Kamis, 19 Juni 2014

Cerpen "The Boy In My Dream"



06-03-2012
RS. Graha Amerta, Surabaya



            Ya, mimpi itu selalu terulang setiap malam. Lagi dan lagi. Dalam mimpiku, aku menyaksikan seorang cowok manis yang berdiri di dekat jembatan. Menatapku dengan sayu, lalu mengulurkan tangannya. “Aku telah menunggumu,” itu kata yang meluncur dari bibirnya. Selalu kata-kata yang sama. Namun, aku bahkan belum menggerakkan badanku ketika tiba-tiba dia berbalik lalu menceburkan dirinya  ke dalam sungai dan tubuhnya tak pernah muncul lagi ke permukaan! Dia tenggelam! Bunuh diri!
“Jadi kamu masih mimpiin tentang hal itu?” Meta, teman sebangkuku bertanya dengan penuh antusias. Aku mengangguk pelan.
“bermimpi ketemu cowok cakep, tiap malem, aih romantis banget. Itu pasti jodohmu, Na. Belahan jiwamu, soulmate-mu. Suatu saat nanti kalian pasti ketemu dan kalian ditakdirkan untuk bersama selamanya,” seperti biasa, ia berlebihan. Aku tergelak.
“Kau terlalu banyak nonton sinetron,” ujarku.
“Tidakkah kau merasa ini adalah hal yang menarik?”
“Tidak,” jawabku cepat.
“Kamu gak romantis,”
“Emang enggak,” jawabku lagi. Meta mencibir.
Aku terdiam sesaat. Dan mau tak mau aku tetap terpikir dengan perkataannya.
Cowok yang senantiasa datang dalam mimpiku itu __ jodohku? Belahan jiwaku? Busyet, aku gak percaya banget! Adakah hal-hal seperti itu yang terjadi di dunia nyata? Sepertinya tidak! Hal-hal serba kebetulan seperti itu hanya ada di dunia sinetron dan film. Lagipula, dalam mimpiku tersebut, cowok ganteng bermata teduh itu bunuh diri dengan loncat dari atas jembatan. Jika mimpi itu adalah suatu tanda bahwa kami berjodoh, bukankah seharusnya dalam mimpi tersebut kami bertemu dengan romantis kemudian menikah?
“Liburan nanti ada acara kemana?”
“Gak kemana-mana,” jawabku seraya merapikan semua perlatan tulisku lalu memasukkannya ke dalam tas.  “Ikut aku, yuk. Liburan ke kampung. Ke rumah nenekku,”
“Males,” jawabku sekenanya.
“Males kau bilang? Tahun lalu ku sudah janji mau ikut. Nyatanya kau ingkar janji. Apa sekarang kau mau ingkar janji lagi? Ya udah, sebaiknya kita gak usah temenan!”
Meta menatapku dengan tajam. Nyaliku langsung ciut.
“I-iya deh,” Jawabku kemudian.
“Nah, gitu dong,” ia tersenyum penuh kemenangan.


           
            Pagi itu aku sengaja mengambil waktu untuk jalan-jalan sendirian mengelilingi kampung. Ketika sampai di sebuah tempat, aku hanya bisa melongo takjub. Astaga, ini luar biasa indah. Hamparan sawah yang menghijau. Bukit-bukit dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Sungai kecil dengan air sebening kristal, ah, aku benar-benar tak rugi datang ke sini. Aku benar-benar tak menyangka bahwa kampung nenek Meta akan sebagus ini!
Belum hilang rasa kagum dengan apa yang ada di sekelilingku, pandanga mataku di buat terpaku pada sebuah jembatan di atas sungai kecil yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Ini __ mirip sekali dengan yang ada dalam mimpiku.
Tanpa sadar, aku melangkahkan kakiku mendekati jembatan tersebut dan ___ sosok itu ada! Seorang cowok jangkung yang berdiri membelakangiku. Apa aku sedang bermimpi lagi?
“Hei,” tanpa sadar aku membuka suara.
Cowok itu berbalik dan menatapku. Deg, aku terhenyak. Sama persis! Sama persis dengan yang ada di dalam mimpiku selama ini! Aku sedang tidak bermimpi ‘kan? Tapi, bagaimana mungkin___?
“Hei,” cowok itu membalas sapaanku lalu tersenyum. Manis sekali.
“Apa kau akan loncat dari sini?” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Cowok itu mengernyitkan dahinya. “Apa?”
“apa kau berniat terjun ke sungai?”
“Terjun ke sungai? Buat __ apa? Aku suka berenang, tapi maaf, untuk hari ini aku lebih suka menikmati pemandangan dari sini,” jawabnya. Aku mendesah lega.
“Syukurlah kalo begitu,” gumamku pelan.
“Apa kau juga akan menikmati pemandangan ini bersama-sama denganku? Kemarilah,” cowok itu menggerakkan tangannya. Aku sedikit ragu. Tapi akhirya, aku melangkahkan kakiku dan berdiri tak jauh darinya.
“Apa kau tinggal di kampung ini?” ia bertanya.
“Tidak. Dan kau, apa kau tinggal di kampung ini?”
“Tidak,”
“Lantas?”
“Nenekku tinggal di sini. Jadi aku datang untuk berlibur dan mengunjunginya. Kalau kau?”
“Aku juga berlibur mengunjungi nenek. Tapi dia bukan nenekku. Dia nenek temanku,”
Cowok itu manggut-manggut. Aku menatapnya sekian detik. Tampan sekali. Iseng aku mencubit lenganku sendiri untuk memastikan bahwa aku sedang tidak bermimpi. Dan, aw, aku merasakan sakit.
“Kau mencubit lenganmu sendiri? Kenapa?”
“Eh, tidak,” jawabku gelagapan.
“Boleh aku tahu namamu?” ia bertanya dengan ramah sambil kembali menatapku dengan dalam. Tatapan matanya begitu teduh. Jantungku berdesir. Ah, aku serasa meleleh.
“Kalo namamu?” aku balik bertanya.
“Yohan,” ia menjawab cepat.
Aku setengah mendelik.
“Yohan? Bukan Yohana?” aku memastikan. Cowok berhidung mancung itu menggeleng.
“Namaku Yohan. Dan kamu?”
Aku tak segera menjawab.
“Kau keberatan memperkenalkan namamu?” ia mengulang pertanyaannya.
“Yohana,” jawabku kemudian.
“Heh?” Ia menatapku heran setengah tak percaya, tepat seperti dugaanku.
“Namamu __ Yohana?” ia seakan membutuhkan penegasan dariku. Aku mengangguk. Sesaat kemudian ia tertawa.
“Yohan dan Yohana. Wah, manis sekali kedengarannya,” ia kembali tertawa renyah. Dia bilang, wah, manis sekali kedengarannya? Aih, entah kenapa aku merasa itu adalah sebuah pujian dan aku sempat ge-er.
“Kau sudah sering ke sini?” cowok bernama Yohan itu kembali bertanya.
“Tidak, ini baru pertama kalinya untukku,” jawabku.
“Oh ya? Aku yakin kau pasti menyukainya. Pemandangan di sini benar-benar menakjubkan luar biasa. Itulah kenapa, aku selalu menyempatkan datang ke sini jika sedang liburan,”
Aku mengangguk.
“Kau benar. Pemandangan di sini benar-benar luar biasa cantik. Aku benar-benar cinta pada tempat ini,” jawabku lagi.
Yohan kembali menatapku dengan dalam hingga membuatku jengah.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” ia bertanya. Aku mengernyitkan dahiku.
“Maksudmu?”
Yohan mengangkat bahu.
“Entahlah, hanya saja, aku serasa pernah bertemu denganmu sebelumnya. Tapi di mana dan kapan, ah, entahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja,” Yohan setengah menggumam.
Aku balas menatap cowok tersebut lalu tersenyum.
“kurasa kita belum pernah bertemu sebelumnya,” jawabku.
Yohan manggut-manggut. “Ya, mungkin itu hanya firasatku saja,” ia kembali menggumam.
Aku melirik arlojiku.
“Maaf, aku harus kembali ke rumah temanku,” aku beranjak.
“Apa kita bisa bertemu lagi?” teriakan Yohan membuat langkahku terhenti. Aku kembali berbalik.
“Entahlah, mungkin saja,” jawabku.
“Aku ingin bertemu lagi denganmu. Bagaimana caranya?”
Aku terpaku dengan kalimat yang meluncur dari bibir Yohan. Sesaat kami bertatapan. Dan perlahanpun sederet angka meluncur dari bibirku. Ya, aku memberitahunya nomor telponku!
Yohan tersenyum, begitu pula aku. Ah, entahlah. Jangan tanya tentang hubungan antara mimpiku dengan kejadian hari ini karena akupun tak bisa menjelaskannya. Yang pasti, Yohan benar-benar cowok termanis yang pernah ku kenal selama ini. Dan, hari ini benar-benar menyenangkan!

selesai


10.03.2012




Tidak ada komentar:

Posting Komentar