Senin, 01 Juni 2015

Always It's You - Part 1



 Part 1



                Dimas menatap wajah Dea dengan tatapan penuh penyesalan. Berkali-kali lelaki berpenampilan parlente itu menarik nafas berat. “Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi, Dea. Aku bener-bener minta maaf. Aku bener-bener ...”
Dea terkekeh sebelum Dimas selesai melanjutkan kalimatnya. “Nggak apa-apa. Kita sudah membahasnya kan? Pernikahan kita hanya ditunda, tidak dibatalkan. Ya ‘kan?” ujarnya, tegar.
Dimas menelangkupkan kedua tangannya di pipi Dea lalu mengecup keningnya dengan ringan.
“Iya, pernikahan kita hanya ditunda, dua bulan saja. Aku janji. Setelah perjalanan bisnis ini selesai, kita akan segera melangsungkan pernikahan kita. Oke?” Ucapnya lembut. Dea tersenyum lalu mengangguk.
            Ya, sejatinya dua minggu lagi ia dan Dimas akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi sesuatu terjadi. Tiba-tiba saja Dimas harus melakukan perjalanan bisnis ke Eropa selama 2 bulan dan esok pagi ia berangkat. Kepergiannya ke Eropa bisa dikatakan penting karena jika Dimas berhasil, ia akan mendapatkan kontrak bisnis senilai ratusan milyar. Sungguh peluang yang teramat menggiurkan. Tadinya lelaki itu sempat terpikir untuk membatalkan kepergiannya ke sana, tapi setelah berdiskusi dengan Dea dan seluruh keluarga besar mereka, pernikahan mereka sepakat ditunda. Toh perjalanan bisnis Dimas ke Eropa juga demi masa depan dirinya dan Dea ‘kan? Itulah mengapa, Dea mengiyakan saja penundaan rencana pernikahan mereka.
“Aku akan menunggu kepulanganmu. Jadi, pergilah. Lakukan pekerjaanmu dengan baik.” Ucap Dea lagi dengan lembut. Dimas mengangguk. Cowok itu balas tersenyum haru seraya merengkuh tubuh perempuan yang teramat ia cintai tersebut. “Terima kasih, sayang. Terima kasih karena kamu memahami pekerjaanku.” Bisiknya. “Berliburlah. Sambil menunggu kepulanganku, berliburlah. Kemana kamu ingin pergi? Bali? Singapura? Kuala Lumpur? Aku akan segera menyuruh orang untuk mengurusnya.” Ucapnya lagi.
Dea menggeleng. “Nggak perlu. Aku akan di rumah saja sambil menyiapkan pesta pernikahan.” Jawabnya.
            Dimas menarik tubuhnya dan menatap Dea dengan tatapan protes. “Mana bisa begitu? Toh persiapan pernikahan sudah disiapkan mamaku ‘kan? Ayolah, kemana kamu ingin pergi? Aku nggak mau kamu suntuk menjelang pernikahan kita.” Ia memaksa.
            Dea tersenyum dan terdiam sesaat. Terdengar sedang memikirkan sesuatu.  “Aku ingin ke Malang.” Jawabnya kemudian. Dimas mengangguk-angguk. “Oke, aku akan segera menyiapkan segalanya agar kamu bisa ke Malang besok pagi.” Ucapnya sambil membelai rambut Dea. Perempuan itu menggeleng. “I don’t need a travel agency. Aku akan ke sana sendiri. Sepertinya itu lebih nyaman. Aku bisa berangkat semauku, dan pulang semauku. Aku juga bisa menginap di hotel semauku dan juga pergi kemana-mana semauku.” Jawabku.
Dimas menyipitkan matanya, terdengar sedikit ragu. “Kamu yakin?” Ia memastikan. Dea mengangguk mantap. Lelaki di hadapannya terlihat sedang menimbang-nimbang. Tapi perlahan ia mengangguk. “Oke, deh. Apapun yang kamu mau, bersenang-senanglah.” Ujarnya kemudian.

***

            Dea memutuskan untuk bepergian ke Malang dua hari sesudahnya. Sebenarnya kepergiannya ke sana bukanlah tanpa alasan. Ia memang sudah berencana bernostalgia di sana sebelum menikah. Bagaimanapun juga, Malang adalah kota kelahirannya. Ia menghabiskan masa kecil, masa sekolah, masa remaja, di sana. Jika saja papanya tidak mengajak ia dan keluarga besarnya hijrah ke Jakarta beberapa tahun yang lalu, tentu saat ini ia masih bermukim di kota apel tersebut.
            Setelah sampai di hotel, tak butuh waktu lama baginya untuk segera bepergian keliling kota. Mengunjungi tempat-tempat yang dulu biasa ia jadikan tempat nongkrong dan juga mengunjungi beberapa sahabat akrab yang masih bermukim di sana meski tak banyak. Itu karena sebagian teman akrabnya sewaktu es-em-a sudah melanglang buana seantero nusantara. Ada yang di kalimantan, sulawesi, sumatera, papua, bahkan ada yang di luar negeri.
            Lelah setelah berkeliling, Dea kembali ke hotel untuk tidur selama 3 jam saja. Karena setelah itu, ia melanjutkan aksinya hang out dan keliling kota semau dia, sendirian saja.

***

            Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Cuaca nampak begitu cerah. Taman kota yang Dea kunjungi terlihat ramai oleh orang yang berlalu lalang. Maklum, ini adalah hari minggu.
Perempuan cantik itu duduk di sebuah bangku kecil dekat air mancur. Yang ia lakukan hanyalah menatap orang-orang yang berseliweran. Ia memang sengaja melakukannya. Hari ini ia sengaja membuat jadwal : duduk manyun di taman kota ‘en do nothing!
            Dea tengah asyik mengamati aktivitas-aktivitas orang di sekelilingnya ketika tanpa sengaja tatapan matanya menangkap sosok itu.
            Sosok lelaki tampan yang mengenakan topi rajut dan berbaju kasual. Sosok lelaki yang sepertinya juga – hanya – tengah duduk manyun di salah satu bangku taman yang berada sekitar 100 meter dari tempatnya berada. Dea menyipitkan mata dan berusaha meyakinkan tatapannya. Dan ia yakin, ia memang tak salah lihat. Sosok itu memang dia!
            Dea maraih tasnya lalu bangkit. Kemudian dengan langkah mantap, ia mendekati lelaki itu.
“Gail?” Panggil Dea yakin. Sosok itu mendongak, lalu menatap langsung ke arah Dea. Kedua matanya yang teduh menyipit dengan indah. Awalnya tak ada ekspresi. Namun beberapa detik kemudian,  kedua mata itu menyiratkan keterkejutan. “Dea?” Ia mendesis lirih. Dea tersenyum. Dan perlahan lelaki itu juga.
“Kok ... di sini?” Tanya Dea spontan.
“Kamu juga. Kok di sini?” Gail juga bertanya heran.
“Ku dengar kamu di luar negeri?” Dea kembali bertanya.
“Dan ku dengar kamu juga bermukim di Jakarta?” Gail juga kembali bertanya.
Keduanya terkekeh. Mereka berjabat tangan. Gail menggeser tempat duduknya untuk menyisakan tempat bagi Dea agar ia bisa ikut duduk di sampingnya.
“Gimana kabarnya?” Dea kembali bertanya duluan. “Baik. Kamu?” balas Gail.
“Baik juga.” Dea menjawab tanpa kehilangan senyum di bibirnya.
“Ku dengar kamu ada di luar negeri sejak beberapa tahun yang lalu.”
“Aku baru kembali sebulan yang lalu. Biasa, urusan pekerjaan. Kamu?”
“Hanya berkunjung saja.” Jawab Dea.
            Mereka terus mengobrol, asyik menanyakan kabar selayaknya teman es-em-a yang lama tak bertemu.
“Sendirian aja?” Tanya Dea lagi.
“Enggak. Tuh,” dengan dagunya, Gail menunjuk ke arah seorang anak perempuan berumur sekitar 4 tahun yang tengah asyik bermain di taman bermain. Dea melongo. Ia menatap ke arah anak tersebut, lalu  beralih ke arah Gail. “Anakmu?” ia bertanya antusias. Gail tersenyum dan mengangguk. Dea tertawa. “Wuih, selamat ya. Aku nggak nyangka kamu sudah punya anak. Cantik ‘en lucu lagi. mamanya mana?” Dea menatap sekeliling, berharap bertemu dengan istri Gail.
“Dia nggak ikut. Dia di rumah.” Jawaban Gail membuat Dea sedikit kecewa. “Kamu sendiri, sudah menikah?” Gail balik bertanya. Dea tersenyum sambil menunjukkan cincin di jari manisnya. “Bertunangan.” Jawabnya. Kali ini, Gail yang ganti manggut-manggut. “Selamat ya.” Ucapnya kemudian.
Dea tersenyum. “Thanks.” Jawabnya. 
            Gail menatap sekelilingnya. “Tunanganmu nggak ikut?”
Dea menggeleng. “Enggak. Dia ada pekerjaan.” Jawabnya.
“Berencana berapa lama di sini?”
Dea mengangkat bahu. “Entahlah. Mungkin sekitar beberapa hari.” Jawabnya. Gail tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi kalimatnya tertahan ketika phonselnya berdering. “Sebentar.” Ia seakan meminta ijin pada Dea seraya meraih phonsel di sakunya. Pemuda itu bangkit dan melangkah menjauhi Dea untuk segera menerima telpon. Tak berapa lama kemudian ia terlibat pembicaraan singkat.  Setelah selesai, ia kembali menghampiri Dea.
“Sori ya, si kecil udah dicariin mamanya tuh. Aku pergi dulu, tak keberatan ‘kan?” ia memohon.
Dea tersenyum dan menggeleng. “Oke,” jawabnya pendek. Gail tersenyum lalu berbalik.
            Harusnya Dea membiarkannya. Harusnya ia membiarkan Gail pergi dari hadapannya. Tapi hati nuraninya tak bisa diajak kompromi. Alih-alih, ia malah bangkit dan meneriakkan namanya.
“Gail!” Panggilnya. Yang dipanggil berbalik. “Ya?” ia menjawab. Menatap Dea dengan penasaran.
Dea melangkah mendekatinya dengan mantap. “Boleh aku minta nomer hapemu?” Ia bertanya langsung. Gail tertegun sesaat. Tapi kemudian ia tersenyum lalu mengangguk. Dan segera sederet nomor meluncur dari bibirnya.
            Dea menyimpan nomor phonselnya.

***

            Dea menatap deretan nomor itu dengan seksama. Hampir 10 menit lamanya ia menatap layar phonsel yang menampilkan nomor Gail.
            Gail.
            GAIL.
            Ia hanya tak menyangka bahwa ia akan dipertemukan lagi dengan sosok itu. Sosok yang pernah ia pacari ketika mereka masih duduk di bangku SMA, lalu ia campakkan begitu saja!
Bisa kau catat itu? Dea mencampakkan Gail, begitu saja. Tak perlu diulangi lagi ‘kan?
Waktu itu mereka masih sangat muda. Dan Dea sadar dia begitu egois, melakukan banyak kesalahan.
            Gail cinta pertamanya.
            Gail juga pacar pertamanya.
Mereka pernah berpacaran selama hampir 5 bulan. Tapi hubungan itu kandas karena orang tua Dea tak pernah menyetujui hubungan mereka. Alasannya klise. Status.
Orang tua Dea termasuk keluarga yang berada. Sementara orang tua Gail hanyalah buruh pabrik. Ayah Dea mengancam tidak akan pernah merestui hubungan mereka walau hanya sebatas pacar, sampai kapanpun. Bertepatan dengan itu, orang tua Dea harus hijrah ke Jakarta karena urusan pekerjaan. Dan Dea-pun menuruti kemauan orang tuanya. Ia ikut ke Jakarta, meninggalkan Gail, begitu saja. Ia pergi meninggalkan cowok itu, tanpa penjelasan, tanpa mengatakan apapun.
            Meskipun begitu, selama ini Dea rajin mencari tahu keadaan Gail dari teman-temannya yang ada di Malang. Itulah kenapa ia tahu bahwa mantan pacarnya itu sudah beberapa tahun menetap di luar negeri. Mereka bilang,  ia mendapatkan pekerjaan yang mapan sebagai seorang akuntan di sebuah perusahaan jasa.
            Dan sekarang, tentu ia kaget mendapati Gail berada di Malang. Hatinya sempat bertanya-tanya. Kenapa Tuhan mempertemukan lagi ia dengannya? Apakah ini isyarat bahwa Dea memang harus ketemu dengan Gail dan meminta maaf padanya karena beberapa tahun yang lalu ia pergi meninggalkannya, begitu saja, tanpa rasa tanggung jawab?
            Mungkin iya.
            Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi Dea untuk meminta maaf pada Gail sebelum ia menikah dengan Dimas. Setidaknya dengan begitu, ia takkan punya rasa beban lagi karena terus menerus dirundung penyesalan.
            Dea menarik nafas berat.
            Gamang. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk mencoba menelpon Gail.
            Dalam hati ia berujar, jika yang menjawab telponnya adalah Gail sendiri, maka ia akan meminta maaf padanya. Tapi jika yang menjawab telponnya adalah istrinya, maka ia memutuskan untuk tidak menghubungi Gail, selamanya.
            Tut ... tut ... tut ....
            Terdengar bunyi klik. Seseorang menerima telpon tersebut. Hati Dea berdebar, menanti dengan perasaan cemas.
            Halo.”
Itu suara Gail!
“Halo.” Dea menjawab, suaranya tergagap. Tiba-tiba saja perasaannya campur aduk tak menentu.
“Gail?” Ia memastikan.
“Ya.”
“Aku ... Dea.”
             Hening sesaat.
            “Hai, Dea. Ini ... kejutan. Aku nggak nyangka kamu bersedia menelponku.” Suara Gail terdengar riang. Aku tertawa lirih.
            “Mumpung aku di sini dan kita ketemu. Jadi, aku ingin menyambung tali silaturahmi aja.” Jawab Dea. Terdengar Gail juga tertawa lirih.
            “Aku nggak mengganggu ‘kan?”
            Oh, enggak. Sama sekali enggak. Aku malah seneng  kamu menelponku.” Jawab lelaki tersebut.
            Hening sesaat.
            “Gail, beberapa minggu lagi aku akan menikah. Aku ingin mengundangmu secara resmi. Jadi jika kamu tak keberatan ...”
            “Besok aku akan ada di taman sekitar jam 3 sore.”
            Dea tertegun. Kenapa Gail mengatakan bahwa ia akan di sana jam 3 sore? Apa ini artinya lelaki itu mengajaknya bertemu? Atau ...
            Hening lagi.
            “Oke. Kita akan ketemu lagi di sana.” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Dea. Sempat ada perasaan deg-degan karena ia cemas dengan jawaban Gail selanjutnya. Bagaimana jika lelaki itu tak mengajaknya bertemu? Bagaimana jika Gail hanya sekedar memberitahu bahwa ia akan di taman jam 3 sore? Bagaimana jika ...
            Perasaan cemas itu berubah menjadi sebuah senyuman di bibir Dea ketika ia mendengar Gail dari seberang sana menjawab : “Oke.”

***

            Dea tiba di taman jam 3 lebih 10 menit. Dan ia menyaksikan sosok itu sudah ada di sana. Mengenakan baju kasual dan topi rajut, duduk di salah satu bangku dengan begitu elegan. Tatapan matanya menatap ke arah beberapa anak yang tengah asyik bermain di jungkat-jungkit. Sesekali ia tersenyum. Tenang.
            Dea menggigit bibir. Pria itu tetap saja memancarkan aura ketampanan yang luar biasa. Dia tahu bahwa Gail sudah cakep sejak SMA. Tapi sekarang, ketampanannya seakan berlipat ganda.
            Hati Dea berdesir.
            Ayolah, Dea. Lelaki itu sudah menikah dan punya anak, dan kau sudah bertunangan. Ia seakan mengingatkan dirinya sendiri. Berharap bahwa itu akan menghilangkan pesona Gail, berharap bahwa itu akan menghilangkan getar-getar cinta yang – sepertinya – masih ia rasakan pada sosok pria yang berada beberapa meter darinya.
            Dea menarik nafas panjang sebelum akhirnya melangkahkan kakinya mendekati Gail.
            “Hai.” Ia menyapa duluan. Gail mendongak. Mata coklatnya yang indah menyipit sesaat, lalu senyum tersungging di bibirnya. Senyum yang masih saja menawan. Dea memuji dalam hati.
            “Hai.” Lelaki itu menjawab dan serta merta menggeser posisi duduknya. Dea balas tersenyum dan duduk di samping pria itu. “Sudah lama?” Ia bertanya.
            “Lumayan.” Jawab Gail.
            “Anakmu nggak ikut?” Dea bertanya dengan dengan sedikit gugup.
            “Enggak.” Jawaban itu pendek.
            Keduanya berpandangan sesaat, lalu membuang pandangan mereka masing-masing ke arah yang berlawanan. Situasi sedikit kikuk. Lebih kikuk dari yang kemarin.
            “Setiap sore aku sering ke taman ini. Terasa tenang aja.” Gail membuka suara, berniat mencairkan suasana. Dea manggut-manggut.
            “Berapa lama kamu berencana ada di Indonesia?” Dea menyilangkan kakinya, mencoba lebih rileks. Ia menatap ke arah segerombolan anak muda yang bermain skate board.
            “Selamanya.”
            Jawaban Gail membuat Dea menoleh menatapnya, sesaat. “Kamu nggak berencana balik ke luar negeri? Lalu pekerjaanmu?”
Gail mengangkat bahu.
            “Aku sudah mengundurkan diri.  Ada alasan pribadi yang mengharuskan aku untuk pulang ke Indonesia, selamanya.” Jawabnya. “Mm, alasan keluarga.” Lanjutnya.
            Pasti karena ia tak mau berjauhan dengan keluarganya, Dea berpikir.
            “Ceritakan tentang dirimu.”
            “Hm?” Dea kembali menoleh ke arah lelaki tersebut.
            “Ceritakan tentang dirimu. Maksudku, kamu kemana aja setelah pindah dari Malang? Aku tahu pertanyaan ini terdengar nggak sopan, tapi ... aku benar-benar ingin tahu tentang dirimu setelah sekian tahun berlalu.”
            Mereka berpandangan sesaat.
            Dea berdehem lalu membuang pandangannya ke arah lain.
            “Well, nggak ada yang istimewa. Setelah pindah ke Jakarta, aku melanjutkan sekolah, aku kuliah, lalu bekerja. Dan beberapa tahun kemudian aku bertemu seseorang, dan kami memutuskan untuk menikah. Begitu saja.”
            “Siapa nama calon suamimu?”
            “Dimas.” Dea menjawab cepat.
            “Dia ... pilihanmu sendiri?” Pertanyaan Gail terdengar ragu. Tapi Dea tak terkejut mendengar ia menanyakan hal itu. Sepertinya wajar saja ia menanyakan perihal pilihan hidupnya setelah apa yang mereka alami ketika SMA.
            “Sebenarnya orang tua kami yang mempertemukan kami. Tapi tidak ada paksaan sama sekali. Keputusan untuk menjalankan suatu hubungan yang lebih serius, itu pilihan kami. Dia mencintaiku, aku mencintainya, dan begitulah, kami memutuskan menikah.” Dea menjelaskan dengan bahasa sesederhana yang ia bisa. “Kamu sendiri? Ceritakan tentang kehidupanmu.” Kali ini ia yang meminta pada Gail. Lelaki itu tersenyum.
            “Sama sepertimu. Semua berjalan biasa saja. Setelah tamat SMA aku kuliah, aku bekerja, lalu bertemu seseorang, kemudian menikah dan punya anak.” Ia menjawab.
            Keduanya manggut-manggut.
            “Aku berharap kamu bisa datang ke pernikahanku. Itupun kalau kamu nggak repot.”
            Gail tersenyum dan mengangguk. “Akan ku usahakan. Diselenggarakan di Jakarta ‘kan?”
            Kali ini Dea yang mengangguk. Tapi ia yakin Gail hanya berbasa-basi. Ia yakin lelaki itu tak berniat datang ke pesta pernikahannya.
            “De ... Aku ingin menanyakan sesuatu hal padamu.”
            Kalimat Gail terdengar lirih. De... Hati Dea berdesir mendengar panggilan itu. Gail adalah satu-satunya orang yang memanggilanya dengan panggilan itu. De, panggilan yang manis, lembut, penuh kasih.
            “Apakah aku telah berbuat salah padamu?”
            Pertanyaan yang meluncur dari mulut Gail membuat Dea tercengang. “Maksudmu?”
            Lelaki itu tak segera menjawab.
            “Waktu itu kamu pergi. Kamu ninggalin aku, begitu saja. Begitu saja, De. Kamu menghilang seperti ditelan bumi hingga aku nggak bisa menemukanmu. Setelah kamu pergi, aku berusaha mencarimu selama beberapa hari, kalau kamu tahu. Tapi ... kamu lenyap.” Ia menelan ludah. “Hingga akhirnya aku bertanya-tanya, apa yang telah kulakukan padamu? Apakah aku telah menyakitimu hingga kamu pergi dariku? Aku tahu bahwa orang tuamu tidak menyukaiku. Tapi setidaknya, bukankah aku layak mendapat penjelasan?”
            Tenggorokan Dea terasa kering. Ia menatap lelaki di hadapannya dengan penuh penyesalan.
“Maafkan aku, Gail.” Akhirnya kalimat itu yang keluar terlebih dahulu. “Maafkan aku.” Ia mengulanginya lagi.
            “Aku memang berutang penjelasan padamu. Dan ....” Ia menggeleng. “Kamu nggak salah. Kamu nggak menyakitiku. Justru akulah yang telah melukaimu dengan meninggalkanmu begitu saja.” Lanjutnya. Dea menunduk sebentar hanya untuk mengerjapkan matanya yang berair.
            “Kamu benar. Ayahku nggak menyukaimu. Ia menyuruhku meninggalkanmu, dan aku menurutinya. Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf karena ... pergi begitu saja.”
            Hanya sebatas itu. Hanya sebatas itu yang Dea mampu katakan. Sebelum ke taman tadi sebenarnya ia sudah menyusun serangkaian kalimat panjang yang ingin ia utarakan pada Gail sebagai ungkapan maaf. Tapi semua seakan menguap begitu saja sehingga yang tersisa hanyalah kata-kata itu.
            Ia juga tak sanggup menatap mata Gail. Ia takut. Ia takut bahwa mata yang senantiasa menatap dengan penuh kehangatan itu akan berubah tajam dan penuh amarah.
            Dea mendengar Gail menarik nafas pelan. Hening sesaat.
            “Sekarang aku lega.” Ucapnya. “Aku lega karena kamu sudah menjelaskan segalanya padaku.” Ucapnya.
“Kamu membenciku?” tanya Dea spontan. Dan mereka kembali beradu pandang.
            Dea takjub. Sepasang mata teduh itu masih menatapnya dengan hangat.
            “Aku nggak bisa membencimu, De.” Jawab Gail.
            “Aku nggak mungkin bisa membencimu karena kamu adalah satu-satunya perempuan yang ...” Kalimat Gail terhenti. Seolah kalimat selanjutnya akan menjadi sebuah dosa hingga lelaki itu harus menghentikannya. Dea mematung. Tidak. tidak mungkin Gail masih merasakan perasaan yang sama dengannya ....
            Cepat-cepat perempuan itu bangkit. Ada yang tidak benar di sini. Jika ia terus berada di sisi lelaki itu, pertahanannya akan goyah. Lelaki itu sudah menikah, dan ia sendiri juga akan menikah. Jadi ...
            “De...?” Gail memanggil lirih, heran karena perempuan itu bangkit dengan tiba-tiba.
            “Maaf, Gail. Kayaknya aku harus pergi dulu deh. Aku lupa kalo hari ini aku juga ada janji dengan seorang kawan lama.” Dengan gugup Dea berbalik dan beranjak.
            “De ....” Gail kembali memanggil namanya dengan lembut. Kali ini lelaki itu juga bangkit, tapi ia tak berusaha mengejar. Tapi panggilan itu cukup untuk membuat langkah Dea terhenti. Perempuan itu berbalik dan kembali menatap Gail dengan tatapan syarat emosi yang tertahan.
            “Aku lega kamu baik-baik aja, De.” Ucap Gail lagi.
            “A-aku juga lega kamu baik-baik aja.” Dea mengangguk dan menjawab dengan gugup.
            “Terima kasih kamu mau menjelaskan sedikit kesalah pahaman di antara kita. Dan ... terima kasih karena kamu mau menemuiku hari ini.” Gail melanjutkan kalimatnya. “Aku senang.” Lelaki itu tersenyum.
            Dea menggigit bibir frustasi lalu kambali mengangguk. “Aku juga senang.” Jawabnya.
            “Untuk pernikahanmu, maaf, sepertinya aku nggak bisa datang.” Kali ini kalimat Gail lirih. Ia memasukkan tangannya ke saku celana dengan canggung. Sementara Dea juga sibuk meremas-remas tali tas-nya dengan canggung pula. Ia tersenyum kaku lalu mengangguk lagi.
            “Nggak apa-apa. Aku tahu kamu sibuk.” Jawabnya. “Well, sepertinya aku harus pergi ...”
            “Ya, pergilah. Mungkin temanmu sudah menunggu. Hati-hati di jalan ya.”
            “Ya. Kamu juga, hati-hati pulangnya nanti.”
            “Oke.”
            “Oke.”
            Keduanya saling melempar senyum. Kemudian dengan segera Dea berbalik dan melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Meninggalkan taman, menyeberang jalan, berjalan begitu saja tanpa tahu arah mana yang ia tuju.
            Ia hanya tahu bahwa ia harus segera menyingkir dari sini, dari dekat Gail. Lelaki itu ibarat magnet, dan ia takut tertarik lagi ke arahnya. Karena jika ia sampai tertarik lagi, ia takut tak bisa menyelamatkan diri dari pesonanya. Takkan bisa.
            Sambil merutuk dalam hati, Dea terus melangkah. Ketika sampai di ujung jalan, dekat dengan perempatan lampu merah, tiba-tiba saja kaki mungilnya terperosok ke sebuah lubang di dekat trotoar dan tubuhnya terjerembab. Ia memekik ketika selanjutnya ia merasakan kepalanya menghantam pot pinggir jalan!

*** 

bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar