Hari
ini sekolah kami ngadain rekreasi ke hutan hujan tropis terbaik di Indonesia.
Selain untuk rekreasi, kami juga dapet tugas untuk membuat laporan tentang
tempat tersebut. Sebenarnya aku suka petualangan, banget bahkan. Aku suka
menjelajah, aku suka mendaki, dan aku suka petualangan di tempat-tempat seperti
ini. Tapi untuk kali ini, hanya untuk kali ini aja, aku nggak suka.
Aku bener-bener lagi nggak mood untuk mengikuti
acara ini. Alasannya, capek. Beberapa hari yang lalu aku baru aja dari
Surabaya, adiknya mamaku punya hajatan mantu. Habis itu, kami langsung terbang
ke Bali, untuk nganterin kakakku yang di pindah tugaskan ke sana oleh
perusahaan tempatnya bekerja. Trus, klub pecinta alam baru aja ngadain
pendakian dan aku baru aja balik ke rumah kemarin sore. Dan sekarang, aku harus
ikut acara kayak gini. Astaga, tenagaku serasa habis!
“Ki, dah nyampe tuh,” aku merasakan Fifi
menggoyang-goyangkan bahuku. Aku membuka mata dengan malas.
“Oke,” jawabku ogah-ogahan.
“Bagi rombongan yang udah sampai, segera
turun dari bis dan berkumpul bersama kelompoknya masing-masing!” suara pak
Abdul dari mega phone terdengar menggelegar. Aku segera meraih tasku lalu
menggerakkan tubuhku turun dari bis dengan malas. Tampak rekan-rekan satu kelompokku udah turun
duluan. Mau tahu siapa aja kelompokku? Ahai, kayak biasanya. Fifi, Olla, Jihan
‘n Sonya. Kebetulan? Hah, tentu aja enggak. Fifi punya koneksi kuat untuk bisa
ngatur-ngatur personil kelompok seenak jidatnya dia! Kan udah aku bilang,
ortunya tuh tajirnya selangit.
“Jihan
mana?” tanya Sonya. Aku menatap sekeliling dengan tatapan setengah menyipit.
“nggak tahu, tadi udah turun duluan
kok,” jawabku.
“Siapkan buku kalian dan segera pergi ke
pos pertama yang telah di tentukan tadi!” pak Abdul kembali berteriak. Aku menatap
sobat-sobatku dengan datar.
“Yuk, segera berangkat biar bisa cepet
pulang,” aku melangkah.
“nggak nunggu Jihan?” tanya Fifi. Aku
menggeleng.
“Kayaknya tadi aku sempat lihat dia
gabung di kelompoknya Bagus. Jadi, segera aja kita berangkat ‘en ketemuan
dengannya di pos pertama,” ucapku yakin. Ya, tadi aku emang sempat lihat Jihan
turun duluan dari bis lalu gabung dengan kelompoknya Bagus. Bagus dan Jihan
adalah sahabat sejak kecil. Mereka sangat akrab. Dan kayaknya Bagus adalah
satu-satunya cowok yang kebal dengan semua komplain yang keluar dari mulut
Jihan.
“Oke deh, Yuk,” kami melangkah.
“Well, apa yang mesti kita catat? Pohon
paling tua? Pohon paling muda? Monyet paling cakep? Atau ... bla bla bla bla,”
sepanjang perjalanan itu aku hanya mengomel dan mengomel. Kayaknya gelar miss
komplain dari Jihan bakalan jatuh ke tanganku deh!
“Kok Jihan tetap nggak ada sih?” Sonya
seakan mengingatkan. Dan, emang iya. Nyaris sepanjang perjalanan kami nggak
melihat batang hidung cewek tersebut.
“Jangan-jangan dia tersesat?” ucap Fifi.
Aku mendelik. Bayangan Jihan yang tersesat di dalam hutan seakan membuatku
terjaga dari tidur.
“Jangan nakut-nakutin deh,” jawabku
grogi.
Dan, firasat itu emang bener. Sepanjang
kegiatan kami nggak ketemu sama Jihan. Hingga akhirnya kami melaporkan ini pada
pak Abdul. Dan diperoleh-lah kesimpulan : Jihan ilang!
Suasana rekreasi yang tadinya ceria
berubah mencekam. Kami semua gelisah, resah. Pak Abdul bahkan sudah meminta tim
SAR untuk membantu pencarian Jihan. Tapi sampai sore, sosok itu tak bisa
ditemukan.
“gimana ini? Kenapa Jihan belum juga
ketemu?” tanya Fifi cemas. Aku membisu, sama cemasnya.
“tadi di dalam bis, Jihan duduk sama
siapa?” pak Abdul bertanya. Tak ada yang menjawab.
“Trus, yang terakhir yang ngelihat dia
siapa?” beliau bertanya lagi. Dan tetap tak ada yang menjawab.
Pak Abdul ganti menatap ke arahku.
“Ki, kamu sebagai ketua kelas, kamu
bener-bener udah ngecek keberadaan rekan-rekan sekelasmu ‘kan?”
Aku mengangguk.
“Dan apakah kamu yakin kalo dia hadir?”
pertanyaan pak guru yang satu ini sempat membuatku ragu. Tapi aku kembali
mengangguk.
“Dia tadi pakai baju atasan biru muda
dengan celana jeans belel warna senada. Topi warna hitam dan tas ransel besar
warna abu-abu. Persis kayak yang dipakai sama Lena,” jawabku seraya menunjuk ke
arah Lena. Kaos, celana, topi dan juga tas yang sama. sama!?? wait!
Jihan punya body yang sama dengan Lena.
Tingginya sama, langsingnya sama, rambut ikal yang dipotong sama, warna kulit
yang sama, tak heran kalo mereka bahkan pernah dianggap sebagai saudara.
Apa mungin mereka udah janjian untuk
pake baju ‘en asesoris yang sama? Atau, aku yang salah absen? Atau, aku yang
salah lihat? Atau, ...
Pertanyaan di kepalaku masih semrawut
dan belum menemukan titik temu ketika kami mendengar sebuah teriakan. Kami
menoleh, dan suara cempreng itu datang dari Olla! Cewek imut itu menutup
mulutnya dengan takut-takut.
“Kenapa sih, La. Bikin orang jantungan
aja,” omelku seraya melotot ke arahnya. Olla nyengir.
“Ki, sepertinya akyu baru ingat sesuatu,”
ucapnya, lebay kayak biasanya. Ia menyeringai sampai-sampai gigi putihnya yang
berbaris rapi terlihat.
“Apaan?” tanyaku tak sabaran.
Olla kembali nyengir.
“Aku lupa bilang kalo Jihan emang nggak
ikut acara rekreasi ini,” ucapnya kemudian.
Jreengg! Kami melotot.
“Appaaaa???” kami berteriak, nyaris
bersamaan.
“Kemarin sore dia dateng ke rumahku ‘en
bilang kalo dia nggak bisa ikut kegiatan ini. Ia harus ke Surabaya mengunjungi
kakeknya yang sakit. Sebenarnya dia juga nitipin surat ijin. Tapi ... aku juga
lupa membawanya, hehe,” Olla cengengesan.
Aku merasakan kepalaku ditimpuk dengan
batu segede bola basket. Jadi, pencarian selama berjam-jam tadi? Tim SAR yang
udah banting tulang nyariin keberadaan Jihan?
“Ollaaaa..!!! kenapa kamu nggak bilang
dari tadi??” Aku menjerit histeris bercampur kesal.
“Lha, kamu sendiri kenapa bisa salah
ngabsen??” Dia protes.
Kami bersitegang.
Semua orang menatap ke arahku, lalu ke
arah Olla, lalu kembali lagi ke arahku, bergantian.
Astaga, mampus gue!!
The End
Selesai : 16 September 2001
Revisi :
18 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar