Jumat, 02 Januari 2015

Come back to me, Bad Guy! - Part 7 (End)



Bab 7

          Pintu terbuka dan Richard membelalak menyaksikan Anne sudah berada di depan pintu kamar hotelnya. Ia masih menggunakan baju kerja yang biasa ia gunakan ketika di kantor dan rambutnya yang tersanggul mulai berantakan dan berjuntaian kemana-mana.
“Anne? Kau di sini? Malam-malam begini?” tanya Richard dengan tak sabar. Anne melirik arloji di pergelangan tangannya.
“Baru jam setengah satu. Belum terlalu malam,” jawabnya enteng.  
“Ini jam setengah satu malam, Anne,” desis Richard.
“Aku__mencarimu,” jawab Anne.
Richard menatapnya dengan dalam.
“Darimana kau tahu aku di sini?” tanyanya lagi.
“Aku mendatangi setiap hotel di kota ini satu persatu. Puas?”
Lelaki itu kembali terhenyak.
“Untuk apa kau melakukannya?” ia setengah berteriak.
“Tidakkah kau ingin menyuruhku masuk?” tanya Anne. Dan tanpa menunggu jawaban dari  Richard, perempuan itu segera menyeruak masuk ke kamar hotel  tanpa menghiraukan halauan tangan lelaki tersebut.
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau harus melakukannya?” Richard mengulangi pertanyaannya setelah terlebih dahulu menutup pintu.
Anne menarik nafas panjang. Ia melipat kedua lengan tangannya di dada lalu menatap Richard dengan dalam.
“Aku sudah mendengar masalah yang menimpa kau dan Hilda. Dan__,”
“Bagaimana kau bisa tahu secepat itu? Apa berita ini sudah tersiar di surat kabar?” nada suara Richard terdengar kesal.
“Aku bertemu langsung dan berbicara dengan Hilda. Dia menceritakan semuanya padaku,”
“Menceritakan bahwa kami akan bercerai?”
Anne mengangguk.
“Sejak kapan kalian mulai akrab hingga harus berbagi cerita seperti ini?” Richard terkekeh sinis.
“Itu tak penting,”
Lantas? apa yang ingin kau lakukan? Melihat kehancuranku? Memastikan bahwa aku sudah cukup menderita dengan perceraian ini? Kau puas sekarang?”
Anne melotot.
“Apa maksudmu? Aku tidak pernah berpikir seperti itu!” teriaknya.
Oh ya? Tidakkah kau berpikir bahwa kita impas sekarang? Dulu aku menyakitimu dengan meniggalkan dirimu demi Hilda. Dan nyatanya, pernikahanku selama ini tak bahagia sama sekali. Kami bahkan akan segera bercerai. Happy?”
Ucap Richard sinis seraya menyandarkan tubuhnya di tembok tanpa melepaskan pandangannya dari Anne.
Perempuan itu mendesah kesal.
“Apa kau gila? Bagaimana mungkin aku berpikir seperti itu? Setidaknya__untuk saat ini,”
“Jadi, kau sempat berharap begitu ‘kan?”
“Iya, tapi itu dulu, setelah kau meninggalkanku. Aku bahkan sempat berharap agar kau di sambar petir karena telah melukai hatiku. Aku juga berharap bahwa kau tidak akan pernah bahagia setelah meninggalkanku. Tapi sekarang___”
“Selamat, harapanmu terkabul. Aku memang tak pernah bahagia setelah meninggalkan dirimu,” Richard memotong. Anne kembali mendesah kesal.
“Ya itu dulu karena waktu itu aku sangat marah padamu. Tapi demi Tuhan, aku tidak betul-betul serius dengan harapanku. Aku benar-benar tidak berharap keluargamu berantakan,”
“Kenyataannya perkawinanku memang sudah berantakan sekarang,”
“Rich___”
“Dan kenapa kau harus repot-repot mencariku ke sini?”
“Karena aku mengkhawatirkanmu,”
“Omong kosong,”
“Terserah, tapi aku benar-benar mengkhawatirkanmu. Aku takut kau butuh teman untuk berbagi cerita sehingga aku datang ke sini. Tapi jika kau tak memerlukanku, oke, aku akan meninggalkanmu sendirian,” Anne beranjak tapi Richard segera menghadang langkahnya.
“Kau sudah jauh-jauh datang kemari, apa kau pikir kau bisa pergi semudah itu?” ucapnya.
 “Apa maksudmu?” Anne menatap Richard dengan heran.
Keduanya berpandangan.
“Kenapa kau masih saja  mengkhawatirkanku? Kau bahkan mendatangi setiap hotel satu persatu hanya untuk mencari diriku. Ayolah, Anne, aku bukan anak kecil lagi. Jelaskan padaku kenapa kau harus melakukannya?”
“Karena aku masih mencintaimu,” jawab Anne cepat dan tegas, hingga membuat Richard terlihat shock.
“Tapi__bukankah kau membenciku?”
“Ya, aku memang membencimu setengah mati ketika kau meninggalkanku demi wanita lain. Aku bahkan berharap untuk tidak pernah bertemu denganmu lagi seumur hidupku. Tapi, harus bagaimana lagi? Tetap saja aku masih memikirkanmu, merindukanmu, mencintaimu. Kau memang pernah menyakiti hatiku, tapi aku benar-benar tak bisa mengenyahkanmu dari kepalaku! Aku masih saja mencintaimu, lagi dan lagi! Aku bahkan pernah berharap bahwa kau bisa kembali lagi padaku, bedebah! Kau puas sekarang!?” Anne berteriak. Kedua matanya berkaca-kaca. Richard menatapnya dengan tatapan setengah tak percaya.
“Anne__?”
“Aku benar-benar tak bisa melupakanmu, sialan! Aku masih saja mengharapkanmu meskipun kau sudah menjadi milik orang lain,” tangis Anne nyaris pecah. Tapi ia mampu menahannya. Richard hanya mampu menatapnya tanpa berkedip. Dan Anne-lah yang berinisiatif untuk mendekatinya, lalu dengan setengah berjinjit ia mencium bibirnya dengan lembut. Richard hanya mematung tanpa ekspresi.
“Kau ingin kebenaran, inilah yang sebenarnya,” desis Anne. Setelah itu ia beranjak dan berniat membuka pintu. Ia baru saja akan memegang handle pintu ketika tiba-tiba Richard berbalik mengejarnya, menarik tangannya lalu meraih tubuhnya ke dalam pelukannya. Anne menatap wajah pria tampan yang berada hanya beberapa inci dari wajahnya itu dengan tatapan heran. Ia merasakan dadanya berdebar dengan hebat.
Ia baru saja ingin membuka suara tapi tatapan mata Richard yang teduh seolah mengatakan : jangan katakan apapun, please…
Dan ia hanya pasrah ketika lelaki itu mencium bibirnya dengan lembut dan perlahan. Dan Anne serasa tak bisa berpikir jernih ketika tanpa sadar ia melingkarkan tangannya di leher Richard dan mulai membalas ciuman tersebut. Ia sempat merasakan jemari tangan Richard yang kekar bergerak dengan lembut menyusuri wajahnya, rambutnya, lehernya, bahunya, punggungnya, lalu melepas kancing bajunya satu persatu dengan perlahan tanpa melepaskan ciuman mereka.


Dan ia juga hanya berserah diri ketika Richard mengangkat tubuhnya ke tempat tidur, mencumbunya, menyentuh setiap inci dari tubuhnya lalu membawanya ke dunia yang seolah-olah hanya milik mereka berdua…

***

          Ketika Richard membuka mata keesokan harinya, Anne sudah tidak ada. Ia pergi tanpa berpamitan. Dan pagi itu, ia hanya mampu duduk tercenung di depan jendela kamar hotelnya dengan secangkir kopi yang belum tersentuh. Perlahan lelaki itu kembali mengarahkan pandangannya ke arah ranjang yang berada tak jauh darinya. Ranjang tempat ia dan Anne memadu kasih, semalam.
Jujur, ia tak pernah sebahagia seperti saat itu. Anne tidur dalam pelukannya seperti seorang malaikat. Wajahnya yang rupawan dan rambutnya yang panjang bergelombang benar-benar membuat nafasnya serasa berhenti. Ia seakan rela mati saat itu juga hanya untuk mengabadikan momen-moment itu. Dan ia yakin apa yang ia alami semalam bukanlah mimpi.
Salah satu  pertanda bahwa apa yang ia alami semalam bukanlah mimpi adalah aroma tubuh Anne yang masih tertinggal di sana. Dan ___ itu! Selimut dengan noda darah yang  teronggok di bawah tempat tidur!
Astaga, Richard benar-benar merasa seperti seorang bajingan sekarang! Ia memang akan berpisah dengan Hilda, tapi toh mereka belum resmi bercerai. Dan sekarang, ia bahkan sudah meniduri wanita lain, meniduri Anne, seorang perempuan yang ia cintai sejak  dulu dan ternyata masih___gadis!
Richard mengelus keningnya dan kembali mengumpat! Ia hanya tak mengira bahwa Anne masih saja menjaga kesuciannya sampai sekarang. Dan buruknya lagi, meskipun ia tahu bahwa ia masih gadis, ia bahkan terus melanjutkan perbuatannya!
Ia merusaknya! Dan ia pasti telah  melukai hatinya!
Ia melakukannya bukan karena ia sedang dilanda masalah dengan Hilda sehingga ia tak bisa berpikir jernih. Sebaliknya, ia benar-benar mampu berpikir waras saat itu! Ia sadar bahwa ia benar-benar menginginkan Anne, seutuhnya! Ia bahkan sudah menginginkannya ketika wanita itu berhasil membuat dadanya kembali berdebar-debar sejak pertemuan mereka di pesta itu. Sejak ia melihatnya menyibakkan rambutnya yang panjang bergelombang karena bertubrukan dengan pelayan yang membawa baki berisi minuman waktu itu!
Ah, Richard, kau benar-benar seorang lelaki bedebah! Ia kembali menggerutu. Lelaki itu bangkit lalu menghempaskan tubuhnya di tempat tidur, dan kembali ia mencium aroma tubuh Anne di sana.


***

          Brian mengunjungi Anne ke apertemennya yang sederhana. Ketika ia sampai di sana, perempuan itu sedang bergelung malas di balik selimutnya.
“Kau baik-baik saja ‘kan?” Brian beranjak dan duduk di dekat Anne yang masih terbaring dengan malas-malasan. Ia menyentuh kening perempuan tersebut dengan lembut.
“Aku tak apa-apa. Mungkin aku hanya sedikit stress dengan pemecatanku,” jawab Anne. Brian manggut-manggut karena Anne memang tak panas ataupun demam.
“Aku pasti akan membantumu untuk segera mendapatkan pekerjaan baru,”
“Terima kasih. Kau selalu menjadi malaikat penolongku,” jawab Anne tulus. Karena itu memang benar. Selama ini Anne memang berada jauh dari keluarga. Tapi karena ada sahabat sebaik Brian-lah, ia serasa punya keluarga yang senantiasa mendukungnya di saat-saat sulit.
“Dan jujur saja, Anne, aku merasa bersyukur karena kau tak bekerja lagi pada bu Hilda ataupun pak Robert. Mereka seperti tokoh antagonis yang siap menerkammu kapan saja,” Brian menambahkan.
“Ya, kau benar. mungkin ini lebih baik jika aku tak bekerja lagi pada  mereka,” jawab Anne.
“Oh iya, kau sudah dengar kabar kalau bu Hilda akan bercerai?”
Anne tak segera menjawab.
“Kau tahu darimana?”
“Semua orang di kantor sedang membicarakannya. Dan aku yakin itu bukan hanya sekedar gosip,”
Brian menatap perempuan di depannya dengan cemas.
“Jika mereka benar-benar bercerai, itu berarti pak Richard akan sendirian. Dan ___ apakah kau____” lelaki itu menghentikan kalimatnya. Anne tersenyum.
“kenapa? Kau takut aku akan mengambil peluang itu untuk kembali ke sisi pria tersebut?”
Brian mengangkat bahu.
“Entahlah, tapi bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kau tak punya perasaan apa-apa lagi pada lelaki itu?” kata-kata Brian terdengar seperti sebuah penegasan. Anne kembali tersenyum.
“Entahlah, Brian. Tak ada yang tahu dengan masa depan ‘kan?”
“Apa itu berarti kau masih mencintainya?” kalimat Brian terdengar kecewa.
Anne mengangkat bahu. Ia menatap lelaki di depannya dengan tatapan minta maaf. Dan lelaki itu seolah-olah tak butuh jawaban lagi dari mulut Anne.
“Oke, deh. Apapun itu, semoga kau bahagia, Anne,” ucap Brian tulus meski sedikit terdengar berat.
Anne mengangguk.
Setelah agak lama mereka mengobrol, Brian-pun pamit untuk pulang. Tak lupa ia memberikan makanan kesukaan Anne yang tadi telah di belinya di restoran favorit mereka.
Anne sedang bersiap-siap untuk kembali bermalas-malasan di tempat tidur setelah selesai menyantap makanan yang dibawakan oleh Brian, ketika terdengar seseorang mengetuk pintu apartemennya. Mulanya ia mengira itu adalah Brian yang kembali untuk mengatakan atau mengambil sesuatu, karena lelaki itu sering melakukan hal itu. Kembali ke aparteman Anne setelah beberapa waktu meninggalkan tempat itu hanya untuk mengatakan padanya agar tak lupa mengunci pintu, makan teratur, atau bahkan hanya untuk bilang padanya agar berhati-hati ke tempat kerja. Sungguh pria yang baik hati. Tapi, Anne tetap saja tak bisa menerima cintanya.
“Masuklah,” jawab Anne lagi setelah pintu kembali di ketuk. Tapi sesaat kemudian, pintu tak juga bergerak. Akhirnya, dengan sedikit kesal ia beranjak menuju pintu lalu membukanya. Dan segera wanita itu merasa membeku ketika dilihatnya Richard sudah berdiri dengan tegap di depan pintu. Lelaki itu tersenyum menyapa dengan canggung.
“Bagaimana kau bisa tahu tempat tinggalku?” tanya Anne heran. Richard tak segera menjawab.
“Aku pernah melihat biodatamu di salah satu berkas di meja Hilda,” jawabnya kemudian.
Anne manggut-manggut.
“kau tak ingin menyuruhku masuk?” tanya Richard lagi.
“Oh, iya, masuklah,” Anne menyilakan Richard masuk. Setelah lelaki itu duduk di salah satu sofa di ruang tamu, ia membuatkannya secangkir teh.
Anne duduk di sofa yang berada di seberang Richard dan keadaan hening sesaat, tampak ada kecanggungan di antara mereka.
“Kau bisa melaporkanku ke polisi jika kau tak terima,” akhirnya Richard membuka suara. Anne melotot mendengar ucapannya.
“Polisi? Untuk apa?” tanyanya heran.
“Untuk tindakanku kemarin malam,” jawab Richard lirih. Anne ingin mengatakan sesuatu tapi Richard mendahuluinya.
“Malam itu aku khilaf, Anne. Aku bersikap bodoh hingga akhirnya aku ___ menodaimu. Aku benar-benar tak menyangka bahwa kau masih__”
“Bahwa kau meniduri seorang perawan?” Anne memotong.
“Itu___”
Anne tertawa sinis.
“Sekarang kau tahu bahwa aku bukan perempuan yang bisa tidur dengan sembarang orang. Jaman memang berubah, Rich. Style-ku juga berubah. Tapi satu hal yang pasti, pandanganku tentang sex tidak akan pernah berubah. Aku selalu ingin melakukannya dengan orang yang benar-benar aku cintai. Dan orang itu adalah kau! Meskipun aku tahu bahwa saat itu otakmu sedang tak waras,”
“Anne___” Richard menatap perempuan di depannya dengan putus asa.
“Ya, meskipun aku tahu bahwa kau melakukannya sebagai pelampiasan atas masalah pribadimu, aku bahkan tak keberatan!”
“Demi Tuhan aku tidak pernah berpikiran seperti itu!”
“Lantas? Apa kau ingin mengatakan bahwa saat itu kau melakukannya dengan penuh akal sehat karena kau juga menginginkanku? Omong kosong!”
“Kumohon, Anne. Dengarkan dulu penjelasanku!”
“Jika kedatanganmu kemari hanya untuk menjelaskan hal semacam ini, maka kau tak perlu repot-repot melakukannya! Keluarlah! Aku tak ingin melihatmu lagi!” Anne berteriak. Kedua matanya berkaca-kaca. Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya lalu melangkahkan kakinya menuju samping jendela apartemennya yang berhadapan langsung dengan balkon dan taman. Perempuan itu mengusap keningnya dengan kesal dan ia kembali membalikkan badannya dan menatap Richard yang masih tak beranjak dari tempat duduknya dengan tatapan putus asa.
“Rich, kau mungkin menganggapku perempuan paling bodoh di dunia karena masih saja mendambakanmu meskipun kau telah menyakitiku dan menikahi orang lain. Tapi itu betul, aku masih menginginkanmu! Aku bahkan rela menyerahkan diriku padamu, seutuhnya, hanya agar kau bisa kembali padaku. Meskipun aku tahu itu mustahil. Kau memang lelaki keparat, Rich. Tapi tetap saja kau selalu membuatku jatuh cinta. Dan aku takkan pernah bisa melupakanmu, bedebah! Sampai kapanpun!” perempuan itu kembali berteriak.
Keduanya berpandangan. Hening sesaat.
“Kembalilah padaku, Rich. Kembalilah padaku jika memang pernikahanmu gagal,” ucap Anne lirih. Richard terpaku.
“Tapi aku lelaki brengsek, Anne. Aku mencampakkanmu demi Hilda, dan sekarang aku meninggalkannya,” jawabnya kemudian.
“Aku tahu! Aku tahu kau lelaki paling brengsek di muka bumi ini! Tapi aku tetap mencintaimu, mau bagaimana lagi?” bibir Anne bergetar.
Hening lagi.
Anne menggeleng lirih
Ah, sudahlah, Rich. Pergilah. Aku tak ingin membahasnya lagi. Anggap saja itu tak pernah terjadi di antara kita, dan aku akan menganggapnya sebagai kekhilafan orang dewasa,” Ia kembali menambahkan. Air matanya sempat menitik, tapi ia segera menghapusnya.
“Dan jangan pernah menemuiku lagi,” ucapnya lagi seraya menatap Richard dengan dalam. Lelaki jangkung itu bangkit. Mulanya Anne mengira lelaki itu akan melangkahkan kakinya meninggalkan dirinya, kenyataannya ia malah mendekatinya, merengkuh tubuhnya lalu memeluknya dengan erat. Anne sempat meronta. Tinjunya bahkan sempat bersarang di dada lelaki tersebut meski hanya dua kali. Tapi Richard-pun seakan tak kenal kata menyerah. Ia terus memeluk tubuh Anne dengan erat hingga akhirnya membuat wanita itu menyerah. Dan sesaat kemudian, Anne pasrah. Ia bahkan menyandarkan kepalanya di dada Richard dan iapun terisak. Ia biarkan Richard memeluknya erat, membiarkan tangannya membelai rambutnya dengan lembut, dan ia biarkan pula jemari lelaki itu mengelus-elus punggungnya dengan perlahan. Ia biarkan lelaki itu menenangkan dirinya dengan caranya sendiri! Karena pada akhirnya, Anne-pun menjadi lebih tenang dalam dekapannya.
“Itu tidak benar, Anne,” lelaki itu berbisik dengan lembut.
“Itu tidak benar bahwa aku tak pernah menginginkanmu. Dan tidak benar pula bahwa aku hanya menganggapmu sebagai pelampiasan. Malam itu aku melakukannya dengan pikiran jernih dan penuh akal sehat. Dan aku sadar sepenuhnya bahwa aku sangat menginginkan dirimu, seutuhnya, melebihi siapapun. Aku bahkan sudah menginginkanmu sejak dulu, sejak kau masih menjadi kekasihku, sejak aku meninggalkanmu, dan sejak aku bertemu denganmu lagi setelah beberapa tahun kita berpisah. Pertemuan kita di pesta itu sejak perpisahan kita 5 tahun yang lalu, kau benar-benar membuat jantungku kembali berlompatan tak karuan. Dan malam itu sepulang kau dari Bali, ketika aku menciummu, aku semakin sadar bahwa selama ini kaulah wanita yang aku cintai. Selama ini kaulah wanita yang ingin kulindungi, bukan siapapun,” ucap Richard lagi dengan lembut.
Anne menarik tubuhnya dari dekapan Richard lalu manatap lelaki tersebut dengan setengah tak percaya.
“Apa kau mengatakan semua ini karena kau telah__menodaiku?”
Richard meletakkan jemarinya di bibir Anne dengan lembut. Lelaki itu menggeleng perlahan.
“Tidak. Itu semua kukatakan karena aku benar-benar mencintaimu. Maaf karena aku terlambat menyadarinya, Anne. Tapi itu benar. Tidakkah kau bisa melihat dari sorot mataku manakala aku menatapmu? Tidakkah kau bisa meliahat dari sikapku selama ini yang senantiasa mempedulikanmu? Ya, kau benar bahwa aku adalah lelaki keparat, Anne. Aku menikahi Hilda, tetapi tetap saja kau hadir dalam mimpi-mimpiku. Aku tak berhenti memikirkanmu, merindukanmu, karena bagaimanapun juga, aku benar-benar masih sangat mencintaimu,” ucapnya lagi. Jemari tangannya menghapus sisa-sisa air  mata di pipi Anne.
Setelah proses perceraianku selesai, maukah kau merancang masa depan bersamaku?” tanya Richard lagi dengan suara perlahan. Anne hanya mampu menatap lelaki tersebut dengan terkejut.
“Aku tahu karena sekarang aku memang belum punya pekerjaan yang mapan. Tapi, 2 bulan lagi aku akan ke Sydney. Sebuah kantor advokasi menawariku bergabung dengan mereka dan aku memutuskan untuk menerimanya,”
“Kau akan ke Australia?”
Richard mengangguk.
“Mereka menawariku dengan gaji yang lumayan. Dan aku percaya, dengan menabung sedikit demi sedikit, aku pasti bisa mendirikan kantor advokasi sendiri. Entah di Australia atau entah di sini. Percayalah, Anne. Kau bisa mengandalkanku sebagai laki-laki,”
Anne menatap lelaki di depannya dengan takjub.
“Maukah kau ikut bersamaku? Itupun jika kau tak keberatan meninggalkan karirmu di sini,”
“Tak masalah, toh aku sudah dipecat,” jawab Anne enteng. Richard terhenyak. Ia memegang kedua bahu Anne dan menatap perempuan itu dengan setengah tak percaya.
“Mereka memecatmu?”
Anne mengangguk.
“Karena aku?”
“Salah satunya,”
Richard menarik nafas panjang.
“Oh, maafkan aku karena telah menyebabkan masalah untukmu,” ucapnya dengan nada menyesal.
“Tak perlu, setidaknya aku lega karena aku tak perlu  lagi bekerja pada orang semacam pak Robert,” jawab Anne.
“Jadi, maukah kau menerimaku kembali? Maukah kau merancang masa depan bersamaku, di Sydney?” Richard kembali menatap perempuan itu dengan lembut.
“Apa kau masih membutuhkan jawaban lisan dariku?” Anne balik bertanya. Dan sebuah senyum cerah tersungging di bibirnya. Dan Richard seakan tak membutuhkan banyak penjelasan lagi darinya karena ia tahu jawaban Anne. Lelaki itu tersenyum.
Kau tak takut dengan gosip yang akan beredar?”
“Tentang?” Anne kembali bertanya.
“Tentang kita. Orang-orang pasti beranggapan bahwa aku menceraikan Hilda karena kita berselingkuh lalu membawamu ke Australia untuk melarikan diri,”
“Tak masalah. Aku bahkan sempat berpikir untuk merebutmu  dari tangan Hilda jika kau tak mau kembali padaku,” jawab Anne lagi dengan enteng.
Richard tertawa. Ia menelangkupkan kedua telapak tangannya di wajah Anne lalu mencium bibirnya dengan lembut dan perlahan.
“Terima kasih, Sayang,” ucapnya lirih. Ia kembali memeluk Anne dengan erat dan sempat pula mengangkat tubuhnya kemudian mengajaknya berputar-putar dengan bahagia. Setelah itu,   ia kembali menghadiahi ciuman yang lembut di bibir Anne, berkali-kali.


Selesai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar