Rabu, 01 April 2015

[Cerpen] Ibuku Lumayan Matre



            Aku meraup beberapa potong pakaian dari dalam lemari lalu memasukkannya ke dalam koper. Aku memasukkannya begitu saja, tanpa ku tata. Baju-baju itu berjubel, nyaris tak muat di dalam koper berukuran sedang tersebut. Setelah bersusah payah menutupnya secara paksa, aku menenteng koper tersebut dan melangkah dengan langkah panjang keluar dari kamar.
            Ibu muncul dari dapur dan menghadang langkahku.
“Mau kemana kamu, Nur?” Ia bertanya seraya menatap koper di tanganku.
“Minggat.” Jawabku pendek sambil kembali melangkahkan kakiku.
“Menur!” Ibu berteriak memanggil namaku. Perempuan setengah baya itu menarik lengan tanganku hingga langkahku urung.
“Apa-apaan kamu?” Beliau menatapku dengan tatapan marah. Aku balas menatap, lurus ke matanya.
“Aku sudah pernah bilang ‘kan bu? Kalo ibu tetap menjualku pada lelaki tua itu, maka aku akan pergi dari rumah ini.” Jawabku. Ibu melotot. Tangannya terayun dan ... plakkk!!! Ia menampar pipiku dengan amat keras. Sakit, tentu saja. Tapi amarah dalam diriku menyamarkan segalanya.
“Lancang kamu!” Beliau kembali berteriak. “Bagaimana mungkin kamu mengatakan bahwa aku menjualmu!?” Lanjutnya.
“Ibu memaksaku menikah dengan lelaki tua itu, kalau bukan menjual lantas namanya apa? Dia memang kaya raya bu. Tapi, ya Tuhan, umurnya bahkan sepantaran dengan umur bapak!” Aku juga berteriak.
“Ini demi kebaikanmu, Nur.” Ibu menyanggah.
Aku tertawa sinis.
“Kebaikan? Kebaikan macam apa? Ibu menjodohkanku dengan lelaki yang lebih pantas menjadi ayahku, sudah punya 2 istri, sudah punya 5 anak, apa itu namanya demi kebaikan?” sindirku.
Ibu berkacak pinggang sembari terus menatapku tajam.
“Ya, itu demi kebaikan. Kamu tahu kenapa? Karena kita miskin, keluarga kita terlilit hutang. Jika kamu menikah dengannya, tentu keluarga kita tidak akan terpuruk seperti ini. Kamu pasti bisa hidup enak, kamu tak perlu susah-susah bekerja. Pikirkan itu!”
“Bahkan jika aku harus menjadi istri ketiga?”
“Kenapa tidak?”
Aku menggigit bibirku dengan keras. Air mataku nyaris tumpah.
“Ibu, aku menyayangimu. Jadi jangan paksa aku melakukan hal ini.” Desisku.  “Umurku baru 18 tahun. Aku masih ingin melihat dunia. Aku ingin kuliah, aku ingin bekerja, aku ingin menggapai cita-citaku bu.” Lanjutku. Ibu tertawa mengejek. “Kuliah? Bekerja? Cih. Kamu pikir mudah menjalani hidup seperti itu jika kamu tak punya uang? Omong kosong.”
“Aku bisa kuliah sambil bekerja.” Sergahku. Ibu kembali tertawa mengejek.
“Kehidupan seperti itu tidak akan pernah berhasil untuk orang semacam kita, Nur!”
“Bahkan jika aku tidak berhasil, aku tetap tidak akan menikah dengan lelaki tua itu!” Aku kembali berteriak. “Aku akan meninggalkan rumah ini jika ibu memaksaku!”
Ibu manggut-manggut dengan tatapan nanar. “Baik. Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan. Pergi saja jika kamu ingin pergi. Aku tidak butuh anak tak patuh seperti kamu!”
Kami berpandangan sesaat. Air mataku menitik, air mata ibu juga.
Kemudan dengan tekad kuat, aku kembali melangkahkan kakiku, meninggalkan ibu. Meninggalkan rumah kami. Meninggalkan segalanya.


            Peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Aku memutuskan pergi dari rumah setelah menolak dijodohkan dengan lelaki tua kaya raya, eksporti migas dari Kalimantan. Lelaki yang umurnya hampir sama dengan bapakku, sudah punya anak dan istri.
Mengesampingkan rasa sayangku pada ibuku, pada ayahku, pada adik perempuanku satu-satunya, Anyelir, aku meninggalkan segalanya.
Bermodalkan nekat aku pergi ke kota metropolis. Daftar kuliah di jurusan ekonomi, banting tulang kerja paruh waktu di 2 tempat sekaligus demi bisa membayar uang kuliah dan juga bayar kontrakan. Tubuhku kurus kering karena sering makan mie instan demi bisa berhemat. Tapi aku tak peduli. Aku ingin lulus kuliah, lalu mendapatkan pekerjaan yang mapan.
            Tapi, beberapa bulan setelah pesta kelulusanaku, lelah karena mencari pekerjaan kesana kemari yang tak kunjung membuahkan hasil, tiba-tiba saja rasa rindu pada keluargaku benar-benar tak tertahankan. Hingga akhirnya, dengan menyingkirkan segala ego, menyingkirkan kenyataan bahwa hanya ada uang tak lebih dari 75 ribu di dompetku, aku memutuskan pulang ke kampung halamanku dengan naik bis kelas ekonomi. Aku ingin bertemu dengan ayah dan ibukku dan juga adikku, titik!

***

            Aku menatap rumah tua itu dengan seksama. Rumah kecil yang terbuat dari kayu yang terlihat tak terawat dan tak berpenghuni. Tiba-tiba saja dadaku sesak. Ada apa ini?
Aku mengetuk pintu tapi tak ada jawaban. Kemana semua?
Apa rumah ini benar-benar kosong? “Ibu?” Aku memanggil berulang-ulang. Tapi nihil.
“Menur?”
Suara itu membuat kata-kataku terhenti. Perlahan aku menoleh dan melihat bude Siti sudah berdiri tak jauh dariku. Bude Siti adalah saudara ipar ibuku. Rumahnya berjarak sekitar 100 meter dari rumahku.
“Bude?” Aku memanggil lirih. Bude Siti menatapku dengan seksama. Seketika wajahnya nampak terharu. “Jadi ini benar-benar kamu, Nur?” Ia menghambur ke arahku lalu memelukku erat.
“Syukurlah kamu kembali, nak. Bude lega kamu sudah pulang.” Ia menatapku dengan air mata bercucuran.
“Kemana saja kamu selama ini, Nur. Kami semua bingung mencarimu, kemana-mana. Kamu pergi begitu saja tanpa memberikan kabar. Kamu baik-baik saja ‘kan, nak?” Perempuan itu tak berhenti mencium pipiku. Aku mengangguk dengan kaku. “Aku baik-baik saja, bude.” Jawabku.
“Ada apa dengan mereka, bude? Ibu? Ayah? Anyelir?” Aku bertanya dengan ragu. Aku hanya takut mendengar kabar buruk.
            Bude Siti tersenyum tulus, seolah menangkap kecemasanku. “Tidak, Nur. Jangan cemas. Tak ada hal buruk yang menimpa mereka. Sebaliknya, mereka semua dalam keadaan baik-baik saja. Sangat baik, bahkan.” Jawabnya. Aku mengernyit tak mengerti.
“Duduklah, dulu.” Bude membimbingku duduk di sebuah dipan tua di depan rumah. Dipan yang mengelurkan bunyi berdecit ketika menopang tubuh kami berdua.  
“Setahun setelah kau pergi, setelah Anyelir lulus dari SMA, ibumu segera menikahkannya dengan lelaki kaya dari kalimantan.”
Aku terperangah.
“Lelaki kaya dari kalimantan? Lelaki yang ....”
Bude Siti tersenyum dan mengangguk.
“Iya, lelaki yang dulu pernah ingin dijodohkan denganmu, tapi kamu menolaknya. Sekarang ia menikahi adikmu.”
Aku terperangah. Lelaki tua yang sudah punya 2 istri dan beberapa anak?
“Apa ibu ...?”
“Tidak, Nur. Ibumu tidak memaksa Anyelir menikah dengannya. Setelah Anyelir lulus, lelaki itu datang lagi ke sini, kali ini untuk melamarnya. Dan Anyelir mengiyakannya begitu saja. Segera setelah mereka berkeluarga, lelaki itu memboyong Anyelir ke Kalimantan. Semua juga di ajak. Ayahmu dan ibumu, mereka juga diboyong ke sana.” Bude kembali menjelaskan.
“Jika saja kamu tahu, sekarang hidup mereka sudah enak. Mereka mapan. Tinggal di rumah mewah dengan fasilitas lengkap, tercukupi semua kebutuhan, waah, mereka benar-benar beruntung sekarang. Beberapa waktu yang lalu mereka baru saja menunaikan ibadah haji.”
Aku kembali terperangah.
“Ayah dan ibu?”
“Dan juga Anyelir.” Lanjut Bude Siti. “Oh iya, kamu juga sudah punya keponakan sekarang?”
Aku terperanjat.
“Anyelir sudah punya anak?”
Bude Siti mengangguk. “Perempuan, umur 2 tahun. Dia lucu sekali.” Jawabnya.
“Ibumu juga masih sering berkunjung ke sini kok. Dia senantiasa bertanya apakah kau pernah pulang ke rumah. Dia juga memintaku untuk memberitahunya bila kau pulang.” Bude Siti menggenggam kembali tanganku dengan erat. “Ibumu yakin sekali bahwa suatu saat kau akan kembali ke sini. Dan dia benar, akhirnya kau pulang.” Ucapnya lagi.
“Sebentar, akan ku ambilkan dulu kunci rumahmu. Ibumu menitipkannya padaku.” Bude beranjak. Aku hanya tersenyum lalu mengangguk sebelum bude Siti meninggalkanku sendirian.
            Aku mematung. Dan perlahan, aku tertawa. Sungguh, aku benar-benar tertawa. Terbahak-bahak. Aku bersyukur karena keluargaku baik-baik saja. Aku bersyukur bahwa ibuku sehat, ayahku sehat, adikku juga.
            Aku hanya sedang ingin tertawa.
            Kau tahu? Aku sedang menertawakan diriku sendiri.
            SUMPAH!

            Sekarang aku sadar bahwa insting ibu ternyata lebih kuat dari ramalan cenayang manapun. Lihatlah? Mereka hidup senang sekarang. Adikku bahagia, ibuku juga, ayahku juga. Mereka bahkan hidup mapan dan berkecukupan tanpa harus capek-capek berkerja.
Sementara aku?
Lihatlah diriku?
Aku kurus kering, kurang gizi. Aku bekerja banting tulang demi bisa lulus kuliah. Dan setelah lulus kuliah, mendapatkan ijasah, aku harus banting tulang mencari pekerjaan. Mudah? Tidak.
Aku ditolak. Hampir di semua perusahaan yang ku kirimi surat lamaran. Padahal aku lulusan terbaik, dari Universitas terbaik. Tapi tetap saja mereka menolakku. Hanya karena aku tak punya koneksi dengan siapapun. Tak ada uang pelicin. Tak ada suap.
Yang benar saja? Mana ada orang yang harus membayar dulu demi bisa mendapatkan pekerjaan?
Negara macam ini?
            Apa menurutmu aku menyesali keputusanku karena telah meninggalkan rumah? Menyesal karena telah menolak saran ibuku untuk menikah dengan pria kaya? Bisa jadi.
            Kuliah, ijasah, cita-cita ....
            Cih.
            Persetan dengan semuanya!
            Aku muak.


Selesai.


Wiwin Setyobekti
23.30
01/04/2015


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar