Sonya diskor dari sekolah selama
seminggu karena terlibat perkelahian dengan Nita, anak XI-2.
Dan kami sama sekali nggak tahu tentang
kejadian perkelahian itu. Kami juga nggak tahu ada apa sebenarnya antara Sonya
dan Nita. Setahu kami, mereka berdua sama-sama aktif di klub basket dan
kayaknya mereka baik-baik aja tuh selama ini. Lah, sekarang kenapa jadi
jambak-jambakan kayak gini??
“Ada apa sih Son?” tanyaku ketika kami
bersiap-siap pulang, bel sudah berbunyi sekitar 3 menit yang lalu.
Tak seperti biasa dimana Sonya akan
segera menjitak kepalaku jika aku memanggilnya ‘Son’, kali ini ia hanya terdiam
seraya merapikan alat-alat tulisnya, tanpa melihat ke arahku, maupun ke arah
kami.
“Son, plis? Cerita dong ke kami,”
pintaku lagi.
Sonya menarik nafas lalu mendongak ke
arah kami.
“Sori, untuk kali ini, aku belum siap
cerita. Kapan-kapan aja ya kalo aku udah tenang. Aku ingin cepat-cepat sampek
rumah ‘en tidur. Ya?” ia manjawab dengan nada putus asa.
Kami hanya bisa mengiyakan dengan berat
hati. Dan kami nggak bisa tahu info apa-apa dari dia, sampai keesokan harinya.
Sonya selalu menolak cerita.
“Jadi gimana? Nggak ada gosip apa-apa
soal Sonya maupun Nita?” Jihan bertanya ke arahku. Aku terdiam sesaat seraya
memainkan penaku, coret-coret tak menentu di atas bukuku. Olla dan Fifi duduk
tepat di bangku di depanku. Tatapannya lurus ke arahku, seolah-olah nunggu
kalimat dariku.
“aku cuma dengar kalo dia dan Nita
berantem gara-gara cowok. Nggak mungkin banget ‘kan?” jawabku kemudian. Aku dapat
info ini dari beberapa anak yang suka menggosip di kantin. Ketiga sahabatku
melongo.
“Hah, berantem gara-gara cowok?” mereka
bertanya hampir bersamaan. Aku mengangguk sambil memanyunkan bibirku. Kami
saling berpandangan, heran.
Tentu kabar ini aneh buat kami, dan
tentu aja nggak masuk akal.
Kami tahu Sonya tomboi, tapi berantem
gara-gara cowok nggak ada dalam kamusnya! Dia lebih memilih jomblo selamanya
daripada harus adu otot gara-gara rebutan makhluk Adam yang buat dia - nggak
penting sama sekali!
“Kamu pasti dapat info yang salah,” Fifi
menyergah.
Aku kembali mengangkat bahu. Ya, semoga
aja.
“Kita cari aja Nita, mungkin dia mau
jelasin ke kita,” ucap Jihan.
“Dia ‘kan juga di skors. Mau tanya
gimana?” ucapku.
“Dia nggak di skors kok,” jawab Olla polos.
Aku, Jihan dan Fifi melotot ke arahnya.
“Kalo Sonya di skors kenapa Nita enggak?
Kan mereka sama-sama berantem adu jotos?” kami bertnya hampir bersamaan.
“Kata anak-anak, Sonya yang mukul en
jambak duluan. Jadi, kesalahan ada pada Sonya. Makanya si Nita nggak di skors
karena dia dianggap sebagai korban,”
“Jadi kamu tahu soal ini?” Aku nyaris
berteriak.
Olla mengangguk. Aku melotot.
“Busyet,kenapa kamu nggak ngomong dari
tadi?” bentakku. Olla cuma nyengir.
“Ya udah, kita cari aja Nita. Hanya dia
yang bisa jelasin duduk masalahnya. Yuk,”
tanpa menunggu jawaban dari
temen-temenku, aku segera beranjak, menuju kelasnya Nita.
Sesampainya di sana, kami melihat ia
tengah bersenda gurau dengan rekan-rekannya, di depan kelasnya. Kurang ajar
banget sih nih anak. Sonya di skors, eh, dia malah tralala trilili di sini!
“Bisa bicara sebentar?” aku langsung
menyapanya dengan pertanyaan. Tawa Nita segera berhenti dan segera berganti
dengan tatapan kesal ke arahku.
“Oh, ini nih geng-nya. Mau apa? Mau
balas dendam karena rekan kalian yang rese itu di skors? Syukurin,” ia
menjawab, lantang, di dampingi ketiga sobatnya yang mirip bodyguard di sisi
kanan dan kirinya. Amit-amit..
“Siapa yang rese? Sonya maksudmu?” aku
balas menatapnya, lantang.
“Siapa lagi? Si rese yang hobinya
ngerebut pacar orang,” Nita kembali ngoceh.
Nah loh, belum juga di tanya, eh, udah
nyerocos duluan. Suatu kebetulan, banget!
“Bicara deh yang jelas, jangan
muter-muter kayak bajaj,” aku menatapnya gemes.
“Kamu leader-nya? Kalian se-geng kan?”
Nita kembali bertanya syirik.
Aku tergelak.
“Leader apaan? Girlband kaleeee,”
balasku.
Nita melotot, diikuti temen-temennya.
“Oke deh, kalo Sonya terlalu malu untuk
cerita, biar aku yang cerita. Sonya udah
ngerebut Dimas, pacarku. Kami bahkan
belum putus tapi mereka udah bermesraan. Aku juga baru tahu kalo selama ini
mereka selingkuh. Aku mergoki mereka lagi jalan berduaan di Mall. Mesra banget,
kalo bukan selingkuh lantas apaan? Dasar Sonya-nya aja yang kegatelan, sukanya
sama pacar temen. Nggak level banget! Dikasih tau baek-baek, eh, malah ngajakin
berantem. Diskors baru tau rasa,”
Aku melotot.
“Sonya bukan cewek macem gitu!”
terdengar Jihan berteriak dari belakangku.
“Tanya aja sama dia kalo nggak percaya,”
Aku manggut-manggut.
“Oke, aku pasti akan nanya ke dia. Tapi
sebelum semuanya jelas, jaga mulutmu ya. Jangan ngomong sembarangan. Ntar aja
kalo udah ketahuan mana yang bener dan mana yang salah, baru kita buat
perhitungan. Oke,” aku beranjak, diikuti Jihan, Fifi dan Olla. Aku sempat
mendengar Nita mengomel nggak karuan. Ah, bodo amat.
“Jadi, kita kemana Ki? Ke rumah Sonya?”
Aku terkekeh.
“Sonya? Kita sujud-sujud di depannya pun
dia nggak bakalan mau cerita masalahnya. Kalian tahu sendiri ‘kan Sonya itu
kayak apa? So, nyariin dia bakalan percuma,” jawabku.
“Lantas?”
“Nyariin Dimas. Langsung nanya ke sumber
masalah. Kalo dia nolak cerita, akan kubuat dia mau cerita, meski harus nonjok
mukanya sampek babak belur,” jawabku
tanpa menghentikan langkahku.
“Dia kelas XI-7 ‘kan?” aku memastikan
yang selanjutnya disahut oleh rekan-rekanku dengan jawaban ‘ya’.
Oke, langsung ke sumber masalah!
Dimas, kami nggak terlalu kenal dengan
anak itu. Yang kami tahu, dia juga aktif di klub basket, sama seperti Sonya dan
Nita. Jujur kami nggak tahu kalo Dimas ternyata pacar Nita.
***
Kami
bertemu Dimas di lapangan basket, setelah kami tak dapat menemukan cowok itu di
kelasnya. Dia tampak keheranan ketika kami berbondong-bondong mencarinya.
“Bisa ngomong bentar?” kami langsung
menodonganya dengan ajakan. Ia menatap kami sekilas secara bergantian, kemudian
mengangguk pelan.
“Ada masalah, girls? Kalian kelihatan
kayak ... mau ngeroyok orang?” ia bertanya dengan ragu sambil menatap kami satu
persatu.
Kami bergerak menjauhi lapangan basket.
“Kayaknya aku ngerti apa yang akan
kalian omongkan ke aku,” tanpa diduga, Dimas berkata seperti itu. Aku
tersenyum. Good job, hari ini aku
nggak perlu susah-susah untuk ngeluarin banyak energi buat nanya-nanya ke orang
kayak dia.
“Bagus dong. Jadi, gimana nih ceritanya
si Nita dan Sonya sampek berantem gara-gara ... kamu? Yaah, itu sih info awal
yang baru aku dapat,” aku menjawab.
“Aku bener-bener minta maaf atas apa
yang terjadi sama Sonya. Tapi, semua itu karena kesalah pahaman. Aku yang
salah,”
“Kesalah pahaman apa? Siapa yang salah
paham? Siapa yang salah?” Olla bertanya
dengan tak sabar.
Dimas duduk di salah satu bangku panjang
yang berada di pinggir lapangan basket.
“Aku dan Nita emang pernah pacaran
hampir satu tahun. Tapi kami putus sekitar beberapa bulan yang lalu. Yang
jelas, kami nggak cocok lagi. Nita menolak putus, tapi aku tetep pingin putus.
Lalu ... aku mulai deket sama Sonya. Nita kira, aku mutusin dia karena Sonya.
Padahal enggak. Aku deket sama Sonya setelah resmi putus sama Nita,”
“Lah, kenapa Nita bilang kalo kalian belum
resmi putus?”
Dimas mengangkat bahu.
“Sumpah, aku nggak tahu. Yang jelas, aku
udah putus. Kalo dia mikir kami belum resmi putus, ya, itu pendapat dia aja,”
ucapan Dimas terdengar putus asa.
Kami terdiam dan saling pandang.
“Oke deh, untuk sementara ini, itu dulu
aja yang kami pengen tahu. Sisanya, biar kami konfirm sendiri, yuk,” kami
beranjak.
“Aku bener-bener suka sama Sonya,”
ucapan Dimas membuat langkah kami terhenti. Bebarengan kami menoleh ke arah
cowok jangkung nan tampan itu.
“Aku bener-bener ... cinta sama dia,”
ucapnya lagi.
Aku mendesah.
Astaga, kenapa aku harus ikut campur
urusan kayak gini.
Lebay deh!
***
Siang
itu kami mendatangi rumah Sonya. Seperti yang kami duga, sobat kami yang tomboy
itu hanya menghabiskan waktunya di kamar. Awalnya dia tetep nolak cerita tapi
begitu kami mengungkapkan semua yang sudah kami tahu baik dari Nita maupun dari
Dimas, ia akhirnya membuka suara.
“Iya, aku emang deket sama Dimas.
Sumpah, aku bener-bener nggak tahu kalo dia dan Nita belum resmi putus. Oke,
aku tahu kalo mereka emang pacaran. Tapi waktu itu, Dimas bilang kalo dia udah
putus. Eh, nggak tahunya aku dilabrak Nita. Dia nuduh aku ngerebut pacarnya.
Dia bilang mereka belum putus. Ah, aku nggak tahu mana yang harus kupercaya, ”
ia mengeluh.
“Kenapa kamu nggak cerita kalo kamu
deket sama Dimas?” Fifi bertanya dengan bijak.
Sonya tak segera menjawab.
“Aku pikir nggak ada yang perlu
diceritain karena aku sendiri belum yakin,”
“Belum yakin soal apa?” tanya Jihan.
“Soal perasaanku pada Dimas,”
“Maksudnya?” kami bertanya hampir
bersamaan.
“Aku ... belum yakin tentang perasaanku
padanya. Maksudku, oke, aku seneng deket sama Dimas. Aku nyaman bersamanya dan
dia cowok yang baek. Hanya saja aku nggak tahu itu cinta atau bukan,”
Kami terdiam. Sesaat.
“Dan sekarang, apa kau sudah yakin
dengan perasaanmu padanya?” aku bertanya dengan hati-hati. Sonya menatap kami
secara bergantian, dan tiba-tiba tangisnya meledak.
“Aku rindu sama dia. Huaaaa....!”
teriaknya.
Aku, Jihan dan Olla berpandangan. Ah,
ya! Sekarang kami tahu bahwa sobat kami yang cuek dan tomboy ini sedang ....
jatuh cinta!
‘Jatuh Cinta’. Hadeeh, ill-feel gue
dengernya!
***
Hari
itu Sonya sudah diperbolehkan masuk. Dia terlihat biasa, tapi aku tahu dia agak
nervous.
“Are
you okay?”
aku melingkarkan lenganku ke bahunya. Dia terkekeh, angkuh, kayak biasanya
juga.
“Aku selalu baik-baik aja. Nggak peduli
aku harus ketemu Nita ataupun Dimas duluan, aku pasti akan baik-baik aja,”
jawabnya. Kami berlima menyusuri
trotoar dengan riang. Ketika kami nyampek
di depan pintu gerbang sekolah, kami menyaksikan Nita dan Dimas ribut-ribut di
ujung jalan.
“Bakal perang dunia lagi nih,” desisku.
“Bel masuk masih sepuluh menit lagi ‘kan,
girls?” Sonya bertanya.
Kami mengangguk.
“Oke, biar aku bantu nyelesaiin ini.
Siapa yang ikut?” ia beranjak, mendekati Dimas dan Nita. Aku melotot, ketiga
rekanku juga. Tapi kami sepakat mengekor di belakang Sonya.
Melihat kedatangan kami, perdebatan di
antara Nita dan Dimas terhenti. Nita menatap ke arah Sonya dengan tatapan sengit.
“Semua ini gara-gara kamu!” ia
berteriak.
Sonya tertawa.
“Plis deh, siapa gara-gara siapa? Apapun
yang terjadi di antara kalian, aku nggak ikut campur. Mau pacaran ya pacaran
aja. Putus ya putus aja. Jangan salahin siapa-siapa dong. Aku akan ngejelasin
ini berkali-kali, mumpung kita semua di sini. Aku nggak pernah ngerebut Dimas
darimu, Nita. Bahkan jika aku harus di skors lagi, aku tetap akan nonjok
hidungmu kalo kamu berani nuduh aku lagi. Dan aku juga nggak keberatan untuk
menjambak rambutmu lagi jika kamu berani menuduhku pencuri pacar orang,”
kalimat Sonya terdengar serius.
“Kami emang deket, tapi setelah kalian
putus. Setidaknya itu yang di ucapin sama Dimas,”
“Ya, kami emang udah putus,” Dimas
menjawab. Nita melotot.
“Tapi aku belum bersedia putus, Dimas,”
ia menyangkal, manja. Amit-amit deh...
“ya
itu terserah kamu. Yang penting aku mau putus, titik,”
Dimas dan Nita kembali bersitegang. Kami
serasa nonton sinetron live di sini, di pinggir jalan.
“Hellooo, terserah deh kalian mo
berantem di sini sampek sore apa sampek besok, suka-suka kalian. Tapi satu hal
yang pasti, aku nggak ngerebut Dimas dari kamu,” Sonya menatap ke arah Nita.
“Dan kamu, Dim,” ia ganti melihat ke
arah Dimas.
“Aku cinta sama kamu. Jika kamu sudah
resmi putus dengan Nita dan urusan kalian sudah selesai, kayaknya kita bisa
mulai dekat lagi. Telpon aku jika kamu sudah siap, oke,” Sonya berbalik,
meninggalkan kedua orang tersebut dengan angkuh. Aku, Olla, Jihan dan Fifi
hanya melongo.
Nah, ini dia! Sonya yang cuek dan pemberani!
“Kalian mau disini disitu terus nonton
mereka berantem, apa ikut masuk ke kelas?” Sonya berteriak dari samping gerbang
sekolah. Aku, Jihan, Fifi dan Olla terhenyak dari kebengongan kami.
“masuk kelas dong,” kami menjawab seraya
berlari-lari menghampiri Sonya. Dan kami seneng karena Sonya ceria lagi...
The End

Tidak ada komentar:
Posting Komentar