Rabu, 14 Januari 2015

Bokura Ga Ita - Part 1



Fanfiction ini kubuat karena saking cintanya aku dengan cerita Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata. Alasan lain yang membuatku membuat fanfiction ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga (komik) sementara kisah cinta antara Yano Motoharu dan Nanami Takahashi, terlalu sayang untuk dilewatkan...
So, akhirnya ku buat ini dengan versiku sendiri. Yang namanya versiku sendiri, ya sesuka hati. Adegan-adegan favorit ku tulis, yang nggak suka ku buang, hahaha...
Selain itu,karena setting-nya di Jepang, maka aku tidak menggunakan bahasa teenlit ala indonesia.. kalo toh ada sedikit, anggap aja ‘nyelip’, hehehe....

Oke, happy reading...

***

Yano Motoharu.

Waktu itu dia baru berumur 17 tahun. Tapi realita hidup yang harus ia hadapi, melebihi kekuatannya...

***

          Tahun ajaran baru, sekolah baru, kelas baru, dan teman-teman baru. Nanami Takahashi sempat berpikir bahwa berada di sekolah baru akan terasa sulit baginya. Maklum, ia bukan orang yang mudah beradaptasi. Terlebih lagi, mencari teman-teman baru juga terasa sulit baginya karena ia orang yang tidak terlalu pintar membuka obrolan dengan orang yang baru kenal.
          Tapi ternyata, ia salah. Sekolah barunya bagus, kelas barunya juga bagus. Dan teman-teman barunya, mereka baik-baik. Bahkan sangat ramah. Pertama kali masuk ke kelas, para cewek dan juga beberapa anak cowok sudah langsung menyapa dan mengerubunginya dengan antusias. Mereka menanyakan banyak hal padanya. Mulai dari mana ia berasal, mengapa ia pindah sekolah, dan banyak hal. Mereka bahkan memperkenalkan diri mereka satu persatu tanpa ia minta. Suasana hangat itu benar-benar membuat Nanami takjub. Dan yang membuat Nanami lebih takjub adalah, keberadaan sosok itu.
          Sosok remaja cowok dengan senyum menawan yang terkadang terkesan cuek dengan kedatangannya. Ia tinggi. Alis matanya tebal. Sorot matanya teduh. Rambutnya coklat keemasan dengan poni yang lumayan panjang menutupi sebagian dahinya. Nanami sempat memergokinya mengacak-acak poninya sendiri dengan asal. Dan itu malah menjadikannya terlihat keren.
Dan suara tertawanya ...
Suara tertawa yang membuat dada Nanami berdebar.
          Nanami tak percaya bahwa ia akan mengalami ini. Ia merasakan cinta, untuk yang pertama kalinya. Dan ia jatuh cinta pada  pandangan pertama, dengan sosok itu. Sosok yang bahkan belum ia ketahui namanya...

***

Yano Motoharu.
          Ada segudang alasan yang bisa membuat semua orang menyukainya. Ada segudang alasan pula hingga cewek-cewek mengidolakannya, bahkan mencintainya. Dia populer, dia tampan, dia pintar olah raga, dia pintar secara akademis, dia ramah, dan dia gampang bergaul dengan semua orang. Adakah alasan yang membuat ia tak disukai? Sepertinya tak ada.
          Seiring berjalannya waktu Nanami tak bisa menghentikan perasaan cintanya pada sosok itu. Bahkan boleh dibilang, perasaan cinta itu makin membesar. Ia hanya tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Hingga yang bisa ia lakukan, hanyalah memendamnya dan memperhatikan Yano secara diam-diam.
“Bagaimana ulangan matematikamu?” Chizu, teman yang duduk di sebelah Nanami menanyakan hasil ulangan yang baru dibagikan beberapa saat yang lalu.
Nanami hanya nyengir.
“Pasti jelek ya?” ia memastikan. Dan Nanami hanya meletakkan kepalanya di bangku dengan lemas.
“Aku dapat nol,” jawabnya. Chizu melotot.
“Yang benar?” ia nyaris berteriak. Dan Nanami kembali mengangguk.
“Aku pasti ikut kelas remidi,” desisnya. Chizu menepuk-nepuk pundak Nanami.
“Tak apa-apa. Eh, tapi ada yang dapat nilai 100 lho,”
Nanami mendongak seketika.
“Oh ya? Soal sesulit itu betul semua?”
Chizu mengangguk. “Tuh,” ia menunjuk ke arah Yuri. Cewek berkacamata yang duduk dua baris di depan Nanami.
“Waah, hebat,” tanpa sadar Nanami bergumam seraya beranjak menuju bangku cewek tersebut.
“Benar kau dapat nilai 100?” Nanami langsung bertanya. Yuri mengangguk.
“Bisa ajari aku? Aku benar-benar lemah di matematika,” Nanami berujar tanpa rasa canggung.
Yuri menatapnya sekilas, lalu menggeleng.
“Maaf, aku tak bisa. Aku tak pandai mengajari orang,” jawabnya dingin seraya berdiri, lalu meninggalkan Nanami sendirian.
Nanami mendesah. Ia sudah menduganya.
Sebenarnya ia tak serius ingin meminta pertolongan Yuri agar mau mengajarinya. Ia hanya mencari alasan saja agar bisa mengobrol dengannya. Jujur, selama hampir satu semester sekolah di sini, ia jarang sekali mendengar suara Yuri. Cewek itu kelewat pendiam. Ia  tak pernah ikut mengobrol, ia tak pernah tertawa, ia bahkan tak punya teman. Setiap hari, ia hanya akan duduk manis di bangkunya. Kalau toh pergi, mungkin hanya ke kamar mandi atau di suruh guru ke kantor.
Nanami mengalihkan tatapannya ke arah Chizu, cewek itu hanya mengangkat bahu.
“Setidaknya aku sudah berusah mengobrol dan menjadi temannya ‘kan?” ujar Nanami lagi sambil beranjak.
“Mau kemana?” teriak Chizu.
“Menenangkan diri,” jawab Nanami asal. Ia terus melangkahkan kakinya, menaiki tangga, menuju atap gedung.  

***

          Nanami mematung sesaat ketika melihat sosok itu duduk bersandar di pagar pembatas atap gedung. Pandangan mereka bertemu.
“Hai,” Yano menyapa duluan.
“Hai,” Jawab Nanami. Ia melangkahkan kakinya mendekati Yano lalu ikut duduk di sampingnya.
“Untuk apa ke sini?” Yano bertanya terlebih dahulu.
“Menenangkan diri. Kau?”
“Sama,” jawab cowok itu pendek. Dan pandangan matanya kembali menerawang ke langit biru.
“Aku menenangkan diri karena mendapat nilai nol di ulangan matematika. Kau? Apa kau juga mendapat nilai nol?”
Yano terkekeh mendengar pertanyaan Nanami. Ia mengeluarkan kertas lembaran dari sakunya lalu menyodorkannya ke arah Nanami.
“Lihatlah sendiri, jangan kaget,” ucapnya.
Nanami meraih kertas lembaran tersebut dan membukanya dengan tak sabar. Dan ia segera membelalak.
“Kau dapat nilai 100?!” ia memekik. Kali ini Yano menatapnya, lalu tersenyum.
“Hebat,” desis Nanami. Ia mengembalikan kertas ulangan tersebut ke arah Yano, lalu kembali menyandarkan punggungnya ke pagar. Ia mendesah.
Yano menatapnya. “Benar kau dapat nilai nol?” ia bertanya tak percaya.
Bibir Nanami manyun. Ia mengangguk.
Well, remidi di depan mata nih,” ucap Yano kemudian.
Nanami kembali mengangguk.  
“Ganbatte*,” Yano berucap dengan tulus.
Nanami mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.
Tapi setelah itu, tatapan mata Yano kembali menerawang ke langit biru. Nanami menatap cowok itu tanpa sadar selama sekian menit. Ada yang tak beres dengan tatapan matanya. Tatapan matanya terlihat ‘gelap’. Ada sesuatu yang bergejolak di pikirannya.
“Ada sesuatu?” tanya Nanami. Yano mengernyit lalu menoleh ke arah Nanami.
“Maksudnya?”
“Kau terlihat ... banyak pikiran,” jawab Nanami ragu.
Yano kembali tertawa lirih.
“Tentu saja aku banyak pikiran. Bayangkan saja. Satu, aku murid paling populer di sekolah ini. Dua, hampir setiap hari aku selalu menerima pengakuan cinta dari para cewek. Tiga, guru matematika kita selalu saja mencari alasan agar aku mau ikut olimpiade, padahal kamu sendiri aku tak tertarik. Empat, guru olah raga juga selalu mencari alasan agar aku bisa ikut kejuaraan atletik. Dan kamu juga tahu, lagi-lagi aku tak tertarik. Lima, aku benar-benar cowok paling tampan di sini,” jawabnya seraya menghitung dengan jari-jarinya. Nanami tergelak.
“Apa-apaan itu? Kau terlalu percaya diri!” teriaknya, tetap dengan tawa kecilnya. Yano ikut tertawa lalu bangkit.
“I’m okay. Thank you karena sudah bertanya. Semoga berhasil dengan remidinya,” ia beranjak. Menginggalkan Nanami.
“Yano,” panggil Nanami.
Langkah Yano terhenti. Ia berbalik dan menatap cewek bertubuh mungil tersebut.
“Ya?”
“Jika kau butuh seseorang untuk berbagi, aku bersedia mendengar keluh kesahmu,” jawab Nanami. Ia sempat merutuk dalam hati. Sial! Apa yang ku katakan? Yano punya keluh kesah? Ah, aku terlalu pede! 
Yano tertawa lirih.
“Terima kasih. Tapi aku tak punya keluh kesah apapun untuk dibagi,” jawabnya lalu kembali beranjak meninggalkan Nanami.
Nanami menepuk jidatnya dengan kesal dan tak berhenti menyesali kalimatnya. Tuh ‘kan? Aku terlalu pede!


***

          “Teman-teman, mulai besok kita akan mulai latihan paduan suara untuk acara festival seni bulan depan. Jadi, jangan pulang dulu ya. Aku akan membagikan salinan lagu yang akan kita nyanyikan pada acara itu,” teriak Nanami di depan kelas sambil membawa segepok tumpukan kertas berisi tangga nada. Sebenarnya ia juga tak bersedia menjadi ketua kelas. Tapi berdasarkan voting di awal semester, mayoritas rekan-rekannya memilihnya. Sehingga, mau tak mau, dia harus menerimanya. Sungguh merepotkan!
          Nanami baru saja menyerahkan kertas lembaran pertama pada Yuri, yang kebetulan duduk di bangku depannya, ketika tiba-tiba saja cewek itu limbung dan ambruk.
Anak-anak berteriak kaget, begitu Nanami. Dan ia terkesiap ketika tiba-tiba Yano-lah orang pertama yang berlari ke arah cewek tersebut lalu mengangkat tubuhnya.
“Pasti anemia lagi,” gumamnya.
“Aku akan membawanya ke UKS,” ucapnya seraya membopong Yuri yang tengah tak sadarkan diri. 
Nanami mematung.
Pasti anemia lagi...
Apa maksudnya itu? Apa semua orang di sini tahu bahwa Yuri punya anemia? Atau ... hanya Yano saja yang tahu?
“Akan ku bantu,” Reflek Nanami berkata begitu sambil berlari menyusul Yano.
“Tidak. Kau lanjutkan saja pembagian kertasnya,” Yano menolak. Dan langkah Nanami terhenti seketika. Dadanya berdebar, dan ia tak tahu penyebabnya.

***

          Nanami menarik nafas panjang seraya menatap dua lembar kertas catatan lagu di tangannya. Satu untuk Yano, dan satu untuk Yuri. Sekolah sudah usai, tapi mereka tak kembali ke kelas. Ketika tadi ia menyusul ke UKS, hanya Yuri yang masih terbaring di sana sementara Yano entah kemana. Nanami ingin menyerahkan lembaran Yuri, tapi melihat keadaan cewek itu, ia urung melakukannya. Dan akhirnya mau tak mau, 2 lembar kertas itu ia bawa kembali.
“Jadi ketua kelas benar-benar merepotkan. Semester depan aku berhenti, titik,” desisnya sambil terus melangkahkan kakinya menuju halte bus depan sekolah. Cewek berpipi chubby itu baru saja hendak duduk di kursi tunggu ketika tatapan matanya melihat sosok cowok berambut cepak baru saja keluar dari pintu gerbang.
“Take!” Nanami memanggil seraya berlari menghampirinya.
Takeuchi, atau biasa dipanggil Take memang berada di kelas yang berbeda dengannya. Tapi ia tahu bahwa ia berteman baik dengan Yano. Itu lantaran karena selama ini, mereka selalu terlihat berdua. Baik berangkat, ataupun pulang sekolah.
“Yano mana?”
Take melihat sekeliling.
“Mungkin ... sudah pulang,” jawabnya, tampak bingung juga seperti dirinya.
“Yaaah,” Nanami mendesis kecewa.
“Ada sesuatu?” Tanya Take.
Nih,” Nanami menyodorkan kertas di tangannya. “Tolong kasihkan ini ke Yano ya. Ini untuk latihan paduan suara. Belum sempat ku kasihkan karena tadi Yuri pingsan di kelas dan Yano yang membawanya ke UKS. Setelah itu, dia menghilang,” jelas Nanami.
Take manggut-manggut sambil meraih satu lembar kertas dari tangannya.
“Oke, nanti ku kasihkan padanya,”
“Trims,” jawab Nanami. “Oke deh, yuk pulang,” ia beranjak, berlari-lari ke arah bis yang baru datang di halte. Ketika ia menginjakkan kakinya memasuki bis, ia seakan baru menyadari bahwa Take berada di belakangnya.
“Oh, kau juga naik bis ini?” ia bertanya.
Take tersenyum canggung seraya mengangguk.
Nanami manggut-manggut. Dan akhirnya mereka duduk bersebelahan, tanpa di rencanakan.
“Jadi rumahmu dekat dengan Yano ya?” tanya Nanami.
Take mengangguk.
“Sejak kapan kalian bersahabat?”
“Sejak kelas 4 SD,”
“Wow, hebat,” Nanami manggut-manggut.
“Take, boleh aku menanyakan sesuatu?” Nanami terlihat sedikit ragu.
“Apa?” Take balik bertanya.
“Sedekat apa hubungan antara Yano dengan Yuri?”
Take mengernyitkan keningnya.
“Maksudnya?” ia balik bertanya.
Nanami terdiam sesaat.
“Hubungan di antara mereka terlihat sedikit aneh. Agak ... canggung. Yuri terlihat sinis pada Yano. Oke, ia memang tak ramah pada semua orang. Tapi dengan Yano, kesinisannya terasa berlipat ganda. Sementara Yano, ia seperti tak merasa terganggu sama sekali. Ia selalu membantu Yuri, tanpa pamrih. Tanpa basa basi. Apakah ... mereka mantan pacar?”
Take tersenyum mendengar pertanyaan Nanami. Ia menggeleng.
“Bukan. Dulu kami semua satu SMP. Aku, Yano, dan Yuri,” jawabnya.
Mata bening Nanami melebar.
“Oh ya?”
Take mengangguk.
“Hanya itu?” Nanami tak bisa menghentikan keingintahuannya.
Take menatap cewek di sampingnya dengan heran.
“Jadi kau juga belum tahu?”
“Apa?” Nanami berucap bingung.
“Kakak perempuan Yuri adalah mantan pacar Yano,”
Nanami membelalak.  “Heh?”
“Dan dia sudah meninggal sekitar satu tahun yang lalu, karena kecelakaan,” Take melanjutkan.
Kali ini Nanami benar-benar shock. Ya Tuhan.

***

          “Jadi itu benar, bahwa kakak Yuri adalah mantan pacar Yano yang sudah meninggal sekitar satu tahun lalu karena kecelakaan?” cerocos Nanami pada Chizu, siang itu di jam istirahat pertama, ketika mereka makan siang di taman belakang.
Chizu mengangguk seraya menggigit sepotong sosis dari kotak bekalnya.
“Iya, dia kakak kelas kita,”
Nanami nyaris tersedak.
“Kakak kelas kita?”
Lagi-lagi Chizu mengangguk.
“Waktu itu Yano masih kelas satu, sementara kak Nana kelas tiga. Beberapa saat sebelum ujian, dia mengalami kecelakaan lalu lintas,”
Nanami mengernyit.
“Kak siapa? Kak Nana?” ia bertanya dengan tak percaya. Chizu mengangguk.
“Namanya kak Nana,” Chizu memastikan.
Nanami terdiam. Entah mengapa makanan yang ada di mulutnya terasa hambar seketika.
Hah, bahkan namanya pun hampir sama dengan namanya!
“Apa dia cantik?”
Chizu menangkat bahu.
“Entahlah. Aku juga tak begitu tahu. Tapi kata anak-anak, dia cantik sekali. Dia murid cewek paling populer di sekolah kita. Kecantikannya belum ada yang bisa menandingi,” penjelasan Chizu membuat lutut Nanami lemas.
“Eh, kenapa tiba-tiba kau tertarik tentang Yano?” Chizu menatap sahabatnya dengan penuh selidik. Nanami mendesah panjang lalu balik menatap Chizu dengan tatapan putus asa.
“Sepertinya aku jatuh cinta padanya,” jawabnya lirih.
“Hah?! Jatuh cinta pada Yano?!”
Nanami segera beranjak dan membekap mulut sahabat baiknya tersebut.
“Pelankan suaramu, oke. Ini hanya rahasia kita berdua, please,” ia memohon.
Chizu manggut-manggut.
“Jangan berteriak,”
Chizu kembali manggut-manggut. Setelah sepakat, Nanami melepaskan bekapan tangannya.
“Sejak kapan?”
“Sejak pertama kali aku datang ke sini,” jawab Nanami jujur. Chizu nyaris berteriak, tapi batal karena Nanami melotot ke arahnya dengan tatapan menusuk.
“Sori,” ia nyengir.
“Tidak apa-apa Nanami. Punya perasaan pada Yano adalah hal yang wajar di sekolah kita. Kenapa? Karena kamu bukan satu-satunya cewek yang jatuh cinta padanya. Jadi, kapan kamu akan mengakui cintamu padanya?”
Nanami menggeleng.
“Belum ada rencana. Sementara seperti ini saja. Janji jangan bilang siapa-siapa ya,”
Chizu mengangguk mantap. “Percayalah padaku,” ucapnya.
“Kalau kau penasaran tentang kak Nana, aku bisa mencari buku tahunan yang ada fotonya. Yaaa, supaya kau tak penasaran saja tentang kecantikan mantan pacar Yano,”
Nanami melotot girang.
“Mau!” jawabnya cepat.
Chizu hanya bisa garuk-garuk kepala.

***

          Kelas sepi. Pelajaran sudah usai sekitar 15 menit yang lalu. Tapi Nanami masih mematung di bangkunya sambil menatap buku tahunan yang tergeletak di depannya. Sesuai janji, Chizu mendapatkannya. Entah bagaimana caranya, tapi ia berhasil mendapatkan buku itu secara sembunyi-sembunyi. Tapi, buku itu setebal 5 cm. Dengan total sekitar 300 lulusan, Nanami tak tahu harus mulai dari mana untuk mencari tahu foto Nana.
Aku pasti sudah gila karena mau melakukan hal-hal seperti ini! rutuknya dalam hati.
“Astaga, harus mulai mencari darimana? Bisa-bisa nanti malam baru selesai,” desis Nanami secara membuka-buka buku itu secara acak.
“Foto siapa yang ingin kau cari?”
Suara itu membuat jantung Nanami berlompatan. Ia menoleh dan tampak Yano sudah berdiri di sampingnya.
“Yano? Kenapa kau masih di sini?” Nanami bertanya, spontan.
“Kau sendiri, kenapa masih di sini?” Yano beranjak dan duduk di bangku yang berada di depan Nanami.
“Mmm, masih ada urusan sedikit,” cewek itu nyengir seraya menutup buku tahunan itu dengan buru-buru. Yano terkekeh.
“Foto siapa yang ingin yang kau cari?” ia bertanya lagi.
Nanami tak segera menjawab. Tapi akhirnya ia menyerah.
“Kak Nana. Mantan pacarmu. Beritahu aku yang mana dia,” ucapnya seraya menyodorkan buku tahunan tersebut ke arah Yano.
Yano menatapnya dengan tak mengerti.
“Kenapa kau ingin mencari tahu tentang dia?”
“Ingin tahu saja. Kau tak berhak melarangku ‘kan?” jawab Nanami.
Yano menatap buku di tangannya dengan ragu. Tapi akhirnya, ia meraihnya, membuka beberapa lembar halaman dan dalam waktu kurang dari 10 detik, ia menunjukkan foto Nana.
“Nih,” ia menunjuk tepat ke arah foto cewek cantik berambut sebahu, berkulit bersih dan  dengan mata bening yang menawan.
Nanami terperangah. Astaga, dia benar-benar cantik.
“Waaa, dia cantik sekali,” ucapnya tanpa sadar.
“Aslinya malah lebih cantik,” jawab Yano bangga. Ia tersenyum. Entah mengapa, Nanami juga ikut tersenyum.
“Apakah dia cinta pertamamu?”
Yano mengangguk. “Ya, aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama,” jawabnya.
“Siapa yang menyatakan cinta duluan?”
“Aku,” jawab Yano cepat.
“Dan langsung diterima?”
Cowok itu kembali mengangguk.
“Hebat, kalian langsung berpacaran setelahnya?” Nanami bertanya lagi.
Entah mengapa, obrolan di antara mereka mengalir begitu saja. Nanami tak berhenti bertanya, sementara Yano juga tak keberatan menjawab.
“Tidak, karena waktu itu ia punya masih cowok. Tapi beberapa hari kemudian, aku berhasil menjadikannya pacarku,”
Nanami terkesiap.
“Hah? Maksudmu, kau merebut dia dari pacarnya?”
“Tentu saja,” jawab Yano lagi, bangga.
“Whoa, you’re really a bad boy, Yano,” ucap Nanami, tapi tak ada nada menyindir di sana. Cowok itu tergelak.
“Habisnya, dia benar-benar cantik. Dan aku sangat menyukainya. Jadi, aku berjuang keras untuk mendapatkannya,” jawabnya.
Nanami manggut-manggut. Dadanya terasa sakit. Tapi melihat Yano yang antusias bercerita dengan mata berbinar-binar, rasa sakit itu seperti tak ada apa-apanya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau ingin tahu soal Nana?” tanya Yano lagi.
Nanami terdiam sesaat.
“Karena sepertinya aku jatuh cinta padamu, Yano,” jawabnya kemudian, dengan tatapan lurus ke arah cowok di hadapannya.
Yano tampak tertegun. Tak lama.
Keduanya berpandangan. Hening.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita pacaran?” ucap Yano kemudian.
Nanami terhenyak.
“Apa kau mencintaiku?”  ia bertanya dengan heran.
Yano tak segera menjawab.
“Entahlah, aku tak tahu,” jawabnya.
Nanami terkekeh lirih.
“Jangan pernah mengajak seorang cewek untuk berpacaran jika kau tak tahu tentang perasaanmu, oke?” ia bangkit lalu meraih tasnya.
“Sini, biar aku kembalikan bukunya. Mungkin Chizu meminjamnya dari perpustakaan,” tak lupa meraih buku tahuanan tersebut dari tangan Yano.
“Kalau begitu, beri waktu padaku untuk mencari tahu tentang perasaanku padamu,” jawab Yano, enteng. Khas dirinya yang terkesan cuek dan tak mau repot. Nanami kembali terkekeh.
“Oke,” jawabnya, lalu beranjak meninggalkan Yano.
Astaga, obrolan macam ini? Ia tak berhenti bertanya dalam hati.

***
          “Jadi, kau sudah menyatakan perasaanmu pada Yano?” tanya Chizu ketika sore itu mereka janjian jalan-jalan di pusat perbelanjaan.
“Ya,” jawab Nanami pendek.
“Dan ... diterima atau ditolak?” Chizu terus bertanya dengan antusias.
Nanami terus berjalan melewati orang yang berlalu lalang dengan manyun.
“Tidak dua-duanya. Diterima tidak, ditolak juga tidak,”
“Heh? Mana ada jawaban seperti itu?” Chizu menyamai langkah Nanami. Cewek yang hobi menggelung rambutnya itu mengangkat bahu.
“Kenyataannya memang begitu. Tapi, tak masalah. Diterima atau ditolak, aku siap dengan dua kemungkinan itu,” jawabnya cuek. Chizu menatapnya dengan takjub.
“Waaah, kau hebat Nanami. Sekilas kau memang tampak seperti anak kecil yang lemah dan cengeng. Tapi aslinya, kau benar-benar tabah dan tegar. Aku benar-benar tak menyangka. Salut buatmu,” gumamnya. Nanami menatapnya dengan kesal.
“Anak kecil yang lemah dan cengeng? Mentang-mentang karena tubuhku mungil, begitu?” ujarnya jengkel. Chizu cuma meringis. Mereka terus berjalan tanpa berhenti melewati kios-kios baju. Tapi ketika sampai di ujung jalan, seseorang menepuk pundak Nanami. Cewek itu menoleh, begitu pula Chizu.
“Take?” mereka memanggil bersamaan. Take tersenyum.
“Tak kusangka akan ketemu kalian di sini. Jalan-jalan? Belanja?” cerocos cowok tinggi tersebut.
“Nanami sedang bad mood, jadi aku mengajaknya jalan-jalan?” celetuk Chizu. Nanami melotot ke arahnya.
“Chizu?” ia mendesis jengkel. Yang dipanggil cuma nyengir.
“Bad mood? Kenapa? Aku sedang berkumpul dengan teman-teman SMP-ku. Tuh, di kafe sebelah. Yano juga ada. Mau gabung?” Take menunjuk ke arah Kafe di seberang jalan.
“Mau!” jawab Chizu cepat. Nanami mendelik. Tapi, akhirnya ia memang ikut bergabung dengan teman-teman Take.
Ketika sampai di kafe yang dimaksud, beberapa anak muda berkumpul di sana, di bangku dekat jendela. Laki-laki dan juga perempuan. Yano ada di antara mereka. Ketika melihat kedatangan Nanami, cowok itu bersikap biasa dan tenang. Ia hanya tersenyum sekilas, lalu kembali asyik mengobrol dengan teman-temannya.
“Mereka Nanami dan ...” Take melirik ke arah Chizu.
“Chizu,” jawab cewek tersebut.
“Oh ya, Nanami dan Chizu. Mereka sekelas dengan Yano,” akhirnya, Take lah yang memperkenalkan mereka. Nanami dan Chizu tersenyum canggung.
”Sekelas dengan Yano? Berarti kamu juga sekelas dengan Yuri ‘kan?” cewek berambut panjang yang duduk di samping Yano bertanya dengan antusias. Nanami mengangguk.
“Dia aneh ‘kan?” ia terus berucap dengan antusias.
Nanami mengernyit.
“Tak usah kaget. Dulu kami ‘kan satu SMP. Jadi kami sudah hafal seperti apa Yuri itu. Dia anak paling aneh di sekolah kami. Dan aku yakin dia juga akan terus aneh sampai tua. Dulu waktu kami kerap menyebutnya patung hantu, karena yang ia lakukan hanyalah duduk diam tak bersuara. Dia juga seperti alien, ya ‘kan?” cewek itu tertawa.
Nanami menatapnya dengan jijik. Ia paling tak suka jika seseorang membicarakan kejelakan orang lain.
“Iya, dia benar-benar berbeda dengan Nana. Nana orangnya cantik bagaikan dewi. Ia ramah, mudah bergaul, punya banyak teman. Sementara Yuri, aduh, mungkin cewek itu akan jadi perawan tua sampai mati,” sahut teman yang satunya.
“Cukup!” Nanami berteriak.
Mereka terdiam sesaat lalu menatap Nanami dengan kaget.
“Kalian bilang kalian satu SMP, mestinya kalian berteman ‘kan? Lalu kenapa kalian menjelek-jelekkan dia?” ucap Nanami geram.
“Hei, kenapa kau marah? Asal kau tahu, kami lebih lama menganal Yuri daripada kau. Jadi kami tahu betul kalau Yuri memang aneh. Dia cewek paling jelek di sekolah kami, dan semua orang tahu itu!”
“Aku tidak berurusan dengan kekurangan-kekurangan Yuri. Tapi setidaknya kau tidak menjelek-jelekkan orang lain. Itu menyedihkan tahu?” Nanami terus membantah.
Perdebatan di antara mereka terhenti ketika tiba-tiba Yano tertawa ngakak.
“Astaga, apa yang kalian ributkan, wahai para cewek? Jangan terlalu serius. Yuri memang begitu sejak dulu. Dan Nana, ah, yang mati ya mati saja. Tak perlu dibicarakan lagi. Nanti dia bisa jadi hantu,” ucapnya. Dan ia kembali tertawa.
Nanami menatapnya dengan tajam. Dan ... brakkk!
Reflek ia mengayunkan tasnya ke kepala Yano. Tawa cowok itu terhenti. Dia mengaduh kesakitan.
“Hei, apa yang kau lakukan, Nanami?!” teriaknya. Nanami melotot.
“Kau ... brengsek!” teriaknya seraya bangkit lalu berlari keluar kafe, tanpa menghiraukan panggilan Chizu.
Sejak dulu, Nanami tidak suka jika mendengar seseorang menjelek-jelakkan orang lain. Mungkin Yuri memang aneh. Tapi tak seharusnya mereka mengolok-oloknya seperti itu. Mengatakan ia cewek paling jelek di sekolahnya? Cih, mereka bahkan juga tidak cantik. Dan Yano, bagaimana bisa ia bicara tak sopan tentang Nana? Bagaimanapun, Nana sudah meninggal. Tak seharusnya ia bicara secara enteng seperti itu. Dasar orang tak punya rasa empati!
          Nanami mematung di halte bis. Ia menatap tas tangannya yang terbuka lalu mendesah. Dompetnya ketinggalan! Pasti dompet itu terjatuh di kafe ketika ia memukul kepala Yano dengan tas nya tadi! Oh, bagaimana ini?
Ia merutuki kecerobohannya sendiri. Harusnya ia tak perlu susah-susah mengurusi urusan orang lain! Desisnya.
Karena tak punya pilihan lain, Nanami memutuskan untuk kembali ke kafe. Ia tak mungkin pulang tanpa dompetnya. Seluruh uangnya ada di sana.
Tapi cewek itu kembali mematung ketika ia melihat sosok itu. Yano tengah berjalan ke arahnya. Dengan dompet pink di genggaman tangannya.  
“Dompetmu,” ucap cowok itu ketika mereka sudah berhadapan. Nanami menerima dompet tersebut tanpa berkata-kata. Bagaimanapun ia masih marah. Dan ia takkan mau mengucapkan kata terima kasih.
“Kau cewek pertama yang berani mengataiku brengsek,” ia berucap dengan senyum di bibirnya. Nanami menatapnya sinis.
“Oh ya? Kalau begitu akan ku katakan ratusan kali agar kau tahu bahwa kau memang brengsek!” teriak Nanami.
“Dan karena kau cowok brengsek, ku tarik kembali kata-kataku. Aku tak jadi mencintaimu, dengar?” lanjut Nanami.
Yano menatapnya dalam. Hening sesaat. Nanami ingin kembali memaki, tapi tatapan gelap Yano seakan mengunci bibirnya.
“Pacarku berselingkuh dariku. Ketika ia meninggal, ia sedang pergi dengan cowoknya yang lain. Mereka mengalami kecelakaan mobil dan meninggal bersama,” Yano membuka suara.
Nanami tercengang. Apa cowok itu sedang menceritakan Nana?
“Kak Nana?” tanpa sadar Nanami mendesis.
Yano mengangguk samar.
“Tapi itu bukan salahnya. Itu salahku. Jika pacarku selingkuh, itu artinya aku tak memperlakukannya dengan baik sehingga ia mencari cowok lain yang lebih baik dariku. Ya ‘kan?” ia seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Nanami terdiam. Kenapa ia menceritakan ini padaku? Aku harus bilang apa?
“Dan ibuku... Dia melahirkanku ketika usianya baru 19 tahun dan ... belum menikah. Dia berselingkuh dengan seorang pria beristri. Awalnya ia menggunakan kehamilannya untuk menekan pria itu agar bercerai dengan istrinya. Tapi ternyata cara itu tak berhasil. Mereka tak bercerai. Hingga akhirnya, ibuku terpaksa melahirkanku sendirian. Istilah lainnya adalah ... aku anak haram,” Yano kembali melanjutkan kata-katanya.
Tenggorokan Nanami tercekat. Ia tak tahu harus berkata apa. Kenapa ia menceritakan semua ini sekarang? Kenapa? Ia benar-benar tak mengerti.
“Jadi... apakah kau masih ingin menarik kata-katamu kemarin? Kau ingin membatalkan pengakuan cintamu padaku?” tatapan mata Yano tampak gelap. Seakan tak bernyawa.
Nanami merasakan darahnya berdesir. Membatalkan rasa cintanya pada Yano? Hah, itu hal yang tak mungin ia lakukan. Ia bahkan sudah jatuh cinta pada cowok itu tanpa mengetahui namanya. Dan sekarang, bahkan ketika ia menceritakan sisi kelam dalam dirinya, cinta itu takkan bisa ia hapuskan.
Akhirnya tanpa berpikir dua kali, cewek itu melangkah maju mendekati Yano lalu membalas menatap mata itu dengan dalam. Dan dengan tegas akhirnya ia menjawab : “Tidak,”

***

Bersambung....


Catatan :
Yano Motoharu à baca huruf ‘O’ seperti membaca kata ‘foto’...
Ganbatte : berjuanglah / berusahalah / semoga berhasil


Tidak ada komentar:

Posting Komentar