Senin, 26 Januari 2015

Bokura Ga Ita - Part 5



 Nanami menutup muka dengan kedua tangannya. Bahunya terguncang. Cewek itu terisak. Sementara Yano hanya mampu menatapnya pilu, menunggunya menangis, selama hampir setengah jam.
“Maafkan aku, Nanami.” Akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Yano setelah tangis Nanami agak reda.
“Jika saja aku mampu kembali ke masa lampau, akan ku hapus semua kenangan yang bisa membuatmu menangis. Sayangnya aku tak bisa. Masa lalu itu, akan terus bersamaku, mengikutiku, kemanapun dan dimanapun aku pergi.” Suaranya parau.
Nanami mendongak dan menatapnya.
Hening lagi.
“Kau dan Yuri, kapan kejadiannya?” Suara cewek itu bergetar.
“Setelah Nana meninggal.”
“Dan kenapa kau melakukannya?”
Yano tak segera menjawab.
“Perasaanku pada Nana begitu campur aduk. Aku sedih ketika dia meninggal. Tapi aku marah karena dia mengkhianatiku, tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku tahu bahwa selama menjadi pacarku, ia sering keluar dengan cowok lain. Teman-temankupun tahu hal itu. Ketika kami mulai berpacaran, mereka sudah memperingatkanku bahwa Nana bukan cewek baik-baik. Tapi, rasa cintaku padanya tak bisa ku bendung...” Kedua mata Yano tampak berkaca-kaca.
“Aku bahkan tak datang ke pemakamannya,” ia melanjutkan.
“Beberapa minggu setelahnya, aku baru datang ke rumahnya. Dan yang kutemui waktu itu adalah Yuri. Ia mengenakan baju Nana, dan ia menangis sendirian. Waktu itu aku hanya ingin menenangkannya. Tapi, entahlah, semua terjadi begitu saja. Aku melakukan sebuah kesalahan fatal,”
Nanami kembali merasakan dadanya sesak.
“Apakah kau mencintai Yuri?”
Yano menggeleng.
“Kalau begitu, apakah kau masih mencintai Nana?”
Cowok itu tak menjawab.
“Atau kau membencinya?”
Lagi-lagi ia tak menjawab.
Nanami menggigit bagian dalam bibirnya dengan kesal.
“Jawab aku Yano! Katakan apa yang ada di kepalamu! Katakan apa yang menjadi bebanmu! Kau masih mencintai Nana? Atau kau membencinya? Cewek itu memang telah mengkhianatimu berkali-kali, melukai perasaanmu. Jadi jika kau ingin marah, marahlah! Jika kau ingin membenci, bencilah! Jika kau ingin mengutuk, memaki, memakilah! Tapi setelah itu, cukup sampai di sini cerita tentang dia. Dia sudah pergi, selamanya. Jadi kau harus berhenti memikirkannya!”
“Bagaimana mungkin aku bisa berhenti memikirkannya!?” Yano berteriak. Nanami menatapnya tak mengerti.
“Aku mungkin marah padanya, tapi aku takkan bisa membenci perempuan yang paling kucintai di muka bumi ini,” ia kembali berkata-kata.
Nanami merasakan kakinya tak lagi berpijak di tempatnya semula. Tubuhnya serasa mati rasa.
Perempuan yang paling ia cintai di muka bumi ini ....
“Apapun yang ia lakukan, berapa kalipun ia mengkhinatiku, melukaiku, aku memaafkannya. Aku memaafkan semua kesalahannya. Bahkan jika mampu, aku ingin ia kembali. Aku ingin ia kembali ke dunia ini dan hidup bersamaku, selamanya!” Yano kembali berteriak dan bersamaan dengan itu air matanya menitik.
Hati Nanami hancur seketika.
Ia bersandar lemas di kursi dan menatap cowok di hadapannya dengan lunglai.
Cukup ... Semua cukup sampai di sini .....
Pipinya yang tadi sempat mengering sekarang kembali basah oleh air mata. Kemudian dengan sedikit tertatih, ia bangkit, meraih tas nya.
“Aku tak bisa melakukan ini lagi, Yano. Aku tak bisa terus bersamamu jika di kepalamu masih dipenuhi kenangan-kenangan tentang Nana. Aku menyerah. Aku menyerah,” ia beranjak. Meninggalkan ruang kelas. Meninggalkan Yano, sendirian.
Ia memutuskan menyerah.
Dan itu artinya, hubungan mereka berakhir...

***

          Hujan turun dengan deras. Yano berdiri mematung di teras sekolah. Tatapannya menerawang halaman sekolah yang tergenang air hujan. Beberapa kali angin menebarkan air hujan ke arahnya hingga sebagian bajunya, wajahnya dan rambutnya mulai basah. Namun pemuda itu tak berniat beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Ia masih berdiri di sana, seolah menantang hujan, entah untuk apa.
“Kau tak membawa payung?”
Suara itu membuat Yano menoleh. Yuri berdiri tak jauh di belakangnya, membawa payung.
“Aku membawa 2 payung jika kau mau pinjam,” ia kembali menawarkan.
“Tidak, terima kasih.” Yano menjawab sambil membuang kembali pandangannya ke halaman sekolah.
“Nanami mencampakkanku. Kau puas?” Ucap Yano lagi. Yuri tak menjawab.
“Aku telah menceritakan apa yang terjadi di antara kita. Dan dia menangis.” Cowok itu melanjutkan.
“Apa kau patah hati sekarang? Apa kau menghendaki aku membuatmu ‘nyaman’ seperti yang kita lakukan ketika kak Nana...”
Yano terkekeh sinis hingga kalimat Yuri terhenti.
“Aku tidak akan pernah melakukan kesalahan seperti itu lagi, Yuri. Tidak akan pernah,” jawabnya.
“Itu bukan kesalahan, Yano.” Jawab Yuri.
Yano kembali menolah dan menatapnya.
“Itu bukan kesalahan. Mungkin kau beranggapan bahwa kau telah memanfaatkanku. Tapi sejujurnya, tidak. Apa yang kurasakan padamu adalah nyata, Yano. Aku mencintaimu. Aku bahkan sudah jatuh cinta padamu sejak SMP,  jauh sebelum kau jatuh cinta pada kakakku,” suara Yuri terdengar bergetar.
Yano menatapnya tanpa ekspresi.
Hening sesaat.
“Terima kasih. Tapi aku tak peduli.” Yano beranjak, menerjang hujan, melewati halaman sekolah yang tergenang air. Ia terus melangkah, tanpa menghiraukan dirinya yang basah, tanpa menoleh kembali ke arah Yuri.


***

          Sudah seminggu sejak Yano dan Nanami putus. Dan rumor terus bermunculan tentang penyebab kandasnya hubungan mereka. Tapi rumor akan senantiasa menjadi rumor. Karena baik Yano maupun Nanami tak pernah mau membicarkannya lagi. Mereka bahkan saling tak bertegur sapa walau berada dalam kelas yang sama. Tapi satu hal yang disadari anak-anak yang lain, Yano dan Nanami sama-sama jarang tersenyum lagi.

          Take hanya mampu menarik nafas kesal ketika mendapati Yano telah meringkuk di ranjangnya. Cowok itu pasti masuk ke kamarnya lewat jendela, hal yang selalu ia lakukan selama ini jika kepalanya sedang banyak pikiran.
“Masih patah hati?” Take bertanya sambil duduk di lankan jendela.
Yano tak segera menjawab.
“Hari ini aku menelpon Nanami sebanyak 50 kali. Tapi ia menolak mengangkatnya.”
“Kalau begitu, telponlah seratus kali. Jika ia tetap menolak mengangkatnya, telponlah lagi 200 kali.” Jawab Take.
Yano kembali terdiam.
“Jika kau memang mencintai Nanami, kau harus mengerahkan seluruh tenagamu. Kau harus menyerahkan seluruh hatimu. Sudah saatnya kau melupakan Nana. Dia sudah pergi, Yano. Kau harus merelakannya.” Ucap Take lagi.
Yano terkekeh.
“Bicara tak semudah melakukannya, Take.”
“Karena kau tak berusaha melakukannya. Hatimu masih diliputi perasaan tentang Nana. Rasa amarah, benci, cinta, semua menjadi satu. Jika kau terus seperti ini, tidak hanya Nanami yang terluka, tapi juga kau sendiri.”
Yano terdiam lagi. Perlahan ia bangkit.
“Ah sudahlah. Kenyataannya Nanami telah menolakku. Putus ya putus saja.” Ia melangkah ke arah jendela.
“Mau kemana?”
“Mencari hiburan. Akira dan Yamato mengajakku ke kafe. Dia bilang, akan ada banyak cewek-cewek cantik di sana.” Ia menjawab enteng seraya meraih sepatunya lalu segera meloncat ke luar jendela.

***

          Akira dan Yamato mengajak Yano ke kafe yang biasa dijadikan tempat nongkrong anak-anak muda. Mereka ternyata telah janjian untuk ketemu beberapa cewek yang dandannya terlihat lebih dewasa dari umurnya dan yang – entah Akira dan Yamato mengenal mereka dari mana. Toh Yano enggan menanyakannya.
Sementara kedua sahabatnya sibuk berkenalan dengan mengobrol dengan mereka, Yano malah duduk membisu di kursinya sembari terus mengutak-atik phonselnya.
“Hei, kenapa sejak tadi kau diam terus?” Cewek berambut panjang beringsut mendekati Yano. Yano hanya tersenyum.
“Dia baru putus.” Celetuk Akira.
“Oh ya? Kasihan sekali.” Cewek itu menatap Yano dengan iba. Yano hanya terkekeh, meletakkan phonselnya di meja lalu meraih minumannya.
“Biasa saja.” Jawabnya.
Cewek berambut panjang itu menatap phonsel Yano sesaat lalu meraihnya.
“Oh, inikah mantan cewekmu?” Ia menunjukkan layar yang memperlihatkan foto Nanami. Yano hanya mengangguk cuek seraya membuang pandangannya ke tempat lain.
“Kau masih mencintainya?”
“Tidak.” Yano menjawabnya cepat.
Cewek berambut panjang itu manggut-manggut.
“Kau layak mendapatkan yang lebih baik daripada dia. Lihatlah, dia terlihat biasa saja. Dia bahkan tidak terlihat cantik sama sekali. Pipinya terlalu gemuk. Dan matanya terlalu kecil.”
Yano kembali membuang pandangannya ke tempat lain tanpa mempedulikan cewek berambut panjang yang nyerocos kemana-mana.
“Well, kau harus membuang semua kenangan tentang dia jika ingin move-on. Akan ku bantu kau menghapusnya.” Cewek itu terus berkomentar.
Yano terhenyak. Ia menoleh, dan menyaksikan cewek itu mengutak-atik phonselnya.
“Apa yang kau lakukan?!” Ia berteriak seraya menyambar phonsel tersebut dari tangannya. Cewek itu terlihat kaget mendengar teriakan Yano.
“Aku ... sudah menghapus fotonya.” Jawabnya ragu.
Yano menatapnya dengan tajam, lalu beralih ke arah phonselnya. Layar phonsel itu tampak kosong. Foto Nanami yang biasa menjadi wallpaper kini tak ada lagi.
“Apa yang kau lakukan dengan fotonya?!” Ia kembali berteriak marah.
Cewek itu pucat seketika.
“Kau bilang kau tak mencintainya lagi. Jadi ... aku...”
“Bahkan jika aku tak mencintainya, kau tak punya hak untuk menghapus fotonya! Lancang sekali kau!” Yano bangkit dan menatap cewek itu dengan penuh amarah.
Akira mendekatinya.
“Yano, tenanglah. Banyak orang melihat kita.” Ia berbisik.
Yano menggigit bibirnya.
“Maafkan aku. Aku tak bermaksud ...” Cewek itu meminta maaf.
Tanpa menunggu ia menyelesaikan kalimatnya, Yano beranjak.
“Aku pulang.” Ucapnya seraya melangkahkan kakinya keluar dari kafe tersebut. Ia tak menghiraukan lagi panggilan Akira dan Yamamoto. Sepanjang perjalanan, ia sibuk menelpon Take.
“Take, kau masih punya foto Nanami. Itu, fotonya yang memakai yukata. Seorang cewek sok tahu menghapus fotonya dari phonselku. Jadi, tolong kirimkan padaku file-nya. Sekarang juga.” Ucapnya gusar.
“Foto itu sudah tak ada.” Terdengar Take menjawab dari seberang sana.
“Bohong. Kau bilang kau akan menyimpannya sebagai cadangan ‘kan?”
“Tapi kau sudah memintaku untuk menghapusnya. Jadi foto itu tak ada lagi.”
Yano mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.
“Katakan kalau kau bohong, Take. Kau masih punya fotonya ‘kan?!” Ia berteriak kesal. Entah kesal pada siapa.
“Sudah ku bilang, aku tak punya.” Lagi-lagi Take menjawab.
Yano meringis. Ia menghentikan langkahnya, menutup pembicaraan dengan Take, lalu menatap layar phonselnya dengan tatapan sendu. Beberapa bulan ini ia akrab dengan foto Nanami di wallpaper phonselnya. Tapi sekarang, foto itu tak ada. Yano duduk di pinggir jalan dengan asal, dan perlahan air matanya menitik.

***

          Take sedang tertidur lelap ketika ia merasakan seseorang mengguncang-guncang tubuhnya. “Take, bangunlah. Ayo bangun.” Selimutnya juga ditarik-tarik. Take menggerutu lalu menyipitkan matanya hanya untuk melihat siapa orang lancang yang telah mengganggu tidurnya.
“Yano? Astaga, untuk apa kau di sini?” Ia menggumam kesal ketika menyaksikan Yano sudah ada di samping ranjangnya. Cowok itu menatap ke arah jam weker di nakas. Jam 2 dini hari! Ia kembali menggerutu.
“Ya ampun, ini jam 2 dini hari. Apa yang kau lakukan di kamarku?”
“Fotonya. Foto Nanami. Di mana kau menyimpannya? Beritahu padaku, sekarang juga.” Yano mengomel.
“Malam-malam kau ke sini hanya untuk menanyakan itu?”
“Ya.” Yano menjawab cepat.
“Keluar kau dari kamarku, sialan. Aku mau tidur.Take berguling dan membenahi selimutnya. Tapi lagi-lagi Yano menarik-narik selimut tersebut.
“Fotonya mana? Kirimkan padaku, sekarang juga.”
“Aku tak punya lagi.”
“Bohong.”
“Aku ngantuk.”
“Mana phonselmu?”
“Sudah ku bilang aku tak punya. Lagipula, apa untungnya menyimpan foto pacar orang lain. Kurang kerjaan.”
“Take!” Yano kembali mengguncang-guncang tubuh Takeuchi.
“Oke, Oke. Bisakah kau membiarkanku tidur dulu dengan nyenyak. Seharian ini aku sudah capek membantu ibuku di toko. Besok aku akan mencoba me-recover file tersebut karena file tersebut sudah ku hapus. Tapi, biarkan aku tidur lagi. oke?”
Yano menatapnya tak percaya.
“Janji?”
Take mengangguk dengan malas.
“Baiklah. Sekarang kau bisa tidur lagi.” Jawab Yano.
“Dan kau bisa pulang dulu. oke?”
“Tidak. aku di sini saja.”
Take memutar bola matanya dengan kesal.
“Terserah.” Jawabnya seraya kembali menarik selimut menutupi tubuhnya.
“Selamat tidur, Yano.” Ucapnya.
          Yano tak menjawab. Cowok itu duduk di lantai sementara kepalanya ia sandarkan di ranjang.
“Take, aku ingin cerita.”
“Hmm...” Take hanya menjawab dengan gumaman.
“Hari ini cewek yang kutemui ...”
“Hmm....”
“Ia mengatakan bahwa Nanami tidak cantik. Dia bilang, pipinya terlalu gemuk dan matanya terlalu kecil. Hah, memangnya dia siapa berani menilai Nanami. Dia bahkan tidak ada apa-apanya di banding Nanami. Dia harus ketemu langsung dengan Nanami agar ia tahu bahwa Nanami adalah cewek paling cantik di dunia ini. Ia jauh-jauh-jauuuh lebih cantik dari sekedar cewek yang hobi memakai make-up seperti mereka. Dan pipinya, memangnya ada apa dengan pipinya? Ia punya pipi yang imut. Pipi yang mengingatkanku akan kue kesukaanku, kue bolu.” Yano mengoceh. Entah mengoceh pada siapa.
Mata Take terpejam. Tapi ia mendengarkan cerita Yano dengan seksama.
“Dan matanya. Matanya memang kecil. Tapi itu adalah mata bening terindah yang pernah ku temui.” Ia melanjutkan.
“Aku kangen padanya, Take. Aku kangen pada Nanami.” Kali ini ucapannya lirih, terdengar putus asa dan tak bernyawa.
“Siapa yang paling cantik, Yano? Nanami? Atau ... Nana?” Kali ini Take bertanya tanpa membuka mata, tanpa merubah posisi tubuhnya.
Yano tak segera menjawab.
“Aku tak tahu. Kecuali jika kau bisa membawa mereka berdua ke hadapanku, maka akan ku jawab siapa di antara mereka yang paling cantik.” Ucapnya kemudian.
Mereka terdiam sesaat.
          “Bahkan jika Nana masih hidup, kau tidak akan pernah cocok dengannya, Yano?”
“Kenapa?”
“Karena kalian sama.”
“Kenapa jika kami sama?”
Take membuka mata perlahan.
“Nana adalah tipe orang yang kekurangan cinta. Dan kau juga. Kau adalah tipe orang yang juga kekurangan cinta. Sementara Nanami ...” Kalimatnya terhenti sesaat.
“Nanami, ia adalah tipe orang yang akan memberikan cinta, sebanyak yang ia punya.” Lanjutnya. “Sekarang kau tahu dengan siapa seharusnya kau memberikan seluruh hatimu. Aku benar ‘kan?”
Yano tak bersuara.
          “Bagaimana jika aku mendekati Nanami?” ucap Take. Yano mengernyit.
“Apa maksudmu?”
“Kau sudah resmi putus dengannya ‘kan? Kau juga sudah berlaku tak adil padanya karena hatimu masih dipenuhi kenangan tentang Nana. Jadi, jika suatu saat nanti Nanami bertemu dengan cowok lain yang mampu membuatnya bahagia, kau harus merelakannya.”
Yano mematung. Tanpa mampu berkata-kata.
Hening lagi.
          “Yano, cinta itu hanya masalah waktu. Jika kau tidak mengatakan sesuatu yang tepat  di waktu yang tepat, sebesar apapun takdir yang mempertemukan kalian, semuanya tetap akan berantakan. Jika itu terjadi, maka yang kau temukan hanyalah penyesalan. Dan sebesar apapun penyesalan yang kau rasakan, yakinlah, semua sia-sia. Kau tahu kenapa? Karena itu sudah cukup terlambat untuk menyadarinya.”
Yano terdiam. Take juga. Dan keadaan menjadi hening lagi untuk waktu yang lama, sampai mereka sama-sama tertidur.
          Keesokan harinya, ketika Take bangun, ia menemukan Yano masih tertidur di kamarnya. Cowok itu meringkuk di lantai, tanpa selimut, tanpa bantal. Phonselnya tergeletak begitu saja di sisinya dalam keadaan terbuka.
Take memungutnya. Rupanya, Yano tertidur di tengah-tengah menulis pesan yang belum sempat ia selesaikan.



 


Nanami, aku tidak pernah berpikir untuk menjadikanmu sebagai pengganti Nana. Apa yang kurasakan padamu selama ini adalah nyata.  Aku menyesal dengan apa yang telah ku lakukan padamu. Semua hal yang telah melukai hatimu. Aku telah melakukan banyak kesalahan. Tapi kumohon, bertemulah denganku lagi dan biarkan aku menjelaskan segalanya. Aku ....




***

          Nanami celingukan. Ia menatap seisi kelas. “Yano tak ada?” Ia bertanya. Teman-temannya berpandangan. “Mungkin di lapangan basket. Perlu ku panggilkan?” Shota bangkit.
“Tidak perlu. Ini hanya masalah ....” Kalimat Nanami bahkan belum sempat selesai ketika Shota beranjak dan berlari keluar dari kelas. Dan beberapa menit kemudian, ia mendengar seseorang berlari-lari di lorong ruangan. Pintu kelas terbuka dan Yano muncul dari sana dengan nafas terengah-engah.
“Aku dengar kau mencariku.” Ucapnya di sela nafasnya yang naik turun. Nanami menelan ludah.
“Kau diminta ke ruang guru. Kau satu-satunya siswa yang belum mengumpulkan makalah.” Jawabnya. Yano menatapnya, nafasnya belum stabil, masih naik turun. Seolah ia baru saja lari marathon. Tapi itu benar. Mendengar bahwa Nanami mencarinya, ia segera berlari tanpa henti dari lapangan basket menuju ruang kelas.
“Hanya itu?” Ia kembali bertanya. Nanami menangguk.
Yano manggut-manggut. Tampak kecewa.
“Baiklah. Terima kasih.” Ia berbalik dan kembali menyusuri lorong ruangan menuju kantor guru. Shota menepuk-nepuk pundaknya. Cowok itu tersenyum.
“Tak apa. Beberapa hari ini, Nanami memang mengacuhkanku dan menolak bicara denganku. Tapi kau lihat sendiri ‘kan? Tadi ia bersedia bicara denganku, walau hanya sebentar. Biarlah seluruh orang di sini tahu bahwa aku mencoba mengejar-ngejar Nanami, bahwa aku mencoba baikan lagi dengannya. Tak apa. Seperti apa yang Take ajarkan padaku. Bila ia menolakku 50 kali, maka aku akan mendatanginya 100 kali. Begitu pula bila ia menolakku 100 kali, maka aku akan mendatanginya 200 kali. Terlampau awal bagiku untuk menyerah. Ya ‘kan?” Ucapnya. Shota hanya manggut-manggut.

***

          Pulang sekolah. Yano, Take, dan anak-anak klub futsal berhamburan memasuki bis yang baru datang.  “Yano, kau mau datang ke pesta lagi? Kali ini ceweknya cantik-cantik dan tidak rewel. Yakin deh.” Akira merangkul pundak Yano. Yano terkekeh dan menggeleng.
“Tidak. Aku kapok.” Jawabnya.
“Ah, kau tak asyik. Kau menyia-nyiakan kesempatan. Mengejar Nanami terus belum tentu kau berhasil mendapatkannya kembali.”
Yano mendelik.
“Setidaknya aku tidak akan pergi ke pesta tak jelas hanya untuk bertemu cewek-cewek palsu yang merasa sok kecantikan.”
“Tapi mereka memang cantik.”
“Tidak.”
“Yano. Aku ingat ada sesuatu yang harus ku lakukan.” Sela Take. Yano menatapnya bingung. Sahabatnya sejak kecil itu melompat keluar dari dalam bis.
“Aku sudah memberimu peringatan tadi malam ‘kan.” Ucap Take lagi.
Yano mengernyit. Menatap sahabatnya yang kini berada di pinggir jalan.
“Ada hal yang ingin ku jaga dan ku lindungi. Dan kau tahu itu apa? Itu adalah Nanami. Tidak ada peraturan yang melarang untuk mendekati mantan pacar sahabat sendiri ‘kan? Jadi, ayo kita bersaing secara sehat.” Take kembali berucap.
Yano melotot.
          Pintu bis tertutup otomatis dan kendaraan itu mulai berjalan. Dari balik jendela, Yano menyaksikan Take berlari-lari kembali ke sekolah.
“Pak, tolong hentikan bis nya!” Yano berteriak pada sopir.
“Maaf. Tidak bisa. Bis baru bisa berhenti di halte bis berikutnya.” Sopir itu menjawab dengan ramah.
Yano melongokkan kepalanya keluar jendela.
“Take! Jika kau menyentuh Nanami, walau hanya sehelai rambut sekalipun, akan ku habisi kau!” Teriaknya. Cowok itu nyaris berniat melompati jendela bis jika tidak segera di cegah rekan-rekannya. Shota dan Akira memegangi tubuhnya sementara Yamamoto menghalau tangannya.
“Bakaerrroooo*!! Akan ku habisi kau!” Yano kembali berteriak kesal sementara teman-temannya terus berusaha menenangkannya. Keributan di antara mereka mereda ketika pak sopir mengingatkan mereka untuk tidak membuat kegaduhan di dalam kendaraan.

***

Bersambung...


NB :
Bakaero : Bodoh
Rata-rata bis di Jepang memang akan segera menutup pintu secara otomatis ketika bis itu mulai berjalan. Dan bis baru akan berhenti di pemberhentian berikutnya. Jadi, bis tidak bisa berhenti sembarangan sesuai perintah penumpang seperti yang ada di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar