Sabtu, 18 April 2015

Tada Aishiteru - Part 1



Cerita ini untukmu, yang pernah tersakiti olehku...
Yang pernah mencintaiku dengan tulus, mencintaiku tanpa syarat dan ketentuan berlaku, namun ku campakkan kau begitu saja.
Ku permainkan dirimu, ku lukai hatimu.

Kata maaf saja tidak akan cukup.
Jadi, di manapun kau berada, dan dengan siapapun kau saat ini, semoga kau senantiasa hidup bahagia. Doaku tulus...

Dan kelak seandainya kita bertemu lagi, tolong jangan menyapaku...

@@@##########@@@




Rena menatap suaminya dengan tatapan putus asa. Air matanya terus menitik.  Sementara Hasan hanya mampu duduk membisu di pinggir tempat tidur tanpa berani menatap kembali ke arah istrinya. Hampir 10 menit mereka berdiam diri setelah sempat bertengkar dengan hebat.
“Kenapa kau lakukan ini padaku, mas?” tanya Rena kemudian. Lirih. Suaranya sudah jauh lebih tenang sekarang.
“Kenapa kau tega melakukan hal ini padaku?” Ia bertanya lagi, kali ini dengan nada suara yang lebih tinggi.
“Aku khilaf, Rena.” Hasan membuka suara. Kalimatnya terdengar parau.
Rena tersenyum sinis. “Khilaf? Kau berselingkuh dariku, meniduri wanita lain, dan sekarang wanita itu mengandung anakmu, lalu kau bilang kau khilaf? Semudah itukah?” Ia terkekeh, jijik.
Hasan mengarahkan pandangan ke arah istrinya. Kedua mata lelaki itu tampak berkaca-kaca.
“Aku bersalah, Ren. Hukumlah aku sekehendak hatimu, tapi percayalah, hanya kau satu-satunya perempuan yang aku cintai.” Ia berucap dengan putus asa.
“Lalu kenapa kau tega mengkhianatiku?” Tatapan Rena tajam.
“Aku tidak ingin mengkhianatimu. Aku hanya ... Aku hanya menginginkan seorang bayi.” Kalimat Hasan terdengar ragu-ragu.
“Lalu?”
“Lalu ... ?” Kalimat Hasan kembali terhenti. Sungguh ia tak tahu harus bagaimana berkata-kata di hadapan istrinya. Selama ini ia dikenal sebagai pebisnis ulung yang mampu memenangkan setiap tender dengan kecerdasan serta kemampuannya merangkai setiap kata, tanpa cela. Tapi kali ini, kemampuan itu seakan sirna entah kemana. 
“Apa kau ingin bilang padaku bahwa kau menidurinya hanya untuk mendapatkan anak darinya?” Rena kembali menghujaninya dengan pertanyaan. Hasan tak menjawab, tapi perlahan kepalanya mengangguk. Rena menumpukan kedua sikunya di lutut lalu menutup mukanya dengan telapak tangannya.
“Aku tidak mencintainya, sungguh. Percayalah padaku, Ren.” Ucap Hasan lagi, benar-benar terlihat putus asa.
Rena menoleh dan menatap lelaki di hadapannya marah.
“Mas, aku tahu bahwa aku bukan perempuan sempurna yang bisa memberimu keturunan. Tapi bukan berarti kau boleh mengkhianatiku dengan meniduri wanita lain hingga hamil!” Ia kembali berteriak.
Hasan beranjak, bersimpuh di hadapan istrinya dan memegang tangan Rena dengan erat.
“Aku tahu, Ren. Aku memang bersalah padamu. Setelah bayi itu lahir, aku takkan berhubungan lagi dengannya. Dan anak itu, tentu saja aku akan merawatnya dengan baik,”
“Jadi kau tak berniat menikahi wanita itu?” Rena menatap suaminya dengan tak mengerti. Hasan menggeleng.
“Bedebah kau, mas!” Rena menepis tangan suaminya dengan kasar. Ia bangkit, beranjak meraih tas kopernya lalu mulai mengemasi beberapa bajunya. Ia masukkan begitu saja ke dalam koper tanpa menghiraukan pandangan suaminya.
“Apa yang kau lakukan?”
“Aku tak bisa berada di sini lagi, mas. Aku akan ke rumah ibu. Aku perlu waktu untuk menenangkan diri,” jawab Rena tanpa melihat ke arah suaminya.
“Tidak, Rena. Jangan pergi,” Hasan memohon dengan suara memelas. “Hukumlah aku sekehendak hatimu, tapi kumohon, jangan tinggalkan aku!” lelaki itu kembali memohon. Dan Rena tak peduli. Bahkan ketika Hasan menangis dan bersimpuh di kakinya, perempuan itu tetap melangkahkan kakinya meninggalkan lelaki yang hampir 5 tahun ini telah menjadi suaminya.
         
***

          Ketika Rena sampai di rumah orang tuanya, perempuan cantik itu menceritakan pada mereka perihal masalah rumah tangganya tanpa ia tutup-tutupi sedikitpun. Ayah Rena yang merupakan pensiunan pegawai Bank hanya mampu terduduk lemas di kursi kayu kesayangannya. Sementara ibu Rena yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa, hanya mampu menangis.
“Jadi, apa rencanamu selanjutnya, Ren? Apa kau akan bercerai darinya?” tanya ibu Rena setelah keadaan tenang dan Rena membiarkan perempuan itu menangis selama beberapa saat.
“Entahlah, bu. Aku belum tahu. Aku masih perlu waktu untuk menenangkan diri,” jawabnya lirih.
“Mas Hasan pasti akan kesini. Dan jika itu terjadi, bilang saja aku tak ada. Yang jelas, aku belum siap untuk bertemu dengannya,” lanjut Rena seraya beranjak menuju kamarnya. Kamar lama yang dulu ia tempati ketika ia masih remaja. Tempat itu tak banyak berubah. Wallpaper bergambar dedaunan masih terawat dengan bagus. Dekorasi kamar yang bernuansa hijaupun tetap menyejukkan matanya. Kamar itu seolah-olah baru saja ia tempati kemarin. Meskipun kenyataannya sudah hampir 5 tahun ini ia tak pernah menempatinya.
Sejak menikah dengan Hasan, Rena memang tak pernah lagi tidur di rumah ibunya. Kalaupun datang berkunjung, mereka tak pernah menginap. Maklum, hasan adalah lelaki mapan yang berkecukupan. Ketika ia menikahi Rena, lelaki itu sudah punya segalanya. Pekerjaan yang bagus, rumah mewah di kawasan elit, mobil mewah, apapun yang Rena mau, Hasan pasti mampu memenuhinya. Dan itu adalah salah satu alasan Rena jatuh hati setengah mati padanya - Selain karena wajahnya yang tampan dan perilakunya yang begitu baik dan menyenangkan.
Rena bertemu pertama kali dengan Hasan di sebuah pesta ulang tahun yang diselenggarakan teman Rena. Waktu itu Rena baru  saja kuliah semester dua. Sementara Hasan sudah mulai berkecimpung di dunia usaha dan mulai merintis karir sebagai pengusaha muda. Melihat sosoknya yang begitu kalem dan bersahaja, Rena langsung merasa kagum padanya. Begitu pula sebaliknya, Hasan pun terpesona dengan wajah cantik Rena dan pembawaannya yang senantiasa ceria dan periang. Dari perkenalan singkat itu, mereka semakin dekat. Hingga akhirnya, dengan terang-terangan Hasan mengungkapkan perasaannya bahwa ia mencintai Rena. Dan tentu saja Rena-pun menerimanya karena iapun mencintai lelaki tampan tersebut. Dan dengan keadaannya yang sudah mapan, Hasanpun memberanikan diri untuk melamar Rena pada kedua orang tuanya. Mulanya orang tua Rena menolak karena ia masih sangat muda dan baru berumur 19 tahun. Lagipula, ia juga masih kuliah. Orang tua Rena berharap kalau mereka bertunangan dulu baru kemudian menikah ketika dia sudah lulus kuliah.  Tapi, keputusan besar pun di ambil oleh Rena. Ia memutuskan untuk berhenti kuliah demi bisa menjadi istri yang baik  bagi Hasan. Toh ia merasa tak butuh lagi pendidikan dan juga pekerjaan karena Hasan sanggup memberikan apa saja yang ia minta.
Dan tak butuh waktu lama untuk membuat mereka mengikat janji suci sebagai suami istri. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga mereka dengan sangat bahagia. Pernikahan mereka bahkan sudah berjalan hampir 5 tahun. Mulanya Rena mengira ia akan senantiasa hidup bahagia dengan suaminya. Tapi, pengakuan suaminya beberapa hari yang lalu benar-benar membuat jantungnya tertusuk. Dengan terang-terangan dan penuh rasa menyesal, Hasan mengaku bahwa ia terlibat hubungan dengan wanita lain selama beberapa bulan terakhir ini dan wanita bernama Anggi itu sekarang mengandung anaknya. Sekuat apapun Hasan meyakinkannya bahwa ia tak pernah mencintai wanita itu, tetap saja Rena terluka. Hasan mengatakan bahwa apa yang ia lakukan itu karena ia mendambakan seorang anak. Memang, ia dan Rena sudah menjalani perkawinan yang cukup lama, tapi sampai sekarang mereka belum diberi momongan. Sebenarnya Rena pernah hamil beberapa kali, tapi ia selalu mengalami keguguran. Dokter bilang, kandungan Rena lemah hingga sulit baginya untuk mempunyai keturunan. Tapi selama ini mereka tak pernah berhenti untuk berusaha mendapatkan momongan. Entah dengan cara alternatif maupun medis. Hampir semua cara sudah mereka tempuh. Meskipun hasilnya masih nihil, selama ini Hasan tak pernah berhenti untuk memberikan support dan kekuatan pada Rena untuk senantiasa sabar menghadapi semuanya. Ia hanya tak mengira bahwa Hasan-lah orang yang akan putus asa dengan keadaan mereka!
Air mata Rena kembali menitik ketika mengingat semuanya. Mengingat bagaimana Hasan memperlakukannya dengan manis, tapi sekarang menghancurkan hatinya berkeping-keping!

***

           Tepat seperti dugaan Rena, Hasan memang berkali-kali datang ke rumah orang tuanya untuk mencoba bertemu dengannya. Tapi, berkali-kali pula Rena menolak menemuinya. Ia belum siap. Atau lebih tepatnya, ia takut. Ia takut bertemu dengan Hasan dan takut menerima kenyataan bahwa rumah tanggganya sekarang berantakan. Ia ingin mengelak. Tapi, satu-satunya solusi untuk keluar dari masalah ini adalah perceraian. Dan itu berarti, perkawinannya hancur!
Wanita itu sudah hamil dan tidak mungkin baginya untuk menggugurkan kandungan karena bagaimanapun juga Hasan sangat mendambakan anak tersebut – terlepas apakah ia mencintai Anggi atau tidak. Dan tentu saja, anak dalam kandungan Anggi membutuhkan seorang ayah, dan  Rena tidak akan pernah sanggup untuk berbagi suami dengannnya atau bahkan dengan siapapun!
“Rena, ada tamu untukmu,” suara lembut mbak Yuli membuat Rena terjaga dari lamunannya. Yuli adalah kakak ipar Rena, istri dari mas Aldi, kakak laki-laki satu-satunya. Selama ini mereka dan kedua puteri mereka memang tinggal serumah dengan ayah dan ibunya. Sebenarnya mas Aldi pernah berniat untuk membeli sebuah rumah sendiri. Tapi ibu melarang karena ia akan merasa sangat kesepian jika hanya berdua saja dengan ayah. Hingga akhirnya, mas Aldi menuruti kemauan ibu dengan memboyong seluruh keluarganya ke sini.
“Siapa mbak? Mas Hasan lagi?” Tanya Rena.
Mbak Yuli menggeleng. “Perempuan,” jawabnya kemudian. Rena mengernyitkan dahinya. Dengan rasa penasaran, ia melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Dan tampak olehnya, seorang perempuan cantik berambut sebahu tengah duduk dengan kikuk di salah satu kursi ruang tamu. Tubuh Rena serasa membeku seketika. Darah di pembuluh baliknya seakan berhenti mengalir dengan tiba-tiba.
Dia Anggi, perempuan yang telah di hamili Hasan! Rena bahkan pernah bertemu beberapa kali dengannya di pesta yang di adakan teman bisnis suaminya. Waktu itu ia mengaku sebagai teman lama Hasan.
“Untuk apa kau kesini?” tanya Rena ketus. “Apa Hasan yang menyuruhmu?” lanjutnya lagi dengan sorot mata tajam ke arah perempuan itu.
“Tidak, mbak. Saya yang berinisiatif datang ke sini sendiri. Ada hal yang ingin saya bicarakan dengan mbak,” jawab Anggi sopan.
Rena terdiam sesaat.
“Tunggu sebentar, aku akan ganti baju dulu. Kita akan bicara, tapi tidak di sini. Kita akan bicara di luar,” jawab Rena kemudian seraya beranjak kembali ke kamarnya. Beberapa saat kemudian ia sudah kembali dengan celana jeans dan blouse warna cerah yang sesuai dengan kulitnya yang bersih. Kemudian ia mengajak Anggi keluar. Mereka ke sebuah coffee shop yang berada sekitar 3 kilometer dari rumah orang tua Rena untuk berbicara dari hati ke hati.
“Bicaralah, langsung ke intinya saja. Waktuku tak banyak,” ucap Rena dengan nada kasar tanpa melihat ke arah perempuan cantik yang duduk di depannya.
“Aku ingin minta maaf secara pribadi pada mbak Rena,” jawab Anggi lirih. Rena tertawa sinis.
“Untuk apa? Untuk perselingkuhanmu dengan suamiku? Ah, omong kosong,” sahutnya.
“Aku salah, mbak. Tak seharusnya aku mendekati lelaki yang sudah menikah atau bahkan mempunyai hubungan yang spesial dengannya. Tapi, semua di luar dugaan. Tadinya aku memang mendekatinya hanya untuk iseng. Tapi lama-lama aku merasakan perasaan berbeda padanya. Dia adalah lelaki yang sangat baik. Dan aku sangat senang bisa bersamanya. Mas Hasan tidak pernah mendekatiku, mbak. Akulah yang mendekatinya terlebih dulu,”
Rena merasakan giginya bergemerutuk menahan amarah. Ini sinting! Bagaimana mungkin ia mau saja berbicara dengan Anggi, orang yang telah membuat keluarganya berantakan!?
“Aku mencintai mas Hasan dengan tulus, mbak. Aku bahkan tak keberatan jika harus menjadi isteri kedua,” Anggi kembali melanjutkan kalimatnya. Rena menatapnya dengan tajam. Sempat terpikir olehnya untuk meraih kopi yang berada di hadapannya lalu menyiramkannya ke muka Anggi. Tapi, buat apa? Untuk meredam amarahnya sementara? Itu takkan ada gunanya.
“Aku dan anak dalam kandunganku tidak akan pernah bisa hidup  tanpa mas Hasan, mbak. Aku lebih baik mati jika tidak bisa bersamanya,” Anggi terisak. Rena menggigit bibirnya dengan kesal.  “Apakah kau menemuiku hanya untuk menceritakan lelucon ini, perempuan jalang? Kita sama-sama perempuan. Bagaimana mungkin kau tega melakukan hal semacam ini padaku? Jika kau tahu dia adalah lelaki yang sudah menikah, bagaimana mungkin kau tetap mendekatinya? Kegilaan macam apa ini?” Ia nyaris berteriak.
“Maafkan aku, mbak. Aku memang salah,” Anggi sesenggukan. Rena kembali tertawa hambar. “Kau pikir hanya dengan meminta maaf bisa menyelesaikan masalah?” Desisnya.
“Entahlah, aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Mas Hasan bilang dia tak mau menikahiku dan aku lebih baik mati jika ia melakukannya!” ucapan Anggi terdengar begitu serius hingga membuat Rena sempat tercengang.
“Aku benar-benar tak bisa hidup tanpa dia mbak. Kumohon bantu aku. Aku tak tahu harus bagaimana lagi?” bahu Anggi terguncang. Entah kenapa, tiba-tiba Rena menjadi iba. Perempuan itu menelan ludah. Hatinya remuk.
“Itu bukan urusanku lagi. Selesaikanlah sendiri masalah di antara kalian. Aku akan segera bercerai dengannya dan aku tak punya hubungan apa-apa lagi dengannya. Dan aku juga tak punya hubungan apa-apa denganmu. Jadi, kelak jangan pernah menemuiku lagi,” Rena bangkit. Ia beranjak meninggalkan Anggi yang masih menangis.
Perempuan itu melangkahkan kakinya menyusuri jalanan yang ramai dengan tergesa-gesa. Ia biarkan kakinya melangkah sekenanya. Ia tak ingat untuk berjalan menuju halte bus. Ia juga tak ingat untuk menghentikan taksi yang berseliweran. Ia hanya melangkah saja, tanpa tujuan. Ia merasakan air matanya menitik. Dan ia sempat terisak di jalanan.
Salah siapa ini sebenarnya? Salahkah dia karena ia tak mampu memberikan Hasan keturunan? Salahkah Hasan yang tak mampu menjaga iman dan kesetiaannya? Atau, salahkan Anggi yang telah mencintai lelaki yang telah beristri? Ah, entahlah. Rena tak tahu!
Perempuan itu terus melangkah. Tak tentu arah. Sampai akhirnya ia capek menangis, dadanya sesak, dan ia jatuh tak sadarkan diri.

***

          Ketika Rena membuka mata, ia sudah berada di sebuah klinik. Dari keterangan perawat yang mengunjunginya, Rena di bawa ke sana oleh seorang pria dalam keadaan pingsan.
“Dimana orang yang telah menolongku itu suster?” tanya Rena lagi.
“Setelah menyelesaikan administrasi, beliau langsung memohon diri bu,”
“Apa dia tak menyebutkan namanya? Apa dia tak meninggalkan kartu nama atau sekedar nomor hape?” Rena makin penasaran dan suster itu kembali menggeleng.
Rena manggut-manggut dan kembali beristirahat. Sesaat kemudian pintu kamar terbuka dan mas Aldi muncul dari balik pintu bersama mbak Yuli.
“Oh, kau membuat kami cemas, Rena.” Mas Aldi segera menghambur ke arah Rena yang memandangnya dengan heran.
“Bagaimana mas Aldi tahu kalau aku di sini?” Tanya Rena tak habis pikir karena ia merasa belum menghubungi siapapun sejak membuka mata.
“Seseorang memberitahu kami kalau kau pingsan di pinggir jalan dan dibawa ke rumah sakit.” Mbak Yuli menyahut seraya menyentuh kening Rena dengan lembut.
“Seseorang? Siapa?” tanya Rena makin penasaran.
“Entahlah, dia belum sempat menyebutkan namanya.” Jawab mas Aldi. Rena terdiam. Siapa dia sebenarnya? Apakah mas Hasan?
“Kami sudah langsung menemui dokter. Dia bilang kau hanya kelelahan dan sedikit stress. Dengan istirahat, mungkin lusa kau sudah boleh pulang.” Ucap mas Aldi lagi. Rena hanya manggut-manggut. Tapi tetap saja hatinya bertanya-tanya tentang siapa sosok yang telah menyelamatkan nyawanya.

***
                  
Mas Aldi baru saja pulang bersama dengan mbak Yuli ketika Hasan datang ke ruangan tempat Rena di rawat. Lelaki tampan itu segera menghambur ke arah Rena dengan raut muka cemas.
“Kau baik-baik saja, Sayang? Di mana yang sakit? Katakan padaku? Kau sudah membaik ‘kan sekarang?” Hasan menggenggam jemari tangan Rena dengan lembut. Perempuan itu merasa bahagia melihat kedatangan Hasan yang mengkhawatirkannya. Bagaimanapun juga sosok lelaki yang tengah ada di hadapannya sekarang ini adalah lelaki terbaik yang pernah ia kenal selama ini. Tapi, begitu mengingat pengkhianatannya dengan Anggi, darah Rena serasa mendidih!
Tidak, ia belum pernah bisa menerima kenyataan pahit itu.
“Bagaimana kau bisa tahu aku di sini, mas?” Tanya Rena dengan sedikit ketus. Tapi ia tak menarik tangannya dari genggaman Hasan.
“Mas Aldi yang memberitahuku, baru beberapa jam yang lalu dan aku langsung kesini.” Hasan mengecup punggung tangan Rena dengan lembut, seperti yang selalu ia lakukan selama ini ketika mereka hanya berduaan saja.
Rena terdiam. Dan sudah bisa dipastikan bahwa orang yang menolongnya kemarin bukanlah Hasan. 
“Istirahatlah di rumah, Rena. Pulanglah bersamaku, sayang,” ucap Hasan dengan tatapan lembut, seperti Hasan yang selama ini Rena kenal.
“Mas, aku belum ingin membahasnya jadi jangan bicarakan tentang hal itu. Tolong beri aku waktu. Aku hanya ingin istirahat dan menenangkan diri,” Rena setengah memohon. Hasan menatap istrinya dengan iba dan putus asa.
“Baik, sayang. Istirahatlah dulu, aku akan menemanimu,” Hasan kembali mencium tangan Rena lalu memijit-mijit kakinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Tak ada pembicaraan yang berarti di antara mereka karena Rena enggan membuka suara. Hingga akhirnya Rena tertidur, entah untuk berapa lama. Dan ketika ia membuka mata, ia takjub karena menyaksikan Hasan masih duduk menungguinya dengan sabar dan penuh perhatian.
“Kau sudah bangun, sayang? Perlu sesuatu?” tanya lelaki itu dengan senyuman seraya membelai pipi Rena dengan lembut. Rena tak segera menjawab. Hatinya merutuk. Kenapa dia masih begitu baik padanya setelah apa yang dilakukannya dengan Anggi? Akankah Rena bisa lepas dari bayang-bayang Hasan jika lelaki itu senantiasa penuh perhatian dan cinta seperti ini?
“Istirahatlah lagi agar kau segera baikan,” tambah Hasan lagi. Rena menatap lelaki itu dengan dalam.
“Kita bercerai saja, mas,” kalimat itu meluncur dari bibir indah Rena. Hasan terlihat terkejut.
“Bicara apa kau ini?” tanyanya lirih.
“Kita bercerai saja, itu solusi yang terbaik untuk kita,” jawab Rena. Hasan menatap perempuan berambut panjang di depannya dengan dalam. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya. Ia menunduk lalu kembali membelai lembut jemari-jemari Rena, kemudian memijit-mijit kakinya dengan perlahan tanpa mengatakan apapun. Dan tanpa ia sadari, air matanya menitik. Rena terhenyak menyaksikan suaminya menangis. Tenggorokannya terasa  tersekat dan dadanya terasa sesak. Dan tanpa dapat ia bendung, air matanyapun menitik membasahi pipinya yang pucat. Keduanya menangis, lama, tanpa mampu mengatakan apapun.

***

Keesokan harinya, Rena sudah diperbolehkan pulang meskipun sebenarnya dokter sedikit keberatan. Ia pulang dijemput mas Aldi tanpa memberitahu Hasan. Tapi ia menitipkan nomor teleponnya pada suster yang berjaga.
“Mungkin ini takkan terjadi, tapi jika seandainya orang yang menolongku kesini, tolong suruh dia menelponku ya, suster. Saya ingin mengucapkan terima kasih,” ucapnya sedikit ragu-ragu. Suster jaga tersebut tersenyum seraya mengangguk.
“Kau tak ingin memberitahu Hasan kalau kau sudah pulang?” Tanya mas Aldi ketika mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Rena tak menjawab.
“Sebaiknya beritahulah dia. Supaya dia tak kelabakan mencemaskanmu,” ucap mas Aldi lagi.
“Iya, mas. Nanti akan ku telpon,” jawab Rena pendek. Ia kembali terdiam.
“Mas, kau bisa bantu mencarikanku pekerjaan?” tanya Rena kemudian. Mas Aldi yang duduk di belakang kemudi mengernyitkan dahinya keheranan seraya menatap Rena yang duduk di sampingnya, sekilas.
“Pekerjaan? Untuk apa?” Keningnya berkerut.
“Aku sudah memutuskan untuk bercerai mas. Jadi, aku harus punya pekerjaan untuk bertahan hidup.” Jawab Rena.
“Apa kau yakin dengan keputusanmu?”
Perempuan itu mengangguk.
“Tidakkah kau ingin membicarakannya dulu dengan suamimu?” Mas Aldi kembali bertanya yang selanjutnya dijawab dengan gelengan kepala oleh adiknya.
“Keputusan ini sudah final. Kami akan bercerai dan aku takkan punya sangkut paut lagi dengan dia. Jadi, aku ingin mulai menata ulang kehidupanku dan berusaha untuk mandiri.” Jawab Rena kemudian. Terdengar helaan nafas mas Aldi.
“Ini sulit, Rena. Apalagi, kau hanya lulusan es-em-a, tentunya mencari pekerjaan tak akan mudah. Kalau hanya sekedar menjaga toko, banyak. Tapi, apa kau siap bekerja semacam itu?”
“Ya, mas. Apa saja, yang penting halal. Setidaknya, aku benar-benar bisa belajar untuk mandiri,”
Mas aldi tak membuka suara. Rena-pun terdiam. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa menyesal. Kenapa ia harus menikah muda? Kenapa ia tak melanjutkan kuliahnya sampai selesai? Ah, penyesalan selalu datang terlambat. Tentunya ia takkan mengira bahwa semua akan seperti ini? Tentunya ia mengira bahwa ia tak perlu lagi sekolah tinggi-tinggi karena toh jika ia menikah dengan Hasan, ia takkan perlu lagi mencemaskan tentang nasib masa depannya yang tentu sudah sangat cemerlang. Tapi, siapa yang mengira bahwa semua akan berantakan seperti ini?

***

          Hampir pukul 8 malam ketika Rena hanya duduk tercenung di bangku di taman rumah orang tuanya. Mas Aldi keluar kota bersama mbak yuli dan kedua anaknya. Mereka berangkat tadi pagi. Sementara ayah dan ibunya, seperti biasa mereka menghabiskan waktu mereka berduaan di depan televisi. Entah tontonan apa yang paling mereka suka.
Perempuan itu mengalihkan pandangannya dari langit yang dipenuhi bintang-bintang ke arah phonselnya yang berdering. Ia mengintip sekilas ke layar phonsel. Nomor dengan nama ‘Suamiku’ memanggil. Dari Hasan tentunya. Rena sempat berpikir menolak panggilan tersebut. Namun akhirnya menerimanya.
“Halo.” Ia menjawab ragu.
“Sayang, kenapa kau tak memberitahuku kalau kau sudah pulang dari rumah sakit,” Hasan langsung memberondongnya dengan pertanyaan.
“Maaf, tapi sepertinya lebih nyaman seperti itu,” jawab Rena.
“Apa kau sudah membaik? Kau tak merasa sakit lagi?
“Aku sudah membaik, mas. Kau tak perlu mencemaskanku,”
“Apa kau memperbolehkanku datang kesitu? Aku ingin melihat sendiri keadaanmu,”
“Tak perlu, mas. Percayalah, aku baik-baik saja. Dan tentang pembicaraan kita kemarin siang, aku serius mas. Kita tak punya solusi lain selain perceraian,”
Hasan terdiam sesaat.
“Beri aku kesempatan untuk menyelesaikan masalahku dulu dengan Anggi, sayang. Setelah itu, baru kita pikirkan langkah selanjutnya. Ya? Please,” suara Hasan begitu memelas dan memohon hingga membuat Rena kembali tak tega.
“Terserah kau saja, mas. Sekarang aku ingin istirahat, bisakah kau tutup telponnya,” Rena meminta dengan sopan.
“Baiklah, tidurlah dengan nyenyak, sayang. Aku mencintaimu.
Pembicaraan terputus.
Rena kembali mendesah pelan. Ia baru akan beranjak ketika phonselnya kembali berdering. Ia melihat ke arah layar dan tampak nomor yang tak ia kenal sedang memanggil. Dengan sedikit malas, ia memencet tombol terima.
“Selamat malam,” Rena menyapa terlebih dahulu.
“Selamat malam. Dengan saudara Rena?” Terdengar suara laki-laki dari seberang sana.
“Ya.”
“Oh, syukurlah. Bagaimana keadaan anda?”
Rena mengernyitkan dahinya.
“Maaf, anda siapa?”
“Tadi saya berencana menjenguk anda di klinik, tapi mereka bilang anda sudah pulang sejak tadi pagi. Apakah anda yakin sudah membaik?”
Rena terdiam sesaat.
“Apakah anda ___?”
“Ya, saya yang membawa anda ke klinik ketika anda tak sadarkan diri,”
Rena membelalak.
“Oh, benarkah? Syukurlah anda mau menghubungiku. Saya benar-benar ingin berterima kasih pada anda karena telah menolong saya. Boleh saya tahu nama anda?”
“Ah, itu sudah kewajiban saya untuk menolong sesama,”
“Saya benar-benar ingin bertemu dengan anda, bisakah?”
Sesaat tak ada jawaban dari seberang sana.
“Ah, sudahlah, tak apa-apa. Yang penting anda sudah membaik. Kelak kita pasti bertemu lagi,”
“Tapi___”
Telpon terputus.
Rena mendesah. Kecewa.
“Semoga Tuhan membalas kebaikanmu,” gumamnya.

***

         
Bersambung .....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar