Selasa, 21 April 2015

Tada Aishiteru - Part 3



        Membawa Rena ke apertemennya, itu yang dilakukan oleh Shinji. Selain karena jaraknya lebih dekat dari restoran tadi, ia juga tak tahu tempat tinggal Rena. Ia ingin menanyakan banyak hal padanya, tapi melihat kondisi Rena yang tampak tertekan dan linglung, ia mengurungkan niatnya. Sepanjang perjalanan menuju apartemen Shinji, Rena terus menitikkan air mata. Terkadang ia terisak. Dan Shinji hanya bisa melihatnya, membiarkannya dengan rasa iba.
Setelah mereka sampai di tempat tinggal Shinji, lelaki jangkung itu segera membuatkannya minuman hangat, berharap agar itu bisa membuatnya lebih tenang.
Daijubu? (Kau baik-baik saja?)” Shinji bertanya dengan ragu-ragu. Rena tak menjawab. Tatapannya kosong entah kemana.
“Rena?” Shinji menyentuh pundak Rena dengan lembut. Rena tergagap. Ia mendongak.
“Oh, maaf. Aku pasti melamun,” jawabnya.
“Minumlah dulu, Ren,” lelaki itu membantu meminumkan teh hangat tersebut dengan perlahan dan penuh perhatian.
“Terima kasih,” jawab Rena lirih.
Shinji tersenyum dengan lembut.
“Tenangkan dirimu dulu ya,” ucapnya.
“Oh, maaf Shinji. Aku benar-benar tak bermaksud merepotkanmu. Tapi, aku kacau sekali hari ini,” suara Rena jauh lebih tenang. Shinji menatap perempuan itu dengan dalam. Banyak hal berkecamuk dalam pikirannya.
“Dia suamimu?” akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya tentang Hasan. Rena mengangguk.
“Seperti yang kau lihat, seperti inilah kehidupanku yang sekarang. Dis Hasan, suamiku. Tapi, sebentar lagi kami akan bercerai,” jawab Rena lagi seraya memainkan tisu dalam genggamannya.
Shinji tampak kaget mendengar jawaban Rena. “Bercerai?” Ia bertanya dengan bingung.
Rena kembali mengangguk.
“Perempuan yang jatuh pingsan tadi sedang mengandung anaknya. Ya, anak dari suamiku.  Dan tentu saja, bayi dalam kandungannya membutuhkan figur seorang ayah. Hal yang tak mungkin bagiku untuk tetap menjadi istrinya ‘kan? Jadi, aku sepakat untuk berpisah dengannya agar dia bisa menjadi ayah dan suami yang baik untuk keluarganya kelak.” Suara Rena sedikit bergetar.
“Dia berselingkuh dan mengkhianatimu?!” Shinji nyaris berteriak.
Rena menggeleng.
“Tidak, bukan seperti itu. Hasan menginginkan seorang bayi dan aku belum bisa memberikan apa yang ia inginkan. Kami sudah menikah hampir 5 tahun, tapi dokter bilang, hal yang sangat mustahil bagiku untuk bisa memberikannya keturunan karena rahimku bermasalah. Jadi ___ dia _____.”
“Meniduri wanita lain dan membuatnya hamil? Oh, astaga,” suara Shinji nampak kesal. Entah kesal pada apa dan siapa, Rena tak tahu.
“Itu bukan alasan yang tepat hingga ia harus menghamili wanita lain ‘kan, Rena? Tetap saja ia berselingkuh darimu.  Jika ia memang benar-benar mencintaimu, harusnya ia bisa menerimamu apa adanya. Lelaki macam apa dia?” Shinji terdengar marah.
“Entahlah, Shinji. Aku __  aku ____,” air mata Rena menitik, dan isak tangisnya pun kembali pecah. Shinji menatapnya dengan tatapan lembut. Lelaki itu beringsut dan duduk di samping Rena. Perlahan ia memberanikan diri untuk membelai rambut Rena dengan lembut. Lalu ia meraih tubuhnya dan memeluknya dengan erat, berharap agar cara itu bisa kembali menenangkannya.

***

          Rena pulang ke rumah orang tuanya dengan naik taksi. Sebenarnya Shinji sudah menawarkan untuk mengantarkannnya, tapi Rena menolak dengan halus. Ketika sampai di rumah, ia segera mengunci diri di kamar selama beberapa saat. Pikirannya kembali tertuju pada kejadian tadi siang. Bagaimanapun juga, ia tetap tak bisa mengenyahkan Anggi dari dalam benaknya. Perempuan hamil itu pingsan dengan wajah pucat pasi. Dan Rena benar-benar ingin tahu  keadaannya. Jujur, ia mengkhawatirkannya. Memang terdengar konyol. Perempuan itu telah merebut suaminya, tapi Rena tetap tak bisa mengenyahkan rasa kekhawatirannya padanya.
Perempuan itu meraih phonselnya dari tas dan baru ia tahu bahwa ada beberapa panggilan tak terjawab dari Hasan. Rupanya lelaki itu berusaha menghubunginya tapi Rena tak tahu karena hape-nya ia setting dengan mode silent. Dan akhirnya, Rena-lah yang berinisiatif untuk menelpon Hasan kembali.
“Halo,”
“Halo? Rena? Oh, terima kasih karena kau mau menghubungiku. Aku berusaha menelponmu tapi sepertinya kau masih tak mau bicara denganku. Kau baik-baik saja ‘kan? Maaf karena tadi aku terpaksa meninggalkanmu,”
“Apa dia baik-baik saja?”
“Siapa? Anggi? Dia baik-baik saja,”
“Bayinya?”
 “Dia juga baik. Aku sudah membawanya ke rumah sakit. Dokter bilang ia hanya kelelahan dan tertekan,”
“Syukurlah kalau dia baik-baik saja,” ucap Rena tulus.
“Tolong tunggulah aku, Rena. Aku sedang berusaha mencarikan solusi tentang Anggi dan bayinya,”
“Kau harus menikahinya, mas. Itu solusi yang terbaik,”
“Itu tak mungkin, Rena. Aku tak ingin menikahi Anggi,”
“Lantas, bagaimana dengan bayinya?”
“Itu__ sedang aku konsultasikan dengannya,”
Hasan terdiam. Rena pun begitu. Tentu ini akan jadi hal yang berat jika ia berpisah dengan Hasan. Tapi, bayi dalam kandungan Anggi harus punya seorang ayah.
“Siapa lelaki itu?”
“Lelaki yang mana?
“Lelaki yang bersamamu tadi siang di restoran,”
“Dia teman SMA-ku, mas,”
“Kau sedang tak mempermainkanku dengan berhubungan dengan lelaki lain ‘kan?”
Rena mendesah kesal.
“Mas, dia tak ada hubungan apapun denganku dan dengan masalah keluarga kita. Jadi, jangan pernah mencoba untuk melibatkannya. Tolong, jangan buat suasana bertambah rumit. Kita akan bercerai mas. Aku menunggu gugatan ceraimu. Jika  mas tetap tak bersedia, aku yang akan menggugat terlebih dulu. Selanjutnya, rawatlah dia dengan baik,” Rena menutup telpon. Sesaat kemudian Hasan berusaha menghubunginya berkali-kali, tapi ia tak peduli. Ia menghempaskan tubuhnya di tempat tidur kembali dan menindih kepalanya dengan bantal.

***

          Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Tapi Rena memilih untuk bermalas-malasan di tempat tidur sampai akhirnya phonselnya berbunyi. Dengan sedikit menggerutu ia meraih phonsel tersebut dan dengan mata sedikit menyipit ia melihat ke arah layar. Shinji Okada.
“Halo,” ia menyapa duluan.
“Halo, Rena? Apa aku mengganggumu sekarang?”
“Ah, tidak. Ada apa?”
“Mmm, aku ada di depan rumahmu sekarang,”
Rena bangkit dari tempat tidurnya dengan kaget.
“Apa? Di depanku rumahku?” ia turun dari ranjang lalu beranjak ke arah jendela. Ia mengintip keluar. Dan tampak olehnya seorang lelaki berpakain rapi tengah berdiri di dekat mobil, di depan rumahnya.
“Ini mungkin akan terdengar kurang sopan. Tapi, bisakah kau keluar sebentar untuk menemuiku. Aku ingin masuk, hanya saja aku ragu karena sepertinya tak ada orang di sana,” Shinji kembali berucap.
“Oke, tunggu sebentar,” Rena menutup pembicaraan dan segera berlari menuju ke kamar mandi untuk cuci muka dan segera berganti baju ala kadarnya, yang penting sopan. Ia baru ingat bahwa hari ini ia sendirian di rumah. Ayah dan ibunya ikut mas Aldi ke rumah orang tua mbak Yuli. Ada acara keluarga di sana dan Rena memang memilih untuk tak ikut serta dan lebih memilih untuk beristirahat di rumah saja.
Setelah berganti baju dan menyapukan bedak tipis di pipinya, ia segera berlari keluar menemui Shinji. Lelaki itu segera menyambutnya dengan senyuman hangat, dan Rena-pun membalasnya.
“Maaf jika pagi-pagi begini aku sudah mengganggumu,” ucapnya.
“It’s okay. Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?” Rena bertanya penasaran.
“Apa ini rumahmu dan juga rumah suamimu?”
“Bukan, ini rumah orang tuaku. Sementara ini aku di sini untuk ___ menenangkan diri.” Perempuan itu menyelipkan rambutnya yang tertiuap angin ke belakang telinga. Shinji menatapnya lekat, lalu manggut-manggut.
“Kau belum menjawab pertanyaanku, bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?” tanya Rena lagi.
“Oh, itu. Kemarin kau tak mengijinkanku mengantarkanmu, jadi aku sengaja mengikuti taksi yang membawamu ke sini. Maaf,” jawaban Shinji membuat Rena sempat terheran-heran.
“Kenapa kau harus repot-repot melakukannya?” tanya perempuan tersebut. Shinji tak segera menjawab.
“Aku mengkhawatirkanmu,” ucapnya kemudian. Rena sempat tertegun.
“Dulu ketika masih SMA, aku pernah bermain ke rumahmu ‘kan? Tapi sepertinya bukan yang ini,” pertanyaan Shinji seakan membuat Rena kembali ke akal sehatnya.
“Kau benar, kami pindah ke sini setelah aku lulus es-em-a. Rumah yang lama itu sudah kami jual. Masuklah dulu, akan kubuatkan minuman,” ajak Rena.
“Ah, tidak usah, terima kasih. Aku harus segera ke kantor. Kedatanganku ke sini hanya ingin memberitahumu bahwa aku butuh seorang asisten pribadi. Jika kau bersedia, bekerjalah bersamaku, Rena. Aku butuh seseorang yang bisa membantuku mengetik dan menyiapkan berkas-berkas untuk presentasi. Bagaimana?” Shinji  menjelaskan.
Rena tak segera menjawab.
“Oh, kau tidak perlu menjawab sekarang. Kau bisa berpikir dulu. Yang jelas, aku akan sangat senang jika kau mau membantuku. Tapi jika kau tak bersedia sekalipun, tak masalah. Tapi aku pasti akan membantumu mencarikan pekerjaan lewat teman-temanku,” ucapan Shinji benar-benar terdengar begitu tulus hingga membuat Rena kembali terpana.
“Oh iya, aku punya sesuatu untukmu,” Shinji beranjak mengambil sesuatu dari dalam mobilnya. Sebuket besar bunga mawar putih, bunga kesukaan Rena.
“Untukmu,” ucapnya seraya menyodorkannya ke arah Rena.
“Aku masih ingat betul bahwa kau sangat menyukai bunga mawar putih,” ia melanjutkan.
Perempuan itu menerimanya dengan ragu-ragu.
“Untuk apa kau memberiku bunga?” Ia bertanya sambil terkekeh.
“Agar kau tak sedih lagi. Semoga bunga ini bisa membuatmu ceria lagi,” jawabnya, tetap dengan senyumnya yang menawan.
“Aku tak suka melihatmu bersedih,Rena. Itu menyakiti hatiku,” Shinji menambahkan.
“Oke, itu dulu yang ingin kusampaikan padamu. Kabari aku jika kau telah memutuskan. Aku pergi dulu ya,” Shinji beranjak masuk ke dalam mobilnya.
“Terima kasih untuk bunganya,” ucap Rena. Shinji tersenyum lagi sambil mengangguk. Ia melambaikan tangannya sebelum akhirnya menjalankan mobilnya meninggalkan Rena. Rena menatap kepergiannya dengan seksama. Dan entah mengapa, tiba-tiba saja ia begitu terharu.

***

          Tak butuh waktu lama bagi Rena untuk mengambil keputusan tentang tawaran pekerjaan yang diberikan Shinji. Mengesampingkan masa lalu mereka ketika di SMA, ia memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan itu. Mendapatkan pekerjaan secepatnya, hanya itu yang terpikir olehnya! Lagipula, hubungannya dengan Shinji juga sudah jauh lebih baik sekarang. Mereka sudah mulai berteman lagi dan tak ada lagi kecanggungan di antara mereka. Dan itu yang membuat Rena merasa yakin untuk menerima pekerjaan itu.
Dan sore itu juga, ia datang ke apartemen Shinji untuk membicarakannya. Lelaki berhidung mancung itu tentu saja merasa kaget dengan kedatangan Rena yang begitu tiba-tiba.
“Apakah tawaran pekerjaanmu tadi pagi masih berlaku? Jika iya, aku ingin menerimanya,” ucap Rena begitu melihat Shinji dari balik pintu, ia bahkan belum mengucapkan salam sama sekali. Shinji tergelak.
“Woa, santai saja, Rena. Masuklah dulu.” Lelaki itu menyilakan Rena masuk dan segera membuatkannya secangkir minuman hangat.
“Jadi? Kau yakin kau ingin menerima pekerjaan ini?” Ia memastikan.
Rena mengangguk tegas.
Shinji tersenyum. Ia duduk di kursi di seberang Rena sambil menatap perempuan itu dengan lembut. “Oke, selamat datang padaku, Rena,” ucapnya.
Rena mendelik hingga Shinji kembali tertawa.
“Bercanda. Maksudku, selamat datang menjadi partner-ku,”
“Bawahanmu,” Rena mengingatkan. Shinji menggeleng.
“Aku tidak memintamu bekerja denganku sebagai bawahanku, tapi sebagai partnerku. Partner untuk menyelesaikan pekerjaan bersama-sama,”
“Ah, tetap saja kau yang menggaji aku. Jadi, aku bawahanmu ‘kan?”
“Tidak, Rena. Sungguh bukan begitu,”
“Jadi kapan aku bisa mulai bekerja?” pertanyaan Rena menghentikan perdebatan mereka.
“Besok. Bisakah?”
Rena mengangguk.
“Tentu saja. Tapi, tidakkah aku harus mengumpulkan berkas-berkas surat lamaran padamu?”
“Besok bisa kau bawa sekalian ‘kan?”
Rena kembali mengangguk.
“Oh iya, karena kau asisten pribadiku, jadi kau tidak harus selalu datang ke kantor. Kau bisa menyelesaikan pekerjaanmu di sini,”
Rena mengernyitkan dahinya.
“Kemarilah, akan ku tunjukkan padamu ruang kerjamu,” Shinji beranjak. Rena sempat ragu mengikutinya. Tapi akhirnya ia ikut bangkit dan mengikuti langkah Shinji menuju ruangan paling ujung dekat jendela. Sebuah ruangan minimalis yang tampak nyaman sekali. Ada sepasang meja kerja di sana. Di samping jendela tampak buku-buku yang berada di rak dan berjajar dengan rapi.
“Kau bisa menyelesaikan pekerjaan di sini,” ucap Shinji kemudian seraya menunjukkan ruangan itu dengan bangga.
“Tugasmu cukup membantuku untuk mengetik dan menata berkas-berkas yang ada di sana. Kau pasti bisa mempelajarinya dengan cepat,” Ia menunjuk ke arah meja kerja yang berada tepat di samping jendela hingga cahaya matahari leluasa masuk ke sana.
“Maksudmu, aku harus datang ke sini setiap hari? Bukan ke kantormu?” Rena bertanya dengan bingung.
Shinji mengangguk. “Sekarang, apartemen inilah kantormu,” jawabnya kemudian.
“Oh iya, sebentar,” lelaki itu beranjak mengambil kunci yang ada di laci meja kerjanya lalu menyerahkannya ke arah Rena.
“Ini kunci apartemenku. Jika aku tidak memintamu datang ke kantor, kau bisa langsung ke sini dan menyelesaikan pekerjaanmu di sini,” ucapnya. Rena manggut-manggut.
“Apa aku harus memanggilmu ‘pak’ sekarang?”
Shinji tertawa mendengar pertanyaan Rena.
“Kita ini teman, Ren. Sekali lagi, kita adalah partner, bukan atasan dan bawahan. Jadi, bersikaplah seperti biasanya. Tolong, jangan buat aku tak nyaman dengan formalitas yang kau tawarkan. Oke?”
Rena kembali manggut-manggut tanda setuju.
Dan, mulai keesokan harinya, Rena resmi bekerja pada Shinji menjadi asistennya. Banyak hal yang ia kerjakan. Dan Rena sangat menikmati pekerjaan barunya itu. Shinji memperlakukannya dengan baik, meskipun tidak setiap hari ia bertemu dengannya. Ya, meskipun ia adalah asisten Shinji, tapi ia tidak selalu mengikuti kemanapun ia pergi. Biasanya Rena datang ke apartemen Shinji ketika lelaki itu sudah berangkat ke kantor. Begitu pula sebaliknya, ia sudah harus  selesai bekerja ketika Shinji belum pulang ke apartemennya. Tapi, kadang-kadang pula Rena datang ke kantor Shinji jika ia memintanya dan ada yang harus ia selesaikan di sana. Awalnya Rena sempat bingung dengan sistem kerja yang diberikan Shinji padanya. Tapi lama-lama ia terbiasa dan ia menikmatinya.
Terkadang jika pekerjaan Rena sudah selesai, ia selalu membantu membersihkan apartemen Shinji. Kadang-kadang pula ia menyiapkan makan untuknya. Dah hasilnya, Shinji selalu memarahinya habis-habisan.
“Aku membawamu ke sini bukan untuk menjadi pembantuku, Ren. Jadi, berhentilah melakukan hal-hal bodoh seperti ini. Aku sudah punya orang khusus untuk membersihkan rumah dan juga menyiapkan makan malam untukku. So, lakukan saja pekerjaanmu.” Lelaki maskulin itu protes. Rena nyengir.
“Aku hanya mencoba untuk membantumu,” balasnya.
“Aku tahu, tapi untuk saat ini, akan lebih membantu jika kau mengerjakan pekerjaanmu saja. Please?” Shinji memohon dan Rena mengangguk tanda mengerti. Nyatanya, Rena masih saja suka membersihkan rumah Shinji secara sembunyi-sembunyi. Ia juga membantu bu Siti, orang yang senantiasa memasak untuk Shinji, secara sembunyi-sembunyi pula.
Sore itu, Rena sengaja pulang telat demi menunggu Shinji agar bisa bertemu dengannya.
“Kau belum pulang?”sapa Shinji ketika ia melihat Rena masih di ruangannya.
“Oh, apa sore ini kau ada waktu?” Rena berlari-lari kecil ke arahnya.
“Kenapa?”
“Aku ingin mentraktirmu. Bisakah?”
“Tumben, ada acara apa hingga kau berniat mentraktirku?”
“Bukankah kemarin aku menerima gaji pertamaku. Jadi, aku ingin mentraktirmu sebagai rasa syukur,”
Shinji tertawa.
“Kau ini aneh, Ren. Gaji itu ‘kan kau dapat dariku, dan sekarang kau malah ingin mentraktirku, apa tak salah?” ucapnya.
“Maka dari itu, jika kau tahu bahwa aku orang yang dermawan karena suka mentraktir orang, kelak, jangan sampai kau telat membayar gajiku. Disertai bonus juga lebih bagus,” jawab Rena nakal. Shinji mencibir.
“Semoga kau tak menyesal karena berani mentraktirku. Aku suka makan-makanan mahal,” balasnya.
“Tak masalah,” Rena mengangkat bahu.
“Oke, kau sendiri yang bilang ya? Jadi, semoga kau tak kapok,”
Yep,” Rena manggut-manggut dengan bangga.
Akhirnya, sore itu Rena mengajak Shinji makan malam di sebuah restoran jepang, favorit Rena.
“Aku tak mengganggu acara malam minggumu ‘kan?” Rena bertanya di sela-sela acara makan mereka. Shinji menggeleng. “Tidak. Selama ini aku selalu menghabiskan weekend- ku dengan nonton film di apartemen. Oh, iya, bagaimana kalau setelah makan malam ini kita nonton film di bioskop?” Tanpa di duga, Shinji yang berinisiatif.
Rena terdiam sesaat, berpikir. “Kau yakin tak akan ada yang cemburu bila kau mengajakku?” ucapnya. Shinji tertawa.
“Harusnya aku yang bertanya. Apakah suamimu tak marah jika aku mengajakmu nonton?”
Rena mengibaskan tangannya dengan kesal. “Ah, jangan membahasnya lagi. Kau tahu bahwa sebentar lagi kami akan bercerai. Oh iya, kenapa kau masih sendiri? Tidakkah kau ingin berkencan atau menikah dalam usia yang sudah matang seperti ini?”
Shinji mengangkat bahu.
“Aku belum berpikir sampai ke sana. Kau tahu ‘kan mencari pasangan itu tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan,” jawabnya.
“Mau ku kenalkan dengan seseorang? Aku punya banyak teman yang cantik dan tentu saja masih bujang.” Rena menawarkan. Shinji tersenyum, ia menggeleng. Lelaki itu menatap Rena dengan lekat. “Rena, kau tahu kenapa aku belum bisa menjalin hubungan dengan seorang wanita sampai detik ini? Karena aku orang yang sangat sulit jatuh cinta. Dan jujur, aku takkan bisa mencintai wanita lain seperti aku mencintai dirinya.” Jawabnya. Kening Rena mengernyit. “Dirinya? Siapa?” Ia memberanikan diri bertanya.
“Pacar pertamaku, ketika aku masih di es-em-a,” Shinji menjawab santai.
“Orang jepangkah?” Rena bertanya dengan antusias. Shinji kembali menatapnya dengan dalam hingga membuat Rena jengah.
“Tidak, dia bukan orang jepang. Aku mengenalnya di sini, di Indonesia. Dia cinta pertamaku, dia juga pacar pertamaku. Sayangnya, dia hanya mempermainkanku. Dia hanya memperalatku demi sebuah taruhan konyol. Masih ingin tahu dia siapa?” Nada suara Shinji terdengar berat. Rena mengernyitkan dahinya. Lelaki di hadapannya mengangguk pasti.
“Ya, itu kau, Rena. Kaulah orang yang masih aku cintai, dari dulu, sampai detik ini.” Lelaki itu melanjutkan.
Rena terhenyak. Ia melongo untuk beberapa saat. Tapi sejurus kemudian, ia tertawa.
“Kau bercanda lagi ‘kan?” ucapnya, masih di selingi tawa. Tapi, tawanya terhenti ketika dilihatnya Shinji menatap dirinya dengan raut muka serius.
“Shinji___”
“Itu benar, Ren. Aku masih mencintaimu, sejak dulu, sampai sekarang. Dan aku tak bohong.” Potongnya.  “Jadi, jika kau memang tak bahagia bersama suamimu, berpisahlah dengannya dan beri kesempatan padaku untuk memenangkan hatimu. Aku tulus ingin kembali bersamamu.” Ucapan Shinji terdengar pelan namun syarat makna hingga sempat membuat Rena linglung beberapa saat.
“Shinji, maaf ini terlalu tiba-tiba untukku. Aku menghargai pengakuanmu, tapi sepertinya kau tak memahami kondisiku. Aku___”
“Aku bisa memahami kondisimu dengan baik, Rena,”
“Tidak, kau tak paham. Suamiku bahkan tega mengkhinatiku karena keadaanku ini. Ketahuilah dengan benar bahwa aku bukan perempuan sempurna yang bisa melahirkan keturunan. Aku tak ingin kau menyesalai nantinya. Jadi kumohon, carilah perempuan yang baik dariku. Lebih sehat, lebih sempurna dan tentunya____”
“Aku berbeda dari suamimu, aku mampu menerimamu apa adanya, dengan segala kondisimu dan kau harus percaya itu.” Shinji menjawab terlebih dahulu.
“Tapi___”
“Aku serius dengan perasaanku, Rena. Selama ini aku tak pernah bisa melupakanmu. Jadi, kumohon padamu, beri aku kesempatan untuk bisa membuatmu mencintaiku. Aku berjanji, aku akan membahagiakanmu,” lanjut Shinji kemudian. Rena hanya tercengang, tanpa tahu harus menjawab apa. Pengakuan Shinji yang begitu tiba-tiba benar-benar membuat dirinya bingung. Ia tak memberikan tanggapan apapun. Ia bahkan nyaris tak membuka suara, begitu pula dengan Shinji, hingga makan malam mereka selesai dan Shinji mengantarkannya pulang.

          Dan malam itu, Rena nyaris tak bisa tidur, walau hanya menutup mata. Ia masih teringat akan Shinji, teringat akan pengakuannya. Memberi kesempatan padanya untuk bisa membuatnya jatuh cinta padanya? Ah, Rena benar-benar tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Jujur, ia merasa berdebar sekarang. Bagaimanapun juga, ia menemukan sosok yang berbeda pada Shinji. Sekarang ia tumbuh menjadi lelaki yang luar biasa tampan, dewasa, manly, dan yang pasti, berbeda sekali dari Shinji yang beberapa tahun lalu pernah ia temui. 
Tiba-tiba Rena merasa resah, ia merasa takut. Ia resah karena ia sadar bahwa ia menemukan kenyamanan pada lelaki tersebut, setelah apa yang terjadi dengan Hasan. Dan Rena takut bahwa ia___akan jatuh cinta padanya!
Perempuan itu nyaris terlonjak ketika phonselnya berbunyi dan sebuah pesan baru bertambah di kotak masuk. Ia memiringkan kepalanya dan membuka pesan tersebut. Ia segera bangkit ketika tahu bahwa pesan itu dari Shinji Okada. Dengan tangan sedikit gemetar, ia membuka pesan itu.

Kau sudah tidur?

Rena terdiam sesaat. Belum sempat ia membalas, Shinji kembali mengiriminya pesan.

Aku serius dengan apa yang kukatakan tadi, Ren. Aku masih mencintaimu. Tolong beri kesempatan padaku untuk membuktikannya. Beri kesempatan padaku untuk bisa membuatmu bahagia.

Rena menatap pesan singkat tersebut, terdiam, tanpa tahu harus menjawab apa.

***

Bersambung ....




Gambar sampul bukan punyaku. Lupa di ambil darimana. Kalo nggak salah dari sini : www.10-pictures-from-the-inspirational-nature.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar