Rabu, 22 April 2015

Tada Aishiteru - Part 4




         Rena sedang bersiap berangkat kerja ketika melihat Hasan sedang berdiri di dekat mobil yang terparkir tak jauh dari rumahnya.
“Aku menunggumu di sini,” sapanya ketika melihat kedatangan Rena.
“Tadinya aku berniat datang langsung menemuimu di rumah. Tapi, pastinya kau akan menolakku. Jadi, aku sengaja menungguimu di sini,” ia melanjutkan. Rena melangkah  mendekatinya, meski sedikit enggan.
“Mas datang sendiri?” tanyanya seraya melirik ke dalam mobil, takut jika Anggi ada di dalam sana.
“Ya, aku datang sendiri,” jawab Hasan yang melihat kekhawatiran di mata Rena.
“Ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Bisakah kau masuk ke mobil sebentar?” pinta Hasan.
“Maaf mas. Tapi aku sedang buru-buru. Jika ada sesuatu yang ingin mas sampaikan, bicarakan saja di sini secepatnya,” jawab Rena. Terdengar Hasan menghela nafas.
“Kenapa kau harus melakukan ini, Rena?”
“Melakukan apa?”
“Kenapa kau harus bekerja? Aku bahkan masih sanggup menghidupimu. Apa uang yang selama ini ku transfer ke rekeningmu masih kurang? Aku bisa menambahnya jika kau mau. Kau tinggal bilang saja butuh berapa?” Hasan menatap Rena dengan lembut.
“Darimana mas tahu kalau aku bekerja?”
“Aku bahkan tahu bahwa kau bekerja pada lelaki yang aku temui di restoran beberapa waktu yang lalu, Shinji Okada,” ucapnya.  Rena mengernyit.
“Mas memata-mataiku?”
Hasan mendesah pelan. “Ren, kau masih sah sebagai istriku dan aku berhak mengetahui apapun yang kau lakukan,” ujarnya.
“Ya, secara hukum kita masih sah sebagai suami istri. Tapi sejak kau mengkhianatiku, perkawinan kita sudah hancur, mas. Dan sudah berkali-kali aku bilang padamu, ceraikan saja aku!” Rena berteriak.
“Aku tidak akan bercerai denganmu,” Hasan membalas.
“Kalau begitu, aku yang akan menggugat cerai terlebih dahulu,”
“Kenapa? Apa sekarang kau sudah menemukan lelaki lain? Apa kau punya hubungan istimewa dengan atasanmu itu? Shinji Okada?”
Rena menghela nafas kesal.
“Mas, jangan pernah mengalihkan masalah. Dia tidak ada sangkut paut sama sekali dengan masalah keluarga kita. Mas yang seharusnya berkaca, apa yang sudah mas lakukan pada kehidupan rumah tangga mas sendiri? Perkawinan kita berantakan karena siapa? Masihkah kau ingin mencari kambing hitam?” Rena terlihat makin kesal.
“Tapi kenapa kau harus bekerja padanya?”
“Ini bukan masalah aku bekerja pada siapa? Aku butuh pekerjaan, itu intinya!” Perempuan itu menatap Hasan dengan marah.
“Untuk apa? Aku masih bisa menafkahimu.” Hasan tak mau kalah.
“Tidak! Aku harus bisa mandiri mas. Agar jika kita bercerai, aku bisa hidup sendiri. Aku tak ingin menerima belas kasihan darimu lagi. Mulai sekarang, kau tak perlu mengirimi aku apa-apa lagi. Jika perlu, bekukan saja semua rekeningku. Karena setelah ini, kita akan menjadi orang lain,”
“Aku tidak akan pernah menceraikanmu, Rena. Tidak akan pernah!”
“Terserah__” ucapan Rena terhenti ketika phonselnya berbunyi. Ia meraihnya lalu melihat sebuah pesan baru, dari Shinji Okada.

Kau libur hari ini. Kau tak perlu datang ke apartemenku. Aku sakit.

“Maaf, mas. Aku harus segera pergi. Aku tak ingin membahas tentang kita lagi. Jadi, mas bisa segera mengirimkan surat gugatan cerai ke pengadilan. Aku akan menunggunya,” Rena beranjak, menghentikan sebuah taksi yang melintas dan segera masuk ke taksi tersebut.
“Aku takkan menceraikanmu, Ren. Takkan pernah!” teriak Hasan. Dan Rena tak mempedulikannya. Ia menyuruh pak sopir untuk segera melaju, menyusuri jalan raya, menuju apartemen Shinji.

***

Ketika sampai di sana, ia tak dapat bertemu dengan siapapun. Bu Siti yang biasanya ada untuk memasak dan membersihkan rumah juga tak ada. Segera ia melangkahkan kakinya menuju kamar Shinji. Dan di sana, tampak olehnya lelaki itu tengah terbaring sendirian dengan mata terpejam dan wajah pucat. Ada butir-butir peluh di sekitar dahinya. Sepertinya demam. Entah kenapa, tiba-tiba saja perempuan itu merasa iba. Menyaksikan Shinji yang terbaring sakit, sendirian, tanpa ada siapapun yang memperhatikannya.
Rena beranjak mendekatinya, menyentuh kening Shinji dengan lembut. Panas. Sentuhan itu rupanya membuat Shinji membuka mata. Ia tampak tertegun melihat Rena, setengah tak percaya.
“Rena? Kau___ di sini?” ia berucap, tetap dengan rasa tak percaya.
“Bi Siti tak ke sini?”
“Anaknya sakit. Jadi dia tak bisa ke sini,” jawab Shinji pelan, tanpa bangkit.
“Sudah sarapan?” Tanya Rena.
Shinji menggeleng.
“Minum obat?”
“Obat penurun panas,” jawab Shinji pendek.
“Bagaimana kau bisa minum obat sebelum sarapan,” Rena menggerutu.
“Sudah ke dokter?” ia bertanya lagi.
Lelaki itu menggeleng. “Belum sempat,” jawabnya.
Rena meletakan tasnya di meja di dekat almari baju.
“Bukankah aku sudah memintamu untuk libur. Kau tak perlu datang ke sini. It’s okay, Ren. Kau bisa beristirahat di rumah,”
Rena tak menggubris ucapan Shinji. Ia beranjak mengambil handuk dari almari baju lalu segera membasahinya dengan air dingin untuk mengompres Shinji. Dan segera ia menempelkan handuk basah tersebut ke kening Shinji.
“Sudahlah, Ren. Kau tak perlu repot-repot. Aku hanya flu biasa,” ucapan Shinji terdengar sedikit protes.
Dan Rena tetap tak membuka suara. Setelah memastikan handuk pengompres tetap berada di kening Shinji, ia berlari ke dapur dan dengan cekatan ia memasak bubur dan sup ayam. Ia tahu bahwa makanan itu sangat baik untuk penderita flu dan demam. Dan tak butuh waktu lama untuknya untuk segera membawa hidangan itu ke kamar Shinji.
Dan lelaki itu hanya mampu menatap perempuan itu dengan terpana.
“Kau memasaknya sendiri?” ia bertanya dengan setengah tak percaya. Rena hanya mengangguk.
“Cepat sekali,” jawabnya. Rena tersenyum.
“Kau lupa bahwa aku adalah ibu rumah tangga biasa. Jadi, urusan dapur, aku sudah ahli,” jawabnya enteng. Ia mengambil handuk di kening Shinji.
“Kau bisa duduk?” Ia kembali bertanya.
“Apa kau akan menyuapiku?” Shinji balik bertanya dengan nada tak percaya.
“Kau tak mau ku suapi?” Rena balik bertanya. Shinji tak menjawab. Perlahan ia bangkit dan duduk. Ia belum sempat mengucapkan sesuatu ketika Rena sudah menyodorkan sendok makan ke depan mulutnya. Ia sempat ragu, tapi akhirnya ia membuka mulut dan menerima suapan Rena.
“Terima kasih,” ucapnya di sela-sela suapan Rena.
“Untuk apa?”
“Karena kau mau merawatku,”
Rena tersenyum.
“Well, inilah gunanya teman,” jawabnya pendek.
“Dimana apotik terdekat?” tanyanya setelah selesai menyuapi Shinji.
“Untuk apa?”
“Ya untuk beli obat-lah. Masak mau beli sate,” jawab Rena sekenanya hingga membuat shinji tersenyum, menyadari kebodohan pertanyaan yang ia lontarkan.
“Dimana?” Rena kembali bertanya.
“Di lantai dasar ada apotik mini,”
Rena manggut-manggut. Ia beranjak, merapikan nampan berisi mangkok sup dan segelas air hangat yang tadi ia gunakan untuk menyuapi Shinji lalu membawanya ke dapur untuk di cuci. Sesaat kemudian ia kembali lagi ke kamar Shinji. “Tidurlah lagi,” perintahnya.
“Kau mau kemana?”
“Aku sempat melihat persediaan obatmu di kotak obat, dan hanya ada obat merah dan minyak kayu putih. Jadi, aku harus ke apotik untuk membelikanmu obat,” jawab Rena berterus terang.
“Tak perlu, Ren. Aku bisa menelpon orang untuk membelikanku obat,”
“Sudahlah, jangan cerewet. Nanti kau tak sembuh-sembuh. Ayo, berbaringlah lagi,”
Shinji ingin protes  tapi sesaat kemudian ia di buat terkesiap ketika Rena mendekatinya, menyentuh pundaknya dengan lembut lalu membantunya berbaring.
“Kau harus banyak istirahat,” ucapnya seraya merapikan selimut di sekitar lelaki tersebut. Dan tanpa menghiraukan omelan Shinji, Rena meraih tasnya di meja dan segera beranjak keluar menuju apotik yang dimaksud. Dan 15 menit kemudian ia kembali dengan tas penuh obat-obatan. Dan hari itu, jadilah Rena merawat Shinji yang sedang sakit.
Lelaki itu sedang tidur - setelah minum obat demam - ketika Rena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 3 sore. Ia enggan meninggalkan Shinji sendirian. Entah kenapa, ia tak tega. Ia duduk di kursi yang berada  tak jauh dari tempat tidur dengan sabar dan menatap ke arah Shinji yang tengah tertidur pulas dengan penuh perhatian. Benar, ia menemukan sosok yang berbeda dari lelaki itu. Ia benar-benar beda dengan Shinji yang ia temui ketika ia masih es-em-a. Mata sipit itu memang masih mempesona, hidung itu masih mancung, kulit itu masih tetap bersih, dan bibir itu masih tetap tipis memikat, semuanya masih sama! Hanya, aura-nya yang berbeda. Entah bagaimana menjelaskannya, Rena juga bingung.
Lamunan Rena buyar ketika phonselnya berbunyi. Segera perempuan itu bangkit menuju jendela, sedikit menjauh dari Shinji karena khawatir ia akan terbangun.
Ia menatap ke arah layar phonsel. Dan tampak nama mas Aldi sedang memanggil.
“Halo,” ia menyapa dengan suara lirih.
“Ren, dimana kau sekarang?” Suara mas Aldi terdengar panik.
“Aku masih bekerja mas. Ada apa?”
“Cepatlah ke rumah sakit Harapan,”
“Ada apa mas? Siapa yang sakit?”
“Suamimu kecelakaan,”
“Apa?!” Rena nyaris berteriak. Ia menoleh ke arah Shinji, dan ternyata usahanya untuk tidak mengganggu tidurnya gagal. Lelaki itu membuka mata, mungkin karena mendengar Rena berteriak.
“Iya, mas. Sebentar lagi aku ke sana,” ucap Rena seraya mengakhiri pembicaraan di telepon. Ia beranjak mendekati Shinji.
“Ada apa, Ren? Kau tampak cemas,” tanya Shinji. Ia menatap perempuan cantik itu dengan penasaran.
“Maaf, sepertinya aku harus meninggalkanmu. Aku harus ke rumah sakit,”
“Siapa yang sakit?”
Rena tak segera menjawab.
“Suamiku kecelakaan. Jadi, aku harus ke sana melihat keadaannya,” Rena berbalik. Tapi langkahnya terhenti ketika Shinji menarik tangannya.
“Jangan menemuinya, Ren,” cegahnya. Rena menatap lelaki itu dengan kening berkerut.
“Kumohon, jangan ke sana. Jangan menemuinya,” pinta Shinji lagi.
“Shinji?”
“Aku membutuhkanmu, Rena. Kau tahu ‘kan aku juga sedang sakit. Aku tak punya siapa-siapa di sini. Jadi, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Jangan menemuinya,” ucapan Shinji terdengar memelas. Rena menatapnya dengan heran.
“Shinji, aku____”
“Aku takut hatimu akan goyah, Ren,”
“Maksudmu?”
“Bukankah kau sepakat berpisah dengannya. Jika kau menemuinya sekarang dalam keadaan sakit, ia pasti memohon padamu untuk kembali. Dan aku takut kau akan kembali padanya,”
Rena terhenyak.
“Jangan datang padanya, Ren. Kumohon, jangan kembali padanya,” Shinji memohon dengan sangat. Rena terdiam sesaat.
Rena menggenggam tangan Shinji dengan lembut lalu melepaskan genggaman tangannya dengan perlahan.
“Maaf, Shinji. Tapi aku harus melihat keadaannya,” ucapnya. Dan dalam keadaan sedikit bingung dan cemas, ia meraih tasnya lalu beranjak meninggalkan Shinji tanpa menoleh kembali ke arah lelaki tersebut.

***

          Ketika Rena sampai di rumah sakit, Hasan sudah di pindahkah ke ruang perawatan. Dan lelaki itu belum sadarkan diri. Ia lega karena luka yang diderita Hasan tidak separah yang ia duga. Dokter bilang, luka dikepala Hasan harus menerima 7 jahitan. Tapi ia tak mengalami gegar otak. Selain itu, lengannya yang di perban juga tak patah. Hanya luka gores saja.
“Kau tak masuk ke dalam?” Mas Aldi mengingatkan ketika ia menyadari bahwa sejak tadi Rena hanya berdiri termangu di luar kamar tempat Hasan di rawat. Rena mengangguk pelan.
“Bagaimana ceritanya mas bisa tahu kalo dia mengalami kecelakaan?” Ia baru sempat bertanya tentang kronologi kecelakaan yang menimpa suaminya.
“Ketika dia mengalami kecelakaan itu, salah satu teman kerjaku berada di sekitar lokasi. Dia langsung tahu bahwa dia adalah adik iparku. Akhirnya, dia menelponku dan mengabarkan tentang kejadian itu. Dan aku langsung meluncur ke lokasi kecelakaan lalu segera membawanya ke sini. Untunglah dia tak apa-apa.” Ada kelegaan di balik kalimat mas Aldi.
“Dia sendirian?” Tanya Rena dengan hati-hati. Mas Aldi mengangguk.
“Kecelakaan tunggal. Mobilnya menabrak pembatas jalan. Sepertinya suaminya menyetir dalam keadaan mabuk. Tidakkah kau merasa bahwa dia juga mengalami depresi sama halnya seperti dirimu?”
Rena tak menjawab.
“Aku akan pulang dulu. Kau tetaplah di sini menungguinya. Aku tak ingin mencampuri urusan keluargamu. Tapi aku ingin menyarankan, jika dia sudah membaik, bicaralah baik-baik dengannya dan selesaikanlah masalah di antara kalian dengan bijaksana,” ucap mas Aldi lembut seraya menatap adiknya dengan penuh sayang.
“Oke, mas pulang dulu ya,” ia pamit. Sebelum beranjak, ia sempat menepuk pundak Rena dengan lembut dan menyuruhnya untuk segera masuk ke ruangan. Rena terdiam sesaat. Dan akhirnya, ia melangkahkan kakinya memasuki ruang tempat Hasan di rawat. Lelaki itu belum membuka mata. Dan Rena memilih untuk duduk di sofa di dekat jendela. Ia terdiam, menatap Hasan yang masih terkulai lemas, dalam hening. Sampai akhirnya, ia mendengar sebuah isak tangis dari luar ruangan. Dengan ragu Rena bangkit, melangkahkan kakinya membuka pintu dan melongokkan kepalanya untuk melihat sumber tangis tersebut. Dan tampak olehnya, seorang perempuan muda tengah terduduk di bangku tunggu, di samping pintu, dengan sesenggukkan. Anggi!
Rena keluar dari ruangan dan mendekatinya. Sudah beberapa bulan ia tak melihatnya dan sekarang perempuan itu tampak sedikit gemuk. Perutnya juga sudah mulai membesar.
“Masuklah,” ucap Rena pelan. Anggi mendongak dan kedua mata perempuan itu beradu.
“Bagaimana keadaannya mbak?” Air mata Anggi berderaian.
“Kau tak perlu cemas. Mas Hasan hanya mengalami luka ringan. Kepalanya memang menerima 7 jahitan, tapi itu tak membahayakan nyawanya. Kalau toh sampai detik ini ia masih belum membuka mata, itu karena ia masih dalam pengaruh alkohol.” Rena menjelaskan.
Anggi mengernyitkan dahinya.
“Iya, ia menyetir sambil mabuk,” Rena seolah menjawab pertanyaan Anggi yang tak terucapkan.
“Karena kau sudah datang, aku akan segera pulang. Jadi, masuklah,” ucap Rena lagi dengan tulus. Anggi kembali mengernyitkan  dahinya.
“Mbak, mau kemana?” Ia bertanya heran.
“Tentu saja aku harus pulang. Kau yang lebih berhak menungguinya. Jadi, segeralah masuk,” jawab Rena.
Anggi tersenyum dengan suka cita.
“Terima kasih, mbak,” ucapnya.
“Dan, tolong jangan menangis lagi ya di dalam,” Rena berkata lembut.
Anggi mengangguk. Perempuan itu segera menghapus air matanya lalu beranjak masuk ke dalam ruangan Hasan, setelah terlebih dulu memeluk Rena dengan lega.
Rena menarik nafas. Dan perempuan itu segera beranjak meninggalkan rumah sakit, memanggil taksi, dan meminta sopir taksi meluncur dengan cepat, menuju apartemen Shinji.

***

          Hampir pukul 11 malam ketika Rena sampai di apartemen Shinji. Lelaki itu masih terlelap di tempat tidurnya ketika ia sampai di sana. Dan dengan sangat hati-hati, ia melangkahkan kakinya mendekati ranjang Shinji, menatapnya sekilas, lalu meletakkan tas-nya di atas meja. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh kening Shinji dengan perlahan.  Meskipun ia sudah mencoba hati-hati, tetap saja gerakan itu membuat Shinji terjaga.  Lelaki itu membuka mata dan secara reflek ia menarik tangan Rena dari atas keningnya. Temaram lampu kamar yang bernuansa setengah gelap membuat ia menatap Rena lebih lama. Dan sekian detik kemudian ia terkesiap.
“Rena?” panggilnya setengah tak percaya  dengan apa yang dilihatnya.
“Maaf, aku tak bermaksud membangunkanmu. Aku hanya ingin tahu apa suhu badanmu sudah turun atau belum,” jawab Rena setengah menyesal. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan Shinji, tapi rupanya Shinji seakan tak berniat melepaskannya. Ia menatap perempuan tersebut dengan lembut.
“Kau kembali lagi ke sini?” Lelaki itu bertanya tak percaya. Rena hanya tersenyum.
“Untukku?” Kali ini lelaki itu mendesis, memastikan. Rena tak segera menjawab.
“Dia tak apa-apa. Kepalanya menerima beberapa jahitan. Tapi dokter bilang, itu tak bahaya. Ia akan sembuh dalam beberapa hari,” jawabnya kemudian. Ia melepaskan pegangan tangan Shinji dengan perlahan.
“Dan?” Shinji meminta penegasan pada Rena dengan tak sabar.
“Dan kenapa kau kembali lagi ke sini?” Ia kembali bertanya.
Rena terdiam sesaat. Keduanya berpandangan.
“Aku__mengkhawatirkanmu,” perempuan cantik itu menjawab dengan ragu-ragu.
Shinji tampak terhenyak mendengar jawaban Rena.
“Mengkhawatirkanku? Melebihi rasa khawatirmu padanya? Pada suamimu?” ia bertanya dengan antusias.
Dan, perlahanpun Rena mengangguk. Dan itu lebih dari cukup untuk menyiratkan kebahagiaan pada kedua mata Shinji. Lelaki tampan itu tersenyum, Rena juga. 

***

          Shinji bangun pada keesokan paginya dengan kondisi tubuh yang mulai membaik. Sangat baik malah. Ia bahkan tak pernah merasakan sebaik ini sebelumnya. Terlebih ketika ia membuka ia mata, ia menemukan Rena di sana, terbaring dengan pulas di sofa yang berada di sisi tempat tidurnya. Ternyata perempuan itu tak bohong. Semalam ia berjanji bahwa ia akan menemaninya, merawatnya. Dan ia benar-benar melakukannya.
Shinji tak berniat membangunkannya. Yang ia lakukan selanjutnya hanyalah menatapnya, dengan mata nyaris tak berkedip, dalam jangka waktu yang cukup lama, hampir 25 menit! Sampai ketika perempuan berkulit bersih itu menggeliat dan terbangun dengan sendirinya karena alarm yang berbunyi tepat pukul 06.00 pagi.
Ohayou (selamat pagi),” Shinji tersenyum dan menyapa terlebih dulu. Dengan sedikit kaget, Rena bangkit, merapikan rambutnya dan balas tersenyum ke arah Shinji. Ia sempat menoleh sekilas ke arah jam di dinding.
“Selamat pagi. Oh, maaf, aku kesiangan,” ia bangkit lalu beranjak mendekati Shinji yang masih terbaring. Perlahan ia meletakkan telapak tangannya ke kening Shinji.
“Syukurlah, panasmu sudah turun,” ucapnya lega. Shinji tersenyum.
“Berkat kau. Arigatou (terima kasih), Rena. Terima kasih karena kau mau merawatku,” ucapnya tulus.
Well, that’s my job,” jawab Rena.
“Aku akan membuatkanmu sarapan agar kau bisa segera minum obat.”
Setelah mencuci muka dengan gaya express, perempuan itu beranjak ke dapur dan segera membuatkan bubur ayam untuk Shinji.
“Apa kau akan menyuapiku lagi?” Lelaki itu bertanya dengan sedikit menggoda ketika Rena masuk ke dalam kamar dengan nampan berisi bubur ayam dan segelas susu hangat. Ia bangkit lalu duduk tanpa menunggu diperintah olehnya.
“Tentu saja jika kau berjanji akan memberikan bonus ganda di akhir bulan,” jawab Rena sekenanya. Shinji tergelak, ia tahu bahwa perempuan itu sedang bercanda.
“Tak masalah, asal kau merawatku dengan baik sampai aku sembuh benar,” jawabnya. Rena tersenyum.
“Siap, bos,” ucapnya seraya menyuapi Shinji dengan penuh perhatian. Setelah lelaki itu selesai sarapan, Rena berniat mengambilkannya obat, namun langkahnya terhenti ketika Shinji keburu menggenggam tangannya.
“Rena,” panggilnya lembut. Ia membelai tangannya dengan lembut pula.
“Apakah ini akan menjawab pertanyaanku?” tanyanya dengan lirih.
“Pertanyaan yang mana?”
“Aku serius dengan perasaanku, Rena. Tolong beri kesempatan padaku untuk bisa membuatmu mencintaiku. Beri kesempatan padaku untuk bisa membuatmu bahagia bersamaku,” ucapnya lembut.
Rena terdiam. Ia hanya mampu menatap lelaki tampan di hadapannya dengan mata nyaris tak berkedip.
“Maukah kau memberikan kesempatan itu padaku?” Shinji mengulangi pertanyaannya. Rena menghela nafas, sesaat.
“Shinji, apakah kedatanganku semalam tidak cukup untuk menjawab semuanya?” ucapnya. Shinji terkesiap.
“Maksudmu, kau akan memberi kesempatan itu padaku?” Shinji memastikan.
“Aku ingin memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk bahagia,” jawab Rena.
“Kau bahagia bersamaku?”
“Haruskah aku menjawabnya?”
“Ya,” tukas Shinji.
Keduanya berpandangan. Perlahan Rena mengangguk. Kedua bola mata Shinji kembali berbinar ceria. Ia tersenyum, begitu pula dengan Rena.

*** 
Bersambung ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar