Aku dan Evelyn sudah saling kenal sejak SMA. Tidak ada
persahabatan di antara kami. Kami hanya sebatas seseorang-yang-saling-kenal-karena-satu-sekolah.
Itu saja!
Atau bahkan jika ada yang bertanya hubungan kami seperti apa, maka yang
ada adalah hubungan nemesis.
Karena kami terlalu banyak perbedaan? Bukan. Justru karena terlalu banyak
persamaan di antara kami, kami menjadi seteru abadi.
Evelyn cantik, aku juga.
Dia pintar, aku juga
Dia disenangi para guru, aku juga.
Dia aktif di banyak kegiatan sekolah, aku juga.
Dia populer, aku juga.
Dia menyenangkan, aku juga.
Dia pandai bergaul, aku juga.
Dia punya banyak teman, aku juga.
Yang membedakan kami mungkin hanya satu hal.
Dia kaya, aku tidak.
Orang tua Evelyn adalah pengusaha
sukses di Indonesia, sementara orang tuaku hanyalah pegawai cleaning service di
sebuah perusahaan daerah. Sebenarnya aku tak masalah. Toh aku tetap bahagia
dengan keadaanku seperti itu. Orang tuaku memang sederhana, tapi aku menyayangi
mereka melebihi apapun.
Dan, Evelyn kerap kali menggunakan
kemiskinanku sebagai bahan olok-olokan. Ia seperti punya kartu ‘As’ yang memberinya celah
untuk memperlakukanku seperti sampah! Tidak hanya kepadaku sebenarnya, ia
selalu melakukan hal yang sama kepada semua orang yang status sosialnya lebih
rendah darinya! Dan ia seperti punya kepuasan tersendiri ketika berhasil
merendahkan orang lain.
Dan aku lelah...
Aku lelah diperlakukan seperti sampah...
Waktunya membalas, meratakannya dengan tanah!
Surga atau neraka, biar aku yang menanggungnya!
***
Sesaat setelah turun dari taksi, aku
menatap rumah mewah yang berdiri dengan megah di hadapanku. Rumah dengan gaya
eropa itu semakin meriah dengan banyaknya hiasan dan dekorasi khas ulang tahun.
Ya, hari ini, Evelyn, teman semasa SMA- ku itu tengah merayakan ulang
tahunnya yang ke 31. Pesta itu dirayakan dengan mewah dan berkelas. Ia bahkan
mengundang sekian ratus tamu undangan dari berbagai kalangan. Artis, pengusaha,
politisi dan kalangan jetset terkemuka di Indonesia. Jadi, sudah bisa
dipastikan bahwa pesta itu akan berlangsung sangat meriah dan dipenuhi
orang-orang penting.
Aku baru saja hendak
melangkahkan kakiku melewati pos security ketika tatapan mataku menangkap 2
sosok perempuan yang sebaya denganku, tengah berdiri dengan ragu di samping
pintu gerbang. Nina dan Salma, teman SMA-ku juga. Aku sudah menduga kalau
mereka juga di undang oleh Evelyn. Dan aku yakin, masih ada beberapa teman
SMA-ku yang lain yang juga ia undang.
Aku beranjak lalu menghampiri mereka. “Hai,” aku menyapa duluan. Mereka
menoleh dan balik menatapku. Entah kenapa, ada kelegaan di kedua mata mereka.
“Linda, senang bertemu denganmu di sini,” Salma menjawab sapaanku. Mereka
bergantian memelukku.
“Kok masih bengong di sini? Masih nunggu siapa lagi? Bukankah acaranya
sudah dimulai sekitra 15 menit yang lalu?” tanyaku seraya sesekali melihat
sekelilingku, berharap akan menemukan teman es-em-a ku yang lain.
“Nggak nunggu siapa-siapa kok. Sebenarnya ada beberapa teman lain yang di
undang, tapi mereka memutuskan untuk tidak datang. Yaah, kamu tahu sendiri lah
Evelyn orangnya kayak apa. Kalo toh datang, sikapnya ya kayak gitu,” ucap Salma.
Aku manggut-manggut. Ya, aku mengerti maksud perkataan Salma. Bertemu
dengan Evelyn harus bermental baja yang tidak akan gentar dengan
sindiran-sindirannya. Tapi tak datang pun, semakin membuktikan bahwa mereka
takut pada Evelyn. Dan Evelyn akan semakin senang menerima kenyataan itu. Ia
senang menjadi sosok yang disegani sekaligus ditakuti oleh semua orang.
“Jadi gimana? Mau masuk gak?” tanyaku lagi.
Nina dan Salma berpandangan.
“Kami pengen seperti kamu, Lin. Kamu tak gentar menghadapi Evelyn,
menghadapi semua kata-kata pedasnya, sindirannya, kesombongannya, sikap tukang
pamernya. Tapi ...” Nina tampak ragu, begitu pula Salma.
Aku tersenyum.
“Mau tau cara ampuh untuk menghadapi Evelyn?”
“Apa?” mereka bertanya hampir bersamaan.
“Dicuekin aja. Abaikan semua kata-katanya. Jangan dimasukin hati. Ingat,
aku sudah menggunakan cara ini sejak es-em-a. Dan itu berhasil,” jelasku.
Mereka mendesah.
“Andaikan bisa semudah itu, Lin, tentu teman-teman kita pasti bertahan
jadi temennya Evelyn. Tapi kamu tahu sendiri ‘kan? Mau dicuekin sekalipun,
kata-kata Evelyn tuh tetep bikin sakit hati. Dia tetap saja memperlakukan
teman-temannya yang nggak sederajat dengannya seperti sampah,” Nina menjawab.
Aku kembali tersenyum dengan tenang.
“Ladies, Evelyn itu sejak dulu bahkan sampai dia tua sekalipun, kelakuanya
ya seperti itu. Can’t help deh.
Semakin di ambil hati, kita sendiri yang rugi. Berdo’a saja. Semoga suatu saat
akan ada kejadian yang membuat dia bisa berubah lebih baik,” jawabku.
“Masuk yuk. Masak sudah sampai sini mau balik lagi?” tanyaku. Mereka
berpandangan. Keraguan itu tak sirna dari mata mereka. Aku beranjak ke
tengah-tengah mereka dan merangkul pundak mereka.
“Tenang saja, kalau ada apa-apa, ada aku ‘kan?” Aku seolah menawarkan diri sebagai
benteng mereka. Mereka tertawa.
“Ih, kayak pak satpam aja,” jawab Nina. Dan kami bertiga melangkah bersama
memasuki ruangan tempat diselenggarakannya pesta ulang tahun tersebut.
Aku tak gentar sama sekali...
***
Evelyn tak segera menyapa
kami setelah kami tiba di ruang utama tempat diselenggarakannya pesta tersebut. Padahal ia tahu
tentang kedatangan kami. Beberapa saat setelah acara inti selesai, barulah ia
mendatangi kami bertiga. Aku, Nina dan Salma sedang asyik mengobrol di dekat
meja minuman ketika ia menyapa kami. Ia mengenakan gaun mahal rancangan designer terkenal dari Perancis.
Tubuhnya dihiasi berbagai hiasan dari berlian. Anting, gelang, kalung dan juga
cincin. Benar-benar terlihat glamour dan elegan.
“Selamat datang di pestaku. Bagaimana kabar kalian?” ia
menjabat tangan kami satu persatu, tidak ada pelukan. Sebagai catatan, ia
jarang memberikan pelukan kepada orang. Ia hanya akan memeluk beberapa orang
yang benar-benar ia sebut sebagai sahabat. Dan yang benar-benar ia sebut
sebagai sahabat ialah orang-orang yang punya status sama dengannya. Sama-sama
kaya dan sama-sama terpandang.
“Baik, terima kasih karena telah mengundang kami,” aku
menjawab. Nina dan Salma tampak tersenyum canggung.
“Selamat ulang tahun, Eve,” ucap Salma sekedar berbasa basi.
“Terima kasih,” Evelyn menjawab.
“Pesta yang sangat meriah,” ujarku. Evelyn tertawa bangga.
“Tentu saja, tahun depan aku bahkan berencana mengadakan
pesta yang lebih megah daripada ini di Las Vegas,” jawabnya.
“Wow, hebat,” jawabku, dan aku jujur. Evelyn kembali tertawa
bangga.
“Oh ya, Linda, kau masih bekerja sebagai pelayan restoran?”
ia bertanya ke arahku.
Aku tersenyum.
“Aku bekerja sebagai kasir, bukan pelayan,” koreksiku. Evelyn
mengibaskan tangannya cuek.
“Ah sama saja. Dan gaji yang hanya sekitar satu setengah
juta?”
Aku tersenyum dan mengangguk tanpa malu.
“Ah, itu hanya seharga satu kali makan siangku,” ia menjawab
enteng. Aku terkekeh lirih. “Aku enjoy kok,” jawabku.
“Cari saja suami kaya, Linda. Dengan kecantikanmu, kamu pasti
bisa menjerat lelaki milyuner di negara ini dan hidupmu bisa berubah lebih
baik,” ucapnya lagi.
Aku tertawa. “Terima kasih atas sarannya. Tapi aku baik-baik
saja dengan kehidupanku yang sekarang,” jawabku. Evelyn mencibir, tak percaya.
Ia beralih menatap Salma. Salma pucat seketika.
“Dan kau masih tinggal di rumah kumuh di dekat rel kereta itu
‘kan?” Evelyn menatap Salma dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tatapan
matanya terlihat merendahkan mengingat Salma hanya memakai celana kain hitam
biasa yang dipadu dengan tunik warna biru muda. Itu adalah baju murah yang
dibeli dari pasar.
Salma tersenyum dan mengangguk.
“Gaji suamiku yang hanya bekerja di pabrik memang hanya cukup
untuk membeli rumah di situ. Tapi kami ....”
“Baik-baik saja?” Evelyn memotong. “Ah, orang jaman sekarang
memang aneh. Ditengah-tengah kebutuhan yang kian melambung, apa menjadi miskin
memang selalu baik-baik saja?” ia berucap dengan nada jijik.
“Memang dia baik-baik saja, mau gimana lagi?” timpalku. Evelyn
mencibir tak percaya. Ia beralih menatap Nina.
“Dan kudengar kau sudah menjanda tiga kali ya? Ketiga mantan
suamimu berselingkuh dengan perempuan lain ‘kan?” ia bertanya dengan nada
enteng, tanpa beban.
Nina mengernyit.
“Darimana kau tahu?”
“Selalu saja ada yang memberitahuku tentang masalah nggak
penting kayak gini,” jawab Evelyn.
“Nina, jadi perempuan itu harus cantik. Harus pintar dandan.
Harus pandai merawat diri. Lihat dirimu? Mukamu kusut, rambutmu berantakan,
bajumu kuno, bahkan lebih kuno dari yang dipakai Salma. Dan bentuk tubuhmu,
alamak, kayaknya kamu harus diet. Mana ada lelaki yang mau sama perempuan over-weight kayak kamu. Pantas saja
suamimu di ambil orang,” ujar Evelyn lagi.
Nina tampak membeku. Garis mukanya kaku. Aku tahu ia sedang menahan
amarah.
“Eve, kamu keterlaluan,” desisku.
“Keterlaluan? Sejak dulu aku memang begini ‘kan?”
“Tapi kamu tak seharusnya memberi komentar pada masalah
keluarga orang lain,” ucapku lagi.
“Aku hanya bicara jujur. Salah? Perempuan harus cantik, biar
suaminya nggak selingkuh, nggak cari perempuan lain. Aku hanya memberi saran
pada Nina,” sangkal Evelyn.
Aku tertawa lirih.
“Kau sendiri, berdandan cantik, tapi suamimu juga selingkuh,”
ucapku tenang.
Evelyn membelalak. Nina dan Salma juga.
“Apa kau bilang?” Evelyn menatapku tajam.
Aku pura-pura kaget.
“Ow, jadi kau nggak tahu? Suamimu itu pembohong. Dia
berselingkuh dengan perempuan lain sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku tahu
segalanya tentang kelakuan bejat suamimu,”
“Jaga bicaramu, Linda,” Evelyn berucap dengan gigi terkatup.
Aku terkekeh sinis.
“Mau kuberitahu? Oke, kita bicara di sini atau di ruang
kerjamu?” aku menantang.
Raut muka Evelyn menegang. “Oke, ikut aku ke ruanganku,” Lalu
ia beranjak.
“Linda?” Salma dan Nina memanggilku bersamaan.
Aku tersenyum dan menatap mereka.
“Kalian pulanglah sekarang. Nyonya besar ini harus diberi
sedikit pelajaran,” ucapku sambil beranjak mengikuti Evelyn.
***
“Omong
kosong apa yang kau bicarakan?!” Evelyn berteriak lantang. Matanya merah karena
amarah. Tangannya mencengkeram pinggiran meja sementara tubuhnya condong
menghadapku. Ia menatapku tajam.
Aku duduk tenang di kursiku.
“Aku sedang membicarakan kebenaran dan kau juga sedang tak
salah dengar. Perempuan yang berselingkuh dengan suamimu adalah __ aku,”
jawabku lagi.
Evelyn terkekeh sinis.
“Kau pikir aku akan percaya dengan omonganmu?”
Aku mengangkat bahu.
“Aku tidak memintamu percaya. Aku hanya sekedar memberitahumu
saja. Atau ... kita panggil saja suamimu untuk meluruskan segalanya?” tawarku
dengan suara tenang.
Bibir Evelyn tampak gemetar. Aku kembali tersenyum seraya
membuka tasku kemudian mengeluarkan beberapa kertas dokumen. Aku melemparkan
kertas-kertas itu ke depan Evelyn.
“Itu hanya salinannya saja. Yang asli masih ada padaku,”
ucapku.
“Apa ini?” Evelyn meraih kertas-kertas tersebut.
“Bukti kepemilikan beberapa aset dan properti yang diberikan
suamimu padaku. Dan semuanya sudah atas namaku. Rumah mewah di Bandung. Sebuah
vila di puncak. Beberapa mobil mewah. Beberapa apartemen di Singapura. Dan
jangan kaget, saham di perusahannya, 25 persennya sudah resmi kumiliki,”
jelasku.
Evelyn tampak shock sambil menatap kertas-kertas di
tangannya. Ia terduduk lemas di kursinya.
“Jumlah yang sama dengan punyamu ‘kan?” tambahku lagi.
Perempuan cantik itu menatapku dengan tatapan nanar. Seolah ia siap menerkamku
hidup-hidup.
“Sejak kapan? Sejak kapan kau berhubungan dengan suamiku?”
desisnya.
“Sejak 7 tahun yang lalu. Tepat setahun setelah kau menikah,
aku sengaja mendekati suamimu. Aku menggodanya dan, thanks God, ia tergoda padaku. Seperti yang kau bilang, aku cantik,
aku menarik, aku cerdas. Dan aku menggunakan segalanya untuk menjerat suamimu
hingga jatuh ke pelukanku. Ia bahkan mau memberi apapun yang ku minta. Sudah
ada buktinya ‘kan?”
Evelyn meremas-remas kertas di tangannya lalu melemparkannya
padaku.
“Kenapa kau melakukan ini padaku? Kenapa?!” ia berteriak
histeris. Ia bangkit, aku juga bangkit. Kali ini aku menatapnya tajam.
“Karena aku sudah bosan kau perlakukan seperti sampah! Selama
ini kau selalu koar-koar betapa beruntungnya hidupmu, betapa sempurnanya
hidupmu, dirimu, suamimu, rumah tanggamu, semuanya! Kau memperlakukan orang-orang
disekitarmu yang tak sederajat seperti seonggok kotoran yang siap kau
injak-injak dan kau ludahi kapanpun kau inginkan! Dan aku sudah bertekad untuk
memberimu pelajaran!” teriakku.
“Jadi kau sudah merencakan semua ini?”
“Ya!” jawabku tegas.
“Aku sudah merencanakan ini, sejak dulu. Aku sudah bersumpah
bahwa suatu saat aku akan menghancurkanmu, meratakanmu dengan tanah, agar kau
tahu bagaimana rasanya hidup di bawah. Yakinlah, bahkan jika aku meminta
suamimu untuk meninggalkanmu, ia pasti akan meninggalkanmu demi diriku! Mau
coba?”
Air mata Evelyn menitik. Dan aku tak punya rasa iba sama
sekali.
“Dasar kau perempuan jalang!” teriaknya. Aku terkekeh sinis.
“Terima kasih,” jawabku.
“Sesukses apapun dirimu, kau tak berhak memperlakukan
teman-temanmu seperti sampah, Eve. Aku sudah bertekad untuk memberimu
pelajaran. Bahkan jika aku harus masuk neraka karenanya, tak jadi soal bagiku,”
“Kau brengsek!” Evelyn meraih vas bunga yang berada di
depannya lalu melemparkannya padaku. Aku menghindar hingga vas dari kaca
tersebut jatuh berserakan di lantai. Pada saat itulah pintu terbuka. Edward,
suami Evelyn muncul dari balik pintu.
“Ada ribut-ribut apa ini?”
Tatapan Edward sempat singgah ke arahku. Ia tertegun sesaat.
Aku mundur beberapa langkah.
“Urusanku sudah selesai di sini, sampai jumpa,” aku beranjak, melintasi ruangan, melawati Edward.
“Urusanku sudah selesai di sini, sampai jumpa,” aku beranjak, melintasi ruangan, melawati Edward.
Ku dengar Evelyn berteriak histeris dan menangis. Edward
menarik lengan tanganku.
“Ada apa?” ia bertanya. Kami berpandangan.
“Menceritakan kebenaran,” jawabku singkat. Aku melepaskan
tanganku dari Edward lalu melangkah meninggalkannya.
***
Aku sedang
bersiap menghentikan sebuah taksi ketika sosok itu berlari menyusuri trotoar ke arahku. Edward.
Tadinya aku bersiap jika lelaki itu akan memakiku,
mengumpatku, menghujaniku dengan sumpah serapah karena bagaimanapun juga aku
sudah memberitahukan kisah perselingkuhan kami, dan itu tandanya, keluarganya
pasti berantakan. Tapi nyatanya, aku salah.
“Jangan pergi,” ucapnya lirih. Ia melangkah mendekatiku.
“Jangan pergi dariku, ku mohon. Aku tak mau berpisah
denganmu,” ucapnya lagi.
Aku mengernyit tak mengerti.
“Aku tak peduli meski kau sengaja menggodaku. Aku tak peduli
meski kau mendekatiku hanya untuk melampiaskan dendammu pada Evelyn. Yang
jelas, aku mencintaimu dengan tulus, Linda. Aku tak mau berpisah denganmu. Aku
ingin selalu bersamamu, selamanya,” kata-katanya terdengar tulus.
Aku menatapnya, dalam.
“Edward...”
“Bahkan jika kau tak mencintaiku, ijinkan aku tetap
bersamamu. Karena hanya bersamamulah, aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Kau
memperlakukannya dengan hormat, membuatku nyaman, membuatku mengerti tentang
makna cinta yang sebenarnya. Jadi, kumohon jangan berpisah denganku. Aku
bersedia meninggalkan segalanya demi dirimu,” kedua mata Edward yang bening
indah itu tampak berkaca-kaca. Aku terdiam sesaat. Kutatap lelaki tampan di
hadapanku itu dengan lekat.
Aku tersenyum lalu perlahan mendekatinya.
Kurapikan letak dasinya yang sedikit berantakan. Ku belai
lembut lapel jasnya. Dan akulah yang
berinisiatif untuk mencium bibirnya dengan lembut dan lama. Sebuah ciuman yang
kuberikan dengan sepenuh hati.
“Kau tak berniat berpisah denganku ‘kan?” ia bertanya di
sela-sela ciuman kami. Aku tersenyum lalu menggeleng.
“Jika urusanmu dengan Evelyn selesai, datanglah padaku. Aku
tunggu kau di apartemen kita,” ucapku lirih. Ia mengangguk.
Kami saling melepaskan pelukan lalu aku menghentikan taksi
dan segera masuk ke dalamnya.
Sesaat sebelum taksi berjalan, aku kembali tersenyum ke arah
Edward.
“Jangan membuatku menunggu terlalu lama,” ucapku. Seolah tak
memperkenanku pergi, Edward beranjak, melongokkan kepalanya ke dalam taksi
melalu jendela pintu, lalu kembali mencium bibirku. Lebih lembut.
“I love you,”
desisnya. Aku mengangguk. Setelah itu ia mundur beberapa langkah dan taksi
mulai berjalan. Aku tahu, Edward terus menatap kepergianku.
Aku tersenyum puas.
Panggil saja aku jalang, aku tak peduli. Surga atau neraka,
biar aku yang menanggungnya!
Selesai
p.s.
Cerpen ini
kudedikasikan untuk seorang kawan lama. Seorang kawan yang selalu sok sempurna,
sok benar, sok paling baik diantara semuanya.
Perasaanku
padamu tak berubah, kawan. Aku masih membencimu dengan sepenuh hatiku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar