Dokter bergerak dengan cepat. Anggi
memang telah kehilangan banyak darah karena urat nadinya nyaris putus. Tapi
mereka bilang, perempuan itu tak mengalami masa kritis.
Hasan
duduk tercenung di ruang tunggu. Pandangannya kosong. Mulutnya memang
mangatakan tak cemas, tapi raut mukanya tak bisa berbohong. Ia khawatir dengan
keadaan perempuan tersebut. Dan tentu saja, bayi dalam kandungannya.
Rena
menghampirinya dengan ragu-ragu. “Dia tidak mengalami masa kritis, mas. Bayinya
juga tak apa-apa. Mas tenang saja,”
ucapnya lirih. Hasan mendongak. Ia menatap perempuan di hadapannya dengan
tatapan putus asa.
“Maaf,
Rena. Aku benar-benar tak menyangka bahwa Anggi berani bertindak sejauh ini,”
gumamnya lirih. Rena mengangguk. Hasan bangkit.
“Kau
tak apa-apa ‘kan?” Ia bertanya cemas seraya menatap Rena dari ujung kepala
hingga ujung kaki. Perempuan itu menggeleng.
“Aku
baik-baik saja,” jawabnya.
“Syukurlah,”
gumam Hasan. Ingin ia memeluk perempuan tersebut. Tapi sesuatu seakan
menahannya. Mereka canggung satu sama lain.
“Apa
kau berniat melaporkan kejadian ini pada polisi? Anggi berusaha melukaimu
‘kan?” ucap Hasan kemudian.
“Tidak,
mas. Aku anggap ini sebagai kecelakaan,” jawab Rena.
Hasan
manggut-manggu. “Pulanglah dan beristirahatlah. Kau pasti cemas dan syok. Biar
aku yang di sini menemani Anggi,” ucapnya, ragu.
“Mas
yakin?” Rena menatapnya dengan dalam. Hasan tak segera menjawab. Tapi akhirnya
ia mengangguk.
“Terima
kasih karena kau mau menemaniku melewati ini. Dan sampaikan juga rasa terima
kasihku pada Shinji karena tadi ia sudah bertaruh nyawa untuk menyelamatkanmu
dan juga Anggi,” ucap Hasan lagi. Mendengar nama Shinji disebut, Rena
mengalihkan pandangannya ke sekeliling, dan ia baru menyadari bahwa sejak tadi
ia tak melihat Shinji. “Di mana dia?” ia bertanya lirih tanpa sadar.
“Shinji
maksudmu?”
Rena
mengangguk.
“Terakhir
kali aku melihatnya di ruang gawat darurat ketika mereka baru saja memberi
pertolongan pertama pada Anggi. Mungkin ia masih di sana, atau ia masih ada
keperluan untuk membeli sesuatu di luar.” Hasan mencoba menduga-duga.
Rena kembali mengarahkan pandangannya ke sekeliling. Dan ia
tetap tak menemukan sosok itu. Perempuan itu menatap Hasan, seakan meminta
pertimbangan. Hasan manggut-manggut.
“Iya,
carilah dia. I’m okay,” lelaki itu membuka suara.
“Kalau
begitu, aku akan mencarinya dulu, mas,” ucap Rena.
Hasan
kembali mengangguk. Tanpa banyak bicara, Rena segera beranjak. Melangkahkan
kakinya menuju ruang gawat darurat, meskipun sebenarnya ia meragukan bahwa ia
akan menemukan pria itu di sana. Ketika
sampai di ruang gawat darurat, Rena menyusuri ruang sempit itu dengan
hati-hati. Dan betapa ia sangat terkejut ketika sampai di ruang paling ujung
dekat dengan pintu keluar, ia menyaksikan Shinji sedang duduk di atas di
ranjang, dan di sampingnya seorang perawat tengah sibuk membersihkan luka di
lengan tangan kanannya yang berlumuran darah.
Rena melotot. Ia baru ingat bahwa tadi Anggi berusaha
melukainya dan Shinji-lah orang yang menangkisnya. Dan rupanya, perempuan itu
memang berhasil melukainya. Ia sama sekali tak tahu itu karena pikirannya
sedang kacau. Lagipula, tadi ia ke rumah sakit dengan naik mobil Hasan. Jadi,
ia benar-benar tak tahu bahwa Shinji juga terluka. “Ya Tuhan, Shinji!” Rena
nyaris memekik. Segera perempuan itu berlari ke arah Shinji. “Kau tak apa-apa?” Ia bertanya dengan suara
cemas seraya menatap ke arah luka sayatan di lengan atas Shinji sebelah kanan.
Luka itu memanjang sekitar 10 cm, sepertinya memang tidak terlalu dalam, tapi
tetap saja mengucurkan banyak darah.
Shinji
menoleh.
“Oh,
Rena. Kau sudah di sini? Bagaimana Anggi? Apa dia baik-baik saja?”
“Kenapa
kau tak bilang bahwa kau juga terluka?” Suara Rena bergetar. Kedua matanya
mulai berkaca-kaca. Shinji menatapnya dengan bingung.
“Aku
tak apa-apa, Ren. Kau tak perlu secemas itu. Ini hanya luka sayatan biasa, tak
perlu sampai di jahit. Kalau tak percaya, tanya saja pada perawat. Luka ini
hanya akan di bersihkan, di kasih obat, lalu di perban. Percayalah, aku
baik-baik saja,” Shinji mencoba meyakinkan. Rena mengangguk-angguk, tapi air
matanya tetap saja menitik. Dan itu cukup untuk membuat Shinji kelabakan.
“Tunggulah
sebentar lagi. Ini takkan lama. Kita akan segera pulang, oke? Jangan menangis,
sayang. Kumohon,” Shinji mengiba. Rena kembali mengangguk. Tapi air matanya tak
bisa berhenti mengalir.
***
Shinji pulang ke apartemennya dengan
ditemani Rena. Dia ke sana dengan mengendarai mobilnya sendiri. Tadinya Rena
menawarinya untuk menggantikan menyetir, tapi Shinji menolak. Ia bilang bahwa
tangannya memang terluka, tapi ia masih sanggup menjalankan mobilnya. Setelah
sempat terlibat perdebatan kecil, akhirnya Rena menyerah. Ia biarkan Shinji
menyetir seperti biasanya.
“Sakit?”
tanya Rena cemas seraya mengikuti Shinji yang melangkah menuju kamarnya. Shinji
tersenyum ke arahnya tanpa menghentikan langkahnya. “Sedikit,” jawabnya.
“Kalau
begitu segeralah istrihat. Dan jangan banyak bergerak,” ucap Rena lagi. Shinji
hanya mengangguk. Setelah sampai di kamar, Rena segera merapikan tempat
tidurnya dan menyiapkannya agar Shinji bisa segera tidur dan beristirahat.
“Terima
kasih,” jawab Shinji pendek seraya duduk di pinggir tempat tidur.
“Perlu
kubuatkan sesuatu?” Rena bertanya dengan cemas.
“Tidak,
tak usah repot. Tapi sepertinya aku akan mengalami kesulitan untuk satu hal.”
Jawab Shinji.Rena mengernyitkan dahinya. “Apa?”
Shinji
tak segera menjawab. Ia bangkit.
“Mungkin
ini akan terdengar kurang sopan. Tapi aku benar –benar ingin ganti baju.
Bisakah kau bantu?” Kata-katanya terdengar ragu.
Tanpa
banyak berpikir, Rena mengangguk. Perempuan itu beranjak mendekati Shinji dan
dengan perlahan ia membantunya melepas kaos yang kotor dan berlumuran darah.
“Sakit?”
Ia bertanya dengan was-was.Shinji menggeleng.
“Aku
akan mencarikan baju yang mudah kau kenakan.” Rena berniat beranjak menuju
lemari baju yang ada di samping jendela, tapi langkahnya tertahan ketika Shinji
menarik lengan tangannya.
Lelaki itu menatap kedua mata Rena yang tampak sembab dan
berkaca-kaca. Ia menelangkupkan kedua tangannya di kedua pipi Rena dan menatap
perempuan itu dengan lembut.
“Shinpai?
(Khawatir?)” Bisiknya lirih.
Rena
mengangguk. Kedua mata Shinji menyipit dan senyum tipis merekah dari mulutnya.
“Sangat mengkhawatirkanku?” Ia berbisik lagi.
Perempuan
itu kembali mengangguk.
“Kemarilah.”
Shinji meraih bahu Rena lalu memeluk perempuan itu dengan erat. Ia membelai
kepala Rena dengan lembut. Rena membenamkan kepalanya pada dada Shinji yang
bidang dan telanjang. Ia sempat mencium aroma cologne-nya yang bercampur dengan
keringat. Aroma yang beberapa bulan ini akrab dengan hidungnya dan tentu ia
mulai menyukainya. “Maafkan aku.” Ucapnya lirih.
“Kenapa
kau minta maaf?” Tanya Shinji seraya mengelus rambut Rena.
“Karena
aku telah melibatkanmu sejauh ini dalam masalahku. Dan kau hampir saja
kehilangan nyawamu karenaku.” Rena terisak. Dan Shinji sempat terkesiap selama
beberapa saat. Perempuan itu mendongak dan menatap Shinji dengan air mata
bercucuran. “Maafkan aku, aku benar-benar tak menyangka semua akan berakhir
seperti ini. Ini___” kalimat Rena terhenti. Shinji menghapus air mata di
pipinya dengan perlahan.
“Aku
tak menyesal, Rena. Aku bahkan rela terlibat terlalu jauh, demi kau,” ucapnya
lembut.
“Aku
tak apa-apa, jangan mengkhawatirkan aku. Luka ini tak seberapa, percayalah padaku. Aku masih bisa
merengkuhmu, memelukmu. Jangan menangis lagi, Ren. Kau melukai hatiku.” Ucapnya
lirih. Air mata Rena terus menitik.
“Ku
mohon jangan menangis lagi. Jangan, sayang,” desis Shinji. Lelaki itu
mendaratkan sebuah kecupan lembut di mata kanan Rena, lalu beralih ke mata
kirinya, kemudian pucuk hidungnya, lalu bibirnya. Tak butuh lama untuk membuat
kecupan ringan itu menjadi ciuman yang lebih intens. Lebih intim. Untuk sesaat,
Rena tak mampu berpikir jernih. Entah karena Rena terlalu bingung dengan apa
yang ia alami hari itu atau entah karena ia menginginkannya. Yang jelas,
otaknya masih cukup waras untuk merespon kembali semua ciuman Shinji,
sentuhannya, cumbuannya, semuanya.
***
Ketika Shinji membuka mata keesokan
harinya, ia tak melihat Rena di sisinya. Ia mengira perempuan itu telah pulang
tanpa sepengetahuannya. Tapi begitu ia melangkahkan kakinya keluar kamar, ia
merasa lega luar biasa karena menemukan wanita cantik itu di dapur. Sepertinya
ia baru saja mandi. Itu terlihat dari wajahnya yang segar dan rambutnya yang
basah dan terurai dengan indah. Ia nampak cantik sekali pagi ini, Shinji sempat
memuji dalam hati.“Kirei (cantik).” Ia mendesis lirih.
Selama beberapa saat, diam-diam lelaki
itu menatap Rena dengan takjub. Ia tersenyum. Mengingat kembali betapa
cantiknya Rena dalam pelukannya, semalam, di tempat tidurnya.
“Kau
sudah bangun?” Rena akhirnya menyadari kehadiran Shinji lalu menyapa dengan senyumnya
yang indah. Shinji tersenyum dan mengangguk.“Aku kira kau meninggalkanku dan
membuatku patah hati lagi di pagi ini.” Jawabnya. Rena tergelak.
“Aku
tak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini,”
“Maksudmu,
karena tanganku terluka?”
Rena
mengangguk.
“Apa
itu berarti kau takkan berada di sini jika saja aku tak terluka?” Ucapan Shinji
terdengar kesal. Rena tertawa. “Bagaimana tanganmu? Masih sakit?”
“Sedikit,”
jawab Shinji, dongkol.
“Aku
sudah membuatkanmu sarapan. Makanlah dan setelah itu segeralah minum obat.
Perlukah kita ke dokter hari ini untuk kontrol?”
Shinji
manyun. “Kenapa kau berubah cerewet seperti ibu-ibu begini?” ujarnya.
Rena
mendelik. Tapi tetap saja ia terlihat cantik. Shinji segera bergerak dan
mendaratkan sebuah ciuman ringan di kening Rena sebelum ia beranjak menuju meja
makan yang telah tertata dengan makan pagi.
“Aku
tak ingin campur tangan. Tapi sepertinya kau harus beristirahat lagi di rumah,
kau tak perlu ke kantor.” Rena memastikan.
“Kau
akan menemaniku di sini?” Tanya Shinji girang.
Rena
menggeleng. “Setelah kau selesai sarapan dan minum obat, aku akan segera
pulang,” jawabnya.
“Cepat
sekali. Tinggalah di sini sebentar lagi, Ren. Aku akan kesepian tanpamu.”
Shinji merajuk seperti anak kecil hingga membuat Rena kembali tertawa.
“Aku
akan kembali ke sini, secepatnya. Tapi aku harus pulang dulu ke rumah. Setelah
itu, ke rumah sakit untuk menjenguk Anggi.” Jawabnya.
“Kau
akan bertemu dengan Hasan lagi ‘kan?” Nada suara Shinji terdengar was-was.
“Iya,
dan ada sesuatu yang memang ingin kubicarakan dengannya.”
Shinji
menarik nafas panjang dan menatap perempuan di hadapannya dengan berat hati.
“Ku
antarkan ya?” Ujarnya kemudian. Rena menggeleng.
“Ini
hanya pertemuan biasa, tak lebih.” Perempuan itu seakan ingin menegaskan.
Shinji terdiam sesaat, namun akhirnya ia mengangguk.
***
Rena sering mengunjungi Anggi di rumah
sakit. Dan ia lega karena dari hari ke hari keadaannya semakin membaik. Ia tak
lagi terlihat syok dan depresi. Sebaliknya, ia terlihat lebih tenang dan ceria.
Rena tak tahu apa yang telah Hasan janjikan padanya hingga perempuan itu
terlihat bahagia. Tapi yang jelas, ia senang melihat keadaannya yang sekarang.
“Kau
sibuk hari ini?” Tanya Hasan ketika mereka berpapasan di depan pintu tempat
Anggi di rawat.
“Tidak.
Ada apa mas?”
“Bisakah
kau meluangkan sedikit waktu untukku. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan
denganmu. Mari kita keluar sambil makan siang.” Ajak Hasan. Rena
manggut-manggut. Dan akhirnya ia mengikuti Hasan menuju rumah makan yang dulu
biasa mereka datangi ketika masih sebagai suami istri.
“Sekali
lagi aku ingin minta maaf atas apa yang telah terjadi antara kau, Anggi, dan
Shinji. Aku benar-benar tak menyangka bahwa Anggi akan berbuat sejauh itu.”
Hasan membuka suara.
“Yang
penting dia dan bayinya selamat. Aku lega, tulus mas.” Jawab Rena.
Hasan
tersenyum kecut. Lelaki itu menarik nafas panjang sebelum melanjutkan
kalimatnya. “Kau benar, Rena. Aku harus mengambil tanggung jawab atas
perbuatanku sendiri. Semua yang terjadi selama ini adalah karena diriku, semua
kesalahanku. Aku menyakitimu, melukaimu, melukai Anggi. Itu semua salahku.
Jadi, setelah berpikir keras, aku sepakat menceraikanmu, Ren.”
Rena
mendengarkan kalimat yang meluncur dari bibir Hasan dengan seksama.
“Dan
setelah proses perceraian kita selesai, aku akan segera menikahi Anggi. Aku
akan merawat dia dan juga bayinya dengan baik.” Hasan melanjutkan.
Rena
manggut-manggut.
“Aku
hanya bisa mendoakan semua kau bisa membina keluarga dengan sempurna dan
bahagia, mas. Aku lega sekarang,” jawab Rena.
“Terima
kasih. Aku juga berharap agar kau bisa menemukan lelaki yang lebih baik
dariku,”
Rena
tak menjawab. Hasan terdiam sesaat.
“Tapi,
kau harus ingat satu hal, Rena. Aku memang berniat menikahi Anggi. Tapi aku
harus jujur, aku takkan bisa mencintainya seperti aku mencintaimu. Bagiku,
kaulah satu-satunya wanita yang ada di hatiku, dan tempat itu takkan
tergantikan oleh siapapun. Jangan khawatir, aku akan tetap memperlakukan Anggi
dengan baik sebagai wujud rasa tanggung jawabku padanya dan juga pada bayi
dalam kandungannya. Ku mohon kau bisa mengerti itu. Jadi, jangan pernah
melarangku untuk tetap mencintaimu.” Suara Hasan terdengar parau.
“Tadi
pagi, aku sudah menyuruh pengacaraku untuk mengurus surat-surat perceraian
kita. Dan sepertinya takkan butuh waktu lama bagi kita untuk segera bercerai.
Setelah kita berpisah, aku akan membawa Anggi ke kota lain.”
“Ke
kota lain?” Rena memastikan. Hasan mengangguk dengan berat.
“Kau
tahu bahwa berada satu kota denganmu, benar-benar membuatku makin tersiksa. Aku
ingin fokus untuk memulai hidup baru dengannya.” Jawabnya.
Rena
manggut-manggut.
“Nanti
sore aku akan berkunjung ke rumahmu. Aku akan bicara secara langsung dengan
ayah dan ibu untuk meminta maaf karena aku tak mampu membahagiakanmu.
Sekaligus, mengembalikanmu pada mereka secara baik-baik pula.” Hasan kembali
melanjutkan kalimatnya. Sesaat Rena dibuat kaget ketika tiba-tiba Hasan bangkit
dari tempat duduknya, membungkukkan badannya kemudian mencium bibir Rena dengan
lembut. “Untuk yang terakhir kalinya, sayang,” desisnya.
“Aku
benar-benar minta maaf atas apa yang sudah kulakukan padamu. Semoga kau hidup
bahagia,” ucapnya lagi.
Keduanya
berpandangan, cukup lama.
“Kau
juga, mas. Hiduplah dengan baik dan bahagia.” Jawab Rena kemudian.
***
Hasan benar-benar menepati ucapannya.
Proses perceraian mereka berjalan lancar dan tak berbelit-belit hingga dalam
waktu yang relatif singkat, mereka resmi telah bercerai. Beberapa hari setelah
pernikahan Hasan dan Anggi yang berlangsung sederhana di kediaman Anggi, lelaki
itu segera memboyongnya ke luar kota. Rena tak tahu dimana tepatnya. Hasan
hanya mengatakan sekilas kalau mereka akan pergi ke Jawa Tengah. Dia bahkan
tidak berpamitan padanya ketika berangkat dan hanya sempat berkirim pesan
singkat padanya.
Aku dan Anggi akan berangkat
ke Jawa Tengah untuk memulai hidup baru. Jaga diri baik-baik dan hiduplah
dengan bahagia.
Hasan.
***
Rena baru saja keluar rumah dan hendak
menuju halte bus ketika sebuah mobil mewah berhenti tak jauh dari rumahnya.
Tadinya Rena cuek. Tapi seorang lelaki setengah baya keluar dari mobil dan
segera berlari-lari kecil menghampirinya. Lelaki itu berbicara dengan sangat
sopan. “Maaf, anda mbak Rena ‘kan?”
Rena
tak segera menjawab dan sibuk memperhatikan lelaki tersebut.
“Iya,
pak. Ada apa?” Ia tampak bingung.
“Saya
pak Rudy, mbak. Saya sopir pribadi pak Shinji. Beliau memerintahkan saya untuk
menjemput anda. Mari mbak.” Lelaki bernama Rudy itu menyilakan Rena untuk
beranjak ke mobil yang terparkir tak jauh dari mereka. Rena mengernyitkan
dahinya.
“Shinji?
Shinji Okada? Memangnya ada apa pak?” Ia bertanya heran karena ini untuk yang
pertama kalinya Shinji memerintahkan seseorang yang baru ia lihat pertama
kalinya untuk menjemputnya.
“Saya
kurang tahu mbak. Tapi beliau berpesan kalau beliau ingin membicarakan hal yang
penting dengan mbak Rena. Mari.” Lelaki itu kembali menyilakan.
Sebenarnya Rena sempat ragu, tapi akhirnya ia melangkahkan
kakinya dan memasuki mobil mewah tersebut. Tanpa banyak bicara, sopir bernama
pak Rudy itu segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tak banyak
yang mereka ucapkan selama dalam perjalanan tersebut. Pak Rudy tampak sibuk
menyetir, sementara Rena sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri.
Bermacam-macam tanda tanya muncul di kepalanya. Kenapa Shinji menyuruh orang
untuk menjemputnya? Apa yang ingin ia bicarakan? Pentingkah?
Lamunannya
buyar ketika ia menatap jalanan sekelilingnya bukanlah jalan menuju apartemen
Shinji.
“Maaf
pak, sebenarnya kita mau kemana?”
“Ke
apartemen pak Shinji mbak,” jawab pak Rudy.
“Tapi,
apartemennya sudah terlewat. Harusnya di perempatan pertama tadi anda belok
kanan,”
Pak
Rudy tampak mengernyitkan dahinya. “Belok kanan? Kita ‘kan mau ke aparteman
Royal mbak. Kalau mbak belok kanan, nanti ‘kan ke komplek hunian Green Garden,”
jelasnya. Rena mendelik.
“Ya
memang apartemen Shinji ‘kan di Green Garden?”
Pak
Rudy terdengar tertawa. “Mbak, saya memang belum lama bekerja pada pak Shinji.
Tapi saya sangat yakin bahwa sejak beliau kembali dari Jepang ke Indonesia
beberapa bulan yang lalu, tempat tinggalnya ya di apartemen Royal.” Ujarnya
lagi.
Rena
sempat melongo. “Maaf, kita sedang membicarakan orang yang sama ‘kan? Shinji
Okada, yang tinggal di apartemen Green Garden, dan bekerja sebagai konsultas
gizi di Health Center?”
Pak
Rudy terlihat bingung. “Konsultan gizi? Dia tidak bekerja sebagai konsultan
gizi, mbak. Pak Shinji itu pengusaha kaya dari Jepang, ia punya banyak mall dan
bisnis lainnya di sana. Dan sekarang, ia bahkan sudah punya beberapa mall di
Indonesia, sekaligus investor beberapa perusahaan milik pemerintah.” Penjelasan
pak Rudy kembali membuat Rena bingung.
“Maaf
pak, pasti ada kekeliruan di sini. Saya bukan teman majikan anda. Saya memang
punya teman bernama Shinji Okada, tapi dia bukan pengusaha kaya dari Jepang
yang punya banyak mall dan juga properti di Indonesia. Dia hanya bekerja
sebagai konsultan gizi biasa. Tempat tinggalnya juga bukan di apartemen Royal,
tapi di apartemen Green Garden. Sepertinya anda mencari orang yang salah. Bisa
anda tepikan mobilnya, saya akan turun di sini,” ucap Rena kemudian. Pak Rudy
tampak bingung.
“Tapi
mbak, saya tidak mungkin salah mengingat alamatnya. Dan foto yang pak Shinji
tunjukkan padakupun sama dengan anda,” jawab pak Rudy.
Rena
ingin membantah lagi, tapi kalimatnya tertahan ketika phonselnya berbunyi.
Sebuah pesan bertambah di kotak masuk dan Rena segera membacanya. Dari Shinji.
Aku sudah menyuruh sopirku
pak Rudy untuk menjemputmu. Ikutlah dia. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.
Penting.
“Bagaimana
mbak?” tanya pak Rudy tak sabar. Rena terdiam sesaat.
“Saya
ikut bapak saja, kita ke sana,” jawab Rena kemudian. Akhirnya, masih dengan
kebingungan yang sama, ia mengikuti sopir tersebut tanpa mendebatnya lagi.
***
“Silahkan masuk, mbak.” Pak Rudy
membuka pintu dan menyilakan Rena masuk. Perempuan itu sempat berdiri
tercengang di depan pintu. Ia melongo menyaksikan sebuah apartemen super mewah
di hadapannya. Apartemen itu bahkan 3 kali lebih besar dan lebih mewah dari
apartemen Shinji yang sering ia datangi. Rena bahkan menaksir harga tiap unit
apartemen tersebut pastilah sekitar puluhan milyar rupiah.
“Mbak,”
panggilan pak Rudy membuyarkan lamunan Rena. Rena seakan baru terbangun dari
tidur.
“Pak
Shinji sudah menunggu mbak Rena di ruang tengah. Mbak langsung saja ke sana,”
ucap lelaki setengah baya itu lagi dengan sopan. Rena mengangguk dengann kikuk.
Perempuan
itu menyeret kakinya dengan perlahan menyusuri lantai yang di tutupi karpet
permadani super mewah. Kepalanya sempat menengok ke kiri dan kanan sekedar
untuk mengagumi bangunan dan perabot-perabot mewah di ruangan tersebut. Sampai
akhirnya ia tiba di ruangan yang di maksud dan menyaksikan Shinji duduk di
kursi di belakang sebuah meja panjang dari kayu.
“Oh,
Shinji. Ini____”
“Kau
sudah datang?” Shinji memotong. Kalimatnya terdengar datar hingga membuat
senyum Rena yang tadinya ingin terbentuk di bibirnya yang tipis, tertahan. Ia
menatap lelaki tampan yang duduk dengan tenang tersebut. Tiba-tiba saja ia
merasakan ketakutan luar biasa menghinggapi dirinya. Shinji terlihat begitu
____ berbeda! Ia seperti melihat orang lain hari ini.
Lelaki
itu duduk tenang menatap Rena, tanpa ekspresi berarti. Tatapan itu membuat
jantung Rena berdebar. Sorot mata Shinji juga berbeda. Mata itu memancarkan
sorot tajam, dingin dan sinis. Tak ada kehangatan di sana. Tak ada keceriaan
yang biasa ia temui di sana. Rena menelan ludah karena takut. “Ada apa ini?”
Suaranya lirih.
Shinji tak menjawab. Ia meraih sebuah undangan yang berada di
meja kecil di belakang kursinya lalu melemparkan undangan itu ke arah Rena
melewati permukaan meja. Dan undangan itu berhenti tepat di depan Rena.
“Bukalah,”
Shinji memberikan perintah, datar.
Rena
merasakan tangannya sedikit gemetar. Tapi ia tetap meraih undangan bernuansa
gold tersebut lalu membukanya. Tatapan matanya segera melotot manakala membaca
isi undangan tersebut.
Undangan
pernikahan antara SHINJI OKADA dan REIKO MATSUMOTO. Minggu depan di hotel Sun!
“Ini___
apa maksudnya?” Rena terlihat bingung. Ia menatap kembali ke arah Shinji.
Lelaki itu menengadahkan kepalanya lebih tinggi dan menatap Rena dengan angkuh.
“Well,
permainanku berakhir sampai sini,” ucapnya. Tatapannya tak bersahabat.
“Sudah
saatnya kau tahu semuanya,” ia melanjutkan.
Rena
mengernyitkan dahinya. “Permainan apa? Semuanya ___ apa?” tanyanya.
Shinji
menopang dagunya dengan punggung tangannya tanpa melepaskan tatapannya dari
Rena. Tatapan itu makin sinis dan tajam hingga membuat ketakutan di hati Rena
bertambah.
“Aku
bohong tentang semuanya. Bahwa selama ini aku masih sendirian, itu bohong. Sebenarnya,
sudah hampir 2 tahun ini aku bertunangan dengan seorang wanita Jepang. Dan
seperti yang kau baca di undangan tersebut, kami akan menikah minggu depan. Dan
inilah aku yang sebenarnya. Aku tidak bekerja sebagai konsultan gizi. Aku
adalah Shinji Okada, seorang pengusaha sukses di Jepang dan Indonesia. Dan ini
adalah tempat tinggalku yang sebenarnya. Yang sering kau datangi beberapa bulan
terakhir itu, aku menyewanya. Termasuk kantor konsultan gizi tempatku bekerja.
Aku hanya berpura-pura bekerja di sana. Dan aku juga hanya berpura-pura
mencintaimu.” Jelas Shinji.
Rena
tercengang mendengar serangkaian kalimat yang meluncur dari bibir lelaki
tersebut. Lelaki itu mengangkat bahu cuek. “Ya, kau boleh kaget dengan semua
pengakuanku, dengan semua sandiwaraku,” ucapnya lagi.
Rena
menatap lelaki di hadapannya dengan penuh tanda tanya.
“Ini
bercanda ‘kan?” tanya Rena lirih. Shinji menaikkan ujung bibirnya sebelah
kanan, tersenyum sinis.
“Rena,
kau ini bodoh atau apa? Jaman sudah berubah. Aku tidak mungkin terus menerus
mencintaimu sementara itu sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Aku lelaki
mapan dan normal, bagaimana mungkin aku akan terus menerus sendirian. Kenapa
kau percaya bahwa aku tak pernah punya hubungan dengan wanita lain selain
dirimu? Kau bahkan percaya dengan rayuanku bahwa aku masih saja mencintaimu.
Oh, Tuhan,” Shinji terkekeh, menghina ke arah Rena. “Inilah yang sebenarnya,
Rena. Percaya atau tidak, terserah,” ia melanjutkan.
“Untuk
apa?” Tanya Rena pelan.
“Untuk
apa?” Shinji menatap perempuan itu dengan tak bersahabat.
“Ya,
untuk apa kau melakukannya? Bersandiwara seperti ini?”
“Untuk
menghancurkanmu!” Lelaki itu berdiri dan kedua tangannya menggebrak meja dengan
kasar. Ia menatap Rena dengan tajam hingga membuat wanita itu gemetar.
“Jika
kau mau tahu alasannya, akan ku katakan. Aku ingin membalas dendam padamu
setelah apa yang kau lakukan padaku bertahun-tahun yang lalu, ketika kita masih
SMA. Apa kau pikir aku akan memaafkanmu semudah itu setelah apa yang kau
lakukan padaku? Setelah kau menghancurkan hatiku dengan berpura-pura
mencintaiku hanya demi taruhan konyol itu!? Tidak, Ren. Aku sudah bersumpah
pada diriku sendiri bahwa aku akan menghancurkanmu dengan cara apapun! Bahkan
jika harus menjual jiwaku pada iblis,
akan kulakukan!” Shinji berteriak hingga membuat ulu hati Rena nyeri.
Keadaan
hening sesaat. Shinji tampak mengatur nafas untuk menahan amarahnya. Sementara
Rena hanya mampu berdiri kaku, tanpa mampu berkata apapun. Ia terlalu syok.
“Anggi,
akulah yang menyuruhnya untuk mendekati suamimu,” ucap Shinji kemudian, tetap
dengan tatapan tajamnya ke arah Rena. Perempuan itu membelalak.
“Apa!?”
pekiknya lemah.
Shinji
mengangguk-angguk pelan.
“Ya,
perlu waktu bertahun-tahun untuk menyusun semua rencana itu, Ren. Tapi aku
tetap melakukannya dan menyiapkannya dengan matang. Itu benar, Anggi adalah
orang sewaanku. Akulah yang menyuruhnya untuk mendekati suamimu. Tadinya aku
hanya menyuruhnya untuk mendekati Hasan, merayunya, dan membuat rumah tangga
kalian bermasalah. Tapi di luar dugaan, ternyata ia benar-benar jatuh cinta
secara tulus pada suamimu hingga ia rela mengandung bayinya. Ini memang di luar
rencana, tapi itu lebih memudahkanku untuk melihat keluargamu berantakan,” ucap
Shinji enteng.
Rena
menutup mulutnya dengan kedua tangannya, terpukul. Kedua matanya basah.
“Kau
melakukannya?” tanyanya kemudian setelah ia beringsut beberapa langkah hanya
untuk berpegangan pada pinggir meja. Ia merasakan tubuhnya nyaris ambruk. Tapi
ia merasa lebih kuat setelah tangannya mencengkeram pinggiran meja tersebut.
Shinji hanya menatapnya tanpa belas kasihan.
“Kau
benar-benar melakukannya?” Ia bertanya lagi seraya menatap lelaki di hadapannya
dengan dalam. Shinji kembali mengangguk, tanpa beban.
“Akan
ku lakukan apapun demi bisa membalas rasa sakit hatiku padamu,” jawabnya.
Pandangan keduanya terkunci.
“Aku
tahu semua tentang dirimu, Ren. Aku tahu kapan kau menikah. Aku bahkan tahu kau
punya masalah dengan rahimmu hingga kau mengalami beberapa kali keguguran. Aku
tahu semua tentang dirimu, bahkan ketika aku masih di Jepang,”
“Kau
memata-mataiku?”
“Ya,
demi bisa melihatmu seperti ini, hari ini,” jawab Shinji lagi.
Rena
merasakan tenggorokannya tersekat. Darah di pembuluh baliknya seakan berhenti
mengalir perlahan. Sakit. Luar biasa.
“Apakah
waktu itu aku benar-benar telah menyakiti hatimu? Melukai perasaanmu? Hingga
kau harus melaukan hal-hal seperti ini?” Ia bertanya pelan. Suaranya parau.
Shinji
menatap Rena lagi dengan dalam dan tajam.
“Ya,
jika kau mau tahu luka apa yang telah kau perbuat padaku, inilah hasilnya. Kau
tak tahu bahwa waktu itu aku benar-benar mencintaimu dengan tulus, dengan
sepenuh hatiku. Tapi kenyatannya, kau mempermainkanku. Kau tak tahu bagaimana
rasanya setelah mengetahui bahwa kau mempermainkanku. Bertahun-tahun aku
seperti hidup di neraka hanya demi bisa melupakanmu, melupakan perbuatanmu.
Tapi aku tak bisa. Luka yang kau tinggalkan terlalu dalam hingga mampu
merubahku menjadi setan,” tatapan Shinji tetap tajam. Wajah Rena makin pucat.
Ia menatap lelaki di hadapannya dengan iba, entahlah. Rena merasakan
perasaannya campur aduk.
“Jadi
semua yang kau lakukan padaku selama ini adalah palsu?” Bibir perempuan itu
bergetar. Shinji menangguk.
“Ya,
semuanya bagian dari sandiwara,”
“Termasuk
ketika Anggi mencoba bunuh diri dan kau terluka?”
Shinji
kembali mengangguk. “Ya, itu semua bagian dari rencana hanya agar Hasan mau
melepaskanmu. Tadinya aku memang khawatir Anggi akan melakukan hal-hal lebih
bodoh dari itu. Tapi ternyata, dia aktris yang hebat.” Jawabnya.
Rena
menelan ludah.
“Kecuali
bagian ketika aku sakit dan kau mau repot-repot merawatku. Itu tak ada dalam
skenarioku. Tapi, bagaimanapun juga, terima kasih untuk hal itu, karena kau mau
merawatku.” Shinji melanjutkan kalimatnya, tangannya bersedekap di dada.
Kalimatnya terdengar enteng dan syarat keangkuhan. Rena merasakan air matanya
menitik.
“Ah,
sudahlah, Rena. Jangan menangis di hadapanku. Hatiku takkan goyah. Air matamu
takkan bisa mengembalikan segalanya. Semua sudah selesai. Aku membohongimu,
merayumu, membuat keluargamu berantakan. Terserah apa pendapatmu tentang
diriku. Aku tak peduli lagi. Kalau kau ingin membenciku, bencilah. Jika kau
ingin mengadu pada Hasan, mantan suamimu itu tentang semua perbuatanku, mengadulah.
Tapi semua takkan bisa kembali seperti sedia kala. Hasan takkan bisa kembali
lagi padamu semudah itu.” Shinji mengibaskan tangannya dengan cuek.
Rena
menatap lelaki tampan dihadapannya dengan tatapan pilu. Dadanya sesak. Tapi
aneh, ia tak merasakan kemarahan apapun padanya. Pada Shinji.
“Apa
kau puas sekarang?” Ia bertanya lagi, lebih lirih.
Shinji
kembali terkekeh sinis.
“Puas?
Bagaimana menurutmu? Aku berhasil membuat keluargamu berantakan, aku berhasil
merayumu, aku berhasil meyakinkanmu bahwa aku masih mencintaintamu, aku bahkan
berhasil menidurimu. Kau pikir aku takkan puas? Well, aku memang takkan bisa
mendapatkan hatimu seutuhnya, tapi aku sudah cukup puas meskipun aku hanya bisa
mendapatkan tubuhmu.” Shinji menyeringai puas.
Rena memejamkan matanya sesaat. Ya, ia masih ingat dengan
betul bagaimana Shinji menciumnya, mencumbunya, membisikkan kata-kata manis
padanya dan memberikan dia sesuatu yang membuatnya bahagia. Tapi ternyata, itu
semua bohong. Ia ingin marah. Anehnya, ia tak bisa.
“Apa
aku benar-benar telah melukai hatimu? Apa perbuatanku padamu semasa di SMA
benar-benar telah meninggalkan luka yang teramat dalam bagimu?” Ia kembali
menanyakan hal yang sama – pertanyaan yang ia sendiri ingat telah ia tanyakan
beberapa menit yang lalu - dengan suara lirih. Pertanyaan itu seakan kembali
menyulut api di mata Shinji.
“Ya,
bukankah aku sudah jelas mengatakannya.” Lelaki itu menatap Rena dengan tajam.
“Maafkan
aku, Shinji,” ucap Rena kemudian. Shinji tampak kaget dengan permintaan maaf yang
meluncur dari mulut perempuan itu.
“Maafkan
aku. Aku benar-benar tak menyangka bahwa kekonyolanku waktu itu benar-benar
memberikan efek yang sedemikian besar padamu. Aku____ A-aku benar-benar minta
maaf.” Tangis Rena nyaris meledak. Tapi ia mampu menahannya.
Shinji
menelan ludah. “Aku takkan memaafkanmu. Takkan pernah. Dan kau juga tak perlu
memaafkanku atas semua perbuatanku padamu,” ucapan Shinji terdengar seperti
orang menggumam. Tapi Rena mampu mendengarnya dengan jelas.
“Apakah
itu artinya kita impas sekarang?” Perempuan itu kembali bersuara.
“Impas?
Belum sepenuhnya, sebelum aku bisa melihatmu hancur total. Aku memang telah
membuat keluargamu berantakan, mendapatkan tubuhmu, tapi aku ingin melihat
hatimu remuk karenaku. Aku ingin melihatmu patah hati seperti apa yang
kurasakan bertahun-tahun yang lalu, hidup bagaikan di neraka. Aku akan puas
jika kau telah mengalaminya.” Desisnya, getir.
Rena
menggigit bibirnya kuat. “Kau sudah berhasil
melakukannya, Shinji.” Air matanya kembali menitik. “Kau sudah berhasil membuat
hatiku remuk, patah hati.” Ia melanjutkan. Shinji menatap perempuan itu dengan
dalam. Ada semacam keheranan pada raut wajahnya. Tatapannya berubah kosong.
“Kau
memang bersandiwara, Shinji Okada. Tapi aku takkan mampu melakukan hal yang
sama. Semua perhatianku padamu, itu nyata. Hatiku yang membuka diri untukmu,
itu juga nyata. Dan aku ___ mulai mencintaimu.” Rena berkata dengan tegas,
menatap lelaki di hadapannya dengan dalam tanpa rasa takut. Dan air matanya terus
mengalir. Shinji menatapnya datar, tanpa ekspresi. Lelaki itu mematung.
“Aku
mulai mencintaimu, Shinji. Aku mulai
mencintaimu.” Tangis Rena pecah. Shinji terus berdiam diri tanpa
berkata-kata. Dan ia masih melakukan hal yang sama ketika Rena terus terisak
selama sekian detik lalu berbalik dan berlari meninggalkan dirinya.
Perempuan itu menyusuri trotoar dengan
berderai air mata. Dadanya sesak, nafasnya memburu, dan akhirnya ia ambruk. Ia
hancur.
***
Bersambung...
Gambar sampul
bukan punyaku. Lupa di ambil darimana. Kalo nggak salah dari sini :
www.10-pictures-from-the-inspirational-nature.com