Jumat, 24 April 2015

Tada Aishiteru - Part 6



         Dokter bergerak dengan cepat. Anggi memang telah kehilangan banyak darah karena urat nadinya nyaris putus. Tapi mereka bilang, perempuan itu tak mengalami masa kritis.
Hasan duduk tercenung di ruang tunggu. Pandangannya kosong. Mulutnya memang mangatakan tak cemas, tapi raut mukanya tak bisa berbohong. Ia khawatir dengan keadaan perempuan tersebut. Dan tentu saja, bayi dalam kandungannya.
Rena menghampirinya dengan ragu-ragu. “Dia tidak mengalami masa kritis, mas. Bayinya juga tak apa-apa.  Mas tenang saja,” ucapnya lirih. Hasan mendongak. Ia menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan putus asa.
“Maaf, Rena. Aku benar-benar tak menyangka bahwa Anggi berani bertindak sejauh ini,” gumamnya lirih. Rena mengangguk. Hasan bangkit.
“Kau tak apa-apa ‘kan?” Ia bertanya cemas seraya menatap Rena dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu menggeleng.
“Aku baik-baik saja,” jawabnya.
“Syukurlah,” gumam Hasan. Ingin ia memeluk perempuan tersebut. Tapi sesuatu seakan menahannya. Mereka canggung satu sama lain.
“Apa kau berniat melaporkan kejadian ini pada polisi? Anggi berusaha melukaimu ‘kan?” ucap Hasan kemudian.
“Tidak, mas. Aku anggap ini sebagai kecelakaan,” jawab Rena.
Hasan manggut-manggu. “Pulanglah dan beristirahatlah. Kau pasti cemas dan syok. Biar aku yang di sini menemani Anggi,” ucapnya, ragu.
“Mas yakin?” Rena menatapnya dengan dalam. Hasan tak segera menjawab. Tapi akhirnya ia mengangguk.
“Terima kasih karena kau mau menemaniku melewati ini. Dan sampaikan juga rasa terima kasihku pada Shinji karena tadi ia sudah bertaruh nyawa untuk menyelamatkanmu dan juga Anggi,” ucap Hasan lagi. Mendengar nama Shinji disebut, Rena mengalihkan pandangannya ke sekeliling, dan ia baru menyadari bahwa sejak tadi ia tak melihat Shinji. “Di mana dia?” ia bertanya lirih tanpa sadar.
“Shinji maksudmu?”
Rena mengangguk.
“Terakhir kali aku melihatnya di ruang gawat darurat ketika mereka baru saja memberi pertolongan pertama pada Anggi. Mungkin ia masih di sana, atau ia masih ada keperluan untuk membeli sesuatu di luar.” Hasan mencoba menduga-duga.
Rena kembali mengarahkan pandangannya ke sekeliling. Dan ia tetap tak menemukan sosok itu. Perempuan itu menatap Hasan, seakan meminta pertimbangan. Hasan manggut-manggut.
“Iya, carilah dia. I’m okay,” lelaki itu membuka suara.
“Kalau begitu, aku akan mencarinya dulu, mas,” ucap Rena.
Hasan kembali mengangguk. Tanpa banyak bicara, Rena segera beranjak. Melangkahkan kakinya menuju ruang gawat darurat, meskipun sebenarnya ia meragukan bahwa ia akan menemukan pria itu di sana.  Ketika sampai di ruang gawat darurat, Rena menyusuri ruang sempit itu dengan hati-hati. Dan betapa ia sangat terkejut ketika sampai di ruang paling ujung dekat dengan pintu keluar, ia menyaksikan Shinji sedang duduk di atas di ranjang, dan di sampingnya seorang perawat tengah sibuk membersihkan luka di lengan tangan kanannya yang berlumuran darah.
Rena melotot. Ia baru ingat bahwa tadi Anggi berusaha melukainya dan Shinji-lah orang yang menangkisnya. Dan rupanya, perempuan itu memang berhasil melukainya. Ia sama sekali tak tahu itu karena pikirannya sedang kacau. Lagipula, tadi ia ke rumah sakit dengan naik mobil Hasan. Jadi, ia benar-benar tak tahu bahwa Shinji juga terluka. “Ya Tuhan, Shinji!” Rena nyaris memekik. Segera perempuan itu berlari ke arah Shinji.  “Kau tak apa-apa?” Ia bertanya dengan suara cemas seraya menatap ke arah luka sayatan di lengan atas Shinji sebelah kanan. Luka itu memanjang sekitar 10 cm, sepertinya memang tidak terlalu dalam, tapi tetap saja mengucurkan banyak darah.
Shinji menoleh.
“Oh, Rena. Kau sudah di sini? Bagaimana Anggi? Apa dia baik-baik saja?”
“Kenapa kau tak bilang bahwa kau juga terluka?” Suara Rena bergetar. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Shinji menatapnya dengan bingung.
“Aku tak apa-apa, Ren. Kau tak perlu secemas itu. Ini hanya luka sayatan biasa, tak perlu sampai di jahit. Kalau tak percaya, tanya saja pada perawat. Luka ini hanya akan di bersihkan, di kasih obat, lalu di perban. Percayalah, aku baik-baik saja,” Shinji mencoba meyakinkan. Rena mengangguk-angguk, tapi air matanya tetap saja menitik. Dan itu cukup untuk membuat Shinji kelabakan.
“Tunggulah sebentar lagi. Ini takkan lama. Kita akan segera pulang, oke? Jangan menangis, sayang. Kumohon,” Shinji mengiba. Rena kembali mengangguk. Tapi air matanya tak bisa berhenti mengalir.

***

          Shinji pulang ke apartemennya dengan ditemani Rena. Dia ke sana dengan mengendarai mobilnya sendiri. Tadinya Rena menawarinya untuk menggantikan menyetir, tapi Shinji menolak. Ia bilang bahwa tangannya memang terluka, tapi ia masih sanggup menjalankan mobilnya. Setelah sempat terlibat perdebatan kecil, akhirnya Rena menyerah. Ia biarkan Shinji menyetir seperti biasanya.
“Sakit?” tanya Rena cemas seraya mengikuti Shinji yang melangkah menuju kamarnya. Shinji tersenyum ke arahnya tanpa menghentikan langkahnya. “Sedikit,” jawabnya.
“Kalau begitu segeralah istrihat. Dan jangan banyak bergerak,” ucap Rena lagi. Shinji hanya mengangguk. Setelah sampai di kamar, Rena segera merapikan tempat tidurnya dan menyiapkannya agar Shinji bisa segera tidur dan beristirahat.
“Terima kasih,” jawab Shinji pendek seraya duduk di pinggir tempat tidur.
“Perlu kubuatkan sesuatu?” Rena bertanya dengan cemas.
“Tidak, tak usah repot. Tapi sepertinya aku akan mengalami kesulitan untuk satu hal.” Jawab Shinji.Rena mengernyitkan dahinya. “Apa?”
Shinji tak segera menjawab. Ia bangkit.
“Mungkin ini akan terdengar kurang sopan. Tapi aku benar –benar ingin ganti baju. Bisakah kau bantu?” Kata-katanya terdengar ragu.
Tanpa banyak berpikir, Rena mengangguk. Perempuan itu beranjak mendekati Shinji dan dengan perlahan ia membantunya melepas kaos yang kotor dan berlumuran darah.
“Sakit?” Ia bertanya dengan was-was.Shinji menggeleng.
“Aku akan mencarikan baju yang mudah kau kenakan.” Rena berniat beranjak menuju lemari baju yang ada di samping jendela, tapi langkahnya tertahan ketika Shinji menarik lengan tangannya.
Lelaki itu menatap kedua mata Rena yang tampak sembab dan berkaca-kaca. Ia menelangkupkan kedua tangannya di kedua pipi Rena dan menatap perempuan itu dengan lembut.
Shinpai? (Khawatir?)” Bisiknya lirih.
Rena mengangguk. Kedua mata Shinji menyipit dan senyum tipis merekah dari mulutnya. “Sangat mengkhawatirkanku?” Ia berbisik lagi.
Perempuan itu kembali mengangguk.
“Kemarilah.” Shinji meraih bahu Rena lalu memeluk perempuan itu dengan erat. Ia membelai kepala Rena dengan lembut. Rena membenamkan kepalanya pada dada Shinji yang bidang dan telanjang. Ia sempat mencium aroma cologne-nya yang bercampur dengan keringat. Aroma yang beberapa bulan ini akrab dengan hidungnya dan tentu ia mulai menyukainya. “Maafkan aku.” Ucapnya lirih.
“Kenapa kau minta maaf?” Tanya Shinji seraya mengelus rambut Rena.
“Karena aku telah melibatkanmu sejauh ini dalam masalahku. Dan kau hampir saja kehilangan nyawamu karenaku.” Rena terisak. Dan Shinji sempat terkesiap selama beberapa saat. Perempuan itu mendongak dan menatap Shinji dengan air mata bercucuran. “Maafkan aku, aku benar-benar tak menyangka semua akan berakhir seperti ini. Ini___” kalimat Rena terhenti. Shinji menghapus air mata di pipinya dengan perlahan.
“Aku tak menyesal, Rena. Aku bahkan rela terlibat terlalu jauh, demi kau,” ucapnya lembut.
“Aku tak apa-apa, jangan mengkhawatirkan aku. Luka ini tak seberapa,  percayalah padaku. Aku masih bisa merengkuhmu, memelukmu. Jangan menangis lagi, Ren. Kau melukai hatiku.” Ucapnya lirih. Air mata Rena terus menitik.
“Ku mohon jangan menangis lagi. Jangan, sayang,” desis Shinji. Lelaki itu mendaratkan sebuah kecupan lembut di mata kanan Rena, lalu beralih ke mata kirinya, kemudian pucuk hidungnya, lalu bibirnya. Tak butuh lama untuk membuat kecupan ringan itu menjadi ciuman yang lebih intens. Lebih intim. Untuk sesaat, Rena tak mampu berpikir jernih. Entah karena Rena terlalu bingung dengan apa yang ia alami hari itu atau entah karena ia menginginkannya. Yang jelas, otaknya masih cukup waras untuk merespon kembali semua ciuman Shinji, sentuhannya, cumbuannya, semuanya.

***

          Ketika Shinji membuka mata keesokan harinya, ia tak melihat Rena di sisinya. Ia mengira perempuan itu telah pulang tanpa sepengetahuannya. Tapi begitu ia melangkahkan kakinya keluar kamar, ia merasa lega luar biasa karena menemukan wanita cantik itu di dapur. Sepertinya ia baru saja mandi. Itu terlihat dari wajahnya yang segar dan rambutnya yang basah dan terurai dengan indah. Ia nampak cantik sekali pagi ini, Shinji sempat memuji dalam hati.“Kirei (cantik).” Ia mendesis lirih.
          Selama beberapa saat, diam-diam lelaki itu menatap Rena dengan takjub. Ia tersenyum. Mengingat kembali betapa cantiknya Rena dalam pelukannya, semalam, di tempat tidurnya.
“Kau sudah bangun?” Rena akhirnya menyadari kehadiran Shinji lalu menyapa dengan senyumnya yang indah. Shinji tersenyum dan mengangguk.“Aku kira kau meninggalkanku dan membuatku patah hati lagi di pagi ini.” Jawabnya. Rena tergelak.
“Aku tak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini,”
“Maksudmu, karena tanganku terluka?”
Rena mengangguk.
“Apa itu berarti kau takkan berada di sini jika saja aku tak terluka?” Ucapan Shinji terdengar kesal. Rena tertawa. “Bagaimana tanganmu? Masih sakit?”
“Sedikit,” jawab Shinji, dongkol.
“Aku sudah membuatkanmu sarapan. Makanlah dan setelah itu segeralah minum obat. Perlukah kita ke dokter hari ini untuk kontrol?”
Shinji manyun. “Kenapa kau berubah cerewet seperti ibu-ibu begini?” ujarnya.
Rena mendelik. Tapi tetap saja ia terlihat cantik. Shinji segera bergerak dan mendaratkan sebuah ciuman ringan di kening Rena sebelum ia beranjak menuju meja makan yang telah tertata dengan makan pagi.
“Aku tak ingin campur tangan. Tapi sepertinya kau harus beristirahat lagi di rumah, kau tak perlu ke kantor.” Rena memastikan.
“Kau akan menemaniku di sini?” Tanya Shinji girang.
Rena menggeleng. “Setelah kau selesai sarapan dan minum obat, aku akan segera pulang,” jawabnya.
“Cepat sekali. Tinggalah di sini sebentar lagi, Ren. Aku akan kesepian tanpamu.” Shinji merajuk seperti anak kecil hingga membuat Rena kembali tertawa.
“Aku akan kembali ke sini, secepatnya. Tapi aku harus pulang dulu ke rumah. Setelah itu, ke rumah sakit untuk menjenguk Anggi.” Jawabnya.
“Kau akan bertemu dengan Hasan lagi ‘kan?” Nada suara Shinji terdengar was-was.
“Iya, dan ada sesuatu yang memang ingin kubicarakan dengannya.”
Shinji menarik nafas panjang dan menatap perempuan di hadapannya dengan berat hati.
“Ku antarkan ya?” Ujarnya kemudian. Rena menggeleng.
“Ini hanya pertemuan biasa, tak lebih.” Perempuan itu seakan ingin menegaskan. Shinji terdiam sesaat, namun akhirnya ia mengangguk.

***

          Rena sering mengunjungi Anggi di rumah sakit. Dan ia lega karena dari hari ke hari keadaannya semakin membaik. Ia tak lagi terlihat syok dan depresi. Sebaliknya, ia terlihat lebih tenang dan ceria. Rena tak tahu apa yang telah Hasan janjikan padanya hingga perempuan itu terlihat bahagia. Tapi yang jelas, ia senang melihat keadaannya yang sekarang.
“Kau sibuk hari ini?” Tanya Hasan ketika mereka berpapasan di depan pintu tempat Anggi di rawat.
“Tidak. Ada apa mas?”
“Bisakah kau meluangkan sedikit waktu untukku. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Mari kita keluar sambil makan siang.” Ajak Hasan. Rena manggut-manggut. Dan akhirnya ia mengikuti Hasan menuju rumah makan yang dulu biasa mereka datangi ketika masih sebagai suami istri.
“Sekali lagi aku ingin minta maaf atas apa yang telah terjadi antara kau, Anggi, dan Shinji. Aku benar-benar tak menyangka bahwa Anggi akan berbuat sejauh itu.” Hasan membuka suara.
“Yang penting dia dan bayinya selamat. Aku lega, tulus mas.” Jawab Rena.
Hasan tersenyum kecut. Lelaki itu menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. “Kau benar, Rena. Aku harus mengambil tanggung jawab atas perbuatanku sendiri. Semua yang terjadi selama ini adalah karena diriku, semua kesalahanku. Aku menyakitimu, melukaimu, melukai Anggi. Itu semua salahku. Jadi, setelah berpikir keras, aku sepakat menceraikanmu, Ren.”
Rena mendengarkan kalimat yang meluncur dari bibir Hasan dengan seksama.
“Dan setelah proses perceraian kita selesai, aku akan segera menikahi Anggi. Aku akan merawat dia dan juga bayinya dengan baik.” Hasan melanjutkan.
Rena manggut-manggut.
“Aku hanya bisa mendoakan semua kau bisa membina keluarga dengan sempurna dan bahagia, mas. Aku lega sekarang,” jawab Rena.
“Terima kasih. Aku juga berharap agar kau bisa menemukan lelaki yang lebih baik dariku,”
Rena tak menjawab. Hasan terdiam sesaat.
“Tapi, kau harus ingat satu hal, Rena. Aku memang berniat menikahi Anggi. Tapi aku harus jujur, aku takkan bisa mencintainya seperti aku mencintaimu. Bagiku, kaulah satu-satunya wanita yang ada di hatiku, dan tempat itu takkan tergantikan oleh siapapun. Jangan khawatir, aku akan tetap memperlakukan Anggi dengan baik sebagai wujud rasa tanggung jawabku padanya dan juga pada bayi dalam kandungannya. Ku mohon kau bisa mengerti itu. Jadi, jangan pernah melarangku untuk tetap mencintaimu.” Suara Hasan terdengar parau.
“Tadi pagi, aku sudah menyuruh pengacaraku untuk mengurus surat-surat perceraian kita. Dan sepertinya takkan butuh waktu lama bagi kita untuk segera bercerai. Setelah kita berpisah, aku akan membawa Anggi ke kota lain.”
“Ke kota lain?” Rena memastikan. Hasan mengangguk dengan berat. 
“Kau tahu bahwa berada satu kota denganmu, benar-benar membuatku makin tersiksa. Aku ingin fokus untuk memulai hidup baru dengannya.” Jawabnya.
Rena manggut-manggut.
“Nanti sore aku akan berkunjung ke rumahmu. Aku akan bicara secara langsung dengan ayah dan ibu untuk meminta maaf karena aku tak mampu membahagiakanmu. Sekaligus, mengembalikanmu pada mereka secara baik-baik pula.” Hasan kembali melanjutkan kalimatnya. Sesaat Rena dibuat kaget ketika tiba-tiba Hasan bangkit dari tempat duduknya, membungkukkan badannya kemudian mencium bibir Rena dengan lembut. “Untuk yang terakhir kalinya, sayang,” desisnya.
“Aku benar-benar minta maaf atas apa yang sudah kulakukan padamu. Semoga kau hidup bahagia,” ucapnya lagi.
Keduanya berpandangan, cukup lama.
“Kau juga, mas. Hiduplah dengan baik dan bahagia.” Jawab Rena kemudian.

***

          Hasan benar-benar menepati ucapannya. Proses perceraian mereka berjalan lancar dan tak berbelit-belit hingga dalam waktu yang relatif singkat, mereka resmi telah bercerai. Beberapa hari setelah pernikahan Hasan dan Anggi yang berlangsung sederhana di kediaman Anggi, lelaki itu segera memboyongnya ke luar kota. Rena tak tahu dimana tepatnya. Hasan hanya mengatakan sekilas kalau mereka akan pergi ke Jawa Tengah. Dia bahkan tidak berpamitan padanya ketika berangkat dan hanya sempat berkirim pesan singkat padanya.

Aku dan Anggi akan berangkat ke Jawa Tengah untuk memulai hidup baru. Jaga diri baik-baik dan hiduplah dengan bahagia.
Hasan.

***

          Rena baru saja keluar rumah dan hendak menuju halte bus ketika sebuah mobil mewah berhenti tak jauh dari rumahnya. Tadinya Rena cuek. Tapi seorang lelaki setengah baya keluar dari mobil dan segera berlari-lari kecil menghampirinya. Lelaki itu berbicara dengan sangat sopan. “Maaf, anda mbak Rena ‘kan?”
Rena tak segera menjawab dan sibuk memperhatikan lelaki tersebut.
“Iya, pak. Ada apa?” Ia tampak bingung.
“Saya pak Rudy, mbak. Saya sopir pribadi pak Shinji. Beliau memerintahkan saya untuk menjemput anda. Mari mbak.” Lelaki bernama Rudy itu menyilakan Rena untuk beranjak ke mobil yang terparkir tak jauh dari mereka. Rena mengernyitkan dahinya.
“Shinji? Shinji Okada? Memangnya ada apa pak?” Ia bertanya heran karena ini untuk yang pertama kalinya Shinji memerintahkan seseorang yang baru ia lihat pertama kalinya untuk menjemputnya.
“Saya kurang tahu mbak. Tapi beliau berpesan kalau beliau ingin membicarakan hal yang penting dengan mbak Rena. Mari.” Lelaki itu kembali menyilakan.
Sebenarnya Rena sempat ragu, tapi akhirnya ia melangkahkan kakinya dan memasuki mobil mewah tersebut. Tanpa banyak bicara, sopir bernama pak Rudy itu segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tak banyak yang mereka ucapkan selama dalam perjalanan tersebut. Pak Rudy tampak sibuk menyetir, sementara Rena sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri. Bermacam-macam tanda tanya muncul di kepalanya. Kenapa Shinji menyuruh orang untuk menjemputnya? Apa yang ingin ia bicarakan? Pentingkah?
Lamunannya buyar ketika ia menatap jalanan sekelilingnya bukanlah jalan menuju apartemen Shinji.
“Maaf pak, sebenarnya kita mau kemana?”
“Ke apartemen pak Shinji mbak,” jawab pak Rudy.
“Tapi, apartemennya sudah terlewat. Harusnya di perempatan pertama tadi anda belok kanan,”
Pak Rudy tampak mengernyitkan dahinya. “Belok kanan? Kita ‘kan mau ke aparteman Royal mbak. Kalau mbak belok kanan, nanti ‘kan ke komplek hunian Green Garden,” jelasnya. Rena mendelik.
“Ya memang apartemen Shinji ‘kan di Green Garden?”
Pak Rudy terdengar tertawa. “Mbak, saya memang belum lama bekerja pada pak Shinji. Tapi saya sangat yakin bahwa sejak beliau kembali dari Jepang ke Indonesia beberapa bulan yang lalu, tempat tinggalnya ya di apartemen Royal.” Ujarnya lagi.
Rena sempat melongo. “Maaf, kita sedang membicarakan orang yang sama ‘kan? Shinji Okada, yang tinggal di apartemen Green Garden, dan bekerja sebagai konsultas gizi di Health Center?”
Pak Rudy terlihat bingung. “Konsultan gizi? Dia tidak bekerja sebagai konsultan gizi, mbak. Pak Shinji itu pengusaha kaya dari Jepang, ia punya banyak mall dan bisnis lainnya di sana. Dan sekarang, ia bahkan sudah punya beberapa mall di Indonesia, sekaligus investor beberapa perusahaan milik pemerintah.” Penjelasan pak Rudy kembali membuat Rena bingung.
“Maaf pak, pasti ada kekeliruan di sini. Saya bukan teman majikan anda. Saya memang punya teman bernama Shinji Okada, tapi dia bukan pengusaha kaya dari Jepang yang punya banyak mall dan juga properti di Indonesia. Dia hanya bekerja sebagai konsultan gizi biasa. Tempat tinggalnya juga bukan di apartemen Royal, tapi di apartemen Green Garden. Sepertinya anda mencari orang yang salah. Bisa anda tepikan mobilnya, saya akan turun di sini,” ucap Rena kemudian. Pak Rudy tampak bingung.
“Tapi mbak, saya tidak mungkin salah mengingat alamatnya. Dan foto yang pak Shinji tunjukkan padakupun sama dengan anda,” jawab pak Rudy.
Rena ingin membantah lagi, tapi kalimatnya tertahan ketika phonselnya berbunyi. Sebuah pesan bertambah di kotak masuk dan Rena segera membacanya. Dari Shinji.

Aku sudah menyuruh sopirku pak Rudy untuk menjemputmu. Ikutlah dia. Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Penting.

“Bagaimana mbak?” tanya pak Rudy tak sabar. Rena terdiam sesaat.
“Saya ikut bapak saja, kita ke sana,” jawab Rena kemudian. Akhirnya, masih dengan kebingungan yang sama, ia mengikuti sopir tersebut tanpa mendebatnya lagi.

***

          “Silahkan masuk, mbak.” Pak Rudy membuka pintu dan menyilakan Rena masuk. Perempuan itu sempat berdiri tercengang di depan pintu. Ia melongo menyaksikan sebuah apartemen super mewah di hadapannya. Apartemen itu bahkan 3 kali lebih besar dan lebih mewah dari apartemen Shinji yang sering ia datangi. Rena bahkan menaksir harga tiap unit apartemen tersebut pastilah sekitar puluhan milyar rupiah.
“Mbak,” panggilan pak Rudy membuyarkan lamunan Rena. Rena seakan baru terbangun dari tidur.
“Pak Shinji sudah menunggu mbak Rena di ruang tengah. Mbak langsung saja ke sana,” ucap lelaki setengah baya itu lagi dengan sopan. Rena mengangguk dengann kikuk.
Perempuan itu menyeret kakinya dengan perlahan menyusuri lantai yang di tutupi karpet permadani super mewah. Kepalanya sempat menengok ke kiri dan kanan sekedar untuk mengagumi bangunan dan perabot-perabot mewah di ruangan tersebut. Sampai akhirnya ia tiba di ruangan yang di maksud dan menyaksikan Shinji duduk di kursi di belakang sebuah meja panjang dari kayu.
“Oh, Shinji. Ini____”
“Kau sudah datang?” Shinji memotong. Kalimatnya terdengar datar hingga membuat senyum Rena yang tadinya ingin terbentuk di bibirnya yang tipis, tertahan. Ia menatap lelaki tampan yang duduk dengan tenang tersebut. Tiba-tiba saja ia merasakan ketakutan luar biasa menghinggapi dirinya. Shinji terlihat begitu ____ berbeda! Ia seperti melihat orang lain hari ini.
Lelaki itu duduk tenang menatap Rena, tanpa ekspresi berarti. Tatapan itu membuat jantung Rena berdebar. Sorot mata Shinji juga berbeda. Mata itu memancarkan sorot tajam, dingin dan sinis. Tak ada kehangatan di sana. Tak ada keceriaan yang biasa ia temui di sana. Rena menelan ludah karena takut. “Ada apa ini?” Suaranya lirih.
Shinji tak menjawab. Ia meraih sebuah undangan yang berada di meja kecil di belakang kursinya lalu melemparkan undangan itu ke arah Rena melewati permukaan meja. Dan undangan itu berhenti tepat di depan Rena.
“Bukalah,” Shinji memberikan perintah, datar.
Rena merasakan tangannya sedikit gemetar. Tapi ia tetap meraih undangan bernuansa gold tersebut lalu membukanya. Tatapan matanya segera melotot manakala membaca isi undangan tersebut.
Undangan pernikahan antara SHINJI OKADA dan REIKO MATSUMOTO. Minggu depan di hotel Sun!
“Ini___ apa maksudnya?” Rena terlihat bingung. Ia menatap kembali ke arah Shinji. Lelaki itu menengadahkan kepalanya lebih tinggi dan menatap Rena dengan angkuh.
“Well, permainanku berakhir sampai sini,” ucapnya. Tatapannya tak bersahabat.
“Sudah saatnya kau tahu semuanya,” ia melanjutkan.
Rena mengernyitkan dahinya. “Permainan apa? Semuanya ___ apa?” tanyanya.
Shinji menopang dagunya dengan punggung tangannya tanpa melepaskan tatapannya dari Rena. Tatapan itu makin sinis dan tajam hingga membuat ketakutan di hati Rena bertambah.
“Aku bohong tentang semuanya. Bahwa selama ini aku masih sendirian, itu bohong. Sebenarnya, sudah hampir 2 tahun ini aku bertunangan dengan seorang wanita Jepang. Dan seperti yang kau baca di undangan tersebut, kami akan menikah minggu depan. Dan inilah aku yang sebenarnya. Aku tidak bekerja sebagai konsultan gizi. Aku adalah Shinji Okada, seorang pengusaha sukses di Jepang dan Indonesia. Dan ini adalah tempat tinggalku yang sebenarnya. Yang sering kau datangi beberapa bulan terakhir itu, aku menyewanya. Termasuk kantor konsultan gizi tempatku bekerja. Aku hanya berpura-pura bekerja di sana. Dan aku juga hanya berpura-pura mencintaimu.” Jelas Shinji.
Rena tercengang mendengar serangkaian kalimat yang meluncur dari bibir lelaki tersebut. Lelaki itu mengangkat bahu cuek. “Ya, kau boleh kaget dengan semua pengakuanku, dengan semua sandiwaraku,” ucapnya lagi.
Rena menatap lelaki di hadapannya dengan penuh tanda tanya.
“Ini bercanda ‘kan?” tanya Rena lirih. Shinji menaikkan ujung bibirnya sebelah kanan, tersenyum sinis.
“Rena, kau ini bodoh atau apa? Jaman sudah berubah. Aku tidak mungkin terus menerus mencintaimu sementara itu sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Aku lelaki mapan dan normal, bagaimana mungkin aku akan terus menerus sendirian. Kenapa kau percaya bahwa aku tak pernah punya hubungan dengan wanita lain selain dirimu? Kau bahkan percaya dengan rayuanku bahwa aku masih saja mencintaimu. Oh, Tuhan,” Shinji terkekeh, menghina ke arah Rena. “Inilah yang sebenarnya, Rena. Percaya atau tidak, terserah,” ia melanjutkan.
“Untuk apa?” Tanya Rena pelan.
“Untuk apa?” Shinji menatap perempuan itu dengan tak bersahabat.
“Ya, untuk apa kau melakukannya? Bersandiwara seperti ini?”
“Untuk menghancurkanmu!” Lelaki itu berdiri dan kedua tangannya menggebrak meja dengan kasar. Ia menatap Rena dengan tajam hingga membuat wanita itu gemetar.
“Jika kau mau tahu alasannya, akan ku katakan. Aku ingin membalas dendam padamu setelah apa yang kau lakukan padaku bertahun-tahun yang lalu, ketika kita masih SMA. Apa kau pikir aku akan memaafkanmu semudah itu setelah apa yang kau lakukan padaku? Setelah kau menghancurkan hatiku dengan berpura-pura mencintaiku hanya demi taruhan konyol itu!? Tidak, Ren. Aku sudah bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku akan menghancurkanmu dengan cara apapun! Bahkan jika harus menjual jiwaku  pada iblis, akan kulakukan!” Shinji berteriak hingga membuat ulu hati Rena nyeri.
Keadaan hening sesaat. Shinji tampak mengatur nafas untuk menahan amarahnya. Sementara Rena hanya mampu berdiri kaku, tanpa mampu berkata apapun. Ia terlalu syok.
“Anggi, akulah yang menyuruhnya untuk mendekati suamimu,” ucap Shinji kemudian, tetap dengan tatapan tajamnya ke arah Rena. Perempuan itu membelalak.
“Apa!?” pekiknya lemah.
Shinji mengangguk-angguk pelan.
“Ya, perlu waktu bertahun-tahun untuk menyusun semua rencana itu, Ren. Tapi aku tetap melakukannya dan menyiapkannya dengan matang. Itu benar, Anggi adalah orang sewaanku. Akulah yang menyuruhnya untuk mendekati suamimu. Tadinya aku hanya menyuruhnya untuk mendekati Hasan, merayunya, dan membuat rumah tangga kalian bermasalah. Tapi di luar dugaan, ternyata ia benar-benar jatuh cinta secara tulus pada suamimu hingga ia rela mengandung bayinya. Ini memang di luar rencana, tapi itu lebih memudahkanku untuk melihat keluargamu berantakan,” ucap Shinji enteng.
Rena menutup mulutnya dengan kedua tangannya, terpukul. Kedua matanya basah.
“Kau melakukannya?” tanyanya kemudian setelah ia beringsut beberapa langkah hanya untuk berpegangan pada pinggir meja. Ia merasakan tubuhnya nyaris ambruk. Tapi ia merasa lebih kuat setelah tangannya mencengkeram pinggiran meja tersebut. Shinji hanya menatapnya tanpa belas kasihan.
“Kau benar-benar melakukannya?” Ia bertanya lagi seraya menatap lelaki di hadapannya dengan dalam. Shinji kembali mengangguk, tanpa beban.
“Akan ku lakukan apapun demi bisa membalas rasa sakit hatiku padamu,” jawabnya. Pandangan keduanya terkunci.
“Aku tahu semua tentang dirimu, Ren. Aku tahu kapan kau menikah. Aku bahkan tahu kau punya masalah dengan rahimmu hingga kau mengalami beberapa kali keguguran. Aku tahu semua tentang dirimu, bahkan ketika aku masih di Jepang,”
“Kau memata-mataiku?”
“Ya, demi bisa melihatmu seperti ini, hari ini,” jawab Shinji lagi.
Rena merasakan tenggorokannya tersekat. Darah di pembuluh baliknya seakan berhenti mengalir perlahan. Sakit. Luar biasa.
“Apakah waktu itu aku benar-benar telah menyakiti hatimu? Melukai perasaanmu? Hingga kau harus melaukan hal-hal seperti ini?” Ia bertanya pelan. Suaranya parau.
Shinji menatap Rena lagi dengan dalam dan tajam.
“Ya, jika kau mau tahu luka apa yang telah kau perbuat padaku, inilah hasilnya. Kau tak tahu bahwa waktu itu aku benar-benar mencintaimu dengan tulus, dengan sepenuh hatiku. Tapi kenyatannya, kau mempermainkanku. Kau tak tahu bagaimana rasanya setelah mengetahui bahwa kau mempermainkanku. Bertahun-tahun aku seperti hidup di neraka hanya demi bisa melupakanmu, melupakan perbuatanmu. Tapi aku tak bisa. Luka yang kau tinggalkan terlalu dalam hingga mampu merubahku menjadi setan,” tatapan Shinji tetap tajam. Wajah Rena makin pucat. Ia menatap lelaki di hadapannya dengan iba, entahlah. Rena merasakan perasaannya campur aduk.
“Jadi semua yang kau lakukan padaku selama ini adalah palsu?” Bibir perempuan itu bergetar. Shinji menangguk.
“Ya, semuanya bagian dari sandiwara,”
“Termasuk ketika Anggi mencoba bunuh diri dan kau terluka?”
Shinji kembali mengangguk. “Ya, itu semua bagian dari rencana hanya agar Hasan mau melepaskanmu. Tadinya aku memang khawatir Anggi akan melakukan hal-hal lebih bodoh dari itu. Tapi ternyata, dia aktris yang hebat.” Jawabnya.
Rena menelan ludah.
“Kecuali bagian ketika aku sakit dan kau mau repot-repot merawatku. Itu tak ada dalam skenarioku. Tapi, bagaimanapun juga, terima kasih untuk hal itu, karena kau mau merawatku.” Shinji melanjutkan kalimatnya, tangannya bersedekap di dada. Kalimatnya terdengar enteng dan syarat keangkuhan. Rena merasakan air matanya menitik.
“Ah, sudahlah, Rena. Jangan menangis di hadapanku. Hatiku takkan goyah. Air matamu takkan bisa mengembalikan segalanya. Semua sudah selesai. Aku membohongimu, merayumu, membuat keluargamu berantakan. Terserah apa pendapatmu tentang diriku. Aku tak peduli lagi. Kalau kau ingin membenciku, bencilah. Jika kau ingin mengadu pada Hasan, mantan suamimu itu tentang semua perbuatanku, mengadulah. Tapi semua takkan bisa kembali seperti sedia kala. Hasan takkan bisa kembali lagi padamu semudah itu.” Shinji mengibaskan tangannya dengan cuek.
Rena menatap lelaki tampan dihadapannya dengan tatapan pilu. Dadanya sesak. Tapi aneh, ia tak merasakan kemarahan apapun padanya. Pada Shinji.
“Apa kau puas sekarang?” Ia bertanya lagi, lebih lirih.
Shinji kembali terkekeh sinis. 
“Puas? Bagaimana menurutmu? Aku berhasil membuat keluargamu berantakan, aku berhasil merayumu, aku berhasil meyakinkanmu bahwa aku masih mencintaintamu, aku bahkan berhasil menidurimu. Kau pikir aku takkan puas? Well, aku memang takkan bisa mendapatkan hatimu seutuhnya, tapi aku sudah cukup puas meskipun aku hanya bisa mendapatkan tubuhmu.” Shinji menyeringai puas.
Rena memejamkan matanya sesaat. Ya, ia masih ingat dengan betul bagaimana Shinji menciumnya, mencumbunya, membisikkan kata-kata manis padanya dan memberikan dia sesuatu yang membuatnya bahagia. Tapi ternyata, itu semua bohong. Ia ingin marah. Anehnya, ia tak bisa.
“Apa aku benar-benar telah melukai hatimu? Apa perbuatanku padamu semasa di SMA benar-benar telah meninggalkan luka yang teramat dalam bagimu?” Ia kembali menanyakan hal yang sama – pertanyaan yang ia sendiri ingat telah ia tanyakan beberapa menit yang lalu - dengan suara lirih. Pertanyaan itu seakan kembali menyulut api di mata Shinji.
“Ya, bukankah aku sudah jelas mengatakannya.” Lelaki itu menatap Rena dengan tajam.
“Maafkan aku, Shinji,” ucap Rena kemudian. Shinji tampak kaget dengan permintaan maaf yang meluncur dari mulut perempuan itu.
“Maafkan aku. Aku benar-benar tak menyangka bahwa kekonyolanku waktu itu benar-benar memberikan efek yang sedemikian besar padamu. Aku____ A-aku benar-benar minta maaf.” Tangis Rena nyaris meledak. Tapi ia mampu menahannya.
Shinji menelan ludah. “Aku takkan memaafkanmu. Takkan pernah. Dan kau juga tak perlu memaafkanku atas semua perbuatanku padamu,” ucapan Shinji terdengar seperti orang menggumam. Tapi Rena mampu mendengarnya dengan jelas.
“Apakah itu artinya kita impas sekarang?” Perempuan itu kembali bersuara.
“Impas? Belum sepenuhnya, sebelum aku bisa melihatmu hancur total. Aku memang telah membuat keluargamu berantakan, mendapatkan tubuhmu, tapi aku ingin melihat hatimu remuk karenaku. Aku ingin melihatmu patah hati seperti apa yang kurasakan bertahun-tahun yang lalu, hidup bagaikan di neraka. Aku akan puas jika kau telah mengalaminya.” Desisnya, getir.
Rena menggigit bibirnya kuat. “Kau sudah berhasil melakukannya, Shinji.” Air matanya kembali menitik. “Kau sudah berhasil membuat hatiku remuk, patah hati.” Ia melanjutkan. Shinji menatap perempuan itu dengan dalam. Ada semacam keheranan pada raut wajahnya. Tatapannya berubah kosong.
“Kau memang bersandiwara, Shinji Okada. Tapi aku takkan mampu melakukan hal yang sama. Semua perhatianku padamu, itu nyata. Hatiku yang membuka diri untukmu, itu juga nyata. Dan aku ___ mulai mencintaimu.” Rena berkata dengan tegas, menatap lelaki di hadapannya dengan dalam tanpa rasa takut. Dan air matanya terus mengalir. Shinji menatapnya datar, tanpa ekspresi. Lelaki itu mematung.
“Aku mulai mencintaimu, Shinji. Aku mulai mencintaimu.” Tangis Rena pecah. Shinji terus berdiam diri tanpa berkata-kata. Dan ia masih melakukan hal yang sama ketika Rena terus terisak selama sekian detik lalu berbalik dan berlari meninggalkan dirinya.
          Perempuan itu menyusuri trotoar dengan berderai air mata. Dadanya sesak, nafasnya memburu, dan akhirnya ia ambruk. Ia hancur.

*** 


Bersambung...


Gambar sampul bukan punyaku. Lupa di ambil darimana. Kalo nggak salah dari sini : www.10-pictures-from-the-inspirational-nature.com