Fanfiction
ini kubuat karena saking cintanya aku dengan cerita Bokura Ga Ita karya Yuuki
Obata. Alasan lain yang membuatku membuat fanfiction ini adalah : ada beberapa
orang yang tidak suka membaca manga (komik) sementara kisah cinta antara Yano
Motoharu dan Nanami Takahashi, terlalu sayang untuk dilewatkan...
So,
akhirnya ku buat ini dengan versiku sendiri. Yang namanya versiku sendiri, ya
sesuka hati. Adegan-adegan favorit ku tulis, yang nggak suka ku buang,
hahaha...
Selain
itu,karena setting-nya di Jepang, maka aku tidak menggunakan bahasa teenlit ala
indonesia.. kalo toh ada sedikit, anggap aja ‘nyelip’, hehehe....
Oke,
happy reading...
***
Yano Motoharu.
Waktu itu dia baru berumur 17 tahun. Tapi realita
hidup yang harus ia hadapi, melebihi kekuatannya...
***
Tahun
ajaran baru, sekolah baru, kelas baru, dan teman-teman baru. Nanami Takahashi
sempat berpikir bahwa berada di sekolah baru akan terasa sulit baginya. Maklum,
ia bukan orang yang mudah beradaptasi. Terlebih lagi, mencari teman-teman baru
juga terasa sulit baginya karena ia orang yang tidak terlalu pintar membuka
obrolan dengan orang yang baru kenal.
Tapi
ternyata, ia salah. Sekolah barunya bagus, kelas barunya juga bagus. Dan
teman-teman barunya, mereka baik-baik. Bahkan sangat ramah. Pertama kali masuk
ke kelas, para cewek dan juga beberapa anak cowok sudah langsung menyapa dan
mengerubunginya dengan antusias. Mereka menanyakan banyak hal padanya. Mulai dari
mana ia berasal, mengapa ia pindah sekolah, dan banyak hal. Mereka bahkan
memperkenalkan diri mereka satu persatu tanpa ia minta. Suasana hangat itu
benar-benar membuat Nanami takjub. Dan yang membuat Nanami lebih takjub adalah,
keberadaan sosok itu.
Sosok
remaja cowok dengan senyum menawan yang terkadang terkesan cuek dengan
kedatangannya. Ia tinggi. Alis matanya tebal. Sorot matanya teduh. Rambutnya
coklat keemasan dengan poni yang lumayan panjang menutupi sebagian dahinya.
Nanami sempat memergokinya mengacak-acak poninya sendiri dengan asal. Dan itu
malah menjadikannya terlihat keren.
Dan suara tertawanya ...
Suara tertawa yang membuat dada Nanami
berdebar.
Nanami
tak percaya bahwa ia akan mengalami ini. Ia merasakan cinta, untuk yang pertama
kalinya. Dan ia jatuh cinta pada
pandangan pertama, dengan sosok itu. Sosok yang bahkan belum ia ketahui
namanya...
***
Yano Motoharu.
Ada
segudang alasan yang bisa membuat semua orang menyukainya. Ada segudang alasan
pula hingga cewek-cewek mengidolakannya, bahkan mencintainya. Dia populer, dia
tampan, dia pintar olah raga, dia pintar secara akademis, dia ramah, dan dia
gampang bergaul dengan semua orang. Adakah alasan yang membuat ia tak disukai?
Sepertinya tak ada.
Seiring
berjalannya waktu Nanami tak bisa menghentikan perasaan cintanya pada sosok
itu. Bahkan boleh dibilang, perasaan cinta itu makin membesar. Ia hanya tak tahu
bagaimana cara mengungkapkannya. Hingga yang bisa ia lakukan, hanyalah
memendamnya dan memperhatikan Yano secara diam-diam.
“Bagaimana ulangan matematikamu?” Chizu,
teman yang duduk di sebelah Nanami menanyakan hasil ulangan yang baru dibagikan
beberapa saat yang lalu.
Nanami hanya nyengir.
“Pasti jelek ya?” ia memastikan. Dan
Nanami hanya meletakkan kepalanya di bangku dengan lemas.
“Aku dapat nol,” jawabnya. Chizu
melotot.
“Yang benar?” ia nyaris berteriak. Dan
Nanami kembali mengangguk.
“Aku pasti ikut kelas remidi,” desisnya.
Chizu menepuk-nepuk pundak Nanami.
“Tak apa-apa. Eh, tapi ada yang dapat
nilai 100 lho,”
Nanami mendongak seketika.
“Oh ya? Soal sesulit itu betul semua?”
Chizu mengangguk. “Tuh,” ia menunjuk ke
arah Yuri. Cewek berkacamata yang duduk dua baris di depan Nanami.
“Waah, hebat,” tanpa sadar Nanami
bergumam seraya beranjak menuju bangku cewek tersebut.
“Benar kau dapat nilai 100?” Nanami
langsung bertanya. Yuri mengangguk.
“Bisa ajari aku? Aku benar-benar lemah
di matematika,” Nanami berujar tanpa rasa canggung.
Yuri menatapnya sekilas, lalu
menggeleng.
“Maaf, aku tak bisa. Aku tak pandai
mengajari orang,” jawabnya dingin seraya berdiri, lalu meninggalkan Nanami
sendirian.
Nanami mendesah. Ia sudah menduganya.
Sebenarnya ia tak serius ingin meminta
pertolongan Yuri agar mau mengajarinya. Ia hanya mencari alasan saja agar bisa
mengobrol dengannya. Jujur, selama hampir satu semester sekolah di sini, ia
jarang sekali mendengar suara Yuri. Cewek itu kelewat pendiam. Ia tak pernah ikut mengobrol, ia tak pernah
tertawa, ia bahkan tak punya teman. Setiap hari, ia hanya akan duduk manis di
bangkunya. Kalau toh pergi, mungkin hanya ke kamar mandi atau di suruh guru ke
kantor.
Nanami mengalihkan tatapannya ke arah
Chizu, cewek itu hanya mengangkat bahu.
“Setidaknya aku sudah berusah mengobrol
dan menjadi temannya ‘kan?” ujar Nanami lagi sambil beranjak.
“Mau kemana?” teriak Chizu.
“Menenangkan diri,” jawab Nanami asal.
Ia terus melangkahkan kakinya, menaiki tangga, menuju atap gedung.
***
Nanami
mematung sesaat ketika melihat sosok itu duduk bersandar di pagar pembatas atap
gedung. Pandangan mereka bertemu.
“Hai,” Yano menyapa duluan.
“Hai,” Jawab Nanami. Ia melangkahkan
kakinya mendekati Yano lalu ikut duduk di sampingnya.
“Untuk apa ke sini?” Yano bertanya
terlebih dahulu.
“Menenangkan diri. Kau?”
“Sama,” jawab cowok itu pendek. Dan
pandangan matanya kembali menerawang ke langit biru.
“Aku menenangkan diri karena mendapat
nilai nol di ulangan matematika. Kau? Apa kau juga mendapat nilai nol?”
Yano terkekeh mendengar pertanyaan
Nanami. Ia mengeluarkan kertas lembaran dari sakunya lalu menyodorkannya ke
arah Nanami.
“Lihatlah sendiri, jangan kaget,”
ucapnya.
Nanami meraih kertas lembaran tersebut
dan membukanya dengan tak sabar. Dan ia segera membelalak.
“Kau dapat nilai 100?!” ia memekik. Kali
ini Yano menatapnya, lalu tersenyum.
“Hebat,” desis Nanami. Ia mengembalikan
kertas ulangan tersebut ke arah Yano, lalu kembali menyandarkan punggungnya ke
pagar. Ia mendesah.
Yano menatapnya. “Benar kau dapat nilai
nol?” ia bertanya tak percaya.
Bibir Nanami manyun. Ia mengangguk.
“Well,
remidi di depan mata nih,” ucap Yano
kemudian.
Nanami kembali mengangguk.
“Ganbatte*,” Yano berucap
dengan tulus.
Nanami mengangguk sambil mengucapkan
terima kasih.
Tapi setelah itu, tatapan mata Yano
kembali menerawang ke langit biru. Nanami menatap cowok itu tanpa sadar selama
sekian menit. Ada yang tak beres dengan tatapan matanya. Tatapan matanya
terlihat ‘gelap’. Ada sesuatu yang bergejolak di pikirannya.
“Ada sesuatu?” tanya Nanami. Yano
mengernyit lalu menoleh ke arah Nanami.
“Maksudnya?”
“Kau terlihat ... banyak pikiran,” jawab
Nanami ragu.
Yano kembali tertawa lirih.
“Tentu saja aku banyak pikiran. Bayangkan
saja. Satu, aku murid paling populer di sekolah ini. Dua, hampir setiap hari
aku selalu menerima pengakuan cinta dari para cewek. Tiga, guru matematika kita
selalu saja mencari alasan agar aku mau ikut olimpiade, padahal kamu sendiri
aku tak tertarik. Empat, guru olah raga juga selalu mencari alasan agar aku
bisa ikut kejuaraan atletik. Dan kamu juga tahu, lagi-lagi aku tak tertarik.
Lima, aku benar-benar cowok paling tampan di sini,” jawabnya seraya menghitung
dengan jari-jarinya. Nanami tergelak.
“Apa-apaan itu? Kau terlalu percaya
diri!” teriaknya, tetap dengan tawa kecilnya. Yano ikut tertawa lalu bangkit.
“I’m okay. Thank you karena sudah
bertanya. Semoga berhasil dengan remidinya,” ia beranjak. Menginggalkan Nanami.
“Yano,” panggil Nanami.
Langkah Yano terhenti. Ia berbalik dan
menatap cewek bertubuh mungil tersebut.
“Ya?”
“Jika kau butuh seseorang untuk berbagi,
aku bersedia mendengar keluh kesahmu,” jawab Nanami. Ia sempat merutuk dalam
hati. Sial! Apa yang ku katakan? Yano
punya keluh kesah? Ah, aku terlalu pede!
Yano tertawa lirih.
“Terima kasih. Tapi aku tak punya keluh
kesah apapun untuk dibagi,” jawabnya lalu kembali beranjak meninggalkan Nanami.
Nanami menepuk jidatnya dengan kesal dan
tak berhenti menyesali kalimatnya. Tuh
‘kan? Aku terlalu pede!
***
“Teman-teman,
mulai besok kita akan mulai latihan paduan suara untuk acara festival seni
bulan depan. Jadi, jangan pulang dulu ya. Aku akan membagikan salinan lagu yang
akan kita nyanyikan pada acara itu,” teriak Nanami di depan kelas sambil
membawa segepok tumpukan kertas berisi tangga nada. Sebenarnya ia juga tak bersedia menjadi ketua kelas. Tapi
berdasarkan voting di awal semester, mayoritas rekan-rekannya memilihnya.
Sehingga, mau tak mau, dia harus menerimanya. Sungguh merepotkan!
Nanami
baru saja menyerahkan kertas lembaran pertama pada Yuri, yang kebetulan duduk
di bangku depannya, ketika tiba-tiba saja cewek itu limbung dan ambruk.
Anak-anak berteriak kaget, begitu
Nanami. Dan ia terkesiap ketika tiba-tiba Yano-lah orang pertama yang berlari
ke arah cewek tersebut lalu mengangkat tubuhnya.
“Pasti anemia lagi,” gumamnya.
“Aku akan membawanya ke UKS,” ucapnya
seraya membopong Yuri yang tengah tak sadarkan diri.
Nanami mematung.
Pasti
anemia lagi...
Apa maksudnya itu? Apa semua orang di
sini tahu bahwa Yuri punya anemia? Atau ... hanya Yano saja yang tahu?
“Akan ku bantu,” Reflek Nanami berkata
begitu sambil berlari menyusul Yano.
“Tidak. Kau lanjutkan saja pembagian
kertasnya,” Yano menolak. Dan langkah Nanami terhenti seketika. Dadanya
berdebar, dan ia tak tahu penyebabnya.
***
Nanami
menarik nafas panjang seraya menatap dua lembar kertas catatan lagu di
tangannya. Satu untuk Yano, dan satu untuk Yuri. Sekolah sudah usai, tapi
mereka tak kembali ke kelas. Ketika tadi ia menyusul ke UKS, hanya Yuri yang
masih terbaring di sana sementara Yano entah kemana. Nanami ingin menyerahkan
lembaran Yuri, tapi melihat keadaan cewek itu, ia urung melakukannya. Dan
akhirnya mau tak mau, 2 lembar kertas itu ia bawa kembali.
“Jadi ketua kelas benar-benar
merepotkan. Semester depan aku berhenti, titik,” desisnya sambil terus
melangkahkan kakinya menuju halte bus depan sekolah. Cewek berpipi chubby itu
baru saja hendak duduk di kursi tunggu ketika tatapan matanya melihat sosok cowok
berambut cepak baru saja keluar dari pintu gerbang.
“Take!” Nanami memanggil seraya berlari
menghampirinya.
Takeuchi, atau biasa dipanggil Take
memang berada di kelas yang berbeda dengannya. Tapi ia tahu bahwa ia berteman
baik dengan Yano. Itu lantaran karena selama ini, mereka selalu terlihat
berdua. Baik berangkat, ataupun pulang sekolah.
“Yano mana?”
Take melihat sekeliling.
“Mungkin ... sudah pulang,” jawabnya,
tampak bingung juga seperti dirinya.
“Yaaah,” Nanami mendesis kecewa.
“Ada sesuatu?” Tanya Take.
“Nih,”
Nanami menyodorkan kertas di tangannya. “Tolong kasihkan ini ke Yano ya. Ini
untuk latihan paduan suara. Belum sempat ku kasihkan karena tadi Yuri pingsan
di kelas dan Yano yang membawanya ke UKS. Setelah itu, dia menghilang,” jelas
Nanami.
Take manggut-manggut sambil meraih satu lembar
kertas dari tangannya.
“Oke, nanti ku kasihkan padanya,”
“Trims,” jawab Nanami. “Oke deh, yuk
pulang,” ia beranjak, berlari-lari ke arah bis yang baru datang di halte.
Ketika ia menginjakkan kakinya memasuki bis, ia seakan baru menyadari bahwa
Take berada di belakangnya.
“Oh, kau juga naik bis ini?” ia
bertanya.
Take tersenyum canggung seraya mengangguk.
Nanami manggut-manggut. Dan akhirnya
mereka duduk bersebelahan, tanpa di rencanakan.
“Jadi rumahmu dekat dengan Yano ya?”
tanya Nanami.
Take mengangguk.
“Sejak kapan kalian bersahabat?”
“Sejak kelas 4 SD,”
“Wow, hebat,” Nanami manggut-manggut.
“Take, boleh aku menanyakan sesuatu?”
Nanami terlihat sedikit ragu.
“Apa?” Take balik bertanya.
“Sedekat apa hubungan antara Yano dengan
Yuri?”
Take mengernyitkan keningnya.
“Maksudnya?” ia balik bertanya.
Nanami terdiam sesaat.
“Hubungan di antara mereka terlihat
sedikit aneh. Agak ... canggung. Yuri terlihat sinis pada Yano. Oke, ia memang
tak ramah pada semua orang. Tapi dengan Yano, kesinisannya terasa berlipat
ganda. Sementara Yano, ia seperti tak merasa terganggu sama sekali. Ia selalu
membantu Yuri, tanpa pamrih. Tanpa basa basi. Apakah ... mereka mantan pacar?”
Take tersenyum mendengar pertanyaan
Nanami. Ia menggeleng.
“Bukan. Dulu kami semua satu SMP. Aku,
Yano, dan Yuri,” jawabnya.
Mata bening Nanami melebar.
“Oh ya?”
Take mengangguk.
“Hanya itu?” Nanami tak bisa
menghentikan keingintahuannya.
Take menatap cewek di sampingnya dengan
heran.
“Jadi kau juga belum tahu?”
“Apa?” Nanami berucap bingung.
“Kakak perempuan Yuri adalah mantan pacar
Yano,”
Nanami membelalak. “Heh?”
“Dan dia sudah meninggal sekitar satu
tahun yang lalu, karena kecelakaan,” Take melanjutkan.
Kali ini Nanami benar-benar shock. Ya Tuhan.
***
“Jadi
itu benar, bahwa kakak Yuri adalah mantan pacar Yano yang sudah meninggal sekitar
satu tahun lalu karena kecelakaan?” cerocos Nanami pada Chizu, siang itu di jam
istirahat pertama, ketika mereka makan siang di taman belakang.
Chizu mengangguk seraya menggigit
sepotong sosis dari kotak bekalnya.
“Iya, dia kakak kelas kita,”
Nanami nyaris tersedak.
“Kakak kelas kita?”
Lagi-lagi Chizu mengangguk.
“Waktu itu Yano masih kelas satu,
sementara kak Nana kelas tiga. Beberapa saat sebelum ujian, dia mengalami
kecelakaan lalu lintas,”
Nanami mengernyit.
“Kak siapa? Kak Nana?” ia bertanya
dengan tak percaya. Chizu mengangguk.
“Namanya kak Nana,” Chizu memastikan.
Nanami terdiam. Entah mengapa makanan yang
ada di mulutnya terasa hambar seketika.
Hah,
bahkan namanya pun hampir sama dengan namanya!
“Apa dia cantik?”
Chizu menangkat bahu.
“Entahlah. Aku juga tak begitu tahu.
Tapi kata anak-anak, dia cantik sekali. Dia murid cewek paling populer di
sekolah kita. Kecantikannya belum ada yang bisa menandingi,” penjelasan Chizu
membuat lutut Nanami lemas.
“Eh, kenapa tiba-tiba kau tertarik
tentang Yano?” Chizu menatap sahabatnya dengan penuh selidik. Nanami mendesah
panjang lalu balik menatap Chizu dengan tatapan putus asa.
“Sepertinya aku jatuh cinta padanya,”
jawabnya lirih.
“Hah?! Jatuh cinta pada Yano?!”
Nanami segera beranjak dan membekap
mulut sahabat baiknya tersebut.
“Pelankan suaramu, oke. Ini hanya
rahasia kita berdua, please,” ia memohon.
Chizu manggut-manggut.
“Jangan berteriak,”
Chizu kembali manggut-manggut. Setelah
sepakat, Nanami melepaskan bekapan tangannya.
“Sejak kapan?”
“Sejak pertama kali aku datang ke sini,”
jawab Nanami jujur. Chizu nyaris berteriak, tapi batal karena Nanami melotot ke
arahnya dengan tatapan menusuk.
“Sori,” ia nyengir.
“Tidak apa-apa Nanami. Punya perasaan
pada Yano adalah hal yang wajar di sekolah kita. Kenapa? Karena kamu bukan
satu-satunya cewek yang jatuh cinta padanya. Jadi, kapan kamu akan mengakui
cintamu padanya?”
Nanami menggeleng.
“Belum ada rencana. Sementara seperti
ini saja. Janji jangan bilang siapa-siapa ya,”
Chizu mengangguk mantap. “Percayalah
padaku,” ucapnya.
“Kalau kau penasaran tentang kak Nana,
aku bisa mencari buku tahunan yang ada fotonya. Yaaa, supaya kau tak penasaran
saja tentang kecantikan mantan pacar Yano,”
Nanami melotot girang.
“Mau!” jawabnya cepat.
Chizu hanya bisa garuk-garuk kepala.
***
Kelas
sepi. Pelajaran sudah usai sekitar 15 menit yang lalu. Tapi Nanami masih
mematung di bangkunya sambil menatap buku tahunan yang tergeletak di depannya.
Sesuai janji, Chizu mendapatkannya. Entah bagaimana caranya, tapi ia berhasil
mendapatkan buku itu secara sembunyi-sembunyi. Tapi, buku itu setebal 5 cm.
Dengan total sekitar 300 lulusan, Nanami tak tahu harus mulai dari mana untuk
mencari tahu foto Nana.
Aku
pasti sudah gila karena mau melakukan hal-hal seperti ini! rutuknya dalam
hati.
“Astaga, harus mulai mencari darimana?
Bisa-bisa nanti malam baru selesai,” desis Nanami secara membuka-buka buku itu
secara acak.
“Foto siapa yang ingin kau cari?”
Suara itu membuat jantung Nanami
berlompatan. Ia menoleh dan tampak Yano sudah berdiri di sampingnya.
“Yano? Kenapa kau masih di sini?” Nanami
bertanya, spontan.
“Kau sendiri, kenapa masih di sini?”
Yano beranjak dan duduk di bangku yang berada di depan Nanami.
“Mmm, masih ada urusan sedikit,” cewek
itu nyengir seraya menutup buku tahunan itu dengan buru-buru. Yano terkekeh.
“Foto siapa yang ingin yang kau cari?”
ia bertanya lagi.
Nanami tak segera menjawab. Tapi
akhirnya ia menyerah.
“Kak Nana. Mantan pacarmu. Beritahu aku
yang mana dia,” ucapnya seraya menyodorkan buku tahunan tersebut ke arah Yano.
Yano menatapnya dengan tak mengerti.
“Kenapa kau ingin mencari tahu tentang
dia?”
“Ingin tahu saja. Kau tak berhak
melarangku ‘kan?” jawab Nanami.
Yano menatap buku di tangannya dengan
ragu. Tapi akhirnya, ia meraihnya, membuka beberapa lembar halaman dan dalam
waktu kurang dari 10 detik, ia menunjukkan foto Nana.
“Nih,” ia menunjuk tepat ke arah foto
cewek cantik berambut sebahu, berkulit bersih dan dengan mata bening yang menawan.
Nanami terperangah. Astaga, dia
benar-benar cantik.
“Waaa, dia cantik sekali,” ucapnya tanpa
sadar.
“Aslinya malah lebih cantik,” jawab Yano
bangga. Ia tersenyum. Entah mengapa, Nanami juga ikut tersenyum.
“Apakah dia cinta pertamamu?”
Yano mengangguk. “Ya, aku jatuh cinta
padanya pada pandangan pertama,” jawabnya.
“Siapa yang menyatakan cinta duluan?”
“Aku,” jawab Yano cepat.
“Dan langsung diterima?”
Cowok itu kembali mengangguk.
“Hebat, kalian langsung berpacaran
setelahnya?” Nanami bertanya lagi.
Entah mengapa, obrolan di antara mereka
mengalir begitu saja. Nanami tak berhenti bertanya, sementara Yano juga tak
keberatan menjawab.
“Tidak, karena waktu itu ia punya masih cowok.
Tapi beberapa hari kemudian, aku berhasil menjadikannya pacarku,”
Nanami terkesiap.
“Hah? Maksudmu, kau merebut dia dari
pacarnya?”
“Tentu saja,” jawab Yano lagi, bangga.
“Whoa,
you’re really a bad boy, Yano,” ucap Nanami, tapi tak ada nada
menyindir di sana. Cowok itu tergelak.
“Habisnya, dia benar-benar cantik. Dan
aku sangat menyukainya. Jadi, aku berjuang keras untuk mendapatkannya,”
jawabnya.
Nanami manggut-manggut. Dadanya terasa
sakit. Tapi melihat Yano yang antusias bercerita dengan mata berbinar-binar,
rasa sakit itu seperti tak ada apa-apanya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa
kau ingin tahu soal Nana?” tanya Yano lagi.
Nanami terdiam sesaat.
“Karena sepertinya aku jatuh cinta
padamu, Yano,” jawabnya kemudian, dengan tatapan lurus ke arah cowok di
hadapannya.
Yano tampak tertegun. Tak lama.
Keduanya berpandangan. Hening.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita
pacaran?” ucap Yano kemudian.
Nanami terhenyak.
“Apa kau mencintaiku?” ia bertanya dengan heran.
Yano tak segera menjawab.
“Entahlah, aku tak tahu,” jawabnya.
Nanami terkekeh lirih.
“Jangan pernah mengajak seorang cewek
untuk berpacaran jika kau tak tahu tentang perasaanmu, oke?” ia bangkit lalu
meraih tasnya.
“Sini, biar aku kembalikan bukunya.
Mungkin Chizu meminjamnya dari perpustakaan,” tak lupa meraih buku tahuanan
tersebut dari tangan Yano.
“Kalau begitu, beri waktu padaku untuk
mencari tahu tentang perasaanku padamu,” jawab Yano, enteng. Khas dirinya yang
terkesan cuek dan tak mau repot. Nanami kembali terkekeh.
“Oke,” jawabnya, lalu beranjak
meninggalkan Yano.
Astaga,
obrolan macam ini?
Ia tak berhenti bertanya dalam hati.
***
“Jadi,
kau sudah menyatakan perasaanmu pada Yano?” tanya Chizu ketika sore itu mereka
janjian jalan-jalan di pusat perbelanjaan.
“Ya,” jawab Nanami pendek.
“Dan ... diterima atau ditolak?” Chizu
terus bertanya dengan antusias.
Nanami terus berjalan melewati orang
yang berlalu lalang dengan manyun.
“Tidak dua-duanya. Diterima tidak,
ditolak juga tidak,”
“Heh? Mana ada jawaban seperti itu?”
Chizu menyamai langkah Nanami. Cewek yang hobi menggelung rambutnya itu
mengangkat bahu.
“Kenyataannya memang begitu. Tapi, tak
masalah. Diterima atau ditolak, aku siap dengan dua kemungkinan itu,” jawabnya
cuek. Chizu menatapnya dengan takjub.
“Waaah, kau hebat Nanami. Sekilas kau
memang tampak seperti anak kecil yang lemah dan cengeng. Tapi aslinya, kau
benar-benar tabah dan tegar. Aku benar-benar tak menyangka. Salut buatmu,”
gumamnya. Nanami menatapnya dengan kesal.
“Anak kecil yang lemah dan cengeng?
Mentang-mentang karena tubuhku mungil, begitu?” ujarnya jengkel. Chizu cuma
meringis. Mereka terus berjalan tanpa berhenti melewati kios-kios baju. Tapi
ketika sampai di ujung jalan, seseorang menepuk pundak Nanami. Cewek itu
menoleh, begitu pula Chizu.
“Take?” mereka memanggil bersamaan. Take
tersenyum.
“Tak kusangka akan ketemu kalian di
sini. Jalan-jalan? Belanja?” cerocos cowok tinggi tersebut.
“Nanami sedang bad mood, jadi aku
mengajaknya jalan-jalan?” celetuk Chizu. Nanami melotot ke arahnya.
“Chizu?” ia mendesis jengkel. Yang
dipanggil cuma nyengir.
“Bad mood? Kenapa? Aku sedang berkumpul
dengan teman-teman SMP-ku. Tuh, di kafe sebelah. Yano juga ada. Mau gabung?”
Take menunjuk ke arah Kafe di seberang jalan.
“Mau!” jawab Chizu cepat. Nanami
mendelik. Tapi, akhirnya ia memang ikut bergabung dengan teman-teman Take.
Ketika sampai di
kafe yang dimaksud, beberapa anak muda berkumpul di sana, di bangku dekat
jendela. Laki-laki dan juga perempuan. Yano ada di antara mereka. Ketika
melihat kedatangan Nanami, cowok itu bersikap biasa dan tenang. Ia hanya
tersenyum sekilas, lalu kembali asyik mengobrol dengan teman-temannya.
“Mereka Nanami dan ...” Take melirik ke
arah Chizu.
“Chizu,” jawab cewek tersebut.
“Oh ya, Nanami dan Chizu. Mereka sekelas
dengan Yano,” akhirnya, Take lah yang memperkenalkan mereka. Nanami dan Chizu
tersenyum canggung.
”Sekelas dengan Yano? Berarti kamu juga
sekelas dengan Yuri ‘kan?” cewek berambut panjang yang duduk di samping Yano
bertanya dengan antusias. Nanami mengangguk.
“Dia aneh ‘kan?” ia terus berucap dengan
antusias.
Nanami mengernyit.
“Tak usah kaget. Dulu kami ‘kan satu
SMP. Jadi kami sudah hafal seperti apa Yuri itu. Dia anak paling aneh di
sekolah kami. Dan aku yakin dia juga akan terus aneh sampai tua. Dulu waktu
kami kerap menyebutnya patung hantu, karena yang ia lakukan hanyalah duduk diam
tak bersuara. Dia juga seperti alien, ya ‘kan?” cewek itu tertawa.
Nanami menatapnya dengan jijik. Ia
paling tak suka jika seseorang membicarakan kejelakan orang lain.
“Iya, dia benar-benar berbeda dengan
Nana. Nana orangnya cantik bagaikan dewi. Ia ramah, mudah bergaul, punya banyak
teman. Sementara Yuri, aduh, mungkin cewek itu akan jadi perawan tua sampai
mati,” sahut teman yang satunya.
“Cukup!” Nanami berteriak.
Mereka terdiam sesaat lalu menatap
Nanami dengan kaget.
“Kalian bilang kalian satu SMP, mestinya
kalian berteman ‘kan? Lalu kenapa kalian menjelek-jelekkan dia?” ucap Nanami
geram.
“Hei, kenapa kau marah? Asal kau tahu,
kami lebih lama menganal Yuri daripada kau. Jadi kami tahu betul kalau Yuri
memang aneh. Dia cewek paling jelek di sekolah kami, dan semua orang tahu itu!”
“Aku tidak berurusan dengan kekurangan-kekurangan
Yuri. Tapi setidaknya kau tidak menjelek-jelekkan orang lain. Itu menyedihkan
tahu?” Nanami terus membantah.
Perdebatan di antara mereka terhenti
ketika tiba-tiba Yano tertawa ngakak.
“Astaga, apa yang kalian ributkan, wahai
para cewek? Jangan terlalu serius. Yuri memang begitu sejak dulu. Dan Nana, ah,
yang mati ya mati saja. Tak perlu dibicarakan lagi. Nanti dia bisa jadi hantu,”
ucapnya. Dan ia kembali tertawa.
Nanami menatapnya dengan tajam. Dan ...
brakkk!
Reflek ia mengayunkan tasnya ke kepala
Yano. Tawa cowok itu terhenti. Dia mengaduh kesakitan.
“Hei, apa yang kau lakukan, Nanami?!”
teriaknya. Nanami melotot.
“Kau ... brengsek!” teriaknya seraya
bangkit lalu berlari keluar kafe, tanpa menghiraukan panggilan Chizu.
Sejak dulu, Nanami tidak suka jika
mendengar seseorang menjelek-jelakkan orang lain. Mungkin Yuri memang aneh.
Tapi tak seharusnya mereka mengolok-oloknya seperti itu. Mengatakan ia cewek
paling jelek di sekolahnya? Cih, mereka bahkan juga tidak cantik. Dan Yano,
bagaimana bisa ia bicara tak sopan tentang Nana? Bagaimanapun, Nana sudah
meninggal. Tak seharusnya ia bicara secara enteng seperti itu. Dasar orang tak punya rasa empati!
Nanami
mematung di halte bis. Ia menatap tas tangannya yang terbuka lalu mendesah. Dompetnya
ketinggalan! Pasti dompet itu terjatuh di kafe ketika ia memukul kepala Yano
dengan tas nya tadi! Oh, bagaimana ini?
Ia merutuki kecerobohannya sendiri.
Harusnya ia tak perlu susah-susah mengurusi urusan orang lain! Desisnya.
Karena tak punya pilihan lain, Nanami
memutuskan untuk kembali ke kafe. Ia tak mungkin pulang tanpa dompetnya.
Seluruh uangnya ada di sana.
Tapi cewek itu kembali mematung ketika
ia melihat sosok itu. Yano tengah berjalan ke arahnya. Dengan dompet pink di
genggaman tangannya.
“Dompetmu,” ucap cowok itu ketika mereka
sudah berhadapan. Nanami menerima dompet tersebut tanpa berkata-kata.
Bagaimanapun ia masih marah. Dan ia takkan mau mengucapkan kata terima kasih.
“Kau cewek pertama yang berani
mengataiku brengsek,” ia berucap dengan senyum di bibirnya. Nanami menatapnya
sinis.
“Oh ya? Kalau begitu akan ku katakan
ratusan kali agar kau tahu bahwa kau memang brengsek!” teriak Nanami.
“Dan karena kau cowok brengsek, ku tarik
kembali kata-kataku. Aku tak jadi mencintaimu, dengar?” lanjut Nanami.
Yano menatapnya dalam. Hening sesaat.
Nanami ingin kembali memaki, tapi tatapan gelap Yano seakan mengunci bibirnya.
“Pacarku berselingkuh dariku. Ketika ia
meninggal, ia sedang pergi dengan cowoknya yang lain. Mereka mengalami
kecelakaan mobil dan meninggal bersama,” Yano membuka suara.
Nanami tercengang. Apa cowok itu sedang
menceritakan Nana?
“Kak Nana?” tanpa sadar Nanami mendesis.
Yano mengangguk samar.
“Tapi itu bukan salahnya. Itu salahku.
Jika pacarku selingkuh, itu artinya aku tak memperlakukannya dengan baik
sehingga ia mencari cowok lain yang lebih baik dariku. Ya ‘kan?” ia seperti
bertanya pada dirinya sendiri.
Nanami terdiam. Kenapa ia menceritakan ini padaku? Aku harus bilang apa?
“Dan ibuku... Dia melahirkanku ketika
usianya baru 19 tahun dan ... belum menikah. Dia berselingkuh dengan seorang
pria beristri. Awalnya ia menggunakan kehamilannya untuk menekan pria itu agar
bercerai dengan istrinya. Tapi ternyata cara itu tak berhasil. Mereka tak
bercerai. Hingga akhirnya, ibuku terpaksa melahirkanku sendirian. Istilah
lainnya adalah ... aku anak haram,” Yano kembali melanjutkan kata-katanya.
Tenggorokan Nanami tercekat. Ia tak tahu
harus berkata apa. Kenapa ia menceritakan semua ini sekarang? Kenapa? Ia benar-benar
tak mengerti.
“Jadi... apakah kau masih ingin menarik
kata-katamu kemarin? Kau ingin membatalkan pengakuan cintamu padaku?” tatapan
mata Yano tampak gelap. Seakan tak bernyawa.
Nanami merasakan darahnya berdesir. Membatalkan
rasa cintanya pada Yano? Hah, itu hal yang tak mungin ia lakukan. Ia bahkan
sudah jatuh cinta pada cowok itu tanpa mengetahui namanya. Dan sekarang, bahkan
ketika ia menceritakan sisi kelam dalam dirinya, cinta itu takkan bisa ia
hapuskan.
Akhirnya tanpa berpikir dua kali, cewek
itu melangkah maju mendekati Yano lalu membalas menatap mata itu dengan dalam.
Dan dengan tegas akhirnya ia menjawab : “Tidak,”
***
Bersambung....
Catatan
:
Yano
Motoharu à baca huruf ‘O’ seperti membaca kata ‘foto’...
Ganbatte
: berjuanglah / berusahalah / semoga berhasil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar