Rabu, 08 April 2015

Hanna - Part 1




          Hanna menghentikan langkah kakinya ketika sampai di depan rumah megah itu. Rumah yang sudah kosong selama bertahun-tahun karena ditinggal pemiliknya entah kemana. Hanna tak tahu siapa pemilik sebenarnya rumah tersebut karena sejak ia tinggal di lingkungan itu setahun yang lalu, ia sudah menemukan rumah besar bergaya kuno itu dalam keadaan kosong. Tak banyak info yang ia dapat. Orang-orang enggan membicarakannya karena menurut kepercayaan mereka, rumah itu berhantu. Tapi Hanna tak percaya. Lagipula, nyalinya terlalu besar untuk takut dengan makhluk-makhluk gaib itu. Toh selama ini ia juga tak menemukan hal-hal aneh.
Sudah sejak lama Hanna jatuh cinta dengan rumah tersebut. Rumah itu benar-benar besar. Ia tak  tahu keadaan di dalam rumah tersebut. Tapi ia tahu bahwa di samping rumah itu, ada sebuah taman bunga yang indah dan dilengkapi dengan kolam ikan yang meskipun tak terawat, tetap saja sedap di pandang mata. Itulah kenapa, kadang-kadang sehabis jogging, ia selalu menyelinap ke dalam rumah tersebut lewat pintu samping demi bisa menenangkan diri walau hanya duduk-duduk di ayunan yang berada di taman tersebut. Begitu pula dengan yang terjadi pagi itu. Setelah hampir setengah jam melakukan jogging mengitari komplek, ia berakhir di depan rumah kuno tersebut dan memutuskan untuk menyelinap ke dalamnya dan duduk-duduk di ayunan di taman.
Dengan earphone di telinganya, perempuan cantik itu bersenandung lirih sambil duduk-duduk di ayunan tua yang terus-terus mengeluarkan bunyi berdecit manakala ia menggerakkan badan. Seperti biasanya, ia menikmati minggu pagi yang tenang itu di sana, di taman indah itu, selama hampir 15 menit. Hingga akhirnya, ia merasakan ada yang tak beres di sekitarnya.
Perempuan itu bangkit, melepas earphone-nya, lalu menatap sekelilingnya dengan seksama. Ia yakin bahwa ia mendengar suara langkah kaki.
“Hello, ada orang di sana?” Hanna membuka suara. Tatapan matanya waspada menyapu seluruh sudut halaman rumah tersebut. Hingga akhirnya, ia merasakan seseorang menyentuh pundaknya. Reflek, perempuan itu memanfaatkan keahliannya dalam Judo hingga ia bisa menarik lengan tersebut dan dengan satu gerakan ia membanting tubuhnya. Terdengar seseorang mengaduh. Seorang pria tergeletak di tanah, meringis kesakitan.
“Astaga, siapa kau? Kenapa kau masuk ke rumah orang tanpa permisi seperti pencuri?” Ia mengomel. Hanna membelalak, otaknya yang cerdas segera menyadari bahwa akan ada kesalah pahaman di sini.
“Oh, maaf. Aku kira ... kau...,” ia beranjak mendekati pria tersebut dan berusaha membantunya berdiri. Namun pria itu menolak dan menepis tangannya dengan kasar, lalu bangkit.
Keduanya berdiri berhadapan dan saling memandang selama beberapa saat. Hanna menduga usia pria itu sekitar 30 tahunan. Ia terlihat kekar dan jangkung. Dan Hanna menyadari bahwa pria itu tampan. Rambutnya yang sedikit gondrong dan berantakan tetap tak bisa menyembunyikan ketampanannya. Di tambah dengan cambang mulai tumbuh, ia makin terlihat maskulin.
“Maaf, aku tak bermaksud melukaimu. Itu tadi, reflek saja,” Hanna segera meminta maaf.
“Kau hampir saja mematahkan punggungku,” pria itu menjawab, tetap dengan nada kesal. “Sebenarnya siapa kau? Kau masuk ke rumahku tanpa ijin, mengendap-endap seperti pencuri, dan bahkan nyaris membuatku cedera,” Pria terus bersuara, jengkel.
Mata Hanna menyipit dengan indah.
“Rumah ... mu?” ia bertanya lirih. Lelaki itu mengangguk.
“Ooh, maaf sekali karena aku tak tahu bahwa rumah ini sudah berpenghuni. Aku tinggal di sekitar sini dan aku tahu bahwa rumah ini kosong selama beberapa tahun,”
“Aku sudah membelinya dan baru kemarin malam aku pindah ke sini,” Pria itu menjawab.
Hanna manggut-manggut.
“Jadi, apa yang kau lakukan di sini?” pria itu kembali bertanya.
“Maaf jika aku lancang. Tapi, aku sudah punya kebiasaan ini jauh sebelum kau pindah ke sini. Setiap hari selesai jogging, aku sering mampir ke rumah ini, tentunya dengan sembunyi-sembunyi hanya untuk ... duduk-duduk saja di pinggir kolam dan menikmati indahnya taman bunga liar di sini. Kau tahu, rumah ini benar-benar indah, dan aku benar-benar terpesona dengan bangunan ini. Percayalah, hanya itu yang aku lakukan. Aku tidak pernah masuk ke dalam rumah itu, merusak sesuatu, atau bahkan mencuri,” Hanna menapat pria di hadapannya dengan tegas.
Pria itu menatap Hanna dengan penuh selidik. Wajah yang cantik rupawan, rambut panjang bergelombang yang diikat sembarangan ke belakang, tubuh indah yang dibalut kaos ketat tanpa lengan dengan celana pants pendek, serta sepatu olahraga warna putih yang tampak kotor karena lumpur.
“Aku Hanna,” Hanna terlebih dulu mengulurkan tangan dengan percaya diri. Pria itu menatap sekilas ke arah jemari-jemari Hanna yang lentik. Lalu, ia menerima uluran tangan itu, meski sedikit ragu.
“Aku tinggal di ujung jalan ini, sekitar 500 meter dari sini. Percayalah, aku bukan pencuri. Aku hanya sekedar mampir di rumah ini, rumahmu. Dan aku tidak akan melakukannya lagi jika kau keberatan,” ucap Hanna lagi seraya menarik uluran tangannya. Dan perempuan itu segera mohon diri dengan sopan. “Aku permisi.” Ucapnya.
“Aku Rafael,” diluar dugaan, pria itu mengucapkan namanya sesaat sebelum Hanna mencapai pagar. Hanna menoleh. Ia tersenyum lalu kembali memohon diri dengan sopan.

          Hanna tiba di rumah kontrakkannya beberapa menit kemudian dengan bermandikan peluh. Rumah itu kecil dan sederhana, ia sudah menempatinya selama hampir setahun ini bersama Ella. Ella adalah teman terdekatnya sekaligus rekan kerjanya. Selama ini mereka bekerja di tempat sama. Tapi mereka lebih sering mendapatkan shift berbeda. Jika Hanna shift siang, maka Ella akan kebagian shift malam. Begitu pula sebaliknya. Tapi hari minggu ini, mereka mendapatkan shift yang sama. Ella baru saja selesai membuat sarapan pagi, ketika Hanna melihatnya.
“Wah, makan besar  hari ini,” ucap Hanna seraya mengambil sebotol air mineral dari kulkas dan segera menenggaknya seperti orang   yang tak pernah minum selama beberapa hari.
Ella hanya tersenyum ketika mendengar celotehan Hanna.
“Ah, aku hampir saja mendapatkan masalah besar hari ini,” Ucap Hanna lagi.
“Masalah apa?” tanya Ella heran. Hanna menyeka peluh di dahinya dengan handuk lalu duduk di meja makan.
“Aku mampir lagi ke rumah berhantu itu. Dan ternyata rumah itu sudah berpenghuni. Ah, andaikan kau tahu betapa malunya aku. Aku enak-enakan duduk di taman, dan dia memergokinya. Dia bahkan sempat mengiraku sebagi pencuri,”
Ella menepuk jidatnya seraya berseru.
“Astaga, aku lupa bilang padamu, Hanna,” ucapnya.
“Apa?” Hanna mengernyitkan dahinya.
“Aku lupa bilang padamu untuk tidak memasuki rumah itu lagi. Aku sudah tahu perihal penghuni baru itu. Tetangga-tetangga mengatakan bahwa rumah tersebut dibeli oleh seorang pengusaha dan kemarin ia resmi menempatinya,”
Hanna melongo.
“Ya ampun, kenapa kau tak memberitahuku?”
Ella mengangkat bahu. “Sudah kubilang aku lupa,” jawabnya.
Hanna menepuk pipinya dengan kesal. “Astaga.” Desisnya.  “Semoga dia melupakannya dan tak mempermasalahkan karena aku masuk rumahnya tanpa permisi,” ia kembali mengomel.
“Mereka bilang pemilik rumah baru itu adalah pengusaha muda yang tampan. Bagaimana? Apa dia benar-benar tampan?” Ella bertanya dengan antusias.
Hanna terdiam. Tampan? Iya, tapi untuk ukuran seorang pebisnis, ia jauh dari itu. Sepanjang yang ia tahu, para pebisnis muda selalu tampil parlente, elegan, dan rapi. Tapi pria bernama Rafael itu, tidak rapi sama sekali. Ia terlihat berantakan, tapi, well,  tetap saja ia tampan.
“Namanya Rafael,” Hanna menjawab.
“Dan ia tak begitu tampan,” kemudian ia melanjutkan. Ella melongo.
“Jadi kau benar-benar sempat bertemu dengannya? Berkenalan dengannya?”
Hanna mengangguk. “Kami hanya menyebutkan nama masing-masing, itu saja.” Jawabnya.
Ella tersenyum.
“Dia bisa sasaran yang pas untukmu, Hanna,”
“Maksudmu?”
“Ayolah, dia muda, tampan, kaya dan sukses. Rayulah dia dan berkencanlah dengannya. Hidupmu pasti bahagia. Kau tak perlu susah-susah lagi bekerja,” bujuknya.
Hanna tertawa.
“Ide yang bagus. Akan kupikirkan nanti,” ia bangkit dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu sebelum sarapan.


***

          Sepulang kerja, Hanna berdiri di depan rumah megah itu dengan ragu. Sebenarnya ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah memasuki atau bahkan sekedar mengintip rumah tersebut. Tapi rumah itu seakan punya magnet hingga mampu membuat Hanna berhenti sesaat meski hanya sekedar menatapnya. Ah, rumah yang sangat besar dan nyaman sekali. Ucapnya dalam hati.
Pintu gerbang pendek bercat putih pudar itu terbuka lebar. Tapi pintu rumahnya tertutup rapat. Rumah itu kelihatan tak jauh berbeda meskipun sudah berpenghuni. Tetap saja sepi. Hanya halamannya saja yang sudah terlihat sedikit bersih. Ah, taman bunga itu, kolam ikan itu, ayunan itu, Hanna benar-benar ingin berlari ke sana. Tapi ...
“Ingin mengendap-endap untuk masuk ke rumah itu lagi?”
Suara dari belakang tubuhnya membuat Hanna terlonjak. Ia berbalik dengan cepat dan mendapati lelaki itu, lelaki bernama Rafael itu telah berdiri di hadapannya. Tatapannya dalam, ke arah dirinya, seolah menelanjanginya dan ingin mempermalukannya. Ia menenteng dua tas berisi kaleng cat. Pastinya ia ingin mengecat ulang rumahnya,yang memang sudah terlihat kusam.
“Tidak, aku tidak bermaksud memasuki rumah itu tanpa permisi. Percayalah padaku. Aku ... hanya ...,” ia menelan ludah. “Aku hanya ingin melihatnya saja. Dan aku tidak akan melakukannya lagi kalau kau keberatan. Mmm, maaf telah mengganggumu,” Hanna segera berbalik dengan raut muka merah menahan malu. Ia ingin segera meninggalkan tempat itu dan menghilang dari hadapan Rafael. Berhenti di depan rumah tersebut adalah ide yang buruk. Gerutunya dalam hati.
“Tunggu! ” teriakan Rafael menghentikan langkah kakinya. Ia berbalik dan kembali menatap pemuda tampan itu.
“Masuklah,” ucapnya lagi. Hanna mengernyitkan dahinya.
“Masuklah. Mampirlah ke rumahku. Ini undangan resmi dariku,” kalimat pria itu lembut.
Hanna terdiam. Tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Rafael melangkah perlahan mendekatinya.
“Maaf, jangan salah paham padaku. Aku tidak ingin bersikap kurang ajar padamu. Tapi, kau tahu bahwa aku baru di sini dan belum mengenal siapapun. Orang pertama yang ku kenal adalah dirimu. Dan, aku berharap, kita akan menjadi teman,” kalimat Rafael terdengar tulus. Hanna merasakan sebuah kegembiraan kecil. Teman? Astaga, ia tak percaya bahwa lelaki ini meminta secara langsung padanya untuk berteman.
“Aku tahu pertemuan pertama kita agak ... brutal. Tapi aku akan melupakannya dan semoga ke depannya, kita punya hubungan yang lebih baik. Maksudku, berteman,” ia kembali menekankah kalimatnya.
“Kau tak akan menganggapku sebagai pencuri lagi ‘kan?” tanya Hanna dengan hati-hati.
Rafael tertawa kecil hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. Hanna terkesiap. Wow, dia benar-benar terlihat makin tampan ketika tertawa.
“Maaf karena aku sempat menganggapmu pencuri,” jawabnya. “Jadi? Bagaimana? Mau masuk? Percayalah bahwa aku orang yang baik,” ia menambahkan, dengan kalimat yang makin tulus. Hanna tersenyum. Perlahan ia mengangguk.

          Hanna menatap ruang tamu di sekelilingnya dengan takjub. Ternyata rumah itu tidak hanya megah dari luar, tapi dalamnya-pun sungguh luar biasa. Rumah itu bahkan di lengkapi dengan sebuah bar mini. Hanna yakin Rafael pasti membeli rumah itu dengan harga mahal.
“Duduklah dulu. Mau minum apa?” Rafael menyilakan dengan sopan. Ia meletakkan kaleng cat yang di tentengnya sejak tadi di pojok ruangan bercampur dengan beberapa kardus. Terlihat sekali kalau ia sedang berbenah.
“Apa saja,” jawab Hanna seraya duduk di kursi kayu yang indah.
“Mmm, kopi saja kalau boleh,” Hanna menambahkan dengan sedikit malu-malu. Rafael tersenyum.
“Aku juga suka kopi,” ucapnya. Ia bergerak ke counter bar dan tak butuh waktu lama baginya untuk menyediakan dua cangkir kopi.
“Kau tinggal di mana?” ia bertanya seraya meletakkan salah satu cangkir kopi tersebut di depan Hanna.
“Di ujung jalan ini. Aku tinggal bersama temanku,” jawab Hanna.
“Teman perempuan?”
Hanna tertawa.
“Tentu saja,” jawabnya.
“Kau sendiri? Tinggal bersama siapa di sini?” ia balik bertanya.
“Sendiri,” jawab Rafael.
“Sendiri?”
Lelaki itu kembali mengangguk.
“Tanpa pelayan? Tanpa pembantu? Tanpa keluarga?”
Rafael kembali mengangguk seraya menyesap kopinya dengan perlahan.
“Aneh, mereka bilang kau seorang pengusaha. Kenapa kau hanya tinggal sendirian di sini? Bahkan tanpa pelayan?” Hanna kembali bertanya dengan berani.
“Siapa yang bilang aku pengusaha?”
“Mereka, tetangga-tetanggaku,” jawab Hanna. Rafael terkekeh.
“Itu tidak benar. Aku bukan pengusaha. Aku hanya mengelola bisnis online kecil-kecilan. Aku punya gudang sempit di pinggir kota. Dari sanalah mereka melakukan pengiriman. Aku bahkan hanya punya beberapa puluh karyawan,”
“Hei, beberapa puluh karyawan itu termasuk banyak. Kalau usahamu tak besar, kau tak akan mampu membeli rumah semegah ini. Maaf jika aku lancang. Tapi itu benar ‘kan?” celetuk Hanna.
Rafael kembali tertawa. Ia merasa takjub dengan sikap perempuan di hadapannya yang begitu apa adanya. Ia berbicara tanpa rasa canggung sedikitpun. 
“Apa yang kau jual?”
“Elektronik, tekstil, dan garmen,”
“Wah, itu pasti bisnis yang bagus,” Hanna terlihat takjub.
“Terima kasih,”
“Lalu kenapa kau hanya tinggal sendirian di sini?”
 “Aku memang suka menyendiri. Hanya itu satu-satunya cara untuk menenangkan diri dari rutinitas yang membuatku kelelahan,”
“Kalau kau suka menyendiri kenapa kau mengundangku?” tanya Hanna asal.
Rafael kembali tergelak. Merasa kembali menerima pukulan.
“Maksudku bukan begitu. Hanya saja, adakalanya aku ingin meluangkan waktu untuk diriku sendiriku. Menikmati hidup, memasak masakan yang aku suka, menata rumah sesuai yang aku suka, membaca buku yang aku suka, yang jelas, menikmati rumah ini,”
“Kau belum menikah?”
Rafael kembali tergelak.
“Apa kau selalu bertanya to the point seperti ini?”  Ia ganti bertanya.
Hanna mengangguk.
“Aku selalu melakukan ini pada teman baruku baik perempuan maupun laki-laki agar kami bisa saling mengenal dengan lebih baik. Jangan salah paham oke? Aku tak bermaksud menggodamu,” Hanna seperti memberikan pembelaan.
Rafael tersenyum. Entah kenapa ia menjadi gemas sekali dengan perempuan di hadapannya.
“Kau bekerja?” Kali ini, Ia bertanya lagi.
Hanna mengangguk.“Aku bekerja sebagai pelayan restoran,” jawabnya.
Rafael menatap perempuan itu dengan rasa tak percaya. Baginya, Hanna terlalu cantik untuk menjadi seorang pelayan restoran. Ia punya kulit yang bagus, mata yang bagus, rambut panjang yang bagus, dan tubuh tinggi semampai yang juga sangat bagus. Tadinya ia mengira Hanna adalah seorang model.
“Kau sering berkunjung ke rumah ini sebelum rumah ini kubeli?”
Hanna mengangguk. “Rumah ini kosong untuk waktu yang cukup lama. Dan selama itu pula aku sering masuk ke ke sini secara diam-diam. Tapi percayalah aku bukan pencuri. Aku bahkan tidak pernah masuk ke dalam rumah ini. Ini yang pertama kalinya buatku. Bisanya aku hanya akan berjalan-jalan di halaman, duduk-duduk di dekat kolam dan berayun-ayun di taman. Itu saja, percayalah padaku,”
Rafael mengangguk-angguk. “Kau begitu menyukai tempat ini?”
Hanna mengangguk tanpa ragu. “Tentu saja. Mana ada orang yang tak menyukai rumah ini,” sergahnya.  “Aku menyukai taman dan ayunannya. Sungguh, itu indah sekali,” Ia melanjutkan.
“Kalau begitu, kau bisa mampir ke sini kapanpun kau mau,” kalimat itu meluncur dari bibir Rafael. Keputusan itu seakan ia ambil mendadak setelah ia menemukan keasyikan luar biasa ketika mengobrol dengan Hanna.
“Sungguh?” Mata bulat Hanna berbinar indah.
“Tentu,”
“Kenapa begitu? Bukankah kamu suka menyendiri?”
Rafael kembali terkekeh mendengar pertanyaan Hanna.
“Tidak. Aku bukan penyendiri akut. Itu kulakukan jika aku benar-benar merasa lelah luar biasa. Dalam keadaan biasa, aku tetap saja suka berteman, bersosialisasi, mengobrol seperti ini. Jadi, aku akan sangat senang kalau kau ... berkunjung ke sini,” ucapnya. Hanna tersenyum gembira.
“Tentu saja aku merasa tersanjung kalau kau membiarkan bermain-main di sini. Sebenarnya aku juga ingin mengundangmu untuk mampir ke tempatku kapan-kapan. Anggap saja kunjungan antar teman. Tapi ... rumah kontrakanku kecil. Aku tidak yakin kau menyukainya,”
Rafael tersenyum.
“Tak masalah. Kita sudah jadi teman ‘kan?”
Hanna ikut tersenyum.
“Ya, kita sudah jadi teman,” jawabnya seraya meraih cangkir kopinya dan menyesapnya dengan perlahan.

***

          Hanna sampai di rumah kontrakkannya dengan wajah cerah. Ella ternyata juga sudah sampai di sana.
“Hanna? Kenapa kau baru sampai? Bukankah tadi kau pulang duluan?” Ella menyapa dengan pertanyaan.
“Aku masih mampir ke rumah rafael?” Jawab Hanna.
“Pemilik rumah berhantu itu?”
Hanna mengangguk dengan senyum di bibirnya. “Rumah itu tidak berhantu,” jawabnya.
“Sepertinya kau punya kemajuan dengannya?” Ella tersenyum jahil. Hanna kembali tersenyum. “Kami sudah berteman,” ucapnya lagi.
“Wah, itu bagus,” kalimat Ella terdengar gembira.
Hanna segera masuk ke kamarnya untuk berganti baju dengan baju kasual dan Ella mengekor di belakangnya.
“Lihat apa yang kudapat,” Ia menunjukkan sebuah cincin emas yang tersemat di jari manisnya. Bibir Hanna terbuka.
“Apa kau dilamar?” ia nyaris berteriak. Dan Ella segera menjawab dengan senyuman dan anggukan.
“Astaga, jadi Andre benar telah melamarmu!?” Hanna kembali berteriak. Dan Ella pun kembali mengangguk.
“Oh, selamat Ella,” Hanna menghambur ke arah nya lalu memeluknya dengan erat.
“Tapi, jujur saja aku ragu untuk menikah dengannya, Han,” kali ini suara Ella terdengar lirih.
Hanna menegakkan tubuhnya dan menatap Ella dengna heran. “Kenapa?”
Ella terdiam sesaat. Raut mukanya berubah murung.
“Aku minder, Han,”
“Kenapa harus minder?”
“Kau tahu keadaan kami berbeda, Han. Andre dari keluarga berada. Ia mapan, punya pekerjaan, dan bergaji tinggi. Ia juga dari keluarga baik-baik. Sementara kita, kita hanyalah perempuan biasa yang tidak pernah mengecap pendidikan tinggi. Kita tak punya gelar sarjana. Kita bahkan hanya bekerja sebagai pelayan. Aku takut aku tak bisa menyesuaikan diri dengannya. Aku takut keluarganya tidak akan bisa menerimaku dengan mudah,”
Hanna menggeleng. Ia meraih tangan Ella dan menggenggamnya dengan lembut.
“Itu tidak benar, Ella. Andre lelaki yang baik. Dan aku tahu ia mencintaimu dengan tulus tanpa melihat statusmu. Mengenai keluarganya, well, aku tak bisa berkomentar banyak. Tapi aku yakin, Andre akan selalu di sisimu, melindungimu bila ada hal-hal buruk yang menimpamu,”
Ella terdiam.
“Kau tidak akan mendapatkan lelaki sebaik dia, Ella. Jadi, jika kali ini kau ragu dan melepaskannya, kau tidak akan punya kesempatan lagi untuk bahagia, percayalah, aku tulus mengatakannya,” Hanna kembali melanjutkan kalimatnya. Ella mengangkat bahu. Tapi perlahan ia tersenyum.
“Terima kasih, Han. Kau seperti memberi kekuatan baru buatku. Tapi, tidakkah kau takut jika aku menikah dengannya dalam waktu dekat ini?”
Hanna mengernyit.
“Takut kenapa?”
“Jika aku menikah, aku akan ikut suamiku. Dan pastinya, kau akan tinggal di sini sendirian,”
Hanna terkekeh.
“Kenapa tidak? aku bukan anak kecil yang harus takut karena tinggal sendirian, El. Jangan pikirkan aku. Aku akan baik-baik saja, percayalah,” jawabnya yakin.
“Kalau begitu, segeralah cari lelaki yang cocok dan menikahlah,” Ella mengerutkan bibirnya dengan gemas.
Hanna mengangguk.
“Kalau bisa, lelaki yang kaya raya, agar kau tak perlu hidup susah lagi.”
Kali ini Hanna tergelak mendengar ucapan temannya. “Tentu saja, aku akan mengerahkan seluruh tenagaku untuk mencari suami tampan, baik, dan kaya raya.” Jawabnya. Kedua wanita itu cekikikan.
Dan entah kenapa, bayangan akan sosok Rafael muncul di benak Hanna.

***

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar