Minggu, 18 Januari 2015

Bokura Ga Ita - Part 2



                Anak-anak baru saja akan berlatih seperti biasanya ketika Nanami masuk ke ruangan dengan wajah lesu.
“Ada kabar buruk,” ucapnya sambil melangkahkan kakinya dengan lunglai ke depan kelas. Kontan seluruh kelas menatapnya dengan heran.
“Ada apa?” mereka bertanya hampir bersamaan. Nanami menarik nafas panjang lalu menatap mereka secara acak.
“Sepertinya kita tidak bisa menampilkan acara paduan suara di festival seni nanti,” jawabnya kemudian.
Seisi kelas langsung riuh.
“Kenapa?”
“Mereka bilang penampilan serupa sudah terlalu banyak. Jadi, kita diminta mengganti penampilan kita. Kalau tidak drama, role play, atau yang lainnya. Asal bukan paduan suara,” ucap Nanami kemudian.
Kelas yang tadinya sempat tenang ketika Nanami berbicara, sekarang kembali ramai lagi.
“Itu tidak mungkin, Nanami. Kita sudah berlatih dua minggu. Selain itu, waktunya terlalu mepet. Kalau kita mengganti performance kita dengan drama atau yang lainnya, latihannya tidak akan cukup. Bikin script, kostum, dekorasi, aduh, kenapa mendadak begini sih?”
Beberapa orang mulai berpendapat.
“Kenapa kau tidak mencoba protes dan menjelaskan semua pada panitia?”
“Aku sudah mencobanya, tapi mereka tak mau mendengarku,” jawab Nanami.
“Kalau begitu bicaralah lagi. Yakinkan mereka kalau kita tetap akan menampilkan paduan suara,”
“Aku sudah mencobanya, tapi ...” Nanami mengelus pelipisnya, bingung.
Untuk kesekian kalinya kelas kembali ribut tak terkendali. Nanami kembali mendesah putus asa.
“Biar aku yang bicara,” suara itu secara ajaib membuat seisi kelas tenang. Yano bangkit.
“Seluruh panitia masih ada di ruang rapat ‘kan?” Ia bertanya pada Nanami. Yang ditanya hanya mengangguk bingung.
“Oke, biar aku yang bicara yang pada mereka,” tanpa menunggu jawaban, cowok itu beranjak keluar dari kelas.
Dan setengah jam kemudian, ia kembali.
“Bagaimana?” seluruh kelas bertanya dengan antusias.
Yano mengangguk.
“Boleh. Asal kita menampilan paduan suara yang berbeda,” jawabnya. Seluruh kelas bersorak. Nanami menarik nafa lega. Yano melangkah dan berdiri di sebelahnya. Sekarang ia yang berbicara di depan kelas.
“Yuri, kau bisa bermain piano ‘kan?”
Yuri sedikit canggung, tapi akhirnya ia mengangguk.
“Kita akan menampilkan paduan suara yang diiringi instrument musik. Yuri bermain piano, Kenta bermain gitar, Mizuhara bermain biola, dan beberapa anak  laki-laki akan memainkan seruling. Mempersiapkan instument sepertinya lebih mudah daripada kita harus menggantinya dengan drama. Bagaimana?”
Seluruh kelas bersorak tanda setuju. Nanami menatap Yano dengan takjub.
“Harusnya kau yang jadi ketua kelas, bukan aku,” gerutunya pelan.
Yano terkekeh dan menatapnya.
“Boleh, asal kau mentraktirku makan siang selama sebulan,” ucapnya.
Nanami mendelik.
“Tidak, aku tak mau bangkrut,” jawabnya kesal. Ia kembali berbalik menghadap rekan-rekan sekelasnya yang mulai ramai.
“Teman-teman, jangan lupa lusa acara pembukaan festival kembang lagi. Semua wajib hadir, oke?!” teriaknya.
“Okeee,” dan teman-temannya menjawab dengan antusias.
Sesaat sebelum kembali ke tempat duduknya, ia merasakan tangan Yano mengelus kepalanya dengan ringan. Sentuhan itu sederhana, tapi tetap saja dadanya berdebar.
“Semoga berhasil, Kaichou*,” ucapnya.
Nanami hanya menatapnya dan menangkap senyum manis di bibir Yano. Dan entah kenapa, Nanami ikut tersenyum. Bersyukur.

***

          Nanami datang ke pembukaan pesta kembang api dengan mengenakan yukata paling manis yang dipilihkan ibunya. Rambutnya yang sebahu tetap ia gelung rapi. Tapi kali ini, ia menambahkan jepit berhiaskan bunga sakura yang serasi dengan warna yukata-nya.
Bayangan akan bertemu dengan Yano di festival kembang api tersebut membuatnya antusias berdandan, hal yang jarang ia lakukan selama ini. Terlebih lagi, mengenakan yukata yang terkadang ia anggap merepotkan, tetap juga ia lakukan. Ia ingin menampilkan sisi yang berbeda pada cowok itu. Nanami ingin agar kali ini Yano melihatnya sebagai sosok cewek yang berbeda.
          Nanami tiba di sekolahnya 20 menit sebelum acara dimulai. Anak-anak yang lain sudah heboh berkumpul hampir di seluruh penjuru lapangan, maupun bagian sekolah yang lain. Mereka antusias, terlebih lagi karena semuanya berpakaian tradisional.
“Waaa, Nanami, kawaiiii!* Kau cantik sekali dengan yukata,” Chizu dan Mizuhara langsung menyerbu Nanami ketika cewek itu tiba.
“Hehe, terima kasih. Kalian juga cantik,” balas Nanami, tersipu.
Beberapa anak lelaki yang berpakaian tradisional juga menghampiri Nanami dan memuji penampilannya.
“Kamu terlihat begitu manis, Nanami,” puji mereka.
“Hehe, terima kasih. Kalau saja seragam sekolah kita diganti dengan yukata, aku pasti jadi cewek populer di sekolah ini,” jawab Nanami asal. Dan semuanya tergelak.
“Apa Yano sudah datang?” tanya Nanami.
Teman-teman mereka melihat sekeliling.
“Sepertinya belum,” jawab mereka.
“Aku juga belum melihat Yuri,” ujar Chizu.
Nanami manggut-manggut. Kecewa.
Kekecewaannya bertambah ketika ternyata Yano tak muncul sampai acara selesai. Yuri juga.
“Harusnya aku tak berharap terlalu tinggi,” desis Nanami pelan. Ia berjalan lunglai di samping Chizu dan Mizuhara.
“Aku mau cari minum dulu,” ucapnya sambil berbalik, tapi baru beberapa langkah, matanya menangkap sosok tinggi yang tengah mengarahkan phonsel ke arahnya.
Klik! Klik! Klik!
Ia memotret beberapa kali.
Nanami mengerjap.
“Take!” ia berseru seraya berlari kecil menghampiri cowok tersebut. Take tertawa lirih.
“Sori, tapi kau cantik sekali dengan yukata itu. Jadi aku memotretnya. Untuk kenang-kenangan saja,” ucapnya seraya nyengir.
Nanami manyun.
“Curang. Kau mengambil fotoku tanpa ijin. Setidaknya bilang dulu kalau mau memotret. ‘Kan aku bisa eksyen dulu,” gerutu Nanami.
Take tertawa.
“Kalau begitu, boleh dicoba lagi?”
“Tidak,” cetus Nanami.
Keduanya tertawa lagi.
“Mmm, Yano tidak ikut?” Nanami menatap sekelilingnya.
Take terdiam sesaat. Ia menggeleng.
“Hari ini hari kematian Nana. Jadi... ia tak bisa datang,” jawabnya.
Nanami mematung sesaat. Hari kematian Nana?
“Ow, begitu. Pantas saja Yuri juga tidak ada,” ucapnya. Tiba-tiba rasa haus yang tadi menyerangnya hilang seketika.
“Aku mau pulang. Kau?”
Take mengangguk. “Iya, aku juga mau pulang,” jawabnya.
“Kalau begitu, bareng saja. Rumah kita searah ‘kan?” Nanami menyerocos, seperti biasanya.
Take meringis seraya menggaruk-garuk kepalanya.
“Sebetulnya, rumah kita tidak searah,” jawabnya.
Nanami mengernyit.
“Masa? Tapi beberapa kali kita naik bis yang sama ‘kan?” tanyanya tak mengerti.
Take menggeleng, salah tingkah.
“Mmm, waktu itu kebetulan saja aku punya kepentingan hingga kita naik bis yang sama. Oke deh, aku duluan ya. Jaa*,” Take ngacir sebelum Nanami sempat bertanya apa-apa lagi padanya.
Nanami hanya melambaikan tangannya, juga bingung. 
Yukata


***

          Keesokan harinya, Yano tak masuk. Esoknya lagi, juga. Di jadwal latihanpun ia juga tak datang. Hingga akhirnya dengan penuh keraguan, Nanami memutuskan untuk datang ke rumah Yano. Tentunya, setelah terlebih dahulu mencari tahu alamatnya secara sembunyi-sembunyi.
Cewek itu berdiri mematung di rumah sederhana berlanti dua yang berada di depannya. Ia sudah mondar-mandir di depan rumah tersebut selama hampir 10 menit. Ia hanya tak tahu kenapa ia bisa sampai ke sini? Untuk apa ia ke sini? Untuk apa?
Beberapa kali ia sudah mencoba menekan bel di pagar, tapi batinnya lagi-lagi bersitegang. Ini memalukan! Untuk apa ia ke sini? Untuk apa? Mengkhawatirkan Yano? Memang dia siapa?
Masuk? Tidak! masuk? Tidak!
Nanami mendesah. Akhirnya ia memutuskan, “Sebaiknya aku pulang. Kekhawatiranku tak beralasan,” gumamnya.
Ia baru saja akan berbalik ketika tiba-tiba jendela di lantai dua terbuka dan kepala Yano nongol dari sana.
“Ibuuu!! Ada penguntit di depan rumah kitaa!!” teriaknya.
Nanami melotot kaget, ia menatap Yano dengan bingung.
“Siapa? Siapa yang penguntit??!” ia juga berteriak seraya menatap kanan dan kirinya.
“Kau,” Yano menunjuk ke arah Nanami.
Mata Nanami makin melebar.
“Aku?! Aku bukan penguntit!” teriaknya lagi.
“Lalu untuk apa kau mondar-mandir di depan rumahku selama 10 menit?”
“Aku hanya ingin berkunjung. Aku .... Tunggu! Jadi kau tahu aku sudah mondar-mandir di depan rumahmu selama 10 menit?!”
Yano tersenyum licik seraya mengangguk.
Nanami menggigit bibirnya dengan sebal.
“Kalau begitu kenapa kau tidak segera menyuruhku masuk, sialan!” Nanami berteriak lagi.
“Karena menyenangkan sekali melihatmu mondar-mandir di sana,” jawab Yano enteng.
“Buka pintunya! Cepat buka! Kau harus segera diberi pelajaran!” Nanami tak berhenti berteriak dengan kesal seraya mendorong-dorong pagar dengan kasar.
“Ibuuuuu! Ada cewek gila yang mau merobohkan pagar rumah kitaaa!” Yano kembali berteriak dengan jahil hingga membuat Nanami berhenti mendorong pagar.
“Siapa yang mau merobohkan pagar?! Aku ingin bertamu baik-baik, dasar bocah tengik! Nih, lihat buktinya!”
Nanami menekan bel berkali-kali dengan kesal.
“Ibu Yano yang terhormat, saya Nanami. Tolong buka pintunya ya. Saya ingin bertemu,” ucapnya kemudian. Kontan saja hal ini membuat Yano tertawa terpingkal-pingkal hingga matanya berair.

***

          “Maaf ya, Yano memang begitu. Dia masih saja jahil seperti anak kecil. Tadinya ibu ingin membukakan pintu, tapi ia melarang. Dia bilang, kamu lucu seperti hiburan,” ucap ibu Yano, setelah ia membukakan pintu dan menyilakan Nanami masuk ke kamar Yano. Ia juga membawakan secangkir teh dan sepiring puding.
Yano masih saja tertawa, tanpa beranjak dari atas tempat tidurnya. Sementara Nanami cuma meringis, malu bercampur sebal.
“Silahkan dinikmati. Anggap saja rumah sendiri,” ucap ibu Yano dengan ramah.
“Maaf merepotkan,” ucap Nanami ramah. Ibu Yano tersenyum lalu beranjak.
Nanami menatap Yano dengan tatapan menusuk.
“Puas?” desisnya.
“Puas,” jawab Yano, tetap dengan tawanya yang tak kunjung berhenti.
          Nanami masih jengkel. Tapi melihat Yano yang tertawa lepas seperti itu, tiba-tiba saja hatinya lega. Setidaknya, tak ada yang perlu ia khawatirkan.
“Jadi, kenapa kau tak masuk sekolah? Kau juga tak datang di latihan,” tanya Nanami seraya duduk di satu-satunya kursi yang ada di kamar tersebut.
Tawa Yano terhenti.
“Kau tak lihat aku ada di atas tempat tidur? Itu tandanya aku sedang sakit,” jawabnya seraya nyengir.
“Mana ada orang sakit yang tertawa keras kayak gitu? Kau terlihat baik-baik saja kok,” sangkal Nanami.
Yano nyengir.
“Dua hari ini aku bangun kesiangan, hehehe...” ucapnya. Tapi Nanami tahu ia bohong.
“Dasar pembohong,” gumamnya.
“Tapi sekarang sudah baikan ‘kan? Besok masuk tidak? Latihan bisa datang ‘kan? Ada masalah dengan lagu? Tangga nada?.....”
“Sudahlah. Jangan banyak nanya. Makan saja pudingnya,” potong Yano.
“Memangnya aku ke sini cuma mau makan puding?”
“Ya sudah, kalau begitu jangan dimakan,”
“Akan ku makan!” jawab Nanami kesal seraya memasukan sesendok puding ke mulutnya.
Hening sesaat. Nanami asyik menyantap puding, sementara Yano menatapnya secara sembunyi-sembunyi.
“Aku tak menyangka kamarmu rapi,” Nanami membuka suara sambil menatap sekelilingnya.
“Dan aku yakin, kamarku lebih rapi dari kamarmu, ya ‘kan?” jawab Yano. Nanami nyaris tersedak.
“Kok tahu?” desisnya. Yano terkekeh.
Nanami bangkit dan menatap sebuah album foto di rak di samping Yano.
“Album foto. Boleh ku lihat?” tanya Nanami antusias.
Yano meraihnya.
“Boleh. Tapi sebentar... akan ku singkirkan beberapa foto pornonya,” ucap Yano lagi sambil meringis. Ia mengambil beberapa gambar dari album foto tersebut lalu menyerahkan albumnya ke arah Nanami.
“Dasar mesum,” desis Nanami.
Ia membuka-buka album foto tersebut. Dan ia bisa melihat foto Yano dari dia SD sampai SMP. Melihat foto-foto Yano, Nanami merasa senang bukan main.
“Mana fotonya kak Nana?” tanya Nanami tanpa melihat ke arah Yano, tangaannya sibuk membolak-balik halaman foto.
“Nih,” Yano menunjuk foto di tangannya.
“Boleh ku lihat?”
“Yakin ingin melihat? Ini foto porno lho?” tatapan Yano kembali terlihat jahil.
Nanami seperti hilang kesabaran. Ia berjingkat, naik ke ranjang Yano lalu meriah foto tersebut dari tangannya.
“Whoa, kau nafsu sekali ya?” ujar Yano, tetap dengan kejahilannya.
“Diamlah,” jawab Nanami pendek seraya menatap foto di tangannya. Ia mengernyit.
“Ini bukan foto kak Nana. Ini ‘kan fotomu dengan Take,” desisnya seraya menatap Yano dengan kesal. Yano kembali tertawa.
“Itu foto kesayanganku. Foto itu pertanda bahwa persahabatanku dengan Take abadi. Lagipula ... aku tak punya foto Nana,” jelasnya.
“Kenapa tak punya?” tanya Nanami lagi.
Yano mengangkat bahu.
“Sepertinya tak penting lagi aku menyimpan fotonya,” kalimat Yano terdengar ragu. Nanami tahu ia pasti sedang berjuang dengan semua kenangan tentang Nana.
“Ngomong-ngomong, Nanami... Kau, berani sekali ya,”
Nanami mengernyit.
“Apa?” ia bertanya bingung.
“Kau sadar kau berada di mana?” Yano tersenyum. “Kau ... di atas ranjangku,” ucapnya lagi.
“Lalu?” Nanami kembali mengernyit.
“Ada yang mengatakan bahwa jika seorang cewek berani naik ke ranjang seorang laki-laki, itu tandanya ... dia ... bersedia untuk di ajak ....kau tahulah, hubungan antara perempuan dan laki-laki,”
Nanami membelalak. Tiba-tiba saja Yano bergerak mendekatinya dan secara reflek, Nanami  bergerak mundur hingga akhirnya .... grubyakkk!!
Cewek mungil itu terjungkal dari tempat tidur dan keningnya membentur lantai dari kayu. Ia mengaduh sementara Yano ngakak.
“Hahaha, aku hanya bercanda, Nanami,” ucapnya tanpa bisa menahan tawanya.
Nanami menatapnya tajam.
“Yanooo!!!” jeritnya kesal seraya memegangi keningnya yang mulai benjol.
“Sori, sori,” ucap Yano, ia beranjak turun dari tempat tidurnya. “Sini, biar ku lihat,” ia mengulurkan tangannya menyentuh kening Nanami.
“Sakit,” cewek itu menepis pelan tangannya lalu memijit-mijit keningnya sendiri. Ia bangkit lalu meraih tasnya di lantai. “Datang ke sini dan mengkhawatirkanmu adalah sia-sia,” ucapnya. “Aku pulang,” ia beranjak.
“Nanami,” panggil Yano lirih.
“Apalagi sih?” Nanami berbalik kesal.
Yano menatapnya dalam.
“Terima kasih, atas kunjungannya,” jawabnya lirih. Tatapannya lembut.
“Kalau begitu, sampai jumpa besok,” Nanami melangkahkan kakinya keluar dari kamar Yano. Tapi sekian detik kemudian, ia berbalik dan kembali ke kamar Yano.
Yano masih berdiri, menatap ke arah pintu, dan sekarang menatap ke arahnya.
Nanami menelan ludah.
“Yano, mungkin orang yang kamu sayangi sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tapi, sekarang ada seseorang di sini yang akan menyayangimu dengan tulus. Percayalah, kau tidak sendirian. Bahkan jika kau merasa sedih dan terpuruk, ada aku di sini. Mulai sekarang dan seterusnya, aku akan selalu memperhatikanmu. Percayalah padaku, aku akan selalu memperhatikanmu, oke? Matta ashita*,” cewek itu segera berlalu tanpa membiarkan Yano membuka suara. Dan cowok itu memang tak sanggup berkata-kata. Ia hanya menatap kepergian Nanami dengan takjub.

***

          Festival seni berlangsung dengan meriah. Kelas Nanami sukses menampilkan paduan suara yang diiringi dengan instrument. Semua orang terlihat puas dan bersenang-senang. Mereka semakin antusias ketika hari terakhir festival diisi dengan malam api unggun dan pesta kembang api.
“Bersiap-siap untuk malam api unggun, yeeaaaahhh,” mereka bersorak.
“Dan pesta kembang api, yeaahhh,” Nanami menambahkan.
“Ngomong-ngomong ... cincinmu bagus sekali, Nanami,” Chizu menunjuk ke arah cincin bermata biru berbentuk hati di jari manis Nanami.
“Terima kasih,” jawab Nanami.
“Apa seorang cowok membelikannya untukmu?”
“Tidak, aku membelinya sendiri,”
Chizu dan Mizuhara melongo.
“Nanami, membeli cincin untuk diri sendiri itu semakin menunjukkan kalau kau adalah jomblo sejati, itu menyedihkan,” cetus Mizuhara.
Nanami tertawa.
“Kenapa? Cincin ini bagus kok. Dan aku tak peduli soal cowok,” jawabnya enteng.
“Berdoa saja agar di malam api unggun nanti akan ada cowok yang menembakmu,” tukas Mizuhara lagi.
“Kenapa harus di malam api unggun?”
Mizuhara dan Chizu berpandangan.
“Ow, jadi kau belum tahu ya? Setiap akhir festival yang ditandai dengan pesta api unggun dan kembang api, akan ada sesi ‘confession night’. Istilah lainnya adalah malam ‘pernyataan cinta’. Biasanya, para cowok atau cewek akan menyatakan cinta mereka pada orang yang mereka cintai. Hal ini sudah jadi tradisi di sekolah kita selama bertahun-tahun. Dan percaya atau tidak, kebanyakan orang yang menyatakan cinta di malam api unggun itu selalu diterima. Mereka bilang, itu adalah kekuatan doa dari para leluhur di sekolah ini, ” Mizuhara menjelaskan. Nanami manggut-manggut.
“Mau mencobanya?” Chizu berbisik.
“Mencoba apa?” tanya Nanami.
“Mencoba menyatakan cintamu pada Yano?”
Nanami tertawa lirih.
“Aku sudah menyatakan cintaku padanya, dan kenyataannya aku digantung. Aku anggap itu penolakan. Dan aku takkan mengulangi pernyataan itu lagi,” jawab Nanami.
Chizu menepuk pundak Nanami.
“Sabar ya,” ucapnya. Cewek itu manggut-manggut.
“Oh, ayo kita bersiap-siap, acara puncaknya akan segera dimulai,” celetuk Mizuhara. Mereka beranjak ke ruang ganti untuk mengganti baju seragam mereka dengan jas happi, kostum yang selalu dipakai di acara penutupan festival.
Jas happi


***

          Acara api unggun dan pesta kembang api berlangsung dengan meriah. Semua bersorak riang, larut dalam suasana. Terlebih lagi ketika sampai pada acara yang ditunggu-tunggu, ‘confession night’. Mulanya Nanami tak percaya dengan acara tersebut, tapi ternyata Chizu dan Mizuhara benar. Acara itu adalah acara khusus ‘tembak-menembak’. Ia takjub ketika beberapa anak cowok yang kelihatannya pendiam, ternyata punya keberanian untuk mengakui cintanya secara terang-terangan di depan orang banyak. Begitu sebaliknya, ia juga menemui beberapa anak cewek yang memberanikan diri ‘menembak’ cowok yang ditaksirnya. Sungguh tak dapat dipercaya, Nanami akan melihat semua ini!
Chizu dan Mizuhara heboh tiada henti. Mereka bersorak girang, menjerit-jerit, dan jingkrak-jingkrak manakala ada yang melakukan ‘pernyataan cinta’ lalu diterima. Padahal mereka berdua tidak dalam posisi ‘ditembak’ ataupun ‘menembak’.
Berbeda dengan kedua sahabatnya itu, Nanami hanya manggut-manggut mengikuti alunan musik, lalu kembali meratapi cincinnya. Beberapa kali ia menatap cincin di jari manisnya dengan miris.
Permata berbentuk hati di cincinnya hilang entah kemana. Yang ia ingat, cincinnya masih ‘utuh’ ketika ia berganti kostum di ruang ganti. Setelah itu ia kembali ke kelas untuk mengambil phonsel, dan kemudian ... ketika ia sampai di sini ia menyadari bahwa cincinnya tak utuh lagi. Tadinya ia sempat berniat kembali ke kelas untuk mencari permata yang hilang itu, tapi jika dipikir-pikir lagi, sepertinya mustahil bisa ketemu karena bentuknya yang lumayan kecil.
“Ah, sayang sekali. Padahal cincin itu manis sekali. Aku bahkan baru membelinya kemarin,” ia manyun. Karena terlalu asyik meratapi cincin di tangannya, ia tak menyadari ketika seseorang memanggil namanya.
“Nanami? Na-na-mi?”
Baru panggilan ke sekian, Nanami menoleh. Yano ada di sampingnya, nyengir.
“Sedang menyusun rencana untuk melakukan ‘pernyataan cinta’?” ia menyapa. Nanami mendelik.
“Melakukan pernyataan cinta pada siapa? Padamu? Ih, tidak. kau sudah menolakku, dan aku takkan mengulangi pernyataan itu,” jawabnya dengan bersungut-sungut. Ia menunjukkan cincin di jari manisnya yang tak enak dipandang dimata.
“Ini, aku sedang meratapi ini, puas?” jawabnya kesal. Yano terkekeh.
“Oh, kebetulan. Aku punya sesuatu untukmu,” ucapnya.
Nanami memutar tubuhnya menghadap Yano dengan malas-malasan.
“Apa? Hari ini aku sedang tidak ingin bercanda,” ucapnya jengkel. Ia sudah hafal dengan kelakuan Yano yang jahil dan tengil.
“Sama, aku juga sedang tidak bercanda,” jawab Yano seraya meraih sesuatu dari saku jasnya lalu menyodorkannya ke arah Nanami.
Nanami mendelik.
“Lem? Kau memberiku lem? Tuh ‘kan, kau bercanda lagi ‘kan?” ucapnya kesal. Yano menyeringai.
“Tunggu, masih ada lagi kok,” ia menyibakkan jas happi-nya lalu meraih sesuatu dari saku kemeja seragamnya.
“Ini,” ia menunjukkan sebuah permata kecil berbentuk hati berwarna biru. Nanami mencondongkan tubuhnya dan menatap permata kecil di antara jemari tangan Yano.
“Ini ...?”
“Punyamu ‘kan? Aku menemukannya di kelas, secara tak sengaja, hehehe...” jawab Yano. “Sini, biar kuperbaiki,” ia meraih tangan Nanami,  melepaskan cincin di jari manisnya, lalu dengan cekatan menempelkan kembali permata yang terlepas tersebut dengan lem yang telah ia bawa tadi.
“Selesai,” dan ia kembali memasangkan cincin itu ke jari manis Nanami.
“Hei, kita seperti orang yang bertunangan saja ya?” celetuk Yano hingga membuat pipi Nanami bersemu merah.
“Terima kasih,” ucapnya tulus.
“Kembali kasih,” jawab Yano.
Keduanya terdiam.
“Nanami, mungkin ini sedikit terlambat. Tapi aku tetap ingin mengatakan ini padamu. Kau ... sangat cantik mengenakan yukata,” ujar Yano kemudian.
Alis Nanami berkerut. Ia menatap Yano lalu menatap dirinya sendiri.
“Yano, aku sedang tidak mengenakan yukata. Aku mengenakan jas happi, sama seperti punyamu,” jawab Nanami kesal.
Yano tak menjawab. Ia mengeluarkan phonsel dari sakunya lalu menunjukkannya ke arah Nanami. Nanami melihatnya dengan seksama dan seketika ia terkesiap. Fotonya, mengenakan yukata, menjadi wallpaper di phonsel Yano!
“Darimana kau ... mendapatkan foto ini?”
“Aku memintanya dari Take. Dia bilang kau terlihat sangat cantik di festival pembukaan kembang api. Dia menunjukkan fotomu padamu, dan aku segera memintanya. Maaf waktu itu aku tak bisa datang hingga tak bisa menyaksikan sendiri kau mengenakan yukata,” jelasnya.
Nanami menatap Yano dengan haru. Ia tak tahu maksud Yano apa. Tetapi hal ini terasa sudah cukup baginya. Yano menggunakan foto dirinya sebagai wallpaper di phonselnya! Astaga, ia senang sekali!
Yano memasukkan kembali phonsel itu ke sakunya lalu menatap Nanami dengan gugup. Ia juga terlihat gelisah.
“Nanami, aku akan mengatakan ini sekali. Jadi, dengarkan baik-baik ya?” pintanya. Nanami mengangguk pelan.
“Aku mencintaimu,” lanjutnya. Dengan suara yang teramat sangat jelas.
Nanami melotot. Eh??
“Jika kau bertanya apakah aku sangat mencintaimu, aku belum tahu jawabannya. Tapi kau pernah bertanya padaku apakah aku mencintaimu, maka jawabanku adalah : ya. Aku mencintaimu,” jelasnya lagi.
Ia meraih kedua tangan Nanami dan menggenggamnya erat.
“Maukah kau jadi pacarku? Kelak, kau tidak akan lagi memakai cincin yang kau beli sendiri. Tapi kau akan memakai cincin yang dibelikan olehku, maukah kau?”
Nanami menelan ludah. Speechless.
Tapi ia bisa merasakan kedua matanya berkaca-kaca karena terharu. Dan perlahanpun, ia mengangguk...

***

Bersambung...


Kawai              : manis (cantik)
Kaichou           : Ketua kelas
Jaa                  : sampai jumpa
Matta ashita    : sampai jumpa besok
Yukata             : baju tradisional untuk perempuan
jas happi ada yang dilengkapi dengan obi (ikat pinggang) ada yang tidak. dan yang dipakai Yano adalah jenis yang tidak memakai obi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar