Jumat, 10 April 2015

Hanna - Part 2



         
Menggoda Rafael. Itu muncul begitu saja di benak Hanna. Ia tahu Rafael sosok yang tampan dan kaya, sehingga wajar jika perempuan seperti dirinya akan mengejar-ngejar dia. Tapi, bukan hanya itu penyebabnya. Bagi Hanna, Rafael sosok yang pendiam dan penyendiri. Ada kesan misterius pada dirinya yang membuat perempuan itu tergoda untuk mendekatinya, mengenalnya lebih jauh, dan memasuki dunianya. Kelebihan yang dimiliki Hanna adalah ia perempuan tegas dan penuh percaya diri. Dan ia takkan pernah merasa minder andaikan ada orang yang mencoba mengingatkan tentang statusnya dan juga status Rafael yang kaya raya. Tidak, ia tidak senaif Ella. Baginya, cinta itu anugerah yang bisa terjadi kapan saja dan pada siapa saja.
Hampir setiap hari, sepulang ia dari bekerja, setiap kali lewat di depan rumah lelaki itu, ia selalu dapat bertemu dengannya. Entah ketika ia sedang duduk di teras rumahnya, menyiram tanaman di tamannya, atau hanya sekedar duduk di ayunan, tempat favorit Hanna.  Dan dari situlah ia selalu punya kesempatan untuk menyapanya dan mengobrol dengannya, walau tak banyak.
“Hai.” Lagi, sore itu sepulang dari bekerja, Hanna kembali bisa menemukan Rafael di depan rumahnya. Lelaki itu sedang mencoba merapikan  letak beberapa pot bunga. Rafael menoleh. Hanna berdiri di luar pagar rumahnya sembari tersenyum dan melambaikan tangannya. Rumah itu memang megah, tapi pagar rumahnya pendek, hanya sebatas pinggang orang dewasa. Sehingga setiap orang pasti bisa dengan leluasa menikmati pemandangan rumah tersebut. Rafael balas tersenyum melihat Hanna.
“Hai, kau baru pulang?” Ia menjawab dengan pertanyaan. Hanna mengangguk. Ia melangkah mendekat dan naik beberapa tingkat ke atas pagar.
“Hei, apa yang kau lakukan? Kau bisa jatuh.” Nada suara Rafael terdengar khawatir. Hanna terkikik.
“Kau lupa kalau aku sering masuk ke rumah ini dengan sembunyi-sembunyi? Aku sudah berkali-kali meloncati pagar ini. Aku bahkan pernah meloncati pagar yang lebih tinggi dari ini,” jawab Hanna bangga. “Ayolah, apa kau tak ingin menyuruhku masuk hari ini?” Perempuan itu merajuk. Rafael mengernyitkan dahinya, bingung.
“Aku kangen dengan ... itu,” jawab Hanna malu-malu seraya menunjuk ke arah ayunan di dekat kolam. Rafael tersenyum.
“Oke, masuklah,” jawabnya kemudian. Hanna bersorak seraya meloncati pagar itu dan masuk ke halaman rumah. Rafael melotot.
“Kau boleh masuk ke rumahku tapi ini yang terakhir kalinya kau meloncati pagar, oke? Lain kali, masuklah lewat pintu. Aku tak mau melihatmu terluka,” ucapnya sedikit kesal. Dan ia kelihatan begitu tampan dengan ekspresi seperti itu. Hanna tertawa.
“Oke, sir. Maafkan aku. Aku janji ini pasti akan menjadi yang terakhir kalinya aku meloncati pagar. Apa itu berarti aku boleh main-main ke sini lagi?” kedua bola mata Hanna bersinar indah. Rafael terdiam sesaat.
“Selama kau tak bertingkah, aku takkan masalah dikunjungi,” jawabnya kemudian.
“Aku akan menjadi anak yang sopan, janji,” ucap Hanna seraya berlari ke arah ayunan dan dalam hitungan detik ia sudah berayun-ayun dengan gembira. Rafael beranjak dan duduk di bangku yang berada tak jauh dari ayunan tersebut.
“Aku bisa membantumu membersihkan taman dan kebun sebagai imbalan karena kau memperbolehkanku bermain-main di ayunan ini,” Hanna berhenti berayun.
“Kenapa kau begitu suka bermain-main di taman rumahku? Bukankah di sini juga ada taman kota yang punya ayunan? Kenapa kau tak main-main di sana?” Rafael bertanya jujur.
“Disana terlalu ramai. Aku tak bisa menikmati. Ah, andaikan aku punya banyak uang, aku pasti akan membangun taman yang persis sama seperti ini,” jawab Hanna. Rafael menatapnya lekat. “Aku sudah bilang ‘kan kalau kau boleh sering-sering ke sini,” ucapnya. Hanna balas menatapnya dengan bibir berkerut.
“Kau tak terganggu kalau aku sering ke sini? Kau ‘kan orang sibuk?”
Rafael kembali tersenyum. “Aku tak sesibuk yang kau duga,” jawabnya.
Hanna ingin berkata-kata lagi, tapi kalimatnya tertahan dan berganti dengan hidungnya yang kembang kempis.
“Aku mencium bau gosong,” ucapnya tak yakin. Rafael tersentak, lelaki itu melotot.
“Ya Tuhan,” ia berdiri dan segera berlari ke dalam rumahnya. Hanna mengikutinya. Ketika mereka sampai di dapur, mereka menemukan panci di atas kompor sudah mengepul dan nyaris terbakar. Ah, sebenarnya sudah terbakar. Rafael segera mematikan api. “Astaga, aku nyaris saja meledakkan rumahku sendiri,” ia menggerutu.
“Apa yang kau masak?” Hanna bertanya dari balik punggung Rafael.
“Aku hanya menghangatkan sayur,” jawab Rafael seraya memindahkan panci yang telah gosong itu ke wastafel.
“Kau pintar memasak ya?” Hanna kembali bertanya.
“Tentu saja. Aku terbiasa hidup sendiri, dan memasak adalah salah satu keahlianku,” jawab Rafael kembali tanpa menoleh.
“Wah, sayang sekali. Coba kalau kau tak bisa memasak, aku pasti akan membantu dengan memasakkan sesuatu untukmu,” ucap Hanna.
“Supaya aku mengijinkanmu sering-sering bermain di taman rumahku?” Rafael terkekeh.
“Tentu saja,” Hanna menjawab cepet.
Rafael tersenyum dan menoleh ke arah Hanna.
“Jadi kau juga pintar memasak?” ia bertanya. Hanna meringis.
“Tidak,” jawabnya kemudian. Rafael segera tertawa keras mendengar gurauan perempuan tersebut.
“Aku hanya bisa masak instan. Selama ini, Ella yang masak. Aku hanya bantu-bantu,”
“Ella siapa?”
“Teman satu rumah denganku,”
Rafael manggut-manggut.
Hanna berniat membantu Rafael membersihkan dapurnya, tapi niatnya terurung ketika phonselnya berdering.
“Sebentar,” ia meraih phonselnya lalu beranjak menjauhi Rafael untuk selanjutnya terlibat pembicaraan serius di telepon. 
“Aku ingin membantumu, tapi maaf, aku punya urusan mendadak yang sangat penting. Kapan-kapan aku akan membantumu, oke. Bye,” Hanna beranjak sebelum Rafael sempat berkata-kata.

***

          Lelaki jangkung itu memasuki ruangan dengan ragu. Ia tampak sedikit bingung sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di kursi yang berada paling dekat dengan pintu masuk. Restoran tampak ramai karena jam makan siang. Rafael memandang sekelilingnya dan akhirnya tatapan matanya melihat sosok itu.
Hanna menatap Rafael dengan sedikit terkejut. Tatapan mereka beradu, dan ia pun tersenyum. Begitu pula dengan lelaki tersebut.
“Biar aku saja,” ucapnya ketika Sam, rekan kerjanya, hendak bergerak ke meja tersebut. Dengan langkah ringan, Hanna bergerak menuju tempat Rafael berada.
“Hai,” ia menyapa ramah dengan senyum indahnya. Rafael tersenyum, sedikit canggung.
“Hai,” ia membalas.
“Aku tak menyangka kau bisa datang ke tempat ini. Jika kau mengharapkan makanan paling lezat di kota ini, kau sudah datang di tempat yang tepat.” ucap Hanna. Rafael tertawa.
“Mereka bilang, makanan di sini sangat enak. Dan aku penasaran untuk mencobanya,”
“Sudah kubilang ‘kan kau datang di tempat yang tepat,” Hanna menyodorkan buku menu. “Kau datang sendirian?” Ia bertanya.
Rafael menangguk.
“Aku belum mengenal banyak orang di sini, jadi aku belum bisa memutuskan untuk mengajak seseorang,” jawab Rafael. Hanna manggut-manggut.
“Mmm, aku tak tahu harus pesan apa. Aku terlalu bingung. Semua terlihat enak,” ucap Rafael dengan tatapan yang tak beranjak dari buku menu di tangannya.
“Butuh saran dariku?” Hanna menawarkan. Rafael mendongak dan mengangguk. Dan dalam waktu singkat, Hanna sudah menuliskan beberapa menu di catatannya.
“Wah, kau pasti akan menyukainya. Pesananmu akan segera di antarkan, dalam beberapa menit. Oke,” bola mata Hanna bergerak dengan indah.
“Kau pulang jam berapa?” tanya Rafael kemudian.
Hanna terdiam sesaat.
“Shift-ku akan selesai jam 4 sore,” jawabnya. Rafael manggut-manggut. Hanna beranjak meninggalkannya untuk memesankan pesanannya.

          Hanna sempat tertegun sesaat ketika menemukan Rafael tengah berdiri di luar restoran tempatnya bekerja.
“Kau masih di sini?” tanya Hanna. Rafael tersenyum dan mengangguk.
“Aku ... sengaja menunggumu sampai kau selesai bekerja,” jawabnya sedikit ragu. Hanna mengernyitkan dahinya.
“Kenapa?” ia bertanya. Rafael tak segera menjawab. Ia melangkah mendekati Hanna. Lelaki itu menatapnya dengan dalam.
“Maaf, aku tak bermaksud kurang ajar padamu. Tapi aku benar-benar tak bisa menghentikan rasa ketertarikanku akan dirimu. Sejak pertama kali bertemu denganmu, dan juga pertemuan-pertemuan kita selanjutnya, aku benar-benar ingin tahu lebih banyak tentang dirimu. Aku ingin tahu nama lengkapmu, nomor phonselmu, kesukaanmu, dan aku juga ingin berkunjung ke rumahmu. Yang jelas, aku ingin tahu segala hal tentang dirimu,” kalimat Rafael terhenti sesaat. Hanna menelan ludah, bingung.
“Hanna, aku tak pandai bicara. Dan percayalah, ini adalah yang pertama kalinya aku melakukan hal seperti ini. Saat ini, aku sedang tidak berkencan dengan wanita manapun. Dan jika kau juga sedang tidak berkencan dengan lelaki manapun, bisakah kita menjalani hubungan yang lebih jauh dari pada ini? Maksudku, lebih dari sahabat biasa,”
Hanna terhenyak. Pengakuan Rafael yang tiba-tiba membuatnya sedikit shock.
“Apa kau ... jatuh cinta padaku?” Ia bertanya langsung.
“Ya,” Rafael menjawab cepat hingga membuat Hanna kembali ternganga.
“Tapi, jika kau tak bersedia-pun, ku harap kau masih tetap mau bersahabat denganku...”
“Aku sedang tidak punya hubungan khusus dengan lelaki manapun,” potong Hanna. Rafael menatapnya dengan penegasan. Hanna tersenyum.
“Jadi kupikir .... kita bisa memiliki hubungan yang lebih dari sahabat,” ucapan Hanna membuat kedua mata Rafael berbinar. Ia  manggut-manggut. Ada luapan kegembiraan di wajahnya.
“Jadi ... bisakah kita mulai sejak hari ini?”
“Tentu,” jawab Hanna. Keduanya berpandangan, tersenyum.
“Aku janji kita akan melakukan hal ini pelan-pelan. Dimulai dari hal-hal kecil semacam ... mengantarkanmu pulang hari ini?” ucap Rafael. Hanna tersenyum. Pipinya merona dengan indah hingga wajahnya semakin terlihat cantik alami.
“Oke, kau bisa mengantarkanku pulang hari ini,” jawabnya. Mereka melangkah berdampingan menuju mobil Rafael yang terparkir di pinggir jalan. Dan mulai hari itu, mereka sepakat untuk menjalin hubungan yang lebih jauh dari sekedar sahabat. Tak banyak kata, tapi mereka tahu bahwa mereka saling mencintai satu sama lain. Mereka menjalin hubungan yang manis dan indah, saling memperhatikan, saling menyayangi, saling mengunjungi, benar-benar sebuah hubungan yang membuat Hanna dan juga Rafael bahagia.

***

          Ella mulai sibuk karena pernikahannya akan diselenggarakan 3 bulan lagi. Ia juga mulai jarang tinggal di rumah. Ia lebih sering menginap di rumah Andre untuk menyiapkan banyak hal.
“Aku juga sudah menulis surat pengunduran diri,” ucap Ella. Hanna mengangguk.
“Aku berencana untuk menjadi seorang ibu rumah tangga saja setelah menikah. Andre melarangku bekerja,” Lanjutnya.
“Tentu saja kau tak perlu repot bekerja. Suamimu pasti akan memenuhi semua kebutuhanmu,” sergah Hanna. Ella tersenyum.
“Kelak kalau kau menikah dengan Rafael, kau juga tak perlu repot-repot lagi bekerja ‘kan? Dia ‘kan kaya raya.”
Hanna tertawa. Ia mengangkat bahu. “Aku belum berpikir sampai sejauh itu. Aku menikmati saja hubunganku yang sekarang,” jawabnya.
“Tapi kau pasti berencana menikah dengannya ‘kan?” Ella menatap sahabatnya itu dengan penuh selidik. Hanna terdiam sesaat.
“Entahlah. Aku juga belum merencanakannya,” jawabnya lagi. Ia pernah memarahi Ella karena kasus yang sama. Dan sekarang, ia mengalaminya sendiri. Menikah dengan Rafael? Belum terpikir sama sekali olehnya. Ia hanya perempuan biasa, sederhana, dan tidak berpendidikan tinggi. Sementara Rafael? Ah, ia mulai merasa rendah diri.
“Jangan pernah merasa rendah diri. Kau yang mengatakan itu padaku. Jadi, awas jika kau berpikir tentang status seperti itu,” Ella seakan bisa membaca pikiran Hanna hingga perempuan itu hanya tergelak.
“Nanti aku akan menginap di rumah Andre. Kau libur kerja ‘kan? Kau tak berencana menghabiskan waktumu bersama Rafael?”
Hanna menggaruk-nggaruk kepalanya.
“Ia tak tahu kalau aku libur. Jadi mungkin, aku akan di rumah sendirian,” jawabnya. Ella tertawa.
“Hanna, rumah Rafael hanya beberapa ratus meter dari sini. Kenapa kau tak datang saja ke rumahnya dan bermain-main di sana. Daripada sendirian di rumah,”
“Oke, akan kupikirkan nanti,” jawab Hanna ragu. Ella mengecup pipi Hanna lalu beranjak meninggalkan perempuan itu untuk selanjutnya menuju rumah Andre, tunangannya.
Setelah Ella pergi, Hanna berniat untuk tidur dan bermalas-malasan saja. Tapi kemudian ia dibuat terkejut ketika Rafael datang ke rumahnya, tanpa memberitahu terlebih dahulu.
“Hai, ayo kita jalan-jalan. Aku tahu kau libur hari ini,” Rafael segera menyemprot Hanna dengan ajakan.
“Whoa, tunggu dulu, sir. Bagaimana kau tahu kalau hari ini aku libur?” tanya Hanna. Rafael tersenyum.
“Aku hafal jadwalmu,” jawabnya kemudian. Hanna tergelak.
“Sepertinya aku harus hati-hati mulai sekarang. Kau tak bisa diremehkan,” ucapnya. Rafael tergelak. Ia mengecup kening Hanna dengan lembut.
“Ayolah, aku sudah menyiapkan sesuatu untukmu hari ini,” ucapnya. Hanna mengangguk. Setelah mandi dan berganti baju dengan baju kasual, ia menerima ajakan Rafael untuk jalan-jalan. Ke pantai, ternyata itu tujuannya. Tapi, yang disiapkan Rafael ternyata bukan itu. Setelah berjalan-jalan di pantai hingga petang, Rafael mengajak Hanna mampir ke rumahnya. Dan perempuan itu benar-benar terkejut ketika ternyata Rafael sudah menyiapkan sebuah candle light dinner yang begitu romantis di rumahnya.
“Astaga, kapan kau menyiapkannya?” tanya Hanna dengan rasa tak percaya. Rafael tersenyum lembut.
“Untuk yang pertama kalinya, aku meminta beberapa karyawanku datang ke sini untuk menyiapkannya selagi aku mengajakmu jalan-jalan dipantai. Duduklah sayang,” ia menarik sebuah kursi dan menyilakan Hanna duduk. Dan ia sendiri duduk di kursi yang berada di seberang Hanna.
“Semua menu di sini adalah kesukaanmu,” tambahnya. Hanna menatap hidangan di meja dengan terpana. Ia benar-benar terharu.
“Kuharap kau menyukainya,” ucap Rafael lagi. Hanna tersenyum dan mengangguk. Dan mereka mengadakan jamuan makan malam yang romantis dengan penuh senyum kebahagiaan. Setelah selesai makan malam, mereka mengobrol di ruang tengah. Duduk berdampingan di sofa sambil menikmati alunan musik.
“Kau suka hari ini?” tanya Rafael seraya menggenggam tangan Hanna dengan lembut. Hanna mengangguk.
“Terima kasih. Aku bahagia sekali hari ini,” jawabnya.
“Semoga aku bisa membahagiakanmu selamanya,” ucap Rafael dengan suara yang lembut pula.
Hanna memutar posisi duduknya dan menghadap ke arah Rafael.
“Sebenarnya apa yang kau suka dariku?” ia bertanya dengan tatapan langsung tertuju ke arah Rafael.
“Semuanya. Aku sudah pernah bilang itu ‘kan?”
“Secara spesifik, apa?”
Rafael menatap langit-langit rumahnya sesaat. Lalu kembali menatap Hanna dengan lembut.
“Mm, kau cantik. Kau ceria. Kau percaya diri. Kau baik. Kau mengagumkan. Kau ...”
Hanna tertawa. “Kau pandai merayu,” potongnya.
“Itu jujur, sayang. Jika kau bertanya seperti itu lagi, aku akan tetap menjawab hal yang sama,”
“Tapi aku tak sebaik itu,” sanggah Hanna.
“Kau baik,”
“Tidak, aku tidak terlalu baik. Bagaimana kalau aku sengaja menggodamu?” ucap Hanna dengan sedikit ragu.
Rafael terdiam sesaat dan menatap Hanna dengan heran.
“Maksudmu?”
“Yaa... seperti yang terjadi di film-film. Kau pemuda kaya, aku gadis biasa, lalu aku sengaja mendekatimu, menggodamu. Bagaimana kalau itu yang terjadi di antara kita?”
Keduanya berpandangan, hening sesaat. Rafael menarik nafas panjang.
“Bahkan jika itu yang terjadi, aku takkan keberatan,”jawabnya kemudian. Kening Hanna mengerut.
“Kau tak keberatan jika aku sengaja mendekatimu? Menggodamu?”
Rafael tersenyum dan menggeleng.
“Kenyataannnya adalah kau ada disisiku, bagiku itu sudah cukup,”
Hanna menatap laki-laki di hadapannya dengan takjub.
“Kau benar-benar membuatku mencintaimu,” desisnya lagi. Rafael tertawa.
“Nah,itu dia. Kenyataan lainnya adalah kau mencintaiku. Jadi aku tak peduli apakah kau sengaja mendekati dan menggodaku. Kita saling mencintai, itu yang terpenting. Ya ‘kan?” lelaki itu menyentuh pipi Hanna dengan lembut. Hanna mengangguk.
“Kalau begitu, ceritakan semua hal tentang dirimu,” pinta Hanna. Mata Rafael menyipit.
“Menceritakan apa? Aku sudah cerita semua tentang diriku padamu ‘kan?”
“Tidak. belum semuanya. ayolah, aku sudah menceritakan semua hal tentang diriku padamu. Aku sudah cerita bahwa orang tuaku hanyalah petani yang hidup di desa dan aku masih punya 2 adik lelaki yang menjadi tanggunganku dan mereka masih sekolah di sekolah menengah atas. Tapi kau, kau belum pernah menceritakan tentang keluargamu padaku,” pinta Hanna. Rafael tak segera menjawab. Ada keengganan di wajahnya.
“Aku takut kau akan punya pandangan berbeda jika aku menceritakan tentang masa laluku padamu. Dan, aku juga takut kau akan meninggalkanku,”
Hanna menatap lelaki di hadapannya dengan lembut. Ia tersenyum lalu menggeleng.
“Jika kau mau tahu, aku tak punya alasan untuk meninggalkanmu. Bahkan, akulah yang merasa takut jika suatu saat kau yang akan meninggalkanku,” ucapnya. Rafael segera mengecup bibir perempuan itu dengan hangat dan ringan.
“Siapa meninggalkan siapa, tidak akan pernah ada hal seperti itu di antara kita. Oke?” ucapnya. Hanna tersenyum.
“Kalau begitu, ceritakanlah,”pintanya lagi.
Rafael kembali terdiam sesaat.
“Aku yatim piatu. Sejak kecil aku dibesarkan di panti asuhan. Jadi aku tak punya siapa-siapa,” ia mulai bercerita.
“Saudara?”
Rafael menggeleng.
“Mereka bilang, ketika aku masih bayi, aku di temukan di tempat sampah di depan panti asuhan tersebut. Bisa kau bayangkan, aku bahkan baru berumur beberapa hari,” ada kepahitan dalam nada suara Rafael.
“itulah kenapa, aku tak punya siapa-siapa. Aku bahkan tak tahu siapa orang tuaku. Yang aku tahu hanyalah teman-teman dan para suster yang merawat kami di panti asuhan. Tapi ketika aku berumur 10 tahun, kami mendapatkan musibah. Panti asuhan kami terbakar. Semuanya luluh lantak. Untungnya tak ada korban jiwa. Tapi kami semua tercerai berai. Beberapa anak di titipkan di pantai asuhan. Dan beberapa lagi di adopsi, termasuk. Aku di adopsi oleh seorang pedagang. Kupikir aku akan bahagia tinggal dengan mereka,keluarga baruku. Tapi ternyata mereka memperlakukanku dengan buruk. Mereka menindasku. Mereka bahkan menyuruhku bekerja, memasak, mencuci, mengepel. Mereka tak pernah memberikanku pendidikan seperti yang mereka janjikan. Mereka bahkan sering tak memberiku makan selama 2 atau 3 hari,”
Hanna merasakan dadanya sesak mendengarkan cerita Rafael.
“2 tahun kemudian, aku memutuskan kabur dari rumah tersebut dan aku memutuskan hidup di jalanan. Aku melewati masa-masa berat sebagai anak-anak. Aku tidur di jalanan, aku jadi pengamen, aku jadi kuli di pasar, aku bahkan juga pernah bekerja di pelabuhan. Kau tahu betapa susahnya bekerja di pelabuhan. Tenagaku seperti terkuras habis. Jika kau mau tahu, aku tak pernah mengenyam pendidikan formal,”
Hanna melotot.
“Itu benar. Aku tak pernah mengenyam pendidikan formal. Aku nyaris menghabiskan waktuku untuk bekerja dan bekerja. Aku mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dan setelah uang itu terkumpul aku memutuskan untuk mengikuti pelatihan kerja. Aku juga rajin ikut seminar-seminar wirausaha. Dan dari situlah, jiwa bisnisku muncul. Aku mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk memulai usaha. Aku mempelajari segalanya secara otodidak. Dan, terima kasih Tuhan, beginilah akhirnya,”
Rafael menghela nafas. Seolah, bebannya sedikit berkurang.
“Itulah kenapa, aku lebih suka menyendiri. Aku tak pandai bergaul. Aku tak punya banyak teman di dunia bisnis karena aku minder dengan diriku yang tidak berpendidikan,”
“Aku juga hanya lulusan es-em-a,”
“Setidaknya kau pernah bersekolah ‘kan?”
“Tapi kau lebih sukses dariku ‘kan?”
Rafael tersenyum. Ia memeluk Hanna dengan erat dan mereka bersandar di sofa.
“Aku melewati masa –masa sulit, tapi sekarang aku bahagia karena aku punya kau,” gumamnya. Hanna menyandarkan kepalanya di dada Rafael dan ia merasakan lelaki itu mengecup puncak kepalanya, lalu mengelus-elus pundaknya dengan lembut. 
“Jadi, kau tak suka bersosialisasi. Ke diskotik, ke night club, ke tempat-tempat hiburan?” ia kembali bertanya.
“Sejujurnya tidak. Tapi sekali-kali aku pernah pergi ke tempat seperti itu. Tapi hanya dengan beberapa teman lama yang sudah ku kenal selama belasan tahun. Kau tahu aku tak punya banyak teman ‘kan?” jawabnya. Hanna manggut-manggut.
“Kuharap masa laluku tidak membuatmu memandangku dengan cara yang berbeda,” Rafael setengah berbisik.
“Tidak, kau  masih orang yang sama yang selama beberapa bulan ini menjadi kekasihku,” jawab Hanna.
“Mm, aku tahu Ella tak ada di rumah. Jadi, bagaimana kalau kau menginap di sini?”
Hanna menarik dirinya dari pelukan Rafael.
“Menginap di sini? Di rumahmu?”
Rafael mengangguk.
Hanna mengangkat bahu.
“Entahlah, tapi kupikir itu masih terlalu cepat dan ...”
“Hanya menginap saja. Tidak akan terjadi apa-apa, aku janji,” Rafael seakan menegaskan. Hanna berpikir sesaat. Tapi akhirnya ia mengangguk.
Dan malam itu, untuk yang pertama kalinya, ia menginap di rumah Rafael. Mereka tidur seranjang, berpelukan, mengobrol, lalu tidur. Hanya itu.

          Sore itu, Hanna kembali mampir ke rumah Rafael sepulang ia dari bekerja. Ia langsung menyeruak masuk ke ruang kerja lelaki tersebut setelah ia tak menemukannya di kamar ataupun di ruang lain. Lelaki itu terlihat serius di meja kerjanya dan di depan laptopnya.
“Hai,” Hanna menyapa duluan ketika Rafael tak menyadari kedatangannya. Rafael mendongak dan senyum segera merekah di bibirnya.
“Hai, cantik. Maaf aku tak bisa menjemputmu hari ini. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan hari ini,” ucapnya dengan nada menyesal.
“It’s okey. Aku membawakanmu ini,” Hanna menyodorkan kotak berisi pizza. Rafael bangkit dan menerima kotak tersebut. Wajahnya berbinar.
“Wah, ini pasti lezat sekali. Terima kasih sayang,” ucapnya. Ia beranjak dan menghadiahi ciuman hangat di bibir Hanna.
“Aku tahu kau sibuk, tapi jangan lupa makan, oke?” Hanna menyingkirkan beberapa helai rambut di dahi Rafael. Lelaki itu mengangguk dengan patuh.
“Pekerjaanku akan segera selesai. Jadi, nanti aku akan sangat longgar. Maukah kau menginap lagi? Aku tahu Ella masih di rumah tunangannya,”
Hanna menggeleng.
“Maaf, tapi nanti aku harus bekerja. Aku dapat shift tambahan,”
“Ah, sayang sekali. Ku jemput jam berapa?”
“Tidak usah, aku akan pulang sendiri,”
“Benarkah?”
Hanna mengangguk.
“Oke, aku pulang dulu ya. Ada beberapa hal yang harus ku siapkan,” Hanna berjinjit dan mencium pipi Rafael. “Bye,” ucapnya.
“Jika kau pulang lebih awal, mampirlah,” pinta Rafael. “Oke,” jawab Hanna pendek seraya beranjak meninggalkan lelaki tersebut.

***

          Tadinya Rafael memang berniat bermalas-malasan di rumah. Tapi tanda diduga, Yohan dan Will mengajaknya untuk ke night club. Ia tak kuasa menolak karena mereka adalah teman-teman lama yang memang biasa mengajaknya ke tempat-tempat seperti itu.“Sebenarnya aku malas pergi. Aku sedang menunggu seseorang,” ia beralasan.
“Ayolah, Raf. Kita sudah lama tak pergi ke tempat hiburan ‘kan. Aku janji, kita hanya akan minum-minum sebentar, berkaraoke, lalu pulang. Tidak akan lama,” Yohan kembali membujuk. Dan Rafael memang tak kuasa menolaknya. Toh, mereka sudah beberapa kali pergi ke tempat seperti itu. Yang akan mereka lakukan hanyalah memesan ruang VIP, minum-minum, mengobrol, dan mendengarkan musik. Mereka tak pernah ke lantai dansa, kecuali Yohan yang kadang-kadang pergi ke sana.
Mereka pergi ke sana dengan mengendarai mobil Will. 
Dan setelah memesan ruang khusus, mereka memang hanya memesan minuman dan mengobrol. Sesekali Will berkaraoke.
“Ah,kita harus memesan teman perempuan. Ini membosankan sekali,” tiba-tiba Yohan memberi saran. Will tersenyum.
“Aku tahu apa yang kau mau. Tenanglah, aku sudah memesannya. Sebentar lagi wanita-wanita cantik itu akan datang,” ucap Will. Yohan bersorak. Sementara Rafael mulai mengeluh tak sabar. “Kalian bersenang-senanglah.Aku pulang.” Ia bangkit, tapi Will menarik lengan tangannya. 
“Ah, kau tak asyik, Raf,”Ujar sahabatnya itu.
Mereka mulai sedikit berdebat. Perdebatan mereka terhenti ketika 3 perempuan cantik masuk ke dalam ruangan. Yohan dan Will bersorak, sementara Rafael hanya memutar bola matanya dengan kesal.
“Aku pulang.” Ucapnya seraya melepaskan tangannya lalu beranjak. Tatapan matanya sempat singgah ke arah 3 perempuan cantik itu dengan ogah-ogahan.
Dan tubuhnya seketika membeku manakala tatapannya terpaku pada salah satu dari mereka. Dia, wanita paling cantik di antara mereka. Tinggi semampai, gaun seksi berwarna merah,  dengan rambut panjang yang terurai indah.
Hanna!

*** 

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar