Hanna tidak
mengalami luka serius. Ia hanya pingsan karena sedikit benturan di kepalanya.
Perempuan itu bahkan sudah sadar beberapa saat setelah di rawat di rumah sakit.
Ketika Rafael masuk ke kamar perawatannya, ia sudah mampu duduk dan sedang
mengobrol dengan seorang lelaki paruh baya yang tidak Rafael kenal. Mereka
tampak terlibat percakapan serius. Rafael berdehem hingga obrolan mereka
terhenti. Hanna, dan juga lelaki itu menoleh.
“Oh, apakah dia Rafael?” lelaki berkumis
tebal itu bertanya langsung pada Hanna. Hanna mengangguk pelan, ia terlihat
takut melakukan kontak mata dengan Rafael.
“Haruskah aku berbicara langsung padanya?” lelaki yang rambutnya mulai beruban
itu kembali bertanya.
“Tidak, biar aku yang bicara sendiri
padanya,” jawabnya cepat. Lelaki itu manggut-manggut.
“Oke, kalau begitu, aku akan keluar,”
jawabnya seraya melangkahkan kakinya. Ia sempat tersenyum ke arah Rafael
sebelum membuka pintu dan keluar dari kamar tersebut.
Rafael menatap
Hanna dengan penuh selidik. Ada kilatan amarah dalam tatapannya. Hanna
menggigit bibirnya. Ia menatap Rafael sekilas, menunduk sesaat, lalu kembali
menatap Rafael lagi. Tapi tak lama, karena sesaat kemudian, tatapan matanya
beralih kembali ke tempat lain. Ia tampak
gugup.
“Oke, apalagi yang kau sembunyikan
dariku, Hanna?” Rafael mulai bertanya. Dan mau tak mau, tatapan Hanna kembali
fokus padanya. Perempuan itu tampak pucat. Rafael tak tahu, apakah ia pucat
karena sakit, ataukah karena sesuatu yang lain. “Apalagi yang kau sembunyikan
dariku!?” Rafael membentak.
Lelaki itu tampak frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya dengan putus asa.
“Aku tahu ada kebohongan lagi dalam
dirimu, Hanna. Aku benar-benar tak tahu siapa kau. Siapa kau sebenarnya?” ia
mendesis. Tatapan matanya tajam menghujam kedua mata Hanna yang mulai basah.
“Aku tak bermaksud membohongimu, lagi.
Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya padamu,” jawab
Hanna.
Rafael terkekeh, sinis.
“Selalu kata-kata yang sama. menunggu
waktu yang tepat? Sampai kapan? Sampai ada seseorang yang berusaha membunuhmu? Ya
Tuhan ... Aku benar-benar tak tahu siapa kau yang sebenarnya, Hanna,” ucapnya.
Hanna menelan ludah dan menguatkan
dirinya untuk melanjutkan kalimatnya.
“Aku tetap Hanna. Itu benar-benar namaku
yang sebenarnya. Selama ini aku tidak hanya bekerja sebagai pelayan restoran
dan LC. Tapi aku juga seorang informan polisi,” jawabnya kemudian.
Rafael membelalak.
“Informan?”
Hanna mengangguk.
“Kau ... mata-mata?”
Perempuan itu menggeleng.
“Bukan, aku bukan mata-mata. Aku hanya
seorang informan. Tugasku hanyalah memberitahu sebatas yang aku tahu tentang
para pengedar narkoba. Itulah kenapa, aku juga bekerja sebagai LC. Sebenarnya,
LC hanyalah kedok untukku karena tugasku yang sebenarnya adalah seorang
informan. Aku mendekati orang-orang yang telah dicurigai polisi sebagai
pengedar narkoba. Tugasku mencari tahu siapa saja jaringan mereka dan kemana
saja mereka mengedarkan barang-barang mereka. Hari ketika kau memergoki
pekerjaanku itu, aku juga sedang menjalankan tugasku. Salah satu sahabatmu,
Will, adalah pemakai. Aku mendekatinya untuk mengetahui darimana ia mendapatkan
narkoba tersebut,” Perempuan menjelaskannya dengan gamblang.
Rafael menatap Hanna dengan rasa tak
percaya.
“Yang baru saja menemuiku tadi, dia
seorang polisi. Dialah atasanku. Selama ini, aku bekerja padanya. Aku selalu
melaporkan padanya semua hal yang kutahu tentang peredaran narkoba di kota
ini,” Hanna kembali melanjutkan.
“Bagaimana kau bisa melakukan hal
seperti ini, Hanna?” Rafael kembali mendesis.
Hanna mengangkat bahu.
“Aku melakukannya secara tak sengaja.
Seperti yang kau tahu, aku datang ke ke kota ini tanpa persiapan, tanpa
keahlian. Aku hanya lulusan es-em-a, dan seseorang menawariku pekerjaan di
sebuah toko baju. Tapi ternyata, aku dibohongi. Aku nyaris menjadi korban
perdagangan manusia. Mereka menjualku ke sebuah tempat pelacuran. Untungnya aku
dapat melarikan diri. Aku bertemu seorang polisi baik hati dan aku menceritakan
semua hal yang terjadi padaku dengan rinci. Dari keteranganku tersebut mereka
dapat membongkar sekaligus menangkap pelaku perdagangan manusia tersebut.
Polisi kagum dengan caraku melihat situasi dan memberikan informasi. Mereka
mulai menawarkan pekerjaan itu padaku, sebagai seorang informan. Awalnya aku
tak tertarik. Tapi, mereka
menawarkan imbalan yang setimpal. Dan
seperti yang sudah kubilang, aku tulang punggung keluarga. Aku punya beberapa
adik yang harus sekolah sampai sarjana. Jadi, akhirnya aku menerima tawaran
mereka untuk menjadi informan,” Hanna terlihat tegar.
Rafael menatap
perempuan itu dengan bingung. Ia
teringat dengan pertemuan mereka pertama kali. Hanna nyaris mematahkan
tulang punggungnya. Ia mahir judo, harusnya ia tahu hal itu sejak awal.
“Aku benar-benar ingin menceritakan
semuanya padamu dan mengakhiri semuanya setelah kasus Baron selesai dan ia
tertangkap,” Hanna melanjutkan.
“Siapa Baron?”
“Lelaki yang berusaha membunuhku tadi,”
“Kenapa ia ingin membunuhmu?”
“Identitasku terbongkar. Beberapa
gembong narkoba mulai tahu bahwa akulah informan yang membocorkan kegiatan
mereka. Adik Baron tewas tertembak polisi dalam sebuah penggerebakan karena
berusaha melarikan diri. Baron tahu bahwa akulah yang melaporkannya. Itulah
kenapa, ia dendam padaku dan berusaha menghabisiku,”
Rafael menelan ludah. Menghabisi Hanna?
Membayangkan perempuan itu terlibat adegan berbahaya, dadanya terasa sesak.
Lelaki itu merasakan lututnya lemas.
“Ya Tuhan, Hanna. Kenapa kau bisa
terlibat dalam situasi rumit dan berbahaya seperti ini?” kalimat Rafael
terdengar frustasi. Lelaki itu mengibaskan tangannya dengan kesal.
“Maafkan aku. Aku akan segera
menyelesaikannya. Dan, ini akan segera berakhir. Jadi, kumohon ... jangan ...”
Hanna merasakan air matanya menitik.
Rafael menggeleng.
“Cukup, Hanna. Aku tak ingin mendengar
apapun lagi darimu. Kau benar-benar telah mengecewakanku. Aku bahkan tak bisa
berpikir untuk ... untuk terus melanjutkan hubunganku denganmu,” bibir Rafael
bergetar.
“Raf?”
“Kau tahu bahwa aku sebatang kara di
dunia ini. Aku tak punya orang tua, aku tak punya saudara. Dan sejak bertemu
denganmu, kau lah satu-satunya yang kumiliki. Dan sekarang, kau bahkan menempatkan
dirimu sendiri dalam bahaya? Beberapa jam yang lalu, jantungku nyaris berhenti
ketika menyaksikanmu berduel dengan penjahat itu. Dia melukaimu dan nyaris
membunuhmu. Dan, oh Tuhan, aku bahkan tak sanggup membayangkan lebih dari itu,”
Rafael menelan ludah. Ia mundur beberapa langkah.
“Hanya kau yang aku punya, Hanna. Tidak
bisakah kau menjadi satu-satunya yang paling aman buatku? Tidak bisakah kita
hidup dengan tenang, tanpa mendapati bahaya?”
“Aku akan baik-baik saja, Raf. Masalah
ini akan segera selesai. Polisi pasti membantu keselamatanku,”
Rafael kembali menggeleng taj percaya.
“Membantu keselamatanmu? Lalu apa yang
bisa mereka lakukan ketika lelaki itu nyaris menghabisimu?” Ia tersenyum sinis.
Hening sesaat.
“Aku lebih bisa menerima keadaanmu
sebagai LC, karena setidaknya kau aman di situ. Nyawamu tak terancam. Tapi
sebagai informan? Aku ....” lelaki itu menggigit bibirnya. Ia mundur beberapa
langkah. “Tidak, Hanna. Ini ... terlalu berat
untukku. Aku ...” lelaki itu menelan ludah.
“Jangan
temui aku dulu. Aku perlu waktu untuk ... berpikir,” ia menatap Hanna tajam
lalu berbalik meninggalkan ruangan tersebut, meninggalkan Hanna yang mulai
terisak.
Itu terakhir kalinya
Hanna bertemu dengan Rafael. Karena hampir satu bulan ini, lelaki itu
menghindarinya. Hanna sudah berusaha menemuinya tapi tak berhasil. Ia mencoba
datang ke rumahnya, tapi pintu rumahnya selalu terkunci rapat. Ia tahu bahwa
lelaki tampan itu ada di dalam rumah, tapi ia benar-benar menolak bertemu
dengannya.
“Raf, bisakah
kau buka pintunya? Temuilah aku, sebentar saja. Ada yang harus ku bicarakan
padamu, kumohon,” sore itu, Hanna kembali datang ke rumahnya, mengetuk pintunya
berkali-kali dan memanggil namanya berulang-ulang. Tapi, tetap tak ada respon.
“Rafael, aku tahu kau di dalam. Kumohon,
temuilah aku. Aku benar-benar ingin bicara denganmu,” ucapnya lagi seraya terus
berulang-ulang mengetuk pintu, membunyikan bel, berteriak-teriak lagi. Tapi,
tetap tak ada jawaban dari dalam rumah. Hanna menunggu di luar rumah Rafael
selama hampir 2 jam, tanpa berhenti memanggil namanya. Hingga akhirnya, ia
merasa lelah, dan memutuskan meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan
terluka.
Sementara itu di
dalam rumah, Rafael hanya duduk mematung di ruang baca. Ia tampak kacau sekali.
Rambutnya acak-acakan, mukanya kusut, dan kedua matanya basah. Ia mendengarnya.
Ia mendengar Hanna memanggil-manggil namanya dari luar rumah. Berkali-kali. Tapi,
membayangkan bahwa Hanna kembali membohongi dirinya, perasaannya campur aduk.
Ia tak bisa mengenyahkan rasa cintanya pada perempuan itu. Cinta itu bahkan
terlalu besar untuknya. Tapi, amarahnya juga tak bisa dikendalikan. Perempuan
itu membohonginya, dan itu benar-benar melukai perasaannya. Ah, tidak.
sebenarnya bukan itu masalahnya. Ia hanya merasa tidak siap untuk ...
kehilangan dirinya.
Rafael
menyaksikan sendiri bahwa Hanna nyaris terbunuh di hadapannya, dan itu
benar-benar membuat dadanya sesak. Bagaimana jika bajingan itu berhasil membunuhnya? Bagaimana jika ada
orang lain lagi yang berusaha merenggut nyawa perempuan itu? Bagaimana jika
Hanna tewas mengenaskan di hadapannya?
Bagaimana jika perempuan yang amat dicintainya itu, yang telah menjadi satu-satunya
miliknya, pergi meninggalkan dirinya ... selamanya? Tidak. Ia tidak akan
sanggup menghadapinya. Rafael pasti hancur, berkeping-keping, bahkan ikut mati.
Rafael menutup mukanya dengan kedua
telapak tangannya. Lelaki itu terisak.
“Kau satu-satunya milikku. Hanya kau
yang punya, tidak bisakah kau menjadi satu-satunya yang paling aman untukku,”
ia mendesis parau.
***
Tubuh
Hanna melorot di belakang di pintu kamarnya. Ia duduk bersandar di pintu dengan
kaki telanjang yang menyentuh lantai yang dingin. Perempuan itu duduk dalam
kegelapan, ia sudah menangis sejak berjam-jam yang lalu.
Ia tak pernah merasakan hidupnya sekacau
ini. Nyawanya nyaris melayang di tangan
penjahat. Hubungannya dengan Rafael berantakan. Ia seperti mayat hidup. Ia
bahkan melewatkan acara pernikahan Ella sekitar seminggu yang lalu. Dan
sekarang, setelah Ella tinggal bersama suaminya dan ia sendirian, dunia seakan
runtuh. Seumur hidup, ia tak pernah merasakan hidupnya sesepi ini, sesakit ini.
Tangis perempuan itu terhenti ketika
phonselnya yang tergeletak di atas tempat tidur berbunyi. Perlahan ia bangkit
dan melihat ke layar. Tampak olehnya ‘Boss’ sedang memanggil. Setelah ia
menghapus air matanya, ia meraih phonsel tersebut dan menjawab panggilan dari
Boss.
“Kau baik-baik saja? Susah sekali
menghubungimu?” suara dari seberang sana menyapa duluan.
“Aku baik-baik saja pak,” Hanna menjawab
lirih.
“Mm, pak, aku tak ingin melakukannya
lagi. Aku ... ingin berhenti,” perempuan itu melanjutkan. Terdengar suara
deheman dari atasan Hanna tersebut.
“Entahlah, Hanna. Aku harus sedih atau
bahagia mendengarnya. Jika harus jujur, kau adalah perempuan yang sangat
cerdas. Dan kau adalah salah satu bawahanku yang terbaik. Sebenarnya, aku tak
sanggup melepaskanmu. Tapi, kau juga punya kehidupan lain yang tentu saja,
lebih penting untukmu. Dan aku mencoba memahami bahwa kamu pasti ingin
mendapatkan sebuah hidup baru bersama Rafael. Tentu saja aku akan mengijinkanmu
bahagia. Lagipula, identitasmu sebagai informan sudah terbongkar. Dan akan sangat
bahaya sekali bila kau kembali ke pekerjaanmu. Aku berencana untuk mengirim
dirimu ke tempat lain,”
“Mengirimku ke tempat lain?”
“Ya, tempat ini terlalu berbahaya untukmu. Baron masih
berkeliaran di luar sana. Dan dia juga punya orang-orang yang selalu siap
mencari keberadaanmu. Jadi, kusarankan kau segera meninggalkan kota ini, hanya
sementara sampai Baron tertangkap,”
“Tapi kemana?”
“Aku masih menyiapkan. Jadi, sebelum aku
memberikanmu instruksi lebih lanjut, tetaplah di rumah. Jangan kemana-mana. Kau
mengerti?”
“Iya pak,” jawab Hanna.
“Bagus. Ingat, yang kita hadapi adalah
Baron. Dia orang yang sangat berbahaya. Ia takkan segan untuk menghabisimu
manakala melihatmu, dimana saja,”
Hanna menjawab dengan suara gemetar yang tanpa ia sadari. Perempuan
itu duduk mematung setelah polisi yang telah anggap sebagai ayah itu mengakhiri
pembicaraan. Ia hanya terlalu bingung untuk berpikir. Pergi ke tempat lain?
Tapi kemana? Bagaimana dengan Rafael? Apakah situasinya sudah begitu berbahaya
buat dirinya hingga ia harus pergi?
Tubuh Hanna kembali melorot ke lantai.
Ia menyandarkan punggungnya di pinggir ranjang. Perempuan itu nyaris tertidur
ketika ia mendengar suara tak biasa dari samping kamar tidurnya. Perlahan ia
bangkit, menyalakan lampu kamarnya lalu beranjak keluar untuk melihat asal
suara tersebut. Tapi, baru beberapa langkah ia keluar dari kamar tidurnya, ia
merasakan suatu benda tumpul menyentuh punggungnya, pelan. Langkah Hanna
terhenti.
“Jangan bergerak. Atau pistol ini akan
meledakkan pelurunya dan menembus jantungmu,” suara dari belakangnya terdengar
berat dan pelan. Dan Hanna merasakannya. Desah nafas seseorang dari balik
badannya.
“Berbaliklah,” suara itu kembali memberi
perintah. Hanna menelan ludah. Perlahan ia memutar tubuhnya. Dan tampak olehnya,
seorang lelaki berperawakan tinggi sedang menodongkan pistol ke arahnya. Lelaki
itu menyeringai puas. Baron!
***
Ketukan pintu
itu terdengar berulang-ulang. Mulanya Rafael enggan untuk beranjak karena
mengira itu pastilah Hanna. Tapi begitu ia mendengar suara seorang laki-laki,
perlahan ia bangkit dari kursi malasnya dan bergerak untuk membuka pintu. Ia
sempat melirik jam di dinding. Hampir tengah malam.
Ketika pintu terbuka, seorang lelaki
setengah baya berbadan kekar muncul di depan pintu. Lelaki yang ia temui di
rumah sakit beberapa hari yang lalu. Bos Hanna.
“Selamat malam. Saya letnan Andrew. Kita
pernah bertemu di rumah sakit ketika Hanna terluka,” lelaki itu menyapa lebih
itu sembari mengulurkan tangannya. Rafael manggut-manggut seraya menyambut
uluran tangan tersebut.
“Tidakkah kau ingin menyuruhku masuk?
Aku ingin bicara sebentar,” letnan Andrew menyarankan. Awalnya Rafael ragu,
tapi akhirnya ia menyilakan lelaki itu masuk.
“Perlukah kubuatkan minum?” Rafael
menawarkan.
“Tidak perlu. Aku hanya sebentar,”
letnan tersebut menjawab.
“Apa yang ingin kau bicarakan?”
“Ini ... tentang Hanna,”
“Maaf, tapi segala sesuatu yang
berhubungan dengan Hanna, aku tak tertarik lagi,”
“Tapi, bukankah kalian sepasang
kekasih?”
“Tidak lagi,” jawab Rafael dingin.
Letnan Andrew manggut-manggut.
“Jadi ...? hanya itu yang ingin kau
bicarakan?” Rafael kembali berkata-kata.
Polisi tersebut terdiam sesaat.
“Sebenarnya, aku ingin mengirim Hanna
keluar dari kota ini. ke suatu tempat yang aman yang ...”
“Kau ingin mengirimanya ke .... mana?”
Rafael menatap lelaki itu dengan kening berkerut.
“Dan kenapa kau ingin mengirimnya ke
tempat lain?” ia melanjutkan pertanyaannya.
Letnan Andrew mengangkat bahu.
“Kau tahu bahwa situasinya sekarang tak
aman baginya untuk berada di sini. Identitasnya terbongkar dan tentu saja,
banyak yang ingin membalas dendam padanya. Tadinya aku ingin meminta pendapatmu
tentang hal ini karena kupikir kalian masih bersama. Aku beberapa kali sudah
membicarkan ini dengannya, tapi, entahlah, sepertinya ia keberatan untuk
pergi,” jawab letnan Andrew. Kedua lelaki jangkung itu berpandangan.
“Selama ini Hanna senantiasa
membicarakan tentang dirimu padaku. Aku tahu perasaanmu, tapi, Hanna perempuan
yang baik. Sebenarnya ia tak berniat untuk membohongimu. Ia hanya menunggu
waktu yang tepat untuk bercerita. Dan asal kau tahu, ia sudah pernah memutuskan
berhenti dari pekerjaan ini sejak bersamamu. Tapi, akulah yang melarangnya.
Akulah yang memintanya hingga kasus Baron selesai. Tapi, sayangnya, kasusnya tak
semudah kubayangkan. Dia ... sangat mencintaimu,”
Rafael membuang pandanganya ke dalam
aquarium. Ia sempat menggigit bibirnya beberapa menit hingga terasa pedih.
Tidak, sebenarnya hatinya yang pedih.
“Kurasa ... akan lebih baik kalau kau
dan Hanna bertemu kembali untuk ...,” kalimat letnan Andrew terhenti ketika
phonselnya berbunyi. “Sebentar,” ucapnya seraya mengambil phonsel tersebut dari
sakunya dan menjawab.
“Selamat malam,” ia menyapa duluan.
“Selamat
malam, letnan. Kau masih ingat suaraku ‘kan?”
“Kau ....?”
“Yup,
ini aku. Kau sedang mencariku ‘kan? Sayangnya, aku selangkah lebih maju darimu.
Coba tebak apa yang kudapat? Haha... Setan kecilmu ini sekarang ada di
tanganku,”
“Apa yang kau inginkan?” suara letnan
Andrew yang meninggi membuat Rafael ikut cemas.
“Ada apa?” ia bertanya. Tapi polisi itu
terlalu fokus dengan telpon di telinganya.
“Bebaskan
ketiga rekanku. Jika tidak, perempuan cantik ini akan kuhabisi,”
“Kita akan rundingkan ini, oke. Jangan
sakiti dia!” letnan Andrew menutup telepon dan beranjak keluar dari rumah
Rafael. Rafael mengekor di belakangnya.
“Ada apa?” ia bertanya lagi. Letnan
tersebut berhenti sesaat dan menatap Rafael dengan tatapan cemas. Dan segera Rafael
merasakan lututnya lemas ketika lelaki setengah baya itu menggumamkan nama
Hanna.
***
Rumah
kontrakan Hanna tampak sepi dan gelap gulita. Letnan Andrew memegang pistol
dengan siaga. Ia dan juga Rafael melangkah dengan hati-hati mendekati rumah tersebut.
“Jangan pernah berpikir untuk
menodongkan pistol itu padaku, letnan. Buang pistol itu sekarang juga. Atau
perempuan ini mati,” suara itu terdengar dari dalam rumah. Letnan Andrew dan
Rafael berpandangan. Tatapan Rafael seakan meminta mohon pada lelaki itu untuk
membuang pistolnya.
“Berundinglah denganku. Tapi jangan
pernah menyakiti perempuan itu,” jawab letnan Andrew dengan lantang. Dan,
tiba-tiba lampu rumah Hanna menyala. Pintu depan masih tampak tertutup.
“Aku tidak menolak perundingan, letnan.
Tapi terlebih dahulu, buang pistolmu sebelum kau masuk ke rumah ini,” suara itu
kembali terdengar. Dan letnan Andrew meletakkan pistol di tangannya ke tanah.
Dan tanpa mengunggu aba-aba darinya, Rafael menerobos masuk. Ia menendang pintu
dengan kasar hingga terbuka dan lelaki itu segera menyeruak masuk tanpa
berpikir. Ia meneriakkan nama Hanna. Dan ketika berada di ruang tengah, matanya
terpaku. Ia melihatnya. Hanna duduk terduduk di kursi dengan lemas, menatap ke
arahnya. Kedua matanya basah, mukanya pucat, rambutnya yang panjang berjuntaian
tak beraturan. Dan, darah mengucur dari hidung dan bibirnya. Ia tampak rapuh. Membutuhkan
pertolongan, segera.
Di sampingnya,
berdiri seorang lelaki kekar yang tengah menodongkan pistol di dekat
pelipisnya.
“Apa yang kau lakukan padanya?!” Rafael
berteriak. Ada nada amarah dalam kalimatnya. Lelaki di samping Hanna
menyeringai puas.
“Apa yang kau inginkan?” suara letnan
Andrew terdengar dari balik bahu Rafael. Baron terkekeh.
“Sebenarnya aku ingin nyawamu dan nyawa
perempuan jalang ini sebagai imbalan atas kematian adikku. Tapi, sudahlah, itu
sudah berlalu ‘kan? Yang ku inginkan sekarang adalah kebebasan ke tiga rekanku.
Mereka harus keluar dari penjara dan kami harus keluar dari negara ini dengan
selamat. Jika tidak, dia mati,” Baron mendekatkan moncong pistolnya ke pelipis
Hanna. Hanna sempat memejamkan mata sesaat.
“Oke, apapun yang kau inginkan. Kau
ingin temanmu bebas? Letnan ini akan membebaskan mereka. Dan kau ingin
meninggalkan negara ini? akan ku lakukan. Aku bisa memanggil karyawanku untuk
menyediakan sebuah helikopter yang bisa membawa kalian pergi. Tapi, bebaskan
dia,” ucap Rafael dengan nada putus asa. Baron kembali terkekeh.
“Whoa, sepertinya hari ini aku beruntung
sekali karena berurusan denganmu, bung kaya raya. Baiklah, aku takkan membunuh
wanita ini. Tapi, segera penuhi permintaanku. Kau dengar aku ‘kan letnan?
Segera hubungi orang-orangmu untuk membebaskan rekan-rekanku dan membawanya ke
sini. Dan kau, bung, segera siapkan helikopternya. Aku tidak menolerir kerja
yang lamban, letnan,” Baron kembali menyeringai puas. Letnan Andrew menatap
Rafael, seolah keberatan dengan kalimat yang ia ucapkan. Sementara Rafael hanya
mampu menatap lelaki itu dengan tatapan memohon. Berharap agar ia menuruti
kemauan lelaki tersebut.
Ketika Baron sedang fokus pada kedua
lelaki jangkung tersebut, Hanna mengambil resiko dengan menepis lengan Baron
dari pelipisnya dan dengan satu gerakan, ia menyarangkan tinju ke wajah Baron.
Perempuan itu menubruk tubuh Baron dan berusaha merebut pistol dari tangannya.
Keduanya bergumul dan sekian detik kemudian terdengar letusan. Letusan dari
pistol Baron, entah menengai siapa!
Rafael berlari,
menerjang ke arah Baron, menarik tubuh lelaki itu dari atas tubuh Hanna lalu
melayangkan tinjunya ke wajah lelaki tersebut. Lelaki itu terhuyung, darah
membanjiri bajunya, tapi tangannya masih menggenggam pistol.
Tatapan Rafael berpindah pada Hanna.
Perempuan itu tergeletak, tak bergerak, berlumuran darah.
“Ya Tuhan,” ia mendesis.
Letnan Andrew juga tak menyia-nyiakan
kesempatan tersebut. Ia balik menerjang Baron dan berusaha merebut pistol dari
tangannya. Tapi lelaki berkulit gelap itu tak tinggal diam. Mereka bergumul,
dan pistol kembali meledak. Tapi kali ini, Baron ambruk. Darah segar keluar dari
dadanya yang tertembus peluru. Lelaki itu tak bergerak.
Rafael berlari dan bersimpuh di samping
tubuh Hanna. Perempuan itu terdiam, matanya terpejam. Ia menatap dada perempuan
itu yang berlumuran darah. Lelaki itu sesenggukan.
“Dimana kau terluka, sayang? Di mana?”
ia bertanya seperti orang gila. Ia meraih tubuhnya dan memeluknya erat.
Tangisnya pecah.
“Kumohon, jangan pergi. Jangan
tinggalkan aku seperti ini,” ia mendesis parau. Letnan Andrew berjongkok di
samping mereka.
“Kita harus segera membawanya ke rumah
sakit!” ia berteriak.
***
Hanna
mengalami luka parah di dadanya karena tembakan itu. Ia bahkan tak sadarkan
diri hampir 2 hari. Tapi untunglah, ia sudah melewati masa kritis. Dan selama
ini, Rafael senantiasa setia berada di sisinya.
“Syukurlah, dia sudah membaik,” ucap
letnan Andrew ketika sore itu ia kembali mengunjunginya di rumah sakit. Rafael
tersenyum, ia mengangguk. Ada gurat keletihan luar biasa di wajahnya.
“Pulanglah dulu, Raf. Kau perlu
istirahat. Biar aku yang ganti menjaganya,” letnan tersebut menawarkan diri.
Rafael menggeleng.
“Tidak, pak. Terima kasih. Aku akan selalu
ada di sampingnya. Aku ... aku terlalu takut meninggalkannya sendirian,”
ucapnya.
“Aku pasti menjaganya dengan baik. Aku
sudah menganggapnya sebagai putriku sendiri. Lagipula, Baron sudah tewas.
Semoga tak ada yang mengincar nyawa Hanna lagi,” Letnan Andrew berusaha memberi
penjelasan.
Rafael terdiam sesaat. “Apa berarti
tugasnya sudah selesai? Maksudku, tugas sebagai informan,” lelaki itu
memastikan.
Letnan Andrew manggut-manggut.
“Selesai tidak selesai, aku akan
menganggapnya selesai. Sudah waktunya Hanna bahagia dengan memilih jalan
hidupnya. Dan kuharap, kau bisa membahagiakannya,” ujarnya.
Rafael menghela nafas.
“Yakin kau tak ingin pulang dulu untuk
beristirahat?”
Lelaki jangkung itu kembali menggeleng.
“Terima kasih, pak. Tapi, aku akan tetap di sini sampai Hanna membuka mata,” jawabnya.
Letnan Andrew tersenyum.
“Baiklah anak muda, kalau begitu, aku
akan pergi,” ia pamit.
Rafael mengantarkannya keluar lalu
kembali duduk di samping ranjang Hanna. Lelaki itu meraih tangan Hanna yang
masih tak sadarkan diri, lalu mengecupnya dengan lembut. Dan, perempuan itu
membuka mata dengan perlahan!
“Hanna?” Rafael nyaris memekik karena
girang. Kedua mata Hanna mengerjap sesaat lalu menatap ke arah lelaki yang
berada di sampingnya tersebut.
“Rafa ...?” ia memanggil lirih.
Rafael bangkit lalu mengecup keningnya
dengan lembut. Dan tanpa sadar, air matanya menitik. Ia terlalu bahagia.
“Kupikir aku akan kehilangan dirimu,
sayang,” desisnya lirih seraya menatap Hanna dengan lembut.
“Kupikir aku juga akan meninggalkanmu,”
jawab Hanna lirih.
“It’s okay. Semua sudah baik-baik saja.
Kau aman sekarang. Beristirahatlah,”
“Baron ... ?”
Rafael menggenggam tangannya dengan lembut. “Jangan khawatir, Letnan sudah membereskannya.”
Jawabnya.
Kedua mata Hanna terpejam sesaat.
Mulutnya komat-kamit mengucap syukur.
“Apa kau masih marah padaku?” Ia menatap
Rafael dengan lemah.
“Kenapa aku harus marah padamu?” Rafael
menatapnya dengan lembut.
“Karena kau tak mau bicara atau bahkan
menemuiku,” kalimat Hanna terdengar parau. Rafael menggeleng. “Aku salah,
Hanna. Tak seharusnya aku mengabaikannmu. Aku ...”
“Aku janji aku akan berhenti. Aku takkan
jadi LC lagi. Aku takkan jadi informan lagi. Aku akan jadi satu-satunya yang
aman buatmu. Aku ... apapun itu ....,” Kalimat Hanna terbata. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Sssttt .... “ Rafael membelai pipi
perempuan itu dengan lembut. “Aku takkan lagi meninggalkanmu. Takkan pernah,”
Rafael kembali mengecup kening Hanna dengan lembut. Air matanya kembali
menitik.
“Setelah kau membaik, kita akan pergi.
Aku akan membawamu sejauh mungkin dari tempat ini agar kejadian sialan beberapa
hari yang lalu tak terulang lagi. Aku sudah menyiapkan segalanya. Kita akan ke
Irlandia. Aku punya sebuah rumah di sana, dan kita akan menetap di sana
selamanya karena aku juga sudah memutuskan untuk memindahkan bisnisku ke sana.
Keluargamu, kau tak perlu mencemaskannya. Aku bersedia menanggung biaya pendidikan
kedua adikmu. Percayalah padaku, kau bisa mengandalkanku, sayang. Oke?”
Air mata Hanna menitik.
“Kumohon jangan menolakku, Hanna.
Ikutlah bersamaku, kita akan hidup bahagia di sana. Kita akan membuka lembaran
baru, kehidupan baru. Kita akan memulai segalanya lagi dari awal, oke?”
Hanna menangis lirih. Keduanya
berpandangan.
“Kau bersedia ‘kan?” Tanya Rafael lagi.
Perlahan Hanna mengangguk. Ya, tidak diragukan lagi, ia akan mengikuti Rafael
kemanapun ia pergi.
“Aku mencintaimu, Raf ...”
Rafael mengangguk, kembali menitikkan
air mata. “Aku tahu. Karena akupun begitu.” Jawabnya.
Selesai.
Wiwin
setyobekti.
Rejoso,
19-10-2013
23.58
p.s.
During my
writer’s block. Jadi ending-nya klise, hahahaa......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar