“Jadiii,
sekarang kau pacaran dengan Yano, begitu?” Chizu menatap Nanami dengan penuh
selidik. Yang ditanya cuma nyengir sambil garuk-garuk kepala.
“Sepertinya ... begitu,” jawabnya,
bingung.
“Sepertinya
begitu? Maksudnya bagaimana sih?” Chizu terlihat tak sabar.
“Mmm, gimana ya? Mestinya sih iya, tapi
....” kalimat Nanami terhenti. Ya, sejak kejadian semalam, mestinya mereka
sudah resmi jadian. Tapi, Yano tak mengatakan apapun setelahnya. Setelah mereka
pulang bersama, bahkan ketika Nanami sudah di rumah, dan juga tadi pagi, Yano
tak mengatakan apapun walau hanya lewat pesan singkat. Bukankah sepasang
kekasih seharusnya bersikap manis? Rajin mengirimkan sms walau hanya sekedar
mengucapkan salam?
Bukankah sebelum tidur seharusnya ia
menerima pesan singkat berbunyi : selamat
malam sayang... Hal yang biasa di lakukan teman-temannya yang punya
kekasih. Ya ‘kan? Seharusnya begitu ‘kan? Tapi ....
“Tapi bagaimana kau tahu kalau kami
berpacaran?” tanya Nanami kemudian. Chizu dan Mizuhara berpandangan. Kesal.
“Ya ampun, Nanami. Semua orang juga
sudah tahu hal itu. Yano menyatakan perasaannya ketika pesta api unggun dan
semua melihatnya. Memangnya kau pikir waktu itu tak ada orang. Kami semua juga
melihat ketika ia menggenggam erat tanganmu lalu ... menciummu,”
“Hah,” Nanami nyaris terjungkal dari
kursinya. Oh, sialan. Benar juga!
Semalam, setelah Yano mengungkapkan
perasaannya, dan ia membalas dengan anggukan, cowok itu meraih tangannya,
menggenggamnya dengan erat kemudian ... ia mencium bibirnya!
“Oh tidaaaakkk! Maksudmu, ada yang
melihat kami berciuman?!” Nanami memekik.
“Sebagian siswa melihatnya, kalau kau
mau tahu persisnya,” Mizuhara mengoreksi.
Nanami menelangkupkan tangan di pipinya.
Mukanya merah padam karena malu.
“Oh, ini memalukan sekali,” desisnya.
Berciuman di depan banyak siswa, mereka bahkan baru kelas 2 SMA!
“Dan kalau kau mau tahu, ini sudah jadi
trending topic di sekolah kita,” Mizuhara menambahkan. Nanami mendesah, ia
melipat tangannya di meja lalu menyembunyikan wajahnya.
Hampir semua siswa menyaksikannya
berciuman dengan cowok paling populer di sekolah? Bagaimana kalau Yano hanya
main-main? Atau sekedar taruhan? Hal yang biasa ia temui di drama-drama korea. Aduh, bagaimana ini?
Ditengah-tengah meratapi pikirannya yang
campur aduk, tiba-tiba ia merasakan seseorang menyentuh kepalanya dengan
lembut.
“Kau sakit?”
Suara itu, suara Yano!
Nanami mendongak. Dan itu memang benar
dia. Ia menatap sekelilingnya, mencoba mencari Chizu dan Mizuhara yang tadi
bersamanya tapi mereka tak ada. Yang ada hanyalah dia dan ... Yano.
“Chizu dan Mizuhara? Tuh,” Yano menunjuk
ke luar jendela. Ternyata 2 sahabatnya itu sudah berdiri di luar kelas, menatap
ke arahnya sambil melambaikan tangannya. Ia melihat Chizu komat-kamit.
“Selamat
berpacaran. Kami pergi dulu,” dan mereka benar-benar pergi.
“Jadi, ada apa denganmu? Kau sakit?”
Yano kembali mengulangi pertanyaanya. Ia duduk si bangku di depan Nanami.
Nanami menggeleng.
“Yakin? Sejak kau datang aku melihatmu
tak bersemangat. Apa kau kurang tidur?”
Nanami hanya terkekeh bingung mendengar
pertanyaan Yano. Kurang tidur? Well, jika mau jujur, iya. Semalam ia tak bisa
tidur sama sekali setelah Yano mengungkapkan cintanya, dan setelah mereka
berciuman. Bagaimanapun juga ini hal baru baginya.
“Aku baik-baik saja,” jawab Nanami
kemudian.
Yano merapikan rambut Nanami yang
berjuntaian lalu menyelipkan ke belakang telinganya. Tindakan sederhana itu
tetap saja membuat jantung Nanami berdebaran.
“Nanti sore, jam 4. Aku ingin mengajakmu
jalan-jalan dan nonton film,” ucapnya.
“Jalan-jalan dan nonton film? Sepulang
sekolah?”
Yano mengangguk.
“Kencan pertama kita,” jawabnya. Ia
tersenyum.
Nanami merasakan kakinya tak berpijak
lagi di lantai. Ia bahagia luar biasa. Kencan.
Nah, sekarang ia tahu status hubungannya dengan Yano. Mereka adalah sepasang
kekasih.
***
Mereka
menghabiskan sore hari itu dengan menonton film kemudian berjalan-jalan di
taman.
“Kencan pertama kita mestinya aku
berdandan lebih cantik. Ini, malah pakai seragam sekolah,” Nanami setengah
menggerutu. Yano tertawa sambil terus menggenggam tangan cewek tersebut.
“Pacaran memakai seragam sekolah itu
seru. Tidak akan bisa terulang lagi kalau kita sudah tua,” jawab Yano. Nanami
manyun.
“Lagipula, jam 8 nanti aku harus kerja
paruh waktu di sebuah mini market. Jadi, kita hanya bisa melakukan kencan
sepulang sekolah,” cowok itu menambahkan. Nanami manggut-manggut.
“Kau lelah?”
“Sedikit,” jawab Nanami.
“Kalau begitu kita duduk di sana dulu,”
Yano mengajaknya duduk di sebuah bangku di taman.
“Akan kubelikan minuman,” Yano sudah
ngacir sebelum Nanami sempat mengatakan apapun. Beberapa saat kemudian ia kembali
membawa 2 kaleng minuman lalu memberikan yang satunya kepada Nanami.
“Kenapa sikapmu sekarang berbeda?”
Yano mengernyitkan dahinya. “Maksudnya?”
ia balik bertanya.
“Biasanya kau sering mendebatku. Kita
sering berselisih pendapat dan kau suka berteriak-terika padaku. Kau juga
sering menggodaku dan juga mencandai aku. Bahkan, sepertinya kita lebih sering
bertengkar. Tapi sekarang, sikapmu manis. Kau berbicara lembut padaku, dan kau
juga sangat perhatian padaku. Kenapa?” tanya Nanami bingung.
Yano tertawa.
“Kau yang aneh, Nanami. Memperlakukan
sahabat dan pacar itu berbeda. Kemarin kita masih bersahabat, jadi sikapku ya
selayaknya sahabat. Tapi sekarang kau pacarku, aku harus bersikap lebih baik
padamu,” jawab Yano. Ia meraih tangan Nanami lalu kembali menggenggamnya erat.
“Mari kita jalani ini pelan-pelan,
Nanami. Mari kita saling memperhatikan dan lebih mengenal satu sama lain. Aku
akan selalu berusaha memperlakukanmu dengan baik, oke?”
Nanami tersenyum. Ia mengangguk.
“Ow, ada lagi. Ini, hanya bisa dilakukan
pada pacar, bukan pada sahabat,” tiba-tiba saja Yano mendekat lalu mencium
bibir Nanami dengan ringan. Nanami tersentak kaget.
“Yano, banyak orang melihat,” gerutunya.
Pipinya segera bersemu merah.
Yano nyengir, penuh kemenangan.
“Kau makin cantik kalau merona seperti
itu,” cetusnya. Bibir Nanami mengerut sebal.
***
Lapangan
futsal yang biasanya ramai oleh anak-anak yang latihan kini makin ramai ketika
Yano datang dengan membawa sekarung barang-barang bekas.
“Eh, apa-apaan kau? Apa sekarang kau
sudah ganti profesi jadi pedagang barang loak?” celetuk Shota. Yano meringis.
“Barang-barang ini sudah tak terpakai.
Jadi aku berniat menjualnya. Lumayan, uangnya bisa kugunakan untuk membeli
barang yang lebih baru,” jawabnya seraya menumpahkan semua isi karung tersebut.
Ada sepatu bekas, sandal bekas, kaos bekas, celana bekas, topi bekas, beberapa
buku bekas, bahkan beberapa mainan bekas.
Teman-temannya melongo, namun begitu mereka
segera mengerubunginya dengan antusias.
"Diobral! Diobral! Mari sini,
silahkan lihat, silahkan beli. Di jamin, barang-barang ini kualitasnya masih
bagus. Lihat saja kalau tidak percaya. Harganya
murah-murah kok,” teriaknya.
Takeuchi menatapnya dengan heran.
“Ada apa denganmu?” tanyanya bingung.
Yano tersenyum.
“Aku ingin membeli sesuatu untuk Nanami.
Tapi tabunganku tak cukup. Jadi aku melakukan cara ini,” bisiknya.
Take manggut-manggut.
“Oke, kalau begitu aku beli yang ini.
Berapa harganya?” Ia meraih sepatu olah raga berwarna biru kusam, namun masih
terlihat lumayan bagus. Diluar dugaan, Yano malah meraihnya kembali.
“Tidak. Semua orang di sini boleh membeli
barang-barangku, tapi kau tidak,” ia meletakkan kembali sepatu tersebut di
tempatnya semula.
“Kenapa?” Take bertanya bingung.
“Aku menolak menerima uang darimu karena
kau sering bilang bahwa Nanami cantik,” jawab Yano. Take menggaruk-garuk
kepalanya, masih bingung.
“Lantas?” ujarnya. Yano menyipitkan
matanya dan menatap Take dengan dalam.
“Aku tidak suka ada cowok lain yang
memuji Nanami. Dia pacarku, jadi akulah satu-satunya pria yang boleh mengatakan
dia cantik,” jawabnya bangga.
Take tergelak.
“Kau kekanak-kanakan, Yano. Kenyataanya
Nanami memang cantik, manis, imut dan ...”
“Stop! Nah ‘kan? Kau mengulanginya lagi.
Silahkan mundur 2 langkah tuan Takeuchi, atau aku terpaksa melemparmu dengan
sepatu,” ujar Yano lagi.
“Ha?” Take melongo. Yano bersedekap
dengan angkuh. “Aku serius,” ia melanjutkan.
Mau tak mau Takeuchi mundur dua langkah.
“Kau tidak adil. Yang sering mengatakan
Nanami cantik bukan aku saja. Mereka juga sering bilang begitu kok. Ya ‘kan?”
Take menunjuk ke arah sahabat-sahabatnya yang lain. Shota, Kenta, Akira, dan
juga anggota tim futsal lainnya. Yano juga menoleh ke arah mereka.
“Beee-naaarr-kaaaah?” Alis mata Yano
terangkat dan ia bertanya dengan gigi terkatub. Mereka cuma meringis.
“Ti-tidak. Kami tidak pernah mengatakan
apa-apa soal Nanami, percayalah,” mereka menjawab kompak.
Take melotot.
“Shota! Baru tadi pagi ‘kan kau bilang
bahwa Nanami makin cantik?!” Take kembali berteriak. Shota meringis. Ia
menggeleng.
“Aku tidak bilang begitu,” jawabnya.
Take mendengus. Yano kembali menatapnya.
“Kau pembohong besar tuan Takeuchi,”
desisnya.
Take menatapnya jengkel.
“Aku tidak bohong. Akhir-akhir ini
mereka sering membicarakan Nanami. Mereka bilang, semakin hari Nanami semakin
cantik,” jawabnya. Yano mendesis.
“Aku nggak percaya,”
“Terserah,”
“Dan aku tidak suka kau masih menyimpan
foto Nanami. Itu, foto yang memaki yukata.
Aku sudah memintamu menghapusnya ‘kan? Tapi kau tetap saja menyimpannya,”
gerutunya.
“Itu, sebagai file cadangan. Siapa tahu
file yang ada di hapemu terhapus, makanya yang ada dihapeku kubiarkan saja,”
Take ngotot.
“Bohong,” Yano manyun.
“Terserah. Terserah lagi deh,”
“Pokoknya kau tak boleh membeli
barang-barangku, titik,” kata Yano lagi, tegas, lalu kembali menawarkan
barang-barang dagangannya pada temannya yang lain.
Take berkacak pinggang dengan kesal.
Tapi selanjutnya ia terkekeh. Begitulah Yano, sahabat terbaiknya sejak SD.
Terkadang ia ceria, terkadang ia kasar, terkadang ia begitu kekanak-kanakan.
Tapi ia tahu dengan pasti, Yano hanyalah seorang anak laki-laki yang membutuhkan
limpahan kasih sayang dari banyak orang, termasuk dari dirinya.
***
Nanami
menatap kotak perhiasan berisi cincin perak bermotif bunga semanggi yang
disodorkan Yano ke arahnya. Kedua mata cewek itu berkaca-kaca.
“Ini pemberian pertama dariku. Aku sudah
melihat ukuran jemarimu. Pasti pas. Semoga kau suka,” ucap Yano tulus, lalu
memaikan cincin itu ke jari manis Nanami.
“Tuh, pas ‘kan?”
Nanami menatap cincin itu di jari
manisnya. Sebuah cincin sederhana yang sangat cantik.
“Kau senang?” tanya Yano lagi.
Nanami mengangguk. Air matanya menitik
tanpa bisa ia bendung. Kemudian cewek itu menghambur ke arah Yano, lalu
memeluknya erat.
“Terima kasih. Aku senang sekali,”
ucapnya lirih.
***
“Take!”
Nanami melambaikan tangan ke arah pemuda jangkung yang tengah berlari-lari
kecil ke arahnya.
“Maaf aku terlambat. Aku baru tahu pesan
singkatmu beberapa waktu yang lalu,” jawab Takeuchi dengan nafas
terengah-engah. Ia menyapu butiran keringat di keningnya.
“Aku yang harus minta maaf, Take. Karena
sepertinya kali ini aku akan sangat merepotkanmu. Minum dulu, nih,” Nanami
menyodorkan sekaleng minuman dingin yang sudah sejak tadi ia bawa ke arah Take.
Take menerimanya dengan senang lalu
segera membukanya dan menenggaknya hingga tersisa separo.
“Trims,” ucapnya kemudian setelah
dahaganya hilang. “Jadi, ada apa kau memanggilku ke sini?” tanyanya kemudian.
Nanami tersenyum.
“Nih, coba lihat,” ia memamerkan cincin
bermotif daun semanggi yang melingkar di jari manisnya. Take menatapnya
seksama. Ia tahu cincin perak itu tidak murah.
“Yano memberikan ini. Kejutan. Cantik
‘kan?” ucap Nanami lagi.
Bibir Take berdecak kagum. Pemuda itu
manggut-manggut. Jadi beberapa hari yang
lalu Yano menjual barang-barang bekas untuk membelikan Nanami ini? ucapnya
dalam hati.
“Cantik, kau cocok memakainya,” puji
Take. Dan ia tak bohong.
“Terima kasih,” jawab Nanami senang.
“Dan apa hubungannya kau memintaku ke
sini?” tanya Take lagi.
“Aku ingin memberi kejutan pada Yano.
Aku ingin membelikannya sesuatu. Tapi aku tak tahu benda apa yang ia suka dan
yang paling ia butuhkan saat ini. Jadi, aku meminta bantuanmu untuk membantuku
memilih. Kau lama mengenalnya, tentu kau tahu benda apa yang paling ia suka,”
jawab Nanami.
Take mengernyit.
“Dengan kata lain, kau ingin mengajakku
belanja?” ia bertanya ragu.
Nanami mengangguk.
“Jalan-jalan dan belanja, lebih
tepatnya,” ia menambahkan.
Take menggaruk-garuk kepalanya yang tak
gatal.
“Entahlah, tapi mengajakku jalan-jalan
dan belanja, sepertinya bukan ide yang baik,” jawabnya.
“Kenapa?” pertanyaan Nanami terdengar
kecewa.
“Jika Yano tahu kita jalan berduaan, dia
pasti menghabisiku,” jawab Take kemudian. Nanami tertawa.
“Mana mungkin? Kalian ‘kan bersahabat
baik. Dia tidak mungkin cemburu padamu. Yano memang sedikit kekanak-kanakan,
tapi ...”
“Tidak hanya sedikit, Nanami. Jika menyangkut dirimu, dia selalu kekanak-kanakan. Bahkan, sangat
kekanak-kanakan,” potong Take.
Nanami kembali tertawa.
“Baiklah, baiklah. Hanya sebentar saja.
Kalau Yano tahu dan marah, biar aku yang jelaskan. Oke?”
Take meringis.
“Oke,” jawabnya kemudian. Dan segera
mereka berdua beranjak, menuju kawasan pertokoan yang membentang di belakang
mereka.
***
Chizu
dan Mizuhara menatap Nanami dengan tatapan penuh selidik.
“Apakah ini hanya perasaan kami saja
atau memang benar bahwa sejak kemarin kau dan Yano tak bertegur sapa?” Mizuhara
bertanya duluan.
Nanami duduk merosot di kursinya.
“Kalian benar. Sejak kemarin kami memang
tak bertegur sapa,” jawabnya.
“Kenapa?” mereka bertanya hampir
bersamaan.
Nanami mengangkat bahu. Ia sendiri tak
tahu alasannya. Sejak kemarin, ia memang
dicuekin olehnya.
Biasanya setiap
pagi, Yano akan menyapanya dengan riang sambil mengelus kepalanya dengan manja.
Tapi kemarin tidak, pagi ini juga tidak. Setiap hari cowok itu akan selalu
punya cara agar bisa berdekatan dengannya, duduk di sampingnya, atau hanya
sekedar berada di sisinya. Tapi sejak kemarin, Yano tetap duduk dengan tenang
di bangkunya sendiri, bangku paling ujung sebelah kanan, bagian depan. Hari ini
juga begitu, bahkan sampai istirahat jam terakhir. Ia bahkan tak mencuri-curi
pandang ke arahnya, hal yang senantiasa ia lakukan selama beberapa bulan ini,
sejak mereka resmi jadian.
Biasanya
sepulang sekolah, mereka akan pulang bareng sembari bergandengan tangan sampai
halte bis, dan terkadang Yano mengantarkannya pulang walau rumah mereka tak
searah. Tapi kemarin, untuk pertama kalinya aktivitas itu tak mereka lakukan.
Yano pulang dulu, begitu saja. Tanpa mengatakan apapun padanya. Tadi pagi
Nanami sudah mencoba menyapanya dulu, tapi Yano tak mengatakan sepatah katapun.
“Aku tak tahu
apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ia menolak berbicara denganku,” jawab Nanami
kemudian seraya melirik ke arah bungkusan di dalam tas-nya. Sebuah hadiah yang
dibungkus indah dengan kertas kado warna biru muda. Sebenarnya ia ingin
memberikannya sejak kemarin, tapi suasana hati Yano yang tidak bagus membuatnya
urung memberikannya.
“Ingin kami berbicara dengannya?” Chizu
dan Mizuhara bertanya hampir bersamaan.
Nanami menatap mereka dengan tegas.
“Tidak, biar aku saja yang berbicara
sendiri dengannya,” Nanami bangkit. Tapi ketika ia berbalik, tanpa sengaja ia
bertabrakan dengan Yuri yang tengah membawa setumpuk buku, entah buku apa. Yuri
terjatuh dan buku-buku itu berserakan.
“Yuri, maaf, aku tak sengaja,” Ucap
Nanami penuh penyesalan. Ia segera berjongkok dan membantu memungut buku-buku
tersebut lalu menyerahkannya ke arah Yuri.
“Jangan terlalu senang karena telah
menjadi pacar Yano. Kau hanyalah pengganti kakak-ku,” kalimat yang meluncur
dari mulut Yuri terdengar dingin. Cewek berkaca mata itu bahkan mengucapkannya
tanpa melihat ke arah Nanami.
Nanami menatapnya bingung.
“Yuri, kata-katamu itu keterlaluan!”
teriak Chizu.
Yuri bangkit, lalu berlalu begitu saja.
Nanami mematung.
“Ah, Nanami. Sudahlah, jangan diambil
hati. Yuukk, kita cari saja Yano,” Mizuhara membantu Nanami bangkit.
“Tidak, aku mau duduk dulu,” jawab
Nanami lalu kembali ke tempat duduknya semula.
Cewek itu kembali terdiam.
Pengganti
kakak-ku...
Pengganti
Nana...
***
“Yano!
Berhenti!” Nanami belari-lari kecil mengejar Yano. Cowok itu berhenti, menatap
Nanami sekilas, lalu kembali melangkah lagi.
“Aku bilang berhenti!” Nanami kembali
berlari lalu menarik lengan tangannya. Hingga mau tak mau, langkah Yano
berhenti, menatapnya sekilas, lalu kembali membuang pandangannya seolah-olah
Nanami adalah benda menjijikkan.
“Ada apa denganmu? Kenapa kau menolak
berbicara denganku?” tanya Nanami.
“Aku hanya sedang marah padamu,” jawab
Yano, lagi-lagi tanpa melihat ke arah cewek di hadapannya.
Nanami melepaskan pegangan tangannya,
mundur beberapa langkah, lalu melipat tangannya di dada dengan angkuh.
“Jelaskan padaku kenapa kau marah
padaku,” ucapnya, tegas.
Kali ini Yano menatapnya.
“Karena kau keluar jalan-jalan dengan
Take tanpa sepengetahuanku,” jawabnya kemudian.
“Ha?” Nanami melongo.
“Aku mengawasimu. Jadi aku tahu kau
keluar dengannya secara diam-diam tanpa memberitahuku,”
“Itu tidak seperti yang kau pikirkan,”
“Aku tak peduli apa yang terjadi. Tapi
tetap saja aku tak suka jika kau keluar dengan cowok lain di belakangku,”
“Tapi Take ‘kan sahabatmu? Mestinya kau
percaya padanya, percaya padaku,” jawa Nanami kesal.
“Ini bukan masalah percaya atau tidak,
Nanami. Kenyataannya kau bohong padaku. Kau keluar jalan-jalan dengan cowok
lain tanpa sepengetahuanku. Bagaimana jika aku yang melakukannya, kau pasti
marah ‘kan?”
“Oke, aku minta maaf jika itu telah
menyakitimu perasaanmu. Tapi kami hanya keluar jalan-jalan sebentar untuk
membeli sesuatu,”
“Kenapa kau mengajaknya? Kenapa bukan
aku?”
“Karena ....” Nanami bingung harus
menjawab apa.
“Tak bisa jawab ‘kan? Dasar pembohong,”
Yano kembali beranjak. Ia melangkahkan meninggalkan Nanami.
“Yano!” panggil Nanami. Tapi cowok itu
tak menggubris. Nanami menggigit bibirnya kesal. Ia mengambil bungkusan kado
dari dalam tasnya lalu melemparkannya ke arah Yano. Dan tepat mengenai
kepalanya.
Yano mengaduh kesakitan seraya memegangi
kepalanya. Ia menoleh, menatap ke arah Nanami, lalu ke arah bungkusan kado yang
tergeletak di bawahnya.
“Hadiah untukmu! Baka*!” teriak Nanami.
“Aku ingin memberikan kejutan untukmu.
Membelikanmu sesuatu yang paling kamu butuhkan. Aku sengaja mengajak Take
karena ia lebih mengenalmu. Ia tahu benda apa yang paling kamu butuhkan, itu
saja!” teriak Nanami.
“Dan jika ada yang membuatmu marah,
bicaralah langsung padaku! Aku berhak mendapatkan penjelasan! Mendiamkanku
tidak akan menyelesaikan masalah! Dan aku benci kau diamkan seperti ini!”
teriak Nanami lagi. Kedua matanya berkaca-kaca. Lalu ia barbalik, meninggalkan
Yano.
Yano tertegun sesaat.
“Nana, tunggu!” panggilnya.
Langkah Nanami terhenti. Ia berbalik dan
menatap Yano dengan tajam.
“Nanami! Aku, Nanami! Bukan Nana!!” teriaknya.
Dan air matanya menitik. Sebelum Yano sempat berkata apa-apa lagi, cewek itu
berlari meninggalkannya.
***
Bersambung....
Baka
: Idiot / bodoh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar