Selasa, 14 April 2015

Hanna - Part 4 (end)



Hanna tidak mengalami luka serius. Ia hanya pingsan karena sedikit benturan di kepalanya. Perempuan itu bahkan sudah sadar beberapa saat setelah di rawat di rumah sakit. Ketika Rafael masuk ke kamar perawatannya, ia sudah mampu duduk dan sedang mengobrol dengan seorang lelaki paruh baya yang tidak Rafael kenal. Mereka tampak terlibat percakapan serius. Rafael berdehem hingga obrolan mereka terhenti. Hanna, dan juga lelaki itu menoleh.
“Oh, apakah dia Rafael?” lelaki berkumis tebal itu bertanya langsung pada Hanna. Hanna mengangguk pelan, ia terlihat takut melakukan kontak mata dengan Rafael.
“Haruskah aku berbicara langsung  padanya?” lelaki yang rambutnya mulai beruban itu kembali bertanya.
“Tidak, biar aku yang bicara sendiri padanya,” jawabnya cepat. Lelaki itu manggut-manggut.
“Oke, kalau begitu, aku akan keluar,” jawabnya seraya melangkahkan kakinya. Ia sempat tersenyum ke arah Rafael sebelum membuka pintu dan keluar dari kamar tersebut.
Rafael menatap Hanna dengan penuh selidik. Ada kilatan amarah dalam tatapannya. Hanna menggigit bibirnya. Ia menatap Rafael sekilas, menunduk sesaat, lalu kembali menatap Rafael lagi. Tapi tak lama, karena sesaat kemudian, tatapan matanya beralih kembali ke tempat lain.  Ia tampak gugup.
“Oke, apalagi yang kau sembunyikan dariku, Hanna?” Rafael mulai bertanya. Dan mau tak mau, tatapan Hanna kembali fokus padanya. Perempuan itu tampak pucat. Rafael tak tahu, apakah ia pucat karena sakit, ataukah karena sesuatu yang lain. “Apalagi yang kau sembunyikan dariku!?” Rafael membentak.
Lelaki itu tampak frustasi. Ia  mengacak-acak rambutnya dengan putus asa.
“Aku tahu ada kebohongan lagi dalam dirimu, Hanna. Aku benar-benar tak tahu siapa kau. Siapa kau sebenarnya?” ia mendesis. Tatapan matanya tajam menghujam kedua mata Hanna yang mulai basah.
“Aku tak bermaksud membohongimu, lagi. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya padamu,” jawab Hanna.
Rafael terkekeh, sinis.
“Selalu kata-kata yang sama. menunggu waktu yang tepat? Sampai kapan? Sampai ada seseorang yang berusaha membunuhmu? Ya Tuhan ... Aku benar-benar tak tahu siapa kau yang sebenarnya, Hanna,” ucapnya.
Hanna menelan ludah dan menguatkan dirinya untuk melanjutkan kalimatnya.
“Aku tetap Hanna. Itu benar-benar namaku yang sebenarnya. Selama ini aku tidak hanya bekerja sebagai pelayan restoran dan LC. Tapi aku juga seorang informan polisi,” jawabnya kemudian.
Rafael membelalak.
“Informan?”
Hanna mengangguk.
“Kau ... mata-mata?”
Perempuan itu menggeleng.
“Bukan, aku bukan mata-mata. Aku hanya seorang informan. Tugasku hanyalah memberitahu sebatas yang aku tahu tentang para pengedar narkoba. Itulah kenapa, aku juga bekerja sebagai LC. Sebenarnya, LC hanyalah kedok untukku karena tugasku yang sebenarnya adalah seorang informan. Aku mendekati orang-orang yang telah dicurigai polisi sebagai pengedar narkoba. Tugasku mencari tahu siapa saja jaringan mereka dan kemana saja mereka mengedarkan barang-barang mereka. Hari ketika kau memergoki pekerjaanku itu, aku juga sedang menjalankan tugasku. Salah satu sahabatmu, Will, adalah pemakai. Aku mendekatinya untuk mengetahui darimana ia mendapatkan narkoba tersebut,” Perempuan menjelaskannya dengan gamblang.
Rafael menatap Hanna dengan rasa tak percaya.
“Yang baru saja menemuiku tadi, dia seorang polisi. Dialah atasanku. Selama ini, aku bekerja padanya. Aku selalu melaporkan padanya semua hal yang kutahu tentang peredaran narkoba di kota ini,” Hanna kembali melanjutkan.
“Bagaimana kau bisa melakukan hal seperti ini, Hanna?” Rafael kembali mendesis.
Hanna mengangkat bahu.
“Aku melakukannya secara tak sengaja. Seperti yang kau tahu, aku datang ke ke kota ini tanpa persiapan, tanpa keahlian. Aku hanya lulusan es-em-a, dan seseorang menawariku pekerjaan di sebuah toko baju. Tapi ternyata, aku dibohongi. Aku nyaris menjadi korban perdagangan manusia. Mereka menjualku ke sebuah tempat pelacuran. Untungnya aku dapat melarikan diri. Aku bertemu seorang polisi baik hati dan aku menceritakan semua hal yang terjadi padaku dengan rinci. Dari keteranganku tersebut mereka dapat membongkar sekaligus menangkap pelaku perdagangan manusia tersebut. Polisi kagum dengan caraku melihat situasi dan memberikan informasi. Mereka mulai menawarkan pekerjaan itu padaku, sebagai seorang informan. Awalnya aku tak tertarik. Tapi, mereka
menawarkan imbalan yang setimpal. Dan seperti yang sudah kubilang, aku tulang punggung keluarga. Aku punya beberapa adik yang harus sekolah sampai sarjana. Jadi, akhirnya aku menerima tawaran mereka untuk menjadi informan,” Hanna terlihat tegar.
Rafael menatap perempuan itu dengan bingung. Ia  teringat dengan pertemuan mereka pertama kali. Hanna nyaris mematahkan tulang punggungnya. Ia mahir judo, harusnya ia tahu hal itu sejak awal.
“Aku benar-benar ingin menceritakan semuanya padamu dan mengakhiri semuanya setelah kasus Baron selesai dan ia tertangkap,” Hanna melanjutkan.
“Siapa Baron?”
“Lelaki yang berusaha membunuhku tadi,”
“Kenapa ia ingin membunuhmu?”
“Identitasku terbongkar. Beberapa gembong narkoba mulai tahu bahwa akulah informan yang membocorkan kegiatan mereka. Adik Baron tewas tertembak polisi dalam sebuah penggerebakan karena berusaha melarikan diri. Baron tahu bahwa akulah yang melaporkannya. Itulah kenapa, ia dendam padaku dan berusaha menghabisiku,”
Rafael menelan ludah. Menghabisi Hanna? Membayangkan perempuan itu terlibat adegan berbahaya, dadanya terasa sesak. Lelaki itu merasakan lututnya lemas.
“Ya Tuhan, Hanna. Kenapa kau bisa terlibat dalam situasi rumit dan berbahaya seperti ini?” kalimat Rafael terdengar frustasi. Lelaki itu mengibaskan tangannya dengan kesal.
“Maafkan aku. Aku akan segera menyelesaikannya. Dan, ini akan segera berakhir. Jadi, kumohon ... jangan ...” Hanna merasakan air matanya menitik.
Rafael menggeleng.
“Cukup, Hanna. Aku tak ingin mendengar apapun lagi darimu. Kau benar-benar telah mengecewakanku. Aku bahkan tak bisa berpikir untuk ... untuk terus melanjutkan hubunganku denganmu,” bibir Rafael bergetar.
“Raf?”
“Kau tahu bahwa aku sebatang kara di dunia ini. Aku tak punya orang tua, aku tak punya saudara. Dan sejak bertemu denganmu, kau lah satu-satunya yang kumiliki. Dan sekarang, kau bahkan menempatkan dirimu sendiri dalam bahaya? Beberapa jam yang lalu, jantungku nyaris berhenti ketika menyaksikanmu berduel dengan penjahat itu. Dia melukaimu dan nyaris membunuhmu. Dan, oh Tuhan, aku bahkan tak sanggup membayangkan lebih dari itu,” Rafael menelan ludah. Ia mundur beberapa langkah.
“Hanya kau yang aku punya, Hanna. Tidak bisakah kau menjadi satu-satunya yang paling aman buatku? Tidak bisakah kita hidup dengan tenang, tanpa mendapati bahaya?”
“Aku akan baik-baik saja, Raf. Masalah ini akan segera selesai. Polisi pasti membantu keselamatanku,”
Rafael kembali menggeleng taj percaya.
“Membantu keselamatanmu? Lalu apa yang bisa mereka lakukan ketika lelaki itu nyaris menghabisimu?” Ia tersenyum sinis. Hening sesaat.
“Aku lebih bisa menerima keadaanmu sebagai LC, karena setidaknya kau aman di situ. Nyawamu tak terancam. Tapi sebagai informan? Aku ....” lelaki itu menggigit bibirnya. Ia mundur beberapa langkah. “Tidak, Hanna. Ini ... terlalu berat  untukku. Aku ...” lelaki itu menelan ludah.
 “Jangan temui aku dulu. Aku perlu waktu untuk ... berpikir,” ia menatap Hanna tajam lalu berbalik meninggalkan ruangan tersebut, meninggalkan Hanna yang mulai terisak. 
                  
Itu terakhir kalinya Hanna bertemu dengan Rafael. Karena hampir satu bulan ini, lelaki itu menghindarinya. Hanna sudah berusaha menemuinya tapi tak berhasil. Ia mencoba datang ke rumahnya, tapi pintu rumahnya selalu terkunci rapat. Ia tahu bahwa lelaki tampan itu ada di dalam rumah, tapi ia benar-benar menolak bertemu dengannya.
“Raf, bisakah kau buka pintunya? Temuilah aku, sebentar saja. Ada yang harus ku bicarakan padamu, kumohon,” sore itu, Hanna kembali datang ke rumahnya, mengetuk pintunya berkali-kali dan memanggil namanya berulang-ulang. Tapi, tetap tak ada respon.
“Rafael, aku tahu kau di dalam. Kumohon, temuilah aku. Aku benar-benar ingin bicara denganmu,” ucapnya lagi seraya terus berulang-ulang mengetuk pintu, membunyikan bel, berteriak-teriak lagi. Tapi, tetap tak ada jawaban dari dalam rumah. Hanna menunggu di luar rumah Rafael selama hampir 2 jam, tanpa berhenti memanggil namanya. Hingga akhirnya, ia merasa lelah, dan memutuskan meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan terluka.
Sementara itu di dalam rumah, Rafael hanya duduk mematung di ruang baca. Ia tampak kacau sekali. Rambutnya acak-acakan, mukanya kusut, dan kedua matanya basah. Ia mendengarnya. Ia mendengar Hanna memanggil-manggil namanya dari luar rumah. Berkali-kali. Tapi, membayangkan bahwa Hanna kembali membohongi dirinya, perasaannya campur aduk. Ia tak bisa mengenyahkan rasa cintanya pada perempuan itu. Cinta itu bahkan terlalu besar untuknya. Tapi, amarahnya juga tak bisa dikendalikan. Perempuan itu membohonginya, dan itu benar-benar melukai perasaannya. Ah, tidak. sebenarnya bukan itu masalahnya. Ia hanya merasa tidak siap untuk ... kehilangan dirinya.
Rafael menyaksikan sendiri bahwa Hanna nyaris terbunuh di hadapannya, dan itu benar-benar membuat dadanya sesak. Bagaimana jika bajingan  itu berhasil membunuhnya? Bagaimana jika ada orang lain lagi yang berusaha merenggut nyawa perempuan itu? Bagaimana jika Hanna tewas mengenaskan di  hadapannya? Bagaimana jika perempuan yang amat dicintainya itu, yang telah menjadi satu-satunya miliknya, pergi meninggalkan dirinya ... selamanya? Tidak. Ia tidak akan sanggup menghadapinya. Rafael pasti hancur, berkeping-keping, bahkan ikut mati.
Rafael menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Lelaki itu terisak.
“Kau satu-satunya milikku. Hanya kau yang punya, tidak bisakah kau menjadi satu-satunya yang paling aman untukku,” ia mendesis parau.

***

          Tubuh Hanna melorot di belakang di pintu kamarnya. Ia duduk bersandar di pintu dengan kaki telanjang yang menyentuh lantai yang dingin. Perempuan itu duduk dalam kegelapan, ia sudah menangis sejak berjam-jam yang lalu.
Ia tak pernah merasakan hidupnya sekacau ini.  Nyawanya nyaris melayang di tangan penjahat. Hubungannya dengan Rafael berantakan. Ia seperti mayat hidup. Ia bahkan melewatkan acara pernikahan Ella sekitar seminggu yang lalu. Dan sekarang, setelah Ella tinggal bersama suaminya dan ia sendirian, dunia seakan runtuh. Seumur hidup, ia tak pernah merasakan hidupnya sesepi ini, sesakit ini.
Tangis perempuan itu terhenti ketika phonselnya yang tergeletak di atas tempat tidur berbunyi. Perlahan ia bangkit dan melihat ke layar. Tampak olehnya ‘Boss’ sedang memanggil. Setelah ia menghapus air matanya, ia meraih phonsel tersebut dan menjawab panggilan dari Boss.
“Kau baik-baik saja? Susah sekali menghubungimu?” suara dari seberang sana menyapa duluan.
“Aku baik-baik saja pak,” Hanna menjawab lirih.
“Mm, pak, aku tak ingin melakukannya lagi. Aku ... ingin berhenti,” perempuan itu melanjutkan. Terdengar suara deheman dari atasan Hanna tersebut.
“Entahlah, Hanna. Aku harus sedih atau bahagia mendengarnya. Jika harus jujur, kau adalah perempuan yang sangat cerdas. Dan kau adalah salah satu bawahanku yang terbaik. Sebenarnya, aku tak sanggup melepaskanmu. Tapi, kau juga punya kehidupan lain yang tentu saja, lebih penting untukmu. Dan aku mencoba memahami bahwa kamu pasti ingin mendapatkan sebuah hidup baru bersama Rafael. Tentu saja aku akan mengijinkanmu bahagia. Lagipula, identitasmu sebagai informan sudah terbongkar. Dan akan sangat bahaya sekali bila kau kembali ke pekerjaanmu. Aku berencana untuk mengirim dirimu ke tempat lain,”
“Mengirimku ke tempat lain?”
“Ya, tempat  ini terlalu berbahaya untukmu. Baron masih berkeliaran di luar sana. Dan dia juga punya orang-orang yang selalu siap mencari keberadaanmu. Jadi, kusarankan kau segera meninggalkan kota ini, hanya sementara sampai Baron tertangkap,”
“Tapi kemana?”
“Aku masih menyiapkan. Jadi, sebelum aku memberikanmu instruksi lebih lanjut, tetaplah di rumah. Jangan kemana-mana. Kau mengerti?”
“Iya pak,” jawab Hanna.
“Bagus. Ingat, yang kita hadapi adalah Baron. Dia orang yang sangat berbahaya. Ia takkan segan untuk menghabisimu manakala melihatmu, dimana saja,”
Hanna menjawab dengan  suara gemetar yang tanpa ia sadari. Perempuan itu duduk mematung setelah polisi yang telah anggap sebagai ayah itu mengakhiri pembicaraan. Ia hanya terlalu bingung untuk berpikir. Pergi ke tempat lain? Tapi kemana? Bagaimana dengan Rafael? Apakah situasinya sudah begitu berbahaya buat dirinya hingga ia harus pergi?
Tubuh Hanna kembali melorot ke lantai. Ia menyandarkan punggungnya di pinggir ranjang. Perempuan itu nyaris tertidur ketika ia mendengar suara tak biasa dari samping kamar tidurnya. Perlahan ia bangkit, menyalakan lampu kamarnya lalu beranjak keluar untuk melihat asal suara tersebut. Tapi, baru beberapa langkah ia keluar dari kamar tidurnya, ia merasakan suatu benda tumpul menyentuh punggungnya, pelan. Langkah Hanna terhenti.
“Jangan bergerak. Atau pistol ini akan meledakkan pelurunya dan menembus jantungmu,” suara dari belakangnya terdengar berat dan pelan. Dan Hanna merasakannya. Desah nafas seseorang dari balik badannya.
“Berbaliklah,” suara itu kembali memberi perintah. Hanna menelan ludah. Perlahan ia memutar tubuhnya. Dan tampak olehnya, seorang lelaki berperawakan tinggi sedang menodongkan pistol ke arahnya. Lelaki itu menyeringai puas. Baron!

***

Ketukan pintu itu terdengar berulang-ulang. Mulanya Rafael enggan untuk beranjak karena mengira itu pastilah Hanna. Tapi begitu ia mendengar suara seorang laki-laki, perlahan ia bangkit dari kursi malasnya dan bergerak untuk membuka pintu. Ia sempat melirik jam di dinding. Hampir tengah malam.
Ketika pintu terbuka, seorang lelaki setengah baya berbadan kekar muncul di depan pintu. Lelaki yang ia temui di rumah sakit beberapa hari yang lalu. Bos Hanna.
“Selamat malam. Saya letnan Andrew. Kita pernah bertemu di rumah sakit ketika Hanna terluka,” lelaki itu menyapa lebih itu sembari mengulurkan tangannya. Rafael manggut-manggut seraya menyambut uluran tangan tersebut.
“Tidakkah kau ingin menyuruhku masuk? Aku ingin bicara sebentar,” letnan Andrew menyarankan. Awalnya Rafael ragu, tapi akhirnya ia menyilakan lelaki itu masuk.
“Perlukah kubuatkan minum?” Rafael menawarkan.
“Tidak perlu. Aku hanya sebentar,” letnan tersebut menjawab.
“Apa yang ingin kau bicarakan?”
“Ini ... tentang Hanna,”
“Maaf, tapi segala sesuatu yang berhubungan dengan Hanna, aku tak tertarik lagi,”
“Tapi, bukankah kalian sepasang kekasih?”
“Tidak lagi,” jawab Rafael dingin.
Letnan Andrew manggut-manggut.
“Jadi ...? hanya itu yang ingin kau bicarakan?” Rafael kembali berkata-kata.
Polisi tersebut terdiam sesaat.
“Sebenarnya, aku ingin mengirim Hanna keluar dari kota ini. ke suatu tempat yang aman yang ...”
“Kau ingin mengirimanya ke .... mana?” Rafael menatap lelaki itu dengan kening berkerut.
“Dan kenapa kau ingin mengirimnya ke tempat lain?” ia melanjutkan pertanyaannya.
Letnan Andrew mengangkat bahu.
“Kau tahu bahwa situasinya sekarang tak aman baginya untuk berada di sini. Identitasnya terbongkar dan tentu saja, banyak yang ingin membalas dendam padanya. Tadinya aku ingin meminta pendapatmu tentang hal ini karena kupikir kalian masih bersama. Aku beberapa kali sudah membicarkan ini dengannya, tapi, entahlah, sepertinya ia keberatan untuk pergi,” jawab letnan Andrew. Kedua lelaki jangkung itu berpandangan.
“Selama ini Hanna senantiasa membicarakan tentang dirimu padaku. Aku tahu perasaanmu, tapi, Hanna perempuan yang baik. Sebenarnya ia tak berniat untuk membohongimu. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk bercerita. Dan asal kau tahu, ia sudah pernah memutuskan berhenti dari pekerjaan ini sejak bersamamu. Tapi, akulah yang melarangnya. Akulah yang memintanya hingga kasus Baron selesai. Tapi, sayangnya, kasusnya tak semudah kubayangkan. Dia ... sangat mencintaimu,”
Rafael membuang pandanganya ke dalam aquarium. Ia sempat menggigit bibirnya beberapa menit hingga terasa pedih. Tidak, sebenarnya hatinya yang pedih.
“Kurasa ... akan lebih baik kalau kau dan Hanna bertemu kembali untuk ...,” kalimat letnan Andrew terhenti ketika phonselnya berbunyi. “Sebentar,” ucapnya seraya mengambil phonsel tersebut dari sakunya dan menjawab.
“Selamat malam,” ia menyapa duluan.
“Selamat malam, letnan. Kau masih ingat suaraku ‘kan?”
“Kau ....?”
“Yup, ini aku. Kau sedang mencariku ‘kan? Sayangnya, aku selangkah lebih maju darimu. Coba tebak apa yang kudapat? Haha... Setan kecilmu ini sekarang ada di tanganku,”
“Apa yang kau inginkan?” suara letnan Andrew yang meninggi membuat Rafael ikut cemas.
“Ada apa?” ia bertanya. Tapi polisi itu terlalu fokus dengan telpon di telinganya.
“Bebaskan ketiga rekanku. Jika tidak, perempuan cantik ini akan kuhabisi,”
“Kita akan rundingkan ini, oke. Jangan sakiti dia!” letnan Andrew menutup telepon dan beranjak keluar dari rumah Rafael. Rafael mengekor di belakangnya.
“Ada apa?” ia bertanya lagi. Letnan tersebut berhenti sesaat dan menatap Rafael dengan tatapan cemas. Dan segera Rafael merasakan lututnya lemas ketika lelaki setengah baya itu menggumamkan nama Hanna.

***

          Rumah kontrakan Hanna tampak sepi dan gelap gulita. Letnan Andrew memegang pistol dengan siaga. Ia dan juga Rafael melangkah dengan hati-hati mendekati rumah tersebut.
“Jangan pernah berpikir untuk menodongkan pistol itu padaku, letnan. Buang pistol itu sekarang juga. Atau perempuan ini mati,” suara itu terdengar dari dalam rumah. Letnan Andrew dan Rafael berpandangan. Tatapan Rafael seakan meminta mohon pada lelaki itu untuk membuang pistolnya.
“Berundinglah denganku. Tapi jangan pernah menyakiti perempuan itu,” jawab letnan Andrew dengan lantang. Dan, tiba-tiba lampu rumah Hanna menyala. Pintu depan masih tampak tertutup.
“Aku tidak menolak perundingan, letnan. Tapi terlebih dahulu, buang pistolmu sebelum kau masuk ke rumah ini,” suara itu kembali terdengar. Dan letnan Andrew meletakkan pistol di tangannya ke tanah. Dan tanpa mengunggu aba-aba darinya, Rafael menerobos masuk. Ia menendang pintu dengan kasar hingga terbuka dan lelaki itu segera menyeruak masuk tanpa berpikir. Ia meneriakkan nama Hanna. Dan ketika berada di ruang tengah, matanya terpaku. Ia melihatnya. Hanna duduk terduduk di kursi dengan lemas, menatap ke arahnya. Kedua matanya basah, mukanya pucat, rambutnya yang panjang berjuntaian tak beraturan. Dan, darah mengucur dari hidung dan bibirnya. Ia tampak rapuh. Membutuhkan pertolongan, segera.
Di sampingnya, berdiri seorang lelaki kekar yang tengah menodongkan pistol di dekat pelipisnya.
“Apa yang kau lakukan padanya?!” Rafael berteriak. Ada nada amarah dalam kalimatnya. Lelaki di samping Hanna menyeringai puas. 
“Apa yang kau inginkan?” suara letnan Andrew terdengar dari balik bahu Rafael. Baron terkekeh.
“Sebenarnya aku ingin nyawamu dan nyawa perempuan jalang ini sebagai imbalan atas kematian adikku. Tapi, sudahlah, itu sudah berlalu ‘kan? Yang ku inginkan sekarang adalah kebebasan ke tiga rekanku. Mereka harus keluar dari penjara dan kami harus keluar dari negara ini dengan selamat. Jika tidak, dia mati,” Baron mendekatkan moncong pistolnya ke pelipis Hanna. Hanna sempat memejamkan mata sesaat.
“Oke, apapun yang kau inginkan. Kau ingin temanmu bebas? Letnan ini akan membebaskan mereka. Dan kau ingin meninggalkan negara ini? akan ku lakukan. Aku bisa memanggil karyawanku untuk menyediakan sebuah helikopter yang bisa membawa kalian pergi. Tapi, bebaskan dia,” ucap Rafael dengan nada putus asa. Baron kembali terkekeh.
“Whoa, sepertinya hari ini aku beruntung sekali karena berurusan denganmu, bung kaya raya. Baiklah, aku takkan membunuh wanita ini. Tapi, segera penuhi permintaanku. Kau dengar aku ‘kan letnan? Segera hubungi orang-orangmu untuk membebaskan rekan-rekanku dan membawanya ke sini. Dan kau, bung, segera siapkan helikopternya. Aku tidak menolerir kerja yang lamban, letnan,” Baron kembali menyeringai puas. Letnan Andrew menatap Rafael, seolah keberatan dengan kalimat yang ia ucapkan. Sementara Rafael hanya mampu menatap lelaki itu dengan tatapan memohon. Berharap agar ia menuruti kemauan lelaki tersebut.
Ketika Baron sedang fokus pada kedua lelaki jangkung tersebut, Hanna mengambil resiko dengan menepis lengan Baron dari pelipisnya dan dengan satu gerakan, ia menyarangkan tinju ke wajah Baron. Perempuan itu menubruk tubuh Baron dan berusaha merebut pistol dari tangannya. Keduanya bergumul dan sekian detik kemudian terdengar letusan. Letusan dari pistol Baron, entah menengai siapa!
Rafael berlari, menerjang ke arah Baron, menarik tubuh lelaki itu dari atas tubuh Hanna lalu melayangkan tinjunya ke wajah lelaki tersebut. Lelaki itu terhuyung, darah membanjiri bajunya, tapi tangannya masih menggenggam pistol.
Tatapan Rafael berpindah pada Hanna. Perempuan itu tergeletak, tak bergerak, berlumuran darah.
“Ya Tuhan,” ia mendesis.
Letnan Andrew juga tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ia balik menerjang Baron dan berusaha merebut pistol dari tangannya. Tapi lelaki berkulit gelap itu tak tinggal diam. Mereka bergumul, dan pistol kembali meledak. Tapi kali ini, Baron ambruk. Darah segar keluar dari dadanya yang tertembus peluru. Lelaki itu tak bergerak.
Rafael berlari dan bersimpuh di samping tubuh Hanna. Perempuan itu terdiam, matanya terpejam. Ia menatap dada perempuan itu yang berlumuran darah. Lelaki itu sesenggukan.
“Dimana kau terluka, sayang? Di mana?” ia bertanya seperti orang gila. Ia meraih tubuhnya dan memeluknya erat. Tangisnya pecah.
“Kumohon, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku seperti ini,” ia mendesis parau. Letnan Andrew berjongkok di samping mereka.
“Kita harus segera membawanya ke rumah sakit!” ia berteriak.

***

          Hanna mengalami luka parah di dadanya karena tembakan itu. Ia bahkan tak sadarkan diri hampir 2 hari. Tapi untunglah, ia sudah melewati masa kritis. Dan selama ini, Rafael senantiasa setia berada di sisinya.
“Syukurlah, dia sudah membaik,” ucap letnan Andrew ketika sore itu ia kembali mengunjunginya di rumah sakit. Rafael tersenyum, ia mengangguk. Ada gurat keletihan luar biasa di wajahnya.
“Pulanglah dulu, Raf. Kau perlu istirahat. Biar aku yang ganti menjaganya,” letnan tersebut menawarkan diri.
Rafael menggeleng.
“Tidak, pak. Terima kasih. Aku akan selalu ada di sampingnya. Aku ... aku terlalu takut meninggalkannya sendirian,” ucapnya.
“Aku pasti menjaganya dengan baik. Aku sudah menganggapnya sebagai putriku sendiri. Lagipula, Baron sudah tewas. Semoga tak ada yang mengincar nyawa Hanna lagi,” Letnan Andrew berusaha memberi penjelasan.
Rafael terdiam sesaat. “Apa berarti tugasnya sudah selesai? Maksudku, tugas sebagai informan,” lelaki itu memastikan.
Letnan Andrew manggut-manggut.
“Selesai tidak selesai, aku akan menganggapnya selesai. Sudah waktunya Hanna bahagia dengan memilih jalan hidupnya. Dan kuharap, kau bisa membahagiakannya,” ujarnya.
Rafael menghela nafas.
“Yakin kau tak ingin pulang dulu untuk beristirahat?”
Lelaki jangkung itu kembali menggeleng. “Terima kasih, pak. Tapi, aku akan tetap di sini sampai Hanna membuka mata,”  jawabnya.
Letnan Andrew tersenyum.
“Baiklah anak muda, kalau begitu, aku akan pergi,” ia pamit.
Rafael mengantarkannya keluar lalu kembali duduk di samping ranjang Hanna. Lelaki itu meraih tangan Hanna yang masih tak sadarkan diri, lalu mengecupnya dengan lembut. Dan, perempuan itu membuka mata dengan perlahan!
“Hanna?” Rafael nyaris memekik karena girang. Kedua mata Hanna mengerjap sesaat lalu menatap ke arah lelaki yang berada di sampingnya tersebut.
“Rafa ...?” ia memanggil lirih.
Rafael bangkit lalu mengecup keningnya dengan lembut. Dan tanpa sadar, air matanya menitik. Ia terlalu bahagia.
“Kupikir aku akan kehilangan dirimu, sayang,” desisnya lirih seraya menatap Hanna dengan lembut.
“Kupikir aku juga akan meninggalkanmu,” jawab Hanna lirih.
“It’s okay. Semua sudah baik-baik saja. Kau aman sekarang. Beristirahatlah,”
“Baron ... ?”
 Rafael menggenggam tangannya dengan lembut.  “Jangan khawatir, Letnan sudah membereskannya.” Jawabnya.
Kedua mata Hanna terpejam sesaat. Mulutnya komat-kamit mengucap syukur.
“Apa kau masih marah padaku?” Ia menatap Rafael dengan lemah.
“Kenapa aku harus marah padamu?” Rafael menatapnya dengan lembut.
“Karena kau tak mau bicara atau bahkan menemuiku,” kalimat Hanna terdengar parau. Rafael menggeleng. “Aku salah, Hanna. Tak seharusnya aku mengabaikannmu. Aku ...”
“Aku janji aku akan berhenti. Aku takkan jadi LC lagi. Aku takkan jadi informan lagi. Aku akan jadi satu-satunya yang aman buatmu. Aku ... apapun itu ....,” Kalimat Hanna terbata. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Sssttt .... “ Rafael membelai pipi perempuan itu dengan lembut. “Aku takkan lagi meninggalkanmu. Takkan pernah,” Rafael kembali mengecup kening Hanna dengan lembut. Air matanya kembali menitik.
“Setelah kau membaik, kita akan pergi. Aku akan membawamu sejauh mungkin dari tempat ini agar kejadian sialan beberapa hari yang lalu tak terulang lagi. Aku sudah menyiapkan segalanya. Kita akan ke Irlandia. Aku punya sebuah rumah di sana, dan kita akan menetap di sana selamanya karena aku juga sudah memutuskan untuk memindahkan bisnisku ke sana. Keluargamu, kau tak perlu mencemaskannya. Aku bersedia menanggung biaya pendidikan kedua adikmu. Percayalah padaku, kau bisa mengandalkanku, sayang. Oke?”
Air mata Hanna menitik.
“Kumohon jangan menolakku, Hanna. Ikutlah bersamaku, kita akan hidup bahagia di sana. Kita akan membuka lembaran baru, kehidupan baru. Kita akan memulai segalanya lagi dari awal, oke?”
Hanna menangis lirih. Keduanya berpandangan.
“Kau bersedia ‘kan?” Tanya Rafael lagi. Perlahan Hanna mengangguk. Ya, tidak diragukan lagi, ia akan mengikuti Rafael kemanapun ia pergi.
“Aku mencintaimu, Raf ...”
Rafael mengangguk, kembali menitikkan air mata. “Aku tahu. Karena akupun begitu.” Jawabnya.

Selesai.

Wiwin setyobekti.
Rejoso, 19-10-2013
23.58



p.s.
During my writer’s block. Jadi ending-nya klise, hahahaa......



Tidak ada komentar:

Posting Komentar