Di luar dugaan, ternyata mas Aldi harus keluar kota sampai
3 hari. Sehingga pagi itu, Rena-lah yang harus berbelanja ke supermarket, hal
yang biasanya menjadi tugas mbak Yuli. Karena Rena tak suka menyetir mobil, ia
pergi ke sana dengan taksi. Sebenarnya Rena sudah sampai di supermarket tempat
ia biasa belanja, tapi entah kenapa ia meminta pada pak sopir taksi untuk
mengarahkan taksinya menuju ke sebuah mall. Selain ingin berbelanja, sepertinya
ia butuh untuk berjalan-jalan dan mencari udara segar.
Setelah puas berbelanja dan
berputar-putar meski hanya untuk melihat-lihat, ia baru menyadari bahwa ia
terlalu banyak berbelanja sehingga ia mengalami kerepotan ketika membawanya.
“Ah, harusnya aku membuat
list barang belanjaan terlebih dahulu sehingga tidak belanja sembarangan seperti ini,” ia mengeluh seraya
memperbaiki tas belanjanya hingga mudah dibawa ke luar untuk memanggil taksi.
“Perlu bantuan?” Sebuah suara
lembut menyapanya. Rena menoleh. Kedua matanya menyipit sesaat demi melihat
sosok itu secara seksama. Dan sekian detik kemudia ia terbelalak.
Seorang lelaki jangkung berpakaian rapi tengah melangkah dan
tersenyum manis ke arahnya. Rena
mematung di tempatnya selama beberapa saat. Sebenarnya ia sempat merasa ragu. Tapi,
Ya, ia masih ingat sosok itu meskipun beberapa tahun telah berlalu.
“Shinji__Okada?” tanpa sadar
ia menggumam. Lelaki itu berhenti di hadapan Rena. Ia tersenyum dan mengangguk.
“Syukurlah kau masih ingat
padaku. Ohisashiburidesune (lama tak bertemu). Ogenkidesuka, Rena? (Apa
kabar, Rena?),” ia menyapa ramah.
Rena masih sempat terbengong
sebelum membuka suara.
“Hai, genkidesu, (ya,
baik-baik saja),” jawabnya kemudian. Lelaki bernama Shinji Okada itu beranjak
meraih beberapa tas dari tangan Rena dengan maksud untuk membantunya.
“Apakah kau buru-buru?” Tanya
Shinji. Rena mengernyitkan dahinya.
“Jika kau tak keberatan, aku
ingin mengajakmu minum kopi di kedai sebelah. Lama kita tak bertemu, dan aku
ingin mengobrol banyak hal denganmu. Itupun jika kau mau, bagaimana?”
Rena tak segera menjawab.
Tapi akhirnya ia tersenyum dan mengiyakan ajakan Shinji. Mereka pergi dan minum kopi di kedai yang
berada tak jauh dari mereka dan masih berada di kawasan mall. Shinji membantu
Rena membawakan tas-tas belanjaannya.
“Aku benar-benar tak
menyangka bahwa ini benar-benar kau, Shinji Okada,” ucap Rena dengan antusias.
Ia mulai bisa mengatur keadaan hingga lebih rileks menghadapi lelaki di
hadapannya. Shinji tertawa.
“Dan aku benar-benar tak
menyangka bahwa kau masih ingat padaku?” jawabnya.
Rena tertawa.
“Tentu saja. Bagaimana
mungkin aku melupakanmu, kita ‘kan teman SMA. Yaah, meskipun hanya sekitar satu
tahun,”
“Tepatnya 9 bulan,” Shinji
setengah protes. Rena tertawa.
“Ku dengar kau melanjutkan
sekolah dan bekerja di Jepang. Kapan kembali ke sini?”
Mata teduh Shinji menyipit
dengan indah. “Bagaimana kau tahu aku di Jepang?”
“Ada yang cerita.” Jawab
Rena.
Shinji manggut-manggut. “Baru
beberapa hari yang lalu aku ada di Indonesia lagi.” Ucapnya kemudian. Rena tersenyum.
“So, welcome back.” Ujarnya antusias.
“Oh, ku dengar kau sudah
menikah. kau tak bersama suamimu ‘kan? Dia bisa menghajarku karena mengajak
istri orang lain berduaan seperti ini.” Shinji menatap sekeliling dengan agak
ragu. Rena tertawa.
“Tidak, dia tidak ikut
bersamaku. Tenang saja. Tapi, bukankah kau sudah lama di Jepang. Bagaimana kau
tahu kalau aku sudah menikah?”
“Ada yang cerita.” Jawab
Shinji dengan tatapan jahil hingga membuat Rena tertawa.
“Sudah punya baby?”
Rena mengeleng.
“Kenapa? Menunda punya
momongan?”
“Tidak juga. Aku hanya ingin
menikmati masa-masa bulan madu lebih lama,” jawab Rena sambil tergelak. Lelaki
tampan di depannya juga ikut tertawa.
“Kau sendiri? Sudah menikah?”
Shinji menggeleng.
“Kenapa? Belum laku juga?”
Shinji mengangkat bahu.
“Dulu ketika masih di SMA,
seseorang pernah membuatku patah hati hingga aku trauma untuk berhubungan
kembali dengan wanita,” jawabnya lirih. Rena terdiam. Senyum di bibirnya segera
menghilang. Ia tahu maksud perkataan Shinji.
“Haha, aku bercanda, Rena.
Kau tak perlu setegang itu. Ah, sudahlah.
Itu sudah lama berlalu ‘kan? Tak seharusnya aku membicarakannya lagi.
Yang jelas, aku belum menikah karena aku belum menemukan orang yang cocok
sampai saat ini. Dan percayalah, aku juga masih normal.” Shinji tertawa. Dan Rena-pun kembali tersenyum.
“Untuk apa kau kembali ke
Indonesia?”
“Bekerja.” Jawab Shinji
singkat seraya menyeruput kopi dari cangkirnya dengan perlahan.
“Kau bekerja di mana?”
“Konsultan gizi. Kantor kami
beberapa kilometer dari sini.”
Rena manggut-manggut.
“Jika kau punya masalah
dengan asupan gizi dan kesehatan, kau bisa konsultasikan denganku. Jangan
khawatir, antar teman pasti diskon,”
Rena terkekeh. “Well, thank you. I’ll think about it,”
jawabnya.
“Tapi itu benar, Rena. Kau
perlu mengkonsultasikan tentang kesehatanmu. Jika tidak, bisa saja kau pingsan
lagi di pinggir jalan seperti beberapa hari yang lalu,” balas Shinji.
Rena tersentak. “Bagaimana
kau tahu tentang kejadian itu?” spontan ia bertanya dengan heran. Shinji hanya
tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Rena. Rena melotot.
“Apakah mungkin kau yang___?”
Shinji mengangguk beberapa
kali.
“Ya, akulah orang yang
menolongmu dan membawamu ke klinik ketika kau tak sadarkan diri di pinggir
jalan,” jawabnya kemudian hingga membuat Rena nyaris memekik kaget.
“Astaga, kenapa kau tak
bilang kalau kau-lah yang menolongku? Kau bahkan sempat menelponku ‘kan?” Rena
terlihat kesal.
Shinji hanya tertawa dengan
ulahnya.
“Maaf, aku tidak bermaksud
mempermainkanmu. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk bertemu denganmu,”
“Tapi, bagaimana ceritanya
kau bisa menolongku?”
Shinji menarik nafas. “Well,
anggap saja ini takdir. Aku bahkan baru saja menginjakkan kakiku di Indonesia
dan hendak menuju hotel. Tapi di tengah jalan, taksi yang ku tumpangi berhenti
karena beberapa orang menghentikannya. Mereka bilang seseorang sedang pingsan
dan harus dibawa ke rumah sakit secepatnya. Tadinya aku enggan, tapi ketika aku
turun dari taksi dan melihat siapa gerangan yang sedang tak sadarkan diri,
astaga, itu kau Rena. Dan tentu saja aku langsung membawamu ke klinik.” Ia
menjelaskan.
“Kenapa kau tak
mengunjungiku?”
“Aku ingin, tapi pekerjaan
tak bisa di tinggal. Di samping itu, aku disibukkan dengan tempat tinggal. Aku
harus kesana kemari untuk mencari apartemen yang cocok. Begitu aku longgar, aku
segera ke klinik mengunjungimu. Tapi ternyata kau sudah pulang. Seseorang
memberi nomor telponmu padaku.”
“Ketika kau menelponku,
kenapa kau bermain teka-teki tanpa menyebutkan namamu?”
Shinji kembali tertawa.
“Kejutan.” Jawabnya pendek.
Rena menarik nafas dengan gemas.
“Ah, aku tak tahu bagaimana
caranya berterima kasih padamu. Kau benar-benar menyelamatkan hidupku,”
“Kau ingin membalas budi
padaku?”
“Tentu saja.” Ujar Rena
yakin.
“Kalau begitu, jadilah
temanku.” Shinji menjawab sambil menatap mata Rena dengan lekat. Perempuan itu
tertawa. “Shinji, bukankah kita adalah teman sejak dulu?”
Shinji mengangkat bahu.
“Bukan begitu. Maksudku, aku
perlu seseorang untuk jadi pemandu,”
Rena mengernyitkan dahinya,
heran.
“Rena, kau’kan tahu aku lama
tak ke Indonesia. Bahkan, nyaris seluruh keluargaku berada di Jepang. Aku tak
mengenal banyak orang di sini. Dan aku juga tak mengenal lingkungan sini. Tentu
saja aku butuh seseorang yang bisa di ajak ngobrol, bisa dimintai tolong untuk
menjelaskan tentang banyak hal, bisa___”
“Oke, I’ll do it. Kau bisa menelponku jika kelak kau butuh bantuan
dariku,” potong Rena cepat. Shinji melotot.
“Serius?” Ia bertanya dengan
antusias.
Rena mengangguk.
“Suamimu takkan marah ‘kan?”
Rena menggeleng.
“Kau sudah punya nomor
telponku ‘kan? Kalau begitu, simpanlah baik-baik. Kalau kau butuh apa-apa, kau
tinggal menghubungiku. Percayalah, aku selalu siap jadi temanmu,” jawab
perempuan tersebut.
Shinji tersenyum.
“Arigatou, (terima
kasih),” ucapnya dengan tulus. Rena hanya tersenyum lalu mengangguk, dengan
tulus pula.
***
Ketika dalam perjalanan pulang, Rena kembali teringat akan
sosok Shinji Okada. Ia benar-benar tak menyangka bahwa ia akan bertemu
dengannya lagi. Sebenarnya dulu Rena pernah mencoba mencari tahu tentang dia
setelah ia keluar dari sekolah. Tujuannya hanya satu, meminta maaf. Tapi lelaki
itu seolah menghilang di telan bumi sehingga Rena-pun menghentikan misinya.
Ah, mau tak mau ingatan
perempuan itu kembali ke masa beberapa tahun yang lalu ketika ia masih duduk di
bangku es-em-a kelas dua. Waktu itu, sekolahnya kedatangan murid baru. Dia-lah
Shinji Okada. Cowok tampan blasteran Indonesia – Jepang. Ibunya orang Indonesia
sementara ayahnya orang Jepang. Kata para guru, Shinji pindah ke Indonesia
karena kedua orang tuanya memutuskan pindah dan bekerja di sini.
Tentu saja kedatangan Shinji Okada ke sekolah seperti magnet
tersendiri bagi setiap orang. Shinji
ibarat mainan baru yang fresh, up-to-date, yang setiap orang ingin
memilikinya, atau setidaknya melihatnya saja. Maklum, ia tampan luar biasa.
Tubuhnya jangkung, kulitnya bersih, dan dia juga ramah. Seabrek cewek-cewek
yang jatuh hati padanya.
Tapi, Rena tidak. Entahlah, Shinji memang tampan. Tapi Rena
tak merasakan apa-apa padanya, sama sekali. Sampai akhirnya, Ia menerima
taruhan konyol itu!
Entah setan apa yang ada di
kepala Rena hingga ia tega melakukan hal
bodoh semacam itu. Ya, Ia menerima tantangan temen-temen se-genk-nya untuk bisa
menjadikan Shinji Okada sebagai pacarnya. Jika ia bisa melakukannya dalam waktu
kurang dari sebulan, maka ia berhak mendapatkan sebuah ipod mahal merek
terkenal. Sebenarnya hadiahnya tak seberapa, tapi Rena begitu kangen dengan
petualangan. Dan Shinji Okada adalah sebuah petualangan baru baginya!
Dengan bersusah payah, akhirnya ia bisa mendekatinya. Dan
dengan jalan berliku-liku pula, akhirnya ia bisa menjadikannya sebagai
pacarnya. Mereka bahkan sempat berpacaran selama hampir tiga bulan. Tapi suatu
hari, entah darimana, Shinji mengetahui
tentang taruhan itu. Tentu saja cowok itu ia marah bukan kepalang.
“Bagaimana mungkin kau bisa
mempermainkan perasaan seseorang dengan begitu kejam? Tidakkah kau tahu bahwa
aku mencintaimu dengan tulus? Kau benar-benar jahat!”
Itu adalah kata-kata terakhir
yang Shinji ucapkan pada Rena sebelum akhirnya lelaki itu menghilang begitu
saja. Saat itu juga ia memutuskan Rena. Dan jujur, ia tak merasakan apa-apa. Ia
tak bersedih, ia tak menangis.
Setelah kejadian itu Shinji tak masuk sekolah selama beberapa
hari. Dan akhirnya Rena tahu bahwa Shinji keluar dari sekolah dan memutuskan
kembali ke jepang. Perasaan Rena yang tadinya tumpul, akhirnya merasa mulai
bersalah. Ia ingin meminta maaf pada cowok itu. Tapi terlambat. Shinji Okada menghilang
begitu saja tanpa bisa ia temukan.
Dan sekarang, tiba-tiba saja mereka bertemu lagi. Ini sungguh
di luar dugaan. Mungkinkah ini jalan dari Tuhan sehingga ia bisa meminta maaf
padanya? Sepertinya, iya.
“Belok kemana, mbak?” suara
pak sopir taksi membuyarkan lamunan Rena. Ia gelagapan.
“Ke kanan pak,”
jawabnya. Perempuan itu sempat menarik nafas panjang. Ya, ia
perlu waktu yang tepat untuk bertemu lagi dengan Shinji lalu secara khusus
meminta maaf padanya.
***
“Bagaimana dengan lowongan pekerjaan yang kumaksud kemarin,
mas?” tanya Rena ketika kakaknya sudah pulang dari luar kota dan sore itu
mereka sedang duduk-duduk santai di teras rumah.
“Ini tidak akan mudah, Rena.
Kau tahu ‘kan mencari pekerjaan jaman sekarang sangatlah sulit. Tapi, salah satu
rekanku yang punya usaha kuliner mengatakan bahwa di tempatnya masih kekurangan
seorang waitress. Bagaimana? Apakah kau mau mencobanya?”
Rena mengangguk dengan yakin.
“Ya, mas. Tak masalah.”
Jawabnya.
“Seorang waitress, Rena.
Tidakkah pekerjaan ini terlalu sulit bagimu?” Mas Aldi berusaha meyakinkan
adiknya itu. Rena tersenyum.
“Aku akan mencobanya, mas.
Yang penting pekerjaan itu halal. Dimana tempatnya? Kapan aku bisa ke sana?”
“Buatlah surat lamaran dulu.
Besok aku antarkan kesana.”
Rena menggeleng. “Tidak usah,
mas. Biar aku yang ke sana sendiri. Mas kasih tahu saja dimana tempatnya.”
Sesaat mas Aldi terdiam.
“Oke deh,” jawabnya kemudian.
Setelah mendapat alamat yang jelas, Rena segera bergegas ke kamarnya untuk
menyiapkan berkas-berkas yang ia butuhkan besok pagi. Di tengah-tengah
kesibukannya, phonselnya berbunyi.
Bagaimana kabarmu,
sayang?
Pesan singkat itu dikirim
oleh Hasan. Rena ingin membalasnya, tapi entah kenapa ia ragu untuk menuliskan
sesuatu.
Aku
sedang mencoba menyelesaikan masalahku dengan Anggi, kumohon tunggulah...
Hasan kembali mengirimkan
pesan singkat, tapi Rena tetap tak bergeming. Ia terus asyik merapikan beberapa
berkas. Dan, sebuah pesan singkat kembali bertambah di kotak masuk.
Rena sempat mengira bahwa
pesan tersebut dari Hasan. Tapi sesaat kemudian senyum tersungging di bibirnya
ketika membaca pesan tersebut.
Dimana restoran
jepang yang paling terkenal?
Shinji
Okada.
Tanpa pikir panjang, Rena
segera membalasa pesan yang ternyata dari Shinji.
Di Jalan Merdeka,
sebelah utara gedung bioskop lama. Balasnya.
Enakkah? Shinji
kembali mengirimkannya pesan.
Ya. Dan Rena juga
kembali membalasnya hingga mereka asyik berkirim pesang singkat.
Shinji : Mahal?
Rena : Tidak.
Shinji : Bagaimana kau tahu?
Rena : Karena aku sering makan di sana.
Shinji : Kau suka makanan jepang juga?
Rena : Yup.
Shinji : Apa yang kau suka?
Rena : Banyak.
Shinji : Mau kutraktir?
Rena : Kapan?
Shinji : Sekarang.
Rena : Thanks, but next time saja.
Shinji : Janji?
Rena : I’ll,,
Shinji : ah, aku kelaparan sekarang. Aku akan ke
sana.
Rena : ok, have a nice dinner.
Rena tersenyum
setelah mengirim pesan tersebut dan obrolan mereka via pesan singkat pun
berhenti.
***
Rena sudah bertemu secara langsung dengan pemilik restoran
yang dimaksud mas Aldi. Dan dia menjanjikan dalam 2 atau 3 hari ini Rena akan
mendapatkan kepastian tentang lamaran pekerjaan yang ia ajukan. Entah di terima
atau tidak, Rena sudah siap dengan kemungkinan itu.
Setelah pertemuan itu, Rena
langsung merencanakan untuk pulang. Perempuan itu sedang bersiap-siap untuk
menghentikan taksi ketika ia merasakan seseorang menyentuh pundaknya dengan
pelan. Perempuan bertubuh mungil itu menoleh. Dan tampak olehnya, seorang
lelaki tampan sudah berdiri di dekatnya, tetap dengan senyumnya yang menawan.
Shinji Okada.
“Yo (hai), kita bertemu
lagi ‘kan?” Ia menyapa duluan. Rena tersenyum.
“Darimana?” Ia kembali
bertanya sebelum Rena sempat membuka suara.
“Dari situ.” Jawab Rena
pendek seraya menunjuk ke arah restoran mewah yang berada tak jauh di belakang
mereka. “Dan kau sendiri?” Ia balas bertanya.
“Sama. Aku juga dari sana.
Aku ada sedikit urusan dengan chef. Dia bilang dia ingin berkonsultasi tentang gizi pada resep
baru mereka.” jawab Shinji. “Kau mau
pulang?” Ia kembali bertanya pada Rena.
Perempuan itu mengangguk.
“Dan kau?”
“Sama.” Jawaban Shinji
membuat keduanya tertawa.
“Kau naik taksi?”
Rena kembali mengangguk.
“Mau ku antarkan?”
Perempuan itu menggeleng.
“Tidak, terima kasih,” jawabnya.
“Kenapa? Takut suamimu marah
ya?”
Rena kembali menggeleng.
“Tidak, dia tidak akan marah.
Toh dia bukan tipe pencemburu. Hanya saja___” kata-kata Rena terhenti ketika ia
ingat sesuatu. “Apa kau sibuk hari ini?” Ia balik bertanya pada Shinji. Lelaki
itu menyipitkan matanya yang sudah sipit.
“Tidak juga. Kenapa?”
“Kau sudah makan siang?”
“Mmm, aku sempat mencicipi
beberapa resep baru di restoran tadi. Tapi jujur itu tidak cukup
mengenyangkanku. Kenapa?”
“Aku ingin mentraktirmu makan
siang. Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan denganmu. Itupun jika kau tak ada
janji. Tapi jika kau sudah acara, semoga lain kali kau mau menerima ajakanku,”
ucapan Rena terdengar malu-malu. Shinji tersenyum kemudian melirik arloji di
pergelangan tangannya.
“Jujur, sebenarnya aku sudah
ada acara makan siang dengan seseorang. Tapi, aku bisa menundanya lain waktu.”
“Jadi?”
Shinji mengangguk. “Oke,
makan siang dimana?”
“Tak mengganggumu ‘kan?”
Shinji menggeleng.
“Aku takkan mampu menolakmu,
Rena.” Jawabnya. “Mmm, maksudku, ajakan makan siangmu. Aku takkan mampu
menolaknya.” Ia meralat dengan tersipu malu.
“Ini termasuk rejeki ‘kan?
Bukankah rejeki tak boleh ditolak?” Ia menambahkan.
Rena mengangguk.
“Tidakkah kita makan di sini
saja?” Shinji menyarankan seraya menunjuk ke arah restoran yang mereka datangi
tadi.
“Maaf, tapi aku punya rencana
lain.” Jawab Rena cepat. Ia tak mau jika Shinji sampai tahu bahwa ia ke
restoran tersebut untuk mencari pekerjaan. Lagipula, akan lebih menyulitkan
lagi jika pemilik restoran yang merupakan teman mas Aldi itu sampai
melihatnya makan siang bersama lelaki
lain. Ia pasti akan bercerita macam-macam pada mas Aldi.
“Oke, terserah kau saja,”
jawab Shinji kemudian. Akhirnya, mereka pergi ke kafe yang dimaksud Rena dengan
naik mobil Shinji.
***
“Wah, aku tak tahu bahwa tak jauh dari apartemenku ada kafe
senyaman ini. Makanan di sini juga lezat sekali. Oishiii, (enak),” ucap
Shinji senang seraya menatap Rena dengan tulus. Perempun itu tersenyum
mendengarnya.
“Kau tinggal di sekitar
sini?” tanyanya kemudian. Shinji mengangguk.
“Apartemenku berada tak jauh
dari sini. Mungkin hanya butuh waktu kurang dari 5 menit untuk sampai di sana.
Mampirlah kapan-kapan,” jawabnya. Rena manggut-manggut.
“Oh iya, apa yang ingin kau
bicarakan?” Shinji seolah mengingatkan Rena tentang tujuan mereka ke sini. Rena
tak segera menjawab. Ia meletakkan sendok es yang sejak tadi ia mainkan dengan
mengaduk-aduk minumannya tak menentu, lalu menatap lelaki di hadapannya dengan
dalam. Shinji mengernyitkan dahinya, penasaran.
“Kenapa kau berubah serius
begini, Rena? Kau membuatku takut,” ucapnya. Rena menghela nafas sebelum
membuka suara. Ia menelan ludah.
“Aku ingin minta maaf secara
langsung padamu, Shinji.” Ucapnya kemudian dengan sedikit gugup.
“Heh?” Dahi Shinji kembali
berkerut. “Maaf? Untuk apa?” Ia kembali bertanya.
“Untuk perbuatan burukku
padamu ketika kita masih duduk di bangku SMA.”
“Maksudmu?”
“Mungkin ini sudah sangat
terlambat mengingat kejadian itu sudah berlalu sangat lama. Tapi percayalah
padaku bahwa aku sudah berusaha mencari cara untuk bertemu denganmu dan meminta
maaf secara langsung padamu. Hanya saja, aku seakan kehilangan jejakmu. Kau
begitu sulit ditemukan.” Rena terdengar putus asa menjelaskan.
Shinji tergelak. “Sebenarnya kau
ingin bicara apa?” tanyanya lagi. Tawanya terhenti perlahan manakala
menyaksikan raut muka Rena yang nampak serius.
“Oke, langsung saja ke
intinya. Kau ingin minta maaf untuk apa?”
“Untuk taruhan itu.” Jawab
Rena cepat.
“Taruhan apa?”
“Taruhan konyol yang pernah
ku lakukan ketika kita masih SMA. Taruhan untuk menjadikanmu pacarku. Entah kau
masih ingat atau tidak, tapi aku punya perbuatan buruk padamu waktu itu. Aku
sadar aku jahat. Aku mempermainkan hatimu dan berpura-pura mencintaimu agar kau
mau jadi pacarku demi bisa memenangkan taruhan itu. Ah, waktu itu aku
benar-benar jahat sekali padamu. Aku menyesalinya Shinji. Ku harap kau bersedia
memaafkanku.” Kalimat Rena terdengar begitu sungguh-sungguh. Shinji
memandangnya dengan tatapan yang nyaris tak berkedip hingga membuat perempuan
itu sedikit grogi.
“Kau ingin agar aku
memaafkanmu?” Lelaki itu menatap Rena dengan serius. Rena mengangguk.
“Kalau begitu, bercerailah
dengan suamimu dan kembalilah padaku,” ucapnya lagi. Rena tercengang mendengar
kalimat yang meluncur dari bibir tipis Shinji. Sepasang mata mereka beradu dan
keadaan menjadi hening sesaat.
Tapi sejurus kemudian, Shinji
tergelak.
“Aku bercanda, Rena,” ucapnya
kemudian hingga membuat kebekuan Rena mencair.
“Ya, aku memang masih ingat
semuanya. Aku masih ingat bagaimana kau mempermainkanku dan membodohiku demi
memenangkan taruhan konyol itu. Waktu itu aku merasa sangat marah karena aku
merasa kau telah mempermainkanku seperti mainan baru bagimu. Tapi, bukankah itu
sudah lama berlalu? Jadi, tak ada gunanya lagi kita terus mengingatnya karena
sekarang kau sudah punya kehidupan baru yang bahagia, begitu pula denganku.
Tapi, aku tetap ingin menjadi sahabatmu, Rena. Bagaimanapun juga kita pernah
dekat dan sempat menjadi sepasang kekasih – walau hanya pura-pura. Dan jujur,
kebersamaan kita waktu itu benar-benar membuatku bahagia. Tapi aku senang bisa
menjadi sahabatmu.” Jawab Shinji.
“Apa kau masih bisa
menganggapku sahabat setelah apa yang kulakukan padamu?”
Shinji tersenyum mendengar
pertanyaan Rena.
“Tentu saja, persahabatan
kita bahkan bisa lebih baik lagi,” jawabnya.
Rena tersenyum.
“Terima kasih. Aku lega
sekarang,” ucapnya. Shinji mengangguk, mengiyakan ucapan Rena.
“Oh iya, untuk apa kamu
menemui pemilik restoran tadi?” Lelaki itu mengubah topik pembicaraan secara
tiba-tiba.
Rena mengernyitkan dahinya.
“Restoran yang mana?” Ia
berpura-pura bingung.
“Restoran yang tadi. Sebelum kau
mengajakku ke sini. Aku melihatmu masuk ke ruangannya. Kalian teman?”
Rena tak segera menjawab
pertanyaan Shinji.
“Dia teman kakakku. Dan aku
menemuinya untuk mendapatkan pekerjaan,” jawab Rena jujur. Ya, tak ada gunanya
juga ia menyembunyikannya dari Shinji. Toh tak ada bedanya ia tahu atau tidak
tentang masalah yang sekarang ia hadapi.
“Pekerjaan?”
Rena mengangguk.
“Kenapa kau harus menemuinya
untuk mendapatkan pekerjaan?”
“Tentu saja aku ingin
mandiri. Kita tak bisa selamanya tergantung pada orang lain ‘kan?”
Shinji tertawa.
“Kau aneh, Ren. Bukankah
suamimu seorang pengusaha kaya? Untuk apa kau repot-repot mencari pekerjaan?”
Rena terdiam sesaat.
“Akan lebih baik kalau aku
hidup mandiri ‘kan? Hitung-hitung untuk mencari kesibukan.” Hanya itu yang bisa
ia ceritakan tentang rumah tangganya. “Dan, darimana kau tahu kalau aku menikah
dengan seorang pengusaha? Kau mengenalnya?”
Shinji menggeleng. “Tidak.
Tapi aku pernah dengar kalau kau menikah dengan seorang pengusaha kaya.”
Jawabnya.
Rena tersenyum.
“Waah, kau tahu banyak
tentang diriku ternyata. Apa kau memata-mataiku?” Tanyanya. Shinji tersenyum.
“Tidak, kebetulan saja
beberapa hari yang lalu aku ketemu seseorang yang mengenalmu. Dan dia bilang
suamimu seorang pengusaha kaya,”
“Siapa?” Rena bertanya
was-was.
“Leni. Kalau tidak salah, dia
dulu satu kelas denganmu ketika di es-em-a. Aku bertemu dengannya secara tak
sengaja di sebuah kafe,” jawab Shinji.
Rena kemudian teringat akan
sesosok wajah cantik keibuan, Leni. Ya, ia dulu satu kelas dengannya. Mereka
bahkan pernah duduk satu bangku. Persahabatan mereka lumayan dekat. Meski
akhir-akhir ini mereka jarang berkomunikasi karena Leni juga seorang yang sibuk
sekali dengan bisnisnya.
“Dan, apalagi yang ia
ceritakan?” tanya Rena seraya menatap Shinji dengan penuh selidik.
“Hanya itu.”
“Kau yakin? Ia tak
menceritakan dengan suamiku? Diriku? Keluargaku?”
Shinji menggeleng.
“Ya, hanya itu. Kenapa? Ada
sesuatu?” Shinji balik bertanya dengan penuh selidik.
Rena menggeleng. Ia kembali
menyeruput teh-nya dengan perlahan.
“Kapan-kapan perkenalkanlah
aku dengan suamimu. Kau temanku, berarti dia juga temanku ‘kan? Dan tentu aku
ingin menjalin hubungan yang baik dengan dia. Semoga kau tak keberatan.”
Rena tersenyum kecut.
“Mungkin, aku akan
memperkenalkannya padamu jika ada waktu. Tapi aku tak janji karena dia sangat
sibuk sekali. Selain itu ____” kalimat Rena terhenti ketika tanpa sengaja
tatapan matanya menangkap dua sosok manusia sedang mengobrol di salah satu
kursi tamu yang berjarak tak jauh darinya. Hasan dan Anggi! Mereka terlihat
mengobrol dengan serius. Entah apa yang mereka bicarakan.
“Ren?” Panggil Shinji ketika
ia menyadari perempuan di hadapannya tampak bengong. Rena tersentak. Bukannya
menjawab panggilan Shinji, perempuan itu meraih dompet di tasnya lalu
mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu kemudian meletakkannya di depan
Shinji.
“Maaf, aku tak ingin
menyinggung perasaanmu. Tapi aku harus pergi sekarang juga. Ada sesuatu yang
harus ku selesaikan di rumah. Aku janji mentraktirmu ‘kan? Jadi, tolong kau
bayarkan ini saja. Oke?” Rena meraih tasnya dan beranjak.
“Tapi, Ren? Kau mau kemana?”
Panggil Shinji heran. Rena tak menghiraukannya. Ia terus melangkahkan kakinya
dan berniat meninggalkan tempat tersebut tanpa diketahui oleh Hasan. Tapi,
panggilan Shinji yang berulang-ulang menyebabkan Hasan menoleh hingga melihat
sosok istrinya yang melenggang ke luar rumah makan. Tanpa mengatakan apapun
pada Anggi, lelaki itu beranjak dan berlari mengejar Rena.
“Rena!” panggilnya. Rena
hanya menoleh sekilas ke arah lelaki tersebut tanpa menghentikan langkah
kakinya hingga memaksa Hasan untuk menarik lengan tangannya.
“Apa kau mencariku ke sini?”
Tanya lelaki berwajah bersih itu dengan lembut.
“Tidak, kebetulan saja aku
makan di sini.” Jawab Rena ketus. Ia menepis tangan Hasan.
“Aku datang bersama Anggi.
Ada sesuatu yang harus kami bicarakan. Ku harap kau mengerti.”
“Selesaikan saja urusanmu
dengan perempuan itu, aku tak peduli.” Rena melangkahkan kembali kakinya dan
Hasan terus menarik-narik tangannya hingga mereka sempat terlibat keributan
kecil. Shinji yang melihat adegan itu akhirnya bangkit dari kursinya dan menghampiri
mereka.
“Apa yang kau lakukan
padanya, bung? Kau menyakiti tangannya.” Suara Shinji setengah membentak sambil
menghalau tangan Hasan dari lengan Rena.
“Bersikaplah sopan pada
perempuan,” ucapnya lagi. Hasan mengernyitkan dahinya, marah.
“Siapa kau? Berani-beraninya
kau mencampuri urusan kami?”
“Aku temannya. Dan kau
siapa?”
“Aku suami Rena, tidakkah kau
tahu itu?”
Shinji terhenyak mendengar
jawaban Hasan. Ia menatap ke arah Rena, meminta penegasan.
“Ya, dia suamiku. Maaf telah
merepotkanmu. Tapi, biar aku menyelesaikan ini, Shinji. Kau pulanglah,” ucap
Rena dengan suara memohon.
“Siapa dia, Rena?” Hasan
bertanya dengan suara ketus.
Rena tak segera menjawab.
“Dia teman es-em-a-ku. Ah,
sudahlah, mas. Selesaikan saja masalahmu dengan Anggi. Kita akan bahas ini lain
kali. Dan, Shinji, maaf melibatkanmu dalam kesalah pahaman ini. Kau bisa pulang
sekarang. Kita akan mengobrol lagi lain kali,”
“Tapi__” Hasan dan Shinji
bertanya hampir bersamaan. Namun kata-kata mereka tertahan ketika mereka
mendengar suara ribut-ribut dari dalam rumah makan. Orang-orang tampak
berkerumun di meja yang tadi di tempati oleh Hasan dan Anggi. Hasan beranjak ke
dalam diikuti oleh Shinji dan Rena karena bagaimanapun juga ia penasaran dengan
apa yang terjadi. Dan sekian detik kemudian, mereka melihat Anggi jatuh tak
sadarkan diri di lantai.
“Apa yang terjadi padanya?”
tanya Hasan pada orang-orang di sekitar mereka.
“Dia tiba-tiba pingsan, mas.”
Jawab seorang waitress.
“Bawa dia ke rumah sakit,
cepat!” tanpa sadar Rena berteriak. Jujur, ia merasa khawatir melihat Anggi
jatuh pingsan dengan muka pucat pasi. Hasan menatap Rena dengan bingung.
“Bawa dia ke rumah sakit,
mas!” teriak Rena lagi. Dan barulah Hasan berlutut lalu meraih tubuh Anggi dan
membopongnya ke dalam mobilnya.
“Kau tak ikut bersamaku?”
tanya Hasan lagi pada Rena yang berdiri dengan muka pucat. Rena menggeleng.
“Selamatkan dia dan ...
bayinya.” Jawabnya parau. Dan dengan berat hati, Hasan memasukkan tubuh Anggi
ke mobilnya lalu segera menjalankan mobil tersebut dengan kecepatan tinggi.
Entah ke rumah sakit mana ia membawanya, Rena tak sanggup berpikir jernih. Ia
merasakan dadanya sesak. Ia terluka menyaksikan Hasan membopong Anggi dan
berusaha menyelamatkannya. Hatinya sakit luar biasa.
“Rena?” panggil Shinji lirih. Ternyata sejak tadi, lelaki itu
setia berdiri di sampingnya.
Rena menoleh. Ia ingin
menahan agar air matanya tidak menitik. Tapi ia tak sanggup. Air mata itu tetap
saja mengalir dengan deras dari kedua matanya yang bulat indah. Dan Shinji
terhenyak.
“Rena?” panggilnya lagi
dengan lebih lirih dan iba. Dan tangis Rena-pun pecah.
Shinji masih mencoba mengerti
dengan apa yang telah terjadi pada wanita itu. Dan secara reflek, naluri
lelakinya membuatnya bergerak, merengkuh tubuh perempuan di depannya, lalu
memeluknya dengan erat dan mencoba menenangkannya.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar