“Belum
baikan dengan Yano?” Chizu dan Mizuhara bertanya hampir bersamaan. Nanami
menatap mereka satu persatu secara bergantian lalu kembali membuang
pandangannya ke arah orang-orang yang berlalu lalang. Sore itu mereka
menghabiskan waktu mereka dengan hang-out
di sebuah pusat perbelanjaan.
“Belum,” jawab Nanami pendek. Terdengar
Chizu membuang nafas.
“Sebenarnya ada apa dengan kalian
berdua? Padahal beberapa bulan ini kalian berhasil membuat seluruh siswa di SMA
kita iri. Kalian begitu mesra, begitu lengket, begitu manis, begitu ...
pokoknya kalian couple terbaik di
sekolah kita. Tapi sekarang, aah, menyebalkan sekali melihat kalian tak
bertegur sapa,” dengusnya.
Kali ini Nanami yang membuang nafas,
putus asa.
“Aku juga bingung dengan apa yang
terjadi di antara kami. Aku tahu Yano masih marah karena aku keluar diam-diam
dengan Take, tapi kurasa, rasa cemburunya kelewatan. Harusnya dia percaya
padaku, pada kami, bahwa kami tidak akan pernah mengkhianatinya,” gumamnya,
kesal.
“Dia ... posesif,” lanjutnya.
Dan
dia memanggilku Nana!
Gerutunya dalam hati dengan lebih kesal.
“Dia posesif mungkin karena apa yang
telah dilakukan kak Nana padanya,” celetuk Mizuhara.
“Memang apa yang dia lakukan?” serta
merta Nanami menatapnya, penasaran.
“Well, aku juga tak tahu ini benar atau
tidak. Tapi dari yang aku dengar, kak Nana itu playgirl. Dia tipe cewek yang sering gonta-ganti cowok. Ketika ia
berpacaran dengan Yano, banyak yang mengatakan bahwa ia punya banyak pacar
gelap. Bahkan nih, aku juga pernah dengar bahwa hari ketika ia mengalami
kecelakaan, ia sedang pergi dengan pacarnya yang lain. Malangnya, mereka
mengalamai kecelakaan mobil dan meninggal bersama,” Mizuhara melanjutkan.
Nanami terdiam. Ia tahu cerita yang
terakhir, bahwa Nana meninggal dengan selingkuhannya, toh Yano sudah pernah
cerita itu padanya. Tapi, rumor yang mengatakan bahwa kak Nana punya banyak
pacar, itu ia tak tahu.
“Mizuuu, itu ‘kan baru gosip. Belum
tentu benar. Jangan membuat Nanami tambah sedih. Lagipula tak baik menceritakan
orang yang sudah meninggal,” Chizu mengomel. Sementara Mizuhara cuma nyengir.
“Yaaah, kalau keadaannya begini,
sepertinya kita tidak akan bisa menghadiri pesta ulang tahun Take,” Chizu
menggerutu. Nanami balik menatapnya ke arahnya.
“Ulang tahun Take?” ia mengulangi
kalimat Chizu. Sahabatnya itu mengangguk.
“Sebenarnya kita semua di undang ke
pesta ulang tahunnya malam ini, jam 7. Karena ini ulang tahunnya Take, pasti
teman-teman dekatnya di tim futsal diundang. Termasuk Yano. Ia pasti juga hadir
di sana. Dan kalau dia di sana, kemungkinan besar, kau tidak akan datang. Dan
kalau kau tak datang, kita juga tidak,” Chizu menjelaskan.
Nanami menatapnya bingung.
“Tunggu. Kenapa kalian di undang. Sejak
kapan kalian dekat?” ia bertanya.
“Chizu ‘kan pedekate dengan Shota,”
Mizuhara nyeletuk.
Nanami membelalak. “Sejak kapan?”
“Sekitar satu bulan ini,” jawab
Mizuhara.
Nanami melotot. Hah?
Cewek bermata bening itu menatap Chizu
dengan tajam.
“Kenapa kau tak curhat dari awal??” ia
nyaris berteriak ke arah sahabatnya itu sementara yang diteriaki cuma
mesam-mesem.
“Oke, kita datang ke pesta ulang
tahunnya Take,” Nanami berucap tegas.
Sesuai
perkiraan, ulang tahun Take berlangsung sederhana. Bahkan terkesan bukan pesta
ulang tahun karena tak ada kue tart. Hidangan yang ada adalah bermacam-macam
makanan dan minuman yang telah terhidang di meja makan. Teman-teman yang datang
pun hanya sekitar 8 orang, semuanya anggota club futsal. Dan sesuai perkiraan
pula, Yano juga ada di sana. Ketika Nanami memasuki ruangan, cowok itu hanya
menatapnya sekilas lalu kembali mengobrol dengan teman-temannya yang lain. Nanami
menggigit bibir dengan kesal.
Hah,
aku dicueki??
Teriaknya dalam hati.
“Nanami, terima kasih karena kau mau
datang,” sapa Take. Nanami tersenyum.
“Selamat ulang tahun ya,” cewek itu
merogoh sebuah kado dari dalam tas nya lalu menyerahkannya ke arah Take.
“Woa, kau bahkan membawakanku kado,”
ucap Take girang sambil menerima kado tersebut.
“Maaf, bukan sesuatu yang mahal.
Tapi...”
“Terima kasih. Aku senang menerimanya,
apapun itu. Boleh ku buka?”
Nanami mengangguk. Dan dengan penuh
antusias, Take membuka bungkus kado tersebut. Dan yang ia dapatkan adalah
sebuah gantungan kunci lucu berbentuk cumi-cumi.
“Waah, ini lucu sekali,” kedua mata Take
berbinar-binar. “Terima kasih ya,”
“Kau suka?” Nanami bertanya. Take
mengangguk.
“Hah, kado macam apa itu? kekanak-kanakan
sekali,” tiba-tiba Yano nyeletuk. Suasana di ruangan tersebut menjadi tak
nyaman selama beberapa saat. Bagaimanapun juga semua orang yang ada di situ
tahu bahwa Yano dan Nanami sedang bertengkar dan tak bertegur sapa. Dan mereka
juga tahu bahwa penyebab pertengkaran mereka adalah Take.
Take
menatap Yano dengan kesal. “Take, jangan terpancing dengan sikap Yano yang
kekanak-kanakan, oke?” Shota berbisik di dekat telinga Take, mencoba
menenangkannya. Tapi cowok itu malah terkekeh. Ia mendekati Yano, lalu
menggoyang-goyangkan gantungan kunci itu di depan mukanya.
“Lihatlah. Ini gantungan kunci terlucu
yang pernah ku lihat. Dan gantungan kunci di beli khusus oleh Nanami, untukku. Untukku. Kau mau? Lihatlah, lucu ‘kan?”
Take tertawa penuh kemenangan. Teman-temannya melongo.
“Kenapa dia jadi ikutan kekanak-kanakan
begini?” Akira berbisik di dekat telinga Shota. Shota hanya bengong.
“Kado
murahan seperti itu, siapa yang mau?” Yano menggigit bibirnya kesal. Ia
menyambar gantungan kunci tersebut, lalu bangkit, kemudian melemparkan benda
mungil itu ke luar jendela.
Hening sesaat. Tak ada yang berani
bergerak. Yano berbalik dan menatap Take dengan jengkel. “Aku sudah
membuangnya, kau mau apa?” desisnya.
Tiba-tiba Nanami bangkit, meraih gelas
berisi minuman dan byuurrr.... ia menyiramkannya ke arah Yano.
“Kau idiot!” teriaknya lalu beranjak
keluar. Yano tertegun. Tapi sejurus kemudian, ia ikut beranjak.
“Nanami, tunggu!” teriaknya seraya
berlari mengejar cewek tersebut.
Ruangan kembali hening.
“Ngomong-ngomong, di mana cumi-cumiku?”
celetuk Take kemudian. Sahabat-sahabatnya menatapnya bersamaan, terlihat
jengkel. Cowok itu meringis.
“Maksudku, gantungan cumi-cumi,”
ucapnya.
“Kamu sih kekanak-kanakan!” Shota dan
Akira berteriak hampir bersamaan. Dan Take kembali nyengir.
![]() |
Bokura ga ita live-action |
“Nanami,
tunggu!” teriak Yano. Ia berusaha menghentikan langkah kaki Nanami, tapi cewek
mungil itu terus melangkah tanpa menggubris teriakan Yano.
“Nanami, ku mohon. Bicaralah denganku,”
ia menyentuh pundak Nanami tapi cewek itu menepis tangan Yano dengan kasar.
Tapi akhirnya ia berbalik lalu menatap cowok di hadapannya dengan tajam.
“Sebenarnya ada apa denganmu?
Akhir-akhir ini kau ... menyebalkan. Kau mendiamkanku, kau marah-marah padaku,
kau memperlakukanku seperti orang lain, kau bahkan ...”
“Aku salah, Gomenashai*,”potong Yano. “Aku masih marah padamu karena kau
berbohong padaku. Aku masih cemburu padamu karena kau pergi dengan Take tanpa
sepengetahuanku. Aku tak percaya padamu,”
“Aku sudah bilang bahwa aku punya
alasan,”
“Karena itu aku minta maaf,” ucap Yano
lagi.
“Maaf karena aku tak percaya padamu.
Maaf karena aku cemburu padamu, pada Take. Maaf karena akhir-akhir ini aku
menyebalkan. Maaf karena ... aku terlalu takut kehilanganmu,” tatapan Yano
terlihat sayu. Nanami merasakan dadanya sakit. Entah kenapa, ia ingin menangis.
“Kau takkan kehilanganku, Yano. Aku
takkan kemana-mana,” Nanami setengah berteriak.
“Aku tak tahu luka apa yang ditinggalkan
almarhum Nana padamu. Tapi aku janji aku takkan melakukan hal yang sama. Aku
takkan meninggalkanmu, aku takkan mengkhianatimu, percayalah padaku,”
Keduanya berpandangan. Hening.
“Janji?” tanya Yano lirih.
“Janji,” jawab Nanami.
Yano mendekatinya, meraih tangannya lalu
meletakkan sesuatu di genggaman tangannya yang mungil.
“Berikan ini pada Take kalau aku sedang
tak ada di depannya. Aku tak suka kau bersikap manis pada cowok lain di
hadapanku,” ucapnya.
Nanami menatapnya dengan bingung.
Gantungan kunci berbentuk cumi-cumi, kado ulang tahun Take.
“Tapi, bukankah kau sudah membuangnya?
Aku melihatmu melemparnya ke luar jendela,” tanya Nanami heran. Yano
menggeleng.
“Take itu sahabat baikku. Aku takkan
tega membuang kado ulang tahunnya. Yang ku lempar tadi, kacang,” jawabnya.
Nanami menatap gantungan kunci itu lalu
ke arah Yano dengan terharu. Cewek bermata bening itu menghambur ke arahnya,
lalu memeluknya erat.
“Aku janji, aku takkan meninggalkanmu.
Aku takkan mengkhianatimu. Bahkan jika mampu, aku janji aku takkan mati sebelum
kamu,” bisiknya lirih di telinga Yano.
Yano balas memeluk cewek itu dengan
erat.
“Suki
dayo*,” ia balas berbisik.
“Dan terima kasih untuk arlojinya,”
Lanjutnya lirih.
Nanami
mengulurkan gantungan kunci berbentuk cumi-cumi itu ke arah Take. Take
menatapnya dengan mata berbinar.
“Cumi-cumiku!” ia nyaris berteriak
kegirangan sambil menerima gantungan kunci tersebut.
“Bagaimana mungkin? Bukankah Yano sudah
membuangnya?” tanyanya antusias.
Nanami tersenyum menggeleng.
“Tidak. Dia hanya main-main,” jawabnya.
Take manggut-manggut.
“Sudah ku duga. Yano takkan tega melakukannya,
hehe,” jawabnya. “Jadi, kalian sudah berbaikan?” ia kembali bertanya. Nanami
tersenyum dan mengangguk.
“Maaf kalau kami merusak pesta ulang
tahunmu. Kami bertengkar di hadapan kalian seperti anak kecil, ah, aku malu
sekali,” dengus Nanami.
“Tidak apa-apa. Yang penting, kalian
sudah berbaikan,”
Mereka berjalan beriringan menuju
lapangan basket.
“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu,
Nanami,”
“Oke, katakanlah,” cewek itu
menghentikan langkah, Take juga. Mereka berdiri berhadapan.
Take terdiam sesaat.
“Aku tahu ini takkan mudah. Tapi jika
mencintai Yano ibarat ikut lomba lari, aku harap kau menyelesaikannya sampai
selesai,”
Nanami mengernyit, bingung.
“Kau harus tahu, Yano sudah mengalami
banyak hal dalam hidupnya. Ia hidup sendiri dengan ibunya, tanpa ayah, tanpa
keluarga lain karena seluruh keluarg ibu Yano telah memutuskan ikatan
kekeluargaan mereka. Aku ingat, dulu waktu SD dan SMP ia selalu terlibat
perkelahian dengan murid-murid lain karena ia di olok-olok sebagai anak haram.
Yano anak yang kuat. Ia pantang
menyerah. Tapi aku tahu, setiap kali selesai berkelahi, atau setiap kali
selesai di hukum guru, ia selalu menangis sendirian di kamar mandi,” suara Take
terdengar parau.
“Hubungannya dengan Nana waktu itu juga
tak begitu baik. Mereka sama-sama jatuh cinta, tapi terlalu banyak luka,
terlalu banyak pertengkaran. Karena itu ....”
“Aku mengerti,” Nanami memotong. Ia
menelan ludah. “Aku akan memberikan ia cinta sebanyak yang aku punya. Cinta
yang sudah seharusnya ia dapatkan sejak dulu kala,” lanjutnya.
Mereka berpandangan, dalam. Perlahan
Take tersenyum lalu mengangguk.
***
Nanami
menatap buku Matematika di hadapannya dengan kesal sementara Yano bergelayut
mesra di sisinya. Cowok itu menyandarkan kepalanya ke bahu Nanami sementara
lengan tangannya melingkari pinggang cewek tersebut. Ia tak henti-hentinya
bersenandung, terlihat begitu bahagia.
“Yano, apa yang kau lakukan?” desis
Nanami, jengkel.
“Menempel padamu,” jawab Yano singkat
tanpa mendongak ke arah cewek di sebelahnya.
“Kalau kau terus menempel padaku seperti
ini, kita tidak akan bisa mengerjakan PR,”
“Bodo amat,” jawab Yano lagi, singkat.
“Dan apa-apaan ini?” Nanami menunjuk ke
arah tangan Yano yang melingkar di pinggangnya.
“Itu tangan, tanganku lebih tepatnya.
Siapa bilang itu kaki,” Yano terdengar sewot.
Nanami mendesah.
“Tapi aku geli.” Ia memprotes. “Kau seperti Ben-chan.”
Lanjutnya.
Yano
mendongak, beringsut mundur lalu menatap Nanami dengan penuh selidik.
“Ben-chan? Siapa itu?” Kedua matanya menyipit. Nanami terkekeh. “Dia
keponakanku,” jawabnya.
“Apa dia laki-laki?” Yano kembali
bertanya. Nanami mengangguk.
“Berapa umurnya?” Nada suara Yano
terdengar tak suka.
Nanami kembali tertawa lirih. “Tenanglah, Yano. Dia hanya anak laki-laki
berumur 5 tahun, kau tak perlu sewot seperti itu.” Ucapnya.
Bibir Yano mencibir. “Kelak aku takkan
membiarkan anak itu bermanja-manja padamu,” desisnya. Nanami kembali tergelak.
Tiba-tiba
pintu diketuk. “Yano, ada temanmu di luar sana.” Ibu Yano berujar dari luar kamar. Yano dan Nanami berpandangan.
Dengan bermalas-malasan cowok itu bangkit lalu melongokkan kepalanya dari
jendela untuk melihat siapa yang datang.
“Nanami, kau di sini dulu sebentar.”
Yano beranjak keluar kamar lalu menutup pintunya. Nanami menatapnya bingung. Cewek
itu bangkit, melongokkan kepalanya lewat jendela dan ia melihat siapa gerangan
yang ada di depan rumah. Yuri.
Untuk
apa dia ke sini?
Ia bertanya bingung.
Nanami
melangkahkan kakinya menuju pintu. Tapi ia terkejut ketika mendapati pintu itu
terkunci.
“Yano, apa yang kau lakukan? Kenapa kau
mengunci pintunya?” Nanami berteriak sambil menggerak-gerakkan knop pintu.
Tapi, pintu itu benar-benar terkunci dari luar.
Nanami menatap sekelilingnya dengan
bingung. Ada apa? Kenapa Yano menguncinya di dalam kamar? Apa yang ingin ia
bicarakan pada Yuri? Kenapa ia tak boleh tahu?
Nanami
berlari ke arah jendela. Ia melongokkan kepalanya untuk menyaksikan Yano dan
Yuri terlibat pembicaraan serius. Apa yang mereka rahasiakan? Apa yang tidak
Nanami ketahui?
Nanami mondar-mandir dengan frustasi.
Dan selang beberapa menit kemudian, pintu terbuka. “Maaf, aku hanya sekedar
membereskan urusan,” ucap Yano.
Nanami menatapnya dengan tajam. Ia
merapikan peralatan tulisnya lalu memasukkannya ke dalam tas.
“Aku pulang,” ucapnya. Ia beranjak. Yano
menarik tangannya.
“Tunggu, ada apa Nanami?” ia bertanya
bingung.
Nanami terkekeh.
“Ada apa? Harusnya aku yang bertanya?
Ada apa antara kau dan Yuri? Kenapa kau tak memperbolehkanku menemuinya? Aku
tahu ada sesuatu yang kalian rahasiakan. Hubungan kalian aneh, tak wajar.
Katakan Yano! Ada apa antara kau danYuri!?” Nanami berteriak.
Yano mematung.
“Tak ada apa-apa di antara kami.”
Jawabnya. Nanami tersenyum sinis. Ia merasakan matanya berkaca-kaca.
“Kau bohong, Yano. Aku bukan cewek
bodoh. Jika memang tak ada apa-apa antara kau dan Yuri, kau takkan mengunciku
di dalam kamar. Aku bukan orang luar lagi, aku pacarmu, harusnya kau bisa
bicara banyak hal padaku,” Nanami menepis tangan Yano.
“Jangan bicara dulu denganku,” ucapnya
lagi seraya beranjak.
“Nanami, tunggu,” Yano mengekor di
belakangnya.
“Aku bersungguh-sungguh,” ia memohon.
Nanami menatapnya dengan dalam. Air
matanya menitik. Cewek itu menggeleng lirih.
“Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Yano.
Aku tahu itu,” desisnya. Dan ia kembali melangkah, tanpa mempedulikan panggilan
Yano.
***
Yano
meringkuk di ranjang Take. Ia dan Nanami kembali tak bertegur sapa selama
beberapa hari. Dan ia merasa frustasi luar biasa.
“Yano, sampai kapan kau akan begini
terus?” Take menatapnya dengan putus asa.
“Saling berdiam diri tidak akan
menyelesaikan masalah,” ia menambahkan.
“Aku mencoba bicara dengannya. Tapi dia
menolak bicara denganku,” jawab Yano lirih.
“Kalau begitu, cobalah bicara lagi
dengannya, lagi dan lagi,” ujar Take kesal.
“Kau harus bicara jujur padanya. Kau
harus mengatakan semua tentang apa yang terjadi antara kau dan Yuri. Jika
tidak, kau akan semakin melukai Nanami,” Take nyaris berteriak.
Yano menutup matanya dengan lengan
tangannya. Ia terdiam sesaat.
“Aku tak bisa, Take. Aku tak bisa jujur padanya,”
jawabnya.
“Kenapa?”
“Karena dia akan menangis. Dan aku tak
mau dia menangis,” suara Yano bergetar. Take menatapnya dengan pilu. Ia tahu,
saat ini, Yano sedang menahan tangis.
“Nanami akan menangis, tentu saja. Tapi
setidaknya, dia berhak mendapatkan penjelasan darimu,” ucap Take lagi. Yano tak
menjawab. Air mata mengalir ke pelipisnya walau ia telah menutup matanya dengan
lengan tangan.
***
Sekolah
sudah sepi. Nanami tengah duduk termangu di kursinya ketika Yano beranjak
mendekatinya lalu duduk di bangku depannya.
“Aku akan jujur padamu, tentang apa yang
terjadi antara aku dan Yuri,” ucapnya lirih.
Nanami menatapnya.
“Aku akan memberimu tiga pilihan, dan
kau bebas menentukan mana yang benar,” ia menambahkan.
Nanami mengernyit.
“Apa-apaan kau ini?” cewek itu berucap
dengan kesal. Tapi ia sudah menyiapkan diri untuk mendengarkan pengakuan Yano.
“Satu, aku pernah jatuh cinta pada Yuri,
tapi ia menolakku,” Yano memulai.
Nanami terkekeh.
“Itu tidak mungkin,” jawabnya.
“Dua, aku adalah pengagum rahasia Yuri,”
Nanami kembali terkekeh.
“Itu lebih tidak masuk akal lagi,”
jawabnya.
“Dan Tiga ...” kalimat Yano terhenti, ia
menelan ludah.
“Tiga, aku dan Yuri pernah tidur
bersama,” ia melanjutkan.
Nanami tertegun. Ia menatap mata kelam
Yano dengan dalam. Mata itu sayu, seolah tak bernyawa. Dan dada Nanami seketika
sesak. Cewek itu tertawa, tapi sekian detik kemudian ia terisak.
Air matanya mengalir deras tanpa bisa ia
bendung. Ia tahu, jawaban ketiga-lah yang benar...
Yano dan Yuri, pernah tidur bersama....
***
Bersambung....
Gomenashai : maaf
Suki
dayo : aku menyukaimu. (dalam
budaya jepang, kata-kata ‘suka’ sudah otomatis menyatakan cinta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar