Nanami
menutup muka dengan kedua tangannya. Bahunya terguncang. Cewek itu terisak.
Sementara Yano hanya mampu menatapnya pilu, menunggunya menangis, selama hampir
setengah jam.
“Maafkan aku, Nanami.” Akhirnya kalimat
itu keluar dari mulut Yano setelah tangis Nanami agak reda.
“Jika saja aku mampu kembali ke masa
lampau, akan ku hapus semua kenangan yang bisa membuatmu menangis. Sayangnya
aku tak bisa. Masa lalu itu, akan terus bersamaku, mengikutiku, kemanapun dan
dimanapun aku pergi.” Suaranya parau.
Nanami mendongak dan menatapnya.
Hening lagi.
“Kau dan Yuri, kapan kejadiannya?” Suara
cewek itu bergetar.
“Setelah Nana meninggal.”
“Dan kenapa kau melakukannya?”
Yano tak segera menjawab.
“Perasaanku pada Nana begitu campur
aduk. Aku sedih ketika dia meninggal. Tapi aku marah karena dia mengkhianatiku,
tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku tahu bahwa selama menjadi pacarku, ia
sering keluar dengan cowok lain. Teman-temankupun tahu hal itu. Ketika kami
mulai berpacaran, mereka sudah memperingatkanku bahwa Nana bukan cewek
baik-baik. Tapi, rasa cintaku padanya tak bisa ku bendung...” Kedua mata Yano
tampak berkaca-kaca.
“Aku bahkan tak datang ke pemakamannya,”
ia melanjutkan.
“Beberapa minggu setelahnya, aku baru datang
ke rumahnya. Dan yang kutemui waktu itu adalah Yuri. Ia mengenakan baju Nana,
dan ia menangis sendirian. Waktu itu aku hanya ingin menenangkannya. Tapi, entahlah,
semua terjadi begitu saja. Aku melakukan sebuah kesalahan fatal,”
Nanami kembali merasakan dadanya sesak.
“Apakah kau mencintai Yuri?”
Yano menggeleng.
“Kalau begitu, apakah kau masih
mencintai Nana?”
Cowok itu tak menjawab.
“Atau kau membencinya?”
Lagi-lagi ia tak menjawab.
Nanami menggigit bagian dalam bibirnya
dengan kesal.
“Jawab aku Yano! Katakan apa yang ada di
kepalamu! Katakan apa yang menjadi bebanmu! Kau masih mencintai Nana? Atau kau
membencinya? Cewek itu memang telah mengkhianatimu berkali-kali, melukai
perasaanmu. Jadi jika kau ingin marah, marahlah! Jika kau ingin membenci,
bencilah! Jika kau ingin mengutuk, memaki, memakilah! Tapi setelah itu, cukup
sampai di sini cerita tentang dia. Dia sudah pergi, selamanya. Jadi kau harus
berhenti memikirkannya!”
“Bagaimana mungkin aku bisa berhenti
memikirkannya!?” Yano berteriak. Nanami menatapnya tak mengerti.
“Aku mungkin marah padanya, tapi aku
takkan bisa membenci perempuan yang paling kucintai di muka bumi ini,” ia
kembali berkata-kata.
Nanami merasakan kakinya tak lagi
berpijak di tempatnya semula. Tubuhnya serasa mati rasa.
Perempuan
yang paling ia cintai di muka bumi ini ....
“Apapun yang ia lakukan, berapa kalipun
ia mengkhinatiku, melukaiku, aku memaafkannya. Aku memaafkan semua
kesalahannya. Bahkan jika mampu, aku ingin ia kembali. Aku ingin ia kembali ke
dunia ini dan hidup bersamaku, selamanya!” Yano kembali berteriak dan bersamaan
dengan itu air matanya menitik.
Hati Nanami hancur seketika.
Ia bersandar lemas di kursi dan menatap
cowok di hadapannya dengan lunglai.
Cukup
... Semua cukup sampai di sini .....
Pipinya yang tadi sempat mengering
sekarang kembali basah oleh air mata. Kemudian dengan sedikit tertatih, ia
bangkit, meraih tas nya.
“Aku tak bisa melakukan ini lagi, Yano.
Aku tak bisa terus bersamamu jika di kepalamu masih dipenuhi kenangan-kenangan
tentang Nana. Aku menyerah. Aku menyerah,”
ia beranjak. Meninggalkan ruang kelas. Meninggalkan Yano, sendirian.
Ia memutuskan menyerah.
Dan itu artinya, hubungan mereka
berakhir...
***
Hujan
turun dengan deras. Yano berdiri mematung di teras sekolah. Tatapannya
menerawang halaman sekolah yang tergenang air hujan. Beberapa kali angin
menebarkan air hujan ke arahnya hingga sebagian bajunya, wajahnya dan rambutnya
mulai basah. Namun pemuda itu tak berniat beranjak sedikitpun dari tempatnya
berdiri. Ia masih berdiri di sana, seolah menantang hujan, entah untuk apa.
“Kau tak membawa payung?”
Suara itu membuat Yano menoleh. Yuri
berdiri tak jauh di belakangnya, membawa payung.
“Aku membawa 2 payung jika kau mau
pinjam,” ia kembali menawarkan.
“Tidak, terima kasih.” Yano menjawab
sambil membuang kembali pandangannya ke halaman sekolah.
“Nanami mencampakkanku. Kau puas?” Ucap
Yano lagi. Yuri tak menjawab.
“Aku telah menceritakan apa yang terjadi
di antara kita. Dan dia menangis.” Cowok itu melanjutkan.
“Apa kau patah hati sekarang? Apa kau
menghendaki aku membuatmu ‘nyaman’ seperti yang kita lakukan ketika kak
Nana...”
Yano terkekeh sinis hingga kalimat Yuri
terhenti.
“Aku tidak akan pernah melakukan
kesalahan seperti itu lagi, Yuri. Tidak akan pernah,” jawabnya.
“Itu bukan kesalahan, Yano.” Jawab Yuri.
Yano kembali menolah dan menatapnya.
“Itu bukan kesalahan. Mungkin kau
beranggapan bahwa kau telah memanfaatkanku. Tapi sejujurnya, tidak. Apa yang
kurasakan padamu adalah nyata, Yano. Aku mencintaimu. Aku bahkan sudah jatuh
cinta padamu sejak SMP, jauh sebelum kau
jatuh cinta pada kakakku,” suara Yuri terdengar bergetar.
Yano menatapnya tanpa ekspresi.
Hening sesaat.
“Terima kasih. Tapi aku tak peduli.”
Yano beranjak, menerjang hujan, melewati halaman sekolah yang tergenang air. Ia
terus melangkah, tanpa menghiraukan dirinya yang basah, tanpa menoleh kembali
ke arah Yuri.
***
Sudah
seminggu sejak Yano dan Nanami putus. Dan rumor terus bermunculan tentang
penyebab kandasnya hubungan mereka. Tapi rumor akan senantiasa menjadi rumor.
Karena baik Yano maupun Nanami tak pernah mau membicarkannya lagi. Mereka
bahkan saling tak bertegur sapa walau berada dalam kelas yang sama. Tapi satu
hal yang disadari anak-anak yang lain, Yano dan Nanami sama-sama jarang
tersenyum lagi.
Take
hanya mampu menarik nafas kesal ketika mendapati Yano telah meringkuk di
ranjangnya. Cowok itu pasti masuk ke kamarnya lewat jendela, hal yang selalu ia
lakukan selama ini jika kepalanya sedang banyak pikiran.
“Masih patah hati?” Take bertanya sambil
duduk di lankan jendela.
Yano tak segera menjawab.
“Hari ini aku menelpon Nanami sebanyak
50 kali. Tapi ia menolak mengangkatnya.”
“Kalau begitu, telponlah seratus kali.
Jika ia tetap menolak mengangkatnya, telponlah lagi 200 kali.” Jawab Take.
Yano kembali terdiam.
“Jika kau memang mencintai Nanami, kau
harus mengerahkan seluruh tenagamu. Kau harus menyerahkan seluruh hatimu. Sudah
saatnya kau melupakan Nana. Dia sudah pergi, Yano. Kau harus merelakannya.”
Ucap Take lagi.
Yano terkekeh.
“Bicara tak semudah melakukannya, Take.”
“Karena kau tak berusaha melakukannya.
Hatimu masih diliputi perasaan tentang Nana. Rasa amarah, benci, cinta, semua
menjadi satu. Jika kau terus seperti ini, tidak hanya Nanami yang terluka, tapi
juga kau sendiri.”
Yano terdiam lagi. Perlahan ia bangkit.
“Ah sudahlah. Kenyataannya Nanami telah
menolakku. Putus ya putus saja.” Ia melangkah ke arah jendela.
“Mau kemana?”
“Mencari hiburan. Akira dan Yamato
mengajakku ke kafe. Dia bilang, akan ada banyak cewek-cewek cantik di sana.” Ia
menjawab enteng seraya meraih sepatunya lalu segera meloncat ke luar jendela.
***
Akira
dan Yamato mengajak Yano ke kafe yang biasa dijadikan tempat nongkrong
anak-anak muda. Mereka ternyata telah janjian untuk ketemu beberapa cewek yang
dandannya terlihat lebih dewasa dari umurnya dan yang – entah Akira dan Yamato
mengenal mereka dari mana. Toh Yano enggan menanyakannya.
Sementara kedua sahabatnya sibuk
berkenalan dengan mengobrol dengan mereka, Yano malah duduk membisu di kursinya
sembari terus mengutak-atik phonselnya.
“Hei, kenapa sejak tadi kau diam terus?”
Cewek berambut panjang beringsut mendekati Yano. Yano hanya tersenyum.
“Dia baru putus.” Celetuk Akira.
“Oh ya? Kasihan sekali.” Cewek itu
menatap Yano dengan iba. Yano hanya terkekeh, meletakkan phonselnya di meja
lalu meraih minumannya.
“Biasa saja.” Jawabnya.
Cewek berambut panjang itu menatap
phonsel Yano sesaat lalu meraihnya.
“Oh, inikah mantan cewekmu?” Ia menunjukkan
layar yang memperlihatkan foto Nanami. Yano hanya mengangguk cuek seraya
membuang pandangannya ke tempat lain.
“Kau masih mencintainya?”
“Tidak.” Yano menjawabnya cepat.
Cewek berambut panjang itu
manggut-manggut.
“Kau layak mendapatkan yang lebih baik
daripada dia. Lihatlah, dia terlihat biasa saja. Dia bahkan tidak terlihat
cantik sama sekali. Pipinya terlalu gemuk. Dan matanya terlalu kecil.”
Yano kembali membuang pandangannya ke
tempat lain tanpa mempedulikan cewek berambut panjang yang nyerocos
kemana-mana.
“Well, kau harus membuang semua kenangan
tentang dia jika ingin move-on. Akan ku bantu kau menghapusnya.” Cewek itu
terus berkomentar.
Yano terhenyak. Ia menoleh, dan
menyaksikan cewek itu mengutak-atik phonselnya.
“Apa yang kau lakukan?!” Ia berteriak
seraya menyambar phonsel tersebut dari tangannya. Cewek itu terlihat kaget
mendengar teriakan Yano.
“Aku ... sudah menghapus fotonya.”
Jawabnya ragu.
Yano menatapnya dengan tajam, lalu
beralih ke arah phonselnya. Layar phonsel itu tampak kosong. Foto Nanami yang
biasa menjadi wallpaper kini tak ada lagi.
“Apa yang kau lakukan dengan fotonya?!”
Ia kembali berteriak marah.
Cewek itu pucat seketika.
“Kau bilang kau tak mencintainya lagi.
Jadi ... aku...”
“Bahkan jika aku tak mencintainya, kau
tak punya hak untuk menghapus fotonya! Lancang sekali kau!” Yano bangkit dan
menatap cewek itu dengan penuh amarah.
Akira mendekatinya.
“Yano, tenanglah. Banyak orang melihat
kita.” Ia berbisik.
Yano menggigit bibirnya.
“Maafkan aku. Aku tak bermaksud ...”
Cewek itu meminta maaf.
Tanpa menunggu ia menyelesaikan
kalimatnya, Yano beranjak.
“Aku pulang.” Ucapnya seraya
melangkahkan kakinya keluar dari kafe tersebut. Ia tak menghiraukan lagi
panggilan Akira dan Yamamoto. Sepanjang perjalanan, ia sibuk menelpon Take.
“Take, kau masih punya foto Nanami. Itu,
fotonya yang memakai yukata. Seorang cewek sok tahu menghapus fotonya dari
phonselku. Jadi, tolong kirimkan padaku file-nya. Sekarang juga.” Ucapnya
gusar.
“Foto
itu sudah tak ada.”
Terdengar Take menjawab dari seberang sana.
“Bohong. Kau bilang kau akan
menyimpannya sebagai cadangan ‘kan?”
“Tapi
kau sudah memintaku untuk menghapusnya. Jadi foto itu tak ada lagi.”
Yano mengacak-acak rambutnya dengan
frustasi.
“Katakan kalau kau bohong, Take. Kau
masih punya fotonya ‘kan?!” Ia berteriak kesal. Entah kesal pada siapa.
“Sudah
ku bilang, aku tak punya.” Lagi-lagi Take menjawab.
Yano meringis. Ia menghentikan
langkahnya, menutup pembicaraan dengan Take, lalu menatap layar phonselnya
dengan tatapan sendu. Beberapa bulan ini ia akrab dengan foto Nanami di
wallpaper phonselnya. Tapi sekarang, foto itu tak ada. Yano duduk di pinggir
jalan dengan asal, dan perlahan air matanya menitik.
***
Take
sedang tertidur lelap ketika ia merasakan seseorang mengguncang-guncang
tubuhnya. “Take, bangunlah. Ayo bangun.” Selimutnya juga ditarik-tarik. Take
menggerutu lalu menyipitkan matanya hanya untuk melihat siapa orang lancang
yang telah mengganggu tidurnya.
“Yano? Astaga, untuk apa kau di sini?”
Ia menggumam kesal ketika menyaksikan Yano sudah ada di samping ranjangnya.
Cowok itu menatap ke arah jam weker di nakas. Jam 2 dini hari! Ia kembali
menggerutu.
“Ya ampun, ini jam 2 dini hari. Apa yang
kau lakukan di kamarku?”
“Fotonya. Foto Nanami. Di mana kau
menyimpannya? Beritahu padaku, sekarang juga.” Yano mengomel.
“Malam-malam kau ke sini hanya untuk
menanyakan itu?”
“Ya.” Yano menjawab cepat.
“Keluar kau dari kamarku, sialan. Aku mau tidur.” Take berguling dan membenahi selimutnya.
Tapi lagi-lagi Yano menarik-narik selimut tersebut.
“Fotonya mana? Kirimkan padaku, sekarang juga.”
“Aku tak punya lagi.”
“Bohong.”
“Aku ngantuk.”
“Mana phonselmu?”
“Sudah ku bilang aku tak punya.
Lagipula, apa untungnya menyimpan foto pacar orang lain. Kurang kerjaan.”
“Take!” Yano kembali
mengguncang-guncang tubuh Takeuchi.
“Oke, Oke. Bisakah kau membiarkanku
tidur dulu dengan nyenyak. Seharian ini aku sudah capek membantu ibuku di toko.
Besok aku akan mencoba me-recover file tersebut karena file tersebut sudah ku
hapus. Tapi, biarkan aku tidur lagi. oke?”
Yano menatapnya tak percaya.
“Janji?”
Take mengangguk dengan malas.
“Baiklah. Sekarang kau bisa tidur lagi.”
Jawab Yano.
“Dan kau bisa pulang dulu. oke?”
“Tidak. aku di sini saja.”
Take memutar bola matanya dengan kesal.
“Terserah.” Jawabnya seraya kembali
menarik selimut menutupi tubuhnya.
“Selamat tidur, Yano.” Ucapnya.
Yano
tak menjawab. Cowok itu duduk di lantai sementara kepalanya ia sandarkan di
ranjang.
“Take, aku ingin cerita.”
“Hmm...” Take hanya menjawab dengan
gumaman.
“Hari ini cewek yang kutemui ...”
“Hmm....”
“Ia mengatakan bahwa Nanami tidak
cantik. Dia bilang, pipinya terlalu gemuk dan matanya terlalu kecil. Hah,
memangnya dia siapa berani menilai Nanami. Dia bahkan tidak ada apa-apanya di
banding Nanami. Dia harus ketemu langsung dengan Nanami agar ia tahu bahwa
Nanami adalah cewek paling cantik di dunia ini. Ia jauh-jauh-jauuuh lebih
cantik dari sekedar cewek yang hobi memakai make-up seperti mereka. Dan
pipinya, memangnya ada apa dengan pipinya? Ia punya pipi yang imut. Pipi yang
mengingatkanku akan kue kesukaanku, kue bolu.” Yano mengoceh. Entah mengoceh
pada siapa.
Mata Take terpejam. Tapi ia mendengarkan
cerita Yano dengan seksama.
“Dan matanya. Matanya memang kecil. Tapi
itu adalah mata bening terindah yang pernah ku temui.” Ia melanjutkan.
“Aku kangen padanya, Take. Aku kangen pada Nanami.” Kali ini
ucapannya lirih, terdengar putus asa dan tak bernyawa.
“Siapa yang paling cantik, Yano? Nanami?
Atau ... Nana?” Kali ini Take bertanya tanpa membuka mata, tanpa merubah posisi
tubuhnya.
Yano tak segera menjawab.
“Aku tak tahu. Kecuali jika kau bisa
membawa mereka berdua ke hadapanku, maka akan ku jawab siapa di antara mereka
yang paling cantik.” Ucapnya kemudian.
Mereka terdiam sesaat.
“Bahkan
jika Nana masih hidup, kau tidak akan pernah cocok dengannya, Yano?”
“Kenapa?”
“Karena kalian sama.”
“Kenapa jika kami sama?”
Take membuka mata perlahan.
“Nana adalah tipe orang yang kekurangan
cinta. Dan kau juga. Kau adalah tipe orang yang juga kekurangan cinta.
Sementara Nanami ...” Kalimatnya terhenti sesaat.
“Nanami, ia adalah tipe orang yang akan
memberikan cinta, sebanyak yang ia punya.” Lanjutnya. “Sekarang kau tahu dengan
siapa seharusnya kau memberikan seluruh hatimu. Aku benar ‘kan?”
Yano tak bersuara.
“Bagaimana
jika aku mendekati Nanami?” ucap Take. Yano mengernyit.
“Apa maksudmu?”
“Kau sudah resmi putus dengannya ‘kan?
Kau juga sudah berlaku tak adil padanya karena hatimu masih dipenuhi kenangan
tentang Nana. Jadi, jika suatu saat nanti Nanami bertemu dengan cowok lain yang
mampu membuatnya bahagia, kau harus merelakannya.”
Yano mematung. Tanpa mampu berkata-kata.
Hening lagi.
“Yano,
cinta itu hanya masalah waktu. Jika kau tidak mengatakan sesuatu yang
tepat di waktu yang tepat, sebesar
apapun takdir yang mempertemukan kalian, semuanya tetap akan berantakan. Jika
itu terjadi, maka yang kau temukan hanyalah penyesalan. Dan sebesar apapun
penyesalan yang kau rasakan, yakinlah, semua sia-sia. Kau tahu kenapa? Karena
itu sudah cukup terlambat untuk menyadarinya.”
Yano terdiam. Take juga. Dan keadaan menjadi
hening lagi untuk waktu yang lama, sampai mereka sama-sama tertidur.
Keesokan
harinya, ketika Take bangun, ia menemukan Yano masih tertidur di kamarnya.
Cowok itu meringkuk di lantai, tanpa selimut, tanpa bantal. Phonselnya
tergeletak begitu saja di sisinya dalam keadaan terbuka.
Take memungutnya. Rupanya, Yano tertidur
di tengah-tengah menulis pesan yang belum sempat ia selesaikan.
Nanami, aku
tidak pernah berpikir untuk menjadikanmu sebagai pengganti Nana. Apa yang
kurasakan padamu selama ini adalah nyata.
Aku menyesal dengan apa yang telah ku lakukan padamu. Semua hal yang
telah melukai hatimu. Aku telah melakukan banyak kesalahan. Tapi kumohon,
bertemulah denganku lagi dan biarkan aku menjelaskan segalanya. Aku ....
***
Nanami
celingukan. Ia menatap seisi kelas. “Yano tak ada?” Ia bertanya. Teman-temannya
berpandangan. “Mungkin di lapangan basket. Perlu ku panggilkan?” Shota bangkit.
“Tidak perlu. Ini hanya masalah ....”
Kalimat Nanami bahkan belum sempat selesai ketika Shota beranjak dan berlari
keluar dari kelas. Dan beberapa menit kemudian, ia mendengar seseorang
berlari-lari di lorong ruangan. Pintu kelas terbuka dan Yano muncul dari sana
dengan nafas terengah-engah.
“Aku dengar kau mencariku.” Ucapnya di
sela nafasnya yang naik turun. Nanami menelan ludah.
“Kau diminta ke ruang guru. Kau
satu-satunya siswa yang belum mengumpulkan makalah.” Jawabnya. Yano menatapnya,
nafasnya belum stabil, masih naik turun. Seolah ia baru saja lari marathon.
Tapi itu benar. Mendengar bahwa Nanami mencarinya, ia segera berlari tanpa
henti dari lapangan basket menuju ruang kelas.
“Hanya itu?” Ia kembali bertanya. Nanami
menangguk.
Yano manggut-manggut. Tampak kecewa.
“Baiklah. Terima kasih.” Ia berbalik dan
kembali menyusuri lorong ruangan menuju kantor guru. Shota menepuk-nepuk
pundaknya. Cowok itu tersenyum.
“Tak apa. Beberapa hari ini, Nanami
memang mengacuhkanku dan menolak bicara denganku. Tapi kau lihat sendiri ‘kan?
Tadi ia bersedia bicara denganku, walau hanya sebentar. Biarlah seluruh orang
di sini tahu bahwa aku mencoba mengejar-ngejar Nanami, bahwa aku mencoba baikan
lagi dengannya. Tak apa. Seperti apa yang Take ajarkan padaku. Bila ia menolakku
50 kali, maka aku akan mendatanginya 100 kali. Begitu pula bila ia menolakku
100 kali, maka aku akan mendatanginya 200 kali. Terlampau awal bagiku untuk
menyerah. Ya ‘kan?” Ucapnya. Shota hanya manggut-manggut.
***
Pulang
sekolah. Yano, Take, dan anak-anak klub futsal berhamburan memasuki bis yang baru
datang. “Yano, kau mau datang ke pesta
lagi? Kali ini ceweknya cantik-cantik dan tidak rewel. Yakin deh.” Akira
merangkul pundak Yano. Yano terkekeh dan menggeleng.
“Tidak. Aku kapok.” Jawabnya.
“Ah, kau tak asyik. Kau menyia-nyiakan
kesempatan. Mengejar Nanami terus belum tentu kau berhasil mendapatkannya
kembali.”
Yano mendelik.
“Setidaknya aku tidak akan pergi ke
pesta tak jelas hanya untuk bertemu cewek-cewek palsu yang merasa sok
kecantikan.”
“Tapi mereka memang cantik.”
“Tidak.”
“Yano. Aku ingat ada sesuatu yang harus
ku lakukan.” Sela Take. Yano menatapnya bingung. Sahabatnya sejak kecil itu
melompat keluar dari dalam bis.
“Aku sudah memberimu peringatan tadi
malam ‘kan.” Ucap Take lagi.
Yano mengernyit. Menatap sahabatnya yang
kini berada di pinggir jalan.
“Ada hal yang ingin ku jaga dan ku
lindungi. Dan kau tahu itu apa? Itu adalah Nanami. Tidak ada peraturan yang
melarang untuk mendekati mantan pacar sahabat sendiri ‘kan? Jadi, ayo kita
bersaing secara sehat.” Take kembali berucap.
Yano melotot.
Pintu
bis tertutup otomatis dan kendaraan itu mulai berjalan. Dari balik jendela,
Yano menyaksikan Take berlari-lari kembali ke sekolah.
“Pak, tolong hentikan bis nya!” Yano
berteriak pada sopir.
“Maaf. Tidak bisa. Bis baru bisa
berhenti di halte bis berikutnya.” Sopir itu menjawab dengan ramah.
Yano melongokkan kepalanya keluar
jendela.
“Take! Jika kau menyentuh Nanami, walau
hanya sehelai rambut sekalipun, akan ku habisi kau!” Teriaknya. Cowok itu
nyaris berniat melompati jendela bis jika tidak segera di cegah rekan-rekannya.
Shota dan Akira memegangi tubuhnya sementara Yamamoto menghalau tangannya.
“Bakaerrroooo*!! Akan ku habisi
kau!” Yano kembali berteriak kesal sementara teman-temannya terus berusaha
menenangkannya. Keributan di antara mereka mereda ketika pak sopir mengingatkan
mereka untuk tidak membuat kegaduhan di dalam kendaraan.
***
Bersambung...
NB
:
Bakaero
: Bodoh
Rata-rata bis di Jepang memang akan segera menutup
pintu secara otomatis ketika bis itu mulai berjalan. Dan bis baru akan berhenti
di pemberhentian berikutnya. Jadi, bis tidak bisa berhenti sembarangan sesuai
perintah penumpang seperti yang ada di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar