Cerita ini untukmu, yang
pernah tersakiti olehku...
Yang pernah mencintaiku
dengan tulus, mencintaiku tanpa syarat dan ketentuan berlaku, namun ku
campakkan kau begitu saja.
Ku permainkan dirimu, ku
lukai hatimu.
Kata maaf saja tidak akan
cukup.
Jadi, di manapun kau berada,
dan dengan siapapun kau saat ini, semoga kau senantiasa hidup bahagia. Doaku
tulus...
Dan kelak seandainya kita
bertemu lagi, tolong jangan menyapaku...
@@@##########@@@
Rena menatap suaminya dengan tatapan putus asa. Air matanya
terus menitik. Sementara Hasan hanya
mampu duduk membisu di pinggir tempat tidur tanpa berani menatap kembali ke
arah istrinya. Hampir 10 menit mereka berdiam diri setelah sempat bertengkar
dengan hebat.
“Kenapa
kau lakukan ini padaku, mas?” tanya Rena kemudian. Lirih. Suaranya sudah jauh
lebih tenang sekarang.
“Kenapa
kau tega melakukan hal ini padaku?” Ia bertanya lagi, kali ini dengan nada
suara yang lebih tinggi.
“Aku
khilaf, Rena.” Hasan membuka suara. Kalimatnya terdengar parau.
Rena
tersenyum sinis. “Khilaf? Kau berselingkuh dariku, meniduri wanita lain, dan
sekarang wanita itu mengandung anakmu, lalu kau bilang kau khilaf? Semudah
itukah?” Ia terkekeh, jijik.
Hasan
mengarahkan pandangan ke arah istrinya. Kedua mata lelaki itu tampak
berkaca-kaca.
“Aku
bersalah, Ren. Hukumlah aku sekehendak hatimu, tapi percayalah, hanya kau
satu-satunya perempuan yang aku cintai.” Ia berucap dengan putus asa.
“Lalu
kenapa kau tega mengkhianatiku?” Tatapan Rena tajam.
“Aku
tidak ingin mengkhianatimu. Aku hanya ... Aku hanya menginginkan seorang bayi.”
Kalimat Hasan terdengar ragu-ragu.
“Lalu?”
“Lalu
... ?” Kalimat Hasan kembali terhenti. Sungguh ia tak tahu harus bagaimana
berkata-kata di hadapan istrinya. Selama ini ia dikenal sebagai pebisnis ulung
yang mampu memenangkan setiap tender dengan kecerdasan serta kemampuannya
merangkai setiap kata, tanpa cela. Tapi kali ini, kemampuan itu seakan sirna
entah kemana.
“Apa
kau ingin bilang padaku bahwa kau menidurinya hanya untuk mendapatkan anak
darinya?” Rena kembali menghujaninya dengan pertanyaan. Hasan tak menjawab,
tapi perlahan kepalanya mengangguk. Rena menumpukan kedua sikunya di lutut lalu
menutup mukanya dengan telapak tangannya.
“Aku
tidak mencintainya, sungguh. Percayalah padaku, Ren.” Ucap Hasan lagi,
benar-benar terlihat putus asa.
Rena
menoleh dan menatap lelaki di hadapannya marah.
“Mas,
aku tahu bahwa aku bukan perempuan sempurna yang bisa memberimu keturunan. Tapi
bukan berarti kau boleh mengkhianatiku dengan meniduri wanita lain hingga
hamil!” Ia kembali berteriak.
Hasan
beranjak, bersimpuh di hadapan istrinya dan memegang tangan Rena dengan erat.
“Aku
tahu, Ren. Aku memang bersalah padamu. Setelah bayi itu lahir, aku takkan
berhubungan lagi dengannya. Dan anak itu, tentu saja aku akan merawatnya dengan
baik,”
“Jadi
kau tak berniat menikahi wanita itu?” Rena menatap suaminya dengan tak
mengerti. Hasan menggeleng.
“Bedebah
kau, mas!” Rena menepis tangan suaminya dengan kasar. Ia bangkit, beranjak
meraih tas kopernya lalu mulai mengemasi beberapa bajunya. Ia masukkan begitu
saja ke dalam koper tanpa menghiraukan pandangan suaminya.
“Apa
yang kau lakukan?”
“Aku
tak bisa berada di sini lagi, mas. Aku akan ke rumah ibu. Aku perlu waktu untuk
menenangkan diri,” jawab Rena tanpa melihat ke arah suaminya.
“Tidak,
Rena. Jangan pergi,” Hasan memohon dengan suara memelas. “Hukumlah aku
sekehendak hatimu, tapi kumohon, jangan tinggalkan aku!” lelaki itu kembali memohon.
Dan Rena tak peduli. Bahkan ketika Hasan menangis dan bersimpuh di kakinya,
perempuan itu tetap melangkahkan kakinya meninggalkan lelaki yang hampir 5
tahun ini telah menjadi suaminya.
***
Ketika Rena sampai di rumah orang
tuanya, perempuan cantik itu menceritakan pada mereka perihal masalah rumah
tangganya tanpa ia tutup-tutupi sedikitpun. Ayah Rena yang merupakan pensiunan
pegawai Bank hanya mampu terduduk lemas di kursi kayu kesayangannya. Sementara
ibu Rena yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa, hanya mampu menangis.
“Jadi,
apa rencanamu selanjutnya, Ren? Apa kau akan bercerai darinya?” tanya ibu Rena
setelah keadaan tenang dan Rena membiarkan perempuan itu menangis selama
beberapa saat.
“Entahlah,
bu. Aku belum tahu. Aku masih perlu waktu untuk menenangkan diri,” jawabnya
lirih.
“Mas
Hasan pasti akan kesini. Dan jika itu terjadi, bilang saja aku tak ada. Yang
jelas, aku belum siap untuk bertemu dengannya,” lanjut Rena seraya beranjak
menuju kamarnya. Kamar lama yang dulu ia tempati ketika ia masih remaja. Tempat
itu tak banyak berubah. Wallpaper bergambar dedaunan masih terawat dengan
bagus. Dekorasi kamar yang bernuansa hijaupun tetap menyejukkan matanya. Kamar
itu seolah-olah baru saja ia tempati kemarin. Meskipun kenyataannya sudah
hampir 5 tahun ini ia tak pernah menempatinya.
Sejak menikah dengan Hasan, Rena memang tak pernah lagi tidur
di rumah ibunya. Kalaupun datang berkunjung, mereka tak pernah menginap.
Maklum, hasan adalah lelaki mapan yang berkecukupan. Ketika ia menikahi Rena,
lelaki itu sudah punya segalanya. Pekerjaan yang bagus, rumah mewah di kawasan
elit, mobil mewah, apapun yang Rena mau, Hasan pasti mampu memenuhinya. Dan itu
adalah salah satu alasan Rena jatuh hati setengah mati padanya - Selain karena
wajahnya yang tampan dan perilakunya yang begitu baik dan menyenangkan.
Rena
bertemu pertama kali dengan Hasan di sebuah pesta ulang tahun yang
diselenggarakan teman Rena. Waktu itu Rena baru
saja kuliah semester dua. Sementara Hasan sudah mulai berkecimpung di
dunia usaha dan mulai merintis karir sebagai pengusaha muda. Melihat sosoknya
yang begitu kalem dan bersahaja, Rena langsung merasa kagum padanya. Begitu
pula sebaliknya, Hasan pun terpesona dengan wajah cantik Rena dan pembawaannya
yang senantiasa ceria dan periang. Dari perkenalan singkat itu, mereka semakin
dekat. Hingga akhirnya, dengan terang-terangan Hasan mengungkapkan perasaannya
bahwa ia mencintai Rena. Dan tentu saja Rena-pun menerimanya karena iapun
mencintai lelaki tampan tersebut. Dan dengan keadaannya yang sudah mapan,
Hasanpun memberanikan diri untuk melamar Rena pada kedua orang tuanya. Mulanya
orang tua Rena menolak karena ia masih sangat muda dan baru berumur 19 tahun.
Lagipula, ia juga masih kuliah. Orang tua Rena berharap kalau mereka bertunangan
dulu baru kemudian menikah ketika dia sudah lulus kuliah. Tapi, keputusan besar pun di ambil oleh Rena.
Ia memutuskan untuk berhenti kuliah demi bisa menjadi istri yang baik bagi Hasan. Toh ia merasa tak butuh lagi
pendidikan dan juga pekerjaan karena Hasan sanggup memberikan apa saja yang ia
minta.
Dan tak butuh waktu lama untuk membuat mereka mengikat janji
suci sebagai suami istri. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga mereka dengan
sangat bahagia. Pernikahan mereka bahkan sudah berjalan hampir 5 tahun. Mulanya
Rena mengira ia akan senantiasa hidup bahagia dengan suaminya. Tapi, pengakuan
suaminya beberapa hari yang lalu benar-benar membuat jantungnya tertusuk.
Dengan terang-terangan dan penuh rasa menyesal, Hasan mengaku bahwa ia terlibat
hubungan dengan wanita lain selama beberapa bulan terakhir ini dan wanita
bernama Anggi itu sekarang mengandung anaknya. Sekuat apapun Hasan
meyakinkannya bahwa ia tak pernah mencintai wanita itu, tetap saja Rena
terluka. Hasan mengatakan bahwa apa yang ia lakukan itu karena ia mendambakan
seorang anak. Memang, ia dan Rena sudah menjalani perkawinan yang cukup lama,
tapi sampai sekarang mereka belum diberi momongan. Sebenarnya Rena pernah hamil
beberapa kali, tapi ia selalu mengalami keguguran. Dokter bilang, kandungan
Rena lemah hingga sulit baginya untuk mempunyai keturunan. Tapi selama ini
mereka tak pernah berhenti untuk berusaha mendapatkan momongan. Entah dengan
cara alternatif maupun medis. Hampir semua cara sudah mereka tempuh. Meskipun
hasilnya masih nihil, selama ini Hasan tak pernah berhenti untuk memberikan
support dan kekuatan pada Rena untuk senantiasa sabar menghadapi semuanya. Ia
hanya tak mengira bahwa Hasan-lah orang yang akan putus asa dengan keadaan
mereka!
Air mata Rena kembali menitik ketika mengingat semuanya.
Mengingat bagaimana Hasan memperlakukannya dengan manis, tapi sekarang
menghancurkan hatinya berkeping-keping!
***
Tepat seperti dugaan Rena, Hasan memang
berkali-kali datang ke rumah orang tuanya untuk mencoba bertemu dengannya.
Tapi, berkali-kali pula Rena menolak menemuinya. Ia belum siap. Atau lebih
tepatnya, ia takut. Ia takut bertemu dengan Hasan dan takut menerima kenyataan
bahwa rumah tanggganya sekarang berantakan. Ia ingin mengelak. Tapi,
satu-satunya solusi untuk keluar dari masalah ini adalah perceraian. Dan itu
berarti, perkawinannya hancur!
Wanita itu sudah hamil dan tidak mungkin baginya untuk
menggugurkan kandungan karena bagaimanapun juga Hasan sangat mendambakan anak
tersebut – terlepas apakah ia mencintai Anggi atau tidak. Dan tentu saja, anak
dalam kandungan Anggi membutuhkan seorang ayah, dan Rena tidak akan pernah sanggup untuk berbagi
suami dengannnya atau bahkan dengan siapapun!
“Rena,
ada tamu untukmu,” suara lembut mbak Yuli membuat Rena terjaga dari lamunannya.
Yuli adalah kakak ipar Rena, istri dari mas Aldi, kakak laki-laki satu-satunya.
Selama ini mereka dan kedua puteri mereka memang tinggal serumah dengan ayah
dan ibunya. Sebenarnya mas Aldi pernah berniat untuk membeli sebuah rumah
sendiri. Tapi ibu melarang karena ia akan merasa sangat kesepian jika hanya
berdua saja dengan ayah. Hingga akhirnya, mas Aldi menuruti kemauan ibu dengan
memboyong seluruh keluarganya ke sini.
“Siapa
mbak? Mas Hasan lagi?” Tanya Rena.
Mbak
Yuli menggeleng. “Perempuan,” jawabnya kemudian. Rena mengernyitkan dahinya.
Dengan rasa penasaran, ia melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Dan tampak
olehnya, seorang perempuan cantik berambut sebahu tengah duduk dengan kikuk di
salah satu kursi ruang tamu. Tubuh Rena serasa membeku seketika. Darah di
pembuluh baliknya seakan berhenti mengalir dengan tiba-tiba.
Dia Anggi, perempuan yang telah di hamili Hasan! Rena bahkan
pernah bertemu beberapa kali dengannya di pesta yang di adakan teman bisnis
suaminya. Waktu itu ia mengaku sebagai teman lama Hasan.
“Untuk
apa kau kesini?” tanya Rena ketus. “Apa Hasan yang menyuruhmu?” lanjutnya lagi
dengan sorot mata tajam ke arah perempuan itu.
“Tidak,
mbak. Saya yang berinisiatif datang ke sini sendiri. Ada hal yang ingin saya
bicarakan dengan mbak,” jawab Anggi sopan.
Rena
terdiam sesaat.
“Tunggu
sebentar, aku akan ganti baju dulu. Kita akan bicara, tapi tidak di sini. Kita
akan bicara di luar,” jawab Rena kemudian seraya beranjak kembali ke kamarnya.
Beberapa saat kemudian ia sudah kembali dengan celana jeans dan blouse warna
cerah yang sesuai dengan kulitnya yang bersih. Kemudian ia mengajak Anggi
keluar. Mereka ke sebuah coffee shop yang berada sekitar 3 kilometer dari rumah
orang tua Rena untuk berbicara dari hati ke hati.
“Bicaralah,
langsung ke intinya saja. Waktuku tak banyak,” ucap Rena dengan nada kasar
tanpa melihat ke arah perempuan cantik yang duduk di depannya.
“Aku
ingin minta maaf secara pribadi pada mbak Rena,” jawab Anggi lirih. Rena
tertawa sinis.
“Untuk
apa? Untuk perselingkuhanmu dengan suamiku? Ah, omong kosong,” sahutnya.
“Aku
salah, mbak. Tak seharusnya aku mendekati lelaki yang sudah menikah atau bahkan
mempunyai hubungan yang spesial dengannya. Tapi, semua di luar dugaan. Tadinya
aku memang mendekatinya hanya untuk iseng. Tapi lama-lama aku merasakan
perasaan berbeda padanya. Dia adalah lelaki yang sangat baik. Dan aku sangat
senang bisa bersamanya. Mas Hasan tidak pernah mendekatiku, mbak. Akulah yang
mendekatinya terlebih dulu,”
Rena
merasakan giginya bergemerutuk menahan amarah. Ini sinting! Bagaimana mungkin
ia mau saja berbicara dengan Anggi, orang yang telah membuat keluarganya
berantakan!?
“Aku
mencintai mas Hasan dengan tulus, mbak. Aku bahkan tak keberatan jika harus
menjadi isteri kedua,” Anggi kembali melanjutkan kalimatnya. Rena menatapnya
dengan tajam. Sempat terpikir olehnya untuk meraih kopi yang berada di
hadapannya lalu menyiramkannya ke muka Anggi. Tapi, buat apa? Untuk meredam
amarahnya sementara? Itu takkan ada gunanya.
“Aku
dan anak dalam kandunganku tidak akan pernah bisa hidup tanpa mas Hasan, mbak. Aku lebih baik mati
jika tidak bisa bersamanya,” Anggi terisak. Rena menggigit bibirnya dengan
kesal. “Apakah kau menemuiku hanya untuk
menceritakan lelucon ini, perempuan jalang? Kita sama-sama perempuan. Bagaimana
mungkin kau tega melakukan hal semacam ini padaku? Jika kau tahu dia adalah
lelaki yang sudah menikah, bagaimana mungkin kau tetap mendekatinya? Kegilaan
macam apa ini?” Ia nyaris berteriak.
“Maafkan
aku, mbak. Aku memang salah,” Anggi sesenggukan. Rena kembali tertawa hambar.
“Kau pikir hanya dengan meminta maaf bisa menyelesaikan masalah?” Desisnya.
“Entahlah,
aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Mas Hasan bilang dia tak mau
menikahiku dan aku lebih baik mati jika ia melakukannya!” ucapan Anggi
terdengar begitu serius hingga membuat Rena sempat tercengang.
“Aku
benar-benar tak bisa hidup tanpa dia mbak. Kumohon bantu aku. Aku tak tahu
harus bagaimana lagi?” bahu Anggi terguncang. Entah kenapa, tiba-tiba Rena
menjadi iba. Perempuan itu menelan ludah. Hatinya remuk.
“Itu
bukan urusanku lagi. Selesaikanlah sendiri masalah di antara kalian. Aku akan
segera bercerai dengannya dan aku tak punya hubungan apa-apa lagi dengannya.
Dan aku juga tak punya hubungan apa-apa denganmu. Jadi, kelak jangan pernah
menemuiku lagi,” Rena bangkit. Ia beranjak meninggalkan Anggi yang masih
menangis.
Perempuan itu melangkahkan kakinya menyusuri jalanan yang
ramai dengan tergesa-gesa. Ia biarkan kakinya melangkah sekenanya. Ia tak ingat
untuk berjalan menuju halte bus. Ia juga tak ingat untuk menghentikan taksi
yang berseliweran. Ia hanya melangkah saja, tanpa tujuan. Ia merasakan air
matanya menitik. Dan ia sempat terisak di jalanan.
Salah
siapa ini sebenarnya? Salahkah dia karena ia tak mampu memberikan Hasan
keturunan? Salahkah Hasan yang tak mampu menjaga iman dan kesetiaannya? Atau,
salahkan Anggi yang telah mencintai lelaki yang telah beristri? Ah, entahlah.
Rena tak tahu!
Perempuan
itu terus melangkah. Tak tentu arah. Sampai akhirnya ia capek menangis, dadanya
sesak, dan ia jatuh tak sadarkan diri.
***
Ketika Rena membuka mata, ia sudah
berada di sebuah klinik. Dari keterangan perawat yang mengunjunginya, Rena di
bawa ke sana oleh seorang pria dalam keadaan pingsan.
“Dimana
orang yang telah menolongku itu suster?” tanya Rena lagi.
“Setelah
menyelesaikan administrasi, beliau langsung memohon diri bu,”
“Apa
dia tak menyebutkan namanya? Apa dia tak meninggalkan kartu nama atau sekedar
nomor hape?” Rena makin penasaran dan suster itu kembali menggeleng.
Rena
manggut-manggut dan kembali beristirahat. Sesaat kemudian pintu kamar terbuka
dan mas Aldi muncul dari balik pintu bersama mbak Yuli.
“Oh,
kau membuat kami cemas, Rena.” Mas Aldi segera menghambur ke arah Rena yang
memandangnya dengan heran.
“Bagaimana
mas Aldi tahu kalau aku di sini?” Tanya Rena tak habis pikir karena ia merasa
belum menghubungi siapapun sejak membuka mata.
“Seseorang
memberitahu kami kalau kau pingsan di pinggir jalan dan dibawa ke rumah sakit.”
Mbak Yuli menyahut seraya menyentuh kening Rena dengan lembut.
“Seseorang?
Siapa?” tanya Rena makin penasaran.
“Entahlah,
dia belum sempat menyebutkan namanya.” Jawab mas Aldi. Rena terdiam. Siapa dia
sebenarnya? Apakah mas Hasan?
“Kami
sudah langsung menemui dokter. Dia bilang kau hanya kelelahan dan sedikit
stress. Dengan istirahat, mungkin lusa kau sudah boleh pulang.” Ucap mas Aldi
lagi. Rena hanya manggut-manggut. Tapi tetap saja hatinya bertanya-tanya
tentang siapa sosok yang telah menyelamatkan nyawanya.
***
Mas Aldi baru saja pulang bersama dengan mbak Yuli ketika
Hasan datang ke ruangan tempat Rena di rawat. Lelaki tampan itu segera
menghambur ke arah Rena dengan raut muka cemas.
“Kau
baik-baik saja, Sayang? Di mana yang sakit? Katakan padaku? Kau sudah membaik
‘kan sekarang?” Hasan menggenggam jemari tangan Rena dengan lembut. Perempuan
itu merasa bahagia melihat kedatangan Hasan yang mengkhawatirkannya.
Bagaimanapun juga sosok lelaki yang tengah ada di hadapannya sekarang ini
adalah lelaki terbaik yang pernah ia kenal selama ini. Tapi, begitu mengingat pengkhianatannya
dengan Anggi, darah Rena serasa mendidih!
Tidak,
ia belum pernah bisa menerima kenyataan pahit itu.
“Bagaimana
kau bisa tahu aku di sini, mas?” Tanya Rena dengan sedikit ketus. Tapi ia tak
menarik tangannya dari genggaman Hasan.
“Mas
Aldi yang memberitahuku, baru beberapa jam yang lalu dan aku langsung kesini.”
Hasan mengecup punggung tangan Rena dengan lembut, seperti yang selalu ia
lakukan selama ini ketika mereka hanya berduaan saja.
Rena
terdiam. Dan sudah bisa dipastikan bahwa orang yang menolongnya kemarin
bukanlah Hasan.
“Istirahatlah
di rumah, Rena. Pulanglah bersamaku, sayang,” ucap Hasan dengan tatapan lembut,
seperti Hasan yang selama ini Rena kenal.
“Mas,
aku belum ingin membahasnya jadi jangan bicarakan tentang hal itu. Tolong beri
aku waktu. Aku hanya ingin istirahat dan menenangkan diri,” Rena setengah
memohon. Hasan menatap istrinya dengan iba dan putus asa.
“Baik,
sayang. Istirahatlah dulu, aku akan menemanimu,” Hasan kembali mencium tangan
Rena lalu memijit-mijit kakinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Tak ada
pembicaraan yang berarti di antara mereka karena Rena enggan membuka suara.
Hingga akhirnya Rena tertidur, entah untuk berapa lama. Dan ketika ia membuka
mata, ia takjub karena menyaksikan Hasan masih duduk menungguinya dengan sabar
dan penuh perhatian.
“Kau
sudah bangun, sayang? Perlu sesuatu?” tanya lelaki itu dengan senyuman seraya
membelai pipi Rena dengan lembut. Rena tak segera menjawab. Hatinya merutuk.
Kenapa dia masih begitu baik padanya setelah apa yang dilakukannya dengan
Anggi? Akankah Rena bisa lepas dari bayang-bayang Hasan jika lelaki itu
senantiasa penuh perhatian dan cinta seperti ini?
“Istirahatlah
lagi agar kau segera baikan,” tambah Hasan lagi. Rena menatap lelaki itu dengan
dalam.
“Kita
bercerai saja, mas,” kalimat itu meluncur dari bibir indah Rena. Hasan terlihat
terkejut.
“Bicara
apa kau ini?” tanyanya lirih.
“Kita
bercerai saja, itu solusi yang terbaik untuk kita,” jawab Rena. Hasan menatap
perempuan berambut panjang di depannya dengan dalam. Tak ada sepatah katapun
keluar dari bibirnya. Ia menunduk lalu kembali membelai lembut jemari-jemari
Rena, kemudian memijit-mijit kakinya dengan perlahan tanpa mengatakan apapun.
Dan tanpa ia sadari, air matanya menitik. Rena terhenyak menyaksikan suaminya
menangis. Tenggorokannya terasa tersekat
dan dadanya terasa sesak. Dan tanpa dapat ia bendung, air matanyapun menitik
membasahi pipinya yang pucat. Keduanya menangis, lama, tanpa mampu mengatakan
apapun.
***
Keesokan harinya, Rena sudah diperbolehkan pulang meskipun
sebenarnya dokter sedikit keberatan. Ia pulang dijemput mas Aldi tanpa
memberitahu Hasan. Tapi ia menitipkan nomor teleponnya pada suster yang
berjaga.
“Mungkin
ini takkan terjadi, tapi jika seandainya orang yang menolongku kesini, tolong
suruh dia menelponku ya, suster. Saya ingin mengucapkan terima kasih,” ucapnya
sedikit ragu-ragu. Suster jaga tersebut tersenyum seraya mengangguk.
“Kau
tak ingin memberitahu Hasan kalau kau sudah pulang?” Tanya mas Aldi ketika
mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Rena tak menjawab.
“Sebaiknya
beritahulah dia. Supaya dia tak kelabakan mencemaskanmu,” ucap mas Aldi lagi.
“Iya,
mas. Nanti akan ku telpon,” jawab Rena pendek. Ia kembali terdiam.
“Mas,
kau bisa bantu mencarikanku pekerjaan?” tanya Rena kemudian. Mas Aldi yang
duduk di belakang kemudi mengernyitkan dahinya keheranan seraya menatap Rena
yang duduk di sampingnya, sekilas.
“Pekerjaan?
Untuk apa?” Keningnya berkerut.
“Aku
sudah memutuskan untuk bercerai mas. Jadi, aku harus punya pekerjaan untuk
bertahan hidup.” Jawab Rena.
“Apa
kau yakin dengan keputusanmu?”
Perempuan
itu mengangguk.
“Tidakkah
kau ingin membicarakannya dulu dengan suamimu?” Mas Aldi kembali bertanya yang
selanjutnya dijawab dengan gelengan kepala oleh adiknya.
“Keputusan
ini sudah final. Kami akan bercerai dan aku takkan punya sangkut paut lagi
dengan dia. Jadi, aku ingin mulai menata ulang kehidupanku dan berusaha untuk
mandiri.” Jawab Rena kemudian. Terdengar helaan nafas mas Aldi.
“Ini
sulit, Rena. Apalagi, kau hanya lulusan es-em-a, tentunya mencari pekerjaan tak
akan mudah. Kalau hanya sekedar menjaga toko, banyak. Tapi, apa kau siap
bekerja semacam itu?”
“Ya,
mas. Apa saja, yang penting halal. Setidaknya, aku benar-benar bisa belajar
untuk mandiri,”
Mas
aldi tak membuka suara. Rena-pun terdiam. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa
menyesal. Kenapa ia harus menikah muda? Kenapa ia tak melanjutkan kuliahnya
sampai selesai? Ah, penyesalan selalu datang terlambat. Tentunya ia takkan
mengira bahwa semua akan seperti ini? Tentunya ia mengira bahwa ia tak perlu
lagi sekolah tinggi-tinggi karena toh jika ia menikah dengan Hasan, ia takkan
perlu lagi mencemaskan tentang nasib masa depannya yang tentu sudah sangat
cemerlang. Tapi, siapa yang mengira bahwa semua akan berantakan seperti ini?
***
Hampir pukul 8 malam ketika Rena hanya
duduk tercenung di bangku di taman rumah orang tuanya. Mas Aldi keluar kota
bersama mbak yuli dan kedua anaknya. Mereka berangkat tadi pagi. Sementara ayah
dan ibunya, seperti biasa mereka menghabiskan waktu mereka berduaan di depan
televisi. Entah tontonan apa yang paling mereka suka.
Perempuan
itu mengalihkan pandangannya dari langit yang dipenuhi bintang-bintang ke arah
phonselnya yang berdering. Ia mengintip sekilas ke layar phonsel. Nomor dengan
nama ‘Suamiku’ memanggil. Dari Hasan tentunya. Rena sempat berpikir menolak
panggilan tersebut. Namun akhirnya menerimanya.
“Halo.”
Ia menjawab ragu.
“Sayang, kenapa kau tak
memberitahuku kalau kau sudah pulang dari rumah sakit,” Hasan langsung memberondongnya dengan pertanyaan.
“Maaf,
tapi sepertinya lebih nyaman seperti itu,” jawab Rena.
“Apa kau sudah membaik? Kau
tak merasa sakit lagi?”
“Aku
sudah membaik, mas. Kau tak perlu mencemaskanku,”
“Apa kau memperbolehkanku
datang kesitu? Aku ingin melihat sendiri keadaanmu,”
“Tak
perlu, mas. Percayalah, aku baik-baik saja. Dan tentang pembicaraan kita
kemarin siang, aku serius mas. Kita tak punya solusi lain selain perceraian,”
Hasan
terdiam sesaat.
“Beri aku kesempatan untuk
menyelesaikan masalahku dulu dengan Anggi, sayang. Setelah itu, baru kita
pikirkan langkah selanjutnya. Ya? Please,” suara Hasan begitu memelas dan memohon hingga
membuat Rena kembali tak tega.
“Terserah
kau saja, mas. Sekarang aku ingin istirahat, bisakah kau tutup telponnya,” Rena
meminta dengan sopan.
“Baiklah, tidurlah dengan
nyenyak, sayang. Aku mencintaimu.”
Pembicaraan
terputus.
Rena
kembali mendesah pelan. Ia baru akan beranjak ketika phonselnya kembali
berdering. Ia melihat ke arah layar dan tampak nomor yang tak ia kenal sedang
memanggil. Dengan sedikit malas, ia memencet tombol terima.
“Selamat
malam,” Rena menyapa terlebih dahulu.
“Selamat malam. Dengan
saudara Rena?” Terdengar suara laki-laki
dari seberang sana.
“Ya.”
“Oh, syukurlah. Bagaimana
keadaan anda?”
Rena
mengernyitkan dahinya.
“Maaf,
anda siapa?”
“Tadi saya berencana
menjenguk anda di klinik, tapi mereka bilang anda sudah pulang sejak tadi pagi.
Apakah anda yakin sudah membaik?”
Rena
terdiam sesaat.
“Apakah
anda ___?”
“Ya, saya yang membawa anda
ke klinik ketika anda tak sadarkan diri,”
Rena
membelalak.
“Oh,
benarkah? Syukurlah anda mau menghubungiku. Saya benar-benar ingin berterima
kasih pada anda karena telah menolong saya. Boleh saya tahu nama anda?”
“Ah, itu sudah kewajiban saya
untuk menolong sesama,”
“Saya
benar-benar ingin bertemu dengan anda, bisakah?”
Sesaat
tak ada jawaban dari seberang sana.
“Ah, sudahlah, tak apa-apa.
Yang penting anda sudah membaik. Kelak kita pasti bertemu lagi,”
“Tapi___”
Telpon
terputus.
Rena
mendesah. Kecewa.
“Semoga
Tuhan membalas kebaikanmu,” gumamnya.
***
Bersambung
.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar