Jumat, 09 Januari 2015

[Cerpen] Panggil aku 'Beib'



            “Berapa tarifmu?”
“200 ribu untuk sekali nge-date,” jawabku.
Cowok berhitung mancung yang duduk di depanku itu mengernyit.
“200 ribu? Whoa, itu termasuk murah,” ucapnya. Kedua matanya yang bening berbinar-binar indah. Sumpah, ini pertama kalinya aku ketemu cowok dengan mata sebening itu.
Aku mengangkat bahu, cuek.
“Dan, apa yang boleh dan nggak boleh dilakukan?” ia kembali bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
“Kiss still okay, but sex, no,” jawabku tegas.
Cowok itu mengernyit.
“Maksudnya 200 ribu cuma untuk ngobrol, gandengan tangan, dan ... kissing,”
Aku mengangguk.
Yep, just ‘kiss’. Nggak lebih,” jawabku lagi.
Dia mengernyit.
“Kalau begitu mahal dong,” ucapnya. Aku terkekeh.
“Tadi bilangnya murah, sekarang mahal, gimana sih?” tanyaku. Ia mengangkat bahu.
“Iya, tetep aja 200 ribu untuk sekali kencan, ngobrol doang, itu mahal,” jawabnya.
Aku tertawa lirih.
“Aku cuma pacar sewaan, bung. Tugasku cuma untuk menemani kencan, ngobrol, jalan-jalan, udah. Aku tidak menjajakan sex. Kalo kamu menghendaki adegan ranjang, cari saja orang lain,” aku meraih tasku dan bersiap-siap bangkit. Tapi cowok itu memegang tanganku dan menahanku.
“Oke, deal,” ucapnya.
Aku mengurungkan niatku.
“Jadilah pacarku, seminggu,” lanjutnya.
Aku menatapnya, lalu tersenyum dan mengangguk.
Kuulurkan tanganku.
“Lena,” ucapku.
“Dimas,” ia berucap seraya menyambut uluran tanganku.


            Dan begitulah akhirnya. Aku resmi menjadi pacar sewaan Dimas selama seminggu. Aku menemaninya jalan-jalan, menemaninya menghadiri acara-acara bisnis, makan malam dengan beberapa kliennya, hang out dengan beberapa teman-temannya, atau terkadang hanya duduk mengobrol dengannya di balkon apartemennya.
Sejak menjalani profesi sebagai pacar sewaan sekitar 3 tahun yang lalu, aku sudah menemui bermacam-macam model pelanggan. Dan selama ini aku memang selalu mendapatkan pelanggan yang sopan dan baik. Tentu saja, jika mereka tak baik, mereka tak akan menyewaku, tapi menyewa perempuan komersial. Cowok mana yang mau menyewa pacar sewaan yang hanya mau diajak jalan-jalan dan ngobrol doang? Tentu hanya cowok baik-baik saja ‘kan? Itulah mengapa tak pernah ada yang bersikap kurang ajar padaku. Mereka memperlakukanku dengan baik dan sopan.
Tapi Dimas berbeda. Pertama kali bertemu dengannya ia memang kelihatan tengil dan kurang ajar. Tapi ternyata dia ... luar biasa sopan.
Kesepakatan memperbolehkan kami berciuman, tapi Dimas tak melakukannya. Ia bahkan senantiasa menghindari kontak fisik denganku, walau hanya berpegangan tangan. Ia rajin membawakanku hadiah, walau hanya sebuket bunga. Dan kata-katanya padaku selalu lembut dan penuh perhatian. Memang sih semua pelangganku bersikap seperti itu, tapi sekali lagi, dia ... berbeda. Semua yang ada pada dirinya benar-benar membuatku takjub. Berkali-kali aku bahkan mendapati diriku tengah menatap tanpa sadar ke arahnya ketika ia sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya. Atau ketika ia asyik bercerita tentang kegiatannya, aku juga dengan asyik menatap dirinya.
Ini tidak mungkin! Aku sudah bertekad untuk melakoni profesiku secara profesional dan tidak akan jatuh cinta pada pelangganku sendiri. Tapi, Dimas benar-benar membuat jantungku berlompatan...

***

            Jam menunjukkan pukul 11 malam ketika Dimas menjemputku dari tempat kerja lalu mengajakku ke apartemennya. Malam itu  ia tetap kelihatan rapi seperti biasanya dengan memadukan celana hitam dan kemeja yang lengannya dilipat hingga ke bawah siku.
“Datanglah ke apartemenku, aku menyiapkan suatu kejutan untukmu,” ucapnya lembut dengan mata berbinar-binar.  “Oh ya?” tanyaku antusias. Dan cowok itu kembali mengangguk sambil tersenyum.
Ketika sampai di apartemennya, aku terperangah ketika menyaksikan Dimas telah menyiapkan sebuah candle light dinner yang romantis.
“Selamat ulang tahun, beib,” ucap Dimas kemudian. Hanya dia satu-satunya cowok yang memanggilku dengan sebutan kesayangan ‘Beib’.
Aku melongo. Sesaat kemudian aku menepuk jidatnya dengan kesal. Astaga, aku lupa kalau hari ini adalah ulang tahunku.
“Dari mana kamu tahu kalo hari ini adalah ulang tahunku?” tanyaku bingung. Dimas tersenyum lembut.
“Tahu dong. Masak ulang tahun pacar sendiri gak hafal,” jawabnya seraya menarik kursi di depan meja makan untuk diriku.
“Terima kasih,” jawabku, lalu duduk di kursi tersebut. Banyak cowok yang telah memanggilku ‘pacar’ karena pada dasarnya aku memang ‘pacar’ orang banyak. Tapi jika kata-kata itu keluar dari bibir Dimas, rasanya ...  menyenangkan.
“Ada lagi, sebentar,” Dimas berlalu menuju dapur, dan sesaat kemudian ia kembali membawa sebuah kue tart yang telah dilengkapi dengan lilin berbentuk angka 21, umurku.
            Dan keharuanku makin bertambah ketika ia menyanyikan lagu ulang tahun dengan suaranya yang merdu.
Make a wish, beib,” ucapnya sesaat sebelum aku meniup lilin tersebut. Aku tersenyum,  memejamkan mata sesaat untuk berdoa, lalu meniup lilin ulang tahun tersebut.
“Maaf ya, perayaannya sederhana,” ujar Dimas kemudian sambil meletakkan kue tart tersebut di ujung meja, di samping menu candle light dinner kami.
“Terima kasih, ini perayaan ulang tahunku yang paling ... wow,” jawabku, jujur.
Dimas tertawa bahagia.
“Oh ya? Waah, kau membuatku ge-er,” jawabnya. Aku kembali mengangguk untuk meyakinkan. “Suerr,” tambahku.
            Dan kami menghabiskan sisa malam itu dengan dinner yang romantis sambil terus mengobrol tentang banyak hal. Entahlah, aku hanya merasa bahwa semua ini ... nyata.
“Boleh aku nanya banyak hal?” pertanyaan Dimas terdengar ragu. Sesaat setelah melewati makan malam yang romantis, kami duduk-duduk di balkon apartemen sambil menatap indahnya suasana kota di malam hari.
Aku tersenyum lalu menatapnya.
“You got me, boy. So, please ...” jawabku.
“Sejak kapan kamu menjalani profesi sebagai pacar sewaan?” ia mulai bertanya.
Aku tak segera menjawab karena mencoba mengingat kapan tepatnya aku mulai menjalani profesi ini.
“Kalo tidak salah, sekitar 3 tahun yang lalu. Tepat ketika aku duduk di bangku kuliah semester 1,” jawabku.
“Dan kenapa kamu harus melakukannya?” ia bertanya lagi.
Aku menyibakkan rambutku yang berjuntaian karena tertiup angin. Lalu dengan bertopang dagu, aku kembali menatap Dimas.
“Aku datang dari keluarga yang tidak berada, Dimas. Dan kamu tahu biaya kuliah jaman sekarang sangat tinggi. Sebenarnya aku juga bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko, tapi tetap saja gajiku tak cukup untuk membayar kuliah dan juga biaya hidup. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk menjadi pacar sewaan. Tapi percayalah, aku tidak menjajakan sex. Aku hanya memanfaatkan apa yang ada pada diriku. Well, bukannya sombong. Tapi aku memang cantik, aku menyenangkan diajak ngobrol, dan percayalah, aku adalah pendengar yang baik,” jawabku.
Dimas tertawa. Ia manggut-manggut.
“Yep, kamu benar. Kamu cantik, kamu menyenangkan dan kamu memang pendengar yang baik,” jawabnya.
Aku ikut tertawa. “Aku hanya bercanda,” ujarku. Dimas menggeleng.
“Enggak, aku yang serius. Kamu memang ... begitu,” tukasnya.
“Oke deh, terima kasih,” aku tergelak.
“Kamu nggak takut kalau ada pelangganmu yang bersikap kurang ajar padamu? Maksudku ... yaa, kamu tahulah ... pelecehan seksual dan semacamnya gitu?”
Aku menggeleng.
“Enggak. Karena aku yakin pelanggan-pelangganku adalah lelaki-lelaki terhormat yang mampu menghargai perempuan,” ucapku, yakin.
“Dari mana kamu tahu?”
Aku terkekeh sesaat.
“Sayaang, coba deh dipikir. Kalau mereka adalah cowok bangsat, maka mereka nggak akan menyewaku. Mereka pasti lebih memilih menyewa pelacur yang bisa di ajak tidur daripada diriku yang hanya menawarkan jasa ‘mengobrol’ saja,”
Dimas mengangguk-angguk.
“Dan aku tetap yakin bahwa akan ada saja lelaki yang ingin menyewaku karena aku tahu, tidak semua laki-laki memikirkan sex semata. Ada di antara mereka yang benar-benar butuh teman dekat yang bisa di ajak mengobrol, berbagi cerita, di dengarkan keluh kesahnya, ditemani saat dia makan dan membuatnya nyaman ketika di ajak jalan-jalan, benar ‘kan?” aku seperti menanyakan itu pada Dimas.
Dan cowok itu kembali mengangguk-angguk.
“Dan sampai kapan kamu berencana meneruskan profesi sebagai pacar sewaan?”
Aku mengangkat bahu.
“Setelah kuliahku selesai, aku berencana berhenti lalu mencari pekerjaan yang mapan dan mulai menata hidupku,” jawabku kemudian.
Dimas menatapku dalam.
“Jika aku ingin menyewamu untuk jangka waktu yang sangat lama, berapa harga yang harus kubayar?” ia bertanya kemudian.
Aku balas menatapnya dengan bingung.
Sangat lama maksudnya ... berapa tahun?”
“Seumur hidup,” Dimas menjawab cepat.
Aku menyelonjorkan kedua kakiku di bawah meja lalu memperbaiki posisi dudukku. Aku sengaja mengulur waktu untuk memikirkan jawabanku.
“Well, sepertinya tarifnya akan sangat mahal,” jawabku kemudian.
“Berapa?”
“Semua yang kamu punya,” jawabku asal.
“Jika aku bersedia memberikannya, apa kamu akan bersamaku, seumur hidupmu?”
Kami berpandangan. Hening sesaat. Apa orang ini serius?
“Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” kata-kataku pelan, tapi tak begitu lirih.
Dimas menarik nafas, terlihat sedang menyusun kalimat di benaknya.
“Apa yang ku punya saat ini memang kuperuntukkan untuk dirimu, Lena,” lagi-lagi kalimatnya lembut. Timbre suaranya yang seksi benar-benar membuat jantungku jungkir balik.
“Asal kamu tahu, sebenarnya aku berasal dari kampus yang sama denganmu. Aku berada beberapa tingkat di atasmu. Kita satu fakultas, tapi beda jurusan,” ia mulai menjelaskan.
Aku menatapnya, kembali bingung.
“Aku sudah skripsi ketika kamu baru menjadi mahasiswa baru,” lanjutnya.
“Aku pertama kali melihatmu di acara OPSPEK mahasiswa baru. Dan sejak saat itu, aku benar-benar terpesona olehmu. Lebih tepatnya, sejak 3 tahun yang lalu, aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama ... denganmu,”
Dan aku makin terkesiap.
“Aku ingin mendekatimu dan mengenalmu lebih jauh. Tapi aku tak punya keberanian. Hingga akhirnya aku tahu bahwa kamu menjalani profesi sebagai pacar sewaan dan aku benar-benar tak punya nyali untuk mendekatimu. Yaaa... kamu tahulah. Aku hanya mahasiswa biasa yang belum bekerja, dan masih mengandalkan kiriman dari orang tua untuk bertahan hidup. Hingga akhirnya, sesaat setelah sudah yudisium, aku bertekad untuk mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan ternama. Dan beginilah akhirnya. Setelah bersusah payah, aku mulai menatap kehidupanku menjadi pria yang mapan baik secara mental maupun finansial. Dan itu yang membuatku berani untuk mendekatimu kembali,” jelas Dimas lagi.
Aku mematung. Bibirku terasa kelu.
“Lena, gajiku memang tidak besar, hartaku juga tidak terlalu banyak, dan apartemenku juga tidak terlalu mewah, tapi percayalah, aku mampu menghidupimu secara layak. Dan kamu nggak perlu lagi menjadi pacar sewaan untuk membayar biaya kuliahmu karena aku mampu secara finansial menanggung bebanmu. Kamu bisa mengandalkanku sebagai laki-laki,”
Dimas merogoh sesuatu dari saku celananya lalu meletakkannya di atas meja, tepat di depanku. Aku kembali melongo. Cincin!
“Bersediakah kamu membuat kontrak seumur hidup denganku?” kalimat Dimas terdengar begitu lembut dan tulus.
Aku menatap cincin itu dan juga ke arah Dimas secara bergantian. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa.
“Aku tahu ini terlalu tiba-tiba buatmu. Tapi ku harap kamu mau memberikanku kesempatan untuk menunjukkan betapa tulus cintaku padamu,” cowok berlesung pipi itu  kembali melanjutkan.
“Jika kamu bersedia memberiku kesempatan, ambil dan simpanlah cincin ini. Jika tidak, atau saat ini kamu sedang terlibat hubungan serius dengan pria lain, maka lemparkan saja cincin ini ke sana,” Dimas menunjuk ke arah luar balkon.
“Dan aku janji aku takkan lagi mengganggumu ataupun menemuimu,” lanjutnya.
Tatapan kami kembali terkunci.
Aku sempat menyaksikan rahang Dimas mengeras. Ia pasti tegang luar biasa, sama seperti diriku.
            Perasaanku membuncah, campur aduk. Tapi sekian detik kemudian, aku yakin bahwa air mataku menitik. Aku hanya merasa terlalu terharu dan ... bahagia.
Ku raih cincin di meja lalu ku genggam dengan erat. Dan kembali aku menatap Dimas.
“Aku sedang tidak terlibat hubungan serius dengan pria manapun, jadi cincin ini akan ku simpan,” jawabku kemudian.
Sesaat kemudian Dimas tertawa lega hingga kedua matanya tampak berkaca-kaca.
Kami kembali berpandangan.
“Boleh aku menangis? Sekali-kali pria tak apa-apa ‘kan menangis?” ia seperti bertanya dirinya sendiri.
“Ha?” aku melongo tak mengerti.
Dimas menggigit bibirnya.
“Aku hanya ... terlalu bahagia, Lena. Sepertinya aku ingin menangis lalu memelukmu erat,” ucapnya lagi.
Aku tersenyum. Perlahan aku bangkit lalu mengulurkan kedua tanganku.
“Kalau begitu, kemarilah,” ucapku.
Dan tak perlu menunggu lama bagi Dimas untuk bangkit, menghambur ke arahku, lalu memelukku erat. Dan ia benar-benar terisak di pundakku. Tapi ia tak sendiri. Karena akupun mengalami hal yang sama.
“Aku mencintaimu, Lena,” bisiknya di telingaku.
“Ya,” jawabku pendek.
“Dan terus panggil aku ‘beib’.  Karena aku suka panggilan itu,” lanjutku kemudian dengan suara lirih.
Dan aku merasakan Dimas mengangguk.

Selesai.


7 Desember 2015
0.06  


1 komentar: