Rabu, 31 Desember 2014

Come back to me, Bad Guy! - Part 6



Bab 6
           
                   Hilda menatap Richard yang berdiri membelakanginya di depan jendela ruang tengah. Selama dalam perjalanan pulang dari pesta tersebut, mereka sama-sama tak membuka suara sedikitpun.
“Sekarang, apa yang ingin kau jelaskan? Akankah kau kembali mengelak bahwa kau memang benar-benar tertarik pada wanita itu setelah apa yang kau lakukan padanya tadi?” akhirnya Hilda membuka suara. Richard tak menjawab. Pandangannya lurus menerobos jendela ke arah taman bunga di luar sana. Tangan kirinya ia kepalkan di dalam saku celananya sementara tangan yang satunya ia sandarkan pada kusen jendela. Masih terlihat jelas ada nada amarah di wajahnya. Entah marah pada apa, Hilda tak bisa menebaknya.
“Kenapa kau diam? Apa kau tak berani mengakui kebenarannya padaku? Apa kau tetap tak berani bicara jujur padaku bahwa selama ini kalian berselingkuh di belakangku?”
“Perselingkuhan itu tidak ada, Hilda! Harus berapa kali aku bilang padamu tentang hal ini! Begitu sulitkah kau percaya padaku?” Richard menatap istrinya dengan kesal, sekilas, lalu kembali membuang pandangannya ke luar jendela.
“Tidak, aku tidak akan pernah bisa percaya padamu! Selama ini kau menatap Anne dengan cara yang berbeda. Jelas sekali terlihat bahwa kau terpesona olehnya. Di pesta tadi kau bahkan menatapnya nyaris tak berkedip. Aku tahu pasti bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara kalian. Aku tidak akan bisa di bohongi!” Hilda kembali berteriak.
Richard terdiam.
“Kau tahu, sebenarnya aku memang sengaja mempekerjakan Anne sebagai asisten pribadiku karena aku ingin mengetesmu,”
Richard mengernyitkan dahinya. Ia berballik dan menatap Hilda dengan heran.
“Apa kau bilang?”
“Ya, aku memang sengaja ingin mengetes kesetiaanmu dengan memanfaatkan dia. Pertama kali melihatnya aku sangat terpukau karena dia begitu cantik. Akhirnya aku terpikir untuk tetap memakainya sebagai asistenku. Aku ingin melihat reaksimu ketika bertemu dengannya. Dan, dugaanku benar. Kau tergoda olehnya. Sama halnya dengan Robert yang tergoda setengah mati dengan wajah cantiknya,” kedua mata Hilda tampak berkaca-kaca menahan amarah.
“Kau mengetes suamimu sendiri melalui wanita lain?” kalimat Richard terdengar getir.
“Ya,” Hilda menjawab tegas.
Richard tertawa sinis.
“Sampai kapan kau akan melakukan ini padaku, Hilda?” tanyanya dengan suara parau.
“Tidakkah apa yang kulakukan padamu selama ini cukup untukmu? Aku selalu  menuruti semua kemauanmu. Kau memintaku berhenti berkarir dengan alasan tak masuk akal karena takut aku tergoda wanita lain, aku melakukannya. Kau memintaku mengurus rumah tangga dan tinggal di rumah saja, akupun melakukannya. Ketika aku mendambakan seorang bayi hadir di antara kita dan kau menolaknya dengan alasan kau belum siap karena karirmu sedang bagus dan kau takut bentuk badanmu berubah, akupun tak mempermasalahkannya. Tidakkah itu cukup bagimu? Kau pikir aku melakukannya untuk apa? Hilda, aku tahu kau trauma dengan perilaku ayahmu, tapi kau tak bisa menyamakan aku dengannya!” suara Richard berteriak.
“Jangan menyebut ayahku!” Hilda balas berteriak.
Aku menyayangimu, Hilda. Aku bahkan tak ingin menyakitimu meskipun kau telah memperlakukanku sebagai pecundang. Semua ku lakukan demi keutuhan rumah tangga kita. Aku tak ingin merusak komitmen dalam perkawinan kita karena perkawinan adalah hal yang sakral. Selama ini aku selalu berkompromi denganmu dan menoleransi semua kelakuanmu karena aku tidak ingin keluarga kita berantakan. Tidakkah semua pengorbananku itu cukup untuk membuatmu membuka mata lebar-lebar? Aku tahu kau mencintaiku dan takut kehilanganku. Tapi sikapmu sudah keterlaluan. Kau terlalu posesif dan selalu bersikap curiga padaku. Dan ... aku sudah tak tahan lagi,”
Hilda tertawa sinis.
“Tapi kau benar-benar tertarik pada wanita itu ‘kan?” tanyanya dengan nada tajam.
“Ya,” jawab Richard tegas hingga membuat Hilda tersentak. Ia tak menyangka bahwa Richard akan bicara sejujur itu.
“Jadi benar kalian berselingkuh? Apa dia menggodamu? Apa kalian tidur bersama?!” Hilda kembali berteriak-teriak dengan histeris. Dan Richard tak berusaha menenangkannya seperti biasanya jika mereka sedang bertengkar. Ia tahu, itu takkan ada gunanya.
“Tidak pernah ada perselingkuhan di antara kami, Hilda. Camkan itu baik-baik! Dia wanita terhormat dan dia tidak pernah menggodaku. Tapi bahwa aku memang tertarik padanya, itu adalah sebuah kebenaran. Sejak dulu malahan. Bahkan sebelum aku bertemu denganmu,”
Hilda membelalak.
“Apa maksudmu?”
“Anne adalah wanita pertama yang aku cintai. Dia adalah wanita pertama yang sanggup membuat hatiku berdebar-debar. Aku sudah jatuh cinta padanya setengah mati, jauh sebelum aku bertemu denganmu. Kau tahu kenapa? Karena dia adalah kekasihku semasa di bangku kuliah,”
Hilda kembali membelalak. Wanita itu terduduk lemas di sofa. Dan Richard membiarkannya.
Aku sudah hampir melupakannya, Hilda. Aku sudah hampir melupakannya. Tapi tiba-tiba saja ia kembali hadir di hadapanku dan kembali membuat jantungku berdebar-debar. Haruskah aku berterima kasih padamu karena kau yang membawanya kembali ke hadapanku?” Richard kembali menatap istrinya dengan tatapan putus asa. Air mata Hilda menitik.
“Aku tak ingin menyakitimu. Tapi jika kau menghendaki kebenaran, inilah yang sebenarnya. Aku mengagumi dan menyayangimu, Hilda. Tapi aku sadar bahwa itu bukan cinta. Jikalau perkawinan kita bisa bertahan selama ini, itu karena aku selalu berkompromi denganmu dan dengan diriku sendiri. Terlalu banyak toleransi dan aku sudah tak sanggup lagi. Dulu kau memang rapuh. Dan itu yang membuatku ingin senantiasa bersamamu, untuk melindungimu. Tapi sekarang, kau mampu melakukan semuanya sendiri. Kau bahkan tega membiarkan mantan bawahanmu nyaris menjadi korban pelecehan seksual. Kau sudah cukup kuat sekarang. Dan itu tandanya ... waktunya bagiku untuk mengucapkan salam perpisahan padamu,
Kalimat Richard yang terakhir membuat Hilda kembali membelalak untuk yang kesekian kalinya.
“Apa maksudmu?”
“Kita berpisah,”
“Kau akan menceraikanku?”
Richard menggeleng.
“Aku tidak tahu. Yang jelas, aku perlu waktu untuk menyendiri,” lelaki itu beranjak.
“Karena wanita itu?”
“Tidak, Anne tak ada hubungannya dengan hal ini. Ada dia atau tidak, kita tetap harus berpisah. Aku sudah tak sanggup menjalani perkawinan semacam ini. Aku lelah,”
Hilda terisak.
“Aku akan segera mengemasi barang-barangku dan keluar dari rumah ini. Aku akan tinggal di hotel. Jangan khawatir, aku masih punya sisa tabungan dari keringatku sendiri,”
Richard beranjak. Tapi Hilda segera menghalau dan memeluknya. Ia terus terisak.
“Kumohon, jangan tinggalkan aku. Aku benar-benar tak bisa hidup tanpamu,” teriaknya.
Richard melepaskan dirinya dari pelukan Hilda dengan perlahan.
Jika kita terus bersama, kita hanya akan saling menyakiti, Hilda. Dan aku tak bisa berkompromi lagi dengan hatiku untuk tetap bersamamu. Aku lelah. Lelah luar biasa,,” ucap Richard tegas. Tak ada lagi yang bisa mempengaruhi keputusannya. Bahkan ketika Hilda bersimpuh padanya, ia tetap mengemasi barang-barangnya dan memutuskan untuk segera keluar dari rumah tersebut. 


***

          Anne menerima surat pemecatan dirinya beberapa saat setelah ia  menginjakkan kakinya di ruang meeting. Ya, ia sudah menduga akan hal ini. Keributan tadi malam di pesta tersebut pasti membuat pak Robert naik darah dan akhirnya memecatnya. Meskipun sebenarnya keributan tersebut adalah murni kesalahan lelaki bertubuh tambun tersebut. Tapi, itulah bos, orang kaya yang  pastinya mau menang sendiri.
Tapi, bukan hanya masalah pemecatan dirinya yang membuatnya risau. Tapi ia takut jika kejadian tadi malam akan berujung di meja hijua. Pak Robert pasti tidak terima dengan perlakuan Richard dan bisa saja ia menuntutnya secara hukum atas perihal penganiayaan.
“Ada apa sebenarnya, Anne? Kenapa mereka memecatmu tanpa alasan? Ini pasti ada yang tidak beres,” Brian terlihat begitu kesal.
“Aku pasti akan menceritakan duduk permasalahan yang sebenarnya padamu, Brian. Tapi tidak sekarang. Saat ini, aku harus segera menemui pak Robert dan menyelesaikan segalanya. Maafkan aku. Kita akan bicarakan ini lagi, oke?” Anne beranjak dengan tergesa-gesa meninggalkan Brian yang masih terlihat bingung dengan apa yang terjadi.
Ketika Anne sampai di kantornya, pak Robert sudah ada di sana. Duduk di kursinya, seperti biasanya. Lelaki itu mendongak, menatap Anne dengan lekat, lalu tersenyum. Sama seperti biasanya, seolah-olah peristiwa semalam tak pernah terjadi.
Kau sudah menerima surat pemecatanmu?” ia membuka suara.
“Kenapa anda melakukan hal ini padaku? Jelas-jelas anda tahu bahwa keributan semalam bukanlah kesalahanku,” Anne nyaris berteriak.
Pak Robert manggut-manggut.
 “Ya, aku tahu, Anne. Aku yang salah. sepertinya aku terlalu banyak minum alkohol semalam sehingga pikiranku kacau dan tindakanku kurang sopan. Jadi secara pribadi, aku ingin minta maaf padamu. Beberapa jam yang lalu aku juga sudah menelpon Richard dan meminta maaf secara langsung padanya. Dan kami sepakat untuk sama-sama tidak membawa masalah ini ke meja hijau. Jadi, ku harap kau juga bisa berdamai denganku,”
Anne nyaris tertawa kesal dengan semua kalimat yang meluncur dari bibir atasannya itu. Ia tahu bahwa pak Robert bukanlah tipe orang yang mudah meminta maaf. Tapi dalam kasus ini, tentunya orang ini tak mau ambil  resiko dengan berurusan dengan hukum. Toh dilihat dari segi manapun, ia tetap saja bersalah karena telah berusaha melecehkan Anne sebagai perempuan.
“Jadi, kenapa aku tetap dipecat?”
“Hilda yang merekomendasikan atas pemecatanmu,”
Anne terhenyak.
Bu Hilda? Kenapa dia harus melakukannya? Aku merasa tak punya salah apapun padanya. Dia bahkan sudah tidak lagi menjadi atasanku,” ujar Anne kesal.
Pak Robert hanya mengangkat bahu.
“Kau tahu sendiri ‘kan siapa dia? Dia adalah salah satu wanita paling berpengaruh di perusahaan kita. Jadi jangan kaget jika dia bisa melakukan apapun yang ia suka, termasuk mendepak orang-orang yang tidak ia sukai. Jujur, aku tak ingin kau pergi, Anne. Tapi ini sudah kehendak perusahaan. Jika kau mau tahu alasan pemecatanmu, kau bisa tanya langsung pada Hilda,”
Anne terdiam sesaat.
“Oke, saya akan menemui dia di ruangannya,” jawabnya kemudian.
“Temui saja langsung di rumahnya karena hari ini dia tidak ke kantor,” pak Robert kembali memberikan saran. Anne mendesah.
“Oke, saya akan ke rumahnya,” jawabnya kemudian seraya melangkahkan kakinya meninggalkan kantor pak Robert. Dan Anne memang benar-benar pergi ke rumah Hilda dengan naik taksi. Ketika sampai di rumah tersebut, ia tak menemui kesulitan apapun untuk bertemu wanita tersebut. Entahlah, tapi sepertinya wanita itu seolah-olah sudah menyiapkan diri untuk menyambut kedatangan Anne.
“Aku sudah menduga kau akan datang ke sini,” sapa Hilda angkuh seraya duduk di kursi ruang tamu, tanpa menyilahkan Anne duduk. Perempuan itu ia biarkan saja berdiri di dekat  meja kaca yang berada tak jauh darinya.
“Kau pasti ingin menanyakan alasan atas pemecatanmu ‘kan?”
Anne mengangguk.
“Kenapa saya harus dipecat bu? Jika inti permasalahnnya adalah keributan semalam, bukankah anda tahu sendiri bahwa itu semua bukan kesalahan saya. Pak Robert yang berusaha melecehkan saya. Entah apa yang akan terjadi jika suami anda tak menyelamatkan saya,” ucapnya.
Hilda tersenyum sinis.
“Itulah masalahnya, karena Richard menolongmu makanya aku ingin segera mendepakmu dari perusahaan,”
Anne mengernyitkan dahinya.
“Apa maksud anda?”
“Aku benar-benar membencimu, Anne. Aku bahkan sudah membencimu sejak pertama kali bertemu denganmu. Dan sekarang, aku makin membencimu setelah apa yang kau lakukan padaku. Setelah aku tahu bahwa ternyata dulu kau dan Richard adalah sepasang kekasih!” Hilda berteriak. Anne tersentak.
“Bagaimana mungkin kalian menyembunyikan hal ini dariku? Bagaimana mungkin kalian bisa bertemu hampir setiap hari dan berpura-pura baru saling mengenal?” Hilda bangkit dari tempat duduknya.
“Bagaimana anda bisa tahu?”
“Itu tidak penting. Toh kalian sudah berhasil memperlakukanku seperti orang tolol karena tak tahu cerita apa-apa tentang kalian,”
Anne mendesah. Ia menatap Hilda dengan tatapan kesal.
“Apa yang terjadi antara aku dan Richard adalah masa lalu. Dan itu bukan sesuatu hal yang penting untuk dibahas ataupun dibicarakan lagi. Kenyataannya adalah sekarang dia sudah menikah dan hidup bahagia dengan anda. Mau apa lagi? Kami tetap kembali sebagai teman. Percayalah, hubungan kami sudah selesai. Dan kami hanya berteman sekarang. Anda tak perlu secemburu itu, bu Hilda,”
“Selesai? Kau menganggapnya selesai? Kenyataannya Richard masih saja mengharapkanmu. Jika tidak, ia tidak akan mau repot-repot menolongmu, mengkhawatirkanmu, membelamu. Oh, kalian benar-benar ___ sialan!” Hilda menatap Anne dengan tajam dan penuh amarah.
“Sebenarnya kau ingin bicara apa?” Anne mulai menggunakan kalimat yang tak formal karena makin kesal dengan Hilda.
“Richard ingin menceraikanku. Kau puas sekarang?” teriak Hilda lagi. Anne membelalak.
“Apa?”
“Dia ingin menceraikanku karena kau!”
“Aku?”
“Ya, karena kau. Karena kau kembali lagi ke kehidupannya hingga ia kembali terpikat olehmu. Dan sekarang, dia ingin mengakhiri pernikahan kami! Semua ini karena kau, wanita jalang!”
Anne tergelak sinis. Ia mulai sadar bahwa ia sedang mengalami perang sekarang. Dan ia takkan mundur lagi.
“Oh, apa sekarang kau ingin mencari kambing hitam? Apa kau ingin menyalahkan orang lain atas kesalahanmu sendiri?”
Hilda mengangkat alis.
“Kau bilang apa? Kesalahanku sendiri?” ia tertawa sinis.
“Ya, kesalahanmu sendiri. Aku berani bertaruh bahwa selama ini kalian menjalani perkawinan dengan tidak bahagia. Jadi, ada aku atau tidak di antara kalian, perkawinan kalian sudah bermasalah. Ayolah, Hilda, semua orang juga tahu bagaimana kau memperlakukan suamimu. Kau memperlakukan dia seperti pecundang. Kau menyuruhnya di rumah, memasak, mencuci, menyuruhnya ini dan itu, apa kau pikir tindakanmu tidak melukai harga dirinya!”
“Tutup mulutmu! Dia melakukannya karena dia mencintaiku!”
“Oh ya? Apa sekarang kau ingin mengatakan bahwa ia ingin menceraikanmu karena ia sudah tak mencintaimu lagi?”
Hilda bangkit dan Plakk! Tamparan itu melayang ke pipi Anne yang mulus. Anne meringis kesakitan.
“Tutup mulutmu, perempuan jalang!” teriak Hilda. Anne menatapnya dengan tajam. Dan __ plakk! Ia membalas menampar pipi Hilda. Perempuan cantik itu sempat berteriak kesakitan. Ia menatap Anne dengan heran karena tak mengira bahwa ia berani membalas menamparnya.
“Kenapa? Kau pikir aku takkan berani memukulmu? Sekarang aku bukan lagi bawahanmu. Jadi, berhentilah memperlakukanku seperti sampah!” ucap Anne dengan sengit.
Kedua perempuan cantik itu saling menatap dengan tajam.
“Jangan pernah menyalahkan orang lain atas apa yang menimpamu saat ini. Jika Richard meninggalkanmu, pikirkanlah apa yang telah kau perbuat padanya? Tidakkah kelakuanmu padanya selama ini keterlaluan? Dia lelaki dewasa yang punya harga diri, Hilda. Tapi kau mengebiri kebebasannya. Aku tahu dan aku yakin bahwa kau juga tahu bahwa impian Richard selama ini adalah menjadi pengacara nomor 1 di negeri ini. Tapi nyatanya, kau menghancurkan impiannya. Kau bahkan harus mengatur dengan siapa ia bertemu, berteman, bahkan menjalin hubungan. Apakah kau pikir sikapmu itu bisa di benarkan?”
“Dia___”
“Oh, tidak, jangan salah. Richard tidak pernah menceritakan apapun padaku berkaitan dengan masalah pribadinya meskipun sekarang kami sudah berteman. Itu karena ia sangat menghormatimu dan menghormati perkawinanan kalian. Jika aku tahu sedikit tentang hubungan kalian, itu karena secara tidak sengaja aku menangkap semuanya ketika aku masih menjadi asistenmu,” Anne berkata panjang lebar. Hilda terisak. Ia terduduk di kursi dengan lemas dan entah mengapa Anne menjadi begitu iba padanya.
“Apa yang ku lakukan padanya selama ini karena aku sangat mencintainya dan tak ingin kehilangan dia,” ia menggumam, dengan nada suara yang lebih tenang.
“Tapi kau terlalu posesif, Hilda. Dan itu tidak bagus,”
“Aku tahu, tapi memikirkan dia bertemu dengan wanita lain lalu berpindah ke lain hati, hatiku sakit,”
“Nah, itu  masalahnya. Kau tak pernah bisa mempercayainya. Kau terlalu curiga dan paranoid. Padahal kau tahu sendiri bahwa Richard berusaha untuk membahagiakanmu. Aku bisa lihat itu dari caranya memperlakukanmu. Ingat, aku juga pernah menjadi kekasihnya. Jadi, aku masih hafal bahasa tubuhnya ataupun sorot matanya. Dia tulus ingin membahagiakanmu dan harusnya kau bersyukur akan hal itu. Tapi sepertinya, kau terlambat menyadarinya,” ucap Anne lagi. Hilda kembali terisak. Anne yang berinisiatif mengambilkan tisue di meja dekat aquarium lalu menyodorkan ke arah Hilda. Perempuan itu menerimanya lalu menghapus air matanya.
“Kenapa dulu kalian putus?” tanyanya kemudian.
“Karena kau,” jawab Anne enteng.
Hilda  terhenyak. Ia mendongak dan menatap Anne dengan rasa tak percaya.
Itu benar, dia meninggalkanku karena dia tergoda denganmu,” jawab Anne enteng.
“Dan sekarang kau senang karena rumah tangga kami berantakan?” tanya Hilda sinis. Anne mendesah.
“Sudahlah, Hilda. Apakah itu penting untuk  membahas masa lalu kami?”
“Apa kau masih mencintainya?”
“Apakah itu penting bagimu untuk mengetahuinya?”
“Tentu,”
“Untuk apa? Untuk kembali melancarkan tuduhan bahwa kami berselingkuh? Ah, sudahlah, Selesaikanlah masalahmu sendiri. Aku tak mau ikut campur. Sekarang, aku sudah tahu alasan pemecatanku. Dan terima kasih, aku juga malas kembali ke perusahaan itu lagi,” jawab Anne. Ia berniat beranjak tapi kalimat Hilda membuat langkahnya terhenti.
“Dia sudah pergi, Anne,” ia menggumam.
Anne mengernyitkan dahinya.
“Siapa?”
“Richard. Semalam ia meninggalkan rumah. Ia mengemasi semua barang-barangnya. Dia bilang, dia akan tinggal di hotel untuk sementara waktu. Dan kami akan bertemu lagi di pengadilan untuk mengurus perceraian kami,” Hilda tampak begitu menyedihkan saat itu. Rapuh dan menderita. Sempat ada rasa iba menggelayutinya. Tapi kemudia ia sadar, Hilda sudah tumbuh menjadi perempuan kuat. Lebih kuat dari yang ia bayangkan.
Anne menatap perempuan itu dengan dalam tanpa tahu harus bicara apa. Hingga akhirnya, ia kembali melangkahkan kakinya dan meninggalkan perempuan itu sendirian.
Sebenarnya Anne berniat kembali ke perusahaan untuk mengemasi barang-barangnya karena ia sudah bertekad untuk menerima pemecatan dirinya.  Tapi, kembali ia tak bisa mengenyahkan Richard dari kepalanya!
Ia mengkhawatirkannya. Ia ingin menemuinya, menanyakan banyak hal, dan mengetahui keadaannya setelah apa yang terjadi dengan Hilda. Apakah ia terluka? Apakah ia baik-baik saja?
I’m stuck on you, damn!” desisnya dengan kesal. Akhirnya, dengan sedikit menggerutu, ia berbalik arah dan mulai mencari Richard dengan mendatangi setiap hotel di kota tersebut, satu per satu!


***
Bersambung...


Gambar : Adam Levine

Minggu, 28 Desember 2014

Come Back to me, Bad Guy! - Part 5



Bab 5

Jam menunjukkan pukul 11 malam tapi kafe itu masih terlihat ramai. Richard dan Anne masih terus saja mengobrol.
“Aku hanya takut Hilda kembali melakukan hal-hal buruk padamu. Makanya aku menanyakannya padamu kenapa sekarang kau tak pernah lagi berkunjung ke rumah kami,” ucapnya.
“Jadi dia tidak memberitahumu kalau sekarang aku tak lagi menjadi asisten pribadinya?”
Richard mengangkat alis.
“Apa kau dipecat?”
Anne menggeleng.
“Mereka hanya memindahkanku ke bagian personalia. Sekarang aku menjadi asisten pak Robert,”
Richard menatap perempuan di depannya dengan setengah tak percaya.
“Robert? Maksudmu Robert Alan?”
Anne mengangguk.
“Kau mengenalnya?”
Richard mengangguk.
“Tentu saja aku mengenalnya. Aku memang baru di kota ini. Tapi sebelum itu, aku sudah lama mengenal lelaki itu. Beberapa kali aku sempat bertemu dengannya ketika kami sama-sama menghadiri pesta ataupun acara bisnis. Dan percayalah, dia bukan orang yang baik. Dia lelaki tua yang sudah beristri dan punya 3 orang anak. Tapi matanya tak berhenti menggoda wanita-wanita cantik. Aku bahkan mendengar kalau dia punya banyak istri simpanan di luar sana,” Richard terdengar menggebu-nggebu.
“Apa dia juga menggoda istrimu?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Anne.
“Mm, entahlah. Aku tak terlalu ingat. Tapi sepertinya ia pernah mencoba mengajaknya makan malam, hanya sekali,” jawab Richard.
“Mungkin dia tak terlalu berani menggoda istrimu karena mereka punya kedudukan yang sama di perusahaan,” Anne asal memprediksi.
“Berhati-hatilah dengannya, Anne. Percayalah padaku, dia bukan lelaki yang baik,” ucapan Richard terdengar seperti sebuah permohonan.
Anne manggut-manggut.
“Ya, aku tahu. Tapi tenanglah, aku selalu banyak cara untuk menolaknya,” jawabnya kemudian.
Richard menatap perempuan itu dengan dalam.
“Menolaknya? Maksudmu, apa dia juga pernah menggodamu?”
Anne tergelak.
“Hampir setiap hari. Ia bahkan sudah melakukannya sejak aku menginjakkan kakiku pertama kalinya di perusahaan tersebut. Kau tahu, ia bahkan pernah menawariku untuk memberikan sebuah villa dan mobil mewah jika saja aku mau melayaninya di tempat tidur,” jawab Anne enteng yang justru membuat Richard terhenyak.
“Tidak bisakah kau menolak keputusan pemindahanmu? Kau benar-benar terlihat tak aman berada di sampingnya,” tukas Richard lagi.
Anne terkekeh.
“It’s okay. Toh selama ini aku masih bisa menjaga diriku. Aku akan menendangnya jika dia berani macam-macam denganku,” jawabnya seraya menyeringai nakal.
“Sampai kapan kau bisa membuatmu dirimu aman? Dia lelaki yang tak bisa diprediksi,” tatapan Richard terlihat putus asa. Apakah ia mengkhawatirkanku? Pikir Anne dalam hati. Tanpa sadar mereka berpandangan, untuk sesaat.
“Oh iya, sebenarnya aku ingin tahu sudah berapa tahun kau menikah dengan Hilda?” Anne meraih cangkir tehnya dan kembali menyeruputnya dengan perlahan. Usahanya untuk mengalihkan pembicaraan sepertinya berhasil karena Richard tidak lagi mengungkit-ungkit soal pak Robert.
“Sekitar 4 tahun,”
“Satu tahun setelah kau berpisah denganku?”
Richard tak menjawab. Sepertinya ia yang merasa malas membicarakan kembali tentang hubungan masa lalu mereka.
“Apa kau tak berencana untuk punya momongan? Bukankah kau suka anak kecil?” Anne kembali bertanya begitu saja. Ya, ia masih ingat dengan betul bahwa Richard suka sekali dengan anak kecil. Itulah sebabnya ia merasa heran kenapa sampai sekarang ia belum juga punya momongan.  Sebenarnya pertanyaan ini mungkin terlalu pribadi untuk dia, tapi Anne benar-benar tak bisa menutupi rasa penasarannya.
“Kami sepakat menunda punya momongan karena kami sama-sama belum siap,” jawab Richard dengan malas-malasan.
“Dan kau sendiri, kenapa belum menikah?” lelaki itu balas bertanya.
“Tentu aku akan menikah kalau aku sudah menemukan pria yang cocok,”
“Kau dan Brian tampak cocok,”
“Dia baik, tapi kami hanya berteman,”
“Apakah kau tidak mencoba berhubungan dengan pria lain__setelah___kita___” Richard terdengar sedikit ragu dengan kalimat yang ingin kemukakan.
“Setelah kau mencampakkanku?” potong Anne. Ia tersenyum.
“Jujur, tidak. Aku belum pernah mencobanya. Selain karena aku belum menemukan pria yang cocok, aku juga terlalu sibuk dengan pekerjaanku,” ia mulai menjelaskan.  Wajah Richard tampak kembali menegang.
Anne kembali tersenyum manis ke arah lelaki tersebut hingga membuat dadanya berdebar.
“It’s okay, Rich. Kau memang telah begitu menyakitiku, tapi bukankah hubungan kita sudah mulai membaik. Aku ingin kita kembali berteman. Teman yang bisa saling berbagi cerita seperti dulu kala,” kalimat Anne terdengar tulus hingga membuat kekakuan  Richard mencair. Perlahanpun ia tersenyum. Dan merekapun mulai mengobrol kembali dengan lebih normal.
“Anne ... ada yang harus kau ketahui tentang Hilda,” Kalimat itu terdengar ragu hingga membuat Anne melakukan kontak mata dengan lelaki di hadapannya.
“Apa?” ia bertanya tanpa sadar.
“Perangai Hilda terkadang memang di luar batas. Tapi sebenarnya ... dia perempuan yang rapuh,” jawab Richard.
Anne nyaris tergelak. Rapuh? Siapa? Hilda?!
Nenek sihir yang setiap hari menyiksa dirinya bak putri iblis itu ... rapuh? Oh, Richard pasti bercanda.
“Maksudmu?”
Richard tak segera menjawab.
“Hilda mengalami banyak hal buruk dalam hidupnya. Pertama kali bertemu dengannya, dia sosok remaja yang kacau. Keluarganya miskin dan berantakan. Ayahnya adalah seorang pemabuk dan tukang judi yang kerap kali menyiksa ibunya, dirinya, dan juga adik-adiknya. Lelaki bedebah itu kerap kali bermain perempuan dan berfoya-foya. Hilda bahkan beberapa kali mengalami pelecehan seksual darinya. Dia ...” kalimat Richard terhenti. Anne ternganga. Ia hanya tak menyangka bahwa masa lalu Hilda akan sekelam itu. Apakah itu artinya Richard memilih bersamanya karena ....
“Ibu Hilda meninggal setelah terlibat pertengkaran hebat dengan ayahnya. Ayahnya yang membunuhnya,”
“Membunuhnya?” Anne nyaris berteriak. Richard mengangguk.
“Ayah Hilda meninggal di tangan polisi karena mencoba melarikan diri dan mencoba melakukan perlawanan pada polisi,” ia kembali melanjutkan kalimatnya.
“Lalu adiknya?”
“Meninggal karena sakit,”
Anne menelan ludah. Tiba-tiba saja ia merasa iba pada sosok Hilda. Ia sebatang kara...
“Itulah kenapa, waktu itu aku benar-benar tak bisa meninggalkannya. Ia sendirian dan sebatang kara. Ia ... tak punya siapa-siapa selain aku. Jadi ....” Richard menelan ludah.
Reflek Anne meraih tangan Richard dan meremasnya.
“Cukup, jangan diteruskan. Aku sudah tahu apa maksudmu menjelaskan semua ini padaku. Sekarang aku mengerti, oke,” ucapnya.
Richard tampak tertegun. Ia tak bersuara. Ekspresinya datar tak terbaca. Ia hanya terlalu bingung ingin mengatakan apa pada perempuan cantik di hadapannya.

*** 

Richard menatap istrinya yang sedang membaca di atas tempat tidur, dengan tatapan kesal.
“Aku tahu kau yang melakukannya,”
“Melakukan apa?” tanya Hilda tanpa melihat ke arah Richard.
“Memindahkan Anne ke bagian personalia, bersama Robert,”
Hilda tertawa. Ia mendongak dan menatap suaminya dengan dalam.
“Kenapa aku harus repot-repot melakukannya? Toh dia hanya pegawai biasa yang tak punya keistimewaan apa-apa,” jawabnya.
“Setelah insiden di lift beberapa waktu yang lalu, memang banyak karyawan-karyawan lain yang bergunjing tentang hubungan kami. Aku tahu kau terganggu mendengar gosip tentang perselingkuhan, tapi bukankah aku sudah menjelaskan, tak ada apa-apa di antara kami. Jadi, kau tak perlu melakukan hal-hal konyol pada Anne. Memindahkannya ke tangan Robert, bukankah itu sama saja dengan memasukkan ia ke kandang singa yang kelaparan? Kau tahu sendiri dia lelaki macam apa? Dia adalah bajingan penggoda yang bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang ia inginkan,”
“Dan aku tak perduli!”
Hilda melemparkan majalahnya dengan kasar dan ia bangkit dari tempat tidurnya. Ia menatap suaminya dengan kesal.
“Dan dia bukan apa-apamu ‘kan? Kenapa kau terus-menerus mengkhawatirkannya? Apakah kau benar-benar tertarik padanya?!” perempuan itu berteriak.
“Tertarik atau tidak, apakah itu ada bedanya? Kau akan tetap menuduhku seperti itu ‘kan? Yang jelas, kali ini kau mulai keterlaluan, Hilda. Kau boleh cemburu pada wanita manapun dan kau juga bebas bersikap possesif padaku. Tapi aku takkan membenarkan kau melakukan hal-hal tak menyenangkan seperti ini,”
“Lalu apa yang menyenangkan? Menidurinya?”
“Hilda!”
“Jangan membentakku!”
“Kau berlebihan!”
“Sejak dulu aku memang sudah seperti ini, apa kau baru menyadarinya?”
Keduanya bersitegang. Richard menatap istrinya dengan tatapan putus asa.
“Aku muak dengan pertengkaran ini,” ia beranjak meninggalkan istrinya yang masih berteriak-teriak dengan lantang. Dan malam itu, mereka kembali tidur terpisah. Hal yang selalu mereka lakukan jika mereka sedang bertengkar. Hilda tidur  di kamar di lantai 1, sedangkan Richard memilih tidur di lantai 2, dekat dengan ruang perpustakaan.

***  

Anne  mengernyit heran ketika pak Robert menyodorkan sebuah kotak berisi gaun mahal ke arahnya.
“Nanti malam, salah satu kolegaku akan mengadakan sebuah pesta di hall hotel Royal. Aku akan datang dan tentunya bersamamu. Jadi, aku sudah mempersiapkan gaun ini untukmu. Jangan khawatir, ini bukan pesta yang terlalu formal. Jadi, buatlah dirimu nyaman. Jam berapa kau ingin aku jemput?”
Anne tak segera menjawab.
“Apakah seorang asisten memang diwajibkan datang dalam acara-acara seperti ini? Tidakkah sebaiknya anda mengajak Eliana saja, sekretaris pribadi anda?”
“Dia juga akan hadir. Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan hal-hal berbahaya untukmu. Aku janji itu. Ini tidak hanya sekedar pesta, tapi juga berkepentingan untuk bisnis. Jadi, tentu saja kehadiranmu juga dibutuhkan di sini,” pak Robert menatap Anne dengan tatapan nakal hingga membuat perempuan itu sebal.
Lalu kenapa anda harus memberikan gaun ini? Saya punya gaun pesta sendiri pak,”
Pak Robert menggeleng sambil terkekeh.
“Maaf, aku tidak bermaksud meremehkanmu. Tapi gaun ini adalah gaun terbaik tahun ini. Aku bahkan memesannya secara langsung dari Paris. Tidak, jangan salah dulu. Kau tahu ‘kan pesta nanti sangat penting karena menyangkut nama baik perusahaan kita. Jadi, aku ingin menciptakan image yang baik pada mereka. Dan kau adalah pilihan yang tepat sebagai visual figure. Mereka akan sadar bahwa ada seorang bidadari di sini, di perusahaan kita,”
Pak Robert kembali menatap perempuan di depannya dengan tatapan tak berkedip. Dan Anne merasa mual mendengar semua rayuan atasannya tersebut.
“Oke, jika itu adalah perintah dari bapak, tentu saya akan menurutinya. Tapi maaf, saya tak perlu dijemput. Saya akan kesana dengan taksi,”
Pak Robert tertawa.
“Itu tak mungkin, sayang. Bagaiman mungkin seorang bidadari ke pesta dengan naik taksi. Aku akan menjemputmu, ini juga sebuah perintah,”
Anne menghela nafas.
“Oke, begini saja pak, silahkan suruh orang lain saja untuk menjemputku. Bukannya saya ingin menolak anda, tapi saya tak mau ada gosip hanya gara-gara anda menjemputku di rumah, saya mohon,” Anne nyaris tertawa karena ia mengatakan ‘saya mohon’ dengan sedikit manja. Ia tidak bermaksud untuk takhluk pada lelaki di depannya, tapi karena ia tidak ingin lagi ada banyak perdebatan. Semakin banyak pak Robert bicara, ia semakin malas mendengarnya.
“Oke, baiklah cantik. Aku akan menyuruh sopirku untuk menjemputmu, jam 7. Oke,” ucap lelaki tersebut dengan wajah cerah seraya beranjak meninggalkan meja Anne. Ia lega setelah lelaki setengah baya itu beranjak.

Dan akhirnya, dengan berbekal rasa malas luar biasa, malam itu ia ikut menghadiri pesta tersebut menemani pak Robert. Dan ia tak menyangka sama sekali bahwa ternyata Hilda dan Richard juga ada di sana.
“Ah, aku pasti sudah gila karena mau melakukan hal ini,” ia menggerutu dengan lirih. Selama pesta berlangsung, pak Robert nyaris tak membiarkannya pergi sedikitpun dari sisinya.
“Tetaplah disisiku, cantik. Aku benar-benar membutuhkanmu,” itu yang selalu Robert katakan ketika Anne baru saja berniat melangkahkan kakinya menjauh darinya. Dan Anne-pun selalu mengiyakannya dengan malas. Tapi, tepat ditengah-tengah acara ketika pak Robert sedang asyik berbincang dengan salah satu kolega bisnisnya dari Perancis, akhirnya Anne berhasil membuat dirinya menjauhi lelaki tersebut. Ia beringsut dengan hati-hati dan memilih untuk berdiri di ujung ruangan, dekat dengan meja kudapan kecil, dan berpura-pura menikmati kue di piringnya tanpa menghiraukan begitu banyak pasang mata yang tengah asyik memperhatikannya.
Ya, sepertinya pak Robert benar tentang semuanya. Anne benar-benar menjadi ratu di pesta tersebut. Ia menjadi pusat perhatian begitu banyak tamu laki-laki maupun perempuan. Gaun pemberian Robert itu benar-benar melekat dengan sempurna ditubuhnya hingga sempat membuat wanita itu bergidik. Apakah lelaki itu benar-benar memahami bentuk tubuhnya hingga ia bisa menghadiahinya sebuah gaun yang begitu pas? Wanita itu benar-benar terlihat sangat menawan dengan gaun mini dress one shoulder berwarna merah maroon dan panjang rok sekitar 5 cm di atas lutut, sehingga semua orang bebas menikmati kaki jenjangnya. Rambutnya yang panjang bergelombang ia biarkan terurai begitu saja sementara wajahnya yang cantik rupawan hanya ia hiasi make up tipis hingga membuat kecantikannya benar-benar alami. Beberapa orang bahkan nekat mendekatinya untuk mengenalnya atau bahkan hanya sekedar menyapanya. Dan Anne-pun selalu membalas sapaan mereka dengan ramah.
Beberapa kali ia melirik jam di dinding hall dan berharap waktu cepat berlalu dan pestanyapun segera selesai. Ia merasa jenuh setengah mati berada di ruangan tersebut hingga akhirnya, tanpa sadar tatapannya beradu dengan tatapan Richard – yang ternyata juga tengah memandang ke arahnya. Anne tersenyum. Dan Richard pun juga tersenyum. Tapi kali ini, senyumannya tak seperti biasa. Jarak mereka tak begitu jauh hingga Anne bisa melihat bahwa ada mendung di kedua matanya.
Setelah tak melihat Hilda di sisi Richard, Anne berinisiatif untuk mendekati dan menyapa lelaki tersebut.
“Kau baik-baik saja?” ia bertanya lebih dulu. Richard tersenyum.
“I’m fine. Kenapa?”
Kau terlihat tak sehat,”
Richard menggeleng.
“Tidak, aku hanya merasa jenuh saja dengan pesta ini,” jawabnya kemudian.
“Sama,” jawab Anne pendek sambil membuang pandangannya ke sekeliling hall. Ia hanya penasaran dimana Hilda ataupun pak Robert berada.
“Kau cantik sekali malam ini,” terdengar Richard memuji. Anne menoleh kembali ke arahnya dan tersenyum.
“Terima kasih,” jawabnya. Ia berpikir bahwa lelaki itu hanya sekedar berbasa-basi seperti yang dilakukan tamu-tamu lainnya sedari tadi.
“Gaunmu juga sangat cantik,” Richard kembali memuji.
“Pak Robert yang memberikannya padaku,” jawab Anne enteng. Lelaki bermata teduh di depannya mengernyit.
“Dia menghadiahimu gaun ini? Apa itu berarti___”
Anne tergelak.
Oh, tidak. Jangan salah sangka. Aku memang menerima gaun ini karena dia memaksaku. Tapi aku takkan pernah mau melayaninya di tempat tidur,” suaranya setengah berbisik. Dan perempuan itu kembali tersenyum.
“Aku melihat banyak lelaki tengah terpesona padamu,”
“Oh ya? Bagaimana kau tahu? Apa kau memperhatikannya? Aku tak menyadarinya,” jawab Anne lagi dengan suara renyah hingga membuat  Richard ikut tersenyum.
“Apa kau ada masalah?” tanya Anne lagi.
“Tidak, kenapa?” Richard balik bertanya.
Anne menatapnya dengan dalam.
“Aku hanya melihat ada yang tak beres di raut wajahmu. Dan percayalah, sekarang aku bisa menjadi temanmu untuk kau ajak berbagi cerita jika kau membutuhkannya,” jawab Anne tulus. Richard kembali tersenyum. Ia hanya mengangguk pelan.
Obrolan di antara mereka terhenti ketika pak Robert menghampiri mereka.
“Bukankah aku sudah memintamu untuk selalu disampingku, kenapa kau berani berada di sini tanpa seijinku?” ucap lelaki itu pada Anne dengan nada kesal.
“Maaf, pak,” jawab Anne pendek.
“Aku yang mengajaknya mengobrol di sini,” Richard menengahi setelah ia melihat Robert yang terus menerus mengomeli Anne.
“Ah, sudahlah, Richard. Ini tak ada hubungannya denganmu. Biarkan aku menyelesaikan ini dengan pegawaiku sendiri, oke,” jawab Robert masih dengan nada kesal.
“Ikutlah denganku, Anne. Kita harus menemui seseorang,” ucap Robert lagi seraya meletakkan tangannya di pinggang Anne lalu mengajaknya beranjak dari hadapan Richard. Richard sempat melihat Anne menepis tangan Robert  yang berada di pinggangnya dengan kesal.
Ketika pesta selesai, pak Robert berniat mengantarkan Anne pulang tapi perempuan itu menolak dengan halus dan mengatakan bahwa ia ingin pulang dengan naik taksi. Rupanya penolakan itu kembali membuat Robert kesal sehingga terjadi keributan kecil di antara mereka di halaman hall tempat diselenggarakannya pesta.
“Apa yang membuatmu begitu sombong hingga berani-beraninya kau menolakku, dasar wanita jalang!” pak Robert setengah berteriak.
“Aku bahkan bisa memberikan apapun yang kau minta. Rumah mewah, mobil, perhiasan, kau bahkan tidak akan pernah bisa membelinya dengan gajimu!”
Anne melotot ke arah lelaki di hadapnnya.
“Apakah anda pikir saya wanita serendah itu? Maaf, tapi sepertinya anda berhadapan dengan wanita yang salah. Saya bukan wanita yang bisa tidur dengan sembarang orang, pak. Mungkin saya miskin, tapi saya punya harga diri,”
Pak Robert tertawa sinis.
“Harga diri? Jaman sekarang kau bahkan masih bisa mengatakan harga diri? Munafik kau,”
Anne tersentak ketika tiba-tiba pak Robert menarik tubuhnya dan berusaha menciumnya dengan kasar. Dengan penuh amarah, wanita itu meronta. Ia memukul dan mendorongnya menjauh.
“Apa yang kau lakukan!?” teriaknya.
Pak Robert berusaha mendekatinya lagi, tapi ia baru akan menyentuh lengan Anne ketika tiba-tiba sebuah pukulan telak mendarat di wajahnya hingga membuat lelaki itu terjungkal.
“Singkirkan tanganmu darinya!” Richard berteriak dengan marah. Anne tersentak ketika menyadari bahwa Richard-lah yang telah menolongnya.
Pak Robert menatapnya dengan heran.
“Kau ___ berani memukulku?” desisnya.
“Ya, dan aku akan menghabisimu jika kau berani menyentuhnya, walau hanya sehelai rambut sekalipun!” Richard kembali berteriak.
Tampak Hilda berlari-lari kecil ke arah mereka.
“Ada keributan apa ini?” teriaknya.
Pak Robert bangkit dan menatap Richard dengan tajam.
“Aku bisa saja melaporkanmu ke penjara atas tindakan  kekerasan. Dan kau pasti akan berakhir di penjara!”
Richard tertawa sinis mendengar hal itu.
“Coba saja jika kau berani. Aku melihat apa yang kau lakukan pada asisten pribadimu. Dan aku juga pasti akan memasukkanmu ke penjara atas pelecehan seksual. Tidakkah kau ingat bahwa aku pernah menjadi pengacara?” jawab Richard kesal.
“Richard! Apa-apaan ini?” Hilda berteriak.
Richard tak menjawab. Tanpa melihat ke arah Hilda ataupaun Anne, lelaki itu berlari ke pinggir jalan dan menghentikan sebuah taksi. Ia kemudian berbalik lalu menarik lengan tangan Anne yang tampak dingin karena shock dan mengajaknya ke arah taksi yang sedang berhenti.
“Pulanglah dengan taksi. Biar aku yang selesaikan ini,” ucap lelaki tersebut. Dan tanpa memberi kesempatan pada Anne untuk mengatakan sesuatu, lelaki itu sudah mendorongnya masuk ke dalam taksi tersebut lalu segera menyuruh sang sopir untuk segera menjalankan taksinya.
***



Bersambung...