Part 1

Dea
terkekeh sebelum Dimas selesai melanjutkan kalimatnya. “Nggak apa-apa. Kita
sudah membahasnya kan? Pernikahan kita hanya ditunda, tidak dibatalkan. Ya
‘kan?” ujarnya, tegar.
Dimas
menelangkupkan kedua tangannya di pipi Dea lalu mengecup keningnya dengan
ringan.
“Iya,
pernikahan kita hanya ditunda, dua bulan saja. Aku janji. Setelah perjalanan
bisnis ini selesai, kita akan segera melangsungkan pernikahan kita. Oke?”
Ucapnya lembut. Dea tersenyum lalu mengangguk.
Ya, sejatinya dua minggu lagi ia dan
Dimas akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi sesuatu terjadi. Tiba-tiba
saja Dimas harus melakukan perjalanan bisnis ke Eropa selama 2 bulan dan esok
pagi ia berangkat. Kepergiannya ke Eropa bisa dikatakan penting karena jika
Dimas berhasil, ia akan mendapatkan kontrak bisnis senilai ratusan milyar.
Sungguh peluang yang teramat menggiurkan. Tadinya lelaki itu sempat terpikir
untuk membatalkan kepergiannya ke sana, tapi setelah berdiskusi dengan Dea dan
seluruh keluarga besar mereka, pernikahan mereka sepakat ditunda. Toh
perjalanan bisnis Dimas ke Eropa juga demi masa depan dirinya dan Dea ‘kan?
Itulah mengapa, Dea mengiyakan saja penundaan rencana pernikahan mereka.
“Aku
akan menunggu kepulanganmu. Jadi, pergilah. Lakukan pekerjaanmu dengan baik.”
Ucap Dea lagi dengan lembut. Dimas mengangguk. Cowok itu balas tersenyum haru
seraya merengkuh tubuh perempuan yang teramat ia cintai tersebut. “Terima
kasih, sayang. Terima kasih karena kamu memahami pekerjaanku.” Bisiknya.
“Berliburlah. Sambil menunggu kepulanganku, berliburlah. Kemana kamu ingin
pergi? Bali? Singapura? Kuala Lumpur? Aku akan segera menyuruh orang untuk
mengurusnya.” Ucapnya lagi.
Dea
menggeleng. “Nggak perlu. Aku akan di rumah saja sambil menyiapkan pesta
pernikahan.” Jawabnya.
Dimas menarik tubuhnya dan menatap
Dea dengan tatapan protes. “Mana bisa begitu? Toh persiapan pernikahan sudah
disiapkan mamaku ‘kan? Ayolah, kemana kamu ingin pergi? Aku nggak mau kamu
suntuk menjelang pernikahan kita.” Ia memaksa.
Dea tersenyum dan terdiam sesaat.
Terdengar sedang memikirkan sesuatu.
“Aku ingin ke Malang.” Jawabnya kemudian. Dimas mengangguk-angguk. “Oke,
aku akan segera menyiapkan segalanya agar kamu bisa ke Malang besok pagi.”
Ucapnya sambil membelai rambut Dea. Perempuan itu menggeleng. “I don’t need a travel agency. Aku akan
ke sana sendiri. Sepertinya itu lebih nyaman. Aku bisa berangkat semauku, dan
pulang semauku. Aku juga bisa menginap di hotel semauku dan juga pergi
kemana-mana semauku.” Jawabku.
Dimas
menyipitkan matanya, terdengar sedikit ragu. “Kamu yakin?” Ia memastikan. Dea
mengangguk mantap. Lelaki di hadapannya terlihat sedang menimbang-nimbang. Tapi
perlahan ia mengangguk. “Oke, deh. Apapun yang kamu mau, bersenang-senanglah.”
Ujarnya kemudian.
***
Dea memutuskan untuk bepergian ke
Malang dua hari sesudahnya. Sebenarnya kepergiannya ke sana bukanlah tanpa
alasan. Ia memang sudah berencana bernostalgia di sana sebelum menikah. Bagaimanapun
juga, Malang adalah kota kelahirannya. Ia menghabiskan masa kecil, masa
sekolah, masa remaja, di sana. Jika saja papanya tidak mengajak ia dan keluarga
besarnya hijrah ke Jakarta beberapa tahun yang lalu, tentu saat ini ia masih
bermukim di kota apel tersebut.
Setelah sampai di hotel, tak butuh
waktu lama baginya untuk segera bepergian keliling kota. Mengunjungi tempat-tempat
yang dulu biasa ia jadikan tempat nongkrong dan juga mengunjungi beberapa
sahabat akrab yang masih bermukim di sana meski tak banyak. Itu karena sebagian
teman akrabnya sewaktu es-em-a sudah melanglang buana seantero nusantara. Ada
yang di kalimantan, sulawesi, sumatera, papua, bahkan ada yang di luar negeri.
Lelah setelah berkeliling, Dea
kembali ke hotel untuk tidur selama 3 jam saja. Karena setelah itu, ia
melanjutkan aksinya hang out dan
keliling kota semau dia, sendirian saja.
***
Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Cuaca
nampak begitu cerah. Taman kota yang Dea kunjungi terlihat ramai oleh orang
yang berlalu lalang. Maklum, ini adalah hari minggu.
Perempuan
cantik itu duduk di sebuah bangku kecil dekat air mancur. Yang ia lakukan
hanyalah menatap orang-orang yang berseliweran. Ia memang sengaja melakukannya.
Hari ini ia sengaja membuat jadwal : duduk manyun di taman kota ‘en do nothing!
Dea tengah asyik mengamati
aktivitas-aktivitas orang di sekelilingnya ketika tanpa sengaja tatapan matanya
menangkap sosok itu.
Sosok lelaki tampan yang mengenakan
topi rajut dan berbaju kasual. Sosok lelaki yang sepertinya juga – hanya –
tengah duduk manyun di salah satu bangku taman yang berada sekitar 100 meter
dari tempatnya berada. Dea menyipitkan mata dan berusaha meyakinkan tatapannya.
Dan ia yakin, ia memang tak salah lihat. Sosok itu memang dia!
Dea maraih tasnya lalu bangkit.
Kemudian dengan langkah mantap, ia mendekati lelaki itu.
“Gail?”
Panggil Dea yakin. Sosok itu mendongak, lalu menatap langsung ke arah Dea.
Kedua matanya yang teduh menyipit dengan indah. Awalnya tak ada ekspresi. Namun
beberapa detik kemudian, kedua mata itu
menyiratkan keterkejutan. “Dea?” Ia mendesis lirih. Dea tersenyum. Dan perlahan
lelaki itu juga.
“Kok
... di sini?” Tanya Dea spontan.
“Kamu
juga. Kok di sini?” Gail juga bertanya heran.
“Ku
dengar kamu di luar negeri?” Dea kembali bertanya.
“Dan
ku dengar kamu juga bermukim di Jakarta?” Gail juga kembali bertanya.
Keduanya
terkekeh. Mereka berjabat tangan. Gail menggeser tempat duduknya untuk
menyisakan tempat bagi Dea agar ia bisa ikut duduk di sampingnya.
“Gimana
kabarnya?” Dea kembali bertanya duluan. “Baik. Kamu?” balas Gail.
“Baik
juga.” Dea menjawab tanpa kehilangan senyum di bibirnya.
“Ku
dengar kamu ada di luar negeri sejak beberapa tahun yang lalu.”
“Aku
baru kembali sebulan yang lalu. Biasa, urusan pekerjaan. Kamu?”
“Hanya
berkunjung saja.” Jawab Dea.
Mereka terus mengobrol, asyik
menanyakan kabar selayaknya teman es-em-a yang lama tak bertemu.
“Sendirian
aja?” Tanya Dea lagi.
“Enggak.
Tuh,” dengan dagunya, Gail menunjuk ke arah seorang anak perempuan berumur
sekitar 4 tahun yang tengah asyik bermain di taman bermain. Dea melongo. Ia
menatap ke arah anak tersebut, lalu
beralih ke arah Gail. “Anakmu?” ia bertanya antusias. Gail tersenyum dan
mengangguk. Dea tertawa. “Wuih, selamat ya. Aku nggak nyangka kamu sudah punya
anak. Cantik ‘en lucu lagi. mamanya mana?” Dea menatap sekeliling, berharap
bertemu dengan istri Gail.
“Dia
nggak ikut. Dia di rumah.” Jawaban Gail membuat Dea sedikit kecewa. “Kamu
sendiri, sudah menikah?” Gail balik bertanya. Dea tersenyum sambil menunjukkan
cincin di jari manisnya. “Bertunangan.” Jawabnya. Kali ini, Gail yang ganti
manggut-manggut. “Selamat ya.” Ucapnya kemudian.
Dea
tersenyum. “Thanks.” Jawabnya.
Gail menatap sekelilingnya.
“Tunanganmu nggak ikut?”
Dea
menggeleng. “Enggak. Dia ada pekerjaan.” Jawabnya.
“Berencana
berapa lama di sini?”
Dea
mengangkat bahu. “Entahlah. Mungkin sekitar beberapa hari.” Jawabnya. Gail
tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi kalimatnya tertahan ketika
phonselnya berdering. “Sebentar.” Ia seakan meminta ijin pada Dea seraya meraih
phonsel di sakunya. Pemuda itu bangkit dan melangkah menjauhi Dea untuk segera
menerima telpon. Tak berapa lama kemudian ia terlibat pembicaraan singkat. Setelah selesai, ia kembali menghampiri Dea.
“Sori
ya, si kecil udah dicariin mamanya tuh. Aku pergi dulu, tak keberatan ‘kan?” ia
memohon.
Dea
tersenyum dan menggeleng. “Oke,” jawabnya pendek. Gail tersenyum lalu berbalik.
Harusnya Dea membiarkannya. Harusnya
ia membiarkan Gail pergi dari hadapannya. Tapi hati nuraninya tak bisa diajak kompromi.
Alih-alih, ia malah bangkit dan meneriakkan namanya.
“Gail!”
Panggilnya. Yang dipanggil berbalik. “Ya?” ia menjawab. Menatap Dea dengan
penasaran.
Dea
melangkah mendekatinya dengan mantap. “Boleh aku minta nomer hapemu?” Ia
bertanya langsung. Gail tertegun sesaat. Tapi kemudian ia tersenyum lalu
mengangguk. Dan segera sederet nomor meluncur dari bibirnya.
Dea menyimpan nomor phonselnya.
***
Dea menatap deretan nomor itu dengan
seksama. Hampir 10 menit lamanya ia menatap layar phonsel yang menampilkan
nomor Gail.
Gail.
GAIL.
Ia hanya tak menyangka bahwa ia akan
dipertemukan lagi dengan sosok itu. Sosok yang pernah ia pacari ketika mereka masih
duduk di bangku SMA, lalu ia campakkan begitu saja!
Bisa
kau catat itu? Dea mencampakkan Gail, begitu
saja. Tak perlu diulangi lagi ‘kan?
Waktu
itu mereka masih sangat muda. Dan Dea sadar dia begitu egois, melakukan banyak
kesalahan.
Gail cinta pertamanya.
Gail juga pacar pertamanya.
Mereka pernah berpacaran selama hampir 5 bulan. Tapi
hubungan itu kandas karena orang tua Dea tak pernah menyetujui hubungan mereka.
Alasannya klise. Status.
Orang
tua Dea termasuk keluarga yang berada. Sementara orang tua Gail hanyalah buruh
pabrik. Ayah Dea mengancam tidak akan pernah merestui hubungan mereka walau
hanya sebatas pacar, sampai kapanpun. Bertepatan dengan itu, orang tua Dea
harus hijrah ke Jakarta karena urusan pekerjaan. Dan Dea-pun menuruti kemauan orang
tuanya. Ia ikut ke Jakarta, meninggalkan Gail, begitu saja. Ia pergi
meninggalkan cowok itu, tanpa penjelasan, tanpa mengatakan apapun.
Meskipun begitu, selama ini Dea
rajin mencari tahu keadaan Gail dari teman-temannya yang ada di Malang. Itulah
kenapa ia tahu bahwa mantan pacarnya itu sudah beberapa tahun menetap di luar
negeri. Mereka bilang, ia mendapatkan
pekerjaan yang mapan sebagai seorang akuntan di sebuah perusahaan jasa.
Dan sekarang, tentu ia kaget
mendapati Gail berada di Malang. Hatinya sempat bertanya-tanya. Kenapa Tuhan
mempertemukan lagi ia dengannya? Apakah ini isyarat bahwa Dea memang harus
ketemu dengan Gail dan meminta maaf padanya karena beberapa tahun yang lalu ia
pergi meninggalkannya, begitu saja, tanpa rasa tanggung jawab?
Mungkin iya.
Mungkin ini adalah saat yang tepat
bagi Dea untuk meminta maaf pada Gail sebelum ia menikah dengan Dimas.
Setidaknya dengan begitu, ia takkan punya rasa beban lagi karena terus menerus
dirundung penyesalan.
Dea menarik nafas berat.
Gamang. Tapi akhirnya ia memutuskan
untuk mencoba menelpon Gail.
Dalam hati ia berujar, jika yang
menjawab telponnya adalah Gail sendiri, maka ia akan meminta maaf padanya. Tapi
jika yang menjawab telponnya adalah istrinya, maka ia memutuskan untuk tidak
menghubungi Gail, selamanya.
Tut ... tut ... tut ....
Terdengar bunyi klik. Seseorang
menerima telpon tersebut. Hati Dea berdebar, menanti dengan perasaan cemas.
“Halo.”
Itu suara Gail!
“Halo.” Dea menjawab, suaranya tergagap. Tiba-tiba
saja perasaannya campur aduk tak menentu.
“Gail?” Ia memastikan.
“Ya.”
“Aku ... Dea.”
Hening sesaat.
“Hai,
Dea. Ini ... kejutan. Aku nggak nyangka kamu bersedia menelponku.” Suara
Gail terdengar riang. Aku tertawa lirih.
“Mumpung aku di sini dan kita
ketemu. Jadi, aku ingin menyambung tali silaturahmi aja.” Jawab Dea. Terdengar
Gail juga tertawa lirih.
“Aku nggak mengganggu ‘kan?”
“Oh,
enggak. Sama sekali enggak. Aku malah seneng
kamu menelponku.” Jawab lelaki tersebut.
Hening sesaat.
“Gail, beberapa minggu lagi aku akan
menikah. Aku ingin mengundangmu secara resmi. Jadi jika kamu tak keberatan ...”
“Besok
aku akan ada di taman sekitar jam 3 sore.”
Dea tertegun. Kenapa Gail mengatakan
bahwa ia akan di sana jam 3 sore? Apa ini artinya lelaki itu mengajaknya
bertemu? Atau ...
Hening lagi.
“Oke. Kita akan ketemu lagi di
sana.” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Dea. Sempat ada perasaan
deg-degan karena ia cemas dengan jawaban Gail selanjutnya. Bagaimana jika
lelaki itu tak mengajaknya bertemu? Bagaimana jika Gail hanya sekedar
memberitahu bahwa ia akan di taman jam 3 sore? Bagaimana jika ...
Perasaan cemas itu berubah menjadi
sebuah senyuman di bibir Dea ketika ia mendengar Gail dari seberang sana
menjawab : “Oke.”
***
Dea tiba di taman jam 3 lebih 10
menit. Dan ia menyaksikan sosok itu sudah ada di sana. Mengenakan baju kasual
dan topi rajut, duduk di salah satu bangku dengan begitu elegan. Tatapan
matanya menatap ke arah beberapa anak yang tengah asyik bermain di jungkat-jungkit.
Sesekali ia tersenyum. Tenang.
Dea menggigit bibir. Pria itu tetap
saja memancarkan aura ketampanan yang luar biasa. Dia tahu bahwa Gail sudah
cakep sejak SMA. Tapi sekarang, ketampanannya seakan berlipat ganda.
Hati Dea berdesir.
Ayolah,
Dea. Lelaki itu sudah menikah dan punya anak, dan kau sudah bertunangan. Ia
seakan mengingatkan dirinya sendiri. Berharap bahwa itu akan menghilangkan
pesona Gail, berharap bahwa itu akan menghilangkan getar-getar cinta yang –
sepertinya – masih ia rasakan pada sosok pria yang berada beberapa meter
darinya.
Dea menarik nafas panjang sebelum
akhirnya melangkahkan kakinya mendekati Gail.
“Hai.” Ia menyapa duluan. Gail mendongak.
Mata coklatnya yang indah menyipit sesaat, lalu senyum tersungging di bibirnya.
Senyum yang masih saja menawan. Dea
memuji dalam hati.
“Hai.” Lelaki itu menjawab dan serta
merta menggeser posisi duduknya. Dea balas tersenyum dan duduk di samping pria
itu. “Sudah lama?” Ia bertanya.
“Lumayan.” Jawab Gail.
“Anakmu nggak ikut?” Dea bertanya
dengan dengan sedikit gugup.
“Enggak.” Jawaban itu pendek.
Keduanya berpandangan sesaat, lalu
membuang pandangan mereka masing-masing ke arah yang berlawanan. Situasi
sedikit kikuk. Lebih kikuk dari yang kemarin.
“Setiap sore aku sering ke taman
ini. Terasa tenang aja.” Gail membuka suara, berniat mencairkan suasana. Dea
manggut-manggut.
“Berapa lama kamu berencana ada di
Indonesia?” Dea menyilangkan kakinya, mencoba lebih rileks. Ia menatap ke arah
segerombolan anak muda yang bermain skate board.
“Selamanya.”
Jawaban Gail membuat Dea menoleh
menatapnya, sesaat. “Kamu nggak berencana balik ke luar negeri? Lalu
pekerjaanmu?”
Gail
mengangkat bahu.
“Aku sudah mengundurkan diri. Ada alasan pribadi yang mengharuskan aku
untuk pulang ke Indonesia, selamanya.” Jawabnya. “Mm, alasan keluarga.”
Lanjutnya.
Pasti
karena ia tak mau berjauhan dengan keluarganya, Dea berpikir.
“Ceritakan tentang dirimu.”
“Hm?” Dea kembali menoleh ke arah
lelaki tersebut.
“Ceritakan tentang dirimu. Maksudku,
kamu kemana aja setelah pindah dari Malang? Aku tahu pertanyaan ini terdengar
nggak sopan, tapi ... aku benar-benar ingin tahu tentang dirimu setelah sekian
tahun berlalu.”
Mereka berpandangan sesaat.
Dea berdehem lalu membuang pandangannya
ke arah lain.
“Well, nggak ada yang istimewa.
Setelah pindah ke Jakarta, aku melanjutkan sekolah, aku kuliah, lalu bekerja.
Dan beberapa tahun kemudian aku bertemu seseorang, dan kami memutuskan untuk
menikah. Begitu saja.”
“Siapa nama calon suamimu?”
“Dimas.” Dea menjawab cepat.
“Dia ... pilihanmu sendiri?”
Pertanyaan Gail terdengar ragu. Tapi Dea tak terkejut mendengar ia menanyakan
hal itu. Sepertinya wajar saja ia menanyakan perihal pilihan hidupnya setelah
apa yang mereka alami ketika SMA.
“Sebenarnya orang tua kami yang
mempertemukan kami. Tapi tidak ada paksaan sama sekali. Keputusan untuk
menjalankan suatu hubungan yang lebih serius, itu pilihan kami. Dia
mencintaiku, aku mencintainya, dan begitulah, kami memutuskan menikah.” Dea menjelaskan
dengan bahasa sesederhana yang ia bisa. “Kamu sendiri? Ceritakan tentang
kehidupanmu.” Kali ini ia yang meminta pada Gail. Lelaki itu tersenyum.
“Sama sepertimu. Semua berjalan
biasa saja. Setelah tamat SMA aku kuliah, aku bekerja, lalu bertemu seseorang,
kemudian menikah dan punya anak.” Ia menjawab.
Keduanya manggut-manggut.
“Aku berharap kamu bisa datang ke
pernikahanku. Itupun kalau kamu nggak repot.”
Gail tersenyum dan mengangguk. “Akan
ku usahakan. Diselenggarakan di Jakarta ‘kan?”
Kali ini Dea yang mengangguk. Tapi
ia yakin Gail hanya berbasa-basi. Ia yakin lelaki itu tak berniat datang ke
pesta pernikahannya.
“De ... Aku ingin menanyakan sesuatu
hal padamu.”
Kalimat Gail terdengar lirih. De... Hati Dea berdesir mendengar
panggilan itu. Gail adalah satu-satunya orang yang memanggilanya dengan
panggilan itu. De, panggilan yang
manis, lembut, penuh kasih.
“Apakah aku telah berbuat salah
padamu?”
Pertanyaan yang meluncur dari mulut
Gail membuat Dea tercengang. “Maksudmu?”
Lelaki itu tak segera menjawab.
“Waktu itu kamu pergi. Kamu
ninggalin aku, begitu saja. Begitu saja,
De. Kamu menghilang seperti ditelan bumi hingga aku nggak bisa menemukanmu.
Setelah kamu pergi, aku berusaha mencarimu selama beberapa hari, kalau kamu
tahu. Tapi ... kamu lenyap.” Ia menelan ludah. “Hingga akhirnya aku
bertanya-tanya, apa yang telah kulakukan padamu? Apakah aku telah menyakitimu
hingga kamu pergi dariku? Aku tahu bahwa orang tuamu tidak menyukaiku. Tapi
setidaknya, bukankah aku layak mendapat penjelasan?”
Tenggorokan Dea terasa kering. Ia
menatap lelaki di hadapannya dengan penuh penyesalan.
“Maafkan
aku, Gail.” Akhirnya kalimat itu yang keluar terlebih dahulu. “Maafkan aku.” Ia
mengulanginya lagi.
“Aku memang berutang penjelasan
padamu. Dan ....” Ia menggeleng. “Kamu nggak salah. Kamu nggak menyakitiku.
Justru akulah yang telah melukaimu dengan meninggalkanmu begitu saja.”
Lanjutnya. Dea menunduk sebentar hanya untuk mengerjapkan matanya yang berair.
“Kamu benar. Ayahku nggak
menyukaimu. Ia menyuruhku meninggalkanmu, dan aku menurutinya. Maafkan aku. Aku
benar-benar minta maaf karena ... pergi begitu saja.”
Hanya sebatas itu. Hanya sebatas itu
yang Dea mampu katakan. Sebelum ke taman tadi sebenarnya ia sudah menyusun
serangkaian kalimat panjang yang ingin ia utarakan pada Gail sebagai ungkapan
maaf. Tapi semua seakan menguap begitu saja sehingga yang tersisa hanyalah
kata-kata itu.
Ia juga tak sanggup menatap mata
Gail. Ia takut. Ia takut bahwa mata yang senantiasa menatap dengan penuh
kehangatan itu akan berubah tajam dan penuh amarah.
Dea mendengar Gail menarik nafas
pelan. Hening sesaat.
“Sekarang aku lega.” Ucapnya. “Aku
lega karena kamu sudah menjelaskan segalanya padaku.” Ucapnya.
“Kamu membenciku?” tanya Dea spontan. Dan mereka
kembali beradu pandang.
Dea takjub. Sepasang mata teduh itu
masih menatapnya dengan hangat.
“Aku nggak bisa membencimu, De.”
Jawab Gail.
“Aku nggak mungkin bisa membencimu
karena kamu adalah satu-satunya perempuan yang ...” Kalimat Gail terhenti. Seolah
kalimat selanjutnya akan menjadi sebuah dosa hingga lelaki itu harus
menghentikannya. Dea mematung. Tidak.
tidak mungkin Gail masih merasakan perasaan yang sama dengannya ....
Cepat-cepat perempuan itu bangkit. Ada yang tidak
benar di sini. Jika ia terus berada di sisi lelaki itu, pertahanannya akan
goyah. Lelaki itu sudah menikah, dan ia sendiri juga akan menikah. Jadi ...
“De...?” Gail memanggil lirih, heran
karena perempuan itu bangkit dengan tiba-tiba.
“Maaf, Gail. Kayaknya aku harus
pergi dulu deh. Aku lupa kalo hari ini aku juga ada janji dengan seorang kawan
lama.” Dengan gugup Dea berbalik dan beranjak.
“De ....” Gail kembali memanggil
namanya dengan lembut. Kali ini lelaki itu juga bangkit, tapi ia tak berusaha
mengejar. Tapi panggilan itu cukup untuk membuat langkah Dea terhenti.
Perempuan itu berbalik dan kembali menatap Gail dengan tatapan syarat emosi
yang tertahan.
“Aku lega kamu baik-baik aja, De.”
Ucap Gail lagi.
“A-aku juga lega kamu baik-baik
aja.” Dea mengangguk dan menjawab dengan gugup.
“Terima kasih kamu mau menjelaskan
sedikit kesalah pahaman di antara kita. Dan ... terima kasih karena kamu mau
menemuiku hari ini.” Gail melanjutkan kalimatnya. “Aku senang.” Lelaki itu
tersenyum.
Dea menggigit bibir frustasi lalu
kambali mengangguk. “Aku juga senang.” Jawabnya.
“Untuk pernikahanmu, maaf,
sepertinya aku nggak bisa datang.” Kali ini kalimat Gail lirih. Ia memasukkan
tangannya ke saku celana dengan canggung. Sementara Dea juga sibuk
meremas-remas tali tas-nya dengan canggung pula. Ia tersenyum kaku lalu
mengangguk lagi.
“Nggak apa-apa. Aku tahu kamu
sibuk.” Jawabnya. “Well, sepertinya aku harus pergi ...”
“Ya, pergilah. Mungkin temanmu sudah
menunggu. Hati-hati di jalan ya.”
“Ya. Kamu juga, hati-hati pulangnya
nanti.”
“Oke.”
“Oke.”
Keduanya saling melempar senyum.
Kemudian dengan segera Dea berbalik dan melangkahkan kakinya dengan
tergesa-gesa. Meninggalkan taman, menyeberang jalan, berjalan begitu saja tanpa
tahu arah mana yang ia tuju.
Ia hanya tahu bahwa ia harus segera
menyingkir dari sini, dari dekat Gail. Lelaki itu ibarat magnet, dan ia takut
tertarik lagi ke arahnya. Karena jika ia sampai tertarik lagi, ia takut tak
bisa menyelamatkan diri dari pesonanya. Takkan bisa.
Sambil merutuk dalam hati, Dea terus
melangkah. Ketika sampai di ujung jalan, dekat dengan perempatan lampu merah,
tiba-tiba saja kaki mungilnya terperosok ke sebuah lubang di dekat trotoar dan
tubuhnya terjerembab. Ia memekik ketika selanjutnya ia merasakan kepalanya
menghantam pot pinggir jalan!
***
bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar