Kamis, 29 Januari 2015

Bokura Ga Ita - Part 6



          Take berlari-lari kecil menghampiri Nanami yang telah menunggunya di depan pintu gerbang. Sebenarnya kemarin ia telah mengutarakan niatnya untuk mengajak Nanami berjalan-jalan di pinggir sungai. Take mengatakan bahwa ada dua anak anjing liar yang terlantar di sana dan saat ini belum ada yang mau mengadopsinya. Take berniat melakukannya, tapi sayangnya orang tuanya tak mengijinkannya memelihara binatang karena mereka punya usaha toko makanan.
Take tahu Nanami  suka binatang. Ketika ia menceritakan tentang dua anak anjing itu, Nanami antusias untuk mengadopsinya.
“Ah, ku pikir kau lupa.” Ujar Nanami. Take meringis menyesal.
“Maaf, ada sesuatu yang harus ku kerjakan lebih dulu. Tapi, hari ini jadi ‘kan?”
Nanami mengangguk. Ia menunjukkan tas yang ditentengnya. “Lihat, aku membawa banyak makanan untuk anjingnya. Mereka harus di rayu-rayu dulu agar mau diajak pulang.” Ujarnya.
“Whoa, kau pengalaman juga ya?”
Nanami kembali mengangguk dengan antusias.
“Aku sudah berhasil membawa 2 ekor kucing dan seekor anjing liar.” Jawabnya lagi.
Mereka berjalan beriringan menuju halte bis.  
“Take, terima kasih ya.” Ucap Nanami ketika mereka duduk bersebelahan di kursi tunggu halte karena bis yang akan mereka tumpangi belum datang.
“Untuk apa?” Take menatapnya bingung.
“Aku tahu akhir-akhir ini kau berusaha menghiburku atas apa yang terjadi antara aku dan Yano.” Jawabnya. Take manggut-manggut.
“Aku hanya tak suka melihatmu murung. Kau lebih cantik kalau sering tersenyum dan ceria seperti biasanya.” Ujarnya.
Nanami memeluk tas di pangkuannya. Ia menatap ke arah jalanan yang tidak terlalu ramai.
“Kau pernah berkata bahwa mencintai Yano ibarat ikut lomba lari. Tak peduli seberapa sering aku harus jatuh bangun, jungkir balik, aku harus berlari sampai selesai. Tapi, ternyata itu tak mudah, Take. Aku mencintai Yano dengan segenap hatiku. Tapi jika ia masih saja terpuruk dengan kenangan Nana, maka  aku takkan bisa membahagiakannya. Karena orang yang ia harapkan ternyata bukanlah aku, melainkan Nana.” Ucap Nanami.
Take menarik nafas panjang. Ia menatap cewek di sampingnya dengan lembut.
“Semua orang butuh waktu, Nanami. Sama seperti dirimu yang seolah-olah butuh waktu untuk menerima Yano apa adanya, Yano juga butuh waktu untuk melupakan Nana selamanya.” Ujarnya.
Nanami terdiam.
“Take, dalam hal ini, apa aku yang bersalah?” Kali ini Ia menatap Take. “Apa aku bersalah karena tak bisa memahami Yano sepenuhnya? Apa aku bersalah karena tak bisa menerima Yano hanya karena ia masih mencintai Nana?”
Take menggeleng pelan.
“Aku tak tahu, Nanami. Hanya kau yang bisa menjawab pertanyaan itu. Tapi satu hal yang pasti, kau tak akan pernah bisa menandingi Nana. Kau tahu kenapa? Karena kau masih hidup, dan dia sudah tidak ada. Orang hidup, takkan pernah bisa bersaing dengan orang mati.” Ujarnya lirih.
Nanami termangu.
“Oh, itu bis nya datang.” Take bangkit. “Yuk.” Ajaknya ketika ia menyadari Nanami masih duduk mematung.
Nanami tergagap dan mendongak. “Ya.” Ia bangkit. Bis baru saja berhenti di depan halte ketika mereka melihat Yano berlari ke arah mereka dengan nafas terengah-engah.
“Nanami!” Panggilnya.
Nanami dan Take menatapnya dengan bingung. Yano berhenti tak jauh dari mereka, meletakkan kedua tangannya di lutut lalu menata nafasnya yang naik turun.
“Aku tak mau putus denganmu.” Ucapnya dengan nafas tersengal. Tatapannya lurus ke arah Nanami.
“Jika kau menganggap aku kurang baik untukmu, maka aku akan berusaha lebih baik. Jika kau memintaku melakukan apapun untukmu, maka akan kulakukan.” Yano menelan ludah.  Ia menegakkan tubuhnya.
“Jika kau memintaku melupakan Nana selamanya, maka akan kulakukan. Apapun itu, akan kulakukan untukmu!” Teriaknya.
Nanami terhenyak.
“Aku mungkin masih teringat akan Nana. Tapi apa yang kurasakan padamu adalah nyata. Cintaku nyata, perhatianku nyata, rasa sayangku nyata. Kembalilah padaku, Nanami!” Ia kembali berteriak.
Nanami mematung. Take beranjak memasuki bis.
“Nanami. Bis-nya akan segera berjalan.” Panggilnya seraya mengulurkan tanganya ke arah cewek yang tampak bingung tersebut.
Nanami menatap ke arah Take, lalu kembali ke arah Yano. Tapi akhirnya ia menerima uluran tangan Take dan melangkahkan kakinya memasuki bis. Pintu tertutup dan kendaraan itu mulai berjalan. Yano berlari mendekati pintu.
“Aku akan menunggumu, Nanami! Aku akan menunggumu kembali padaku!”
Teriaknya. Bis berjalan semakin cepat, dan langkah Yano terhenti.

***

          Nanami memeluk tas di dekapannya dengan lebih erat. Pikirannya terasa kalut. Bis yang ia tumpangi terus berjalan, tapi ia tahu hatinya tertinggal di sana,  di halte, tempat Yano berada.
“Kau ingin turun di pemberhentian berikutnya?” Pertanyaan Take seakan membuat Nanami terjaga dari tidur. “Eh?” Ia bingung. Cowok yang duduk di sampingnya tersenyum.
“Pemberhentian selanjutnya tidak terlalu jauh dengan sekolah. Kau bisa kembali ke sana.” Ucapnya lagi. Nanami menunduk. Batinnya bergolak.
“Take, apa menurutmu saat ini Yano sedang menangis?” Tanyanya pelan.
Take tak segera menjawab. “Sepertinya begitu.” Jawabnya kemudian, lebih pelan.
Nanami merasakan dadanya sesak.
          “Jika kita menunda acara hari ini, kau tak keberatan ‘kan?” Ia mendongak, menatap Take. Cowok itu balas menatapnya. Ia tersenyum lalu mengangguk.
“Kembalilah ke sekolah. Tak apa-apa.” Ujarnya. “Dia di halaman belakang, di pojok, dekat ruang seni. Itu tempat persembunyiannya ketika suasana hatinya sedang tak baik.” Lanjutnya. Nanami tak bersuara, tapi Take tahu bahwa cewek itu telah memutuskan untuk kembali ke sekolah, menemui Yano.

***

          Sesuai perkiraan Take, Yano ada di sana. Di halaman belakang, dekat ruang seni. Cowok itu merebahkan tubuhnya di rerumputan dengan posisi terlentang. Salah satu tangannya mengepal di atas rumput, sementara lengan tangan yang satunya ia gunakan untuk menutupi kedua matanya.
“Yano.” Panggil Nanami lirih. Cowok itu tak bersuara. Tapi ia yakin panggilannya di dengar olehnya.
          Nanami melangkahkan kakinya untuk mendekatinya. Hatinya tercabik-cabik. Ia hanya tak bisa mengerti dengan hubungan mereka. Ada apa dengan mereka berdua?
Nanami tak ingin menyakiti hati Yano. Begitu pula sebaliknya, ia tak ingin disakiti olehnya. Kenyataannya, cowok itu telah membuat hatinya terluka sehingga ia memutuskan untuk meninggalkannya.
Tapi sekarang, di sinilah dia. Mengejar Yano, lagi...
          Nanami duduk di samping Yano.
“Kenapa kau kemari?” Yano membuka suara. Suaranya yang parau, seolah menyimpan jutaan luka dan penyesalan. Cowok itu tak merubah posisinya. Ia tetap terlentang, tak bergerak. Ia juga tak berusaha menyingkirkan lengan yang menutupi sebagian dari wajahnya.
“Karena ku pikir kau akan menangis.” Jawab Nanami seraya menatap Yano lagi.
Yano terkekeh sinis.
“Aku tak menangis. Aku tak menangis.” Jawabnya. Tapi Nanami tahu cowok itu berbohong. Karena ia melihat air bening mengalir di pelipisnya.
          Bibir Nanami bergetar. Ia menggigitnya keras hingga terasa sakit. Dan perlahan air matanya pun menitik tanpa bisa ia tahan.
“Kau menyebalkan, Nanami.” Desis Yano.
“Kau menyebalkan dari awal kita bertemu. Mengatakan sesuatu sekehendak hatimu, mengatakan bahwa kau jatuh cinta padaku, lalu membuat perasaanku jungkir balik. Setelah itu kau pergi, meninggalkanku begitu saja, seenak hatimu.” Lanjutnya. Bibirnya bergetar. Air mata makin deras mengaliri pelipisnya.
“Kau pembohong.” Ucapnya lagi.
“Kau pembohong besar. Kau telah berjanji untuk senantiasa bersamaku. Kau telah berjanji untuk tidak meninggalkanku. Kenyatannya apa? Kau pergi. Kau pergi begitu saja.”
          Nanami memeluk lututnya lalu menyembunyikan wajahnya di sana. Dan tangisnya pecah. Ia terisak.
          Keduanya sama-sama menangis, selama beberapa menit.
          Dan setelah lelah menangis, Yano bangkit. Ia menatap Nanami yang masih menyembunyikan wajahnya di dekapan lututnya. Cowok itu beringsut, meraih kepalanya, lalu memeluk cewek itu dengan erat.
“Kembalilah padaku, Nanami.” Ucapnya tulus.
Nanami tak menjawab. Tapi Yano merasakan anggukan kepalanya.


***

          Take menghempaskan tubuhnya di samping Yano yang menghabiskan waktu istirahatnya hanya dengan duduk-duduk di bangku taman.
“Jadi, kalian sudah berbaikan lagi.” Ia bertanya antusias. Yano hanya menjawab dengan senyuman.
“Syukurlah. Kalau begitu aku punya hadiah untukmu.”
Yano menatap sahabatnya itu dengan bingung. Take mengeluarkan phonselnya. Ia menunjukkan sesuatu. Foto Nanami, mengenakan yukata! Yano membelalak.
“Kau bilang kau sudah menghapusnya?” Spontan ia berteriak. Take tertawa.
“Aku berbohong.” Jawabnya enteng hingga membuat Yano kesal.
“Akan ku kirimkan padamu.” Ujarnya lagi. Dan hanya dalam hitungan detik, foto itu sudah terkirim ke phonsel Yano.
“Oke. Aku kemari untuk itu saja.” Take bangkit.
“Apa ini artinya kau menyerah akan Nanami?” Yano bertanya. Sahabatnya itu tertawa. Ia menggeleng.
“Jika kau baik padanya, aku takkan mengejarnya lagi. Tapi jika sampai kau melukai hatinya, aku akan merebutnya darimu.” Jawabnya. Yano mencibir.
“Sialan kau.” Desisnya. Take kembali tertawa seraya melambaikan tangannya dan beranjak meninggalkannya.
          Ketika sampai di lapangan futsal, cowok itu segera di sambut histeris oleh Akira, Shota dan Kenta.
“Kau hebat, Take. Kau berhasil membuat Yano dan Nanami berbaikan kembali.” Seru Akira antusias. Take menatapnya bingung.
“Maksudnya?” Ia menggaruk-garuk kepalanya tak mengerti.
“Coba kalau kau tak berpura-pura menyukai Nanami, maka Yano tidak akan tergerak untuk membuat Nanami kembali padanya.” Jelas Akira lagi.
“Ide yang cerdas. Sengaja membuat Yano cemburu dan akhirnya ....”
“Aku tidak pura-pura.” Potong Take.  Ketiga sahabatnya bengong.
“Aku tidak berpura-pura. Aku memang jatuh cinta dengan Nanami.” Lanjutnya.
Mereka terbelalak.
“Haa??” Ketiga cowok yang merupakan sahabat baik Take dan Yano itu berteriak hampir bersamaan. Tapi dalam hitungan detik kemudian, teriakan histeris mereka segera berubah melow.
“Ooh, kasihan sekali kau, Take. Kau baik-baik saja ‘kan? Tidak patah hati ‘kan? Apa hatimu masih terluka sekarang?” Mereka bergantian memeluk Take dan menepuk-nepuk pundaknya.
Take hanya nyengir menghadapi ulah rekan-rekannya.

***

          Nanami sedang merapikan alat-alat tulis di meja belajarnya ketika phonselnya berbunyi dan ia menerima pesan singkat dari Yano.

Besok minggu, ayo kita jalan-jalan. Hanya kita berdua saja, seharian penuh. Kita ketemu di Sankaku Park, jam 7. Oke?

Nanami tersenyum membaca pesan tersebut. Hatinya gembira bukan main. Cewek itu menghempaskan tubuhnya di ranjang sambil membaca pesan tersebut berulang-ulang. Seharian penuh, hanya mereka berdua.

***

          Salju mulai turun. Nanami duduk di sebuah bangku di bawah pohon di Sankaku Park sambil sesekali merapatkan jaketnya. Sebenarnya tadi ia berniat memakai celana panjang mengingat cuaca sedang dingin. Tapi karena hari ini adalah hari spesial bersama Yano, ia memutuskan mengenakan sebuah dress selutut yang feminin dipadu sepatu ankle boots dengan kaos kaki pendek. Hari ini ia sengaja berdandan lebih spesial mengingat ini hari kencan spesial semenjak mereka mulai berbaikan kembali. Ia sudah menyusun rencana mengenai aktivitas yang akan mereka lakukan hari ini. Jalan-jalan di taman hiburan, menonton film, makan kudapan kecil di area food court, mereka akan melakukan aktivitas spesial hari ini. Pasti.
          Cewek itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Mereka janjian ketemu jam 7, tapi sekarang sudah hampir jam 8. Ia menatap sekelilingnya, tak ada tanda-tanda kemunculan Yano.
Nanami nyaris menggigil. Tapi ia tak berniat beranjak. Berkali-kali ia mengecek phonselnya, barangkali saja ada pesan dari Yano. Tapi tak ada. Dan barulah sekitar 15 menit kemudian, phonselnya berdering.
“Yano...” Panggilnya segera setelah ia menekan tombol ‘oke’.
“Nanami, maafkan aku. Sepertinya kita harus menunda acara hari ini.” Jawab Yano.
“Dimana kau? Apa yang terjadi?” tanya Nanami.
“Tiba-tiba saja ada urusan mendadak yang harus ku kerjakan. Bisakah kau pulang? Nanti aku akan ke rumahmu.”
“Jam berapa?”
Yano tak segera menjawab.
“Mmm... aku tak tahu. Karena sepertinya, ini akan sedikit lama.”
Nanami terdiam sesaat.
“Katakan padaku apa yang terjadi.” Ucapnya kemudian, tegas.
Hening.
“Ibunya Yuri pingsan. Sekarang aku bersamanya di rumah sakit.” Jawabnya kemudian.
Nanami seraya membeku seketika. Sesuatu seakan menohok jantungnya hingga membuat dadanya sesak. Yuri! Yuri, lagi! 
“Bagaimana keadaan ibunya?”
“Sepertinya terkena stroke. Dia belum keluar dari ruang ICU.”
Nanami terdiam.
“Kenapa harus kau yang bersamanya?” Desisnya kemudian, menahan amarah.
Yano tak segera menjawab.
“Kenapa harus kau yang bersamanya?!” Teriaknya.
“Selain ibunya, Yuri tak punya siapa-siapa lagi tempat ia bergantung.  Jadi ... aku tak bisa mengabaikannya.”
Rahang Nanami mengeras. Giginya bergemurutuk.
Tak bisa mengabaikannya?
“YANO, AKU TAK PEDULI! ABAIKAN SAJA DIA DAN CEPAT DATANG KEMARI! AKU TAKKAN PULANG!!”
“Nanami ...”
Pembicaraan terputus. Nanami memasukkan phonselnya ke tas dengan kesal. Kedua matanya berkaca-kaca. Ia takkan pulang. Bahkan jika dia harus membeku di taman ini, ia takkan pulang sampai Yano datang! Itu tekadnya.

***

          Take sedang membantu di toko makanan milik orang tuanya ketika phonselnya berdering. Cowok jangkung itu melemparkan apronnya lalu meraih phonselnya yang tergeletak di meja kasir.
“Halo, Yano?”
“Halo, Take. Aku bisa minta tolong?
“Ada apa?”
Yano terdiam sesaat.
“Nanami sedang menungguku di Sankaku Park. Tapi saat ini, aku tak bisa menemuinya. Jadi, bisakah kau menggantikan aku ke sana.” Suara Yano terdengar pelan.
Take terhenyak.
“Masalah apa lagi yang sedang kau buat?” Ia bertanya langsung.
Yano tak segera menjawab.
“Aku di rumah sakit. Ibunya Yuri pingsan. Jadi aku membantunya membawanya ke sini.” Jawabnya kemudian.
Baka! Kalau begitu kenapa kau tak meninggalkannya sebentar lalu segera menemui Nanami? Kenapa harus kau yang bertanggung jawab atas hidup Yuri dan ibunya?!” Take berteriak emosi.
“Aku tak bisa, Take. Kau tahu Yuri bernasib sama sepertiku. Dia tak punya ayah. Dia tak punya keluarga lain. Yang dia punya hanya ibunya. Jika tidak kepadaku, kepada siapa lagi ia bergantung?
Gigi Take bergemerutuk.
“Sudah ku bilang, apa yang terjadi antara kau dan Yuri adalah masa lalu. Sampai kapan kau akan terus merasa bersalah padanya?!” teriaknya.
Yano tak menjawab.
“Nanami masih di sana. Di taman. Ku mohon, ajaklah dia pulang.” ucapnya kemudian.
Take merasakan rahangnya mengeras.
“Aku sudah memperingatkanmu, Yano. Jika kau membuat Nanami menangis, akan rebut dia darimu, sialan!”
Take menutup telpon dengan marah, lalu beranjak meraih jaketnya kemudian segera berlari menerjang salju, menuju ke tempat Nanami berada.

***

          Yano dan Yuri duduk di ruang tunggu dengan cemas. Beberapa kali Yuri menyeka air matanya yang mengalir dengan deras.
“Bagaimana jika dia meninggal, Yano? Aku tak punya siapa-siapa lagi selain ibuku.” Ucap Yuri di sela isak tangisnya. Yano menatapnya.
“Dia akan baik-baik saja.” Jawabnya. Cowok itu mengetukkan tangannya di kursi tunggu dengan gusar. Ia khawatir dengan ibu Yuri, tapi di satu sisi, ia juga mencemaskan Nanami. Salju turun dengan lebat. Cewek itu pasti kedinginan di taman.
          Beberapa menit kemudian dokter keluar dari ruang ICU dan menemui mereka.
Dia mengatakan bahwa kondisi ibu Yuri mulai stabil tapi belum bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Yuri tampak lega. Dan kesempatan itu dimanfaakan Yano untuk pamit.
“Kau baik-baik saja ‘kan kalau aku keluar sebentar? Ada suatu urusan yang harus segera ku selesaikan.” Ucapnya. Yuri menatapnya. Tapi perlahan ia mengangguk.
“Terima kasih untuk hari ini.”
“Tak masalah.” Yano bangkit lalu beranjak menuju pintu keluar. Yuri mengikuti di belakangya.
“Kau takkan ingin makan dulu di kantin?”  Ia menawarkan. Yano menggeleng cepat.
“Tidak, terima kasih. Aku harus segera pergi dulu. Jaa.  Yano segera berlari menerjang hujan salju tanpa menunggu Yuri berkata-kata lagi.

***

          Nafas Take terengah-engah. Perlu waktu 10 menit untuk mengitari taman dan mencari keberadaan Nanami. Hingga akhirnya ia menemukan cewek itu, duduk mematung di kursi, kedinginan, dan menangis.
Take mendekatinya dengan pilu.

Yano mencintaimu...
Kau juga mencintainya...
Kalian pasangan yang sempurna.
Aku hanyalah seseorang yang cintanya bertepuk sebelah tangan.
Dan aku sudah sering merelakan kalian berdua untuk bersama.
Tapi sekarang, aku melihatmu menangis. Lagi.
Kau menangis lagi karena dia...
Sekarang aku tak peduli lagi. Persetan dengan persahabatan.
Aku takkan menyerahkanmu padanya!
Aku takkan membiarkanmu menangis lagi karena dia!

          Take menyentuh kepala Nanami dengan lembut. Cewek itu mendongak. Matanya basah. Bibirnya mulai membiru.
“Ayo kita pulang.” Ucap Take lirih. Tangis Nanami pecah.
“Dia tidak datang, Take. Dia tidak datang menemuiku.” Gumamnya. Bibirnya tampak bergetar.
Take mengangguk. Ia merangkul pundak Nanami, memeluk cewek itu dengan erat, lalu membelai kepalanya dengan lembut.
“Ayo kita pulang.” Ucapnya lagi, lebih lirih. Lebih kepada sebuah bisikan di telinga Nanami.

***

          Dan Yano terlambat.
          Ia terlalu terlambat ketika sampai di taman. Nanami sudah tak ada di sana. berkali-kali ia mencoba menelponnya, tapi phonsel cewek itu tak aktif. Dengan nafas yang masih tersengal, cowok itu beranjak menghentikan taksi, lalu menyuruh pak sopir memutar arah, menuju rumah Nanami.
Ketika sampai di sana, ia masih sempat melihat Nanami dan Take.
“Nanami!” Panggil Yano seraya mendekati cewek tersebut. Nanami mundur beberapa langkah dan memilih bersembunyi di belakang tubuh Take. Ia hanya tak ingin Yano melihat dirinya menangis.
“Aku tadi ke taman, mencarimu.” Ucapnya. Nanami tak bersuara, Take juga hanya membisu.
“Nanami, maafkan aku. Aku tak bermaksud mengingkari janji. Tapi, seseorang membutuhkan bantuanku. Jadi ...”
“Pulanglah, Yano.” Nanami membuka suara. Tanpa melihat ke arah cowok tersebut.
“Nanami, ku mohon.” Yano memelas.
“Pulanglah.” Lagi-lagi Nanami berkata lirih.
Take balas menatapnya.
“Pulanglah dulu, Yano. Biarkan Nanami sendirian dulu.” Selanya.
“Aku akan pulang tapi setelah berbicara dengan Nanami.” Yano ngotot.
Nanami terisak di balik punggung Take. Perlahan cewek itu beringsut dan menghadap Yano.
“Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Yano. Kau sudah menentukan pilihan ingin bersama siapa. Pulanglah. Aku tak mau bicara denganmu, aku tak mau melihatmu lagi! Kau senantiasa memintaku untuk tidak mengkhianatimu. Tapi justru kaulah yang telah mengkhianatiku!” Teriaknya.
Yano membelalak. Ia bergerak maju, menarik lengan tangan Nanami lalu mencengkeramnya erat.
“Siapa yang berkhianat? Berkhianat adalah ketika kita menghancurkan hati seseorang, menginjak-injaknya, lalu meninggalkannya begitu saja! Kapan aku pernah melakukannya? Kapan aku pernah meninggalkanmu begitu saja?!” Cengkeraman Yano kian kuat hingga membuat Nanami meringis.
“Yano, kau menyakitinya.” Take menghalau tangan Yano lalu mendorongnya mundur. Nanami juga mundur beberapa langkah. Sementara Take berdiri di antara mereka.
“Aku menolong Yuri sebagai manusia. Bukan karena alasan yang lainnya. Jika terjadi padamu, ada seseorang nyaris mati di hadapanmu, kau juga akan menolongnya ‘kan? Ya ‘kan?” Yano menatap langsung ke arah Take.
“Yano ...”
“Hanya saja yang kau tolong itu adalah Yuri. Dia bukan orang luar. Dia adalah seseorang yang pernah terlibat langsung dengan masa lalumu. Dan itu membuat hatiku sakit!” Nanami berteriak. Air matanya mengalir deras.
Yano menatapnya dengan putus asa.
“Pulanglah. Aku tak mau melihatmu lagi.” cewek itu kembali berucap, datar.
Yano merasakan kedua bahunya lemas. Tatapan matanya seketika gelap, tanpa ekspresi, seolah jiwanya telah menghilang entah kemana.
“Terserah kau saja, Nanami. Terserah kau saja.” Suara cowok itu parau. Ia berbalik, melangkahkan kakinya dengan gontai, meninggalkan Take dan Nanami.

***

Bersambung ....
         
 




Senin, 26 Januari 2015

Bokura Ga Ita - Part 5



 Nanami menutup muka dengan kedua tangannya. Bahunya terguncang. Cewek itu terisak. Sementara Yano hanya mampu menatapnya pilu, menunggunya menangis, selama hampir setengah jam.
“Maafkan aku, Nanami.” Akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Yano setelah tangis Nanami agak reda.
“Jika saja aku mampu kembali ke masa lampau, akan ku hapus semua kenangan yang bisa membuatmu menangis. Sayangnya aku tak bisa. Masa lalu itu, akan terus bersamaku, mengikutiku, kemanapun dan dimanapun aku pergi.” Suaranya parau.
Nanami mendongak dan menatapnya.
Hening lagi.
“Kau dan Yuri, kapan kejadiannya?” Suara cewek itu bergetar.
“Setelah Nana meninggal.”
“Dan kenapa kau melakukannya?”
Yano tak segera menjawab.
“Perasaanku pada Nana begitu campur aduk. Aku sedih ketika dia meninggal. Tapi aku marah karena dia mengkhianatiku, tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku tahu bahwa selama menjadi pacarku, ia sering keluar dengan cowok lain. Teman-temankupun tahu hal itu. Ketika kami mulai berpacaran, mereka sudah memperingatkanku bahwa Nana bukan cewek baik-baik. Tapi, rasa cintaku padanya tak bisa ku bendung...” Kedua mata Yano tampak berkaca-kaca.
“Aku bahkan tak datang ke pemakamannya,” ia melanjutkan.
“Beberapa minggu setelahnya, aku baru datang ke rumahnya. Dan yang kutemui waktu itu adalah Yuri. Ia mengenakan baju Nana, dan ia menangis sendirian. Waktu itu aku hanya ingin menenangkannya. Tapi, entahlah, semua terjadi begitu saja. Aku melakukan sebuah kesalahan fatal,”
Nanami kembali merasakan dadanya sesak.
“Apakah kau mencintai Yuri?”
Yano menggeleng.
“Kalau begitu, apakah kau masih mencintai Nana?”
Cowok itu tak menjawab.
“Atau kau membencinya?”
Lagi-lagi ia tak menjawab.
Nanami menggigit bagian dalam bibirnya dengan kesal.
“Jawab aku Yano! Katakan apa yang ada di kepalamu! Katakan apa yang menjadi bebanmu! Kau masih mencintai Nana? Atau kau membencinya? Cewek itu memang telah mengkhianatimu berkali-kali, melukai perasaanmu. Jadi jika kau ingin marah, marahlah! Jika kau ingin membenci, bencilah! Jika kau ingin mengutuk, memaki, memakilah! Tapi setelah itu, cukup sampai di sini cerita tentang dia. Dia sudah pergi, selamanya. Jadi kau harus berhenti memikirkannya!”
“Bagaimana mungkin aku bisa berhenti memikirkannya!?” Yano berteriak. Nanami menatapnya tak mengerti.
“Aku mungkin marah padanya, tapi aku takkan bisa membenci perempuan yang paling kucintai di muka bumi ini,” ia kembali berkata-kata.
Nanami merasakan kakinya tak lagi berpijak di tempatnya semula. Tubuhnya serasa mati rasa.
Perempuan yang paling ia cintai di muka bumi ini ....
“Apapun yang ia lakukan, berapa kalipun ia mengkhinatiku, melukaiku, aku memaafkannya. Aku memaafkan semua kesalahannya. Bahkan jika mampu, aku ingin ia kembali. Aku ingin ia kembali ke dunia ini dan hidup bersamaku, selamanya!” Yano kembali berteriak dan bersamaan dengan itu air matanya menitik.
Hati Nanami hancur seketika.
Ia bersandar lemas di kursi dan menatap cowok di hadapannya dengan lunglai.
Cukup ... Semua cukup sampai di sini .....
Pipinya yang tadi sempat mengering sekarang kembali basah oleh air mata. Kemudian dengan sedikit tertatih, ia bangkit, meraih tas nya.
“Aku tak bisa melakukan ini lagi, Yano. Aku tak bisa terus bersamamu jika di kepalamu masih dipenuhi kenangan-kenangan tentang Nana. Aku menyerah. Aku menyerah,” ia beranjak. Meninggalkan ruang kelas. Meninggalkan Yano, sendirian.
Ia memutuskan menyerah.
Dan itu artinya, hubungan mereka berakhir...

***

          Hujan turun dengan deras. Yano berdiri mematung di teras sekolah. Tatapannya menerawang halaman sekolah yang tergenang air hujan. Beberapa kali angin menebarkan air hujan ke arahnya hingga sebagian bajunya, wajahnya dan rambutnya mulai basah. Namun pemuda itu tak berniat beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Ia masih berdiri di sana, seolah menantang hujan, entah untuk apa.
“Kau tak membawa payung?”
Suara itu membuat Yano menoleh. Yuri berdiri tak jauh di belakangnya, membawa payung.
“Aku membawa 2 payung jika kau mau pinjam,” ia kembali menawarkan.
“Tidak, terima kasih.” Yano menjawab sambil membuang kembali pandangannya ke halaman sekolah.
“Nanami mencampakkanku. Kau puas?” Ucap Yano lagi. Yuri tak menjawab.
“Aku telah menceritakan apa yang terjadi di antara kita. Dan dia menangis.” Cowok itu melanjutkan.
“Apa kau patah hati sekarang? Apa kau menghendaki aku membuatmu ‘nyaman’ seperti yang kita lakukan ketika kak Nana...”
Yano terkekeh sinis hingga kalimat Yuri terhenti.
“Aku tidak akan pernah melakukan kesalahan seperti itu lagi, Yuri. Tidak akan pernah,” jawabnya.
“Itu bukan kesalahan, Yano.” Jawab Yuri.
Yano kembali menolah dan menatapnya.
“Itu bukan kesalahan. Mungkin kau beranggapan bahwa kau telah memanfaatkanku. Tapi sejujurnya, tidak. Apa yang kurasakan padamu adalah nyata, Yano. Aku mencintaimu. Aku bahkan sudah jatuh cinta padamu sejak SMP,  jauh sebelum kau jatuh cinta pada kakakku,” suara Yuri terdengar bergetar.
Yano menatapnya tanpa ekspresi.
Hening sesaat.
“Terima kasih. Tapi aku tak peduli.” Yano beranjak, menerjang hujan, melewati halaman sekolah yang tergenang air. Ia terus melangkah, tanpa menghiraukan dirinya yang basah, tanpa menoleh kembali ke arah Yuri.


***

          Sudah seminggu sejak Yano dan Nanami putus. Dan rumor terus bermunculan tentang penyebab kandasnya hubungan mereka. Tapi rumor akan senantiasa menjadi rumor. Karena baik Yano maupun Nanami tak pernah mau membicarkannya lagi. Mereka bahkan saling tak bertegur sapa walau berada dalam kelas yang sama. Tapi satu hal yang disadari anak-anak yang lain, Yano dan Nanami sama-sama jarang tersenyum lagi.

          Take hanya mampu menarik nafas kesal ketika mendapati Yano telah meringkuk di ranjangnya. Cowok itu pasti masuk ke kamarnya lewat jendela, hal yang selalu ia lakukan selama ini jika kepalanya sedang banyak pikiran.
“Masih patah hati?” Take bertanya sambil duduk di lankan jendela.
Yano tak segera menjawab.
“Hari ini aku menelpon Nanami sebanyak 50 kali. Tapi ia menolak mengangkatnya.”
“Kalau begitu, telponlah seratus kali. Jika ia tetap menolak mengangkatnya, telponlah lagi 200 kali.” Jawab Take.
Yano kembali terdiam.
“Jika kau memang mencintai Nanami, kau harus mengerahkan seluruh tenagamu. Kau harus menyerahkan seluruh hatimu. Sudah saatnya kau melupakan Nana. Dia sudah pergi, Yano. Kau harus merelakannya.” Ucap Take lagi.
Yano terkekeh.
“Bicara tak semudah melakukannya, Take.”
“Karena kau tak berusaha melakukannya. Hatimu masih diliputi perasaan tentang Nana. Rasa amarah, benci, cinta, semua menjadi satu. Jika kau terus seperti ini, tidak hanya Nanami yang terluka, tapi juga kau sendiri.”
Yano terdiam lagi. Perlahan ia bangkit.
“Ah sudahlah. Kenyataannya Nanami telah menolakku. Putus ya putus saja.” Ia melangkah ke arah jendela.
“Mau kemana?”
“Mencari hiburan. Akira dan Yamato mengajakku ke kafe. Dia bilang, akan ada banyak cewek-cewek cantik di sana.” Ia menjawab enteng seraya meraih sepatunya lalu segera meloncat ke luar jendela.

***

          Akira dan Yamato mengajak Yano ke kafe yang biasa dijadikan tempat nongkrong anak-anak muda. Mereka ternyata telah janjian untuk ketemu beberapa cewek yang dandannya terlihat lebih dewasa dari umurnya dan yang – entah Akira dan Yamato mengenal mereka dari mana. Toh Yano enggan menanyakannya.
Sementara kedua sahabatnya sibuk berkenalan dengan mengobrol dengan mereka, Yano malah duduk membisu di kursinya sembari terus mengutak-atik phonselnya.
“Hei, kenapa sejak tadi kau diam terus?” Cewek berambut panjang beringsut mendekati Yano. Yano hanya tersenyum.
“Dia baru putus.” Celetuk Akira.
“Oh ya? Kasihan sekali.” Cewek itu menatap Yano dengan iba. Yano hanya terkekeh, meletakkan phonselnya di meja lalu meraih minumannya.
“Biasa saja.” Jawabnya.
Cewek berambut panjang itu menatap phonsel Yano sesaat lalu meraihnya.
“Oh, inikah mantan cewekmu?” Ia menunjukkan layar yang memperlihatkan foto Nanami. Yano hanya mengangguk cuek seraya membuang pandangannya ke tempat lain.
“Kau masih mencintainya?”
“Tidak.” Yano menjawabnya cepat.
Cewek berambut panjang itu manggut-manggut.
“Kau layak mendapatkan yang lebih baik daripada dia. Lihatlah, dia terlihat biasa saja. Dia bahkan tidak terlihat cantik sama sekali. Pipinya terlalu gemuk. Dan matanya terlalu kecil.”
Yano kembali membuang pandangannya ke tempat lain tanpa mempedulikan cewek berambut panjang yang nyerocos kemana-mana.
“Well, kau harus membuang semua kenangan tentang dia jika ingin move-on. Akan ku bantu kau menghapusnya.” Cewek itu terus berkomentar.
Yano terhenyak. Ia menoleh, dan menyaksikan cewek itu mengutak-atik phonselnya.
“Apa yang kau lakukan?!” Ia berteriak seraya menyambar phonsel tersebut dari tangannya. Cewek itu terlihat kaget mendengar teriakan Yano.
“Aku ... sudah menghapus fotonya.” Jawabnya ragu.
Yano menatapnya dengan tajam, lalu beralih ke arah phonselnya. Layar phonsel itu tampak kosong. Foto Nanami yang biasa menjadi wallpaper kini tak ada lagi.
“Apa yang kau lakukan dengan fotonya?!” Ia kembali berteriak marah.
Cewek itu pucat seketika.
“Kau bilang kau tak mencintainya lagi. Jadi ... aku...”
“Bahkan jika aku tak mencintainya, kau tak punya hak untuk menghapus fotonya! Lancang sekali kau!” Yano bangkit dan menatap cewek itu dengan penuh amarah.
Akira mendekatinya.
“Yano, tenanglah. Banyak orang melihat kita.” Ia berbisik.
Yano menggigit bibirnya.
“Maafkan aku. Aku tak bermaksud ...” Cewek itu meminta maaf.
Tanpa menunggu ia menyelesaikan kalimatnya, Yano beranjak.
“Aku pulang.” Ucapnya seraya melangkahkan kakinya keluar dari kafe tersebut. Ia tak menghiraukan lagi panggilan Akira dan Yamamoto. Sepanjang perjalanan, ia sibuk menelpon Take.
“Take, kau masih punya foto Nanami. Itu, fotonya yang memakai yukata. Seorang cewek sok tahu menghapus fotonya dari phonselku. Jadi, tolong kirimkan padaku file-nya. Sekarang juga.” Ucapnya gusar.
“Foto itu sudah tak ada.” Terdengar Take menjawab dari seberang sana.
“Bohong. Kau bilang kau akan menyimpannya sebagai cadangan ‘kan?”
“Tapi kau sudah memintaku untuk menghapusnya. Jadi foto itu tak ada lagi.”
Yano mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.
“Katakan kalau kau bohong, Take. Kau masih punya fotonya ‘kan?!” Ia berteriak kesal. Entah kesal pada siapa.
“Sudah ku bilang, aku tak punya.” Lagi-lagi Take menjawab.
Yano meringis. Ia menghentikan langkahnya, menutup pembicaraan dengan Take, lalu menatap layar phonselnya dengan tatapan sendu. Beberapa bulan ini ia akrab dengan foto Nanami di wallpaper phonselnya. Tapi sekarang, foto itu tak ada. Yano duduk di pinggir jalan dengan asal, dan perlahan air matanya menitik.

***

          Take sedang tertidur lelap ketika ia merasakan seseorang mengguncang-guncang tubuhnya. “Take, bangunlah. Ayo bangun.” Selimutnya juga ditarik-tarik. Take menggerutu lalu menyipitkan matanya hanya untuk melihat siapa orang lancang yang telah mengganggu tidurnya.
“Yano? Astaga, untuk apa kau di sini?” Ia menggumam kesal ketika menyaksikan Yano sudah ada di samping ranjangnya. Cowok itu menatap ke arah jam weker di nakas. Jam 2 dini hari! Ia kembali menggerutu.
“Ya ampun, ini jam 2 dini hari. Apa yang kau lakukan di kamarku?”
“Fotonya. Foto Nanami. Di mana kau menyimpannya? Beritahu padaku, sekarang juga.” Yano mengomel.
“Malam-malam kau ke sini hanya untuk menanyakan itu?”
“Ya.” Yano menjawab cepat.
“Keluar kau dari kamarku, sialan. Aku mau tidur.Take berguling dan membenahi selimutnya. Tapi lagi-lagi Yano menarik-narik selimut tersebut.
“Fotonya mana? Kirimkan padaku, sekarang juga.”
“Aku tak punya lagi.”
“Bohong.”
“Aku ngantuk.”
“Mana phonselmu?”
“Sudah ku bilang aku tak punya. Lagipula, apa untungnya menyimpan foto pacar orang lain. Kurang kerjaan.”
“Take!” Yano kembali mengguncang-guncang tubuh Takeuchi.
“Oke, Oke. Bisakah kau membiarkanku tidur dulu dengan nyenyak. Seharian ini aku sudah capek membantu ibuku di toko. Besok aku akan mencoba me-recover file tersebut karena file tersebut sudah ku hapus. Tapi, biarkan aku tidur lagi. oke?”
Yano menatapnya tak percaya.
“Janji?”
Take mengangguk dengan malas.
“Baiklah. Sekarang kau bisa tidur lagi.” Jawab Yano.
“Dan kau bisa pulang dulu. oke?”
“Tidak. aku di sini saja.”
Take memutar bola matanya dengan kesal.
“Terserah.” Jawabnya seraya kembali menarik selimut menutupi tubuhnya.
“Selamat tidur, Yano.” Ucapnya.
          Yano tak menjawab. Cowok itu duduk di lantai sementara kepalanya ia sandarkan di ranjang.
“Take, aku ingin cerita.”
“Hmm...” Take hanya menjawab dengan gumaman.
“Hari ini cewek yang kutemui ...”
“Hmm....”
“Ia mengatakan bahwa Nanami tidak cantik. Dia bilang, pipinya terlalu gemuk dan matanya terlalu kecil. Hah, memangnya dia siapa berani menilai Nanami. Dia bahkan tidak ada apa-apanya di banding Nanami. Dia harus ketemu langsung dengan Nanami agar ia tahu bahwa Nanami adalah cewek paling cantik di dunia ini. Ia jauh-jauh-jauuuh lebih cantik dari sekedar cewek yang hobi memakai make-up seperti mereka. Dan pipinya, memangnya ada apa dengan pipinya? Ia punya pipi yang imut. Pipi yang mengingatkanku akan kue kesukaanku, kue bolu.” Yano mengoceh. Entah mengoceh pada siapa.
Mata Take terpejam. Tapi ia mendengarkan cerita Yano dengan seksama.
“Dan matanya. Matanya memang kecil. Tapi itu adalah mata bening terindah yang pernah ku temui.” Ia melanjutkan.
“Aku kangen padanya, Take. Aku kangen pada Nanami.” Kali ini ucapannya lirih, terdengar putus asa dan tak bernyawa.
“Siapa yang paling cantik, Yano? Nanami? Atau ... Nana?” Kali ini Take bertanya tanpa membuka mata, tanpa merubah posisi tubuhnya.
Yano tak segera menjawab.
“Aku tak tahu. Kecuali jika kau bisa membawa mereka berdua ke hadapanku, maka akan ku jawab siapa di antara mereka yang paling cantik.” Ucapnya kemudian.
Mereka terdiam sesaat.
          “Bahkan jika Nana masih hidup, kau tidak akan pernah cocok dengannya, Yano?”
“Kenapa?”
“Karena kalian sama.”
“Kenapa jika kami sama?”
Take membuka mata perlahan.
“Nana adalah tipe orang yang kekurangan cinta. Dan kau juga. Kau adalah tipe orang yang juga kekurangan cinta. Sementara Nanami ...” Kalimatnya terhenti sesaat.
“Nanami, ia adalah tipe orang yang akan memberikan cinta, sebanyak yang ia punya.” Lanjutnya. “Sekarang kau tahu dengan siapa seharusnya kau memberikan seluruh hatimu. Aku benar ‘kan?”
Yano tak bersuara.
          “Bagaimana jika aku mendekati Nanami?” ucap Take. Yano mengernyit.
“Apa maksudmu?”
“Kau sudah resmi putus dengannya ‘kan? Kau juga sudah berlaku tak adil padanya karena hatimu masih dipenuhi kenangan tentang Nana. Jadi, jika suatu saat nanti Nanami bertemu dengan cowok lain yang mampu membuatnya bahagia, kau harus merelakannya.”
Yano mematung. Tanpa mampu berkata-kata.
Hening lagi.
          “Yano, cinta itu hanya masalah waktu. Jika kau tidak mengatakan sesuatu yang tepat  di waktu yang tepat, sebesar apapun takdir yang mempertemukan kalian, semuanya tetap akan berantakan. Jika itu terjadi, maka yang kau temukan hanyalah penyesalan. Dan sebesar apapun penyesalan yang kau rasakan, yakinlah, semua sia-sia. Kau tahu kenapa? Karena itu sudah cukup terlambat untuk menyadarinya.”
Yano terdiam. Take juga. Dan keadaan menjadi hening lagi untuk waktu yang lama, sampai mereka sama-sama tertidur.
          Keesokan harinya, ketika Take bangun, ia menemukan Yano masih tertidur di kamarnya. Cowok itu meringkuk di lantai, tanpa selimut, tanpa bantal. Phonselnya tergeletak begitu saja di sisinya dalam keadaan terbuka.
Take memungutnya. Rupanya, Yano tertidur di tengah-tengah menulis pesan yang belum sempat ia selesaikan.



 


Nanami, aku tidak pernah berpikir untuk menjadikanmu sebagai pengganti Nana. Apa yang kurasakan padamu selama ini adalah nyata.  Aku menyesal dengan apa yang telah ku lakukan padamu. Semua hal yang telah melukai hatimu. Aku telah melakukan banyak kesalahan. Tapi kumohon, bertemulah denganku lagi dan biarkan aku menjelaskan segalanya. Aku ....




***

          Nanami celingukan. Ia menatap seisi kelas. “Yano tak ada?” Ia bertanya. Teman-temannya berpandangan. “Mungkin di lapangan basket. Perlu ku panggilkan?” Shota bangkit.
“Tidak perlu. Ini hanya masalah ....” Kalimat Nanami bahkan belum sempat selesai ketika Shota beranjak dan berlari keluar dari kelas. Dan beberapa menit kemudian, ia mendengar seseorang berlari-lari di lorong ruangan. Pintu kelas terbuka dan Yano muncul dari sana dengan nafas terengah-engah.
“Aku dengar kau mencariku.” Ucapnya di sela nafasnya yang naik turun. Nanami menelan ludah.
“Kau diminta ke ruang guru. Kau satu-satunya siswa yang belum mengumpulkan makalah.” Jawabnya. Yano menatapnya, nafasnya belum stabil, masih naik turun. Seolah ia baru saja lari marathon. Tapi itu benar. Mendengar bahwa Nanami mencarinya, ia segera berlari tanpa henti dari lapangan basket menuju ruang kelas.
“Hanya itu?” Ia kembali bertanya. Nanami menangguk.
Yano manggut-manggut. Tampak kecewa.
“Baiklah. Terima kasih.” Ia berbalik dan kembali menyusuri lorong ruangan menuju kantor guru. Shota menepuk-nepuk pundaknya. Cowok itu tersenyum.
“Tak apa. Beberapa hari ini, Nanami memang mengacuhkanku dan menolak bicara denganku. Tapi kau lihat sendiri ‘kan? Tadi ia bersedia bicara denganku, walau hanya sebentar. Biarlah seluruh orang di sini tahu bahwa aku mencoba mengejar-ngejar Nanami, bahwa aku mencoba baikan lagi dengannya. Tak apa. Seperti apa yang Take ajarkan padaku. Bila ia menolakku 50 kali, maka aku akan mendatanginya 100 kali. Begitu pula bila ia menolakku 100 kali, maka aku akan mendatanginya 200 kali. Terlampau awal bagiku untuk menyerah. Ya ‘kan?” Ucapnya. Shota hanya manggut-manggut.

***

          Pulang sekolah. Yano, Take, dan anak-anak klub futsal berhamburan memasuki bis yang baru datang.  “Yano, kau mau datang ke pesta lagi? Kali ini ceweknya cantik-cantik dan tidak rewel. Yakin deh.” Akira merangkul pundak Yano. Yano terkekeh dan menggeleng.
“Tidak. Aku kapok.” Jawabnya.
“Ah, kau tak asyik. Kau menyia-nyiakan kesempatan. Mengejar Nanami terus belum tentu kau berhasil mendapatkannya kembali.”
Yano mendelik.
“Setidaknya aku tidak akan pergi ke pesta tak jelas hanya untuk bertemu cewek-cewek palsu yang merasa sok kecantikan.”
“Tapi mereka memang cantik.”
“Tidak.”
“Yano. Aku ingat ada sesuatu yang harus ku lakukan.” Sela Take. Yano menatapnya bingung. Sahabatnya sejak kecil itu melompat keluar dari dalam bis.
“Aku sudah memberimu peringatan tadi malam ‘kan.” Ucap Take lagi.
Yano mengernyit. Menatap sahabatnya yang kini berada di pinggir jalan.
“Ada hal yang ingin ku jaga dan ku lindungi. Dan kau tahu itu apa? Itu adalah Nanami. Tidak ada peraturan yang melarang untuk mendekati mantan pacar sahabat sendiri ‘kan? Jadi, ayo kita bersaing secara sehat.” Take kembali berucap.
Yano melotot.
          Pintu bis tertutup otomatis dan kendaraan itu mulai berjalan. Dari balik jendela, Yano menyaksikan Take berlari-lari kembali ke sekolah.
“Pak, tolong hentikan bis nya!” Yano berteriak pada sopir.
“Maaf. Tidak bisa. Bis baru bisa berhenti di halte bis berikutnya.” Sopir itu menjawab dengan ramah.
Yano melongokkan kepalanya keluar jendela.
“Take! Jika kau menyentuh Nanami, walau hanya sehelai rambut sekalipun, akan ku habisi kau!” Teriaknya. Cowok itu nyaris berniat melompati jendela bis jika tidak segera di cegah rekan-rekannya. Shota dan Akira memegangi tubuhnya sementara Yamamoto menghalau tangannya.
“Bakaerrroooo*!! Akan ku habisi kau!” Yano kembali berteriak kesal sementara teman-temannya terus berusaha menenangkannya. Keributan di antara mereka mereda ketika pak sopir mengingatkan mereka untuk tidak membuat kegaduhan di dalam kendaraan.

***

Bersambung...


NB :
Bakaero : Bodoh
Rata-rata bis di Jepang memang akan segera menutup pintu secara otomatis ketika bis itu mulai berjalan. Dan bis baru akan berhenti di pemberhentian berikutnya. Jadi, bis tidak bisa berhenti sembarangan sesuai perintah penumpang seperti yang ada di Indonesia.