Rena sedang bersiap berangkat kerja
ketika melihat Hasan sedang berdiri di dekat mobil yang terparkir tak jauh dari
rumahnya.
“Aku
menunggumu di sini,” sapanya ketika melihat kedatangan Rena.
“Tadinya
aku berniat datang langsung menemuimu di rumah. Tapi, pastinya kau akan
menolakku. Jadi, aku sengaja menungguimu di sini,” ia melanjutkan. Rena
melangkah mendekatinya, meski sedikit
enggan.
“Mas
datang sendiri?” tanyanya seraya melirik ke dalam mobil, takut jika Anggi ada
di dalam sana.
“Ya,
aku datang sendiri,” jawab Hasan yang melihat kekhawatiran di mata Rena.
“Ada
sesuatu yang ingin kubicarakan. Bisakah kau masuk ke mobil sebentar?” pinta
Hasan.
“Maaf
mas. Tapi aku sedang buru-buru. Jika ada sesuatu yang ingin mas sampaikan,
bicarakan saja di sini secepatnya,” jawab Rena. Terdengar Hasan menghela nafas.
“Kenapa
kau harus melakukan ini, Rena?”
“Melakukan
apa?”
“Kenapa
kau harus bekerja? Aku bahkan masih sanggup menghidupimu. Apa uang yang selama
ini ku transfer ke rekeningmu masih kurang? Aku bisa menambahnya jika kau mau.
Kau tinggal bilang saja butuh berapa?” Hasan menatap Rena dengan lembut.
“Darimana
mas tahu kalau aku bekerja?”
“Aku
bahkan tahu bahwa kau bekerja pada lelaki yang aku temui di restoran beberapa
waktu yang lalu, Shinji Okada,” ucapnya.
Rena mengernyit.
“Mas
memata-mataiku?”
Hasan
mendesah pelan. “Ren, kau masih sah sebagai istriku dan aku berhak mengetahui
apapun yang kau lakukan,” ujarnya.
“Ya,
secara hukum kita masih sah sebagai suami istri. Tapi sejak kau mengkhianatiku,
perkawinan kita sudah hancur, mas. Dan sudah berkali-kali aku bilang padamu,
ceraikan saja aku!” Rena berteriak.
“Aku
tidak akan bercerai denganmu,” Hasan membalas.
“Kalau
begitu, aku yang akan menggugat cerai terlebih dahulu,”
“Kenapa?
Apa sekarang kau sudah menemukan lelaki lain? Apa kau punya hubungan istimewa
dengan atasanmu itu? Shinji Okada?”
Rena
menghela nafas kesal.
“Mas,
jangan pernah mengalihkan masalah. Dia tidak ada sangkut paut sama sekali dengan
masalah keluarga kita. Mas yang seharusnya berkaca, apa yang sudah mas lakukan
pada kehidupan rumah tangga mas sendiri? Perkawinan kita berantakan karena
siapa? Masihkah kau ingin mencari kambing hitam?” Rena terlihat makin kesal.
“Tapi
kenapa kau harus bekerja padanya?”
“Ini
bukan masalah aku bekerja pada siapa? Aku butuh pekerjaan, itu intinya!”
Perempuan itu menatap Hasan dengan marah.
“Untuk
apa? Aku masih bisa menafkahimu.” Hasan tak mau kalah.
“Tidak!
Aku harus bisa mandiri mas. Agar jika kita bercerai, aku bisa hidup sendiri.
Aku tak ingin menerima belas kasihan darimu lagi. Mulai sekarang, kau tak perlu
mengirimi aku apa-apa lagi. Jika perlu, bekukan saja semua rekeningku. Karena
setelah ini, kita akan menjadi orang lain,”
“Aku
tidak akan pernah menceraikanmu, Rena. Tidak akan pernah!”
“Terserah__”
ucapan Rena terhenti ketika phonselnya berbunyi. Ia meraihnya lalu melihat
sebuah pesan baru, dari Shinji Okada.
Kau libur hari ini. Kau tak
perlu datang ke apartemenku. Aku sakit.
“Maaf,
mas. Aku harus segera pergi. Aku tak ingin membahas tentang kita lagi. Jadi,
mas bisa segera mengirimkan surat gugatan cerai ke pengadilan. Aku akan
menunggunya,” Rena beranjak, menghentikan sebuah taksi yang melintas dan segera
masuk ke taksi tersebut.
“Aku
takkan menceraikanmu, Ren. Takkan pernah!” teriak Hasan. Dan Rena tak
mempedulikannya. Ia menyuruh pak sopir untuk segera melaju, menyusuri jalan
raya, menuju apartemen Shinji.
***
Ketika sampai di sana, ia tak dapat bertemu dengan siapapun.
Bu Siti yang biasanya ada untuk memasak dan membersihkan rumah juga tak ada.
Segera ia melangkahkan kakinya menuju kamar Shinji. Dan di sana, tampak olehnya
lelaki itu tengah terbaring sendirian dengan mata terpejam dan wajah pucat. Ada
butir-butir peluh di sekitar dahinya. Sepertinya demam. Entah kenapa, tiba-tiba
saja perempuan itu merasa iba. Menyaksikan Shinji yang terbaring sakit,
sendirian, tanpa ada siapapun yang memperhatikannya.
Rena
beranjak mendekatinya, menyentuh kening Shinji dengan lembut. Panas. Sentuhan
itu rupanya membuat Shinji membuka mata. Ia tampak tertegun melihat Rena,
setengah tak percaya.
“Rena?
Kau___ di sini?” ia berucap, tetap dengan rasa tak percaya.
“Bi
Siti tak ke sini?”
“Anaknya
sakit. Jadi dia tak bisa ke sini,” jawab Shinji pelan, tanpa bangkit.
“Sudah
sarapan?” Tanya Rena.
Shinji
menggeleng.
“Minum
obat?”
“Obat
penurun panas,” jawab Shinji pendek.
“Bagaimana
kau bisa minum obat sebelum sarapan,” Rena menggerutu.
“Sudah
ke dokter?” ia bertanya lagi.
Lelaki
itu menggeleng. “Belum sempat,” jawabnya.
Rena
meletakan tasnya di meja di dekat almari baju.
“Bukankah
aku sudah memintamu untuk libur. Kau tak perlu datang ke sini. It’s okay, Ren. Kau bisa beristirahat di
rumah,”
Rena
tak menggubris ucapan Shinji. Ia beranjak mengambil handuk dari almari baju
lalu segera membasahinya dengan air dingin untuk mengompres Shinji. Dan segera
ia menempelkan handuk basah tersebut ke kening Shinji.
“Sudahlah,
Ren. Kau tak perlu repot-repot. Aku hanya flu biasa,” ucapan Shinji terdengar
sedikit protes.
Dan
Rena tetap tak membuka suara. Setelah memastikan handuk pengompres tetap berada
di kening Shinji, ia berlari ke dapur dan dengan cekatan ia memasak bubur dan
sup ayam. Ia tahu bahwa makanan itu sangat baik untuk penderita flu dan demam.
Dan tak butuh waktu lama untuknya untuk segera membawa hidangan itu ke kamar
Shinji.
Dan
lelaki itu hanya mampu menatap perempuan itu dengan terpana.
“Kau
memasaknya sendiri?” ia bertanya dengan setengah tak percaya. Rena hanya
mengangguk.
“Cepat
sekali,” jawabnya. Rena tersenyum.
“Kau
lupa bahwa aku adalah ibu rumah tangga biasa. Jadi, urusan dapur, aku sudah
ahli,” jawabnya enteng. Ia mengambil handuk di kening Shinji.
“Kau
bisa duduk?” Ia kembali bertanya.
“Apa
kau akan menyuapiku?” Shinji balik bertanya dengan nada tak percaya.
“Kau
tak mau ku suapi?” Rena balik bertanya. Shinji tak menjawab. Perlahan ia
bangkit dan duduk. Ia belum sempat mengucapkan sesuatu ketika Rena sudah menyodorkan
sendok makan ke depan mulutnya. Ia sempat ragu, tapi akhirnya ia membuka mulut
dan menerima suapan Rena.
“Terima
kasih,” ucapnya di sela-sela suapan Rena.
“Untuk
apa?”
“Karena
kau mau merawatku,”
Rena
tersenyum.
“Well,
inilah gunanya teman,” jawabnya pendek.
“Dimana
apotik terdekat?” tanyanya setelah selesai menyuapi Shinji.
“Untuk
apa?”
“Ya
untuk beli obat-lah. Masak mau beli sate,” jawab Rena sekenanya hingga membuat
shinji tersenyum, menyadari kebodohan pertanyaan yang ia lontarkan.
“Dimana?”
Rena kembali bertanya.
“Di
lantai dasar ada apotik mini,”
Rena
manggut-manggut. Ia beranjak, merapikan nampan berisi mangkok sup dan segelas
air hangat yang tadi ia gunakan untuk menyuapi Shinji lalu membawanya ke dapur
untuk di cuci. Sesaat kemudian ia kembali lagi ke kamar Shinji. “Tidurlah
lagi,” perintahnya.
“Kau
mau kemana?”
“Aku
sempat melihat persediaan obatmu di kotak obat, dan hanya ada obat merah dan
minyak kayu putih. Jadi, aku harus ke apotik untuk membelikanmu obat,” jawab
Rena berterus terang.
“Tak
perlu, Ren. Aku bisa menelpon orang untuk membelikanku obat,”
“Sudahlah,
jangan cerewet. Nanti kau tak sembuh-sembuh. Ayo, berbaringlah lagi,”
Shinji
ingin protes tapi sesaat kemudian ia di
buat terkesiap ketika Rena mendekatinya, menyentuh pundaknya dengan lembut lalu
membantunya berbaring.
“Kau
harus banyak istirahat,” ucapnya seraya merapikan selimut di sekitar lelaki
tersebut. Dan tanpa menghiraukan omelan Shinji, Rena meraih tasnya di meja dan
segera beranjak keluar menuju apotik yang dimaksud. Dan 15 menit kemudian ia
kembali dengan tas penuh obat-obatan. Dan hari itu, jadilah Rena merawat Shinji
yang sedang sakit.
Lelaki itu sedang tidur - setelah minum obat demam - ketika
Rena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 3 sore. Ia enggan
meninggalkan Shinji sendirian. Entah kenapa, ia tak tega. Ia duduk di kursi
yang berada tak jauh dari tempat tidur
dengan sabar dan menatap ke arah Shinji yang tengah tertidur pulas dengan penuh
perhatian. Benar, ia menemukan sosok yang berbeda dari lelaki itu. Ia
benar-benar beda dengan Shinji yang ia temui ketika ia masih es-em-a. Mata
sipit itu memang masih mempesona, hidung itu masih mancung, kulit itu masih
tetap bersih, dan bibir itu masih tetap tipis memikat, semuanya masih sama!
Hanya, aura-nya yang berbeda. Entah bagaimana menjelaskannya, Rena juga
bingung.
Lamunan Rena buyar ketika phonselnya berbunyi. Segera
perempuan itu bangkit menuju jendela, sedikit menjauh dari Shinji karena
khawatir ia akan terbangun.
Ia
menatap ke arah layar phonsel. Dan tampak nama mas Aldi sedang memanggil.
“Halo,”
ia menyapa dengan suara lirih.
“Ren, dimana kau sekarang?” Suara mas Aldi terdengar
panik.
“Aku
masih bekerja mas. Ada apa?”
“Cepatlah ke rumah sakit
Harapan,”
“Ada
apa mas? Siapa yang sakit?”
“Suamimu kecelakaan,”
“Apa?!”
Rena nyaris berteriak. Ia menoleh ke arah Shinji, dan ternyata usahanya untuk
tidak mengganggu tidurnya gagal. Lelaki itu membuka mata, mungkin karena
mendengar Rena berteriak.
“Iya,
mas. Sebentar lagi aku ke sana,” ucap Rena seraya mengakhiri pembicaraan di
telepon. Ia beranjak mendekati Shinji.
“Ada
apa, Ren? Kau tampak cemas,” tanya Shinji. Ia menatap perempuan cantik itu
dengan penasaran.
“Maaf,
sepertinya aku harus meninggalkanmu. Aku harus ke rumah sakit,”
“Siapa
yang sakit?”
Rena
tak segera menjawab.
“Suamiku
kecelakaan. Jadi, aku harus ke sana melihat keadaannya,” Rena berbalik. Tapi
langkahnya terhenti ketika Shinji menarik tangannya.
“Jangan
menemuinya, Ren,” cegahnya. Rena menatap lelaki itu dengan kening berkerut.
“Kumohon,
jangan ke sana. Jangan menemuinya,” pinta Shinji lagi.
“Shinji?”
“Aku
membutuhkanmu, Rena. Kau tahu ‘kan aku juga sedang sakit. Aku tak punya
siapa-siapa di sini. Jadi, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Jangan
menemuinya,” ucapan Shinji terdengar memelas. Rena menatapnya dengan heran.
“Shinji,
aku____”
“Aku
takut hatimu akan goyah, Ren,”
“Maksudmu?”
“Bukankah
kau sepakat berpisah dengannya. Jika kau menemuinya sekarang dalam keadaan
sakit, ia pasti memohon padamu untuk kembali. Dan aku takut kau akan kembali
padanya,”
Rena
terhenyak.
“Jangan
datang padanya, Ren. Kumohon, jangan kembali padanya,” Shinji memohon dengan
sangat. Rena terdiam sesaat.
Rena
menggenggam tangan Shinji dengan lembut lalu melepaskan genggaman tangannya
dengan perlahan.
“Maaf, Shinji. Tapi aku harus
melihat keadaannya,” ucapnya. Dan dalam keadaan sedikit bingung dan cemas, ia
meraih tasnya lalu beranjak meninggalkan Shinji tanpa menoleh kembali ke arah
lelaki tersebut.
***
Ketika Rena sampai di rumah sakit,
Hasan sudah di pindahkah ke ruang perawatan. Dan lelaki itu belum sadarkan
diri. Ia lega karena luka yang diderita Hasan tidak separah yang ia duga.
Dokter bilang, luka dikepala Hasan harus menerima 7 jahitan. Tapi ia tak
mengalami gegar otak. Selain itu, lengannya yang di perban juga tak patah.
Hanya luka gores saja.
“Kau
tak masuk ke dalam?” Mas Aldi mengingatkan ketika ia menyadari bahwa sejak tadi
Rena hanya berdiri termangu di luar kamar tempat Hasan di rawat. Rena mengangguk
pelan.
“Bagaimana
ceritanya mas bisa tahu kalo dia mengalami kecelakaan?” Ia baru sempat bertanya
tentang kronologi kecelakaan yang menimpa suaminya.
“Ketika
dia mengalami kecelakaan itu, salah satu teman kerjaku berada di sekitar
lokasi. Dia langsung tahu bahwa dia adalah adik iparku. Akhirnya, dia
menelponku dan mengabarkan tentang kejadian itu. Dan aku langsung meluncur ke
lokasi kecelakaan lalu segera membawanya ke sini. Untunglah dia tak apa-apa.”
Ada kelegaan di balik kalimat mas Aldi.
“Dia
sendirian?” Tanya Rena dengan hati-hati. Mas Aldi mengangguk.
“Kecelakaan
tunggal. Mobilnya menabrak pembatas jalan. Sepertinya suaminya menyetir dalam
keadaan mabuk. Tidakkah kau merasa bahwa dia juga mengalami depresi sama halnya
seperti dirimu?”
Rena
tak menjawab.
“Aku
akan pulang dulu. Kau tetaplah di sini menungguinya. Aku tak ingin mencampuri
urusan keluargamu. Tapi aku ingin menyarankan, jika dia sudah membaik,
bicaralah baik-baik dengannya dan selesaikanlah masalah di antara kalian dengan
bijaksana,” ucap mas Aldi lembut seraya menatap adiknya dengan penuh sayang.
“Oke, mas pulang dulu ya,” ia pamit. Sebelum beranjak, ia sempat menepuk pundak Rena dengan lembut dan menyuruhnya untuk segera masuk ke ruangan. Rena terdiam sesaat. Dan akhirnya, ia melangkahkan kakinya memasuki ruang tempat Hasan di rawat. Lelaki itu belum membuka mata. Dan Rena memilih untuk duduk di sofa di dekat jendela. Ia terdiam, menatap Hasan yang masih terkulai lemas, dalam hening. Sampai akhirnya, ia mendengar sebuah isak tangis dari luar ruangan. Dengan ragu Rena bangkit, melangkahkan kakinya membuka pintu dan melongokkan kepalanya untuk melihat sumber tangis tersebut. Dan tampak olehnya, seorang perempuan muda tengah terduduk di bangku tunggu, di samping pintu, dengan sesenggukkan. Anggi!
“Oke, mas pulang dulu ya,” ia pamit. Sebelum beranjak, ia sempat menepuk pundak Rena dengan lembut dan menyuruhnya untuk segera masuk ke ruangan. Rena terdiam sesaat. Dan akhirnya, ia melangkahkan kakinya memasuki ruang tempat Hasan di rawat. Lelaki itu belum membuka mata. Dan Rena memilih untuk duduk di sofa di dekat jendela. Ia terdiam, menatap Hasan yang masih terkulai lemas, dalam hening. Sampai akhirnya, ia mendengar sebuah isak tangis dari luar ruangan. Dengan ragu Rena bangkit, melangkahkan kakinya membuka pintu dan melongokkan kepalanya untuk melihat sumber tangis tersebut. Dan tampak olehnya, seorang perempuan muda tengah terduduk di bangku tunggu, di samping pintu, dengan sesenggukkan. Anggi!
Rena
keluar dari ruangan dan mendekatinya. Sudah beberapa bulan ia tak melihatnya
dan sekarang perempuan itu tampak sedikit gemuk. Perutnya juga sudah mulai
membesar.
“Masuklah,”
ucap Rena pelan. Anggi mendongak dan kedua mata perempuan itu beradu.
“Bagaimana
keadaannya mbak?” Air mata Anggi berderaian.
“Kau
tak perlu cemas. Mas Hasan hanya mengalami luka ringan. Kepalanya memang
menerima 7 jahitan, tapi itu tak membahayakan nyawanya. Kalau toh sampai detik
ini ia masih belum membuka mata, itu karena ia masih dalam pengaruh alkohol.”
Rena menjelaskan.
Anggi
mengernyitkan dahinya.
“Iya,
ia menyetir sambil mabuk,” Rena seolah menjawab pertanyaan Anggi yang tak
terucapkan.
“Karena
kau sudah datang, aku akan segera pulang. Jadi, masuklah,” ucap Rena lagi
dengan tulus. Anggi kembali mengernyitkan
dahinya.
“Mbak,
mau kemana?” Ia bertanya heran.
“Tentu
saja aku harus pulang. Kau yang lebih berhak menungguinya. Jadi, segeralah
masuk,” jawab Rena.
Anggi
tersenyum dengan suka cita.
“Terima
kasih, mbak,” ucapnya.
“Dan,
tolong jangan menangis lagi ya di dalam,” Rena berkata lembut.
Anggi
mengangguk. Perempuan itu segera menghapus air matanya lalu beranjak masuk ke
dalam ruangan Hasan, setelah terlebih dulu memeluk Rena dengan lega.
Rena
menarik nafas. Dan perempuan itu segera beranjak meninggalkan rumah sakit,
memanggil taksi, dan meminta sopir taksi meluncur dengan cepat, menuju
apartemen Shinji.
***
Hampir pukul 11 malam ketika Rena
sampai di apartemen Shinji. Lelaki itu masih terlelap di tempat tidurnya ketika
ia sampai di sana. Dan dengan sangat hati-hati, ia melangkahkan kakinya
mendekati ranjang Shinji, menatapnya sekilas, lalu meletakkan tas-nya di atas
meja. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh kening Shinji dengan
perlahan. Meskipun ia sudah mencoba
hati-hati, tetap saja gerakan itu membuat Shinji terjaga. Lelaki itu membuka mata dan secara reflek ia
menarik tangan Rena dari atas keningnya. Temaram lampu kamar yang bernuansa
setengah gelap membuat ia menatap Rena lebih lama. Dan sekian detik kemudian ia
terkesiap.
“Rena?”
panggilnya setengah tak percaya dengan
apa yang dilihatnya.
“Maaf,
aku tak bermaksud membangunkanmu. Aku hanya ingin tahu apa suhu badanmu sudah
turun atau belum,” jawab Rena setengah menyesal. Ia berusaha melepaskan
genggaman tangan Shinji, tapi rupanya Shinji seakan tak berniat melepaskannya.
Ia menatap perempuan tersebut dengan lembut.
“Kau
kembali lagi ke sini?” Lelaki itu bertanya tak percaya. Rena hanya tersenyum.
“Untukku?”
Kali ini lelaki itu mendesis, memastikan. Rena tak segera menjawab.
“Dia
tak apa-apa. Kepalanya menerima beberapa jahitan. Tapi dokter bilang, itu tak
bahaya. Ia akan sembuh dalam beberapa hari,” jawabnya kemudian. Ia melepaskan
pegangan tangan Shinji dengan perlahan.
“Dan?”
Shinji meminta penegasan pada Rena dengan tak sabar.
“Dan
kenapa kau kembali lagi ke sini?” Ia kembali bertanya.
Rena
terdiam sesaat. Keduanya berpandangan.
“Aku__mengkhawatirkanmu,”
perempuan cantik itu menjawab dengan ragu-ragu.
Shinji
tampak terhenyak mendengar jawaban Rena.
“Mengkhawatirkanku?
Melebihi rasa khawatirmu padanya? Pada suamimu?” ia bertanya dengan antusias.
Dan,
perlahanpun Rena mengangguk. Dan itu lebih dari cukup untuk menyiratkan
kebahagiaan pada kedua mata Shinji. Lelaki tampan itu tersenyum, Rena
juga.
***
Shinji bangun pada keesokan paginya
dengan kondisi tubuh yang mulai membaik. Sangat baik malah. Ia bahkan tak
pernah merasakan sebaik ini sebelumnya. Terlebih ketika ia membuka ia mata, ia
menemukan Rena di sana, terbaring dengan pulas di sofa yang berada di sisi
tempat tidurnya. Ternyata perempuan itu tak bohong. Semalam ia berjanji bahwa
ia akan menemaninya, merawatnya. Dan ia benar-benar melakukannya.
Shinji
tak berniat membangunkannya. Yang ia lakukan selanjutnya hanyalah menatapnya,
dengan mata nyaris tak berkedip, dalam jangka waktu yang cukup lama, hampir 25
menit! Sampai ketika perempuan berkulit bersih itu menggeliat dan terbangun
dengan sendirinya karena alarm yang berbunyi tepat pukul 06.00 pagi.
“Ohayou
(selamat pagi),” Shinji tersenyum dan menyapa terlebih dulu. Dengan
sedikit kaget, Rena bangkit, merapikan rambutnya dan balas tersenyum ke arah
Shinji. Ia sempat menoleh sekilas ke arah jam di dinding.
“Selamat
pagi. Oh, maaf, aku kesiangan,” ia bangkit lalu beranjak mendekati Shinji yang
masih terbaring. Perlahan ia meletakkan telapak tangannya ke kening Shinji.
“Syukurlah,
panasmu sudah turun,” ucapnya lega. Shinji tersenyum.
“Berkat
kau. Arigatou
(terima kasih), Rena. Terima kasih karena kau mau merawatku,” ucapnya tulus.
“Well, that’s my job,” jawab Rena.
“Aku
akan membuatkanmu sarapan agar kau bisa segera minum obat.”
Setelah
mencuci muka dengan gaya express, perempuan itu beranjak ke dapur dan segera
membuatkan bubur ayam untuk Shinji.
“Apa
kau akan menyuapiku lagi?” Lelaki itu bertanya dengan sedikit menggoda ketika
Rena masuk ke dalam kamar dengan nampan berisi bubur ayam dan segelas susu
hangat. Ia bangkit lalu duduk tanpa menunggu diperintah olehnya.
“Tentu
saja jika kau berjanji akan memberikan bonus ganda di akhir bulan,” jawab Rena
sekenanya. Shinji tergelak, ia tahu bahwa perempuan itu sedang bercanda.
“Tak
masalah, asal kau merawatku dengan baik sampai aku sembuh benar,” jawabnya.
Rena tersenyum.
“Siap,
bos,” ucapnya seraya menyuapi Shinji dengan penuh perhatian. Setelah lelaki itu
selesai sarapan, Rena berniat mengambilkannya obat, namun langkahnya terhenti
ketika Shinji keburu menggenggam tangannya.
“Rena,”
panggilnya lembut. Ia membelai tangannya dengan lembut pula.
“Apakah
ini akan menjawab pertanyaanku?” tanyanya dengan lirih.
“Pertanyaan
yang mana?”
“Aku
serius dengan perasaanku, Rena. Tolong beri kesempatan padaku untuk bisa
membuatmu mencintaiku. Beri kesempatan padaku untuk bisa membuatmu bahagia
bersamaku,” ucapnya lembut.
Rena
terdiam. Ia hanya mampu menatap lelaki tampan di hadapannya dengan mata nyaris
tak berkedip.
“Maukah
kau memberikan kesempatan itu padaku?” Shinji mengulangi pertanyaannya. Rena
menghela nafas, sesaat.
“Shinji,
apakah kedatanganku semalam tidak cukup untuk menjawab semuanya?” ucapnya.
Shinji terkesiap.
“Maksudmu,
kau akan memberi kesempatan itu padaku?” Shinji memastikan.
“Aku
ingin memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk bahagia,” jawab Rena.
“Kau
bahagia bersamaku?”
“Haruskah
aku menjawabnya?”
“Ya,”
tukas Shinji.
Keduanya
berpandangan. Perlahan Rena mengangguk. Kedua bola mata Shinji kembali berbinar
ceria. Ia tersenyum, begitu pula dengan Rena.
***
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar