Aku meraup beberapa potong pakaian
dari dalam lemari lalu memasukkannya ke dalam koper. Aku memasukkannya begitu
saja, tanpa ku tata. Baju-baju itu berjubel, nyaris tak muat di dalam koper
berukuran sedang tersebut. Setelah bersusah payah menutupnya secara paksa, aku
menenteng koper tersebut dan melangkah dengan langkah panjang keluar dari kamar.
Ibu muncul dari dapur dan menghadang
langkahku.
“Mau
kemana kamu, Nur?” Ia bertanya seraya menatap koper di tanganku.
“Minggat.”
Jawabku pendek sambil kembali melangkahkan kakiku.
“Menur!”
Ibu berteriak memanggil namaku. Perempuan setengah baya itu menarik lengan
tanganku hingga langkahku urung.
“Apa-apaan
kamu?” Beliau menatapku dengan tatapan marah. Aku balas menatap, lurus ke
matanya.
“Aku
sudah pernah bilang ‘kan bu? Kalo ibu tetap menjualku pada lelaki tua itu, maka
aku akan pergi dari rumah ini.” Jawabku. Ibu melotot. Tangannya terayun dan ...
plakkk!!! Ia menampar pipiku dengan amat keras. Sakit, tentu saja. Tapi amarah
dalam diriku menyamarkan segalanya.
“Lancang
kamu!” Beliau kembali berteriak. “Bagaimana mungkin kamu mengatakan bahwa aku
menjualmu!?” Lanjutnya.
“Ibu
memaksaku menikah dengan lelaki tua itu, kalau bukan menjual lantas namanya
apa? Dia memang kaya raya bu. Tapi, ya Tuhan, umurnya bahkan sepantaran dengan
umur bapak!” Aku juga berteriak.
“Ini
demi kebaikanmu, Nur.” Ibu menyanggah.
Aku
tertawa sinis.
“Kebaikan?
Kebaikan macam apa? Ibu menjodohkanku dengan lelaki yang lebih pantas menjadi
ayahku, sudah punya 2 istri, sudah punya 5 anak, apa itu namanya demi
kebaikan?” sindirku.
Ibu
berkacak pinggang sembari terus menatapku tajam.
“Ya,
itu demi kebaikan. Kamu tahu kenapa? Karena kita miskin, keluarga kita terlilit
hutang. Jika kamu menikah dengannya, tentu keluarga kita tidak akan terpuruk
seperti ini. Kamu pasti bisa hidup enak, kamu tak perlu susah-susah bekerja.
Pikirkan itu!”
“Bahkan
jika aku harus menjadi istri ketiga?”
“Kenapa
tidak?”
Aku
menggigit bibirku dengan keras. Air mataku nyaris tumpah.
“Ibu,
aku menyayangimu. Jadi jangan paksa aku melakukan hal ini.” Desisku. “Umurku baru 18 tahun. Aku masih ingin
melihat dunia. Aku ingin kuliah, aku ingin bekerja, aku ingin menggapai
cita-citaku bu.” Lanjutku. Ibu tertawa mengejek. “Kuliah? Bekerja? Cih. Kamu
pikir mudah menjalani hidup seperti itu jika kamu tak punya uang? Omong
kosong.”
“Aku
bisa kuliah sambil bekerja.” Sergahku. Ibu kembali tertawa mengejek.
“Kehidupan
seperti itu tidak akan pernah berhasil untuk orang semacam kita, Nur!”
“Bahkan
jika aku tidak berhasil, aku tetap tidak akan menikah dengan lelaki tua itu!”
Aku kembali berteriak. “Aku akan meninggalkan rumah ini jika ibu memaksaku!”
Ibu
manggut-manggut dengan tatapan nanar. “Baik. Lakukan saja apa yang ingin kamu
lakukan. Pergi saja jika kamu ingin pergi. Aku tidak butuh anak tak patuh
seperti kamu!”
Kami
berpandangan sesaat. Air mataku menitik, air mata ibu juga.
Kemudan
dengan tekad kuat, aku kembali melangkahkan kakiku, meninggalkan ibu.
Meninggalkan rumah kami. Meninggalkan segalanya.
Peristiwa itu terjadi beberapa tahun
yang lalu. Aku memutuskan pergi dari rumah setelah menolak dijodohkan dengan
lelaki tua kaya raya, eksporti migas dari Kalimantan. Lelaki yang umurnya
hampir sama dengan bapakku, sudah punya anak dan istri.
Mengesampingkan
rasa sayangku pada ibuku, pada ayahku, pada adik perempuanku satu-satunya,
Anyelir, aku meninggalkan segalanya.
Bermodalkan
nekat aku pergi ke kota metropolis. Daftar kuliah di jurusan ekonomi, banting
tulang kerja paruh waktu di 2 tempat sekaligus demi bisa membayar uang kuliah
dan juga bayar kontrakan. Tubuhku kurus kering karena sering makan mie instan
demi bisa berhemat. Tapi aku tak peduli. Aku ingin lulus kuliah, lalu
mendapatkan pekerjaan yang mapan.
Tapi, beberapa bulan setelah pesta
kelulusanaku, lelah karena mencari pekerjaan kesana kemari yang tak kunjung
membuahkan hasil, tiba-tiba saja rasa rindu pada keluargaku benar-benar tak
tertahankan. Hingga akhirnya, dengan menyingkirkan segala ego, menyingkirkan
kenyataan bahwa hanya ada uang tak lebih dari 75 ribu di dompetku, aku
memutuskan pulang ke kampung halamanku dengan naik bis kelas ekonomi. Aku ingin
bertemu dengan ayah dan ibukku dan juga adikku, titik!
***
Aku menatap rumah tua itu dengan
seksama. Rumah kecil yang terbuat dari kayu yang terlihat tak terawat dan tak
berpenghuni. Tiba-tiba saja dadaku sesak. Ada
apa ini?
Aku
mengetuk pintu tapi tak ada jawaban. Kemana
semua?
Apa
rumah ini benar-benar kosong? “Ibu?” Aku memanggil berulang-ulang. Tapi nihil.
“Menur?”
Suara
itu membuat kata-kataku terhenti. Perlahan aku menoleh dan melihat bude Siti
sudah berdiri tak jauh dariku. Bude Siti adalah saudara ipar ibuku. Rumahnya
berjarak sekitar 100 meter dari rumahku.
“Bude?”
Aku memanggil lirih. Bude Siti menatapku dengan seksama. Seketika wajahnya
nampak terharu. “Jadi ini benar-benar kamu, Nur?” Ia menghambur ke arahku lalu
memelukku erat.
“Syukurlah
kamu kembali, nak. Bude lega kamu sudah pulang.” Ia menatapku dengan air mata
bercucuran.
“Kemana
saja kamu selama ini, Nur. Kami semua bingung mencarimu, kemana-mana. Kamu
pergi begitu saja tanpa memberikan kabar. Kamu baik-baik saja ‘kan, nak?”
Perempuan itu tak berhenti mencium pipiku. Aku mengangguk dengan kaku. “Aku
baik-baik saja, bude.” Jawabku.
“Ada
apa dengan mereka, bude? Ibu? Ayah? Anyelir?” Aku bertanya dengan ragu. Aku hanya
takut mendengar kabar buruk.
Bude Siti tersenyum tulus, seolah
menangkap kecemasanku. “Tidak, Nur. Jangan cemas. Tak ada hal buruk yang
menimpa mereka. Sebaliknya, mereka semua dalam keadaan baik-baik saja. Sangat
baik, bahkan.” Jawabnya. Aku mengernyit tak mengerti.
“Duduklah,
dulu.” Bude membimbingku duduk di sebuah dipan tua di depan rumah. Dipan yang
mengelurkan bunyi berdecit ketika menopang tubuh kami berdua.
“Setahun
setelah kau pergi, setelah Anyelir lulus dari SMA, ibumu segera menikahkannya
dengan lelaki kaya dari kalimantan.”
Aku
terperangah.
“Lelaki
kaya dari kalimantan? Lelaki yang ....”
Bude
Siti tersenyum dan mengangguk.
“Iya,
lelaki yang dulu pernah ingin dijodohkan denganmu, tapi kamu menolaknya.
Sekarang ia menikahi adikmu.”
Aku
terperangah. Lelaki tua yang sudah punya
2 istri dan beberapa anak?
“Apa
ibu ...?”
“Tidak,
Nur. Ibumu tidak memaksa Anyelir menikah dengannya. Setelah Anyelir lulus,
lelaki itu datang lagi ke sini, kali ini untuk melamarnya. Dan Anyelir
mengiyakannya begitu saja. Segera setelah mereka berkeluarga, lelaki itu
memboyong Anyelir ke Kalimantan. Semua juga di ajak. Ayahmu dan ibumu, mereka
juga diboyong ke sana.” Bude kembali menjelaskan.
“Jika
saja kamu tahu, sekarang hidup mereka sudah enak. Mereka mapan. Tinggal di
rumah mewah dengan fasilitas lengkap, tercukupi semua kebutuhan, waah, mereka
benar-benar beruntung sekarang. Beberapa waktu yang lalu mereka baru saja
menunaikan ibadah haji.”
Aku
kembali terperangah.
“Ayah
dan ibu?”
“Dan
juga Anyelir.” Lanjut Bude Siti. “Oh iya, kamu juga sudah punya keponakan
sekarang?”
Aku
terperanjat.
“Anyelir
sudah punya anak?”
Bude
Siti mengangguk. “Perempuan, umur 2 tahun. Dia lucu sekali.” Jawabnya.
“Ibumu
juga masih sering berkunjung ke sini kok. Dia senantiasa bertanya apakah kau
pernah pulang ke rumah. Dia juga memintaku untuk memberitahunya bila kau
pulang.” Bude Siti menggenggam kembali tanganku dengan erat. “Ibumu yakin
sekali bahwa suatu saat kau akan kembali ke sini. Dan dia benar, akhirnya kau
pulang.” Ucapnya lagi.
“Sebentar,
akan ku ambilkan dulu kunci rumahmu. Ibumu menitipkannya padaku.” Bude
beranjak. Aku hanya tersenyum lalu mengangguk sebelum bude Siti meninggalkanku
sendirian.
Aku mematung. Dan perlahan, aku
tertawa. Sungguh, aku benar-benar tertawa. Terbahak-bahak. Aku bersyukur karena
keluargaku baik-baik saja. Aku bersyukur bahwa ibuku sehat, ayahku sehat,
adikku juga.
Aku hanya sedang ingin tertawa.
Kau tahu? Aku sedang menertawakan
diriku sendiri.
SUMPAH!
Sekarang aku sadar bahwa insting ibu
ternyata lebih kuat dari ramalan cenayang manapun. Lihatlah? Mereka hidup
senang sekarang. Adikku bahagia, ibuku juga, ayahku juga. Mereka bahkan hidup
mapan dan berkecukupan tanpa harus capek-capek berkerja.
Sementara
aku?
Lihatlah
diriku?
Aku
kurus kering, kurang gizi. Aku bekerja banting tulang demi bisa lulus kuliah.
Dan setelah lulus kuliah, mendapatkan ijasah, aku harus banting tulang mencari
pekerjaan. Mudah? Tidak.
Aku
ditolak. Hampir di semua perusahaan yang ku kirimi surat lamaran. Padahal aku
lulusan terbaik, dari Universitas terbaik. Tapi tetap saja mereka menolakku.
Hanya karena aku tak punya koneksi dengan siapapun. Tak ada uang pelicin. Tak
ada suap.
Yang
benar saja? Mana ada orang yang harus membayar dulu demi bisa mendapatkan
pekerjaan?
Negara
macam ini?
Apa menurutmu aku menyesali
keputusanku karena telah meninggalkan rumah? Menyesal karena telah menolak
saran ibuku untuk menikah dengan pria kaya? Bisa jadi.
Kuliah, ijasah, cita-cita ....
Cih.
Persetan
dengan semuanya!
Aku
muak.
Selesai.
Wiwin
Setyobekti
23.30
01/04/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar