasakan dadaku berdegub
kencang. Udara di dalam ruangan terasa begitu tak biasa. Berdesir aneh hingga
merasuk ke dalam pori-pori tubuhku. Tapi, anehnya aku tak merasa takut sama
sekali.
“Maaf Om, bisakah om membiarkanku
sendirian dulu. Aku ingin ... menanangkan diri. Dan foto ini, bisakah saya
memintanya?”
Dan papa Leo tak keberatan sama sekali.
Lelaki tua itu tersenyum, mengangguk, lalu memohon diri dengan sopan. Selepas
ia pergi, aku duduk mematung seraya mematung potret Leo di tanganku. Dan aku
benar-benar merasakannya. Aura aneh di dalam kamarku.
Aku mendongak dan menatap sekelilingku.
“Aku tahu kamu di sini. Bisakah kamu
temui aku ... Leo,” ucapku.
Dan .... beberapa saat kemudian, sesosok
tubuh perlahan mulai terlihat berdiri di hadapanku, di depan ranjangku
tepatnya. Sosok itu seakan bermula dari asap hingga membentuk sosok manusia
utuh.
Dan aku kembali terperanjat.
Itu Leo. Tetap dengan celana jeans, kaos
oblong putih di padu dengan kemeja warna senada yang terlihat begitu bersih dan
bersinar. Ketika tersesat bersamanya aku sempat menanyakan padanya kenapa dia
memakai baju putih ketika mendaki, dan dia bilang, itu karena ia memang suka
warna putih..
Entah kenapa, tapi aku nggak takut sama
sekali.
Ia terlihat tampan, lebih tampan dari
terakhir kali aku melihatnya.
“Aku nggak takut sama kamu. Bisakah kamu
mendekat,” aku meminta lembut.
sosok itu tersenyum seraya melangkah
mendekatiku. Ia berdiri di samping tempat tidurku.
“jadi ... inikah kamu yang sebenarnya?”
tanyaku.
Dia tersenyum dan mengangguk.
“Kenapa kamu nggak takut padaku?” ia
membuka suara, suara yang masih sama.
Aku menggeleng.
“Entahlah, tapi aku nggak punya alasan
untuk takut padamu,” jawabku.
Kami berpandangan, lama.
“apa kamu punya kekuatan supernatural
hingga kamu bisa melihatku?”
Aku tak segera menjawab.
Perlahan aku menggeleng.
Leo manggut-manggut.
“Oke, aku anggap itu sebuah anugerah
hingga kita bisa bertemu. Dan ... aku ingin ngucapin makasih sama kamu sebelum
aku pergi,”
Aku menatapnya dengan dalam.
“Kamu ... akan pergi?”
“Ya, mereka akan menguburkanku dengan
layak dan aku akan tenang. Jadi, waktunya untuk pergi ‘kan?” jawabnya.
“Sekali lagi, makasih ya Ki. Berkat
dirimu, mereka menemukanmu. Dan ....,”
“Kamu bilang kita tetap akan jadi teman
‘kan?” potongku.
Leo tersenyum kecut.
“Maafkan aku. Itu bohong,” jawabnya.
“Jadi ...”
“Aku akan pergi. Itulah yang seharusnya.
Pokoknya, makasih banget ya. Aku bener-bener seneng kenal sama kamu. Ah,
andaikan aja aku kenal kamu lebih awal, aku pasti ....” kalimat Leo terhenti,
tatapan matanya tulus ke arahku. Begitu dalam seolah-olah tak ingin berpisah
denganku. Aku menelan ludah. Dadaku sesak.
“Apa kita akan ketemu lagi?”
Leo menggeleng.
“Tidak,” suaranya parau.
“Aku harus pergi, makasih ya,” ia
melanjutkan.
“Tapi,”
“Selamat
tinggal, jangan sampai tersesat lagi ya. Jaga dirimu baik-baik, oke,”
“Leo ..”
“Bye,”
Dan dia menghilang. Begitu saja.
Aku mematung. Entah kenapa, aku
merasakan air mataku menitik. Terasa sakit di sini, di dada ini. Dan aku
menyadari, aku telah patah hati, untuk yang pertama kali ..
The End.
Selesai :
3 Desember 2001
Revisi :
24 Juni 2013p.s. gambar adalah Roy Qiu

Tidak ada komentar:
Posting Komentar