Anak-anak
baru saja akan berlatih seperti biasanya ketika Nanami masuk ke ruangan dengan
wajah lesu.
“Ada kabar buruk,” ucapnya sambil
melangkahkan kakinya dengan lunglai ke depan kelas. Kontan seluruh kelas
menatapnya dengan heran.
“Ada apa?” mereka bertanya hampir
bersamaan. Nanami menarik nafas panjang lalu menatap mereka secara acak.
“Sepertinya kita tidak bisa menampilkan
acara paduan suara di festival seni nanti,” jawabnya kemudian.
Seisi kelas langsung riuh.
“Kenapa?”
“Mereka bilang penampilan serupa sudah
terlalu banyak. Jadi, kita diminta mengganti penampilan kita. Kalau tidak
drama, role play, atau yang lainnya. Asal bukan paduan suara,” ucap Nanami
kemudian.
Kelas yang tadinya sempat tenang ketika
Nanami berbicara, sekarang kembali ramai lagi.
“Itu tidak mungkin, Nanami. Kita sudah
berlatih dua minggu. Selain itu, waktunya terlalu mepet. Kalau kita mengganti
performance kita dengan drama atau yang lainnya, latihannya tidak akan cukup.
Bikin script, kostum, dekorasi, aduh, kenapa mendadak begini sih?”
Beberapa orang mulai berpendapat.
“Kenapa kau tidak mencoba protes dan
menjelaskan semua pada panitia?”
“Aku sudah mencobanya, tapi mereka tak
mau mendengarku,” jawab Nanami.
“Kalau begitu bicaralah lagi. Yakinkan
mereka kalau kita tetap akan menampilkan paduan suara,”
“Aku sudah mencobanya, tapi ...” Nanami
mengelus pelipisnya, bingung.
Untuk kesekian kalinya kelas kembali
ribut tak terkendali. Nanami kembali mendesah putus asa.
“Biar aku yang bicara,” suara itu secara
ajaib membuat seisi kelas tenang. Yano bangkit.
“Seluruh panitia masih ada di ruang
rapat ‘kan?” Ia bertanya pada Nanami. Yang ditanya hanya mengangguk bingung.
“Oke, biar aku yang bicara yang pada
mereka,” tanpa menunggu jawaban, cowok itu beranjak keluar dari kelas.
Dan setengah jam kemudian, ia kembali.
“Bagaimana?” seluruh kelas bertanya
dengan antusias.
Yano mengangguk.
“Boleh. Asal kita menampilan paduan
suara yang berbeda,” jawabnya. Seluruh kelas bersorak. Nanami menarik nafa
lega. Yano melangkah dan berdiri di sebelahnya. Sekarang ia yang berbicara di
depan kelas.
“Yuri, kau bisa bermain piano ‘kan?”
Yuri sedikit canggung, tapi akhirnya ia
mengangguk.
“Kita akan menampilkan paduan suara yang
diiringi instrument musik. Yuri bermain piano, Kenta bermain gitar, Mizuhara bermain
biola, dan beberapa anak laki-laki akan
memainkan seruling. Mempersiapkan instument sepertinya lebih mudah daripada
kita harus menggantinya dengan drama. Bagaimana?”
Seluruh kelas bersorak tanda setuju.
Nanami menatap Yano dengan takjub.
“Harusnya kau yang jadi ketua kelas,
bukan aku,” gerutunya pelan.
Yano terkekeh dan menatapnya.
“Boleh, asal kau mentraktirku makan
siang selama sebulan,” ucapnya.
Nanami mendelik.
“Tidak, aku tak mau bangkrut,” jawabnya
kesal. Ia kembali berbalik menghadap rekan-rekan sekelasnya yang mulai ramai.
“Teman-teman, jangan lupa lusa acara
pembukaan festival kembang lagi. Semua wajib hadir, oke?!” teriaknya.
“Okeee,” dan teman-temannya menjawab
dengan antusias.
Sesaat sebelum kembali ke tempat
duduknya, ia merasakan tangan Yano mengelus kepalanya dengan ringan. Sentuhan
itu sederhana, tapi tetap saja dadanya berdebar.
“Semoga berhasil, Kaichou*,” ucapnya.
Nanami hanya menatapnya dan menangkap
senyum manis di bibir Yano. Dan entah kenapa, Nanami ikut tersenyum. Bersyukur.
***
Nanami
datang ke pembukaan pesta kembang api dengan mengenakan yukata paling manis yang dipilihkan ibunya. Rambutnya yang sebahu
tetap ia gelung rapi. Tapi kali ini, ia menambahkan jepit berhiaskan bunga
sakura yang serasi dengan warna yukata-nya.
Bayangan akan bertemu dengan Yano di
festival kembang api tersebut membuatnya antusias berdandan, hal yang jarang ia
lakukan selama ini. Terlebih lagi, mengenakan yukata yang terkadang ia anggap merepotkan, tetap juga ia lakukan.
Ia ingin menampilkan sisi yang berbeda pada cowok itu. Nanami ingin agar kali
ini Yano melihatnya sebagai sosok cewek yang berbeda.
Nanami
tiba di sekolahnya 20 menit sebelum acara dimulai. Anak-anak yang lain sudah
heboh berkumpul hampir di seluruh penjuru lapangan, maupun bagian sekolah yang
lain. Mereka antusias, terlebih lagi karena semuanya berpakaian tradisional.
“Waaa, Nanami, kawaiiii!* Kau cantik sekali dengan yukata,” Chizu dan Mizuhara langsung menyerbu Nanami ketika cewek
itu tiba.
“Hehe, terima kasih. Kalian juga
cantik,” balas Nanami, tersipu.
Beberapa anak lelaki yang berpakaian
tradisional juga menghampiri Nanami dan memuji penampilannya.
“Kamu terlihat begitu manis, Nanami,”
puji mereka.
“Hehe, terima kasih. Kalau saja seragam
sekolah kita diganti dengan yukata,
aku pasti jadi cewek populer di sekolah ini,” jawab Nanami asal. Dan semuanya
tergelak.
“Apa Yano sudah datang?” tanya Nanami.
Teman-teman mereka melihat sekeliling.
“Sepertinya belum,” jawab mereka.
“Aku juga belum melihat Yuri,” ujar
Chizu.
Nanami manggut-manggut. Kecewa.
Kekecewaannya bertambah ketika ternyata
Yano tak muncul sampai acara selesai. Yuri juga.
“Harusnya aku tak berharap terlalu
tinggi,” desis Nanami pelan. Ia berjalan lunglai di samping Chizu dan Mizuhara.
“Aku mau cari minum dulu,” ucapnya
sambil berbalik, tapi baru beberapa langkah, matanya menangkap sosok tinggi
yang tengah mengarahkan phonsel ke arahnya.
Klik! Klik! Klik!
Ia memotret beberapa kali.
Nanami mengerjap.
“Take!” ia berseru seraya berlari kecil
menghampiri cowok tersebut. Take tertawa lirih.
“Sori, tapi kau cantik sekali dengan yukata itu. Jadi aku memotretnya. Untuk
kenang-kenangan saja,” ucapnya seraya nyengir.
Nanami manyun.
“Curang. Kau mengambil fotoku tanpa
ijin. Setidaknya bilang dulu kalau mau memotret. ‘Kan aku bisa eksyen dulu,”
gerutu Nanami.
Take tertawa.
“Kalau begitu, boleh dicoba lagi?”
“Tidak,” cetus Nanami.
Keduanya tertawa lagi.
“Mmm, Yano tidak ikut?” Nanami menatap
sekelilingnya.
Take terdiam sesaat. Ia menggeleng.
“Hari ini hari kematian Nana. Jadi... ia
tak bisa datang,” jawabnya.
Nanami mematung sesaat. Hari kematian Nana?
“Ow, begitu. Pantas saja Yuri juga tidak
ada,” ucapnya. Tiba-tiba rasa haus yang tadi menyerangnya hilang seketika.
“Aku mau pulang. Kau?”
Take mengangguk. “Iya, aku juga mau
pulang,” jawabnya.
“Kalau begitu, bareng saja. Rumah kita
searah ‘kan?” Nanami menyerocos, seperti biasanya.
Take meringis seraya menggaruk-garuk
kepalanya.
“Sebetulnya, rumah kita tidak searah,”
jawabnya.
Nanami mengernyit.
“Masa? Tapi beberapa kali kita naik bis
yang sama ‘kan?” tanyanya tak mengerti.
Take menggeleng, salah tingkah.
“Mmm, waktu itu kebetulan saja aku punya
kepentingan hingga kita naik bis yang sama. Oke deh, aku duluan ya. Jaa*,” Take ngacir sebelum Nanami sempat
bertanya apa-apa lagi padanya.
Nanami hanya melambaikan tangannya, juga
bingung.
![]() |
Yukata |
***
Keesokan
harinya, Yano tak masuk. Esoknya lagi, juga. Di jadwal latihanpun ia juga tak
datang. Hingga akhirnya dengan penuh keraguan, Nanami memutuskan untuk datang
ke rumah Yano. Tentunya, setelah terlebih dahulu mencari tahu alamatnya secara
sembunyi-sembunyi.
Cewek itu
berdiri mematung di rumah sederhana berlanti dua yang berada di depannya. Ia
sudah mondar-mandir di depan rumah tersebut selama hampir 10 menit. Ia hanya
tak tahu kenapa ia bisa sampai ke sini? Untuk apa ia ke sini? Untuk apa?
Beberapa kali ia sudah mencoba menekan
bel di pagar, tapi batinnya lagi-lagi bersitegang. Ini memalukan! Untuk apa ia
ke sini? Untuk apa? Mengkhawatirkan Yano? Memang dia siapa?
Masuk?
Tidak! masuk? Tidak!
Nanami mendesah. Akhirnya ia memutuskan,
“Sebaiknya aku pulang. Kekhawatiranku tak beralasan,” gumamnya.
Ia baru saja akan berbalik ketika
tiba-tiba jendela di lantai dua terbuka dan kepala Yano nongol dari sana.
“Ibuuu!! Ada penguntit di depan rumah
kitaa!!” teriaknya.
Nanami melotot kaget, ia menatap Yano
dengan bingung.
“Siapa? Siapa yang penguntit??!” ia juga
berteriak seraya menatap kanan dan kirinya.
“Kau,” Yano menunjuk ke arah Nanami.
Mata Nanami makin melebar.
“Aku?! Aku bukan penguntit!” teriaknya
lagi.
“Lalu untuk apa kau mondar-mandir di
depan rumahku selama 10 menit?”
“Aku hanya ingin berkunjung. Aku ....
Tunggu! Jadi kau tahu aku sudah mondar-mandir di depan rumahmu selama 10
menit?!”
Yano tersenyum licik seraya mengangguk.
Nanami menggigit bibirnya dengan sebal.
“Kalau begitu kenapa kau tidak segera
menyuruhku masuk, sialan!” Nanami
berteriak lagi.
“Karena menyenangkan sekali melihatmu
mondar-mandir di sana,” jawab Yano enteng.
“Buka pintunya! Cepat buka! Kau harus
segera diberi pelajaran!” Nanami tak berhenti berteriak dengan kesal seraya
mendorong-dorong pagar dengan kasar.
“Ibuuuuu! Ada cewek gila yang mau
merobohkan pagar rumah kitaaa!” Yano kembali berteriak dengan jahil hingga
membuat Nanami berhenti mendorong pagar.
“Siapa yang mau merobohkan pagar?! Aku
ingin bertamu baik-baik, dasar bocah tengik! Nih, lihat buktinya!”
Nanami menekan bel berkali-kali dengan
kesal.
“Ibu Yano yang terhormat, saya Nanami.
Tolong buka pintunya ya. Saya ingin bertemu,” ucapnya kemudian. Kontan saja hal
ini membuat Yano tertawa terpingkal-pingkal hingga matanya berair.
***
“Maaf
ya, Yano memang begitu. Dia masih saja jahil seperti anak kecil. Tadinya ibu
ingin membukakan pintu, tapi ia melarang. Dia bilang, kamu lucu seperti
hiburan,” ucap ibu Yano, setelah ia membukakan pintu dan menyilakan Nanami
masuk ke kamar Yano. Ia juga membawakan secangkir teh dan sepiring puding.
Yano masih saja tertawa, tanpa beranjak
dari atas tempat tidurnya. Sementara Nanami cuma meringis, malu bercampur
sebal.
“Silahkan dinikmati. Anggap saja rumah
sendiri,” ucap ibu Yano dengan ramah.
“Maaf merepotkan,” ucap Nanami ramah.
Ibu Yano tersenyum lalu beranjak.
Nanami menatap Yano dengan tatapan
menusuk.
“Puas?” desisnya.
“Puas,” jawab Yano, tetap dengan tawanya
yang tak kunjung berhenti.
Nanami
masih jengkel. Tapi melihat Yano yang tertawa lepas seperti itu, tiba-tiba saja
hatinya lega. Setidaknya, tak ada yang perlu ia khawatirkan.
“Jadi, kenapa kau tak masuk sekolah? Kau
juga tak datang di latihan,” tanya Nanami seraya duduk di satu-satunya kursi
yang ada di kamar tersebut.
Tawa Yano terhenti.
“Kau tak lihat aku ada di atas tempat
tidur? Itu tandanya aku sedang sakit,” jawabnya seraya nyengir.
“Mana ada orang sakit yang tertawa keras
kayak gitu? Kau terlihat baik-baik saja kok,” sangkal Nanami.
Yano nyengir.
“Dua hari ini aku bangun kesiangan, hehehe...”
ucapnya. Tapi Nanami tahu ia bohong.
“Dasar pembohong,” gumamnya.
“Tapi sekarang sudah baikan ‘kan? Besok
masuk tidak? Latihan bisa datang ‘kan? Ada masalah dengan lagu? Tangga
nada?.....”
“Sudahlah. Jangan banyak nanya. Makan
saja pudingnya,” potong Yano.
“Memangnya aku ke sini cuma mau makan
puding?”
“Ya sudah, kalau begitu jangan dimakan,”
“Akan ku makan!” jawab Nanami kesal
seraya memasukan sesendok puding ke mulutnya.
Hening sesaat. Nanami asyik menyantap
puding, sementara Yano menatapnya secara sembunyi-sembunyi.
“Aku tak menyangka kamarmu rapi,” Nanami
membuka suara sambil menatap sekelilingnya.
“Dan aku yakin, kamarku lebih rapi dari
kamarmu, ya ‘kan?” jawab Yano. Nanami nyaris tersedak.
“Kok tahu?” desisnya. Yano terkekeh.
Nanami bangkit dan menatap sebuah album
foto di rak di samping Yano.
“Album foto. Boleh ku lihat?” tanya
Nanami antusias.
Yano meraihnya.
“Boleh. Tapi sebentar... akan ku
singkirkan beberapa foto pornonya,” ucap Yano lagi sambil meringis. Ia
mengambil beberapa gambar dari album foto tersebut lalu menyerahkan albumnya ke
arah Nanami.
“Dasar mesum,” desis Nanami.
Ia membuka-buka album foto tersebut. Dan
ia bisa melihat foto Yano dari dia SD sampai SMP. Melihat foto-foto Yano,
Nanami merasa senang bukan main.
“Mana fotonya kak Nana?” tanya Nanami
tanpa melihat ke arah Yano, tangaannya sibuk membolak-balik halaman foto.
“Nih,” Yano menunjuk foto di tangannya.
“Boleh ku lihat?”
“Yakin ingin melihat? Ini foto porno
lho?” tatapan Yano kembali terlihat jahil.
Nanami seperti hilang kesabaran. Ia
berjingkat, naik ke ranjang Yano lalu meriah foto tersebut dari tangannya.
“Whoa, kau nafsu sekali ya?” ujar Yano,
tetap dengan kejahilannya.
“Diamlah,” jawab Nanami pendek seraya
menatap foto di tangannya. Ia mengernyit.
“Ini bukan foto kak Nana. Ini ‘kan
fotomu dengan Take,” desisnya seraya menatap Yano dengan kesal. Yano kembali
tertawa.
“Itu foto kesayanganku. Foto itu
pertanda bahwa persahabatanku dengan Take abadi. Lagipula ... aku tak punya
foto Nana,” jelasnya.
“Kenapa tak punya?” tanya Nanami lagi.
Yano mengangkat bahu.
“Sepertinya tak penting lagi aku
menyimpan fotonya,” kalimat Yano terdengar ragu. Nanami tahu ia pasti sedang
berjuang dengan semua kenangan tentang Nana.
“Ngomong-ngomong, Nanami... Kau, berani
sekali ya,”
Nanami mengernyit.
“Apa?” ia bertanya bingung.
“Kau sadar kau berada di mana?” Yano
tersenyum. “Kau ... di atas ranjangku,” ucapnya lagi.
“Lalu?” Nanami kembali mengernyit.
“Ada yang mengatakan bahwa jika seorang
cewek berani naik ke ranjang seorang laki-laki, itu tandanya ... dia ...
bersedia untuk di ajak ....kau tahulah, hubungan antara perempuan dan
laki-laki,”
Nanami membelalak. Tiba-tiba saja Yano
bergerak mendekatinya dan secara reflek, Nanami
bergerak mundur hingga akhirnya .... grubyakkk!!
Cewek mungil itu terjungkal dari tempat
tidur dan keningnya membentur lantai dari kayu. Ia mengaduh sementara Yano
ngakak.
“Hahaha, aku hanya bercanda, Nanami,”
ucapnya tanpa bisa menahan tawanya.
Nanami menatapnya tajam.
“Yanooo!!!” jeritnya kesal seraya
memegangi keningnya yang mulai benjol.
“Sori, sori,” ucap Yano, ia beranjak
turun dari tempat tidurnya. “Sini, biar ku lihat,” ia mengulurkan tangannya
menyentuh kening Nanami.
“Sakit,” cewek itu menepis pelan
tangannya lalu memijit-mijit keningnya sendiri. Ia bangkit lalu meraih tasnya
di lantai. “Datang ke sini dan mengkhawatirkanmu adalah sia-sia,” ucapnya. “Aku
pulang,” ia beranjak.
“Nanami,” panggil Yano lirih.
“Apalagi sih?” Nanami berbalik kesal.
Yano menatapnya dalam.
“Terima kasih, atas kunjungannya,”
jawabnya lirih. Tatapannya lembut.
“Kalau begitu, sampai jumpa besok,”
Nanami melangkahkan kakinya keluar dari kamar Yano. Tapi sekian detik kemudian,
ia berbalik dan kembali ke kamar Yano.
Yano masih berdiri, menatap ke arah
pintu, dan sekarang menatap ke arahnya.
Nanami menelan ludah.
“Yano, mungkin orang yang kamu sayangi
sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tapi, sekarang ada seseorang di sini yang
akan menyayangimu dengan tulus. Percayalah, kau tidak sendirian. Bahkan jika
kau merasa sedih dan terpuruk, ada aku di sini. Mulai sekarang dan seterusnya,
aku akan selalu memperhatikanmu. Percayalah padaku, aku akan selalu
memperhatikanmu, oke? Matta ashita*,”
cewek itu segera berlalu tanpa membiarkan Yano membuka suara. Dan cowok itu
memang tak sanggup berkata-kata. Ia hanya menatap kepergian Nanami dengan
takjub.
***
Festival
seni berlangsung dengan meriah. Kelas Nanami sukses menampilkan paduan suara
yang diiringi dengan instrument. Semua orang terlihat puas dan
bersenang-senang. Mereka semakin antusias ketika hari terakhir festival diisi
dengan malam api unggun dan pesta kembang api.
“Bersiap-siap untuk malam api unggun,
yeeaaaahhh,” mereka bersorak.
“Dan pesta kembang api, yeaahhh,” Nanami
menambahkan.
“Ngomong-ngomong ... cincinmu bagus
sekali, Nanami,” Chizu menunjuk ke arah cincin bermata biru berbentuk hati di
jari manis Nanami.
“Terima kasih,” jawab Nanami.
“Apa seorang cowok membelikannya
untukmu?”
“Tidak, aku membelinya sendiri,”
Chizu dan Mizuhara melongo.
“Nanami, membeli cincin untuk diri
sendiri itu semakin menunjukkan kalau kau adalah jomblo sejati, itu
menyedihkan,” cetus Mizuhara.
Nanami tertawa.
“Kenapa? Cincin ini bagus kok. Dan aku
tak peduli soal cowok,” jawabnya enteng.
“Berdoa saja agar di malam api unggun
nanti akan ada cowok yang menembakmu,” tukas Mizuhara lagi.
“Kenapa harus di malam api unggun?”
Mizuhara dan Chizu berpandangan.
“Ow, jadi kau belum tahu ya? Setiap
akhir festival yang ditandai dengan pesta api unggun dan kembang api, akan ada
sesi ‘confession night’. Istilah lainnya adalah malam ‘pernyataan cinta’.
Biasanya, para cowok atau cewek akan menyatakan cinta mereka pada orang yang
mereka cintai. Hal ini sudah jadi tradisi di sekolah kita selama
bertahun-tahun. Dan percaya atau tidak, kebanyakan orang yang menyatakan cinta
di malam api unggun itu selalu diterima. Mereka bilang, itu adalah kekuatan doa
dari para leluhur di sekolah ini, ” Mizuhara menjelaskan. Nanami
manggut-manggut.
“Mau mencobanya?” Chizu berbisik.
“Mencoba apa?” tanya Nanami.
“Mencoba menyatakan cintamu pada Yano?”
Nanami tertawa lirih.
“Aku sudah menyatakan cintaku padanya,
dan kenyataannya aku digantung. Aku anggap itu penolakan. Dan aku takkan
mengulangi pernyataan itu lagi,” jawab Nanami.
Chizu menepuk pundak Nanami.
“Sabar ya,” ucapnya. Cewek itu
manggut-manggut.
“Oh, ayo kita bersiap-siap, acara
puncaknya akan segera dimulai,” celetuk Mizuhara. Mereka beranjak ke ruang
ganti untuk mengganti baju seragam mereka dengan jas happi, kostum yang selalu dipakai di acara penutupan festival.
![]() |
Jas happi |
***
Acara
api unggun dan pesta kembang api berlangsung dengan meriah. Semua bersorak
riang, larut dalam suasana. Terlebih lagi ketika sampai pada acara yang
ditunggu-tunggu, ‘confession night’. Mulanya Nanami tak percaya dengan acara
tersebut, tapi ternyata Chizu dan Mizuhara benar. Acara itu adalah acara khusus
‘tembak-menembak’. Ia takjub ketika beberapa anak cowok yang kelihatannya
pendiam, ternyata punya keberanian untuk mengakui cintanya secara
terang-terangan di depan orang banyak. Begitu sebaliknya, ia juga menemui
beberapa anak cewek yang memberanikan diri ‘menembak’ cowok yang ditaksirnya.
Sungguh tak dapat dipercaya, Nanami akan melihat semua ini!
Chizu dan
Mizuhara heboh tiada henti. Mereka bersorak girang, menjerit-jerit, dan
jingkrak-jingkrak manakala ada yang melakukan ‘pernyataan cinta’ lalu diterima.
Padahal mereka berdua tidak dalam posisi ‘ditembak’ ataupun ‘menembak’.
Berbeda dengan kedua sahabatnya itu,
Nanami hanya manggut-manggut mengikuti alunan musik, lalu kembali meratapi
cincinnya. Beberapa kali ia menatap cincin di jari manisnya dengan miris.
Permata
berbentuk hati di cincinnya hilang entah kemana. Yang ia ingat, cincinnya masih
‘utuh’ ketika ia berganti kostum di ruang ganti. Setelah itu ia kembali ke
kelas untuk mengambil phonsel, dan kemudian ... ketika ia sampai di sini ia
menyadari bahwa cincinnya tak utuh lagi. Tadinya ia sempat berniat kembali ke
kelas untuk mencari permata yang hilang itu, tapi jika dipikir-pikir lagi,
sepertinya mustahil bisa ketemu karena bentuknya yang lumayan kecil.
“Ah, sayang sekali. Padahal cincin itu
manis sekali. Aku bahkan baru membelinya kemarin,” ia manyun. Karena terlalu
asyik meratapi cincin di tangannya, ia tak menyadari ketika seseorang memanggil
namanya.
“Nanami? Na-na-mi?”
Baru panggilan ke sekian, Nanami
menoleh. Yano ada di sampingnya, nyengir.
“Sedang menyusun rencana untuk melakukan
‘pernyataan cinta’?” ia menyapa. Nanami mendelik.
“Melakukan pernyataan cinta pada siapa? Padamu?
Ih, tidak. kau sudah menolakku, dan aku takkan mengulangi pernyataan itu,”
jawabnya dengan bersungut-sungut. Ia menunjukkan cincin di jari manisnya yang
tak enak dipandang dimata.
“Ini, aku sedang meratapi ini, puas?”
jawabnya kesal. Yano terkekeh.
“Oh, kebetulan. Aku punya sesuatu
untukmu,” ucapnya.
Nanami memutar tubuhnya menghadap Yano
dengan malas-malasan.
“Apa? Hari ini aku sedang tidak ingin
bercanda,” ucapnya jengkel. Ia sudah hafal dengan kelakuan Yano yang jahil dan
tengil.
“Sama, aku juga sedang tidak bercanda,”
jawab Yano seraya meraih sesuatu dari saku jasnya lalu menyodorkannya ke arah
Nanami.
Nanami mendelik.
“Lem? Kau memberiku lem? Tuh ‘kan, kau
bercanda lagi ‘kan?” ucapnya kesal. Yano menyeringai.
“Tunggu, masih ada lagi kok,” ia
menyibakkan jas happi-nya lalu meraih sesuatu dari saku kemeja seragamnya.
“Ini,” ia menunjukkan sebuah permata
kecil berbentuk hati berwarna biru. Nanami mencondongkan tubuhnya dan menatap
permata kecil di antara jemari tangan Yano.
“Ini ...?”
“Punyamu ‘kan? Aku menemukannya di
kelas, secara tak sengaja, hehehe...” jawab Yano. “Sini, biar kuperbaiki,” ia
meraih tangan Nanami, melepaskan cincin
di jari manisnya, lalu dengan cekatan menempelkan kembali permata yang terlepas
tersebut dengan lem yang telah ia bawa tadi.
“Selesai,” dan ia kembali memasangkan
cincin itu ke jari manis Nanami.
“Hei, kita seperti orang yang
bertunangan saja ya?” celetuk Yano hingga membuat pipi Nanami bersemu merah.
“Terima kasih,” ucapnya tulus.
“Kembali kasih,” jawab Yano.
Keduanya terdiam.
“Nanami, mungkin ini sedikit terlambat.
Tapi aku tetap ingin mengatakan ini padamu. Kau ... sangat cantik mengenakan yukata,” ujar Yano kemudian.
Alis Nanami berkerut. Ia menatap Yano
lalu menatap dirinya sendiri.
“Yano, aku sedang tidak mengenakan yukata. Aku mengenakan jas happi, sama
seperti punyamu,” jawab Nanami kesal.
Yano tak menjawab. Ia mengeluarkan
phonsel dari sakunya lalu menunjukkannya ke arah Nanami. Nanami melihatnya dengan
seksama dan seketika ia terkesiap. Fotonya, mengenakan yukata, menjadi wallpaper di phonsel Yano!
“Darimana kau ... mendapatkan foto ini?”
“Aku memintanya dari Take. Dia bilang
kau terlihat sangat cantik di festival pembukaan kembang api. Dia menunjukkan
fotomu padamu, dan aku segera memintanya. Maaf waktu itu aku tak bisa datang
hingga tak bisa menyaksikan sendiri kau mengenakan yukata,” jelasnya.
Nanami menatap Yano dengan haru. Ia tak
tahu maksud Yano apa. Tetapi hal ini terasa sudah cukup baginya. Yano menggunakan
foto dirinya sebagai wallpaper di phonselnya! Astaga, ia senang sekali!
Yano memasukkan kembali phonsel itu ke
sakunya lalu menatap Nanami dengan gugup. Ia juga terlihat gelisah.
“Nanami, aku akan mengatakan ini sekali.
Jadi, dengarkan baik-baik ya?” pintanya. Nanami mengangguk pelan.
“Aku mencintaimu,” lanjutnya. Dengan
suara yang teramat sangat jelas.
Nanami melotot. Eh??
“Jika kau bertanya apakah aku sangat
mencintaimu, aku belum tahu jawabannya. Tapi kau pernah bertanya padaku apakah
aku mencintaimu, maka jawabanku adalah : ya. Aku mencintaimu,” jelasnya lagi.
Ia meraih kedua tangan Nanami dan
menggenggamnya erat.
“Maukah kau jadi pacarku? Kelak, kau
tidak akan lagi memakai cincin yang kau beli sendiri. Tapi kau akan memakai
cincin yang dibelikan olehku, maukah kau?”
Nanami menelan ludah. Speechless.
Tapi ia bisa merasakan kedua matanya
berkaca-kaca karena terharu. Dan perlahanpun, ia mengangguk...
***
Bersambung...
Kawai :
manis (cantik)
Kaichou : Ketua kelas
Jaa : sampai jumpa
Matta
ashita : sampai jumpa besok
Yukata :
baju tradisional untuk perempuan
jas happi ada yang dilengkapi dengan obi (ikat pinggang) ada yang tidak. dan yang dipakai Yano adalah jenis yang tidak memakai obi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar