Minggu, 12 April 2015

Hanna - Part 3



Tubuh Rafael membeku manakala tatapannya terpaku pada salah satu dari mereka. Dia, wanita paling cantik di antara mereka. Tinggi semampai, gaun seksi berwarna merah,  dengan rambut panjang yang terurai indah.
 Hanna!
Hal serupa ternyata juga di alami perempuan tersebut. Ia menatap Rafael dengan ekspresi yang sama. Kaget dan bingung!
“Helo, ladies! Selamat datang. Temani kami untuk malam ini, oke?” Tanpa di duga, Will beranjak mendekati Hanna, meraih tangannya, lalu mengajaknya duduk. Ia memeluk pundak perempuan itu dengan erat hingga membuat Rafael tak nyaman. Hanna tak bersuara. Ia terlihat canggung dan bingung. Tatapan matanya tak fokus. Kadang-kadang ke arah Will, lalu kembali lagi ke arah Rafael, kemudian menunduk.
“Ayolah, Raf. Jangan buru-buru pulang. Atau kau akan menyesal. Pilihlah dua di antara mereka, mereka cantik-cantik sekali. Dan kau akan senang malam ini,” ucap Yohan.
Tatapan mata Rafael tak beralih dari Hanna. Ia menatap perempuan itu nyaris tanpa berkedip. “Aku mau dia,” ucapnya kemudian seraya menunjuk ke arah Hanna.
Will tampak kaget, sementara Hanna hanya terus menunduk, kikuk.
“Dia? Elizabeth? Oh, maaf sekali. Aku sudah memesannya secara khusus, Raf,” jawab Will.
Rafael tertawa sinis. “Oh, jadi namanya Elizabeth?” Ia mendekati Hanna lalu menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bibirnya berdecak tak percaya. “Elizabeth?” Ia kembali menggumam sinis. “Oke, aku mau dia yang menemaniku. Perempuan bernama Elizabeth ini. Aku mau dia, atau tidak sama sekali,” ucap Rafael lagi. Will tampak keberatan.
“Rafael, ini ...”
“Berapa harganya? Akan ku kembalikan uangmu, tiga kali lipat,” Rafael bersikukuh. Will terdiam sesaat, menatap kembali ke arah Hanna. Terlihat menimbang-nimbang.
“Empat kali lipat,” Rafael menambahkan.
“Oke,” Will menjawab cepat. Ia melepaskan pelukannya dari Hanna. Tanpa banyak bicara, Rafael beranjak dan meraih tangan Hanna.
“Ikut denganku,” ia seakan memberi perintah lalu menarik lengan  perempuan  tersebut.
“Hei, kau mau kemana?” tanya Yohan dan Will hampir bersamaan.
“Aku perlu tempat khusus untuk menikmati waktuku dengan perempuan ini,” jawabnya seraya beranjak meninggalkan ruangan tersebut. Hanna tak bersuara. Ia hanya terdiam seraya mengikuti lelaki tersebut, bahkan ketika ia membawanya ke toilet pria karena tempat itu tempat paling dekat dengan ruang yang mereka sewa.
Ia membuka pintu dengan kasar. Beberapa orang yang berada di tempat tersebut mulai protes dan marah.
“Aku harus bicara dengan perempuan ini. Suasana hatiku sedang tidak baik. Jadi, kuharap kalian mau meninggalkan tempat ini. Aku hanya perlu beberapa menit saja, kumohon. Aku tidak akan sungkan untuk membuat keributan di sini jika ada yang membantahku. Percayalah, suasana hatiku sedang tidak baik,” suara Rafael terdengar tertahan karena menahan amarah. Beberapa orang di sana memutuskan untuk keluar untuk menghindari keributan setelah melihat lelaki yang tengah dirasuki amarah tersebut. Rafael segera menutup pintu dengan kasar. Matanya berkilat tajam ke arah Hanna. Perempuan itu tak bersuara.
“Apa yang kau lakukan di sini?!” ia membentak. Hanna menelan ludah. Tak mampu menjawab.
“Apa yang kau lakukan di sini, Hanna?!” ia kembali membentak.
“Aku ... bekerja,” jawabnya.
“Bekerja? Sebenarnya apa pekerjaanmu? Bukankah kau hanya seorang pelayan restoran?”
“Ini juga pekerjaanku,” jawab Hanna. Rafael menatapnya dengan jijik.
“Pelacur?”
Hanna menggigit bibirnya sesaat.
“Aku akan menjelaskan semuanya. Tapi tidak sekarang, tidak di sini,”
“Masih perlukah kau menjelaskannya?”
Hanna terdiam.
“Aku pasti akan menjelaskannya,” jawabnya kemudian. Rafael tersenyum sinis. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.
“Siapa kau sebenarnya? Hanna? Elizabeth?”
“Hanna,” jawab Hanna cepat.
“Aku tak percaya padamu,” ucapnya. Tatapan matanya tampak berkaca-kaca.
“Kenapa kau lakukan ini padaku?!” Rafael menendang tempat sampah dengan kasar.
Hanna merasakan air matanya menitik. Rafael menatapnya dengan putus asa.“Kau ... bedebah, Hanna!” ia mengumpat lalu melangkahkan kakinya meninggalkan toilet tersebut. Hanna berdiri mematung. Air matanya kembali menetes. Ia baru saja akan melangkahkan kakinya, ketika Sekian menit kemudian ia dibuat terkejut ketika Rafael kembali menemuinya.
Lelaki itu menatap Hanna dengan bingung. Ia mendesah.
“Kita pulang,” ia menarik tangan Hanna kembali dan mengajak perempuan itu meninggalkan tempat hiburan tersebut. Mereka pulang ke rumah Rafael dengan naik taksi. Dan tak ada pembicaraan apapun sampai mereka tiba di rumah.
Rafael melepas jaketnya dan melemparkannya ke kursi dengan kesal. Ia kembali menatap Hanna yang tetap terdiam bak patung. 
“Oke, jelaskan padaku sekarang apa yang ingin kau jelaskan,” suaranya terdengar bergetar.
Hanna mendongak dan menatap Rafael. Kedua matanya tampak berkaca-kaca.
“Aku tak bermaksud menyembunyikan hal ini padamu. Aku hanya belum menemukan waktu yang tepat untuk menceritakannya,” ucapnya.
“Jadi, siapa kau sebenarnya?”
“Hanna. Itu namaku yang sebenarnya. Elizabeth hanya nama samaran. Setiap pagi sampai sore aku memang bekerja sebagai pelayan restoran. Dan malamnya, tidak setiap malam, tergantung panggilan saja, aku bekerja di tempat hiburan sebagai ... LC,”
Kening Rafael berkerut. “Ladies Companion? Purel?”
Hanna mengangguk.
“Aku hanya menemani tamu minum-minum, mengobrol, dan menemani mereka berkaraoke. Hanya sebatas itu,”
“Apa kau juga menjual tubuhmu?” Gigi Rafael bergemerutuk
“Tidak!” Hanna menjawab tegas. “Tugasku hanya menemani para tamu. Tapi aku tidak pernah menjual tubuhku,”
Rafael terkekeh.
“Hanna, aku memang tidak terlalu hafal dengan dunia malam. Tapi apa kau pikir aku percaya jika kau mengatakan kau tak menjual tubuhmu? Semua tamumu adalah hidung belang. Tak mungkin mereka tak menginginkan lebih darimu,” ucapnya sinis.
“Aku punya batasan-batasan dalam pekerjaanku. Hal terjauh yang pernah kulakukan dengan tamuku hanyalah ciuman, tak lebih. Jika ada yang menginginkan lebih dari itu, aku akan menolaknya,” Hanna melakukan bantahan.
Rafael menatap perempuan cantik di hadapannya dengan gamang.
“Kenapa kau lakukan ini, Han? Kenapa kau harus melakukan pekerjaan ini?” Ia menggeleng-geleng kesal.
“Kau tahu aku adalah tulang punggung keluarga. Aku masih punya 2 adik yang harus kubiayai pendidikannya. Dan gajiku sebagai pelayan restoran tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi, ketika ada yang menawarkan pekerjaan itu dengan gaji yang lumayan, akupun menerimanya,” Jawab Hanna.
“Siapa lagi yang tahu pekerjaanmu?”
“Hanya Ella?”
“Apa dia juga seorang LC sepertimu?”
“Ya, tapi ia sudah berhenti. Kontraknya sudah berakhir sejak beberapa bulan yang lalu,”
“Dan kau, tidakkah kau terpikir untuk berhenti?”
“Tentu, aku berniat berhenti, terutama sejak aku mengenalmu. Tapi, aku tak bisa berhenti semudah itu. Aku harus menunggu sampai kontrakku berakhir,”
“Sampai kapan?”
“Entahlah, aku tidak hafal,”
Rafael tersenyum sinis.
“Aku tak percaya padamu,” ucapnya.
“Aku sungguh-sungguh, Raf. Aku mengatakan hal yang benar padamu,”
“Kalau begitu, akhiri saja kontraknya. Aku bersedia membayar denda atas pemutusan kontrak tersebut,”
“Ini tidak semudah itu. Ada alasan yang membuatku harus menyelesaikan kontrak tersebut,”
“Kalau begitu, katakan alasannya!” Bentak Rafael.
Hanna terdiam.
“Kau tak bisa bicara ‘kan? Kau pasti membohongiku,”
“Rafael, ku mohon...”
“Keluar,”
“Apa?”
“Keluar dari rumahku!” Lelaki itu kembali membentak.
“Raf?”
“Aku ingin sendiri,” Rafael membalikan tubuhnya membelakangi Hanna. Kedua matanya tampak berkaca-kaca.
“Terserah apa yang kau pikirkan tentangku. Pekerjaanku mungkin kotor. Tapi percayalah, aku tak pernah menjual tubuhku. Tidak pernah! Aku tidak pernah tidur dengan tamuku, bahkan jika mereka menawariku uang atau bahkan kemewahan!” Hanna nyaris berteriak. Ia beranjak.
Rafael menekan pangkal hidungnya dengan frustasi. Air matanya menitik. Alih-alih membiarkan Hanna pergi, ia malah berbalik, mengejar Hanna dan menghadang langkahnya.
“Kumohon, Hanna. Aku mencintaimu dan aku tidak ingin kita seperti ini,” ia memelas seraya meraih pinggang Hanna, memeluknya dengan erat dan mencium bibirnya dengan kasar sebelum Hanna sempat berkata-kata. Tidak hanya sampai di situ, tanpa melepaskan ciuman mereka, ia mengangkat tubuh Hanna, menggendongnya lalu membawanya ke ranjang. Dan untuk yang pertama kalinya, malam itu mereka bercinta.

***

          Sinar matahari menyeruak masuk melewati jendela kamar. Rafael dan Hanna sudah terbangun sejak beberapa menit yang lalu tapi mereka enggan beranjak dari tempat tidur. Hanna bergelung di bawah selimut, begitu pula dengan Rafael. Mereka terus saja berbaring, berhadap-hadapan, dan saling memandang.
“Maafkan aku,” Hanna membuka suara.
“Aku tidak bermaksud menyembunyikan ini darimu. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk memberitahumu. Lagipula, aku sudah berencana berhenti dari pekerjaan ini sejak aku menjadi kekasihmu. Hanya saja, ini masih perlu proses,” lanjutnya.
Rafael menyentuh pipi Hanna dengan lembut.
“Aku hanya tak sanggup membayangkan dirimu tidur dengan lelaki lain. Jangankan tidur, membayangkan mereka menyentuhmu saja, aku terluka,” ujar Rafael parau.
“Maafkan aku,” Hanna meraih tangan Rafael yang berada di pipinya, lalu mengecupnya, berulang-ulang.
“Aku janji, aku tidak akan melakukan hal-hal semacam itu. Percayalah, aku milikmu. Hanya milikmu. Tapi, biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku sampai kontrakku selesai dan aku punya cukup tabungan untuk membiayai pendidikan adik-adikku. Kumohon ... jangan membenciku dengan pekerjaan ini.” Hanna terdengar mengiba hingga membuat nafas Rafael tertahan sesaat.
“Aku takkan bisa membencimu, Hanna. Kau wanita pertama dan satu-satunya yang bisa membuatku bahagia.” ucapnya lembut.“Setidaknya, beritahu padaku masih berapa lama lagi kau akan bekerja seperti ini. Jika itu masih terlalu lama buatku, tolong biarkan aku mengurus kontrakmu. Aku tidak akan keberatan untuk membayar denda pemutusan kontrakmu, Oke?” Lelaki itu beringsut lalu memeluk Hanna dengan erat. Ia merasakan Hanna mengangguk dalam dekapannya.


***

          Phonsel Hanna berdering berkali-kali. Ada puluhan pesan singkat masuk ke inbox-nya.  Ia sempat melirik sekilas ke arah layar, dari ‘Boss’. Tapi ia enggan mengangkat telpon atau  bahkan membuka pesan singkat. Perempuan itu duduk tercenung tanpa semangat di depan jendela kamarnya. Tatapan matanya sayu, terlihat bingung.
“Hanna, phonselmu! Kau tak mendengarnya?” Ella muncul dari balik pintu.
“Biarkan saja,” jawab Hanna. Ella mengernyit seraya melangkahkan kakinya mendekati Hanna dan duduk di sampingnya.
“Ada apa denganmu? Beberapa hari terakhir ini kau kelihatan seperti zombie. Kau tak fokus, pekerjaanmu bahkan berantakan. Ada apa?” ia bertanya lembut.
“Tidak ada. Hanya ... aku perlu istirahat saja,” Jawab Hanna.
Ella mendesah.
“Minggu depan adalah hari pernikahanku. Dan aku tak mau kau menghadiri pernikahanku dengan tampang lusuh seperti orang yang patah hati begini,” protesnya.
Hanna tersenyum tipis.
“Aku akan baik-baik saja di pesta pernikahanmu. Oke?”
Ella menatap sahabatnya dengan heran.
“Apa kau bertengkar dengan Rafael?” Ia memberanikan diri untuk menanyakannya. Hanna tak segera menjawab.
“Kalian ada masalah?”
Hanna menggigit bibirnya sesaat sebelum menjawab.
“Tidak. Tapi ... ya, kami memang punya sedikit masalah. Bukan hal yang serius. Kami akan mencoba untuk selalu memperbaikinya,”
“Kau bisa cerita padaku jika butuh teman untuk cerita,”
“Terima kasih. Tapi ... aku baik-baik saja,” jawab Hanna. Ella menatap sahabatnya dengan tidak yakin.
“Sungguh, aku baik-baik saja. Tapi ...” kalimat Hanna berhenti. Ia berusaha meyikinkan Ella, tapi ia gagal. Perempuan itu menarik nafas dalam.
“Dia tahu kalau aku seorang LC,” ucapnya berat.
Ella melotot. “Maksudmu, dia baru tahu?” Perempuan itu tampak terkejut.
Hanna mengangguk.
“Memangnya kau tak cerita dari awal tentang pekerjaan ini?” Ia bertanya heran.
Hanna menggeleng. “Sebenarnya aku ingin cerita hanya saja aku tak tahu harus mulai darimana. Aku hanya takut ia meninggalkanku kalau tahu pekerjaan itu,”
“Hanna, kau yang bilang bahwa kekuatan cinta akan mengalahkan segalanya. Status dan pekerjaan tidak penting, yang penting adalah cinta dan saling percaya. Kau sendiri ‘kan yang bilang begitu? Apa kau lupa?”
“Aku tahu, tapi ternyata semua tidak semudah itu,”
“Jadi?”
“Dia sudah tahu. Tapi dia memaafkanku dan tetap mau menerimaku,”
“Itu bagus, berarti dia tulus mencintaimu,”
“Aku tahu. Tapi, tetap saja aku tak enak hati denganya. Aku pasti telah melukainya karena membohonginya. Hubungan kami sedikit ... tak nyaman. Ah, andaikan saja aku jujur dari awal dan dia tak sampai tahu dengan caranya sendiri, pasti hubungan kami tak akan seperti ini,” Hanna mengelus-elus keningnya sendiri. Ella mendesah.
“Aku tetap yakin, Rafael adalah lelaki yang terbaik untukmu. Hanna, sebenarnya aku ingin mengobrol banyak denganmu. Tapi, aku harus segera menemui Andre. Banyak hal yang harus kami kerjakan hari ini,” Ella meminta maaf. Hanna tersenyum.
“It’s oke. Pergi saja, dan maaf karena aku tak bisa banyak membantu untuk menyiapkan pernikahanmu,”
“Kau sudah banyak membantuku, jadi tenang saja,” Ella bangkit.
“Kau akan menginap di rumahnya lagi?”
Ella mengangguk.
“Menginaplah di rumah Rafael jika kau tak mau sendirian di rumah,”
Hanna hanya mengangguk-angguk. Ella pamit untuk meninggalkan dirinya. Dan setelah sahabatnya pergi, Hanna kembali seperti zombie. Phonselnya terus berdering, dan ia tak menggubrisnya. Perempuan itu beranjak dan menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Dan tak lama kemudian, ia terlelap.

          Hanna bangun tepat jam 7 malam, sesaat sebelum Rafael datang ke rumahnya.
“Astaga, apa kau tidur di jam-jam begini?” Lelaki itu bertanya dengan heran. Hanna hanya meringis seraya merapikan rambutnya.
“Mm, aku ketiduran,” jawabnya.
“Oh, pantas,” Rafael mencondongkan tubuhnya lalu mengecup bibir Hanna dengan lembut.
“Apanya?” Hanna mengernyitkan dahinya.
“Kau selalu terlihat cantik, terutama ketika bangun tidur,” jawab Rafael sambil tersenyum. Hanna tergelak.
“Pembohong. Semua wanita selalu terlihat berantakan ketika bangun tidur,” ucapnya.
“Tapi kau tidak. kau bahkan terlihat cantik ketika bangun tidur,” Rafael membela. Pipi Hanna tampak merona. Ia menggamit lengan Rafael dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
“Tumben kau datang tanpa memberitahuku?” Perempuan bermata indah bertanya. Rafael mendesah.
“Aku menelponmu, berkali-kali. Aku juga mengirimu pesan pendek, berkali-kali pula. Kau tak tahu?”
“Oh ya?”
Rafael mengangguk. Hanna menatapnya dengan tatapan menyesal.
“Oh, maaf. Aku pasti tak mendengarnya. Memangnya ada apa?”
“Bersiap-siaplah dan berdandanlah yang cantik. Aku ingin mengajakmu makan malam,” jawab Rafael.
“Di rumahmu?”
“Tidak. aku sudah memesan tempat khusus di sebuah restoran. Aku ingin mengajakmu makan malam dengan suasana yang berbeda. Kau bisa ‘kan?”
Hanna manggut-manggut.
“Baiklah, aku bersiap-siap dulu,” ucapnya seraya bergerak ke kamar mandi. Rafael melangkahkan kakinya menuju kamar Hanna dan berbaring di ranjangnya. Selama ia menunggu Hanna mandi, ia mendengar phonsel Hanna yang tergeletak di meja berdering berkali-kali. Ia sempat melihat ke layar phonsel. Tulisan ‘Boss memanggil’ tertera di sana. Lelaki itu sempat berniat untuk mengangkat telpon tersebut, tapi ia urung melakukannya.

***

          Rafael dan Hanna sampai di restoran yang telah di pesan tepat jam 9 malam. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rafael, ia menjanjikan sebuah candle light dinner yang romantis, mewah, dan pribadi. Lelaki itu bahkan sudah menyewa ruangan khusus yang begitu elegan dan luas. Ia juga memesan hidangan yang terlihat mahal.
“Harusnya kau tak perlu melakukan hal seperti ini,” ucap Hanna dengan nada sedikit protes seraya menatap sekelilingnya dengan takjub. Rafael tersenyum.
“Bukankah aku sudah bilang, kita perlu waktu untuk menikmati makan malam berdua dengan suasana yang berbeda. Dan, kau layak mendapatkan semua ini,” jawab lelaki itu lembut.  
Hanna terdiam.
“Ayolah, sayang. Aku menyiapkan semua ini untukmu, nikmatilah,”
Kalimat itu memaksa senyum di bibir Hanna. Malam itu ia memang menikmati hidangan yang disiapkan. Tapi terlihat dengan jelas bahwa perempuan itu sedang memikirkan sesuatu. Dan mau tak mau, hal itu membuat Rafael harus kembali bertanya.
“Ada sesuatu?” tatapan matanya yang teduh menatap langsung ke arah Hanna.
Hanna menatapnya dengan sedikit canggung.
“Aku ingin bicara sesuatu, Raf,” ucapnya sedikit  ragu. Rafael menatapnya dengan dalam.
“Oke, aku mendengarkan,” jawabnya. Hanna menggigit bibirnya sesaat sebelum kembali menatap Rafael.
“Tidakkah kita harus kembali membicarakan hubungan kita? Beberapa hari ini aku merenung, aku mencoba mengoreksi diriku sendiri. Dan setelah kupikir berulang-ulang, sepertinya perempuan seperti aku memang tak pantas menerima cintamu,” ucap Hanna kemudian. Rafael melotot.
“Apa maksudmu? Kita sudah bicarakan ini ‘kan? Bukankah kau bilang kau akan segera menyelesaikan kontrakmu? Aku memahami pekerjaanmu dan aku memaafkanmu. Kita akan baik-baik saja Hanna,” nada suara Rafael terdengar cemas.
“Itulah kenapa aku ... merasa tak enak padamu. Kau baik, dan kau layak mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku,”
“Kau tak mencintaiku lagi?”
“Aku mencintaimu,” jawab Hanna cepat.
“Jadi? Sudah  cukup ‘kan? Kita saling mencintai. Aku menerimamu, apapun dirimu dan kita tidak akan berpisah. Jangan dibahas lagi, kumohon,” Rafael menatap perempuan itu dengan sungguh-sungguh hingga membuat Hanna kembali tak berkutik. Sebenarnya banyak yang ingin ia katakan pada lelaki itu malam ini, tapi, tatapan mata Rafael yang teduh benar-benar membuyarkan rencananya. Ia benar-benar tak berdaya.
“Aku ingin ke kamar mandi,” katanya kemudian dengan putus asa seraya beranjak. Rafael hanya mengangguk mengiyakan. Setelah perempuan itu pergi, ia mendengar phonsel Hanna yang berada di dalam tasnya berdering. Sebenarnya phonsel itu sudah berdering beberapa kali, sejak mereka masih di rumah dan juga dalam perjalanan ke tempat ini. Tapi entah kenapa, Hanna sengaja mengacuhkannya. Ia sudah memberitahu pada perempuan itu tentang dering phonsel tersebut, beberapa kali, dan jawaban Hanna tetap sama. “Abaikan saja,”
Kali inipun, Rafael juga ingin mengabaikannya. Tapi entah kenapa, ia tak bisa menghentikan tangannya untuk membuka tas Hanna lalu meraih phonsel tersebut. Tampak di layar sebuah nama ‘Boss’ tengah memanggil berulang-ulang. Rafael memicingkan matanya. Apakah itu Bos nya dalam bekerja sebagai wanita hiburan?
Rafael berniat menjawab telepon tersebut, tapi keburu berhenti. Yang ia lihat selanjutnya adalah puluhan pesan singkat yang belum sempat dibaca. Dan ia kembali tak bisa menghentikan tangannya untuk membuka satu persatu pesan singkat tersebut, yang rupanya berasal dari nomor yang sama. 
Ia baru membaca beberapa pesan. Tapi isi dalam pesan singkat tersebut benar-benar  membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak.

Dimana kau?
Angkat telponku!
Baron sudah tahu identitasmu dan sekarang ia mencarimu.
Berhati-hatilah.
Jangan keluar rumah!
Kau dalam bahaya!
Angkat telponku, sialan!
Apa kau baik-baik saja?

Rafael merasakan tangannya gemetar ketika membaca tulisan tersebut. Siapa dia? Baron siapa? Kenapa mencari Hanna? Ia dalam bahaya?!
Phonsel dalam genggaman Rafael nyaris terlempar ketika tiba-tiba berdering. Lagi, dari ‘Bos’. Dan tanpa berpikir dua kali, ia menjawab telepon tersebut.
“Halo, dimana kau, Hanna? Kau baik-baik saja ‘kan?” terdengar suara lelaki dari seberang sana.
“Siapa kau?” Rafael bertanya. Sesaat tak ada jawaban.
“Siapa kau?” lelaki itu balik bertanya.
“Kau sendiri siapa?”
“Dimana Hanna?”
“Ia tidak di sini,”
“Di mana dia?”
“Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau harus mencarinya?”
“Siapa aku dan siapa kau tidak penting sekarang! Yang terpenting adalah, dimana Hanna!? Dia dalam bahaya dan aku harus memastikan bahwa dia baik-baik saja, sialan! Cepat berikan phonselnya padanya, brengsek!!” lelaki di seberang sana membentak. Rafael menutup pembicaraan dan segera bangkit, melangkahkan kakinya menuju toilet wanita untuk mencari Hanna.
Ketika ia sampai di sana, toilet wanita terkunci dari dalam dan terdengar suara keributan di dalam. Dan tanpa banyak pertimbangan, Rafael mendobrak pintu tersebut hingga roboh.
Dan apa yang ia khawatirkan memang terjadi. Tampak olehnya Hanna sedang terlibat keributan dengan seorang lelaki berpostur tinggi yang memaki jaket tebal dan topi. Mereka bergumul di lantai. Lelaki itu berusaha menyerang dan menyakiti Hanna, tapi Hanna pandai berkelit dan membela diri.  Meskipun beberapa kali ia sempat menerima pukulan.
“Apa yang kau lakukan?!” Rafael berlari, menerjang ke arah lelaki tersebut lalu menghempaskan tubuhnya ke tembok. Dan Hanna pun segera bangkit. Lelaki bertubuh besar itu berusaha menyerang Rafael, namun Rafael mampu menangkisnya dengan mudah. Alih-alih terus melakukan perlawanan, lelaki itu memutuskan kabur. Dan Rafael tak berniat untuk mengejarnya karena ia lebih tertarik untuk mengetahui keadaan Hanna. Tapi, ia bahkan belum sempat bertanya apa-apa padanya ketika perempuan itu tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri dengan hidung dan mulut berdarah karena terkena pukulan.

Bersambung ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar