Hanna
menghentikan langkah kakinya ketika sampai di depan rumah megah itu. Rumah yang
sudah kosong selama bertahun-tahun karena ditinggal pemiliknya entah kemana.
Hanna tak tahu siapa pemilik sebenarnya rumah tersebut karena sejak ia tinggal
di lingkungan itu setahun yang lalu, ia sudah menemukan rumah besar bergaya
kuno itu dalam keadaan kosong. Tak banyak info yang ia dapat. Orang-orang
enggan membicarakannya karena menurut kepercayaan mereka, rumah itu berhantu.
Tapi Hanna tak percaya. Lagipula, nyalinya terlalu besar untuk takut dengan
makhluk-makhluk gaib itu. Toh selama ini ia juga tak menemukan hal-hal aneh.
Sudah sejak lama
Hanna jatuh cinta dengan rumah tersebut. Rumah itu benar-benar besar. Ia tak tahu keadaan di dalam rumah tersebut. Tapi ia
tahu bahwa di samping rumah itu, ada sebuah taman bunga yang indah dan
dilengkapi dengan kolam ikan yang meskipun tak terawat, tetap saja sedap di
pandang mata. Itulah kenapa, kadang-kadang sehabis jogging, ia selalu
menyelinap ke dalam rumah tersebut lewat pintu samping demi bisa menenangkan
diri walau hanya duduk-duduk di ayunan yang berada di taman tersebut. Begitu
pula dengan yang terjadi pagi itu. Setelah hampir setengah jam melakukan
jogging mengitari komplek, ia berakhir di depan rumah kuno tersebut dan
memutuskan untuk menyelinap ke dalamnya dan duduk-duduk di ayunan di taman.
Dengan earphone
di telinganya, perempuan cantik itu bersenandung lirih sambil duduk-duduk di
ayunan tua yang terus-terus mengeluarkan bunyi berdecit manakala ia
menggerakkan badan. Seperti biasanya, ia menikmati minggu pagi yang tenang itu
di sana, di taman indah itu, selama hampir 15 menit. Hingga akhirnya, ia
merasakan ada yang tak beres di sekitarnya.
Perempuan itu
bangkit, melepas earphone-nya, lalu menatap sekelilingnya dengan seksama. Ia
yakin bahwa ia mendengar suara langkah kaki.
“Hello, ada orang di sana?” Hanna
membuka suara. Tatapan matanya waspada menyapu seluruh sudut halaman rumah
tersebut. Hingga akhirnya, ia merasakan seseorang menyentuh pundaknya. Reflek,
perempuan itu memanfaatkan keahliannya dalam Judo hingga ia bisa menarik lengan
tersebut dan dengan satu gerakan ia membanting tubuhnya. Terdengar seseorang
mengaduh. Seorang pria tergeletak di tanah, meringis kesakitan.
“Astaga, siapa kau? Kenapa kau masuk ke
rumah orang tanpa permisi seperti pencuri?” Ia mengomel. Hanna membelalak,
otaknya yang cerdas segera menyadari bahwa akan ada kesalah pahaman di sini.
“Oh, maaf. Aku kira ... kau...,” ia
beranjak mendekati pria tersebut dan berusaha membantunya berdiri. Namun pria
itu menolak dan menepis tangannya dengan kasar, lalu bangkit.
Keduanya berdiri
berhadapan dan saling memandang selama beberapa saat. Hanna menduga usia pria
itu sekitar 30 tahunan. Ia terlihat kekar dan jangkung. Dan Hanna menyadari
bahwa pria itu tampan. Rambutnya yang sedikit gondrong dan berantakan tetap tak
bisa menyembunyikan ketampanannya. Di tambah dengan cambang mulai tumbuh, ia
makin terlihat maskulin.
“Maaf, aku tak bermaksud melukaimu. Itu
tadi, reflek saja,” Hanna segera meminta maaf.
“Kau hampir saja mematahkan punggungku,”
pria itu menjawab, tetap dengan nada kesal. “Sebenarnya siapa kau? Kau masuk ke
rumahku tanpa ijin, mengendap-endap seperti pencuri, dan bahkan nyaris
membuatku cedera,” Pria terus bersuara, jengkel.
Mata Hanna menyipit dengan indah.
“Rumah ... mu?” ia bertanya lirih.
Lelaki itu mengangguk.
“Ooh, maaf sekali karena aku tak tahu
bahwa rumah ini sudah berpenghuni. Aku tinggal di sekitar sini dan aku tahu
bahwa rumah ini kosong selama beberapa tahun,”
“Aku sudah membelinya dan baru kemarin
malam aku pindah ke sini,” Pria itu menjawab.
Hanna manggut-manggut.
“Jadi, apa yang kau lakukan di sini?”
pria itu kembali bertanya.
“Maaf jika aku lancang. Tapi, aku sudah
punya kebiasaan ini jauh sebelum kau pindah ke sini. Setiap hari selesai
jogging, aku sering mampir ke rumah ini, tentunya dengan sembunyi-sembunyi
hanya untuk ... duduk-duduk saja di pinggir kolam dan menikmati indahnya taman
bunga liar di sini. Kau tahu, rumah ini benar-benar indah, dan aku benar-benar
terpesona dengan bangunan ini. Percayalah, hanya itu yang aku lakukan. Aku
tidak pernah masuk ke dalam rumah itu, merusak sesuatu, atau bahkan mencuri,”
Hanna menapat pria di hadapannya dengan tegas.
Pria itu menatap
Hanna dengan penuh selidik. Wajah yang cantik rupawan, rambut panjang
bergelombang yang diikat sembarangan ke belakang, tubuh indah yang dibalut kaos
ketat tanpa lengan dengan celana pants pendek, serta sepatu olahraga warna
putih yang tampak kotor karena lumpur.
“Aku Hanna,” Hanna terlebih dulu mengulurkan
tangan dengan percaya diri. Pria itu menatap sekilas ke arah jemari-jemari
Hanna yang lentik. Lalu, ia menerima uluran tangan itu, meski sedikit ragu.
“Aku tinggal di ujung jalan ini, sekitar
500 meter dari sini. Percayalah, aku bukan pencuri. Aku hanya sekedar mampir di
rumah ini, rumahmu. Dan aku tidak akan melakukannya lagi jika kau keberatan,”
ucap Hanna lagi seraya menarik uluran tangannya. Dan perempuan itu segera mohon
diri dengan sopan. “Aku permisi.” Ucapnya.
“Aku Rafael,” diluar dugaan, pria itu
mengucapkan namanya sesaat sebelum Hanna mencapai pagar. Hanna menoleh. Ia
tersenyum lalu kembali memohon diri dengan sopan.
Hanna
tiba di rumah kontrakkannya beberapa menit kemudian dengan bermandikan peluh.
Rumah itu kecil dan sederhana, ia sudah menempatinya selama hampir setahun ini
bersama Ella. Ella adalah teman terdekatnya sekaligus rekan kerjanya. Selama
ini mereka bekerja di tempat sama. Tapi mereka lebih sering mendapatkan shift
berbeda. Jika Hanna shift siang, maka Ella akan kebagian shift malam. Begitu
pula sebaliknya. Tapi hari minggu ini, mereka mendapatkan shift yang sama. Ella
baru saja selesai membuat sarapan pagi, ketika Hanna melihatnya.
“Wah, makan besar hari ini,” ucap Hanna seraya mengambil
sebotol air mineral dari kulkas dan segera menenggaknya seperti orang yang tak pernah minum selama beberapa hari.
Ella hanya tersenyum ketika mendengar
celotehan Hanna.
“Ah, aku hampir saja mendapatkan masalah
besar hari ini,” Ucap Hanna lagi.
“Masalah apa?” tanya Ella heran. Hanna
menyeka peluh di dahinya dengan handuk lalu duduk di meja makan.
“Aku mampir lagi ke rumah berhantu itu.
Dan ternyata rumah itu sudah berpenghuni. Ah, andaikan kau tahu betapa malunya
aku. Aku enak-enakan duduk di taman, dan dia memergokinya. Dia bahkan sempat
mengiraku sebagi pencuri,”
Ella menepuk jidatnya seraya berseru.
“Astaga, aku lupa bilang padamu, Hanna,”
ucapnya.
“Apa?” Hanna mengernyitkan dahinya.
“Aku lupa bilang padamu untuk tidak
memasuki rumah itu lagi. Aku sudah tahu perihal penghuni baru itu.
Tetangga-tetangga mengatakan bahwa rumah tersebut dibeli oleh seorang pengusaha
dan kemarin ia resmi menempatinya,”
Hanna melongo.
“Ya ampun, kenapa kau tak
memberitahuku?”
Ella mengangkat bahu. “Sudah kubilang
aku lupa,” jawabnya.
Hanna menepuk pipinya dengan kesal. “Astaga.”
Desisnya. “Semoga dia melupakannya dan
tak mempermasalahkan karena aku masuk rumahnya tanpa permisi,” ia kembali
mengomel.
“Mereka bilang pemilik rumah baru itu
adalah pengusaha muda yang tampan. Bagaimana? Apa dia benar-benar tampan?” Ella
bertanya dengan antusias.
Hanna terdiam. Tampan? Iya, tapi untuk
ukuran seorang pebisnis, ia jauh dari itu. Sepanjang yang ia tahu, para
pebisnis muda selalu tampil parlente, elegan, dan rapi. Tapi pria bernama
Rafael itu, tidak rapi sama sekali. Ia terlihat berantakan, tapi, well, tetap saja ia tampan.
“Namanya Rafael,” Hanna menjawab.
“Dan ia tak begitu tampan,” kemudian ia melanjutkan.
Ella melongo.
“Jadi kau benar-benar sempat bertemu
dengannya? Berkenalan dengannya?”
Hanna mengangguk. “Kami hanya menyebutkan
nama masing-masing, itu saja.” Jawabnya.
Ella tersenyum.
“Dia bisa sasaran yang pas untukmu,
Hanna,”
“Maksudmu?”
“Ayolah, dia muda, tampan, kaya dan sukses. Rayulah dia dan berkencanlah dengannya. Hidupmu pasti bahagia. Kau tak perlu susah-susah lagi bekerja,” bujuknya.
“Ayolah, dia muda, tampan, kaya dan sukses. Rayulah dia dan berkencanlah dengannya. Hidupmu pasti bahagia. Kau tak perlu susah-susah lagi bekerja,” bujuknya.
Hanna tertawa.
“Ide yang bagus. Akan kupikirkan nanti,”
ia bangkit dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya terlebih
dahulu sebelum sarapan.
***
Sepulang
kerja, Hanna berdiri di depan rumah megah itu dengan ragu. Sebenarnya ia sudah
berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah memasuki atau bahkan sekedar
mengintip rumah tersebut. Tapi rumah itu seakan punya magnet hingga mampu
membuat Hanna berhenti sesaat meski hanya sekedar menatapnya. Ah, rumah yang
sangat besar dan nyaman sekali. Ucapnya dalam hati.
Pintu gerbang pendek bercat putih pudar
itu terbuka lebar. Tapi pintu rumahnya tertutup rapat. Rumah itu kelihatan tak
jauh berbeda meskipun sudah berpenghuni. Tetap saja sepi. Hanya halamannya saja
yang sudah terlihat sedikit bersih. Ah, taman bunga itu, kolam ikan itu, ayunan
itu, Hanna benar-benar ingin berlari ke sana. Tapi ...
“Ingin mengendap-endap untuk masuk ke
rumah itu lagi?”
Suara dari belakang tubuhnya membuat
Hanna terlonjak. Ia berbalik dengan cepat dan mendapati lelaki itu, lelaki
bernama Rafael itu telah berdiri di hadapannya. Tatapannya dalam, ke arah
dirinya, seolah menelanjanginya dan ingin mempermalukannya. Ia menenteng dua
tas berisi kaleng cat. Pastinya ia ingin mengecat ulang rumahnya,yang memang
sudah terlihat kusam.
“Tidak, aku tidak bermaksud memasuki
rumah itu tanpa permisi. Percayalah padaku. Aku ... hanya ...,” ia menelan
ludah. “Aku hanya ingin melihatnya saja. Dan aku tidak akan melakukannya lagi
kalau kau keberatan. Mmm, maaf telah mengganggumu,” Hanna segera berbalik
dengan raut muka merah menahan malu. Ia ingin segera meninggalkan tempat itu
dan menghilang dari hadapan Rafael. Berhenti di depan rumah tersebut adalah ide
yang buruk. Gerutunya dalam hati.
“Tunggu! ” teriakan Rafael menghentikan
langkah kakinya. Ia berbalik dan kembali menatap pemuda tampan itu.
“Masuklah,” ucapnya lagi. Hanna
mengernyitkan dahinya.
“Masuklah. Mampirlah ke rumahku. Ini
undangan resmi dariku,” kalimat pria itu lembut.
Hanna terdiam. Tak percaya dengan apa
yang di dengarnya. Rafael melangkah perlahan mendekatinya.
“Maaf, jangan salah paham padaku. Aku
tidak ingin bersikap kurang ajar padamu. Tapi, kau tahu bahwa aku baru di sini
dan belum mengenal siapapun. Orang pertama yang ku kenal adalah dirimu. Dan,
aku berharap, kita akan menjadi teman,” kalimat Rafael terdengar tulus. Hanna
merasakan sebuah kegembiraan kecil. Teman? Astaga, ia tak percaya bahwa lelaki
ini meminta secara langsung padanya untuk berteman.
“Aku tahu pertemuan pertama kita agak
... brutal. Tapi aku akan melupakannya dan semoga ke depannya, kita punya
hubungan yang lebih baik. Maksudku, berteman,” ia kembali menekankah
kalimatnya.
“Kau tak akan menganggapku sebagai
pencuri lagi ‘kan?” tanya Hanna dengan hati-hati.
Rafael tertawa kecil hingga
memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. Hanna terkesiap. Wow, dia
benar-benar terlihat makin tampan ketika tertawa.
“Maaf karena aku sempat menganggapmu
pencuri,” jawabnya. “Jadi? Bagaimana? Mau masuk? Percayalah bahwa aku orang
yang baik,” ia menambahkan, dengan kalimat yang makin tulus. Hanna tersenyum.
Perlahan ia mengangguk.
Hanna
menatap ruang tamu di sekelilingnya dengan takjub. Ternyata rumah itu tidak
hanya megah dari luar, tapi dalamnya-pun sungguh luar biasa. Rumah itu bahkan
di lengkapi dengan sebuah bar mini. Hanna yakin Rafael pasti membeli rumah itu
dengan harga mahal.
“Duduklah dulu. Mau minum apa?” Rafael
menyilakan dengan sopan. Ia meletakkan kaleng cat yang di tentengnya sejak tadi
di pojok ruangan bercampur dengan beberapa kardus. Terlihat sekali kalau ia
sedang berbenah.
“Apa saja,” jawab Hanna seraya duduk di
kursi kayu yang indah.
“Mmm, kopi saja kalau boleh,” Hanna menambahkan
dengan sedikit malu-malu. Rafael tersenyum.
“Aku juga suka kopi,” ucapnya. Ia
bergerak ke counter bar dan tak butuh waktu lama baginya untuk menyediakan dua
cangkir kopi.
“Kau tinggal di mana?” ia bertanya
seraya meletakkan salah satu cangkir kopi tersebut di depan Hanna.
“Di ujung jalan ini. Aku tinggal bersama
temanku,” jawab Hanna.
“Teman perempuan?”
Hanna tertawa.
“Tentu saja,” jawabnya.
“Kau sendiri? Tinggal bersama siapa di
sini?” ia balik bertanya.
“Sendiri,” jawab Rafael.
“Sendiri?”
Lelaki itu kembali mengangguk.
“Tanpa pelayan? Tanpa pembantu? Tanpa
keluarga?”
Rafael kembali mengangguk seraya
menyesap kopinya dengan perlahan.
“Aneh, mereka bilang kau seorang
pengusaha. Kenapa kau hanya tinggal sendirian di sini? Bahkan tanpa pelayan?”
Hanna kembali bertanya dengan berani.
“Siapa yang bilang aku pengusaha?”
“Mereka, tetangga-tetanggaku,” jawab
Hanna. Rafael terkekeh.
“Itu tidak benar. Aku bukan pengusaha.
Aku hanya mengelola bisnis online kecil-kecilan. Aku punya gudang sempit di pinggir
kota. Dari sanalah mereka melakukan pengiriman. Aku bahkan hanya punya beberapa
puluh karyawan,”
“Hei, beberapa puluh karyawan itu
termasuk banyak. Kalau usahamu tak besar, kau tak akan mampu membeli rumah
semegah ini. Maaf jika aku lancang. Tapi itu benar ‘kan?” celetuk Hanna.
Rafael kembali tertawa. Ia merasa takjub
dengan sikap perempuan di hadapannya yang begitu apa adanya. Ia berbicara tanpa
rasa canggung sedikitpun.
“Apa yang kau jual?”
“Elektronik, tekstil, dan garmen,”
“Wah, itu pasti bisnis yang bagus,”
Hanna terlihat takjub.
“Terima kasih,”
“Lalu kenapa kau hanya tinggal sendirian
di sini?”
“Aku
memang suka menyendiri. Hanya itu satu-satunya cara untuk menenangkan diri dari
rutinitas yang membuatku kelelahan,”
“Kalau kau suka menyendiri kenapa kau
mengundangku?” tanya Hanna asal.
Rafael kembali tergelak. Merasa kembali
menerima pukulan.
“Maksudku bukan begitu. Hanya saja,
adakalanya aku ingin meluangkan waktu untuk diriku sendiriku. Menikmati hidup,
memasak masakan yang aku suka, menata rumah sesuai yang aku suka, membaca buku
yang aku suka, yang jelas, menikmati rumah ini,”
“Kau belum menikah?”
Rafael kembali tergelak.
“Apa kau selalu bertanya to the point
seperti ini?” Ia ganti bertanya.
Hanna mengangguk.
“Aku selalu melakukan ini pada teman
baruku baik perempuan maupun laki-laki agar kami bisa saling mengenal dengan
lebih baik. Jangan salah paham oke? Aku tak bermaksud menggodamu,” Hanna
seperti memberikan pembelaan.
Rafael tersenyum. Entah kenapa ia
menjadi gemas sekali dengan perempuan di hadapannya.
“Kau bekerja?” Kali ini, Ia bertanya
lagi.
Hanna mengangguk.“Aku bekerja sebagai
pelayan restoran,” jawabnya.
Rafael menatap perempuan itu dengan rasa
tak percaya. Baginya, Hanna terlalu cantik untuk menjadi seorang pelayan
restoran. Ia punya kulit yang bagus, mata yang bagus, rambut panjang yang
bagus, dan tubuh tinggi semampai yang juga sangat bagus. Tadinya ia mengira
Hanna adalah seorang model.
“Kau sering berkunjung ke rumah ini
sebelum rumah ini kubeli?”
Hanna mengangguk. “Rumah ini kosong
untuk waktu yang cukup lama. Dan selama itu pula aku sering masuk ke ke sini
secara diam-diam. Tapi percayalah aku bukan pencuri. Aku bahkan tidak pernah
masuk ke dalam rumah ini. Ini yang pertama kalinya buatku. Bisanya aku hanya
akan berjalan-jalan di halaman, duduk-duduk di dekat kolam dan berayun-ayun di
taman. Itu saja, percayalah padaku,”
Rafael mengangguk-angguk. “Kau begitu
menyukai tempat ini?”
Hanna mengangguk tanpa ragu. “Tentu
saja. Mana ada orang yang tak menyukai rumah ini,” sergahnya. “Aku menyukai taman dan ayunannya. Sungguh,
itu indah sekali,” Ia melanjutkan.
“Kalau begitu, kau bisa mampir ke sini
kapanpun kau mau,” kalimat itu meluncur dari bibir Rafael. Keputusan itu seakan
ia ambil mendadak setelah ia menemukan keasyikan luar biasa ketika mengobrol
dengan Hanna.
“Sungguh?” Mata bulat Hanna berbinar
indah.
“Tentu,”
“Kenapa begitu? Bukankah kamu suka menyendiri?”
“Kenapa begitu? Bukankah kamu suka menyendiri?”
Rafael kembali terkekeh mendengar
pertanyaan Hanna.
“Tidak. Aku bukan penyendiri akut. Itu
kulakukan jika aku benar-benar merasa lelah luar biasa. Dalam keadaan biasa,
aku tetap saja suka berteman, bersosialisasi, mengobrol seperti ini. Jadi, aku
akan sangat senang kalau kau ... berkunjung ke sini,” ucapnya. Hanna tersenyum
gembira.
“Tentu saja aku merasa tersanjung kalau
kau membiarkan bermain-main di sini. Sebenarnya aku juga ingin mengundangmu
untuk mampir ke tempatku kapan-kapan. Anggap saja kunjungan antar teman. Tapi
... rumah kontrakanku kecil. Aku tidak yakin kau menyukainya,”
Rafael tersenyum.
“Tak masalah. Kita sudah jadi teman
‘kan?”
Hanna ikut tersenyum.
“Ya, kita sudah jadi teman,” jawabnya
seraya meraih cangkir kopinya dan menyesapnya dengan perlahan.
***
Hanna
sampai di rumah kontrakkannya dengan wajah cerah. Ella ternyata juga sudah
sampai di sana.
“Hanna? Kenapa kau baru sampai? Bukankah
tadi kau pulang duluan?” Ella menyapa dengan pertanyaan.
“Aku masih mampir ke rumah rafael?”
Jawab Hanna.
“Pemilik rumah berhantu itu?”
Hanna mengangguk dengan senyum di
bibirnya. “Rumah itu tidak berhantu,” jawabnya.
“Sepertinya kau punya kemajuan
dengannya?” Ella tersenyum jahil. Hanna kembali tersenyum. “Kami sudah
berteman,” ucapnya lagi.
“Wah, itu bagus,” kalimat Ella terdengar
gembira.
Hanna segera masuk ke kamarnya untuk
berganti baju dengan baju kasual dan Ella mengekor di belakangnya.
“Lihat apa yang kudapat,” Ia menunjukkan
sebuah cincin emas yang tersemat di jari manisnya. Bibir Hanna terbuka.
“Apa kau dilamar?” ia nyaris berteriak.
Dan Ella segera menjawab dengan senyuman dan anggukan.
“Astaga, jadi Andre benar telah
melamarmu!?” Hanna kembali berteriak. Dan Ella pun kembali mengangguk.
“Oh, selamat Ella,” Hanna menghambur ke
arah nya lalu memeluknya dengan erat.
“Tapi, jujur saja aku ragu untuk menikah
dengannya, Han,” kali ini suara Ella terdengar lirih.
Hanna menegakkan tubuhnya dan menatap
Ella dengna heran. “Kenapa?”
Ella terdiam sesaat. Raut mukanya
berubah murung.
“Aku minder, Han,”
“Kenapa harus minder?”
“Kau tahu keadaan kami berbeda, Han.
Andre dari keluarga berada. Ia mapan, punya pekerjaan, dan bergaji tinggi. Ia
juga dari keluarga baik-baik. Sementara kita, kita hanyalah perempuan biasa
yang tidak pernah mengecap pendidikan tinggi. Kita tak punya gelar sarjana.
Kita bahkan hanya bekerja sebagai pelayan. Aku takut aku tak bisa menyesuaikan
diri dengannya. Aku takut keluarganya tidak akan bisa menerimaku dengan mudah,”
Hanna menggeleng. Ia meraih tangan Ella
dan menggenggamnya dengan lembut.
“Itu tidak benar, Ella. Andre lelaki
yang baik. Dan aku tahu ia mencintaimu dengan tulus tanpa melihat statusmu.
Mengenai keluarganya, well, aku tak bisa berkomentar banyak. Tapi aku yakin,
Andre akan selalu di sisimu, melindungimu bila ada hal-hal buruk yang
menimpamu,”
Ella terdiam.
“Kau tidak akan mendapatkan lelaki
sebaik dia, Ella. Jadi, jika kali ini kau ragu dan melepaskannya, kau tidak
akan punya kesempatan lagi untuk bahagia, percayalah, aku tulus mengatakannya,”
Hanna kembali melanjutkan kalimatnya. Ella mengangkat bahu. Tapi perlahan ia
tersenyum.
“Terima kasih, Han. Kau seperti memberi
kekuatan baru buatku. Tapi, tidakkah kau takut jika aku menikah dengannya dalam
waktu dekat ini?”
Hanna mengernyit.
“Takut kenapa?”
“Jika aku menikah, aku akan ikut
suamiku. Dan pastinya, kau akan tinggal di sini sendirian,”
Hanna terkekeh.
“Kenapa tidak? aku bukan anak kecil yang
harus takut karena tinggal sendirian, El. Jangan pikirkan aku. Aku akan
baik-baik saja, percayalah,” jawabnya yakin.
“Kalau begitu, segeralah cari lelaki
yang cocok dan menikahlah,” Ella mengerutkan bibirnya dengan gemas.
Hanna mengangguk.
“Kalau bisa, lelaki yang kaya raya, agar
kau tak perlu hidup susah lagi.”
Kali ini Hanna tergelak mendengar ucapan
temannya. “Tentu saja, aku akan mengerahkan seluruh tenagaku untuk mencari
suami tampan, baik, dan kaya raya.” Jawabnya. Kedua wanita itu cekikikan.
Dan entah kenapa, bayangan akan sosok
Rafael muncul di benak Hanna.
***
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar