Minggu, 19 April 2015

Tada Aishiteru - Part 2



         

          Di luar dugaan, ternyata mas Aldi harus keluar kota sampai 3 hari. Sehingga pagi itu, Rena-lah yang harus berbelanja ke supermarket, hal yang biasanya menjadi tugas mbak Yuli. Karena Rena tak suka menyetir mobil, ia pergi ke sana dengan taksi. Sebenarnya Rena sudah sampai di supermarket tempat ia biasa belanja, tapi entah kenapa ia meminta pada pak sopir taksi untuk mengarahkan taksinya menuju ke sebuah mall. Selain ingin berbelanja, sepertinya ia butuh untuk berjalan-jalan dan mencari udara segar.
Setelah puas berbelanja dan berputar-putar meski hanya untuk melihat-lihat, ia baru menyadari bahwa ia terlalu banyak berbelanja sehingga ia mengalami kerepotan ketika membawanya.
“Ah, harusnya aku membuat list barang belanjaan terlebih dahulu sehingga tidak belanja  sembarangan seperti ini,” ia mengeluh seraya memperbaiki tas belanjanya hingga mudah dibawa ke luar untuk memanggil taksi.
“Perlu bantuan?” Sebuah suara lembut menyapanya. Rena menoleh. Kedua matanya menyipit sesaat demi melihat sosok itu secara seksama. Dan sekian detik kemudia ia terbelalak.
Seorang lelaki jangkung berpakaian rapi tengah melangkah dan tersenyum manis ke arahnya.  Rena mematung di tempatnya selama beberapa saat. Sebenarnya ia sempat merasa ragu. Tapi, Ya, ia masih ingat sosok itu meskipun beberapa tahun telah berlalu.
“Shinji__Okada?” tanpa sadar ia menggumam. Lelaki itu berhenti di hadapan Rena. Ia tersenyum dan mengangguk.
“Syukurlah kau masih ingat padaku. Ohisashiburidesune (lama tak bertemu). Ogenkidesuka, Rena? (Apa kabar, Rena?),” ia menyapa ramah.
Rena masih sempat terbengong sebelum membuka suara.
Hai, genkidesu, (ya, baik-baik saja),” jawabnya kemudian. Lelaki bernama Shinji Okada itu beranjak meraih beberapa tas dari tangan Rena dengan maksud untuk membantunya.
“Apakah kau buru-buru?” Tanya Shinji. Rena mengernyitkan dahinya.
“Jika kau tak keberatan, aku ingin mengajakmu minum kopi di kedai sebelah. Lama kita tak bertemu, dan aku ingin mengobrol banyak hal denganmu. Itupun jika kau mau, bagaimana?”
Rena tak segera menjawab. Tapi akhirnya ia tersenyum dan mengiyakan ajakan Shinji.  Mereka pergi dan minum kopi di kedai yang berada tak jauh dari mereka dan masih berada di kawasan mall. Shinji membantu Rena membawakan tas-tas belanjaannya.
“Aku benar-benar tak menyangka bahwa ini benar-benar kau, Shinji Okada,” ucap Rena dengan antusias. Ia mulai bisa mengatur keadaan hingga lebih rileks menghadapi lelaki di hadapannya. Shinji tertawa.
“Dan aku benar-benar tak menyangka bahwa  kau  masih ingat padaku?” jawabnya.
Rena tertawa.
“Tentu saja. Bagaimana mungkin aku melupakanmu, kita ‘kan teman SMA. Yaah, meskipun hanya sekitar satu tahun,”
“Tepatnya 9 bulan,” Shinji setengah protes. Rena tertawa.
“Ku dengar kau melanjutkan sekolah dan bekerja di Jepang. Kapan kembali ke sini?”
Mata teduh Shinji menyipit dengan indah. “Bagaimana kau tahu aku di Jepang?”
“Ada yang cerita.” Jawab Rena.
Shinji manggut-manggut. “Baru beberapa hari yang lalu aku ada di Indonesia lagi.” Ucapnya kemudian. Rena tersenyum. “So, welcome back.” Ujarnya antusias.
“Oh, ku dengar kau sudah menikah. kau tak bersama suamimu ‘kan? Dia bisa menghajarku karena mengajak istri orang lain berduaan seperti ini.” Shinji menatap sekeliling dengan agak ragu. Rena tertawa.
“Tidak, dia tidak ikut bersamaku. Tenang saja. Tapi, bukankah kau sudah lama di Jepang. Bagaimana kau tahu kalau aku sudah menikah?”
“Ada yang cerita.” Jawab Shinji dengan tatapan jahil hingga membuat Rena tertawa.
“Sudah punya baby?”
Rena mengeleng.
“Kenapa? Menunda punya momongan?”
“Tidak juga. Aku hanya ingin menikmati masa-masa bulan madu lebih lama,” jawab Rena sambil tergelak. Lelaki tampan di depannya juga ikut tertawa.
“Kau sendiri? Sudah menikah?”
Shinji menggeleng.
“Kenapa? Belum laku juga?”
Shinji mengangkat bahu.
“Dulu ketika masih di SMA, seseorang pernah membuatku patah hati hingga aku trauma untuk berhubungan kembali dengan wanita,” jawabnya lirih. Rena terdiam. Senyum di bibirnya segera menghilang. Ia tahu maksud perkataan Shinji.
“Haha, aku bercanda, Rena. Kau tak perlu setegang itu. Ah, sudahlah.  Itu sudah lama berlalu ‘kan? Tak seharusnya aku membicarakannya lagi. Yang jelas, aku belum menikah karena aku belum menemukan orang yang cocok sampai saat ini. Dan percayalah, aku juga masih normal.” Shinji  tertawa. Dan Rena-pun kembali tersenyum.
“Untuk apa kau kembali ke Indonesia?”
“Bekerja.” Jawab Shinji singkat seraya menyeruput kopi dari cangkirnya dengan perlahan.
“Kau bekerja di mana?”
“Konsultan gizi. Kantor kami beberapa kilometer dari sini.”
Rena manggut-manggut.
“Jika kau punya masalah dengan asupan gizi dan kesehatan, kau bisa konsultasikan denganku. Jangan khawatir, antar teman pasti diskon,”
Rena terkekeh. “Well, thank you. I’ll think about it,” jawabnya.
“Tapi itu benar, Rena. Kau perlu mengkonsultasikan tentang kesehatanmu. Jika tidak, bisa saja kau pingsan lagi di pinggir jalan seperti beberapa hari yang lalu,” balas Shinji.
Rena tersentak. “Bagaimana kau tahu tentang kejadian itu?” spontan ia bertanya dengan heran. Shinji hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Rena. Rena melotot.
“Apakah mungkin kau yang___?”
Shinji mengangguk beberapa kali.
“Ya, akulah orang yang menolongmu dan membawamu ke klinik ketika kau tak sadarkan diri di pinggir jalan,” jawabnya kemudian hingga membuat Rena nyaris memekik kaget.
“Astaga, kenapa kau tak bilang kalau kau-lah yang menolongku? Kau bahkan sempat menelponku ‘kan?” Rena terlihat kesal.
Shinji hanya tertawa dengan ulahnya.
“Maaf, aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk bertemu denganmu,”
“Tapi, bagaimana ceritanya kau bisa menolongku?”
Shinji menarik nafas. “Well, anggap saja ini takdir. Aku bahkan baru saja menginjakkan kakiku di Indonesia dan hendak menuju hotel. Tapi di tengah jalan, taksi yang ku tumpangi berhenti karena beberapa orang menghentikannya. Mereka bilang seseorang sedang pingsan dan harus dibawa ke rumah sakit secepatnya. Tadinya aku enggan, tapi ketika aku turun dari taksi dan melihat siapa gerangan yang sedang tak sadarkan diri, astaga, itu kau Rena. Dan tentu saja aku langsung membawamu ke klinik.” Ia menjelaskan.
“Kenapa kau tak mengunjungiku?”
“Aku ingin, tapi pekerjaan tak bisa di tinggal. Di samping itu, aku disibukkan dengan tempat tinggal. Aku harus kesana kemari untuk mencari apartemen yang cocok. Begitu aku longgar, aku segera ke klinik mengunjungimu. Tapi ternyata kau sudah pulang. Seseorang memberi nomor telponmu padaku.”
“Ketika kau menelponku, kenapa kau bermain teka-teki tanpa menyebutkan namamu?”
Shinji kembali tertawa.
“Kejutan.” Jawabnya pendek. Rena menarik nafas dengan gemas.
“Ah, aku tak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu. Kau benar-benar menyelamatkan hidupku,”
“Kau ingin membalas budi padaku?”
“Tentu saja.” Ujar Rena yakin.
“Kalau begitu, jadilah temanku.” Shinji menjawab sambil menatap mata Rena dengan lekat. Perempuan itu tertawa. “Shinji, bukankah kita adalah teman sejak dulu?”
Shinji mengangkat bahu.
“Bukan begitu. Maksudku, aku perlu seseorang untuk jadi pemandu,”
Rena mengernyitkan dahinya, heran.
“Rena, kau’kan tahu aku lama tak ke Indonesia. Bahkan, nyaris seluruh keluargaku berada di Jepang. Aku tak mengenal banyak orang di sini. Dan aku juga tak mengenal lingkungan sini. Tentu saja aku butuh seseorang yang bisa di ajak ngobrol, bisa dimintai tolong untuk menjelaskan tentang banyak hal, bisa___”
Oke, I’ll do it. Kau bisa menelponku jika kelak kau butuh bantuan dariku,” potong Rena cepat. Shinji melotot.
“Serius?” Ia bertanya dengan antusias.
Rena mengangguk.
“Suamimu takkan marah ‘kan?”
Rena menggeleng.
“Kau sudah punya nomor telponku ‘kan? Kalau begitu, simpanlah baik-baik. Kalau kau butuh apa-apa, kau tinggal menghubungiku. Percayalah, aku selalu siap jadi temanmu,” jawab perempuan tersebut.
Shinji tersenyum.
Arigatou, (terima kasih),” ucapnya dengan tulus. Rena hanya tersenyum lalu mengangguk, dengan tulus pula.

***

          Ketika dalam perjalanan pulang, Rena kembali teringat akan sosok Shinji Okada. Ia benar-benar tak menyangka bahwa ia akan bertemu dengannya lagi. Sebenarnya dulu Rena pernah mencoba mencari tahu tentang dia setelah ia keluar dari sekolah. Tujuannya hanya satu, meminta maaf. Tapi lelaki itu seolah menghilang di telan bumi sehingga Rena-pun menghentikan misinya.
Ah, mau tak mau ingatan perempuan itu kembali ke masa beberapa tahun yang lalu ketika ia masih duduk di bangku es-em-a kelas dua. Waktu itu, sekolahnya kedatangan murid baru. Dia-lah Shinji Okada. Cowok tampan blasteran Indonesia – Jepang. Ibunya orang Indonesia sementara ayahnya orang Jepang. Kata para guru, Shinji pindah ke Indonesia karena kedua orang tuanya memutuskan pindah dan bekerja di sini.
Tentu saja kedatangan Shinji Okada ke sekolah seperti magnet tersendiri bagi setiap orang. Shinji  ibarat mainan baru yang fresh, up-to-date, yang setiap orang ingin memilikinya, atau setidaknya melihatnya saja. Maklum, ia tampan luar biasa. Tubuhnya jangkung, kulitnya bersih, dan dia juga ramah. Seabrek cewek-cewek yang jatuh hati padanya.
Tapi, Rena tidak. Entahlah, Shinji memang tampan. Tapi Rena tak merasakan apa-apa padanya, sama sekali. Sampai akhirnya, Ia menerima taruhan konyol itu!
Entah setan apa yang ada di kepala Rena  hingga ia tega melakukan hal bodoh semacam itu. Ya, Ia menerima tantangan temen-temen se-genk-nya untuk bisa menjadikan Shinji Okada sebagai pacarnya. Jika ia bisa melakukannya dalam waktu kurang dari sebulan, maka ia berhak mendapatkan sebuah ipod mahal merek terkenal. Sebenarnya hadiahnya tak seberapa, tapi Rena begitu kangen dengan petualangan. Dan Shinji Okada adalah sebuah petualangan baru baginya!
Dengan bersusah payah, akhirnya ia bisa mendekatinya. Dan dengan jalan berliku-liku pula, akhirnya ia bisa menjadikannya sebagai pacarnya. Mereka bahkan sempat berpacaran selama hampir tiga bulan. Tapi suatu hari,  entah darimana, Shinji mengetahui tentang taruhan itu. Tentu saja cowok itu ia marah bukan kepalang.
“Bagaimana mungkin kau bisa mempermainkan perasaan seseorang dengan begitu kejam? Tidakkah kau tahu bahwa aku mencintaimu dengan tulus? Kau benar-benar jahat!”
Itu adalah kata-kata terakhir yang Shinji ucapkan pada Rena sebelum akhirnya lelaki itu menghilang begitu saja. Saat itu juga ia memutuskan Rena. Dan jujur, ia tak merasakan apa-apa. Ia tak bersedih, ia tak menangis.
Setelah kejadian itu Shinji tak masuk sekolah selama beberapa hari. Dan akhirnya Rena tahu bahwa Shinji keluar dari sekolah dan memutuskan kembali ke jepang. Perasaan Rena yang tadinya tumpul, akhirnya merasa mulai bersalah. Ia ingin meminta maaf pada cowok itu. Tapi terlambat. Shinji Okada menghilang begitu saja tanpa bisa ia temukan.
Dan sekarang, tiba-tiba saja mereka bertemu lagi. Ini sungguh di luar dugaan. Mungkinkah ini jalan dari Tuhan sehingga ia bisa meminta maaf padanya? Sepertinya, iya.
“Belok kemana, mbak?” suara pak sopir taksi membuyarkan lamunan Rena. Ia gelagapan.
“Ke kanan pak,” jawabnya.  Perempuan  itu sempat menarik nafas panjang. Ya, ia perlu waktu yang tepat untuk bertemu lagi dengan Shinji lalu secara khusus meminta maaf padanya.

***

          “Bagaimana dengan lowongan pekerjaan yang kumaksud kemarin, mas?” tanya Rena ketika kakaknya sudah pulang dari luar kota dan sore itu mereka sedang duduk-duduk santai di teras rumah.
“Ini tidak akan mudah, Rena. Kau tahu ‘kan mencari pekerjaan jaman sekarang sangatlah sulit. Tapi, salah satu rekanku yang punya usaha kuliner mengatakan bahwa di tempatnya masih kekurangan seorang waitress. Bagaimana? Apakah kau mau mencobanya?”
Rena mengangguk dengan yakin.
“Ya, mas. Tak masalah.” Jawabnya.
“Seorang waitress, Rena. Tidakkah pekerjaan ini terlalu sulit bagimu?” Mas Aldi berusaha meyakinkan adiknya itu. Rena tersenyum.
“Aku akan mencobanya, mas. Yang penting pekerjaan itu halal. Dimana tempatnya? Kapan aku bisa ke sana?”
“Buatlah surat lamaran dulu. Besok aku antarkan kesana.”
Rena menggeleng. “Tidak usah, mas. Biar aku yang ke sana sendiri. Mas kasih tahu saja dimana tempatnya.”
Sesaat mas Aldi terdiam.
“Oke deh,” jawabnya kemudian. Setelah mendapat alamat yang jelas, Rena segera bergegas ke kamarnya untuk menyiapkan berkas-berkas yang ia butuhkan besok pagi. Di tengah-tengah kesibukannya, phonselnya berbunyi.

          Bagaimana kabarmu, sayang?

Pesan singkat itu dikirim oleh Hasan. Rena ingin membalasnya, tapi entah kenapa ia ragu untuk menuliskan sesuatu.

Aku sedang mencoba menyelesaikan masalahku dengan Anggi, kumohon tunggulah...

Hasan kembali mengirimkan pesan singkat, tapi Rena tetap tak bergeming. Ia terus asyik merapikan beberapa berkas. Dan, sebuah pesan singkat kembali bertambah di kotak masuk.
Rena sempat mengira bahwa pesan tersebut dari Hasan. Tapi sesaat kemudian senyum tersungging di bibirnya ketika membaca pesan tersebut.

          Dimana restoran jepang yang paling terkenal?
          Shinji Okada.

Tanpa pikir panjang, Rena segera membalasa pesan yang ternyata dari Shinji.

          Di Jalan Merdeka, sebelah utara gedung bioskop lama. Balasnya.
          Enakkah? Shinji kembali mengirimkannya pesan.
          Ya. Dan Rena juga kembali membalasnya hingga mereka asyik berkirim pesang singkat.
          Shinji          : Mahal?
          Rena : Tidak.      
Shinji : Bagaimana kau tahu?
          Rena  : Karena aku sering makan di sana.
          Shinji : Kau suka makanan jepang juga?
          Rena  : Yup.
          Shinji : Apa yang kau suka?
          Rena  : Banyak.
          Shinji : Mau kutraktir?
          Rena  : Kapan?
          Shinji : Sekarang.
          Rena  : Thanks, but next time saja.
          Shinji : Janji?
          Rena  : I’ll,,
          Shinji : ah, aku kelaparan sekarang. Aku akan ke sana.
          Rena  : ok, have a nice dinner.

          Rena tersenyum  setelah mengirim pesan tersebut dan obrolan mereka via pesan singkat pun berhenti.

***

          Rena sudah bertemu secara langsung dengan pemilik restoran yang dimaksud mas Aldi. Dan dia menjanjikan dalam 2 atau 3 hari ini Rena akan mendapatkan kepastian tentang lamaran pekerjaan yang ia ajukan. Entah di terima atau tidak, Rena sudah siap dengan kemungkinan itu.
Setelah pertemuan itu, Rena langsung merencanakan untuk pulang. Perempuan itu sedang bersiap-siap untuk menghentikan taksi ketika ia merasakan seseorang menyentuh pundaknya dengan pelan. Perempuan bertubuh mungil itu menoleh. Dan tampak olehnya, seorang lelaki tampan sudah berdiri di dekatnya, tetap dengan senyumnya yang menawan.
Shinji Okada.
Yo (hai), kita bertemu lagi ‘kan?” Ia menyapa duluan. Rena tersenyum.
“Darimana?” Ia kembali bertanya sebelum Rena sempat membuka suara.
“Dari situ.” Jawab Rena pendek seraya menunjuk ke arah restoran mewah yang berada tak jauh di belakang mereka. “Dan kau sendiri?” Ia balas bertanya.
“Sama. Aku juga dari sana. Aku ada sedikit urusan dengan chef. Dia bilang dia  ingin berkonsultasi tentang gizi pada resep baru mereka.” jawab Shinji.  “Kau mau pulang?” Ia kembali bertanya pada Rena.
Perempuan itu mengangguk. “Dan kau?”
“Sama.” Jawaban Shinji membuat keduanya tertawa.
“Kau naik taksi?”
Rena kembali mengangguk.
“Mau ku antarkan?”
Perempuan itu menggeleng. “Tidak, terima kasih,” jawabnya.
“Kenapa? Takut suamimu marah ya?”
Rena kembali menggeleng.
“Tidak, dia tidak akan marah. Toh dia bukan tipe pencemburu. Hanya saja___” kata-kata Rena terhenti ketika ia ingat sesuatu. “Apa kau sibuk hari ini?” Ia balik bertanya pada Shinji. Lelaki itu menyipitkan matanya yang sudah sipit.
“Tidak juga. Kenapa?”
“Kau sudah makan siang?”
“Mmm, aku sempat mencicipi beberapa resep baru di restoran tadi. Tapi jujur itu tidak cukup mengenyangkanku. Kenapa?”
“Aku ingin mentraktirmu makan siang. Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan denganmu. Itupun jika kau tak ada janji. Tapi jika kau sudah acara, semoga lain kali kau mau menerima ajakanku,” ucapan Rena terdengar malu-malu. Shinji tersenyum kemudian melirik arloji di pergelangan tangannya.
“Jujur, sebenarnya aku sudah ada acara makan siang dengan seseorang. Tapi, aku bisa menundanya lain waktu.”
“Jadi?”
Shinji mengangguk. “Oke, makan siang dimana?”
“Tak mengganggumu ‘kan?”
Shinji menggeleng.
“Aku takkan mampu menolakmu, Rena.” Jawabnya. “Mmm, maksudku, ajakan makan siangmu. Aku takkan mampu menolaknya.” Ia meralat dengan tersipu malu.
“Ini termasuk rejeki ‘kan? Bukankah rejeki tak boleh ditolak?” Ia menambahkan.
Rena mengangguk.
“Tidakkah kita makan di sini saja?” Shinji menyarankan seraya menunjuk ke arah restoran yang mereka datangi tadi.
“Maaf, tapi aku punya rencana lain.” Jawab Rena cepat. Ia tak mau jika Shinji sampai tahu bahwa ia ke restoran tersebut untuk mencari pekerjaan. Lagipula, akan lebih menyulitkan lagi jika pemilik restoran yang merupakan teman mas Aldi itu sampai melihatnya  makan siang bersama lelaki lain. Ia pasti akan bercerita macam-macam pada mas Aldi.
“Oke, terserah kau saja,” jawab Shinji kemudian. Akhirnya, mereka pergi ke kafe yang dimaksud Rena dengan naik mobil Shinji.

***

          “Wah, aku tak tahu bahwa tak jauh dari apartemenku ada kafe senyaman ini. Makanan di sini juga lezat sekali. Oishiii, (enak),” ucap Shinji senang seraya menatap Rena dengan tulus. Perempun itu tersenyum mendengarnya.
“Kau tinggal di sekitar sini?” tanyanya kemudian. Shinji mengangguk.
“Apartemenku berada tak jauh dari sini. Mungkin hanya butuh waktu kurang dari 5 menit untuk sampai di sana. Mampirlah kapan-kapan,” jawabnya. Rena manggut-manggut.
“Oh iya, apa yang ingin kau bicarakan?” Shinji seolah mengingatkan Rena tentang tujuan mereka ke sini. Rena tak segera menjawab. Ia meletakkan sendok es yang sejak tadi ia mainkan dengan mengaduk-aduk minumannya tak menentu, lalu menatap lelaki di hadapannya dengan dalam. Shinji mengernyitkan dahinya, penasaran.
“Kenapa kau berubah serius begini, Rena? Kau membuatku takut,” ucapnya. Rena menghela nafas sebelum membuka suara. Ia menelan ludah.
“Aku ingin minta maaf secara langsung padamu, Shinji.” Ucapnya kemudian dengan sedikit gugup.
“Heh?” Dahi Shinji kembali berkerut. “Maaf? Untuk apa?” Ia kembali bertanya.
“Untuk perbuatan burukku padamu ketika kita masih duduk di bangku SMA.”
“Maksudmu?”
“Mungkin ini sudah sangat terlambat mengingat kejadian itu sudah berlalu sangat lama. Tapi percayalah padaku bahwa aku sudah berusaha mencari cara untuk bertemu denganmu dan meminta maaf secara langsung padamu. Hanya saja, aku seakan kehilangan jejakmu. Kau begitu sulit ditemukan.” Rena terdengar putus asa menjelaskan.
Shinji tergelak. “Sebenarnya kau ingin bicara apa?” tanyanya lagi. Tawanya terhenti perlahan manakala menyaksikan raut muka Rena yang nampak serius.
“Oke, langsung saja ke intinya. Kau ingin minta maaf untuk apa?”
“Untuk taruhan itu.” Jawab Rena cepat.
“Taruhan apa?”
“Taruhan konyol yang pernah ku lakukan ketika kita masih SMA. Taruhan untuk menjadikanmu pacarku. Entah kau masih ingat atau tidak, tapi aku punya perbuatan buruk padamu waktu itu. Aku sadar aku jahat. Aku mempermainkan hatimu dan berpura-pura mencintaimu agar kau mau jadi pacarku demi bisa memenangkan taruhan itu. Ah, waktu itu aku benar-benar jahat sekali padamu. Aku menyesalinya Shinji. Ku harap kau bersedia memaafkanku.” Kalimat Rena terdengar begitu sungguh-sungguh. Shinji memandangnya dengan tatapan yang nyaris tak berkedip hingga membuat perempuan itu sedikit grogi.
“Kau ingin agar aku memaafkanmu?” Lelaki itu menatap Rena dengan serius. Rena mengangguk.
“Kalau begitu, bercerailah dengan suamimu dan kembalilah padaku,” ucapnya lagi. Rena tercengang mendengar kalimat yang meluncur dari bibir tipis Shinji. Sepasang mata mereka beradu dan keadaan menjadi hening sesaat.
Tapi sejurus kemudian, Shinji tergelak.
“Aku bercanda, Rena,” ucapnya kemudian hingga membuat kebekuan Rena mencair.
“Ya, aku memang masih ingat semuanya. Aku masih ingat bagaimana kau mempermainkanku dan membodohiku demi memenangkan taruhan konyol itu. Waktu itu aku merasa sangat marah karena aku merasa kau telah mempermainkanku seperti mainan baru bagimu. Tapi, bukankah itu sudah lama berlalu? Jadi, tak ada gunanya lagi kita terus mengingatnya karena sekarang kau sudah punya kehidupan baru yang bahagia, begitu pula denganku. Tapi, aku tetap ingin menjadi sahabatmu, Rena. Bagaimanapun juga kita pernah dekat dan sempat menjadi sepasang kekasih – walau hanya pura-pura. Dan jujur, kebersamaan kita waktu itu benar-benar membuatku bahagia. Tapi aku senang bisa menjadi sahabatmu.”  Jawab Shinji.
“Apa kau masih bisa menganggapku sahabat setelah apa yang kulakukan padamu?”
Shinji tersenyum mendengar pertanyaan Rena.
“Tentu saja, persahabatan kita bahkan bisa lebih baik lagi,” jawabnya.
Rena tersenyum.
“Terima kasih. Aku lega sekarang,” ucapnya. Shinji mengangguk, mengiyakan ucapan Rena.
“Oh iya, untuk apa kamu menemui pemilik restoran tadi?” Lelaki itu mengubah topik pembicaraan secara tiba-tiba.
Rena mengernyitkan dahinya.
“Restoran yang mana?” Ia berpura-pura bingung.
“Restoran yang tadi. Sebelum kau mengajakku ke sini. Aku melihatmu masuk ke ruangannya. Kalian teman?”
Rena tak segera menjawab pertanyaan Shinji.
“Dia teman kakakku. Dan aku menemuinya untuk mendapatkan pekerjaan,” jawab Rena jujur. Ya, tak ada gunanya juga ia menyembunyikannya dari Shinji. Toh tak ada bedanya ia tahu atau tidak tentang masalah yang sekarang ia hadapi.
“Pekerjaan?”
Rena mengangguk.
“Kenapa kau harus menemuinya untuk mendapatkan pekerjaan?”
“Tentu saja aku ingin mandiri. Kita tak bisa selamanya tergantung pada orang lain ‘kan?”
Shinji tertawa.
“Kau aneh, Ren. Bukankah suamimu seorang pengusaha kaya? Untuk apa kau repot-repot mencari pekerjaan?”
Rena terdiam sesaat.
“Akan lebih baik kalau aku hidup mandiri ‘kan? Hitung-hitung untuk mencari kesibukan.” Hanya itu yang bisa ia ceritakan tentang rumah tangganya. “Dan, darimana kau tahu kalau aku menikah dengan seorang pengusaha? Kau mengenalnya?”
Shinji menggeleng. “Tidak. Tapi aku pernah dengar kalau kau menikah dengan seorang pengusaha kaya.” Jawabnya.
Rena tersenyum.
“Waah, kau tahu banyak tentang diriku ternyata. Apa kau memata-mataiku?” Tanyanya. Shinji tersenyum.
“Tidak, kebetulan saja beberapa hari yang lalu aku ketemu seseorang yang mengenalmu. Dan dia bilang suamimu seorang pengusaha kaya,”
“Siapa?” Rena bertanya was-was.
“Leni. Kalau tidak salah, dia dulu satu kelas denganmu ketika di es-em-a. Aku bertemu dengannya secara tak sengaja di sebuah kafe,” jawab Shinji.
Rena kemudian teringat akan sesosok wajah cantik keibuan, Leni. Ya, ia dulu satu kelas dengannya. Mereka bahkan pernah duduk satu bangku. Persahabatan mereka lumayan dekat. Meski akhir-akhir ini mereka jarang berkomunikasi karena Leni juga seorang yang sibuk sekali dengan bisnisnya.
“Dan, apalagi yang ia ceritakan?” tanya Rena seraya menatap Shinji dengan penuh selidik.
“Hanya itu.”
“Kau yakin? Ia tak menceritakan dengan suamiku? Diriku? Keluargaku?”
Shinji menggeleng.
“Ya, hanya itu. Kenapa? Ada sesuatu?” Shinji balik bertanya dengan penuh selidik.
Rena menggeleng. Ia kembali menyeruput teh-nya dengan perlahan.
“Kapan-kapan perkenalkanlah aku dengan suamimu. Kau temanku, berarti dia juga temanku ‘kan? Dan tentu aku ingin menjalin hubungan yang baik dengan dia. Semoga kau tak keberatan.”
Rena tersenyum kecut.
“Mungkin, aku akan memperkenalkannya padamu jika ada waktu. Tapi aku tak janji karena dia sangat sibuk sekali. Selain itu ____” kalimat Rena terhenti ketika tanpa sengaja tatapan matanya menangkap dua sosok manusia sedang mengobrol di salah satu kursi tamu yang berjarak tak jauh darinya. Hasan dan Anggi! Mereka terlihat mengobrol dengan serius. Entah apa yang mereka bicarakan.
“Ren?” Panggil Shinji ketika ia menyadari perempuan di hadapannya tampak bengong. Rena tersentak. Bukannya menjawab panggilan Shinji, perempuan itu meraih dompet di tasnya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu kemudian meletakkannya di depan Shinji.
“Maaf, aku tak ingin menyinggung perasaanmu. Tapi aku harus pergi sekarang juga. Ada sesuatu yang harus ku selesaikan di rumah. Aku janji mentraktirmu ‘kan? Jadi, tolong kau bayarkan ini saja. Oke?” Rena meraih tasnya dan beranjak.
“Tapi, Ren? Kau mau kemana?” Panggil Shinji heran. Rena tak menghiraukannya. Ia terus melangkahkan kakinya dan berniat meninggalkan tempat tersebut tanpa diketahui oleh Hasan. Tapi, panggilan Shinji yang berulang-ulang menyebabkan Hasan menoleh hingga melihat sosok istrinya yang melenggang ke luar rumah makan. Tanpa mengatakan apapun pada Anggi, lelaki itu beranjak dan berlari mengejar Rena.
“Rena!” panggilnya. Rena hanya menoleh sekilas ke arah lelaki tersebut tanpa menghentikan langkah kakinya hingga memaksa Hasan untuk menarik lengan tangannya.
“Apa kau mencariku ke sini?” Tanya lelaki berwajah bersih itu dengan lembut.
“Tidak, kebetulan saja aku makan di sini.” Jawab Rena ketus. Ia menepis tangan Hasan.
“Aku datang bersama Anggi. Ada sesuatu yang harus kami bicarakan. Ku harap kau mengerti.”
“Selesaikan saja urusanmu dengan perempuan itu, aku tak peduli.” Rena melangkahkan kembali kakinya dan Hasan terus menarik-narik tangannya hingga mereka sempat terlibat keributan kecil. Shinji yang melihat adegan itu akhirnya bangkit dari kursinya dan menghampiri mereka.
“Apa yang kau lakukan padanya, bung? Kau menyakiti tangannya.” Suara Shinji setengah membentak sambil menghalau tangan Hasan dari lengan Rena.
“Bersikaplah sopan pada perempuan,” ucapnya lagi. Hasan mengernyitkan dahinya, marah.
“Siapa kau? Berani-beraninya kau mencampuri urusan kami?”
“Aku temannya. Dan kau siapa?”
“Aku suami Rena, tidakkah kau tahu itu?”
Shinji terhenyak mendengar jawaban Hasan. Ia menatap ke arah Rena, meminta penegasan.
“Ya, dia suamiku. Maaf telah merepotkanmu. Tapi, biar aku menyelesaikan ini, Shinji. Kau pulanglah,” ucap Rena dengan suara memohon.
“Siapa dia, Rena?” Hasan bertanya dengan suara ketus.
Rena tak segera menjawab.
“Dia teman es-em-a-ku. Ah, sudahlah, mas. Selesaikan saja masalahmu dengan Anggi. Kita akan bahas ini lain kali. Dan, Shinji, maaf melibatkanmu dalam kesalah pahaman ini. Kau bisa pulang sekarang. Kita akan mengobrol lagi lain kali,”
“Tapi__” Hasan dan Shinji bertanya hampir bersamaan. Namun kata-kata mereka tertahan ketika mereka mendengar suara ribut-ribut dari dalam rumah makan. Orang-orang tampak berkerumun di meja yang tadi di tempati oleh Hasan dan Anggi. Hasan beranjak ke dalam diikuti oleh Shinji dan Rena karena bagaimanapun juga ia penasaran dengan apa yang terjadi. Dan sekian detik kemudian, mereka melihat Anggi jatuh tak sadarkan diri di lantai.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Hasan pada orang-orang di sekitar mereka. 
“Dia tiba-tiba pingsan, mas.” Jawab seorang waitress.
“Bawa dia ke rumah sakit, cepat!” tanpa sadar Rena berteriak. Jujur, ia merasa khawatir melihat Anggi jatuh pingsan dengan muka pucat pasi. Hasan menatap Rena dengan bingung.
“Bawa dia ke rumah sakit, mas!” teriak Rena lagi. Dan barulah Hasan berlutut lalu meraih tubuh Anggi dan membopongnya ke dalam mobilnya.
“Kau tak ikut bersamaku?” tanya Hasan lagi pada Rena yang berdiri dengan muka pucat. Rena menggeleng.
“Selamatkan dia dan ... bayinya.” Jawabnya parau. Dan dengan berat hati, Hasan memasukkan tubuh Anggi ke mobilnya lalu segera menjalankan mobil tersebut dengan kecepatan tinggi. Entah ke rumah sakit mana ia membawanya, Rena tak sanggup berpikir jernih. Ia merasakan dadanya sesak. Ia terluka menyaksikan Hasan membopong Anggi dan berusaha menyelamatkannya. Hatinya sakit luar biasa.
“Rena?” panggil  Shinji lirih. Ternyata sejak tadi, lelaki itu setia berdiri di sampingnya.
Rena menoleh. Ia ingin menahan agar air matanya tidak menitik. Tapi ia tak sanggup. Air mata itu tetap saja mengalir dengan deras dari kedua matanya yang bulat indah. Dan Shinji terhenyak.
“Rena?” panggilnya lagi dengan lebih lirih dan iba. Dan tangis Rena-pun pecah.
Shinji masih mencoba mengerti dengan apa yang telah terjadi pada wanita itu. Dan secara reflek, naluri lelakinya membuatnya bergerak, merengkuh tubuh perempuan di depannya, lalu memeluknya dengan erat dan mencoba menenangkannya.

***

Bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar