Hampir
setiap hari, sepulang ia dari bekerja, setiap kali lewat di depan rumah lelaki
itu, ia selalu dapat bertemu dengannya. Entah ketika ia sedang duduk di teras
rumahnya, menyiram tanaman di tamannya, atau hanya sekedar duduk di ayunan,
tempat favorit Hanna. Dan dari situlah
ia selalu punya kesempatan untuk menyapanya dan mengobrol dengannya, walau tak
banyak.
“Hai.” Lagi,
sore itu sepulang dari bekerja, Hanna kembali bisa menemukan Rafael di depan
rumahnya. Lelaki itu sedang mencoba merapikan
letak beberapa pot bunga. Rafael menoleh. Hanna berdiri di luar pagar
rumahnya sembari tersenyum dan melambaikan tangannya. Rumah itu memang megah,
tapi pagar rumahnya pendek, hanya sebatas pinggang orang dewasa. Sehingga
setiap orang pasti bisa dengan leluasa menikmati pemandangan rumah tersebut.
Rafael balas tersenyum melihat Hanna.
“Hai, kau baru
pulang?” Ia menjawab dengan pertanyaan. Hanna mengangguk. Ia melangkah mendekat
dan naik beberapa tingkat ke atas pagar.
“Hei, apa yang
kau lakukan? Kau bisa jatuh.” Nada suara Rafael terdengar khawatir. Hanna
terkikik.
“Kau lupa kalau
aku sering masuk ke rumah ini dengan sembunyi-sembunyi? Aku sudah berkali-kali
meloncati pagar ini. Aku bahkan pernah meloncati pagar yang lebih tinggi dari
ini,” jawab Hanna bangga. “Ayolah, apa kau tak ingin menyuruhku masuk hari
ini?” Perempuan itu merajuk. Rafael mengernyitkan dahinya, bingung.
“Aku kangen
dengan ... itu,” jawab Hanna malu-malu seraya menunjuk ke arah ayunan di dekat
kolam. Rafael tersenyum.
“Oke, masuklah,”
jawabnya kemudian. Hanna bersorak seraya meloncati pagar itu dan masuk ke halaman
rumah. Rafael melotot.
“Kau boleh masuk
ke rumahku tapi ini yang terakhir kalinya kau meloncati pagar, oke? Lain kali,
masuklah lewat pintu. Aku tak mau melihatmu terluka,” ucapnya sedikit kesal.
Dan ia kelihatan begitu tampan dengan ekspresi seperti itu. Hanna tertawa.
“Oke, sir.
Maafkan aku. Aku janji ini pasti akan menjadi yang terakhir kalinya aku
meloncati pagar. Apa itu berarti aku boleh main-main ke sini lagi?” kedua bola
mata Hanna bersinar indah. Rafael terdiam sesaat.
“Selama kau tak
bertingkah, aku takkan masalah dikunjungi,” jawabnya kemudian.
“Aku akan
menjadi anak yang sopan, janji,” ucap Hanna seraya berlari ke arah ayunan dan
dalam hitungan detik ia sudah berayun-ayun dengan gembira. Rafael beranjak dan
duduk di bangku yang berada tak jauh dari ayunan tersebut.
“Aku bisa
membantumu membersihkan taman dan kebun sebagai imbalan karena kau
memperbolehkanku bermain-main di ayunan ini,” Hanna berhenti berayun.
“Kenapa kau
begitu suka bermain-main di taman rumahku? Bukankah di sini juga ada taman kota
yang punya ayunan? Kenapa kau tak main-main di sana?” Rafael bertanya jujur.
“Disana terlalu
ramai. Aku tak bisa menikmati. Ah, andaikan aku punya banyak uang, aku pasti
akan membangun taman yang persis sama seperti ini,” jawab Hanna. Rafael
menatapnya lekat. “Aku sudah bilang ‘kan kalau kau boleh sering-sering ke
sini,” ucapnya. Hanna balas menatapnya dengan bibir berkerut.
“Kau tak
terganggu kalau aku sering ke sini? Kau ‘kan orang sibuk?”
Rafael kembali
tersenyum. “Aku tak sesibuk yang kau duga,” jawabnya.
Hanna ingin
berkata-kata lagi, tapi kalimatnya tertahan dan berganti dengan hidungnya yang
kembang kempis.
“Aku mencium bau
gosong,” ucapnya tak yakin. Rafael tersentak, lelaki itu melotot.
“Ya Tuhan,” ia
berdiri dan segera berlari ke dalam rumahnya. Hanna mengikutinya. Ketika mereka
sampai di dapur, mereka menemukan panci di atas kompor sudah mengepul dan
nyaris terbakar. Ah, sebenarnya sudah terbakar. Rafael segera mematikan api.
“Astaga, aku nyaris saja meledakkan rumahku sendiri,” ia menggerutu.
“Apa yang kau
masak?” Hanna bertanya dari balik punggung Rafael.
“Aku hanya
menghangatkan sayur,” jawab Rafael seraya memindahkan panci yang telah gosong
itu ke wastafel.
“Kau pintar
memasak ya?” Hanna kembali bertanya.
“Tentu saja. Aku
terbiasa hidup sendiri, dan memasak adalah salah satu keahlianku,” jawab Rafael
kembali tanpa menoleh.
“Wah, sayang
sekali. Coba kalau kau tak bisa memasak, aku pasti akan membantu dengan
memasakkan sesuatu untukmu,” ucap Hanna.
“Supaya aku
mengijinkanmu sering-sering bermain di taman rumahku?” Rafael terkekeh.
“Tentu saja,”
Hanna menjawab cepet.
Rafael tersenyum
dan menoleh ke arah Hanna.
“Jadi kau juga
pintar memasak?” ia bertanya. Hanna meringis.
“Tidak,”
jawabnya kemudian. Rafael segera tertawa keras mendengar gurauan perempuan
tersebut.
“Aku hanya bisa
masak instan. Selama ini, Ella yang masak. Aku hanya bantu-bantu,”
“Ella siapa?”
“Teman satu
rumah denganku,”
Rafael
manggut-manggut.
Hanna berniat
membantu Rafael membersihkan dapurnya, tapi niatnya terurung ketika phonselnya
berdering.
“Sebentar,” ia
meraih phonselnya lalu beranjak menjauhi Rafael untuk selanjutnya terlibat
pembicaraan serius di telepon.
“Aku ingin
membantumu, tapi maaf, aku punya urusan mendadak yang sangat penting.
Kapan-kapan aku akan membantumu, oke. Bye,” Hanna beranjak sebelum Rafael
sempat berkata-kata.
***
Lelaki jangkung itu memasuki ruangan
dengan ragu. Ia tampak sedikit bingung sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk
di kursi yang berada paling dekat dengan pintu masuk. Restoran tampak ramai
karena jam makan siang. Rafael memandang sekelilingnya dan akhirnya tatapan
matanya melihat sosok itu.
Hanna menatap
Rafael dengan sedikit terkejut. Tatapan mereka beradu, dan ia pun tersenyum.
Begitu pula dengan lelaki tersebut.
“Biar aku saja,”
ucapnya ketika Sam, rekan kerjanya, hendak bergerak ke meja tersebut. Dengan
langkah ringan, Hanna bergerak menuju tempat Rafael berada.
“Hai,” ia
menyapa ramah dengan senyum indahnya. Rafael tersenyum, sedikit canggung.
“Hai,” ia
membalas.
“Aku tak
menyangka kau bisa datang ke tempat ini. Jika kau mengharapkan makanan paling
lezat di kota ini, kau sudah datang di tempat yang tepat.” ucap Hanna. Rafael
tertawa.
“Mereka bilang,
makanan di sini sangat enak. Dan aku penasaran untuk mencobanya,”
“Sudah kubilang
‘kan kau datang di tempat yang tepat,” Hanna menyodorkan buku menu. “Kau datang
sendirian?” Ia bertanya.
Rafael
menangguk.
“Aku belum
mengenal banyak orang di sini, jadi aku belum bisa memutuskan untuk mengajak
seseorang,” jawab Rafael. Hanna manggut-manggut.
“Mmm, aku tak
tahu harus pesan apa. Aku terlalu bingung. Semua terlihat enak,” ucap Rafael
dengan tatapan yang tak beranjak dari buku menu di tangannya.
“Butuh saran
dariku?” Hanna menawarkan. Rafael mendongak dan mengangguk. Dan dalam waktu
singkat, Hanna sudah menuliskan beberapa menu di catatannya.
“Wah, kau pasti
akan menyukainya. Pesananmu akan segera di antarkan, dalam beberapa menit.
Oke,” bola mata Hanna bergerak dengan indah.
“Kau pulang jam
berapa?” tanya Rafael kemudian.
Hanna terdiam
sesaat.
“Shift-ku akan
selesai jam 4 sore,” jawabnya. Rafael manggut-manggut. Hanna beranjak
meninggalkannya untuk memesankan pesanannya.
Hanna sempat tertegun sesaat ketika menemukan
Rafael tengah berdiri di luar restoran tempatnya bekerja.
“Kau masih di
sini?” tanya Hanna. Rafael tersenyum dan mengangguk.
“Aku ... sengaja
menunggumu sampai kau selesai bekerja,” jawabnya sedikit ragu. Hanna
mengernyitkan dahinya.
“Kenapa?” ia
bertanya. Rafael tak segera menjawab. Ia melangkah mendekati Hanna. Lelaki itu
menatapnya dengan dalam.
“Maaf, aku tak
bermaksud kurang ajar padamu. Tapi aku benar-benar tak bisa menghentikan rasa
ketertarikanku akan dirimu. Sejak pertama kali bertemu denganmu, dan juga
pertemuan-pertemuan kita selanjutnya, aku benar-benar ingin tahu lebih banyak
tentang dirimu. Aku ingin tahu nama lengkapmu, nomor phonselmu, kesukaanmu, dan
aku juga ingin berkunjung ke rumahmu. Yang jelas, aku ingin tahu segala hal tentang
dirimu,” kalimat Rafael terhenti sesaat. Hanna menelan ludah, bingung.
“Hanna, aku tak
pandai bicara. Dan percayalah, ini adalah yang pertama kalinya aku melakukan
hal seperti ini. Saat ini, aku sedang tidak berkencan dengan wanita manapun.
Dan jika kau juga sedang tidak berkencan dengan lelaki manapun, bisakah kita
menjalani hubungan yang lebih jauh dari pada ini? Maksudku, lebih dari sahabat
biasa,”
Hanna terhenyak.
Pengakuan Rafael yang tiba-tiba membuatnya sedikit shock.
“Apa kau ...
jatuh cinta padaku?” Ia bertanya langsung.
“Ya,” Rafael
menjawab cepat hingga membuat Hanna kembali ternganga.
“Tapi, jika kau
tak bersedia-pun, ku harap kau masih tetap mau bersahabat denganku...”
“Aku sedang
tidak punya hubungan khusus dengan lelaki manapun,” potong Hanna. Rafael
menatapnya dengan penegasan. Hanna tersenyum.
“Jadi kupikir
.... kita bisa memiliki hubungan yang lebih dari sahabat,” ucapan Hanna membuat
kedua mata Rafael berbinar. Ia
manggut-manggut. Ada luapan kegembiraan di wajahnya.
“Jadi ... bisakah
kita mulai sejak hari ini?”
“Tentu,” jawab
Hanna. Keduanya berpandangan, tersenyum.
“Aku janji kita
akan melakukan hal ini pelan-pelan. Dimulai dari hal-hal kecil semacam ...
mengantarkanmu pulang hari ini?” ucap Rafael. Hanna tersenyum. Pipinya merona
dengan indah hingga wajahnya semakin terlihat cantik alami.
“Oke, kau bisa
mengantarkanku pulang hari ini,” jawabnya. Mereka melangkah berdampingan menuju
mobil Rafael yang terparkir di pinggir jalan. Dan mulai hari itu, mereka
sepakat untuk menjalin hubungan yang lebih jauh dari sekedar sahabat. Tak
banyak kata, tapi mereka tahu bahwa mereka saling mencintai satu sama lain.
Mereka menjalin hubungan yang manis dan indah, saling memperhatikan, saling
menyayangi, saling mengunjungi, benar-benar sebuah hubungan yang membuat Hanna
dan juga Rafael bahagia.
***
Ella mulai sibuk karena pernikahannya
akan diselenggarakan 3 bulan lagi. Ia juga mulai jarang tinggal di rumah. Ia
lebih sering menginap di rumah Andre untuk menyiapkan banyak hal.
“Aku juga sudah
menulis surat pengunduran diri,” ucap Ella. Hanna mengangguk.
“Aku berencana
untuk menjadi seorang ibu rumah tangga saja setelah menikah. Andre melarangku
bekerja,” Lanjutnya.
“Tentu saja kau
tak perlu repot bekerja. Suamimu pasti akan memenuhi semua kebutuhanmu,” sergah
Hanna. Ella tersenyum.
“Kelak kalau kau
menikah dengan Rafael, kau juga tak perlu repot-repot lagi bekerja ‘kan? Dia
‘kan kaya raya.”
Hanna tertawa.
Ia mengangkat bahu. “Aku belum berpikir sampai sejauh itu. Aku menikmati saja
hubunganku yang sekarang,” jawabnya.
“Tapi kau pasti
berencana menikah dengannya ‘kan?” Ella menatap sahabatnya itu dengan penuh
selidik. Hanna terdiam sesaat.
“Entahlah. Aku
juga belum merencanakannya,” jawabnya lagi. Ia pernah memarahi Ella karena
kasus yang sama. Dan sekarang, ia mengalaminya sendiri. Menikah dengan Rafael?
Belum terpikir sama sekali olehnya. Ia hanya perempuan biasa, sederhana, dan
tidak berpendidikan tinggi. Sementara Rafael? Ah, ia mulai merasa rendah diri.
“Jangan pernah
merasa rendah diri. Kau yang mengatakan itu padaku. Jadi, awas jika kau
berpikir tentang status seperti itu,” Ella seakan bisa membaca pikiran Hanna
hingga perempuan itu hanya tergelak.
“Nanti aku akan
menginap di rumah Andre. Kau libur kerja ‘kan? Kau tak berencana menghabiskan
waktumu bersama Rafael?”
Hanna
menggaruk-nggaruk kepalanya.
“Ia tak tahu
kalau aku libur. Jadi mungkin, aku akan di rumah sendirian,” jawabnya. Ella
tertawa.
“Hanna, rumah
Rafael hanya beberapa ratus meter dari sini. Kenapa kau tak datang saja ke
rumahnya dan bermain-main di sana. Daripada sendirian di rumah,”
“Oke, akan
kupikirkan nanti,” jawab Hanna ragu. Ella mengecup pipi Hanna lalu beranjak meninggalkan
perempuan itu untuk selanjutnya menuju rumah Andre, tunangannya.
Setelah
Ella pergi, Hanna berniat untuk tidur dan bermalas-malasan saja. Tapi kemudian
ia dibuat terkejut ketika Rafael datang ke rumahnya, tanpa memberitahu terlebih
dahulu.
“Hai, ayo kita
jalan-jalan. Aku tahu kau libur hari ini,” Rafael segera menyemprot Hanna
dengan ajakan.
“Whoa, tunggu
dulu, sir. Bagaimana kau tahu kalau hari ini aku libur?” tanya Hanna. Rafael
tersenyum.
“Aku hafal
jadwalmu,” jawabnya kemudian. Hanna tergelak.
“Sepertinya aku
harus hati-hati mulai sekarang. Kau tak bisa diremehkan,” ucapnya. Rafael
tergelak. Ia mengecup kening Hanna dengan lembut.
“Ayolah, aku
sudah menyiapkan sesuatu untukmu hari ini,” ucapnya. Hanna mengangguk. Setelah
mandi dan berganti baju dengan baju kasual, ia menerima ajakan Rafael untuk
jalan-jalan. Ke pantai, ternyata itu tujuannya. Tapi, yang disiapkan Rafael
ternyata bukan itu. Setelah berjalan-jalan di pantai hingga petang, Rafael
mengajak Hanna mampir ke rumahnya. Dan perempuan itu benar-benar terkejut
ketika ternyata Rafael sudah menyiapkan sebuah candle light dinner yang begitu
romantis di rumahnya.
“Astaga, kapan
kau menyiapkannya?” tanya Hanna dengan rasa tak percaya. Rafael tersenyum
lembut.
“Untuk yang
pertama kalinya, aku meminta beberapa karyawanku datang ke sini untuk
menyiapkannya selagi aku mengajakmu jalan-jalan dipantai. Duduklah sayang,” ia
menarik sebuah kursi dan menyilakan Hanna duduk. Dan ia sendiri duduk di kursi
yang berada di seberang Hanna.
“Semua menu di
sini adalah kesukaanmu,” tambahnya. Hanna menatap hidangan di meja dengan
terpana. Ia benar-benar terharu.
“Kuharap kau
menyukainya,” ucap Rafael lagi. Hanna tersenyum dan mengangguk. Dan mereka
mengadakan jamuan makan malam yang romantis dengan penuh senyum kebahagiaan.
Setelah selesai makan malam, mereka mengobrol di ruang tengah. Duduk
berdampingan di sofa sambil menikmati alunan musik.
“Kau suka hari
ini?” tanya Rafael seraya menggenggam tangan Hanna dengan lembut. Hanna
mengangguk.
“Terima kasih. Aku
bahagia sekali hari ini,” jawabnya.
“Semoga aku bisa
membahagiakanmu selamanya,” ucap Rafael dengan suara yang lembut pula.
Hanna memutar
posisi duduknya dan menghadap ke arah Rafael.
“Sebenarnya apa
yang kau suka dariku?” ia bertanya dengan tatapan langsung tertuju ke arah
Rafael.
“Semuanya. Aku
sudah pernah bilang itu ‘kan?”
“Secara
spesifik, apa?”
Rafael menatap
langit-langit rumahnya sesaat. Lalu kembali menatap Hanna dengan lembut.
“Mm, kau cantik.
Kau ceria. Kau percaya diri. Kau baik. Kau mengagumkan. Kau ...”
Hanna tertawa.
“Kau pandai merayu,” potongnya.
“Itu jujur,
sayang. Jika kau bertanya seperti itu lagi, aku akan tetap menjawab hal yang
sama,”
“Tapi aku tak
sebaik itu,” sanggah Hanna.
“Kau baik,”
“Tidak, aku
tidak terlalu baik. Bagaimana kalau aku sengaja menggodamu?” ucap Hanna dengan
sedikit ragu.
Rafael terdiam
sesaat dan menatap Hanna dengan heran.
“Maksudmu?”
“Yaa... seperti
yang terjadi di film-film. Kau pemuda kaya, aku gadis biasa, lalu aku sengaja
mendekatimu, menggodamu. Bagaimana kalau itu yang terjadi di antara kita?”
Keduanya
berpandangan, hening sesaat. Rafael menarik nafas panjang.
“Bahkan jika itu
yang terjadi, aku takkan keberatan,”jawabnya kemudian. Kening Hanna mengerut.
“Kau tak
keberatan jika aku sengaja mendekatimu? Menggodamu?”
Rafael tersenyum
dan menggeleng.
“Kenyataannnya
adalah kau ada disisiku, bagiku itu sudah cukup,”
Hanna menatap
laki-laki di hadapannya dengan takjub.
“Kau benar-benar
membuatku mencintaimu,” desisnya lagi. Rafael tertawa.
“Nah,itu dia.
Kenyataan lainnya adalah kau mencintaiku. Jadi aku tak peduli apakah kau
sengaja mendekati dan menggodaku. Kita saling mencintai, itu yang terpenting.
Ya ‘kan?” lelaki itu menyentuh pipi Hanna dengan lembut. Hanna mengangguk.
“Kalau begitu,
ceritakan semua hal tentang dirimu,” pinta Hanna. Mata Rafael menyipit.
“Menceritakan
apa? Aku sudah cerita semua tentang diriku padamu ‘kan?”
“Tidak. belum
semuanya. ayolah, aku sudah menceritakan semua hal tentang diriku padamu. Aku
sudah cerita bahwa orang tuaku hanyalah petani yang hidup di desa dan aku masih
punya 2 adik lelaki yang menjadi tanggunganku dan mereka masih sekolah di
sekolah menengah atas. Tapi kau, kau belum pernah menceritakan tentang
keluargamu padaku,” pinta Hanna. Rafael tak segera menjawab. Ada keengganan di
wajahnya.
“Aku takut kau
akan punya pandangan berbeda jika aku menceritakan tentang masa laluku padamu.
Dan, aku juga takut kau akan meninggalkanku,”
Hanna menatap
lelaki di hadapannya dengan lembut. Ia tersenyum lalu menggeleng.
“Jika kau mau
tahu, aku tak punya alasan untuk meninggalkanmu. Bahkan, akulah yang merasa
takut jika suatu saat kau yang akan meninggalkanku,” ucapnya. Rafael segera
mengecup bibir perempuan itu dengan hangat dan ringan.
“Siapa
meninggalkan siapa, tidak akan pernah ada hal seperti itu di antara kita. Oke?”
ucapnya. Hanna tersenyum.
“Kalau begitu,
ceritakanlah,”pintanya lagi.
Rafael kembali
terdiam sesaat.
“Aku yatim
piatu. Sejak kecil aku dibesarkan di panti asuhan. Jadi aku tak punya
siapa-siapa,” ia mulai bercerita.
“Saudara?”
Rafael
menggeleng.
“Mereka bilang,
ketika aku masih bayi, aku di temukan di tempat sampah di depan panti asuhan
tersebut. Bisa kau bayangkan, aku bahkan baru berumur beberapa hari,” ada
kepahitan dalam nada suara Rafael.
“itulah kenapa,
aku tak punya siapa-siapa. Aku bahkan tak tahu siapa orang tuaku. Yang aku tahu
hanyalah teman-teman dan para suster yang merawat kami di panti asuhan. Tapi
ketika aku berumur 10 tahun, kami mendapatkan musibah. Panti asuhan kami
terbakar. Semuanya luluh lantak. Untungnya tak ada korban jiwa. Tapi kami semua
tercerai berai. Beberapa anak di titipkan di pantai asuhan. Dan beberapa lagi
di adopsi, termasuk. Aku di adopsi oleh seorang pedagang. Kupikir aku akan
bahagia tinggal dengan mereka,keluarga baruku. Tapi ternyata mereka
memperlakukanku dengan buruk. Mereka menindasku. Mereka bahkan menyuruhku
bekerja, memasak, mencuci, mengepel. Mereka tak pernah memberikanku pendidikan
seperti yang mereka janjikan. Mereka bahkan sering tak memberiku makan selama 2
atau 3 hari,”
Hanna merasakan
dadanya sesak mendengarkan cerita Rafael.
“2 tahun
kemudian, aku memutuskan kabur dari rumah tersebut dan aku memutuskan hidup di
jalanan. Aku melewati masa-masa berat sebagai anak-anak. Aku tidur di jalanan,
aku jadi pengamen, aku jadi kuli di pasar, aku bahkan juga pernah bekerja di
pelabuhan. Kau tahu betapa susahnya bekerja di pelabuhan. Tenagaku seperti
terkuras habis. Jika kau mau tahu, aku tak pernah mengenyam pendidikan formal,”
Hanna melotot.
“Itu benar. Aku
tak pernah mengenyam pendidikan formal. Aku nyaris menghabiskan waktuku untuk
bekerja dan bekerja. Aku mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dan setelah
uang itu terkumpul aku memutuskan untuk mengikuti pelatihan kerja. Aku juga
rajin ikut seminar-seminar wirausaha. Dan dari situlah, jiwa bisnisku muncul.
Aku mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk memulai usaha. Aku mempelajari
segalanya secara otodidak. Dan, terima kasih Tuhan, beginilah akhirnya,”
Rafael menghela
nafas. Seolah, bebannya sedikit berkurang.
“Itulah kenapa,
aku lebih suka menyendiri. Aku tak pandai bergaul. Aku tak punya banyak teman
di dunia bisnis karena aku minder dengan diriku yang tidak berpendidikan,”
“Aku juga hanya
lulusan es-em-a,”
“Setidaknya kau
pernah bersekolah ‘kan?”
“Tapi kau lebih
sukses dariku ‘kan?”
Rafael
tersenyum. Ia memeluk Hanna dengan erat dan mereka bersandar di sofa.
“Aku melewati
masa –masa sulit, tapi sekarang aku bahagia karena aku punya kau,” gumamnya.
Hanna menyandarkan kepalanya di dada Rafael dan ia merasakan lelaki itu
mengecup puncak kepalanya, lalu mengelus-elus pundaknya dengan lembut.
“Jadi, kau tak
suka bersosialisasi. Ke diskotik, ke night club, ke tempat-tempat hiburan?” ia
kembali bertanya.
“Sejujurnya
tidak. Tapi sekali-kali aku pernah pergi ke tempat seperti itu. Tapi hanya
dengan beberapa teman lama yang sudah ku kenal selama belasan tahun. Kau tahu
aku tak punya banyak teman ‘kan?” jawabnya. Hanna manggut-manggut.
“Kuharap masa
laluku tidak membuatmu memandangku dengan cara yang berbeda,” Rafael setengah
berbisik.
“Tidak, kau masih orang yang sama yang selama beberapa
bulan ini menjadi kekasihku,” jawab Hanna.
“Mm, aku tahu
Ella tak ada di rumah. Jadi, bagaimana kalau kau menginap di sini?”
Hanna menarik
dirinya dari pelukan Rafael.
“Menginap di
sini? Di rumahmu?”
Rafael
mengangguk.
Hanna mengangkat
bahu.
“Entahlah, tapi
kupikir itu masih terlalu cepat dan ...”
“Hanya menginap
saja. Tidak akan terjadi apa-apa, aku janji,” Rafael seakan menegaskan. Hanna
berpikir sesaat. Tapi akhirnya ia mengangguk.
Dan malam itu,
untuk yang pertama kalinya, ia menginap di rumah Rafael. Mereka tidur
seranjang, berpelukan, mengobrol, lalu tidur. Hanya itu.
Sore itu, Hanna kembali mampir ke
rumah Rafael sepulang ia dari bekerja. Ia langsung menyeruak masuk ke ruang
kerja lelaki tersebut setelah ia tak menemukannya di kamar ataupun di ruang
lain. Lelaki itu terlihat serius di meja kerjanya dan di depan laptopnya.
“Hai,” Hanna
menyapa duluan ketika Rafael tak menyadari kedatangannya. Rafael mendongak dan
senyum segera merekah di bibirnya.
“Hai, cantik.
Maaf aku tak bisa menjemputmu hari ini. Ada beberapa hal yang harus
kuselesaikan hari ini,” ucapnya dengan nada menyesal.
“It’s okey. Aku
membawakanmu ini,” Hanna menyodorkan kotak berisi pizza. Rafael bangkit dan
menerima kotak tersebut. Wajahnya berbinar.
“Wah, ini pasti
lezat sekali. Terima kasih sayang,” ucapnya. Ia beranjak dan menghadiahi ciuman
hangat di bibir Hanna.
“Aku tahu kau
sibuk, tapi jangan lupa makan, oke?” Hanna menyingkirkan beberapa helai rambut
di dahi Rafael. Lelaki itu mengangguk dengan patuh.
“Pekerjaanku
akan segera selesai. Jadi, nanti aku akan sangat longgar. Maukah kau menginap
lagi? Aku tahu Ella masih di rumah tunangannya,”
Hanna
menggeleng.
“Maaf, tapi
nanti aku harus bekerja. Aku dapat shift tambahan,”
“Ah, sayang
sekali. Ku jemput jam berapa?”
“Tidak usah, aku
akan pulang sendiri,”
“Benarkah?”
Hanna
mengangguk.
“Oke, aku pulang
dulu ya. Ada beberapa hal yang harus ku siapkan,” Hanna berjinjit dan mencium
pipi Rafael. “Bye,” ucapnya.
“Jika kau pulang
lebih awal, mampirlah,” pinta Rafael. “Oke,” jawab Hanna pendek seraya beranjak
meninggalkan lelaki tersebut.
***
Tadinya Rafael memang berniat
bermalas-malasan di rumah. Tapi tanda diduga, Yohan dan Will mengajaknya untuk
ke night club. Ia tak kuasa menolak karena mereka adalah teman-teman lama yang
memang biasa mengajaknya ke tempat-tempat seperti itu.“Sebenarnya aku malas pergi.
Aku sedang menunggu seseorang,” ia beralasan.
“Ayolah, Raf.
Kita sudah lama tak pergi ke tempat hiburan ‘kan. Aku janji, kita hanya akan
minum-minum sebentar, berkaraoke, lalu pulang. Tidak akan lama,” Yohan kembali
membujuk. Dan Rafael memang tak kuasa menolaknya. Toh, mereka sudah beberapa
kali pergi ke tempat seperti itu. Yang akan mereka lakukan hanyalah memesan
ruang VIP, minum-minum, mengobrol, dan mendengarkan musik. Mereka tak pernah ke
lantai dansa, kecuali Yohan yang kadang-kadang pergi ke sana.
Mereka pergi ke
sana dengan mengendarai mobil Will.
Dan setelah
memesan ruang khusus, mereka memang hanya memesan minuman dan mengobrol.
Sesekali Will berkaraoke.
“Ah,kita harus
memesan teman perempuan. Ini membosankan sekali,” tiba-tiba Yohan memberi
saran. Will tersenyum.
“Aku tahu apa
yang kau mau. Tenanglah, aku sudah memesannya. Sebentar lagi wanita-wanita
cantik itu akan datang,” ucap Will. Yohan bersorak. Sementara Rafael mulai
mengeluh tak sabar. “Kalian bersenang-senanglah.Aku pulang.” Ia bangkit, tapi
Will menarik lengan tangannya.
“Ah, kau tak
asyik, Raf,”Ujar sahabatnya itu.
Mereka mulai
sedikit berdebat. Perdebatan mereka terhenti ketika 3 perempuan cantik masuk ke
dalam ruangan. Yohan dan Will bersorak, sementara Rafael hanya memutar bola
matanya dengan kesal.
“Aku pulang.” Ucapnya
seraya melepaskan tangannya lalu beranjak. Tatapan matanya sempat singgah ke
arah 3 perempuan cantik itu dengan ogah-ogahan.
Dan
tubuhnya seketika membeku manakala tatapannya terpaku pada salah satu dari
mereka. Dia, wanita paling cantik di antara mereka. Tinggi semampai, gaun seksi
berwarna merah, dengan rambut panjang
yang terurai indah.
***
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar