Membawa Rena ke apertemennya,
itu yang dilakukan oleh Shinji. Selain karena jaraknya lebih dekat dari
restoran tadi, ia juga tak tahu tempat tinggal Rena. Ia ingin menanyakan banyak
hal padanya, tapi melihat kondisi Rena yang tampak tertekan dan linglung, ia
mengurungkan niatnya. Sepanjang perjalanan menuju apartemen Shinji, Rena terus
menitikkan air mata. Terkadang ia terisak. Dan Shinji hanya bisa melihatnya, membiarkannya
dengan rasa iba.
Setelah mereka sampai di
tempat tinggal Shinji, lelaki jangkung itu segera membuatkannya minuman hangat,
berharap agar itu bisa membuatnya lebih tenang.
“Daijubu? (Kau baik-baik
saja?)” Shinji bertanya dengan ragu-ragu. Rena tak menjawab. Tatapannya kosong
entah kemana.
“Rena?” Shinji menyentuh
pundak Rena dengan lembut. Rena tergagap. Ia mendongak.
“Oh, maaf. Aku pasti
melamun,” jawabnya.
“Minumlah dulu, Ren,” lelaki
itu membantu meminumkan teh hangat tersebut dengan perlahan dan penuh
perhatian.
“Terima kasih,” jawab Rena
lirih.
Shinji tersenyum dengan
lembut.
“Tenangkan dirimu dulu ya,”
ucapnya.
“Oh, maaf Shinji. Aku
benar-benar tak bermaksud merepotkanmu. Tapi, aku kacau sekali hari ini,” suara
Rena jauh lebih tenang. Shinji menatap perempuan itu dengan dalam. Banyak hal
berkecamuk dalam pikirannya.
“Dia suamimu?” akhirnya ia
memberanikan diri untuk bertanya tentang Hasan. Rena mengangguk.
“Seperti yang kau lihat,
seperti inilah kehidupanku yang sekarang. Dis Hasan, suamiku. Tapi, sebentar
lagi kami akan bercerai,” jawab Rena lagi seraya memainkan tisu dalam
genggamannya.
Shinji tampak kaget mendengar
jawaban Rena. “Bercerai?” Ia bertanya dengan bingung.
Rena kembali mengangguk.
“Perempuan yang jatuh pingsan
tadi sedang mengandung anaknya. Ya, anak dari suamiku. Dan tentu saja, bayi dalam kandungannya
membutuhkan figur seorang ayah. Hal yang tak mungkin bagiku untuk tetap menjadi
istrinya ‘kan? Jadi, aku sepakat untuk berpisah dengannya agar dia bisa menjadi
ayah dan suami yang baik untuk keluarganya kelak.” Suara Rena sedikit bergetar.
“Dia berselingkuh dan
mengkhianatimu?!” Shinji nyaris berteriak.
Rena menggeleng.
“Tidak, bukan seperti itu.
Hasan menginginkan seorang bayi dan aku belum bisa memberikan apa yang ia
inginkan. Kami sudah menikah hampir 5 tahun, tapi dokter bilang, hal yang
sangat mustahil bagiku untuk bisa memberikannya keturunan karena rahimku
bermasalah. Jadi ___ dia _____.”
“Meniduri wanita lain dan
membuatnya hamil? Oh, astaga,” suara Shinji nampak kesal. Entah kesal pada apa
dan siapa, Rena tak tahu.
“Itu bukan alasan yang tepat
hingga ia harus menghamili wanita lain ‘kan, Rena? Tetap saja ia berselingkuh
darimu. Jika ia memang benar-benar
mencintaimu, harusnya ia bisa menerimamu apa adanya. Lelaki macam apa dia?”
Shinji terdengar marah.
“Entahlah, Shinji. Aku
__ aku ____,” air mata Rena menitik, dan
isak tangisnya pun kembali pecah. Shinji menatapnya dengan tatapan lembut.
Lelaki itu beringsut dan duduk di samping Rena. Perlahan ia memberanikan diri
untuk membelai rambut Rena dengan lembut. Lalu ia meraih tubuhnya dan
memeluknya dengan erat, berharap agar cara itu bisa kembali menenangkannya.
***
Rena pulang ke rumah orang tuanya dengan naik taksi.
Sebenarnya Shinji sudah menawarkan untuk mengantarkannnya, tapi Rena menolak
dengan halus. Ketika sampai di rumah, ia segera mengunci diri di kamar selama
beberapa saat. Pikirannya kembali tertuju pada kejadian tadi siang. Bagaimanapun
juga, ia tetap tak bisa mengenyahkan Anggi dari dalam benaknya. Perempuan hamil
itu pingsan dengan wajah pucat pasi. Dan Rena benar-benar ingin tahu keadaannya. Jujur, ia mengkhawatirkannya.
Memang terdengar konyol. Perempuan itu telah merebut suaminya, tapi Rena tetap
tak bisa mengenyahkan rasa kekhawatirannya padanya.
Perempuan itu meraih phonselnya dari tas dan baru ia tahu
bahwa ada beberapa panggilan tak terjawab dari Hasan. Rupanya lelaki itu
berusaha menghubunginya tapi Rena tak tahu karena hape-nya ia setting dengan
mode silent. Dan akhirnya, Rena-lah yang berinisiatif untuk menelpon Hasan
kembali.
“Halo,”
“Halo? Rena? Oh, terima kasih karena kau mau
menghubungiku. Aku berusaha menelponmu tapi sepertinya kau masih tak mau bicara
denganku. Kau baik-baik saja ‘kan? Maaf karena tadi aku terpaksa
meninggalkanmu,”
“Apa dia baik-baik saja?”
“Siapa? Anggi? Dia baik-baik saja,”
“Bayinya?”
“Dia juga
baik. Aku sudah membawanya ke rumah sakit. Dokter bilang ia hanya kelelahan dan
tertekan,”
“Syukurlah kalau dia
baik-baik saja,” ucap Rena tulus.
“Tolong tunggulah aku, Rena. Aku sedang berusaha
mencarikan solusi tentang Anggi dan bayinya,”
“Kau harus menikahinya, mas.
Itu solusi yang terbaik,”
“Itu tak mungkin, Rena. Aku tak ingin menikahi
Anggi,”
“Lantas, bagaimana dengan
bayinya?”
“Itu__ sedang aku konsultasikan dengannya,”
Hasan terdiam. Rena pun
begitu. Tentu ini akan jadi hal yang berat jika ia berpisah dengan Hasan. Tapi,
bayi dalam kandungan Anggi harus punya seorang ayah.
“Siapa lelaki itu?”
“Lelaki yang mana?
“Lelaki yang bersamamu tadi siang di restoran,”
“Dia teman SMA-ku, mas,”
“Kau sedang tak mempermainkanku dengan berhubungan
dengan lelaki lain ‘kan?”
Rena mendesah kesal.
“Mas, dia tak ada hubungan
apapun denganku dan dengan masalah keluarga kita. Jadi, jangan pernah mencoba
untuk melibatkannya. Tolong, jangan buat suasana bertambah rumit. Kita akan
bercerai mas. Aku menunggu gugatan ceraimu. Jika mas tetap tak bersedia, aku yang akan
menggugat terlebih dulu. Selanjutnya, rawatlah dia dengan baik,” Rena menutup
telpon. Sesaat kemudian Hasan berusaha menghubunginya berkali-kali, tapi ia tak
peduli. Ia menghempaskan tubuhnya di tempat tidur kembali dan menindih
kepalanya dengan bantal.
***
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Tapi Rena
memilih untuk bermalas-malasan di tempat tidur sampai akhirnya phonselnya
berbunyi. Dengan sedikit menggerutu ia meraih phonsel tersebut dan dengan mata
sedikit menyipit ia melihat ke arah layar. Shinji Okada.
“Halo,” ia menyapa duluan.
“Halo, Rena? Apa aku mengganggumu sekarang?”
“Ah, tidak. Ada apa?”
“Mmm, aku ada di depan rumahmu sekarang,”
Rena bangkit dari tempat
tidurnya dengan kaget.
“Apa? Di depanku rumahku?” ia
turun dari ranjang lalu beranjak ke arah jendela. Ia mengintip keluar. Dan
tampak olehnya seorang lelaki berpakain rapi tengah berdiri di dekat mobil, di
depan rumahnya.
“Ini mungkin akan terdengar kurang sopan. Tapi,
bisakah kau keluar sebentar untuk menemuiku. Aku ingin masuk, hanya saja aku
ragu karena sepertinya tak ada orang di sana,” Shinji kembali berucap.
“Oke, tunggu sebentar,” Rena
menutup pembicaraan dan segera berlari menuju ke kamar mandi untuk cuci muka
dan segera berganti baju ala kadarnya, yang penting sopan. Ia baru ingat bahwa
hari ini ia sendirian di rumah. Ayah dan ibunya ikut mas Aldi ke rumah orang
tua mbak Yuli. Ada acara keluarga di sana dan Rena memang memilih untuk tak
ikut serta dan lebih memilih untuk beristirahat di rumah saja.
Setelah berganti baju dan menyapukan bedak tipis di pipinya,
ia segera berlari keluar menemui Shinji. Lelaki itu segera menyambutnya dengan
senyuman hangat, dan Rena-pun membalasnya.
“Maaf jika pagi-pagi begini
aku sudah mengganggumu,” ucapnya.
“It’s okay. Bagaimana kau
tahu aku tinggal di sini?” Rena bertanya penasaran.
“Apa ini rumahmu dan juga
rumah suamimu?”
“Bukan, ini rumah orang
tuaku. Sementara ini aku di sini untuk ___ menenangkan diri.” Perempuan itu
menyelipkan rambutnya yang tertiuap angin ke belakang telinga. Shinji
menatapnya lekat, lalu manggut-manggut.
“Kau belum menjawab
pertanyaanku, bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?” tanya Rena lagi.
“Oh, itu. Kemarin kau tak
mengijinkanku mengantarkanmu, jadi aku sengaja mengikuti taksi yang membawamu
ke sini. Maaf,” jawaban Shinji membuat Rena sempat terheran-heran.
“Kenapa kau harus repot-repot
melakukannya?” tanya perempuan tersebut. Shinji tak segera menjawab.
“Aku mengkhawatirkanmu,”
ucapnya kemudian. Rena sempat tertegun.
“Dulu ketika masih SMA, aku
pernah bermain ke rumahmu ‘kan? Tapi sepertinya bukan yang ini,” pertanyaan
Shinji seakan membuat Rena kembali ke akal sehatnya.
“Kau benar, kami pindah ke
sini setelah aku lulus es-em-a. Rumah yang lama itu sudah kami jual. Masuklah
dulu, akan kubuatkan minuman,” ajak Rena.
“Ah, tidak usah, terima
kasih. Aku harus segera ke kantor. Kedatanganku ke sini hanya ingin
memberitahumu bahwa aku butuh seorang asisten pribadi. Jika kau bersedia,
bekerjalah bersamaku, Rena. Aku butuh seseorang yang bisa membantuku mengetik
dan menyiapkan berkas-berkas untuk presentasi. Bagaimana?” Shinji menjelaskan.
Rena tak segera menjawab.
“Oh, kau tidak perlu menjawab
sekarang. Kau bisa berpikir dulu. Yang jelas, aku akan sangat senang jika kau
mau membantuku. Tapi jika kau tak bersedia sekalipun, tak masalah. Tapi aku
pasti akan membantumu mencarikan pekerjaan lewat teman-temanku,” ucapan Shinji
benar-benar terdengar begitu tulus hingga membuat Rena kembali terpana.
“Oh iya, aku punya sesuatu
untukmu,” Shinji beranjak mengambil sesuatu dari dalam mobilnya. Sebuket besar
bunga mawar putih, bunga kesukaan Rena.
“Untukmu,” ucapnya seraya
menyodorkannya ke arah Rena.
“Aku masih ingat betul bahwa
kau sangat menyukai bunga mawar putih,” ia melanjutkan.
Perempuan itu menerimanya
dengan ragu-ragu.
“Untuk apa kau memberiku
bunga?” Ia bertanya sambil terkekeh.
“Agar kau tak sedih lagi.
Semoga bunga ini bisa membuatmu ceria lagi,” jawabnya, tetap dengan senyumnya
yang menawan.
“Aku tak suka melihatmu
bersedih,Rena. Itu menyakiti hatiku,” Shinji menambahkan.
“Oke, itu dulu yang ingin
kusampaikan padamu. Kabari aku jika kau telah memutuskan. Aku pergi dulu ya,”
Shinji beranjak masuk ke dalam mobilnya.
“Terima kasih untuk
bunganya,” ucap Rena. Shinji tersenyum lagi sambil mengangguk. Ia melambaikan
tangannya sebelum akhirnya menjalankan mobilnya meninggalkan Rena. Rena menatap
kepergiannya dengan seksama. Dan entah mengapa, tiba-tiba saja ia begitu
terharu.
***
Tak butuh waktu lama bagi Rena untuk mengambil keputusan
tentang tawaran pekerjaan yang diberikan Shinji. Mengesampingkan masa lalu
mereka ketika di SMA, ia memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan itu.
Mendapatkan pekerjaan secepatnya, hanya itu yang terpikir olehnya! Lagipula,
hubungannya dengan Shinji juga sudah jauh lebih baik sekarang. Mereka sudah
mulai berteman lagi dan tak ada lagi kecanggungan di antara mereka. Dan itu
yang membuat Rena merasa yakin untuk menerima pekerjaan itu.
Dan sore itu juga, ia datang
ke apartemen Shinji untuk membicarakannya. Lelaki berhidung mancung itu tentu
saja merasa kaget dengan kedatangan Rena yang begitu tiba-tiba.
“Apakah tawaran pekerjaanmu
tadi pagi masih berlaku? Jika iya, aku ingin menerimanya,” ucap Rena begitu
melihat Shinji dari balik pintu, ia bahkan belum mengucapkan salam sama sekali.
Shinji tergelak.
“Woa, santai saja, Rena.
Masuklah dulu.” Lelaki itu menyilakan Rena masuk dan segera membuatkannya
secangkir minuman hangat.
“Jadi? Kau yakin kau ingin
menerima pekerjaan ini?” Ia memastikan.
Rena mengangguk tegas.
Shinji tersenyum. Ia duduk di
kursi di seberang Rena sambil menatap perempuan itu dengan lembut. “Oke,
selamat datang padaku, Rena,” ucapnya.
Rena mendelik hingga Shinji
kembali tertawa.
“Bercanda. Maksudku, selamat
datang menjadi partner-ku,”
“Bawahanmu,” Rena
mengingatkan. Shinji menggeleng.
“Aku tidak memintamu bekerja
denganku sebagai bawahanku, tapi sebagai partnerku. Partner untuk menyelesaikan
pekerjaan bersama-sama,”
“Ah, tetap saja kau yang
menggaji aku. Jadi, aku bawahanmu ‘kan?”
“Tidak, Rena. Sungguh bukan
begitu,”
“Jadi kapan aku bisa mulai
bekerja?” pertanyaan Rena menghentikan perdebatan mereka.
“Besok. Bisakah?”
Rena mengangguk.
“Tentu saja. Tapi, tidakkah
aku harus mengumpulkan berkas-berkas surat lamaran padamu?”
“Besok bisa kau bawa sekalian
‘kan?”
Rena kembali mengangguk.
“Oh iya, karena kau asisten
pribadiku, jadi kau tidak harus selalu datang ke kantor. Kau bisa menyelesaikan
pekerjaanmu di sini,”
Rena mengernyitkan dahinya.
“Kemarilah, akan ku tunjukkan
padamu ruang kerjamu,” Shinji beranjak. Rena sempat ragu mengikutinya. Tapi
akhirnya ia ikut bangkit dan mengikuti langkah Shinji menuju ruangan paling
ujung dekat jendela. Sebuah ruangan minimalis yang tampak nyaman sekali. Ada
sepasang meja kerja di sana. Di samping jendela tampak buku-buku yang berada di
rak dan berjajar dengan rapi.
“Kau bisa menyelesaikan
pekerjaan di sini,” ucap Shinji kemudian seraya menunjukkan ruangan itu dengan
bangga.
“Tugasmu cukup membantuku
untuk mengetik dan menata berkas-berkas yang ada di sana. Kau pasti bisa
mempelajarinya dengan cepat,” Ia menunjuk ke arah meja kerja yang berada tepat
di samping jendela hingga cahaya matahari leluasa masuk ke sana.
“Maksudmu, aku harus datang
ke sini setiap hari? Bukan ke kantormu?” Rena bertanya dengan bingung.
Shinji mengangguk. “Sekarang,
apartemen inilah kantormu,” jawabnya kemudian.
“Oh iya, sebentar,” lelaki
itu beranjak mengambil kunci yang ada di laci meja kerjanya lalu menyerahkannya
ke arah Rena.
“Ini kunci apartemenku. Jika
aku tidak memintamu datang ke kantor, kau bisa langsung ke sini dan
menyelesaikan pekerjaanmu di sini,” ucapnya. Rena manggut-manggut.
“Apa aku harus memanggilmu
‘pak’ sekarang?”
Shinji tertawa mendengar
pertanyaan Rena.
“Kita ini teman, Ren. Sekali
lagi, kita adalah partner, bukan atasan dan bawahan. Jadi, bersikaplah seperti
biasanya. Tolong, jangan buat aku tak nyaman dengan formalitas yang kau
tawarkan. Oke?”
Rena kembali manggut-manggut
tanda setuju.
Dan, mulai keesokan harinya, Rena resmi bekerja pada Shinji
menjadi asistennya. Banyak hal yang ia kerjakan. Dan Rena sangat menikmati
pekerjaan barunya itu. Shinji memperlakukannya dengan baik, meskipun tidak
setiap hari ia bertemu dengannya. Ya, meskipun ia adalah asisten Shinji, tapi
ia tidak selalu mengikuti kemanapun ia pergi. Biasanya Rena datang ke apartemen
Shinji ketika lelaki itu sudah berangkat ke kantor. Begitu pula sebaliknya, ia
sudah harus selesai bekerja ketika
Shinji belum pulang ke apartemennya. Tapi, kadang-kadang pula Rena datang ke
kantor Shinji jika ia memintanya dan ada yang harus ia selesaikan di sana.
Awalnya Rena sempat bingung dengan sistem kerja yang diberikan Shinji padanya.
Tapi lama-lama ia terbiasa dan ia menikmatinya.
Terkadang jika pekerjaan Rena
sudah selesai, ia selalu membantu membersihkan apartemen Shinji. Kadang-kadang
pula ia menyiapkan makan untuknya. Dah hasilnya, Shinji selalu memarahinya
habis-habisan.
“Aku membawamu ke sini bukan
untuk menjadi pembantuku, Ren. Jadi, berhentilah melakukan hal-hal bodoh
seperti ini. Aku sudah punya orang khusus untuk membersihkan rumah dan juga
menyiapkan makan malam untukku. So, lakukan saja pekerjaanmu.” Lelaki maskulin
itu protes. Rena nyengir.
“Aku hanya mencoba untuk
membantumu,” balasnya.
“Aku tahu, tapi untuk saat
ini, akan lebih membantu jika kau mengerjakan pekerjaanmu saja. Please?” Shinji
memohon dan Rena mengangguk tanda mengerti. Nyatanya, Rena masih saja suka
membersihkan rumah Shinji secara sembunyi-sembunyi. Ia juga membantu bu Siti,
orang yang senantiasa memasak untuk Shinji, secara sembunyi-sembunyi pula.
Sore itu, Rena sengaja pulang telat demi menunggu Shinji agar
bisa bertemu dengannya.
“Kau belum pulang?”sapa
Shinji ketika ia melihat Rena masih di ruangannya.
“Oh, apa sore ini kau ada
waktu?” Rena berlari-lari kecil ke arahnya.
“Kenapa?”
“Aku ingin mentraktirmu.
Bisakah?”
“Tumben, ada acara apa hingga
kau berniat mentraktirku?”
“Bukankah kemarin aku
menerima gaji pertamaku. Jadi, aku ingin mentraktirmu sebagai rasa syukur,”
Shinji tertawa.
“Kau ini aneh, Ren. Gaji itu
‘kan kau dapat dariku, dan sekarang kau malah ingin mentraktirku, apa tak
salah?” ucapnya.
“Maka dari itu, jika kau tahu
bahwa aku orang yang dermawan karena suka mentraktir orang, kelak, jangan
sampai kau telat membayar gajiku. Disertai bonus juga lebih bagus,” jawab Rena
nakal. Shinji mencibir.
“Semoga kau tak menyesal
karena berani mentraktirku. Aku suka makan-makanan mahal,” balasnya.
“Tak masalah,” Rena
mengangkat bahu.
“Oke, kau sendiri yang bilang
ya? Jadi, semoga kau tak kapok,”
“Yep,” Rena manggut-manggut dengan bangga.
Akhirnya, sore itu Rena
mengajak Shinji makan malam di sebuah restoran jepang, favorit Rena.
“Aku tak mengganggu acara
malam minggumu ‘kan?” Rena bertanya di sela-sela acara makan mereka. Shinji
menggeleng. “Tidak. Selama ini aku selalu menghabiskan weekend- ku dengan nonton film di apartemen. Oh, iya, bagaimana
kalau setelah makan malam ini kita nonton film di bioskop?” Tanpa di duga,
Shinji yang berinisiatif.
Rena terdiam sesaat,
berpikir. “Kau yakin tak akan ada yang cemburu bila kau mengajakku?” ucapnya.
Shinji tertawa.
“Harusnya aku yang bertanya.
Apakah suamimu tak marah jika aku mengajakmu nonton?”
Rena mengibaskan tangannya
dengan kesal. “Ah, jangan membahasnya lagi. Kau tahu bahwa sebentar lagi kami
akan bercerai. Oh iya, kenapa kau masih sendiri? Tidakkah kau ingin berkencan
atau menikah dalam usia yang sudah matang seperti ini?”
Shinji mengangkat bahu.
“Aku belum berpikir sampai ke
sana. Kau tahu ‘kan mencari pasangan itu tidak mudah seperti membalikkan
telapak tangan,” jawabnya.
“Mau ku kenalkan dengan
seseorang? Aku punya banyak teman yang cantik dan tentu saja masih bujang.”
Rena menawarkan. Shinji tersenyum, ia menggeleng. Lelaki itu menatap Rena
dengan lekat. “Rena, kau tahu kenapa aku belum bisa menjalin hubungan dengan
seorang wanita sampai detik ini? Karena aku orang yang sangat sulit jatuh
cinta. Dan jujur, aku takkan bisa mencintai wanita lain seperti aku mencintai
dirinya.” Jawabnya. Kening Rena mengernyit. “Dirinya? Siapa?” Ia memberanikan
diri bertanya.
“Pacar pertamaku, ketika aku
masih di es-em-a,” Shinji menjawab santai.
“Orang jepangkah?” Rena
bertanya dengan antusias. Shinji kembali menatapnya dengan dalam hingga membuat
Rena jengah.
“Tidak, dia bukan orang
jepang. Aku mengenalnya di sini, di Indonesia. Dia cinta pertamaku, dia juga
pacar pertamaku. Sayangnya, dia hanya mempermainkanku. Dia hanya memperalatku
demi sebuah taruhan konyol. Masih ingin tahu dia siapa?” Nada suara Shinji
terdengar berat. Rena mengernyitkan dahinya. Lelaki di hadapannya mengangguk
pasti.
“Ya, itu kau, Rena. Kaulah
orang yang masih aku cintai, dari dulu, sampai detik ini.” Lelaki itu
melanjutkan.
Rena terhenyak. Ia melongo
untuk beberapa saat. Tapi sejurus kemudian, ia tertawa.
“Kau bercanda lagi ‘kan?”
ucapnya, masih di selingi tawa. Tapi, tawanya terhenti ketika dilihatnya Shinji
menatap dirinya dengan raut muka serius.
“Shinji___”
“Itu benar, Ren. Aku masih
mencintaimu, sejak dulu, sampai sekarang. Dan aku tak bohong.” Potongnya. “Jadi, jika kau memang tak bahagia bersama
suamimu, berpisahlah dengannya dan beri kesempatan padaku untuk memenangkan
hatimu. Aku tulus ingin kembali bersamamu.” Ucapan Shinji terdengar pelan namun
syarat makna hingga sempat membuat Rena linglung beberapa saat.
“Shinji, maaf ini terlalu
tiba-tiba untukku. Aku menghargai pengakuanmu, tapi sepertinya kau tak memahami
kondisiku. Aku___”
“Aku bisa memahami kondisimu
dengan baik, Rena,”
“Tidak, kau tak paham.
Suamiku bahkan tega mengkhinatiku karena keadaanku ini. Ketahuilah dengan benar
bahwa aku bukan perempuan sempurna yang bisa melahirkan keturunan. Aku tak
ingin kau menyesalai nantinya. Jadi kumohon, carilah perempuan yang baik
dariku. Lebih sehat, lebih sempurna dan tentunya____”
“Aku berbeda dari suamimu,
aku mampu menerimamu apa adanya, dengan segala kondisimu dan kau harus percaya
itu.” Shinji menjawab terlebih dahulu.
“Tapi___”
“Aku serius dengan
perasaanku, Rena. Selama ini aku tak pernah bisa melupakanmu. Jadi, kumohon
padamu, beri aku kesempatan untuk bisa membuatmu mencintaiku. Aku berjanji, aku
akan membahagiakanmu,” lanjut Shinji kemudian. Rena hanya tercengang, tanpa
tahu harus menjawab apa. Pengakuan Shinji yang begitu tiba-tiba benar-benar
membuat dirinya bingung. Ia tak memberikan tanggapan apapun. Ia bahkan nyaris
tak membuka suara, begitu pula dengan Shinji, hingga makan malam mereka selesai
dan Shinji mengantarkannya pulang.
Dan malam itu, Rena nyaris tak bisa tidur, walau hanya
menutup mata. Ia masih teringat akan Shinji, teringat akan pengakuannya. Memberi kesempatan padanya untuk bisa membuatnya
jatuh cinta padanya? Ah, Rena benar-benar tak percaya dengan apa yang di
dengarnya. Jujur, ia merasa berdebar sekarang. Bagaimanapun juga, ia menemukan
sosok yang berbeda pada Shinji. Sekarang ia tumbuh menjadi lelaki yang luar
biasa tampan, dewasa, manly, dan yang
pasti, berbeda sekali dari Shinji yang beberapa tahun lalu pernah ia
temui.
Tiba-tiba Rena merasa resah, ia merasa takut. Ia resah karena
ia sadar bahwa ia menemukan kenyamanan pada lelaki tersebut, setelah apa yang
terjadi dengan Hasan. Dan Rena takut bahwa ia___akan jatuh cinta padanya!
Perempuan itu nyaris
terlonjak ketika phonselnya berbunyi dan sebuah pesan baru bertambah di kotak
masuk. Ia memiringkan kepalanya dan membuka pesan tersebut. Ia segera bangkit
ketika tahu bahwa pesan itu dari Shinji Okada. Dengan tangan sedikit gemetar,
ia membuka pesan itu.
Kau sudah tidur?
Rena terdiam sesaat. Belum
sempat ia membalas, Shinji kembali mengiriminya pesan.
Aku serius dengan apa yang kukatakan tadi, Ren. Aku
masih mencintaimu. Tolong beri kesempatan padaku untuk membuktikannya. Beri
kesempatan padaku untuk bisa membuatmu bahagia.
Rena menatap pesan singkat
tersebut, terdiam, tanpa tahu harus menjawab apa.
***
Bersambung ....
Gambar sampul bukan
punyaku. Lupa di ambil darimana. Kalo nggak salah dari sini : www.10-pictures-from-the-inspirational-nature.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar