Tubuh
Rafael membeku manakala tatapannya terpaku pada salah satu dari mereka. Dia,
wanita paling cantik di antara mereka. Tinggi semampai, gaun seksi berwarna
merah, dengan rambut panjang yang
terurai indah.
Hanna!
Hal
serupa ternyata juga di alami perempuan tersebut. Ia menatap Rafael dengan ekspresi
yang sama. Kaget dan bingung!
“Helo, ladies!
Selamat datang. Temani kami untuk malam ini, oke?” Tanpa di duga, Will beranjak
mendekati Hanna, meraih tangannya, lalu mengajaknya duduk. Ia memeluk pundak perempuan
itu dengan erat hingga membuat Rafael tak nyaman. Hanna tak bersuara. Ia
terlihat canggung dan bingung. Tatapan matanya tak fokus. Kadang-kadang ke arah
Will, lalu kembali lagi ke arah Rafael, kemudian menunduk.
“Ayolah, Raf.
Jangan buru-buru pulang. Atau kau akan menyesal. Pilihlah dua di antara mereka,
mereka cantik-cantik sekali. Dan kau akan senang malam ini,” ucap Yohan.
Tatapan mata
Rafael tak beralih dari Hanna. Ia menatap perempuan itu nyaris tanpa berkedip. “Aku
mau dia,” ucapnya kemudian seraya menunjuk ke arah Hanna.
Will
tampak kaget, sementara Hanna hanya terus menunduk, kikuk.
“Dia? Elizabeth?
Oh, maaf sekali. Aku sudah memesannya secara khusus, Raf,” jawab Will.
Rafael tertawa
sinis. “Oh, jadi namanya Elizabeth?” Ia mendekati Hanna lalu menatapnya dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Bibirnya berdecak tak percaya. “Elizabeth?” Ia
kembali menggumam sinis. “Oke, aku mau dia yang menemaniku. Perempuan bernama
Elizabeth ini. Aku mau dia, atau tidak sama sekali,” ucap Rafael lagi. Will
tampak keberatan.
“Rafael, ini
...”
“Berapa harganya?
Akan ku kembalikan uangmu, tiga kali lipat,” Rafael bersikukuh. Will terdiam
sesaat, menatap kembali ke arah Hanna. Terlihat menimbang-nimbang.
“Empat kali
lipat,” Rafael menambahkan.
“Oke,” Will menjawab
cepat. Ia melepaskan pelukannya dari Hanna. Tanpa banyak bicara, Rafael
beranjak dan meraih tangan Hanna.
“Ikut denganku,”
ia seakan memberi perintah lalu menarik lengan
perempuan tersebut.
“Hei, kau mau
kemana?” tanya Yohan dan Will hampir bersamaan.
“Aku perlu
tempat khusus untuk menikmati waktuku dengan perempuan ini,” jawabnya seraya
beranjak meninggalkan ruangan tersebut. Hanna tak bersuara. Ia hanya terdiam
seraya mengikuti lelaki tersebut, bahkan ketika ia membawanya ke toilet pria karena
tempat itu tempat paling dekat dengan ruang yang mereka sewa.
Ia
membuka pintu dengan kasar. Beberapa orang yang berada di tempat tersebut mulai
protes dan marah.
“Aku harus
bicara dengan perempuan ini. Suasana hatiku sedang tidak baik. Jadi, kuharap
kalian mau meninggalkan tempat ini. Aku hanya perlu beberapa menit saja,
kumohon. Aku tidak akan sungkan untuk membuat keributan di sini jika ada yang
membantahku. Percayalah, suasana hatiku sedang tidak baik,” suara Rafael
terdengar tertahan karena menahan amarah. Beberapa orang di sana memutuskan
untuk keluar untuk menghindari keributan setelah melihat lelaki yang tengah
dirasuki amarah tersebut. Rafael segera menutup pintu dengan kasar. Matanya
berkilat tajam ke arah Hanna. Perempuan itu tak bersuara.
“Apa yang kau
lakukan di sini?!” ia membentak. Hanna menelan ludah. Tak mampu menjawab.
“Apa yang kau
lakukan di sini, Hanna?!” ia kembali membentak.
“Aku ...
bekerja,” jawabnya.
“Bekerja?
Sebenarnya apa pekerjaanmu? Bukankah kau hanya seorang pelayan restoran?”
“Ini juga
pekerjaanku,” jawab Hanna. Rafael menatapnya dengan jijik.
“Pelacur?”
Hanna menggigit
bibirnya sesaat.
“Aku akan
menjelaskan semuanya. Tapi tidak sekarang, tidak di sini,”
“Masih perlukah
kau menjelaskannya?”
Hanna terdiam.
“Aku pasti akan
menjelaskannya,” jawabnya kemudian. Rafael tersenyum sinis. Ia mengacak-acak
rambutnya dengan frustasi.
“Siapa kau
sebenarnya? Hanna? Elizabeth?”
“Hanna,” jawab
Hanna cepat.
“Aku tak percaya
padamu,” ucapnya. Tatapan matanya tampak berkaca-kaca.
“Kenapa kau
lakukan ini padaku?!” Rafael menendang tempat sampah dengan kasar.
Hanna merasakan
air matanya menitik. Rafael menatapnya dengan putus asa.“Kau ... bedebah,
Hanna!” ia mengumpat lalu melangkahkan kakinya meninggalkan toilet tersebut.
Hanna berdiri mematung. Air matanya kembali menetes. Ia baru saja akan
melangkahkan kakinya, ketika Sekian menit kemudian ia dibuat terkejut ketika
Rafael kembali menemuinya.
Lelaki itu
menatap Hanna dengan bingung. Ia mendesah.
“Kita pulang,”
ia menarik tangan Hanna kembali dan mengajak perempuan itu meninggalkan tempat
hiburan tersebut. Mereka pulang ke rumah Rafael dengan naik taksi. Dan tak ada
pembicaraan apapun sampai mereka tiba di rumah.
Rafael
melepas jaketnya dan melemparkannya ke kursi dengan kesal. Ia kembali menatap
Hanna yang tetap terdiam bak patung.
“Oke, jelaskan
padaku sekarang apa yang ingin kau jelaskan,” suaranya terdengar bergetar.
Hanna mendongak
dan menatap Rafael. Kedua matanya tampak berkaca-kaca.
“Aku tak
bermaksud menyembunyikan hal ini padamu. Aku hanya belum menemukan waktu yang
tepat untuk menceritakannya,” ucapnya.
“Jadi, siapa kau
sebenarnya?”
“Hanna. Itu
namaku yang sebenarnya. Elizabeth hanya nama samaran. Setiap pagi sampai sore
aku memang bekerja sebagai pelayan restoran. Dan malamnya, tidak setiap malam,
tergantung panggilan saja, aku bekerja di tempat hiburan sebagai ... LC,”
Kening Rafael
berkerut. “Ladies Companion? Purel?”
Hanna
mengangguk.
“Aku hanya
menemani tamu minum-minum, mengobrol, dan menemani mereka berkaraoke. Hanya
sebatas itu,”
“Apa kau juga
menjual tubuhmu?” Gigi Rafael bergemerutuk
“Tidak!” Hanna
menjawab tegas. “Tugasku hanya menemani para tamu. Tapi aku tidak pernah
menjual tubuhku,”
Rafael terkekeh.
“Hanna, aku
memang tidak terlalu hafal dengan dunia malam. Tapi apa kau pikir aku percaya
jika kau mengatakan kau tak menjual tubuhmu? Semua tamumu adalah hidung belang.
Tak mungkin mereka tak menginginkan lebih darimu,” ucapnya sinis.
“Aku punya
batasan-batasan dalam pekerjaanku. Hal terjauh yang pernah kulakukan dengan
tamuku hanyalah ciuman, tak lebih. Jika ada yang menginginkan lebih dari itu,
aku akan menolaknya,” Hanna melakukan bantahan.
Rafael menatap
perempuan cantik di hadapannya dengan gamang.
“Kenapa kau
lakukan ini, Han? Kenapa kau harus melakukan pekerjaan ini?” Ia
menggeleng-geleng kesal.
“Kau tahu aku
adalah tulang punggung keluarga. Aku masih punya 2 adik yang harus kubiayai
pendidikannya. Dan gajiku sebagai pelayan restoran tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhannya. Jadi, ketika ada yang menawarkan pekerjaan itu dengan gaji yang
lumayan, akupun menerimanya,” Jawab Hanna.
“Siapa lagi yang
tahu pekerjaanmu?”
“Hanya Ella?”
“Apa dia juga
seorang LC sepertimu?”
“Ya, tapi ia
sudah berhenti. Kontraknya sudah berakhir sejak beberapa bulan yang lalu,”
“Dan kau,
tidakkah kau terpikir untuk berhenti?”
“Tentu, aku
berniat berhenti, terutama sejak aku mengenalmu. Tapi, aku tak bisa berhenti
semudah itu. Aku harus menunggu sampai kontrakku berakhir,”
“Sampai kapan?”
“Entahlah, aku
tidak hafal,”
Rafael tersenyum
sinis.
“Aku tak percaya
padamu,” ucapnya.
“Aku
sungguh-sungguh, Raf. Aku mengatakan hal yang benar padamu,”
“Kalau begitu,
akhiri saja kontraknya. Aku bersedia membayar denda atas pemutusan kontrak
tersebut,”
“Ini tidak
semudah itu. Ada alasan yang membuatku harus menyelesaikan kontrak tersebut,”
“Kalau begitu,
katakan alasannya!” Bentak Rafael.
Hanna terdiam.
“Kau tak bisa
bicara ‘kan? Kau pasti membohongiku,”
“Rafael, ku
mohon...”
“Keluar,”
“Apa?”
“Keluar dari
rumahku!” Lelaki itu kembali membentak.
“Raf?”
“Aku ingin
sendiri,” Rafael membalikan tubuhnya membelakangi Hanna. Kedua matanya tampak
berkaca-kaca.
“Terserah apa
yang kau pikirkan tentangku. Pekerjaanku mungkin kotor. Tapi percayalah, aku
tak pernah menjual tubuhku. Tidak pernah! Aku tidak pernah tidur dengan tamuku,
bahkan jika mereka menawariku uang atau bahkan kemewahan!” Hanna nyaris
berteriak. Ia beranjak.
Rafael menekan
pangkal hidungnya dengan frustasi. Air matanya menitik. Alih-alih membiarkan
Hanna pergi, ia malah berbalik, mengejar Hanna dan menghadang langkahnya.
“Kumohon, Hanna.
Aku mencintaimu dan aku tidak ingin kita seperti ini,” ia memelas seraya meraih
pinggang Hanna, memeluknya dengan erat dan mencium bibirnya dengan kasar
sebelum Hanna sempat berkata-kata. Tidak hanya sampai di situ, tanpa melepaskan
ciuman mereka, ia mengangkat tubuh Hanna, menggendongnya lalu membawanya ke
ranjang. Dan untuk yang pertama kalinya, malam itu mereka bercinta.
***
Sinar matahari menyeruak masuk
melewati jendela kamar. Rafael dan Hanna sudah terbangun sejak beberapa menit
yang lalu tapi mereka enggan beranjak dari tempat tidur. Hanna bergelung di
bawah selimut, begitu pula dengan Rafael. Mereka terus saja berbaring, berhadap-hadapan,
dan saling memandang.
“Maafkan aku,”
Hanna membuka suara.
“Aku tidak
bermaksud menyembunyikan ini darimu. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk
memberitahumu. Lagipula, aku sudah berencana berhenti dari pekerjaan ini sejak
aku menjadi kekasihmu. Hanya saja, ini masih perlu proses,” lanjutnya.
Rafael menyentuh
pipi Hanna dengan lembut.
“Aku hanya tak
sanggup membayangkan dirimu tidur dengan lelaki lain. Jangankan tidur,
membayangkan mereka menyentuhmu saja, aku terluka,” ujar Rafael parau.
“Maafkan aku,”
Hanna meraih tangan Rafael yang berada di pipinya, lalu mengecupnya,
berulang-ulang.
“Aku janji, aku
tidak akan melakukan hal-hal semacam itu. Percayalah, aku milikmu. Hanya
milikmu. Tapi, biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku sampai kontrakku selesai
dan aku punya cukup tabungan untuk membiayai pendidikan adik-adikku. Kumohon
... jangan membenciku dengan pekerjaan ini.” Hanna terdengar mengiba hingga
membuat nafas Rafael tertahan sesaat.
“Aku takkan bisa
membencimu, Hanna. Kau wanita pertama dan satu-satunya yang bisa membuatku
bahagia.” ucapnya lembut.“Setidaknya, beritahu padaku masih berapa lama lagi
kau akan bekerja seperti ini. Jika itu masih terlalu lama buatku, tolong
biarkan aku mengurus kontrakmu. Aku tidak akan keberatan untuk membayar denda
pemutusan kontrakmu, Oke?” Lelaki itu beringsut lalu memeluk Hanna dengan erat.
Ia merasakan Hanna mengangguk dalam dekapannya.
***
Phonsel Hanna berdering berkali-kali.
Ada puluhan pesan singkat masuk ke inbox-nya.
Ia sempat melirik sekilas ke arah layar, dari ‘Boss’. Tapi ia enggan
mengangkat telpon atau bahkan membuka
pesan singkat. Perempuan itu duduk tercenung tanpa semangat di depan jendela
kamarnya. Tatapan matanya sayu, terlihat bingung.
“Hanna,
phonselmu! Kau tak mendengarnya?” Ella muncul dari balik pintu.
“Biarkan saja,”
jawab Hanna. Ella mengernyit seraya melangkahkan kakinya mendekati Hanna dan
duduk di sampingnya.
“Ada apa
denganmu? Beberapa hari terakhir ini kau kelihatan seperti zombie. Kau tak
fokus, pekerjaanmu bahkan berantakan. Ada apa?” ia bertanya lembut.
“Tidak ada.
Hanya ... aku perlu istirahat saja,” Jawab Hanna.
Ella mendesah.
“Minggu depan
adalah hari pernikahanku. Dan aku tak mau kau menghadiri pernikahanku dengan
tampang lusuh seperti orang yang patah hati begini,” protesnya.
Hanna tersenyum
tipis.
“Aku akan
baik-baik saja di pesta pernikahanmu. Oke?”
Ella menatap
sahabatnya dengan heran.
“Apa kau
bertengkar dengan Rafael?” Ia memberanikan diri untuk menanyakannya. Hanna tak
segera menjawab.
“Kalian ada
masalah?”
Hanna menggigit
bibirnya sesaat sebelum menjawab.
“Tidak. Tapi ...
ya, kami memang punya sedikit masalah. Bukan hal yang serius. Kami akan mencoba
untuk selalu memperbaikinya,”
“Kau bisa cerita
padaku jika butuh teman untuk cerita,”
“Terima kasih.
Tapi ... aku baik-baik saja,” jawab Hanna. Ella menatap sahabatnya dengan tidak
yakin.
“Sungguh, aku
baik-baik saja. Tapi ...” kalimat Hanna berhenti. Ia berusaha meyikinkan Ella,
tapi ia gagal. Perempuan itu menarik nafas dalam.
“Dia tahu kalau
aku seorang LC,” ucapnya berat.
Ella melotot.
“Maksudmu, dia baru tahu?” Perempuan itu tampak terkejut.
Hanna
mengangguk.
“Memangnya kau
tak cerita dari awal tentang pekerjaan ini?” Ia bertanya heran.
Hanna
menggeleng. “Sebenarnya aku ingin cerita hanya saja aku tak tahu harus mulai
darimana. Aku hanya takut ia meninggalkanku kalau tahu pekerjaan itu,”
“Hanna, kau yang
bilang bahwa kekuatan cinta akan mengalahkan segalanya. Status dan pekerjaan
tidak penting, yang penting adalah cinta dan saling percaya. Kau sendiri ‘kan
yang bilang begitu? Apa kau lupa?”
“Aku tahu, tapi
ternyata semua tidak semudah itu,”
“Jadi?”
“Dia sudah tahu.
Tapi dia memaafkanku dan tetap mau menerimaku,”
“Itu bagus,
berarti dia tulus mencintaimu,”
“Aku tahu. Tapi,
tetap saja aku tak enak hati denganya. Aku pasti telah melukainya karena
membohonginya. Hubungan kami sedikit ... tak nyaman. Ah, andaikan saja aku
jujur dari awal dan dia tak sampai tahu dengan caranya sendiri, pasti hubungan
kami tak akan seperti ini,” Hanna mengelus-elus keningnya sendiri. Ella
mendesah.
“Aku tetap
yakin, Rafael adalah lelaki yang terbaik untukmu. Hanna, sebenarnya aku ingin
mengobrol banyak denganmu. Tapi, aku harus segera menemui Andre. Banyak hal
yang harus kami kerjakan hari ini,” Ella meminta maaf. Hanna tersenyum.
“It’s oke. Pergi
saja, dan maaf karena aku tak bisa banyak membantu untuk menyiapkan
pernikahanmu,”
“Kau sudah
banyak membantuku, jadi tenang saja,” Ella bangkit.
“Kau akan
menginap di rumahnya lagi?”
Ella mengangguk.
“Menginaplah di
rumah Rafael jika kau tak mau sendirian di rumah,”
Hanna hanya
mengangguk-angguk. Ella pamit untuk meninggalkan dirinya. Dan setelah
sahabatnya pergi, Hanna kembali seperti zombie. Phonselnya terus berdering, dan
ia tak menggubrisnya. Perempuan itu beranjak dan menjatuhkan tubuhnya di tempat
tidur. Dan tak lama kemudian, ia terlelap.
Hanna bangun tepat jam 7 malam, sesaat
sebelum Rafael datang ke rumahnya.
“Astaga, apa kau
tidur di jam-jam begini?” Lelaki itu bertanya dengan heran. Hanna hanya meringis
seraya merapikan rambutnya.
“Mm, aku
ketiduran,” jawabnya.
“Oh, pantas,”
Rafael mencondongkan tubuhnya lalu mengecup bibir Hanna dengan lembut.
“Apanya?” Hanna
mengernyitkan dahinya.
“Kau selalu
terlihat cantik, terutama ketika bangun tidur,” jawab Rafael sambil tersenyum.
Hanna tergelak.
“Pembohong.
Semua wanita selalu terlihat berantakan ketika bangun tidur,” ucapnya.
“Tapi kau tidak.
kau bahkan terlihat cantik ketika bangun tidur,” Rafael membela. Pipi Hanna
tampak merona. Ia menggamit lengan Rafael dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
“Tumben kau
datang tanpa memberitahuku?” Perempuan bermata indah bertanya. Rafael mendesah.
“Aku menelponmu,
berkali-kali. Aku juga mengirimu pesan pendek, berkali-kali pula. Kau tak
tahu?”
“Oh ya?”
Rafael
mengangguk. Hanna menatapnya dengan tatapan menyesal.
“Oh, maaf. Aku
pasti tak mendengarnya. Memangnya ada apa?”
“Bersiap-siaplah
dan berdandanlah yang cantik. Aku ingin mengajakmu makan malam,” jawab Rafael.
“Di rumahmu?”
“Tidak. aku
sudah memesan tempat khusus di sebuah restoran. Aku ingin mengajakmu makan
malam dengan suasana yang berbeda. Kau bisa ‘kan?”
Hanna
manggut-manggut.
“Baiklah, aku
bersiap-siap dulu,” ucapnya seraya bergerak ke kamar mandi. Rafael melangkahkan
kakinya menuju kamar Hanna dan berbaring di ranjangnya. Selama ia menunggu
Hanna mandi, ia mendengar phonsel Hanna yang tergeletak di meja berdering
berkali-kali. Ia sempat melihat ke layar phonsel. Tulisan ‘Boss memanggil’
tertera di sana. Lelaki itu sempat berniat untuk mengangkat telpon tersebut,
tapi ia urung melakukannya.
***
Rafael dan Hanna sampai di restoran
yang telah di pesan tepat jam 9 malam. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Rafael, ia menjanjikan sebuah candle light dinner yang romantis, mewah, dan
pribadi. Lelaki itu bahkan sudah menyewa ruangan khusus yang begitu elegan dan
luas. Ia juga memesan hidangan yang terlihat mahal.
“Harusnya kau tak
perlu melakukan hal seperti ini,” ucap Hanna dengan nada sedikit protes seraya
menatap sekelilingnya dengan takjub. Rafael tersenyum.
“Bukankah aku
sudah bilang, kita perlu waktu untuk menikmati makan malam berdua dengan
suasana yang berbeda. Dan, kau layak mendapatkan semua ini,” jawab lelaki itu
lembut.
Hanna terdiam.
“Ayolah, sayang.
Aku menyiapkan semua ini untukmu, nikmatilah,”
Kalimat itu
memaksa senyum di bibir Hanna. Malam itu ia memang menikmati hidangan yang
disiapkan. Tapi terlihat dengan jelas bahwa perempuan itu sedang memikirkan
sesuatu. Dan mau tak mau, hal itu membuat Rafael harus kembali bertanya.
“Ada sesuatu?”
tatapan matanya yang teduh menatap langsung ke arah Hanna.
Hanna menatapnya
dengan sedikit canggung.
“Aku ingin
bicara sesuatu, Raf,” ucapnya sedikit
ragu. Rafael menatapnya dengan dalam.
“Oke, aku
mendengarkan,” jawabnya. Hanna menggigit bibirnya sesaat sebelum kembali
menatap Rafael.
“Tidakkah kita
harus kembali membicarakan hubungan kita? Beberapa hari ini aku merenung, aku
mencoba mengoreksi diriku sendiri. Dan setelah kupikir berulang-ulang,
sepertinya perempuan seperti aku memang tak pantas menerima cintamu,” ucap
Hanna kemudian. Rafael melotot.
“Apa maksudmu?
Kita sudah bicarakan ini ‘kan? Bukankah kau bilang kau akan segera
menyelesaikan kontrakmu? Aku memahami pekerjaanmu dan aku memaafkanmu. Kita
akan baik-baik saja Hanna,” nada suara Rafael terdengar cemas.
“Itulah kenapa
aku ... merasa tak enak padamu. Kau baik, dan kau layak mendapatkan perempuan
yang lebih baik dariku,”
“Kau tak
mencintaiku lagi?”
“Aku
mencintaimu,” jawab Hanna cepat.
“Jadi?
Sudah cukup ‘kan? Kita saling mencintai.
Aku menerimamu, apapun dirimu dan kita tidak akan berpisah. Jangan dibahas
lagi, kumohon,” Rafael menatap perempuan itu dengan sungguh-sungguh hingga
membuat Hanna kembali tak berkutik. Sebenarnya banyak yang ingin ia katakan
pada lelaki itu malam ini, tapi, tatapan mata Rafael yang teduh benar-benar
membuyarkan rencananya. Ia benar-benar tak berdaya.
“Aku ingin ke
kamar mandi,” katanya kemudian dengan putus asa seraya beranjak. Rafael hanya
mengangguk mengiyakan. Setelah perempuan itu pergi, ia mendengar phonsel Hanna
yang berada di dalam tasnya berdering. Sebenarnya phonsel itu sudah berdering
beberapa kali, sejak mereka masih di rumah dan juga dalam perjalanan ke tempat
ini. Tapi entah kenapa, Hanna sengaja mengacuhkannya. Ia sudah memberitahu pada
perempuan itu tentang dering phonsel tersebut, beberapa kali, dan jawaban Hanna
tetap sama. “Abaikan saja,”
Kali inipun,
Rafael juga ingin mengabaikannya. Tapi entah kenapa, ia tak bisa menghentikan
tangannya untuk membuka tas Hanna lalu meraih phonsel tersebut. Tampak di layar
sebuah nama ‘Boss’ tengah memanggil berulang-ulang. Rafael memicingkan matanya.
Apakah itu Bos nya dalam bekerja sebagai wanita hiburan?
Rafael berniat
menjawab telepon tersebut, tapi keburu berhenti. Yang ia lihat selanjutnya
adalah puluhan pesan singkat yang belum sempat dibaca. Dan ia kembali tak bisa
menghentikan tangannya untuk membuka satu persatu pesan singkat tersebut, yang
rupanya berasal dari nomor yang sama.
Ia baru membaca
beberapa pesan. Tapi isi dalam pesan singkat tersebut benar-benar membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak.
Dimana
kau?
Angkat
telponku!
Baron
sudah tahu identitasmu dan sekarang ia mencarimu.
Berhati-hatilah.
Jangan
keluar rumah!
Kau
dalam bahaya!
Angkat
telponku, sialan!
Apa
kau baik-baik saja?
Rafael merasakan
tangannya gemetar ketika membaca tulisan tersebut. Siapa dia? Baron siapa?
Kenapa mencari Hanna? Ia dalam bahaya?!
Phonsel dalam
genggaman Rafael nyaris terlempar ketika tiba-tiba berdering. Lagi, dari ‘Bos’.
Dan tanpa berpikir dua kali, ia menjawab telepon tersebut.
“Halo,
dimana kau, Hanna? Kau baik-baik saja ‘kan?” terdengar suara
lelaki dari seberang sana.
“Siapa kau?”
Rafael bertanya. Sesaat tak ada jawaban.
“Siapa
kau?”
lelaki itu balik bertanya.
“Kau sendiri
siapa?”
“Dimana
Hanna?”
“Ia tidak di
sini,”
“Di
mana dia?”
“Siapa kau
sebenarnya? Kenapa kau harus mencarinya?”
“Siapa
aku dan siapa kau tidak penting sekarang! Yang terpenting adalah, dimana
Hanna!? Dia dalam bahaya dan aku harus memastikan bahwa dia baik-baik saja, sialan!
Cepat berikan phonselnya padanya, brengsek!!” lelaki di
seberang sana membentak. Rafael menutup pembicaraan dan segera bangkit,
melangkahkan kakinya menuju toilet wanita untuk mencari Hanna.
Ketika ia sampai
di sana, toilet wanita terkunci dari dalam dan terdengar suara keributan di
dalam. Dan tanpa banyak pertimbangan, Rafael mendobrak pintu tersebut hingga
roboh.
Dan apa yang ia
khawatirkan memang terjadi. Tampak olehnya Hanna sedang terlibat keributan
dengan seorang lelaki berpostur tinggi yang memaki jaket tebal dan topi. Mereka
bergumul di lantai. Lelaki itu berusaha menyerang dan menyakiti Hanna, tapi
Hanna pandai berkelit dan membela diri.
Meskipun beberapa kali ia sempat menerima pukulan.
“Apa yang kau
lakukan?!” Rafael berlari, menerjang ke arah lelaki tersebut lalu menghempaskan
tubuhnya ke tembok. Dan Hanna pun segera bangkit. Lelaki bertubuh besar itu berusaha
menyerang Rafael, namun Rafael mampu menangkisnya dengan mudah. Alih-alih terus
melakukan perlawanan, lelaki itu memutuskan kabur. Dan Rafael tak berniat untuk
mengejarnya karena ia lebih tertarik untuk mengetahui keadaan Hanna. Tapi, ia
bahkan belum sempat bertanya apa-apa padanya ketika perempuan itu tiba-tiba
ambruk tak sadarkan diri dengan hidung dan mulut berdarah karena terkena
pukulan.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar