“Berapa tarifmu?”
“200
ribu untuk sekali nge-date,” jawabku.
Cowok
berhitung mancung yang duduk di depanku itu mengernyit.
“200
ribu? Whoa, itu termasuk murah,” ucapnya. Kedua matanya yang bening
berbinar-binar indah. Sumpah, ini pertama kalinya aku ketemu cowok dengan mata
sebening itu.
Aku
mengangkat bahu, cuek.
“Dan,
apa yang boleh dan nggak boleh dilakukan?” ia kembali bertanya tanpa
mengalihkan pandangannya dariku.
“Kiss still okay, but sex, no,” jawabku tegas.
Cowok
itu mengernyit.
“Maksudnya
200 ribu cuma untuk ngobrol, gandengan tangan, dan ... kissing,”
Aku
mengangguk.
“Yep, just ‘kiss’. Nggak lebih,” jawabku
lagi.
Dia
mengernyit.
“Kalau
begitu mahal dong,” ucapnya. Aku terkekeh.
“Tadi
bilangnya murah, sekarang mahal, gimana sih?” tanyaku. Ia mengangkat bahu.
“Iya,
tetep aja 200 ribu untuk sekali kencan, ngobrol doang, itu mahal,” jawabnya.
Aku
tertawa lirih.
“Aku
cuma pacar sewaan, bung. Tugasku cuma untuk menemani kencan, ngobrol,
jalan-jalan, udah. Aku tidak menjajakan sex. Kalo kamu menghendaki adegan
ranjang, cari saja orang lain,” aku meraih tasku dan bersiap-siap bangkit. Tapi
cowok itu memegang tanganku dan menahanku.
“Oke,
deal,” ucapnya.
Aku
mengurungkan niatku.
“Jadilah
pacarku, seminggu,” lanjutnya.
Aku
menatapnya, lalu tersenyum dan mengangguk.
Kuulurkan
tanganku.
“Lena,”
ucapku.
“Dimas,”
ia berucap seraya menyambut uluran tanganku.
Dan begitulah akhirnya. Aku resmi menjadi
pacar sewaan Dimas selama seminggu. Aku menemaninya jalan-jalan, menemaninya
menghadiri acara-acara bisnis, makan malam dengan beberapa kliennya, hang out
dengan beberapa teman-temannya, atau terkadang hanya duduk mengobrol dengannya
di balkon apartemennya.
Sejak menjalani profesi sebagai pacar sewaan sekitar 3
tahun yang lalu, aku sudah menemui bermacam-macam model pelanggan. Dan selama
ini aku memang selalu mendapatkan pelanggan yang sopan dan baik. Tentu saja,
jika mereka tak baik, mereka tak akan menyewaku, tapi menyewa perempuan
komersial. Cowok mana yang mau menyewa pacar sewaan yang hanya mau diajak jalan-jalan
dan ngobrol doang? Tentu hanya cowok baik-baik saja ‘kan? Itulah mengapa tak pernah
ada yang bersikap kurang ajar padaku. Mereka memperlakukanku dengan baik dan
sopan.
Tapi Dimas berbeda. Pertama kali bertemu dengannya ia
memang kelihatan tengil dan kurang ajar. Tapi ternyata dia ... luar biasa
sopan.
Kesepakatan memperbolehkan kami berciuman, tapi Dimas
tak melakukannya. Ia bahkan senantiasa menghindari kontak fisik denganku, walau
hanya berpegangan tangan. Ia rajin membawakanku hadiah, walau hanya sebuket
bunga. Dan kata-katanya padaku selalu lembut dan penuh perhatian. Memang sih
semua pelangganku bersikap seperti itu, tapi sekali lagi, dia ... berbeda.
Semua yang ada pada dirinya benar-benar membuatku takjub. Berkali-kali aku
bahkan mendapati diriku tengah menatap tanpa sadar ke arahnya ketika ia sedang
asyik mengobrol dengan teman-temannya. Atau ketika ia asyik bercerita tentang
kegiatannya, aku juga dengan asyik menatap dirinya.
Ini
tidak mungkin! Aku sudah bertekad untuk melakoni profesiku secara profesional
dan tidak akan jatuh cinta pada pelangganku sendiri. Tapi, Dimas benar-benar
membuat jantungku berlompatan...
***
Jam menunjukkan pukul 11 malam
ketika Dimas menjemputku dari tempat kerja lalu mengajakku ke apartemennya. Malam
itu ia tetap kelihatan rapi seperti
biasanya dengan memadukan celana hitam dan kemeja yang lengannya dilipat hingga
ke bawah siku.
“Datanglah
ke apartemenku, aku menyiapkan suatu kejutan untukmu,” ucapnya lembut dengan
mata berbinar-binar. “Oh ya?” tanyaku
antusias. Dan cowok itu kembali mengangguk sambil tersenyum.
Ketika
sampai di apartemennya, aku terperangah ketika menyaksikan Dimas telah
menyiapkan sebuah candle light dinner
yang romantis.
“Selamat
ulang tahun, beib,” ucap Dimas
kemudian. Hanya dia satu-satunya cowok yang memanggilku dengan sebutan
kesayangan ‘Beib’.
Aku
melongo. Sesaat kemudian aku menepuk jidatnya dengan kesal. Astaga, aku lupa
kalau hari ini adalah ulang tahunku.
“Dari
mana kamu tahu kalo hari ini adalah ulang tahunku?” tanyaku bingung. Dimas
tersenyum lembut.
“Tahu
dong. Masak ulang tahun pacar sendiri gak hafal,” jawabnya seraya menarik kursi
di depan meja makan untuk diriku.
“Terima
kasih,” jawabku, lalu duduk di kursi tersebut. Banyak cowok yang telah
memanggilku ‘pacar’ karena pada dasarnya aku memang ‘pacar’ orang banyak. Tapi
jika kata-kata itu keluar dari bibir Dimas, rasanya ... menyenangkan.
“Ada
lagi, sebentar,” Dimas berlalu menuju dapur, dan sesaat kemudian ia kembali
membawa sebuah kue tart yang telah dilengkapi dengan lilin berbentuk angka 21,
umurku.
Dan keharuanku makin bertambah
ketika ia menyanyikan lagu ulang tahun dengan suaranya yang merdu.
“Make a wish, beib,” ucapnya sesaat
sebelum aku meniup lilin tersebut. Aku tersenyum, memejamkan mata sesaat untuk berdoa, lalu
meniup lilin ulang tahun tersebut.
“Maaf
ya, perayaannya sederhana,” ujar Dimas kemudian sambil meletakkan kue tart
tersebut di ujung meja, di samping menu candle
light dinner kami.
“Terima
kasih, ini perayaan ulang tahunku yang paling ... wow,” jawabku, jujur.
Dimas
tertawa bahagia.
“Oh
ya? Waah, kau membuatku ge-er,” jawabnya. Aku kembali mengangguk untuk
meyakinkan. “Suerr,” tambahku.
Dan kami menghabiskan sisa malam itu
dengan dinner yang romantis sambil
terus mengobrol tentang banyak hal. Entahlah, aku hanya merasa bahwa semua ini
... nyata.
“Boleh
aku nanya banyak hal?” pertanyaan Dimas terdengar ragu. Sesaat setelah melewati
makan malam yang romantis, kami duduk-duduk di balkon apartemen sambil menatap
indahnya suasana kota di malam hari.
Aku
tersenyum lalu menatapnya.
“You got me, boy. So, please ...” jawabku.
“Sejak
kapan kamu menjalani profesi sebagai pacar sewaan?” ia mulai bertanya.
Aku
tak segera menjawab karena mencoba mengingat kapan tepatnya aku mulai menjalani
profesi ini.
“Kalo
tidak salah, sekitar 3 tahun yang lalu. Tepat ketika aku duduk di bangku kuliah
semester 1,” jawabku.
“Dan
kenapa kamu harus melakukannya?” ia bertanya lagi.
Aku
menyibakkan rambutku yang berjuntaian karena tertiup angin. Lalu dengan
bertopang dagu, aku kembali menatap Dimas.
“Aku
datang dari keluarga yang tidak berada, Dimas. Dan kamu tahu biaya kuliah jaman
sekarang sangat tinggi. Sebenarnya aku juga bekerja paruh waktu sebagai penjaga
toko, tapi tetap saja gajiku tak cukup untuk membayar kuliah dan juga biaya
hidup. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk menjadi pacar sewaan. Tapi
percayalah, aku tidak menjajakan sex. Aku hanya memanfaatkan apa yang ada pada
diriku. Well, bukannya sombong. Tapi aku memang cantik, aku menyenangkan diajak
ngobrol, dan percayalah, aku adalah pendengar yang baik,” jawabku.
Dimas
tertawa. Ia manggut-manggut.
“Yep,
kamu benar. Kamu cantik, kamu menyenangkan dan kamu memang pendengar yang
baik,” jawabnya.
Aku
ikut tertawa. “Aku hanya bercanda,” ujarku. Dimas menggeleng.
“Enggak,
aku yang serius. Kamu memang ... begitu,” tukasnya.
“Oke
deh, terima kasih,” aku tergelak.
“Kamu
nggak takut kalau ada pelangganmu yang bersikap kurang ajar padamu? Maksudku
... yaa, kamu tahulah ... pelecehan seksual dan semacamnya gitu?”
Aku
menggeleng.
“Enggak.
Karena aku yakin pelanggan-pelangganku adalah lelaki-lelaki terhormat yang
mampu menghargai perempuan,” ucapku, yakin.
“Dari
mana kamu tahu?”
Aku
terkekeh sesaat.
“Sayaang,
coba deh dipikir. Kalau mereka adalah cowok bangsat, maka mereka nggak akan
menyewaku. Mereka pasti lebih memilih menyewa pelacur yang bisa di ajak tidur
daripada diriku yang hanya menawarkan jasa ‘mengobrol’ saja,”
Dimas
mengangguk-angguk.
“Dan
aku tetap yakin bahwa akan ada saja lelaki yang ingin menyewaku karena aku
tahu, tidak semua laki-laki memikirkan sex semata. Ada di antara mereka yang
benar-benar butuh teman dekat yang bisa di ajak mengobrol, berbagi cerita, di
dengarkan keluh kesahnya, ditemani saat dia makan dan membuatnya nyaman ketika
di ajak jalan-jalan, benar ‘kan?” aku seperti menanyakan itu pada Dimas.
Dan
cowok itu kembali mengangguk-angguk.
“Dan
sampai kapan kamu berencana meneruskan profesi sebagai pacar sewaan?”
Aku
mengangkat bahu.
“Setelah
kuliahku selesai, aku berencana berhenti lalu mencari pekerjaan yang mapan dan
mulai menata hidupku,” jawabku kemudian.
Dimas
menatapku dalam.
“Jika
aku ingin menyewamu untuk jangka waktu yang sangat lama, berapa harga yang
harus kubayar?” ia bertanya kemudian.
Aku
balas menatapnya dengan bingung.
“Sangat lama maksudnya ... berapa tahun?”
“Seumur
hidup,” Dimas menjawab cepat.
Aku
menyelonjorkan kedua kakiku di bawah meja lalu memperbaiki posisi dudukku. Aku
sengaja mengulur waktu untuk memikirkan jawabanku.
“Well,
sepertinya tarifnya akan sangat mahal,” jawabku kemudian.
“Berapa?”
“Semua
yang kamu punya,” jawabku asal.
“Jika
aku bersedia memberikannya, apa kamu akan bersamaku, seumur hidupmu?”
Kami
berpandangan. Hening sesaat. Apa orang
ini serius?
“Sebenarnya
apa yang kamu inginkan?” kata-kataku pelan, tapi tak begitu lirih.
Dimas
menarik nafas, terlihat sedang menyusun kalimat di benaknya.
“Apa
yang ku punya saat ini memang kuperuntukkan untuk dirimu, Lena,” lagi-lagi
kalimatnya lembut. Timbre suaranya yang seksi benar-benar membuat jantungku
jungkir balik.
“Asal
kamu tahu, sebenarnya aku berasal dari kampus yang sama denganmu. Aku berada
beberapa tingkat di atasmu. Kita satu fakultas, tapi beda jurusan,” ia mulai
menjelaskan.
Aku
menatapnya, kembali bingung.
“Aku
sudah skripsi ketika kamu baru menjadi mahasiswa baru,” lanjutnya.
“Aku
pertama kali melihatmu di acara OPSPEK mahasiswa baru. Dan sejak saat itu, aku
benar-benar terpesona olehmu. Lebih tepatnya, sejak 3 tahun yang lalu, aku
telah jatuh cinta pada pandangan pertama ... denganmu,”
Dan
aku makin terkesiap.
“Aku
ingin mendekatimu dan mengenalmu lebih jauh. Tapi aku tak punya keberanian.
Hingga akhirnya aku tahu bahwa kamu menjalani profesi sebagai pacar sewaan dan
aku benar-benar tak punya nyali untuk mendekatimu. Yaaa... kamu tahulah. Aku
hanya mahasiswa biasa yang belum bekerja, dan masih mengandalkan kiriman dari
orang tua untuk bertahan hidup. Hingga akhirnya, sesaat setelah sudah yudisium,
aku bertekad untuk mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan ternama. Dan
beginilah akhirnya. Setelah bersusah payah, aku mulai menatap kehidupanku
menjadi pria yang mapan baik secara mental maupun finansial. Dan itu yang
membuatku berani untuk mendekatimu kembali,” jelas Dimas lagi.
Aku
mematung. Bibirku terasa kelu.
“Lena,
gajiku memang tidak besar, hartaku juga tidak terlalu banyak, dan apartemenku
juga tidak terlalu mewah, tapi percayalah, aku mampu menghidupimu secara layak.
Dan kamu nggak perlu lagi menjadi pacar sewaan untuk membayar biaya kuliahmu
karena aku mampu secara finansial menanggung bebanmu. Kamu bisa mengandalkanku
sebagai laki-laki,”
Dimas
merogoh sesuatu dari saku celananya lalu meletakkannya di atas meja, tepat di
depanku. Aku kembali melongo. Cincin!
“Bersediakah
kamu membuat kontrak seumur hidup denganku?” kalimat Dimas terdengar begitu
lembut dan tulus.
Aku
menatap cincin itu dan juga ke arah Dimas secara bergantian. Aku benar-benar
bingung harus menjawab apa.
“Aku
tahu ini terlalu tiba-tiba buatmu. Tapi ku harap kamu mau memberikanku
kesempatan untuk menunjukkan betapa tulus cintaku padamu,” cowok berlesung pipi
itu kembali melanjutkan.
“Jika
kamu bersedia memberiku kesempatan, ambil dan simpanlah cincin ini. Jika tidak,
atau saat ini kamu sedang terlibat hubungan serius dengan pria lain, maka
lemparkan saja cincin ini ke sana,” Dimas menunjuk ke arah luar balkon.
“Dan
aku janji aku takkan lagi mengganggumu ataupun menemuimu,” lanjutnya.
Tatapan
kami kembali terkunci.
Aku
sempat menyaksikan rahang Dimas mengeras. Ia pasti tegang luar biasa, sama
seperti diriku.
Perasaanku membuncah, campur aduk.
Tapi sekian detik kemudian, aku yakin bahwa air mataku menitik. Aku hanya
merasa terlalu terharu dan ... bahagia.
Ku
raih cincin di meja lalu ku genggam dengan erat. Dan kembali aku menatap Dimas.
“Aku
sedang tidak terlibat hubungan serius dengan pria manapun, jadi cincin ini akan
ku simpan,” jawabku kemudian.
Sesaat
kemudian Dimas tertawa lega hingga kedua matanya tampak berkaca-kaca.
Kami
kembali berpandangan.
“Boleh
aku menangis? Sekali-kali pria tak apa-apa ‘kan menangis?” ia seperti bertanya
dirinya sendiri.
“Ha?”
aku melongo tak mengerti.
Dimas
menggigit bibirnya.
“Aku
hanya ... terlalu bahagia, Lena. Sepertinya aku ingin menangis lalu memelukmu
erat,” ucapnya lagi.
Aku
tersenyum. Perlahan aku bangkit lalu mengulurkan kedua tanganku.
“Kalau
begitu, kemarilah,” ucapku.
Dan
tak perlu menunggu lama bagi Dimas untuk bangkit, menghambur ke arahku, lalu
memelukku erat. Dan ia benar-benar terisak di pundakku. Tapi ia tak sendiri.
Karena akupun mengalami hal yang sama.
“Aku
mencintaimu, Lena,” bisiknya di telingaku.
“Ya,”
jawabku pendek.
“Dan
terus panggil aku ‘beib’. Karena aku
suka panggilan itu,” lanjutku kemudian dengan suara lirih.
Dan
aku merasakan Dimas mengangguk.
Selesai.
7 Desember 2015
0.06
Bagus banget mbak. Aku serasa jadi Lena benaran.
BalasHapus