Rabu, 21 Januari 2015

Bokura Ga Ita - Part 4



          “Belum baikan dengan Yano?” Chizu dan Mizuhara bertanya hampir bersamaan. Nanami menatap mereka satu persatu secara bergantian lalu kembali membuang pandangannya ke arah orang-orang yang berlalu lalang. Sore itu mereka menghabiskan waktu mereka dengan hang-out di sebuah pusat perbelanjaan.
“Belum,” jawab Nanami pendek. Terdengar Chizu membuang nafas.
“Sebenarnya ada apa dengan kalian berdua? Padahal beberapa bulan ini kalian berhasil membuat seluruh siswa di SMA kita iri. Kalian begitu mesra, begitu lengket, begitu manis, begitu ... pokoknya kalian couple terbaik di sekolah kita. Tapi sekarang, aah, menyebalkan sekali melihat kalian tak bertegur sapa,” dengusnya.
Kali ini Nanami yang membuang nafas, putus asa.
“Aku juga bingung dengan apa yang terjadi di antara kami. Aku tahu Yano masih marah karena aku keluar diam-diam dengan Take, tapi kurasa, rasa cemburunya kelewatan. Harusnya dia percaya padaku, pada kami, bahwa kami tidak akan pernah mengkhianatinya,” gumamnya, kesal.
“Dia ... posesif,” lanjutnya.
Dan dia memanggilku Nana! Gerutunya dalam hati dengan lebih kesal.
“Dia posesif mungkin karena apa yang telah dilakukan kak Nana padanya,” celetuk Mizuhara.
“Memang apa yang dia lakukan?” serta merta Nanami menatapnya, penasaran.
“Well, aku juga tak tahu ini benar atau tidak. Tapi dari yang aku dengar, kak Nana itu playgirl. Dia tipe cewek yang sering gonta-ganti cowok. Ketika ia berpacaran dengan Yano, banyak yang mengatakan bahwa ia punya banyak pacar gelap. Bahkan nih, aku juga pernah dengar bahwa hari ketika ia mengalami kecelakaan, ia sedang pergi dengan pacarnya yang lain. Malangnya, mereka mengalamai kecelakaan mobil dan meninggal bersama,” Mizuhara melanjutkan.
Nanami terdiam. Ia tahu cerita yang terakhir, bahwa Nana meninggal dengan selingkuhannya, toh Yano sudah pernah cerita itu padanya. Tapi, rumor yang mengatakan bahwa kak Nana punya banyak pacar, itu ia tak tahu.
“Mizuuu, itu ‘kan baru gosip. Belum tentu benar. Jangan membuat Nanami tambah sedih. Lagipula tak baik menceritakan orang yang sudah meninggal,” Chizu mengomel. Sementara Mizuhara cuma nyengir.
“Yaaah, kalau keadaannya begini, sepertinya kita tidak akan bisa menghadiri pesta ulang tahun Take,” Chizu menggerutu. Nanami balik menatapnya ke arahnya.
“Ulang tahun Take?” ia mengulangi kalimat Chizu. Sahabatnya itu mengangguk.
“Sebenarnya kita semua di undang ke pesta ulang tahunnya malam ini, jam 7. Karena ini ulang tahunnya Take, pasti teman-teman dekatnya di tim futsal diundang. Termasuk Yano. Ia pasti juga hadir di sana. Dan kalau dia di sana, kemungkinan besar, kau tidak akan datang. Dan kalau kau tak datang, kita juga tidak,” Chizu menjelaskan.
Nanami menatapnya bingung.
“Tunggu. Kenapa kalian di undang. Sejak kapan kalian dekat?” ia bertanya.
“Chizu ‘kan pedekate dengan Shota,” Mizuhara nyeletuk.
Nanami membelalak. “Sejak kapan?”
“Sekitar satu bulan ini,” jawab Mizuhara.
Nanami melotot. Hah?
Cewek bermata bening itu menatap Chizu dengan tajam.
“Kenapa kau tak curhat dari awal??” ia nyaris berteriak ke arah sahabatnya itu sementara yang diteriaki cuma mesam-mesem.
“Oke, kita datang ke pesta ulang tahunnya Take,” Nanami berucap tegas.

          Sesuai perkiraan, ulang tahun Take berlangsung sederhana. Bahkan terkesan bukan pesta ulang tahun karena tak ada kue tart. Hidangan yang ada adalah bermacam-macam makanan dan minuman yang telah terhidang di meja makan. Teman-teman yang datang pun hanya sekitar 8 orang, semuanya anggota club futsal. Dan sesuai perkiraan pula, Yano juga ada di sana. Ketika Nanami memasuki ruangan, cowok itu hanya menatapnya sekilas lalu kembali mengobrol dengan teman-temannya yang lain. Nanami menggigit bibir dengan kesal.
Hah, aku dicueki?? Teriaknya dalam hati.
“Nanami, terima kasih karena kau mau datang,” sapa Take. Nanami tersenyum.
“Selamat ulang tahun ya,” cewek itu merogoh sebuah kado dari dalam tas nya lalu menyerahkannya ke arah Take.
“Woa, kau bahkan membawakanku kado,” ucap Take girang sambil menerima kado tersebut.
“Maaf, bukan sesuatu yang mahal. Tapi...”
“Terima kasih. Aku senang menerimanya, apapun itu. Boleh ku buka?”
Nanami mengangguk. Dan dengan penuh antusias, Take membuka bungkus kado tersebut. Dan yang ia dapatkan adalah sebuah gantungan kunci lucu berbentuk cumi-cumi.
“Waah, ini lucu sekali,” kedua mata Take berbinar-binar. “Terima kasih ya,”
“Kau suka?” Nanami bertanya. Take mengangguk.
“Hah, kado macam apa itu? kekanak-kanakan sekali,” tiba-tiba Yano nyeletuk. Suasana di ruangan tersebut menjadi tak nyaman selama beberapa saat. Bagaimanapun juga semua orang yang ada di situ tahu bahwa Yano dan Nanami sedang bertengkar dan tak bertegur sapa. Dan mereka juga tahu bahwa penyebab pertengkaran mereka adalah Take.
          Take menatap Yano dengan kesal. “Take, jangan terpancing dengan sikap Yano yang kekanak-kanakan, oke?” Shota berbisik di dekat telinga Take, mencoba menenangkannya. Tapi cowok itu malah terkekeh. Ia mendekati Yano, lalu menggoyang-goyangkan gantungan kunci itu di depan mukanya. 
“Lihatlah. Ini gantungan kunci terlucu yang pernah ku lihat. Dan gantungan kunci di beli khusus oleh Nanami, untukku. Untukku. Kau mau? Lihatlah, lucu ‘kan?” Take tertawa penuh kemenangan. Teman-temannya melongo.
“Kenapa dia jadi ikutan kekanak-kanakan begini?” Akira berbisik di dekat telinga Shota. Shota hanya bengong.
          “Kado murahan seperti itu, siapa yang mau?” Yano menggigit bibirnya kesal. Ia menyambar gantungan kunci tersebut, lalu bangkit, kemudian melemparkan benda mungil itu ke luar jendela.
Hening sesaat. Tak ada yang berani bergerak. Yano berbalik dan menatap Take dengan jengkel. “Aku sudah membuangnya, kau mau apa?” desisnya.
Tiba-tiba Nanami bangkit, meraih gelas berisi minuman dan byuurrr.... ia menyiramkannya ke arah Yano.
“Kau idiot!” teriaknya lalu beranjak keluar. Yano tertegun. Tapi sejurus kemudian, ia ikut beranjak.
“Nanami, tunggu!” teriaknya seraya berlari mengejar cewek tersebut.
Ruangan kembali hening.
“Ngomong-ngomong, di mana cumi-cumiku?” celetuk Take kemudian. Sahabat-sahabatnya menatapnya bersamaan, terlihat jengkel. Cowok itu meringis.
“Maksudku, gantungan cumi-cumi,” ucapnya.
“Kamu sih kekanak-kanakan!” Shota dan Akira berteriak hampir bersamaan. Dan Take kembali nyengir.

Bokura ga ita live-action

          “Nanami, tunggu!” teriak Yano. Ia berusaha menghentikan langkah kaki Nanami, tapi cewek mungil itu terus melangkah tanpa menggubris teriakan Yano.
“Nanami, ku mohon. Bicaralah denganku,” ia menyentuh pundak Nanami tapi cewek itu menepis tangan Yano dengan kasar. Tapi akhirnya ia berbalik lalu menatap cowok di hadapannya dengan tajam.
“Sebenarnya ada apa denganmu? Akhir-akhir ini kau ... menyebalkan. Kau mendiamkanku, kau marah-marah padaku, kau memperlakukanku seperti orang lain, kau bahkan ...”
“Aku salah, Gomenashai*,”potong Yano. “Aku masih marah padamu karena kau berbohong padaku. Aku masih cemburu padamu karena kau pergi dengan Take tanpa sepengetahuanku. Aku tak percaya padamu,”
“Aku sudah bilang bahwa aku punya alasan,”
“Karena itu aku minta maaf,” ucap Yano lagi.
“Maaf karena aku tak percaya padamu. Maaf karena aku cemburu padamu, pada Take. Maaf karena akhir-akhir ini aku menyebalkan. Maaf karena ... aku terlalu takut kehilanganmu,” tatapan Yano terlihat sayu. Nanami merasakan dadanya sakit. Entah kenapa, ia ingin menangis.
“Kau takkan kehilanganku, Yano. Aku takkan kemana-mana,” Nanami setengah berteriak.
“Aku tak tahu luka apa yang ditinggalkan almarhum Nana padamu. Tapi aku janji aku takkan melakukan hal yang sama. Aku takkan meninggalkanmu, aku takkan mengkhianatimu, percayalah padaku,”
Keduanya berpandangan. Hening.
“Janji?” tanya Yano lirih.
“Janji,” jawab Nanami.
Yano mendekatinya, meraih tangannya lalu meletakkan sesuatu di genggaman tangannya yang mungil.
“Berikan ini pada Take kalau aku sedang tak ada di depannya. Aku tak suka kau bersikap manis pada cowok lain di hadapanku,” ucapnya.
Nanami menatapnya dengan bingung. Gantungan kunci berbentuk cumi-cumi, kado ulang tahun Take.
“Tapi, bukankah kau sudah membuangnya? Aku melihatmu melemparnya ke luar jendela,” tanya Nanami heran. Yano menggeleng.
“Take itu sahabat baikku. Aku takkan tega membuang kado ulang tahunnya. Yang ku lempar tadi, kacang,” jawabnya.
Nanami menatap gantungan kunci itu lalu ke arah Yano dengan terharu. Cewek bermata bening itu menghambur ke arahnya, lalu memeluknya erat.
“Aku janji, aku takkan meninggalkanmu. Aku takkan mengkhianatimu. Bahkan jika mampu, aku janji aku takkan mati sebelum kamu,” bisiknya lirih di telinga Yano.
Yano balas memeluk cewek itu dengan erat.
Suki dayo*,” ia balas berbisik.
“Dan terima kasih untuk arlojinya,” Lanjutnya lirih.


          Nanami mengulurkan gantungan kunci berbentuk cumi-cumi itu ke arah Take. Take menatapnya dengan mata berbinar.
“Cumi-cumiku!” ia nyaris berteriak kegirangan sambil menerima gantungan kunci tersebut.
“Bagaimana mungkin? Bukankah Yano sudah membuangnya?” tanyanya antusias.
Nanami tersenyum menggeleng.
“Tidak. Dia hanya main-main,” jawabnya. Take manggut-manggut.
“Sudah ku duga. Yano takkan tega melakukannya, hehe,” jawabnya. “Jadi, kalian sudah berbaikan?” ia kembali bertanya. Nanami tersenyum dan mengangguk.
“Maaf kalau kami merusak pesta ulang tahunmu. Kami bertengkar di hadapan kalian seperti anak kecil, ah, aku malu sekali,” dengus Nanami.
“Tidak apa-apa. Yang penting, kalian sudah berbaikan,”
Mereka berjalan beriringan menuju lapangan basket.
“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Nanami,”
“Oke, katakanlah,” cewek itu menghentikan langkah, Take juga. Mereka berdiri berhadapan.
Take terdiam sesaat.
“Aku tahu ini takkan mudah. Tapi jika mencintai Yano ibarat ikut lomba lari, aku harap kau menyelesaikannya sampai selesai,”
Nanami mengernyit, bingung.
“Kau harus tahu, Yano sudah mengalami banyak hal dalam hidupnya. Ia hidup sendiri dengan ibunya, tanpa ayah, tanpa keluarga lain karena seluruh keluarg ibu Yano telah memutuskan ikatan kekeluargaan mereka. Aku ingat, dulu waktu SD dan SMP ia selalu terlibat perkelahian dengan murid-murid lain karena ia di olok-olok sebagai anak haram. Yano  anak yang kuat. Ia pantang menyerah. Tapi aku tahu, setiap kali selesai berkelahi, atau setiap kali selesai di hukum guru, ia selalu menangis sendirian di kamar mandi,” suara Take terdengar parau.
“Hubungannya dengan Nana waktu itu juga tak begitu baik. Mereka sama-sama jatuh cinta, tapi terlalu banyak luka, terlalu banyak pertengkaran. Karena itu ....”
“Aku mengerti,” Nanami memotong. Ia menelan ludah. “Aku akan memberikan ia cinta sebanyak yang aku punya. Cinta yang sudah seharusnya ia dapatkan sejak dulu kala,” lanjutnya.
Mereka berpandangan, dalam. Perlahan Take tersenyum lalu mengangguk.

***

          Nanami menatap buku Matematika di hadapannya dengan kesal sementara Yano bergelayut mesra di sisinya. Cowok itu menyandarkan kepalanya ke bahu Nanami sementara lengan tangannya melingkari pinggang cewek tersebut. Ia tak henti-hentinya bersenandung, terlihat begitu bahagia.
“Yano, apa yang kau lakukan?” desis Nanami, jengkel.
“Menempel padamu,” jawab Yano singkat tanpa mendongak ke arah cewek di sebelahnya.
“Kalau kau terus menempel padaku seperti ini, kita tidak akan bisa mengerjakan PR,”
“Bodo amat,” jawab Yano lagi, singkat.
“Dan apa-apaan ini?” Nanami menunjuk ke arah tangan Yano yang melingkar di pinggangnya.
“Itu tangan, tanganku lebih tepatnya. Siapa bilang itu kaki,” Yano terdengar sewot.
Nanami mendesah.
“Tapi aku geli.”  Ia memprotes. “Kau seperti Ben-chan.” Lanjutnya.
          Yano mendongak, beringsut mundur lalu menatap Nanami dengan penuh selidik. “Ben-chan? Siapa itu?” Kedua matanya menyipit. Nanami terkekeh. “Dia keponakanku,” jawabnya.
“Apa dia laki-laki?” Yano kembali bertanya. Nanami mengangguk.
“Berapa umurnya?” Nada suara Yano terdengar tak suka.
Nanami kembali tertawa lirih.  “Tenanglah, Yano. Dia hanya anak laki-laki berumur 5 tahun, kau tak perlu sewot seperti itu.” Ucapnya.
Bibir Yano mencibir. “Kelak aku takkan membiarkan anak itu bermanja-manja padamu,” desisnya. Nanami kembali tergelak.
          Tiba-tiba pintu diketuk. “Yano, ada temanmu di luar sana.” Ibu Yano berujar dari  luar kamar. Yano dan Nanami berpandangan. Dengan bermalas-malasan cowok itu bangkit lalu melongokkan kepalanya dari jendela untuk melihat siapa yang datang.
“Nanami, kau di sini dulu sebentar.” Yano beranjak keluar kamar lalu menutup pintunya. Nanami menatapnya bingung. Cewek itu bangkit, melongokkan kepalanya lewat jendela dan ia melihat siapa gerangan yang ada di depan rumah. Yuri.
Untuk apa dia ke sini? Ia bertanya bingung.
          Nanami melangkahkan kakinya menuju pintu. Tapi ia terkejut ketika mendapati pintu itu terkunci.
“Yano, apa yang kau lakukan? Kenapa kau mengunci pintunya?” Nanami berteriak sambil menggerak-gerakkan knop pintu. Tapi, pintu itu benar-benar terkunci dari luar.
Nanami menatap sekelilingnya dengan bingung. Ada apa? Kenapa Yano menguncinya di dalam kamar? Apa yang ingin ia bicarakan pada Yuri? Kenapa ia tak boleh tahu?
          Nanami berlari ke arah jendela. Ia melongokkan kepalanya untuk menyaksikan Yano dan Yuri terlibat pembicaraan serius. Apa yang mereka rahasiakan? Apa yang tidak Nanami ketahui?
Nanami mondar-mandir dengan frustasi. Dan selang beberapa menit kemudian, pintu terbuka. “Maaf, aku hanya sekedar membereskan urusan,” ucap Yano.
Nanami menatapnya dengan tajam. Ia merapikan peralatan tulisnya lalu memasukkannya ke dalam tas.
“Aku pulang,” ucapnya. Ia beranjak. Yano menarik tangannya.
“Tunggu, ada apa Nanami?” ia bertanya bingung.
Nanami terkekeh.
“Ada apa? Harusnya aku yang bertanya? Ada apa antara kau dan Yuri? Kenapa kau tak memperbolehkanku menemuinya? Aku tahu ada sesuatu yang kalian rahasiakan. Hubungan kalian aneh, tak wajar. Katakan Yano! Ada apa antara kau danYuri!?” Nanami berteriak.
Yano mematung.
“Tak ada apa-apa di antara kami.” Jawabnya. Nanami tersenyum sinis. Ia merasakan matanya berkaca-kaca.
“Kau bohong, Yano. Aku bukan cewek bodoh. Jika memang tak ada apa-apa antara kau dan Yuri, kau takkan mengunciku di dalam kamar. Aku bukan orang luar lagi, aku pacarmu, harusnya kau bisa bicara banyak hal padaku,” Nanami menepis tangan Yano.
“Jangan bicara dulu denganku,” ucapnya lagi seraya beranjak.
“Nanami, tunggu,” Yano mengekor di belakangnya.
“Aku bersungguh-sungguh,” ia memohon.
Nanami menatapnya dengan dalam. Air matanya menitik. Cewek itu menggeleng lirih.
“Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Yano. Aku tahu itu,” desisnya. Dan ia kembali melangkah, tanpa mempedulikan panggilan Yano.

***

          Yano meringkuk di ranjang Take. Ia dan Nanami kembali tak bertegur sapa selama beberapa hari. Dan ia merasa frustasi luar biasa.
“Yano, sampai kapan kau akan begini terus?” Take menatapnya dengan putus asa.
“Saling berdiam diri tidak akan menyelesaikan masalah,” ia menambahkan.
“Aku mencoba bicara dengannya. Tapi dia menolak bicara denganku,” jawab Yano lirih.
“Kalau begitu, cobalah bicara lagi dengannya, lagi dan lagi,” ujar Take kesal.
“Kau harus bicara jujur padanya. Kau harus mengatakan semua tentang apa yang terjadi antara kau dan Yuri. Jika tidak, kau akan semakin melukai Nanami,” Take nyaris berteriak.
Yano menutup matanya dengan lengan tangannya. Ia terdiam sesaat.
“Aku tak bisa, Take. Aku tak bisa jujur padanya,” jawabnya.
“Kenapa?”
“Karena dia akan menangis. Dan aku tak mau dia menangis,” suara Yano bergetar. Take menatapnya dengan pilu. Ia tahu, saat ini, Yano sedang menahan tangis.
“Nanami akan menangis, tentu saja. Tapi setidaknya, dia berhak mendapatkan penjelasan darimu,” ucap Take lagi. Yano tak menjawab. Air mata mengalir ke pelipisnya walau ia telah menutup matanya dengan lengan tangan.

***

          Sekolah sudah sepi. Nanami tengah duduk termangu di kursinya ketika Yano beranjak mendekatinya lalu duduk di bangku depannya.
“Aku akan jujur padamu, tentang apa yang terjadi antara aku dan Yuri,” ucapnya lirih.
Nanami menatapnya.
“Aku akan memberimu tiga pilihan, dan kau bebas menentukan mana yang benar,” ia menambahkan.
Nanami mengernyit.
“Apa-apaan kau ini?” cewek itu berucap dengan kesal. Tapi ia sudah menyiapkan diri untuk mendengarkan pengakuan Yano.
“Satu, aku pernah jatuh cinta pada Yuri, tapi ia menolakku,” Yano memulai.
Nanami terkekeh.
“Itu tidak mungkin,” jawabnya.
“Dua, aku adalah pengagum rahasia Yuri,”
Nanami kembali terkekeh.
“Itu lebih tidak masuk akal lagi,” jawabnya.
“Dan Tiga ...” kalimat Yano terhenti, ia menelan ludah.
“Tiga, aku dan Yuri pernah tidur bersama,” ia melanjutkan.
Nanami tertegun. Ia menatap mata kelam Yano dengan dalam. Mata itu sayu, seolah tak bernyawa. Dan dada Nanami seketika sesak. Cewek itu tertawa, tapi sekian detik kemudian ia terisak.
Air matanya mengalir deras tanpa bisa ia bendung. Ia tahu, jawaban ketiga-lah yang benar...
Yano dan Yuri, pernah tidur bersama....

***

Bersambung....



Gomenashai                   : maaf
Suki dayo              : aku menyukaimu. (dalam budaya jepang, kata-kata ‘suka’ sudah otomatis menyatakan cinta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar