Bab 7
Pintu terbuka dan Richard membelalak menyaksikan Anne sudah
berada di depan pintu kamar hotelnya. Ia masih menggunakan baju kerja yang
biasa ia gunakan ketika di kantor dan rambutnya yang tersanggul mulai
berantakan dan berjuntaian kemana-mana.
“Anne? Kau di sini? Malam-malam
begini?” tanya Richard dengan tak sabar. Anne
melirik arloji di pergelangan tangannya.
“Baru jam setengah satu. Belum terlalu malam,” jawabnya enteng.
“Ini
jam setengah satu malam, Anne,” desis Richard.
“Aku__mencarimu,” jawab Anne.
Richard menatapnya dengan
dalam.
“Darimana kau tahu aku di
sini?” tanyanya lagi.
“Aku mendatangi setiap hotel
di kota ini satu persatu. Puas?”
Lelaki itu kembali terhenyak.
“Untuk apa kau melakukannya?”
ia setengah berteriak.
“Tidakkah kau ingin menyuruhku
masuk?” tanya Anne. Dan tanpa menunggu jawaban dari Richard, perempuan itu segera menyeruak masuk
ke kamar hotel tanpa menghiraukan
halauan tangan lelaki tersebut.
“Kau belum menjawab
pertanyaanku. Kenapa kau harus melakukannya?” Richard mengulangi pertanyaannya
setelah terlebih dahulu menutup pintu.
Anne menarik nafas panjang. Ia
melipat kedua lengan tangannya di dada lalu menatap Richard dengan dalam.
“Aku sudah mendengar masalah
yang menimpa kau dan Hilda. Dan__,”
“Bagaimana kau bisa tahu
secepat itu? Apa berita ini sudah tersiar di surat kabar?” nada suara Richard
terdengar kesal.
“Aku bertemu langsung dan
berbicara dengan Hilda. Dia menceritakan semuanya padaku,”
“Menceritakan bahwa kami akan
bercerai?”
Anne mengangguk.
“Sejak kapan kalian mulai
akrab hingga harus berbagi cerita seperti ini?” Richard terkekeh sinis.
“Itu tak penting,”
“Lantas? apa yang ingin kau lakukan? Melihat
kehancuranku? Memastikan bahwa aku sudah cukup menderita dengan perceraian ini?
Kau puas sekarang?”
Anne melotot.
“Apa maksudmu? Aku tidak
pernah berpikir seperti itu!” teriaknya.
“Oh ya? Tidakkah kau berpikir bahwa kita impas sekarang?
Dulu aku menyakitimu dengan meniggalkan dirimu demi Hilda. Dan nyatanya,
pernikahanku selama ini tak bahagia sama sekali. Kami bahkan akan segera
bercerai. Happy?”
Ucap Richard sinis seraya
menyandarkan tubuhnya di tembok tanpa melepaskan pandangannya dari Anne.
Perempuan itu mendesah kesal.
“Apa kau gila? Bagaimana
mungkin aku berpikir seperti itu? Setidaknya__untuk saat ini,”
“Jadi, kau sempat berharap
begitu ‘kan?”
“Iya, tapi itu dulu, setelah
kau meninggalkanku. Aku bahkan sempat berharap agar kau di sambar petir karena
telah melukai hatiku. Aku juga berharap bahwa kau tidak akan pernah bahagia
setelah meninggalkanku. Tapi sekarang___”
“Selamat, harapanmu terkabul.
Aku memang tak pernah bahagia setelah meninggalkan dirimu,” Richard memotong.
Anne kembali mendesah kesal.
“Ya itu dulu karena waktu itu
aku sangat marah padamu. Tapi demi Tuhan, aku tidak betul-betul serius dengan
harapanku. Aku benar-benar tidak berharap keluargamu berantakan,”
“Kenyataannya perkawinanku
memang sudah berantakan sekarang,”
“Rich___”
“Dan kenapa kau harus
repot-repot mencariku ke sini?”
“Karena aku
mengkhawatirkanmu,”
“Omong kosong,”
“Terserah, tapi aku
benar-benar mengkhawatirkanmu. Aku takut kau butuh teman untuk berbagi cerita
sehingga aku datang ke sini. Tapi jika kau tak memerlukanku, oke, aku akan
meninggalkanmu sendirian,” Anne beranjak tapi Richard segera menghadang
langkahnya.
“Kau sudah jauh-jauh datang
kemari, apa kau pikir kau bisa pergi semudah itu?” ucapnya.
“Apa maksudmu?” Anne menatap Richard dengan
heran.
Keduanya berpandangan.
“Kenapa kau masih saja mengkhawatirkanku? Kau bahkan mendatangi
setiap hotel satu persatu hanya untuk mencari diriku. Ayolah, Anne, aku bukan
anak kecil lagi. Jelaskan padaku kenapa kau harus melakukannya?”
“Karena aku masih
mencintaimu,” jawab Anne cepat dan tegas, hingga membuat Richard terlihat
shock.
“Tapi__bukankah kau
membenciku?”
“Ya, aku memang membencimu
setengah mati ketika kau meninggalkanku demi wanita lain. Aku bahkan berharap
untuk tidak pernah bertemu denganmu lagi seumur hidupku. Tapi, harus bagaimana
lagi? Tetap saja aku masih memikirkanmu, merindukanmu, mencintaimu. Kau memang
pernah menyakiti hatiku, tapi aku benar-benar tak bisa mengenyahkanmu dari
kepalaku! Aku masih saja mencintaimu, lagi dan lagi! Aku bahkan pernah berharap
bahwa kau bisa kembali lagi padaku, bedebah! Kau puas sekarang!?” Anne
berteriak. Kedua matanya berkaca-kaca. Richard menatapnya dengan tatapan
setengah tak percaya.
“Anne__?”
“Aku benar-benar tak bisa
melupakanmu, sialan! Aku masih saja mengharapkanmu meskipun kau sudah menjadi
milik orang lain,” tangis Anne nyaris pecah. Tapi ia mampu menahannya. Richard
hanya mampu menatapnya tanpa berkedip. Dan Anne-lah yang berinisiatif untuk
mendekatinya, lalu dengan setengah berjinjit ia mencium bibirnya dengan lembut.
Richard hanya mematung tanpa ekspresi.
“Kau ingin kebenaran, inilah
yang sebenarnya,” desis Anne. Setelah itu ia beranjak dan berniat membuka
pintu. Ia baru saja akan memegang handle pintu ketika tiba-tiba Richard
berbalik mengejarnya, menarik tangannya lalu meraih tubuhnya ke dalam
pelukannya. Anne menatap wajah pria tampan yang berada hanya beberapa inci dari
wajahnya itu dengan tatapan heran. Ia merasakan dadanya berdebar dengan hebat.
Ia baru saja ingin membuka
suara tapi tatapan mata Richard yang teduh seolah mengatakan : jangan katakan apapun, please…
Dan ia hanya pasrah ketika
lelaki itu mencium bibirnya dengan lembut dan perlahan. Dan Anne serasa tak
bisa berpikir jernih ketika tanpa sadar ia melingkarkan tangannya di leher
Richard dan mulai membalas ciuman tersebut. Ia sempat merasakan jemari tangan
Richard yang kekar bergerak dengan lembut menyusuri wajahnya, rambutnya,
lehernya, bahunya, punggungnya, lalu melepas kancing bajunya satu persatu
dengan perlahan tanpa melepaskan ciuman mereka.
Dan ia juga hanya berserah
diri ketika Richard mengangkat tubuhnya ke tempat tidur, mencumbunya, menyentuh
setiap inci dari tubuhnya lalu membawanya ke dunia yang seolah-olah hanya milik
mereka berdua…
***
Ketika Richard membuka mata keesokan harinya, Anne sudah tidak ada. Ia pergi tanpa berpamitan. Dan
pagi itu, ia hanya mampu duduk tercenung di depan jendela kamar hotelnya dengan
secangkir kopi yang belum tersentuh.
Perlahan lelaki itu kembali mengarahkan pandangannya ke arah ranjang yang
berada tak jauh darinya. Ranjang tempat ia dan Anne memadu kasih, semalam.
Jujur, ia tak pernah sebahagia
seperti saat itu. Anne tidur dalam pelukannya seperti seorang malaikat.
Wajahnya yang rupawan dan rambutnya yang panjang bergelombang benar-benar
membuat nafasnya serasa berhenti. Ia seakan rela mati saat itu juga hanya untuk
mengabadikan momen-moment itu. Dan ia yakin apa yang ia alami semalam bukanlah
mimpi.
Salah satu pertanda bahwa apa yang ia alami semalam
bukanlah mimpi adalah aroma tubuh Anne yang masih tertinggal di sana. Dan ___
itu! Selimut dengan noda darah yang
teronggok di bawah tempat tidur!
Astaga, Richard benar-benar
merasa seperti seorang bajingan sekarang! Ia memang akan berpisah dengan Hilda,
tapi toh mereka belum resmi bercerai. Dan sekarang, ia bahkan sudah meniduri
wanita lain, meniduri Anne, seorang perempuan yang ia cintai sejak dulu dan ternyata masih___gadis!
Richard mengelus keningnya dan
kembali mengumpat! Ia hanya tak mengira bahwa Anne masih saja menjaga
kesuciannya sampai sekarang. Dan buruknya lagi, meskipun ia tahu bahwa ia masih
gadis, ia bahkan terus melanjutkan perbuatannya!
Ia merusaknya! Dan ia pasti
telah melukai hatinya!
Ia melakukannya
bukan karena ia sedang dilanda masalah dengan Hilda sehingga ia tak bisa
berpikir jernih. Sebaliknya, ia benar-benar mampu berpikir waras saat itu! Ia
sadar bahwa ia benar-benar menginginkan Anne, seutuhnya! Ia bahkan sudah
menginginkannya ketika wanita itu berhasil membuat dadanya kembali
berdebar-debar sejak pertemuan mereka di pesta itu. Sejak ia melihatnya
menyibakkan rambutnya yang panjang bergelombang karena bertubrukan dengan
pelayan yang membawa baki berisi minuman waktu itu!
Ah, Richard, kau
benar-benar seorang lelaki bedebah! Ia kembali menggerutu. Lelaki itu bangkit
lalu menghempaskan tubuhnya di tempat tidur, dan kembali ia mencium aroma tubuh
Anne di sana.
***
Brian mengunjungi Anne ke apertemennya yang sederhana.
Ketika ia sampai di sana, perempuan itu sedang bergelung malas di balik
selimutnya.
“Kau baik-baik saja ‘kan?” Brian
beranjak dan duduk di dekat Anne yang masih terbaring dengan malas-malasan. Ia
menyentuh kening perempuan tersebut dengan lembut.
“Aku tak apa-apa. Mungkin aku
hanya sedikit stress dengan pemecatanku,” jawab Anne. Brian manggut-manggut
karena Anne memang tak panas ataupun demam.
“Aku pasti akan membantumu
untuk segera mendapatkan pekerjaan baru,”
“Terima kasih. Kau selalu
menjadi malaikat penolongku,” jawab Anne tulus. Karena itu memang benar. Selama
ini Anne memang berada jauh dari keluarga. Tapi karena ada sahabat sebaik
Brian-lah, ia serasa punya keluarga
yang senantiasa mendukungnya di saat-saat sulit.
“Dan jujur saja, Anne, aku
merasa bersyukur karena kau tak bekerja lagi pada bu Hilda ataupun pak Robert.
Mereka seperti tokoh antagonis yang siap menerkammu kapan saja,” Brian
menambahkan.
“Ya, kau benar. mungkin ini
lebih baik jika aku tak bekerja lagi pada
mereka,” jawab Anne.
“Oh iya, kau sudah dengar
kabar kalau bu Hilda akan bercerai?”
Anne tak segera menjawab.
“Kau tahu darimana?”
“Semua orang di kantor sedang
membicarakannya. Dan aku yakin itu bukan hanya sekedar gosip,”
Brian menatap perempuan di
depannya dengan cemas.
“Jika mereka benar-benar
bercerai, itu berarti pak Richard akan sendirian. Dan ___ apakah kau____”
lelaki itu menghentikan kalimatnya. Anne tersenyum.
“kenapa? Kau takut aku akan
mengambil peluang itu untuk kembali ke sisi pria tersebut?”
Brian mengangkat bahu.
“Entahlah, tapi bukankah kau
sendiri yang bilang bahwa kau tak punya perasaan apa-apa lagi pada lelaki itu?”
kata-kata Brian terdengar seperti sebuah penegasan. Anne kembali tersenyum.
“Entahlah, Brian. Tak ada yang
tahu dengan masa depan ‘kan?”
“Apa itu berarti kau masih
mencintainya?” kalimat Brian terdengar kecewa.
Anne mengangkat bahu. Ia
menatap lelaki di depannya dengan tatapan minta maaf. Dan lelaki itu
seolah-olah tak butuh jawaban lagi dari mulut Anne.
“Oke, deh. Apapun itu, semoga
kau bahagia, Anne,” ucap Brian tulus meski sedikit terdengar berat.
Anne mengangguk.
Setelah agak lama mereka
mengobrol, Brian-pun pamit untuk pulang. Tak lupa ia memberikan makanan
kesukaan Anne yang tadi telah di belinya di restoran favorit mereka.
Anne sedang bersiap-siap untuk
kembali bermalas-malasan di tempat tidur setelah selesai menyantap makanan yang
dibawakan oleh Brian, ketika terdengar seseorang mengetuk pintu apartemennya.
Mulanya ia mengira itu adalah Brian yang kembali untuk mengatakan atau
mengambil sesuatu, karena lelaki itu sering melakukan hal itu. Kembali ke
aparteman Anne setelah beberapa waktu meninggalkan tempat itu hanya untuk
mengatakan padanya agar tak lupa mengunci pintu, makan teratur, atau bahkan
hanya untuk bilang padanya agar berhati-hati ke tempat kerja. Sungguh pria yang
baik hati. Tapi, Anne tetap saja tak bisa menerima cintanya.
“Masuklah,” jawab Anne lagi
setelah pintu kembali di ketuk. Tapi sesaat kemudian, pintu tak juga bergerak.
Akhirnya, dengan sedikit kesal ia beranjak menuju pintu lalu membukanya. Dan
segera wanita itu merasa membeku ketika dilihatnya Richard sudah berdiri dengan
tegap di depan pintu. Lelaki itu tersenyum menyapa dengan canggung.
“Bagaimana kau bisa tahu
tempat tinggalku?” tanya Anne heran. Richard tak segera menjawab.
“Aku pernah melihat biodatamu
di salah satu berkas di meja Hilda,” jawabnya kemudian.
Anne manggut-manggut.
“kau tak ingin menyuruhku
masuk?” tanya Richard lagi.
“Oh, iya, masuklah,” Anne
menyilakan Richard masuk. Setelah lelaki itu duduk di salah satu sofa di ruang
tamu, ia membuatkannya secangkir teh.
Anne duduk di sofa yang berada
di seberang Richard dan keadaan hening sesaat, tampak ada kecanggungan di
antara mereka.
“Kau bisa melaporkanku ke
polisi jika kau tak terima,” akhirnya Richard membuka suara. Anne melotot
mendengar ucapannya.
“Polisi? Untuk apa?” tanyanya
heran.
“Untuk tindakanku kemarin
malam,” jawab Richard lirih. Anne ingin mengatakan sesuatu tapi Richard
mendahuluinya.
“Malam itu aku khilaf, Anne.
Aku bersikap bodoh hingga akhirnya aku ___ menodaimu. Aku benar-benar tak
menyangka bahwa kau masih__”
“Bahwa kau meniduri seorang
perawan?” Anne memotong.
“Itu___”
Anne tertawa sinis.
“Sekarang kau tahu bahwa aku
bukan perempuan yang bisa tidur dengan sembarang orang. Jaman memang berubah,
Rich. Style-ku juga berubah. Tapi satu hal yang pasti, pandanganku tentang sex
tidak akan pernah berubah. Aku selalu ingin melakukannya dengan orang yang
benar-benar aku cintai. Dan orang itu adalah kau! Meskipun aku tahu bahwa saat
itu otakmu sedang tak waras,”
“Anne___” Richard menatap
perempuan di depannya dengan putus asa.
“Ya, meskipun aku tahu bahwa
kau melakukannya sebagai pelampiasan atas masalah pribadimu, aku bahkan tak
keberatan!”
“Demi Tuhan aku tidak pernah
berpikiran seperti itu!”
“Lantas? Apa kau ingin
mengatakan bahwa saat itu kau melakukannya dengan penuh akal sehat karena kau
juga menginginkanku? Omong kosong!”
“Kumohon, Anne. Dengarkan dulu
penjelasanku!”
“Jika kedatanganmu kemari
hanya untuk menjelaskan hal semacam ini, maka kau tak perlu repot-repot
melakukannya! Keluarlah! Aku tak ingin melihatmu lagi!” Anne berteriak. Kedua
matanya berkaca-kaca. Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya lalu
melangkahkan kakinya menuju samping jendela apartemennya yang berhadapan
langsung dengan balkon dan taman. Perempuan itu mengusap keningnya dengan kesal
dan ia kembali membalikkan badannya dan menatap Richard yang masih tak beranjak
dari tempat duduknya dengan tatapan putus asa.
“Rich, kau mungkin
menganggapku perempuan paling bodoh di dunia karena masih saja mendambakanmu
meskipun kau telah menyakitiku dan menikahi orang lain. Tapi itu betul, aku
masih menginginkanmu! Aku bahkan rela menyerahkan diriku padamu, seutuhnya,
hanya agar kau bisa kembali padaku. Meskipun aku tahu itu mustahil. Kau memang
lelaki keparat, Rich. Tapi tetap saja kau selalu membuatku jatuh cinta. Dan aku
takkan pernah bisa melupakanmu, bedebah! Sampai kapanpun!” perempuan itu
kembali berteriak.
Keduanya
berpandangan. Hening sesaat.
“Kembalilah
padaku, Rich. Kembalilah padaku jika memang pernikahanmu gagal,” ucap Anne
lirih. Richard terpaku.
“Tapi
aku lelaki brengsek, Anne. Aku mencampakkanmu demi Hilda, dan sekarang aku
meninggalkannya,” jawabnya kemudian.
“Aku
tahu! Aku tahu kau lelaki paling brengsek di muka bumi ini! Tapi aku tetap
mencintaimu, mau bagaimana lagi?” bibir Anne bergetar.
Hening
lagi.
Anne
menggeleng lirih
“Ah, sudahlah, Rich. Pergilah. Aku tak ingin membahasnya
lagi. Anggap saja itu tak pernah terjadi di antara kita, dan aku akan
menganggapnya sebagai kekhilafan orang dewasa,” Ia kembali menambahkan. Air
matanya sempat menitik, tapi ia segera menghapusnya.
“Dan jangan pernah menemuiku
lagi,” ucapnya lagi seraya menatap Richard dengan dalam. Lelaki jangkung itu
bangkit. Mulanya Anne mengira lelaki itu akan melangkahkan kakinya meninggalkan
dirinya, kenyataannya ia malah mendekatinya, merengkuh tubuhnya lalu memeluknya
dengan erat. Anne sempat meronta. Tinjunya bahkan sempat bersarang di dada
lelaki tersebut meski hanya dua kali. Tapi Richard-pun seakan tak kenal kata
menyerah. Ia terus memeluk tubuh Anne dengan erat hingga akhirnya membuat
wanita itu menyerah. Dan sesaat kemudian, Anne pasrah. Ia bahkan menyandarkan
kepalanya di dada Richard dan iapun terisak. Ia biarkan Richard memeluknya
erat, membiarkan tangannya membelai rambutnya dengan lembut, dan ia biarkan
pula jemari lelaki itu mengelus-elus punggungnya dengan perlahan. Ia biarkan
lelaki itu menenangkan dirinya dengan caranya sendiri! Karena pada akhirnya,
Anne-pun menjadi lebih tenang dalam dekapannya.
“Itu tidak benar, Anne,”
lelaki itu berbisik dengan lembut.
“Itu tidak benar bahwa aku tak
pernah menginginkanmu. Dan tidak benar pula bahwa aku hanya menganggapmu
sebagai pelampiasan. Malam itu aku melakukannya dengan pikiran jernih dan penuh
akal sehat. Dan aku sadar sepenuhnya bahwa aku sangat menginginkan dirimu,
seutuhnya, melebihi siapapun. Aku bahkan sudah menginginkanmu sejak dulu, sejak
kau masih menjadi kekasihku, sejak aku meninggalkanmu, dan sejak aku bertemu
denganmu lagi setelah beberapa tahun kita berpisah. Pertemuan kita di pesta itu
sejak perpisahan kita 5 tahun yang lalu, kau benar-benar membuat jantungku
kembali berlompatan tak karuan. Dan malam itu sepulang kau dari Bali, ketika
aku menciummu, aku semakin sadar bahwa selama ini kaulah wanita yang aku cintai. Selama ini kaulah wanita yang ingin kulindungi,
bukan siapapun,” ucap Richard lagi dengan lembut.
Anne menarik tubuhnya dari
dekapan Richard lalu manatap lelaki tersebut dengan setengah tak percaya.
“Apa kau mengatakan semua ini
karena kau telah__menodaiku?”
Richard meletakkan jemarinya
di bibir Anne dengan lembut. Lelaki itu menggeleng perlahan.
“Tidak. Itu semua kukatakan
karena aku benar-benar mencintaimu. Maaf karena aku terlambat menyadarinya,
Anne. Tapi itu benar. Tidakkah kau bisa melihat dari sorot mataku manakala aku
menatapmu? Tidakkah kau bisa meliahat dari sikapku
selama ini yang senantiasa mempedulikanmu? Ya, kau benar bahwa aku adalah
lelaki keparat, Anne. Aku menikahi Hilda, tetapi tetap saja kau hadir dalam
mimpi-mimpiku. Aku tak berhenti memikirkanmu, merindukanmu, karena bagaimanapun
juga, aku benar-benar masih sangat mencintaimu,” ucapnya lagi. Jemari tangannya
menghapus sisa-sisa air mata di pipi
Anne.
“Setelah proses perceraianku selesai, maukah kau
merancang masa depan bersamaku?” tanya Richard lagi dengan suara perlahan. Anne
hanya mampu menatap lelaki tersebut dengan terkejut.
“Aku tahu karena sekarang aku
memang belum punya pekerjaan yang mapan. Tapi, 2 bulan lagi aku akan ke Sydney.
Sebuah kantor advokasi menawariku bergabung dengan mereka dan aku memutuskan
untuk menerimanya,”
“Kau akan ke Australia?”
Richard mengangguk.
“Mereka menawariku dengan gaji
yang lumayan. Dan aku percaya, dengan menabung sedikit demi sedikit, aku pasti
bisa mendirikan kantor advokasi sendiri. Entah di Australia atau entah di sini.
Percayalah, Anne. Kau bisa mengandalkanku sebagai laki-laki,”
Anne menatap lelaki di
depannya dengan takjub.
“Maukah kau ikut bersamaku?
Itupun jika kau tak keberatan meninggalkan karirmu di sini,”
“Tak masalah, toh aku sudah
dipecat,” jawab Anne enteng. Richard terhenyak. Ia memegang kedua bahu Anne dan
menatap perempuan itu dengan setengah tak percaya.
“Mereka memecatmu?”
Anne mengangguk.
“Karena aku?”
“Salah satunya,”
Richard menarik nafas panjang.
“Oh, maafkan aku karena telah
menyebabkan masalah untukmu,” ucapnya dengan nada menyesal.
“Tak perlu, setidaknya aku
lega karena aku tak perlu lagi bekerja
pada orang semacam pak Robert,” jawab Anne.
“Jadi, maukah kau menerimaku
kembali? Maukah kau merancang masa depan bersamaku, di Sydney?” Richard kembali
menatap perempuan itu dengan lembut.
“Apa kau masih membutuhkan
jawaban lisan dariku?” Anne balik bertanya. Dan sebuah senyum cerah tersungging
di bibirnya. Dan Richard seakan tak membutuhkan banyak penjelasan lagi darinya
karena ia tahu jawaban Anne. Lelaki itu tersenyum.
“Kau tak takut dengan gosip yang akan beredar?”
“Tentang?” Anne kembali
bertanya.
“Tentang kita. Orang-orang
pasti beranggapan bahwa aku menceraikan Hilda karena kita berselingkuh lalu
membawamu ke Australia untuk melarikan diri,”
“Tak masalah. Aku bahkan
sempat berpikir untuk merebutmu dari
tangan Hilda jika kau tak mau kembali padaku,” jawab Anne lagi dengan enteng.
Richard tertawa. Ia
menelangkupkan kedua telapak tangannya di wajah Anne lalu mencium bibirnya
dengan lembut dan perlahan.
“Terima kasih, Sayang,”
ucapnya lirih. Ia kembali memeluk Anne dengan erat dan sempat pula mengangkat
tubuhnya kemudian mengajaknya berputar-putar dengan bahagia. Setelah itu, ia kembali menghadiahi ciuman yang lembut di
bibir Anne, berkali-kali.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar