Take
berlari-lari kecil menghampiri Nanami yang telah menunggunya di depan pintu
gerbang. Sebenarnya kemarin ia telah mengutarakan niatnya untuk mengajak Nanami
berjalan-jalan di pinggir sungai. Take mengatakan bahwa ada dua anak anjing
liar yang terlantar di sana dan saat ini belum ada yang mau mengadopsinya. Take
berniat melakukannya, tapi sayangnya orang tuanya tak mengijinkannya memelihara
binatang karena mereka punya usaha toko makanan.
Take tahu
Nanami suka binatang. Ketika ia
menceritakan tentang dua anak anjing itu, Nanami antusias untuk mengadopsinya.
“Ah, ku pikir kau lupa.” Ujar Nanami.
Take meringis menyesal.
“Maaf, ada sesuatu yang harus ku
kerjakan lebih dulu. Tapi, hari ini jadi ‘kan?”
Nanami mengangguk. Ia menunjukkan tas
yang ditentengnya. “Lihat, aku membawa banyak makanan untuk anjingnya. Mereka
harus di rayu-rayu dulu agar mau diajak pulang.” Ujarnya.
“Whoa, kau pengalaman juga ya?”
Nanami kembali mengangguk dengan
antusias.
“Aku sudah berhasil membawa 2 ekor
kucing dan seekor anjing liar.” Jawabnya lagi.
Mereka berjalan beriringan menuju halte
bis.
“Take, terima kasih ya.” Ucap Nanami
ketika mereka duduk bersebelahan di kursi tunggu halte karena bis yang akan
mereka tumpangi belum datang.
“Untuk apa?” Take menatapnya bingung.
“Aku tahu akhir-akhir ini kau berusaha
menghiburku atas apa yang terjadi antara aku dan Yano.” Jawabnya. Take
manggut-manggut.
“Aku hanya tak suka melihatmu murung.
Kau lebih cantik kalau sering tersenyum dan ceria seperti biasanya.” Ujarnya.
Nanami memeluk tas di pangkuannya. Ia
menatap ke arah jalanan yang tidak terlalu ramai.
“Kau pernah berkata bahwa mencintai Yano
ibarat ikut lomba lari. Tak peduli seberapa sering aku harus jatuh bangun,
jungkir balik, aku harus berlari sampai selesai. Tapi, ternyata itu tak mudah,
Take. Aku mencintai Yano dengan segenap hatiku. Tapi jika ia masih saja
terpuruk dengan kenangan Nana, maka aku
takkan bisa membahagiakannya. Karena orang yang ia harapkan ternyata bukanlah
aku, melainkan Nana.” Ucap Nanami.
Take menarik nafas panjang. Ia menatap
cewek di sampingnya dengan lembut.
“Semua orang butuh waktu, Nanami. Sama
seperti dirimu yang seolah-olah butuh waktu untuk menerima Yano apa adanya,
Yano juga butuh waktu untuk melupakan Nana selamanya.” Ujarnya.
Nanami terdiam.
“Take, dalam hal ini, apa aku yang
bersalah?” Kali ini Ia menatap Take. “Apa aku bersalah karena tak bisa memahami
Yano sepenuhnya? Apa aku bersalah karena tak bisa menerima Yano hanya karena ia
masih mencintai Nana?”
Take menggeleng pelan.
“Aku tak tahu, Nanami. Hanya kau yang
bisa menjawab pertanyaan itu. Tapi satu hal yang pasti, kau tak akan pernah
bisa menandingi Nana. Kau tahu kenapa? Karena kau masih hidup, dan dia sudah
tidak ada. Orang hidup, takkan pernah bisa bersaing dengan orang mati.” Ujarnya
lirih.
Nanami termangu.
“Oh, itu bis nya datang.” Take bangkit.
“Yuk.” Ajaknya ketika ia menyadari Nanami masih duduk mematung.
Nanami tergagap dan mendongak. “Ya.” Ia
bangkit. Bis baru saja berhenti di depan halte ketika mereka melihat Yano
berlari ke arah mereka dengan nafas terengah-engah.
“Nanami!” Panggilnya.
Nanami dan Take menatapnya dengan
bingung. Yano berhenti tak jauh dari mereka, meletakkan kedua tangannya di
lutut lalu menata nafasnya yang naik turun.
“Aku tak mau putus denganmu.” Ucapnya
dengan nafas tersengal. Tatapannya lurus ke arah Nanami.
“Jika kau menganggap aku kurang baik
untukmu, maka aku akan berusaha lebih baik. Jika kau memintaku melakukan apapun
untukmu, maka akan kulakukan.” Yano menelan ludah. Ia menegakkan tubuhnya.
“Jika kau memintaku melupakan Nana
selamanya, maka akan kulakukan. Apapun itu, akan kulakukan untukmu!” Teriaknya.
Nanami terhenyak.
“Aku mungkin masih teringat akan Nana.
Tapi apa yang kurasakan padamu adalah nyata. Cintaku nyata, perhatianku nyata,
rasa sayangku nyata. Kembalilah padaku, Nanami!” Ia kembali berteriak.
Nanami mematung. Take beranjak memasuki
bis.
“Nanami. Bis-nya akan segera berjalan.”
Panggilnya seraya mengulurkan tanganya ke arah cewek yang tampak bingung
tersebut.
Nanami menatap ke arah Take, lalu
kembali ke arah Yano. Tapi akhirnya ia menerima uluran tangan Take dan
melangkahkan kakinya memasuki bis. Pintu tertutup dan kendaraan itu mulai
berjalan. Yano berlari mendekati pintu.
“Aku akan menunggumu, Nanami! Aku akan
menunggumu kembali padaku!”
Teriaknya. Bis berjalan semakin cepat,
dan langkah Yano terhenti.
***
Nanami
memeluk tas di dekapannya dengan lebih erat. Pikirannya terasa kalut. Bis yang
ia tumpangi terus berjalan, tapi ia tahu hatinya tertinggal di sana, di halte, tempat Yano berada.
“Kau ingin turun di pemberhentian
berikutnya?” Pertanyaan Take seakan membuat Nanami terjaga dari tidur. “Eh?” Ia
bingung. Cowok yang duduk di sampingnya tersenyum.
“Pemberhentian selanjutnya tidak terlalu
jauh dengan sekolah. Kau bisa kembali ke sana.” Ucapnya lagi. Nanami menunduk.
Batinnya bergolak.
“Take, apa menurutmu saat ini Yano
sedang menangis?” Tanyanya pelan.
Take tak segera menjawab. “Sepertinya
begitu.” Jawabnya kemudian, lebih pelan.
Nanami merasakan dadanya sesak.
“Jika
kita menunda acara hari ini, kau tak keberatan ‘kan?” Ia mendongak, menatap
Take. Cowok itu balas menatapnya. Ia tersenyum lalu mengangguk.
“Kembalilah ke sekolah. Tak apa-apa.”
Ujarnya. “Dia di halaman belakang, di pojok, dekat ruang seni. Itu tempat
persembunyiannya ketika suasana hatinya sedang tak baik.” Lanjutnya. Nanami tak
bersuara, tapi Take tahu bahwa cewek itu telah memutuskan untuk kembali ke
sekolah, menemui Yano.
***
Sesuai
perkiraan Take, Yano ada di sana. Di halaman belakang, dekat ruang seni. Cowok
itu merebahkan tubuhnya di rerumputan dengan posisi terlentang. Salah satu
tangannya mengepal di atas rumput, sementara lengan tangan yang satunya ia
gunakan untuk menutupi kedua matanya.
“Yano.” Panggil Nanami lirih. Cowok itu
tak bersuara. Tapi ia yakin panggilannya di dengar olehnya.
Nanami
melangkahkan kakinya untuk mendekatinya. Hatinya tercabik-cabik. Ia hanya tak
bisa mengerti dengan hubungan mereka. Ada apa dengan mereka berdua?
Nanami tak ingin menyakiti hati Yano.
Begitu pula sebaliknya, ia tak ingin disakiti olehnya. Kenyataannya, cowok itu
telah membuat hatinya terluka sehingga ia memutuskan untuk meninggalkannya.
Tapi sekarang, di sinilah dia. Mengejar
Yano, lagi...
Nanami
duduk di samping Yano.
“Kenapa kau kemari?” Yano membuka suara.
Suaranya yang parau, seolah menyimpan jutaan luka dan penyesalan. Cowok itu tak
merubah posisinya. Ia tetap terlentang, tak bergerak. Ia juga tak berusaha
menyingkirkan lengan yang menutupi sebagian dari wajahnya.
“Karena ku pikir kau akan menangis.” Jawab
Nanami seraya menatap Yano lagi.
Yano terkekeh sinis.
“Aku tak menangis. Aku tak menangis.” Jawabnya. Tapi Nanami tahu cowok itu berbohong.
Karena ia melihat air bening mengalir di pelipisnya.
Bibir
Nanami bergetar. Ia menggigitnya keras hingga terasa sakit. Dan perlahan air
matanya pun menitik tanpa bisa ia tahan.
“Kau menyebalkan, Nanami.” Desis Yano.
“Kau menyebalkan dari awal kita bertemu.
Mengatakan sesuatu sekehendak hatimu, mengatakan bahwa kau jatuh cinta padaku,
lalu membuat perasaanku jungkir balik. Setelah itu kau pergi, meninggalkanku
begitu saja, seenak hatimu.” Lanjutnya. Bibirnya bergetar. Air mata makin deras
mengaliri pelipisnya.
“Kau pembohong.” Ucapnya lagi.
“Kau pembohong besar. Kau telah berjanji
untuk senantiasa bersamaku. Kau telah berjanji untuk tidak meninggalkanku.
Kenyatannya apa? Kau pergi. Kau pergi begitu saja.”
Nanami
memeluk lututnya lalu menyembunyikan wajahnya di sana. Dan tangisnya pecah. Ia
terisak.
Keduanya
sama-sama menangis, selama beberapa menit.
Dan
setelah lelah menangis, Yano bangkit. Ia menatap Nanami yang masih
menyembunyikan wajahnya di dekapan lututnya. Cowok itu beringsut, meraih
kepalanya, lalu memeluk cewek itu dengan erat.
“Kembalilah padaku, Nanami.” Ucapnya
tulus.
Nanami tak menjawab. Tapi Yano merasakan
anggukan kepalanya.
***
Take
menghempaskan tubuhnya di samping Yano yang menghabiskan waktu istirahatnya
hanya dengan duduk-duduk di bangku taman.
“Jadi, kalian sudah berbaikan lagi.” Ia
bertanya antusias. Yano hanya menjawab dengan senyuman.
“Syukurlah. Kalau begitu aku punya
hadiah untukmu.”
Yano menatap sahabatnya itu dengan bingung.
Take mengeluarkan phonselnya. Ia menunjukkan sesuatu. Foto Nanami, mengenakan
yukata! Yano membelalak.
“Kau bilang kau sudah menghapusnya?”
Spontan ia berteriak. Take tertawa.
“Aku berbohong.” Jawabnya enteng hingga
membuat Yano kesal.
“Akan ku kirimkan padamu.” Ujarnya lagi.
Dan hanya dalam hitungan detik, foto itu sudah terkirim ke phonsel Yano.
“Oke. Aku kemari untuk itu saja.” Take
bangkit.
“Apa ini artinya kau menyerah akan
Nanami?” Yano bertanya. Sahabatnya itu tertawa. Ia menggeleng.
“Jika kau baik padanya, aku takkan
mengejarnya lagi. Tapi jika sampai kau melukai hatinya, aku akan merebutnya
darimu.” Jawabnya. Yano mencibir.
“Sialan kau.” Desisnya. Take kembali
tertawa seraya melambaikan tangannya dan beranjak meninggalkannya.
Ketika
sampai di lapangan futsal, cowok itu segera di sambut histeris oleh Akira,
Shota dan Kenta.
“Kau hebat, Take. Kau berhasil membuat
Yano dan Nanami berbaikan kembali.” Seru Akira antusias. Take menatapnya
bingung.
“Maksudnya?” Ia menggaruk-garuk
kepalanya tak mengerti.
“Coba kalau kau tak berpura-pura
menyukai Nanami, maka Yano tidak akan tergerak untuk membuat Nanami kembali
padanya.” Jelas Akira lagi.
“Ide yang cerdas. Sengaja membuat Yano
cemburu dan akhirnya ....”
“Aku tidak pura-pura.” Potong Take. Ketiga sahabatnya bengong.
“Aku tidak berpura-pura. Aku memang
jatuh cinta dengan Nanami.” Lanjutnya.
Mereka terbelalak.
“Haa??” Ketiga cowok yang merupakan
sahabat baik Take dan Yano itu berteriak hampir bersamaan. Tapi dalam hitungan
detik kemudian, teriakan histeris mereka segera berubah melow.
“Ooh, kasihan sekali kau, Take. Kau
baik-baik saja ‘kan? Tidak patah hati ‘kan? Apa hatimu masih terluka sekarang?”
Mereka bergantian memeluk Take dan menepuk-nepuk pundaknya.
Take hanya nyengir menghadapi ulah rekan-rekannya.
***
Nanami
sedang merapikan alat-alat tulis di meja belajarnya ketika phonselnya berbunyi
dan ia menerima pesan singkat dari Yano.
Besok minggu, ayo kita jalan-jalan. Hanya kita
berdua saja, seharian penuh. Kita ketemu di Sankaku Park, jam 7. Oke?
Nanami tersenyum membaca pesan tersebut.
Hatinya gembira bukan main. Cewek itu menghempaskan tubuhnya di ranjang sambil
membaca pesan tersebut berulang-ulang. Seharian
penuh, hanya mereka berdua.
***
Salju
mulai turun. Nanami duduk di sebuah bangku di bawah pohon di Sankaku Park
sambil sesekali merapatkan jaketnya. Sebenarnya tadi ia berniat memakai celana
panjang mengingat cuaca sedang dingin. Tapi karena hari ini adalah hari spesial
bersama Yano, ia memutuskan mengenakan sebuah dress selutut yang feminin dipadu
sepatu ankle boots dengan kaos kaki pendek. Hari ini ia sengaja berdandan lebih
spesial mengingat ini hari kencan spesial semenjak mereka mulai berbaikan
kembali. Ia sudah menyusun rencana mengenai aktivitas yang akan mereka lakukan
hari ini. Jalan-jalan di taman hiburan, menonton film, makan kudapan kecil di
area food court, mereka akan melakukan aktivitas spesial hari ini. Pasti.
Cewek
itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Mereka janjian ketemu jam 7, tapi
sekarang sudah hampir jam 8. Ia menatap sekelilingnya, tak ada tanda-tanda
kemunculan Yano.
Nanami nyaris menggigil. Tapi ia tak
berniat beranjak. Berkali-kali ia mengecek phonselnya, barangkali saja ada
pesan dari Yano. Tapi tak ada. Dan barulah sekitar 15 menit kemudian, phonselnya
berdering.
“Yano...” Panggilnya segera setelah ia
menekan tombol ‘oke’.
“Nanami, maafkan aku. Sepertinya kita
harus menunda acara hari ini.” Jawab Yano.
“Dimana kau? Apa yang terjadi?” tanya
Nanami.
“Tiba-tiba saja ada urusan mendadak yang
harus ku kerjakan. Bisakah kau pulang? Nanti aku akan ke rumahmu.”
“Jam berapa?”
Yano tak segera menjawab.
“Mmm... aku tak tahu. Karena sepertinya,
ini akan sedikit lama.”
Nanami terdiam sesaat.
“Katakan padaku apa yang terjadi.”
Ucapnya kemudian, tegas.
Hening.
“Ibunya Yuri pingsan. Sekarang aku
bersamanya di rumah sakit.” Jawabnya kemudian.
Nanami seraya membeku seketika. Sesuatu
seakan menohok jantungnya hingga membuat dadanya sesak. Yuri! Yuri, lagi!
“Bagaimana keadaan ibunya?”
“Sepertinya terkena stroke. Dia belum
keluar dari ruang ICU.”
Nanami terdiam.
“Kenapa harus kau yang bersamanya?” Desisnya
kemudian, menahan amarah.
Yano tak segera menjawab.
“Kenapa harus kau yang bersamanya?!”
Teriaknya.
“Selain ibunya, Yuri tak punya
siapa-siapa lagi tempat ia bergantung.
Jadi ... aku tak bisa mengabaikannya.”
Rahang Nanami mengeras. Giginya
bergemurutuk.
Tak
bisa mengabaikannya?
“YANO, AKU TAK PEDULI! ABAIKAN SAJA DIA
DAN CEPAT DATANG KEMARI! AKU TAKKAN PULANG!!”
“Nanami ...”
Pembicaraan terputus. Nanami memasukkan
phonselnya ke tas dengan kesal. Kedua matanya berkaca-kaca. Ia takkan pulang.
Bahkan jika dia harus membeku di taman ini, ia takkan pulang sampai Yano
datang! Itu tekadnya.
***
Take
sedang membantu di toko makanan milik orang tuanya ketika phonselnya berdering.
Cowok jangkung itu melemparkan apronnya lalu meraih phonselnya yang tergeletak
di meja kasir.
“Halo, Yano?”
“Halo, Take. Aku bisa minta tolong?”
“Ada apa?”
Yano terdiam sesaat.
“Nanami sedang menungguku di Sankaku
Park. Tapi saat ini, aku tak bisa menemuinya. Jadi, bisakah kau menggantikan
aku ke sana.”
Suara Yano terdengar pelan.
Take terhenyak.
“Masalah apa lagi yang sedang kau buat?”
Ia bertanya langsung.
Yano tak segera menjawab.
“Aku di rumah sakit. Ibunya Yuri
pingsan. Jadi aku membantunya membawanya ke sini.” Jawabnya
kemudian.
“Baka!
Kalau begitu kenapa kau tak meninggalkannya sebentar lalu segera menemui
Nanami? Kenapa harus kau yang bertanggung jawab atas hidup Yuri dan ibunya?!”
Take berteriak emosi.
“Aku tak bisa, Take. Kau tahu Yuri
bernasib sama sepertiku. Dia tak punya ayah. Dia tak punya keluarga lain. Yang
dia punya hanya ibunya. Jika tidak kepadaku, kepada siapa lagi ia bergantung?”
Gigi Take bergemerutuk.
“Sudah ku bilang, apa yang terjadi
antara kau dan Yuri adalah masa lalu. Sampai kapan kau akan terus merasa
bersalah padanya?!” teriaknya.
Yano tak menjawab.
“Nanami masih di sana. Di taman. Ku
mohon, ajaklah dia pulang.” ucapnya kemudian.
Take merasakan rahangnya mengeras.
“Aku sudah memperingatkanmu, Yano. Jika
kau membuat Nanami menangis, akan rebut dia darimu, sialan!”
Take menutup telpon dengan marah, lalu
beranjak meraih jaketnya kemudian segera berlari menerjang salju, menuju ke
tempat Nanami berada.
***
Yano
dan Yuri duduk di ruang tunggu dengan cemas. Beberapa kali Yuri menyeka air
matanya yang mengalir dengan deras.
“Bagaimana jika dia meninggal, Yano? Aku
tak punya siapa-siapa lagi selain ibuku.” Ucap Yuri di sela isak tangisnya.
Yano menatapnya.
“Dia akan baik-baik saja.” Jawabnya.
Cowok itu mengetukkan tangannya di kursi tunggu dengan gusar. Ia khawatir
dengan ibu Yuri, tapi di satu sisi, ia juga mencemaskan Nanami. Salju turun
dengan lebat. Cewek itu pasti kedinginan di taman.
Beberapa
menit kemudian dokter keluar dari ruang ICU dan menemui mereka.
Dia mengatakan bahwa kondisi ibu Yuri
mulai stabil tapi belum bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Yuri tampak lega.
Dan kesempatan itu dimanfaakan Yano untuk pamit.
“Kau baik-baik saja ‘kan kalau aku keluar
sebentar? Ada suatu urusan yang harus segera ku selesaikan.” Ucapnya. Yuri
menatapnya. Tapi perlahan ia mengangguk.
“Terima kasih untuk hari ini.”
“Tak masalah.” Yano bangkit lalu
beranjak menuju pintu keluar. Yuri mengikuti di belakangya.
“Kau takkan ingin makan dulu di
kantin?” Ia menawarkan. Yano menggeleng
cepat.
“Tidak, terima kasih. Aku harus segera
pergi dulu. Jaa.” Yano
segera berlari menerjang hujan salju tanpa menunggu Yuri berkata-kata lagi.
***
Nafas
Take terengah-engah. Perlu waktu 10 menit untuk mengitari taman dan mencari
keberadaan Nanami. Hingga akhirnya ia menemukan cewek itu, duduk mematung di
kursi, kedinginan, dan menangis.
Take mendekatinya dengan pilu.
Yano mencintaimu...
Kau juga mencintainya...
Kalian pasangan yang sempurna.
Aku hanyalah seseorang yang cintanya bertepuk sebelah
tangan.
Dan aku sudah sering merelakan kalian berdua untuk bersama.
Tapi sekarang, aku melihatmu menangis. Lagi.
Kau menangis lagi karena dia...
Sekarang aku tak peduli lagi. Persetan dengan persahabatan.
Aku takkan menyerahkanmu padanya!
Aku takkan membiarkanmu menangis lagi karena dia!
Take
menyentuh kepala Nanami dengan lembut. Cewek itu mendongak. Matanya basah.
Bibirnya mulai membiru.
“Ayo kita pulang.” Ucap Take lirih.
Tangis Nanami pecah.
“Dia tidak datang, Take. Dia tidak
datang menemuiku.” Gumamnya. Bibirnya tampak bergetar.
Take mengangguk. Ia merangkul pundak
Nanami, memeluk cewek itu dengan erat, lalu membelai kepalanya dengan lembut.
“Ayo kita pulang.” Ucapnya lagi, lebih lirih.
Lebih kepada sebuah bisikan di telinga Nanami.
***
Dan
Yano terlambat.
Ia
terlalu terlambat ketika sampai di taman. Nanami sudah tak ada di sana.
berkali-kali ia mencoba menelponnya, tapi phonsel cewek itu tak aktif. Dengan
nafas yang masih tersengal, cowok itu beranjak menghentikan taksi, lalu
menyuruh pak sopir memutar arah, menuju rumah Nanami.
Ketika sampai di sana, ia masih sempat
melihat Nanami dan Take.
“Nanami!” Panggil Yano seraya mendekati
cewek tersebut. Nanami mundur beberapa langkah dan memilih bersembunyi di
belakang tubuh Take. Ia hanya tak ingin Yano melihat dirinya menangis.
“Aku tadi ke taman, mencarimu.” Ucapnya.
Nanami tak bersuara, Take juga hanya membisu.
“Nanami, maafkan aku. Aku tak bermaksud
mengingkari janji. Tapi, seseorang membutuhkan bantuanku. Jadi ...”
“Pulanglah, Yano.” Nanami membuka suara.
Tanpa melihat ke arah cowok tersebut.
“Nanami, ku mohon.” Yano memelas.
“Pulanglah.” Lagi-lagi Nanami berkata
lirih.
Take balas menatapnya.
“Pulanglah dulu, Yano. Biarkan Nanami
sendirian dulu.” Selanya.
“Aku akan pulang tapi setelah berbicara
dengan Nanami.” Yano ngotot.
Nanami terisak di balik punggung Take.
Perlahan cewek itu beringsut dan menghadap Yano.
“Tak ada yang perlu dibicarakan lagi,
Yano. Kau sudah menentukan pilihan ingin bersama siapa. Pulanglah. Aku tak mau
bicara denganmu, aku tak mau melihatmu lagi! Kau senantiasa memintaku untuk
tidak mengkhianatimu. Tapi justru kaulah yang telah mengkhianatiku!” Teriaknya.
Yano membelalak. Ia bergerak maju,
menarik lengan tangan Nanami lalu mencengkeramnya erat.
“Siapa yang berkhianat? Berkhianat
adalah ketika kita menghancurkan hati seseorang, menginjak-injaknya, lalu
meninggalkannya begitu saja! Kapan aku pernah melakukannya? Kapan aku pernah
meninggalkanmu begitu saja?!” Cengkeraman Yano kian kuat hingga membuat Nanami
meringis.
“Yano, kau menyakitinya.” Take menghalau
tangan Yano lalu mendorongnya mundur. Nanami juga mundur beberapa langkah.
Sementara Take berdiri di antara mereka.
“Aku menolong Yuri sebagai manusia.
Bukan karena alasan yang lainnya. Jika terjadi padamu, ada seseorang nyaris
mati di hadapanmu, kau juga akan menolongnya ‘kan? Ya ‘kan?” Yano menatap
langsung ke arah Take.
“Yano ...”
“Hanya saja yang kau tolong itu adalah
Yuri. Dia bukan orang luar. Dia adalah seseorang yang pernah terlibat langsung
dengan masa lalumu. Dan itu membuat hatiku sakit!” Nanami berteriak. Air
matanya mengalir deras.
Yano menatapnya dengan putus asa.
“Pulanglah. Aku tak mau melihatmu lagi.”
cewek itu kembali berucap, datar.
Yano merasakan kedua bahunya lemas.
Tatapan matanya seketika gelap, tanpa ekspresi, seolah jiwanya telah menghilang
entah kemana.
“Terserah kau saja, Nanami. Terserah kau saja.” Suara cowok itu
parau. Ia berbalik, melangkahkan kakinya dengan gontai, meninggalkan Take dan
Nanami.
***
Bersambung ....