Senin, 18 Januari 2016

[FF/SVT] Bokura Ga Ita #10 (End)

~~~~~~~~~~

Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....

~~~~~~~~~~~~


Part 10 (End)


Tubuh Mingyu melorot di lantai kamar mandi yang lembab. Phonselnya tergeletak begitu saja di antara dua kakinya.
Ia sesenggukan, putus asa. Ia ingin berlari ke tempat Nana, tapi itu mustahil. Kereta  yang ia naiki baru akan berhenti di stasiun selanjutnya, dan itu paling cepat setengah jam kemudian. Setelah itu, jika ingin kembali ke tempat Nana, maka cara tercepat ia harus naik taksi. Tapi tetap saja, ia baru akan sampai di sana beberapa jam kemudian. Itupun kalau jalannya lancar, tak ada macet.

Mingyu mengacak rambut-rambutnya sendiri. Putus asa.

Ia sempat terkejut ketika phoselnya kembali berdering. Segera ia menyambar benda tersebut dengan tak sabar.
“Jisoo-ah?” Ia menyapa panik. Hening sesaat.

=== Mingyu-ah ... dia masih di ICU. Dia ... ===

Terdengar Jisoo terisak.

=== Kau harus ke sini, Mingyu-ah! Bagaimanapun caranya, kau harus ke sini. Ini tak adil untuk Nana. Ini tak adil baginya! ===  Suara Jisoo serak.

Mingyu menelan ludah.

=== Kembalilah. Temui Nana. Kau berutang banyak padanya. Kau berutang air mata, penderitaan, kesedihan, penjelasan dan ... waktu. === jawab Jisoo lagi.

Mingyu menggigit bibirnya keras. Air matanya tak bisa berhenti mengalir.

=== Dengar sobat ... kau mendapat kehormatan dariku. Aku merelakan Nana untukmu padahal kau tahu bahwa dia satu-satunya wanita yang ku inginkan di dunia ini. Karena itu ... karena itu ... jangan sia-siakan pengorbananku, idiot! === Jisoo terdengar tak mampu mengontrol emosinya.

Bibir Mingyu bergetar.
“Aku akan kembali, Jisoo-ah. Aku pasti kembali.” Ucapnya.

=== Kami menunggumu.===

“Aku akan berhenti di stasiun berikutnya lalu ke sana dengan naik taksi. Paling cepat aku akan sampai di sana beberapa jam lagi.”

=== Oke.===

Hening sesaat.

“Jisoo-ah...” Panggil Mingyu dengan suara serak.

=== Ya? ===

“Jika terjadi sesuatu pada Nana ... Jika hal terburuk menimpanya ... tolong jangan pernah memaafkanmu.” Jawab Mingyu.

Hening lagi.

=== Aku memang tak berniat memaafkanmu jika hal buruk menimpa Nana, Mingyu-ah. === Jawab Jisoo.

Mingyu  manggut-manggut.

“Baguslah. Karena jika Nana pergi, aku juga tak berencana hidup lagi.” Ia memutus pembicaraan.
Lelaki itu kembali menegakkan tubuhnya lalu menyandarkan punggungnya ke dinding. Kepalanya menengadah hingga air mata mengalir di pelipisnya.

--- Nana-ah ...
--- Jika ada orang yang mampu membuatku bertahan sampai saat ini
--- Kaulah orangnya.

--- Kenyataan bahwa kita masih berada di bawah langit yang sama
--- Membuatku kuat menghadapi semua cobaan hidup.

--- Karena itu ....
--- Kau harus bertahan.
--- Kau harus hidup

--- Aku akan menebus semua kesalahanku padamu.
--- Semuanya.

***

Mingyu sampai di stasiun berikutnya dan segera mendapatkan taksi untuk membawanya kembali ke tempat Nana.
Pemuda itu menatap phonselnya sesaat setelah taksi yang ia tumpangi berjalan.
Battery low.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, sebelum phonselnya mati, ia memutuskan untuk melakukan satu panggilan : ke nomor Nana.

Seperti yang  sudah ia duga, phonsel Nana masih tidak aktif. Ia diterima mesin penjawab. Dan dengan suara serak, ia berinisiatif meninggalkan pesan suara di sana.

“Nana-ah ...” Panggilnya lirih. Air matanya kembali menitik.
“Aku akan pulang menemuimu. Aku akan kembali, padamu. Aku akan meninggalkan segalanya, meninggalkan Tokyo, untukmu. Hanya kau yang paling penting. Hanya kau yang paling kuinginkan. Karena itu, bertahanlah. Tunggu kedatanganku. Nde?”

Dan phonselnya mati.

***

Nana sudah sadarkan diri. Keningnya memang menerima beberapa jahitan. Tapi cedera kepala yang ia alami tidak parah. Ia bahkan sudah bisa duduk dan mengobrol dengan lancar dengan para dokter dan suster.

Setelah ruangan sepi,  ia kembali menatap phonselnya di atas meja. Phonsel itu sudah menyala.
Ia juga sudah mengecek phonsel tersebut. Ia sudah membaca beberapa pesan singkat yang masuk ketika ia tak sadarkan diri.
Ia juga sudah menerima pesan suara tersebut.

Pesan suara dari Mingyu ...

Perempuan itu baru saja meletakkan phonselnya kembali ke atas meja ketika ia mendengar derap langkah kaki yang kemudian di susul dengan pintu kamarnya yang terbuka secara kasar dan .... Mingyu muncul dari sana!

Ia mengenakan baju kasual dengan atasan lengan pendek. Tangannya menenteng jaket, sementara tangan yang satunya menenteng tas hitam yang seukuran tak ransel. Pemuda itu bermandikan peluh. Ia menatap langsung ke arah Nana dengan nafas ngos-ngosan.

Keduanya berpandangan.
         
Sepi.

“Aku ... baik-baik saja.” Nana membuka suara. Ia tersenyum kaku, mencoba memberitahu kepada lelaki yang berdiri di tengah pintu tersebut untuk tidak khawatir lagi.

Mingyu menelan ludah. Perlahan ia tersenyum, lalu tertawa terbahak-bahak.

Namun sekian detik kemudian ia menangis. Tas dan jaket yang ia tenteng meluncur begitu saja. Pemuda itu ambruk. Ia menjatuhkan lututnya ke lantai, melipat kedua tangannya di keramik yang lembab tersebut kemudian menyembunyikan wajahnya di sana. Dan bahunya terguncang. Pemuda itu terisak dengan hebat.

Nana melihat adegan itu dengan pilu. Air matanya menitik. Perlahan ia menyingkap selimut yang menutupi kakinya, lalu dengan tertatih-tatih ia turun dari tempat tidur dan mendekati Mingyu yang masih terisak dengan hebat.

Dengan menahan nyeri di kening,  ia duduk bersimpuh di dekat pemuda tersebut. Ia mengulurkan tangan dan membelai  rambutnya dengan lembut, lalu meraih kepalanya ke pangkuannya. Dan tangis pemuda itu kian menjadi-jadi. Ia menangis meraung-raung seperti anak kecil, di pangkuan Nana.

“Aku sudah mendengar pesanmu. Aku baik-baik saja... Aku menunggu kepulanganmu... Aku menepati janjiku ‘kan?” Nana kembali membelai rambut Mingyu dengan lembut. Ia mencium puncak kepala lelaki tersebut dan tangisnyapun ikut pecah. 

--- Kim Mingyu ...
--- Sekarang aku sadar
--- Kau tidak melarikan diri
--- Kau tidak menghilang

--- Kau hanya jalan-jalan sebentar

--- Lalu tersesat ....

--- Kemudian kompasmu rusak

--- Tapi syukurlah
--- Kau menemukan jalan pulang
--- Kau kembali, padaku

--- Selama ini
--- Kau telah mengalami banyak hal

--- Kau pasti lelah, ya ‘kan?
--- Apa semua terlalu menyakitkan buatmu?
--- Apa semua terlalu berat untukmu?

--- Ssssttt....
--- Tenanglah
--- Semua baik-baik saja sekarang
--- Tak ada yang perlu dikhawatirkan
--- Tinggalah di sini, bersamaku
--- Dan beristirahatlah...

***

Nana menatap bayangannya di cermin. Perempuan itu tak berhenti tersenyum. Beberapa hari setelah ia diijinkan pulang dari Rumah Sakit, Mingyu kembali ke Tokyo. Bukan untuk selamanya. Ia kesana untuk membereskan beberapa pekerjaan dan juga meminta maaf pada Yuri karena tak bisa hadir di pemakaman ibunya.

Dan hari ini, tepat satu bulan setelah Mingyu ke Tokyo, lelaki itu akan pulang ke sini, selamanya, sesuai janjinya. Ia bahkan sudah membereskan beberapa hal demi bisa  melakukan semua pekerjaannya di sini.

“Ibu, aku berangkat dulu.” Ia berpamitan pada ibunya yang tengah memasak di dapur. Ibunya tampak heran.
“Kau mau kemana, Nana-ah?”
“Ke stasiun.” Jawab Nana tanpa berhenti tersenyum.
“Untuk apa?”
“Ibu lupa ya? Hari ini Mingyu kembali. Dan aku berniat menjemputnya.”

Ibu Nana menatap jam di dinding sekilas.
“Tapi ini baru jam setengah lima pagi. Bukankah keretanya baru akan datang jam 7?”
Nana tersenyum lagi.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak ingin terlambat menjemputnya saja.” Ia beranjak dengan lincah.

Dan benarlah, ketika ia sampai di stasiun, tempat itu masih lengang. Kereta yang ditumpangi Mingyu memang baru akan datang jam 7 nanti. Tapi ia tak keberatan menunggu.

Perempuan itu mematung di platform, tepat di tepi rel kereta. Pandangannya menerawang ke arah ujung rel, tempat datangnya kereta yang baru akan muncul sekitar 2 jam lagi.
Tiba-tiba ingatannya kembali pada peristiwa beberapa tahun yang lalu.

Di stasiun inilah ia mengantarkan Mingyu pertama kali ketika ia akan pindah ke Tokyo. Dan di sini pulalah ia nyaris patah arang menanti ia kembali, tanpa kabar, selama bertahun-tahun.
Nana sempat berpikir bahwa segala kisah cintanya dengan Mingyu telah berakhir di sini.
Tapi ternyata ia salah. Justru di sinilah, segalanya di mulai.

Lamunan Nana buyar ketika ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Aroma cologne yang amat familar. Sosok itu mendekatinya, menyentuh pundaknya, menelusuri lengan tangannya yang terbuka dengan gerakan perlahan, lalu tangan kekar itu menggenggam tangannya untuk kemudian menautkan jemari mereka.

Tidak. Nana tidak perlu berbalik. Karena ia tahu, siapa sosok yang tengah berdiri di belakangnya, yang sekarang tengah menggenggam erat tangannya.

Aku kembali.” Ia berbisik lembut di dekat telinga Nana.
Suara itu adalah suara yang amat ia kenal. Suara dari sosok manusia yang teramat ia rindukan. Yang teramat ia cintai, sepenuh hati.

Nana tersenyum. Kedua matanya berkaca-kaca.
Selamat datang kembali.” Jawabnya.

Ia memutar tubuh dan Mingyu sudah berdiri dengan gagah di depannya. Pemuda itu tersenyum.
“Apa kau ke sini pagi-pagi buta begini hanya untuk melamun?” Ia bertanya dengan disertai tawa kecil. Mata itu berbinar-binar, begitu hidup.
“Aku menjemputmu.” Jawab Nana.
“Sepagi ini?”
Nana kembali mengangguk.
“Aku hanya tak ingin terlambat saja. Lagipula, bukankah keretamu seharusnya datang jam 7?”
Kali ini Mingyu nyengir.
“Aku sengaja naik kereta dengan jadwal lebih awal. Aku sudah ada di sini sejak setengah jam yang lalu. Aku tak mau terlambat saja.” Jawabnya. Ia menarik tangan Nana, mendekatinya lalu mengecup kening perempuan itu dengan lembut.
“Saranghae.” Bisiknya.
Nana tersenyum.
Dengan isak haru, ia menghambur ke arah Mingyu dan memeluk pemuda itu erat.

***

Musim panas.

Mingyu dan Nana berjalan menyusuri pantai dengan bergandengan tangan. Mereka sepakat menghabiskan sore  di hari minggu yang cerah itu dengan berjalan-jalan di sana.

“Kapan  Jisoo berangkat ke Amerika?” tanya Mingyu.
“Sudah dua minggu yang lalu.” Jawab Nana.
Mingyu manggut-manggut. Ia tahu bahwa Jisoo memang memutuskan untuk menerima sebuah pekerjaan di Amerika. Sahabat terbaiknya itu juga sudah bicara secara pribadi kepadanya untuk berpamitan. Tapi ia tak bisa mengantar keberangkatannya karena waktu itu ia masih berada di Jepang.

“Bagaimana dengan Yuri?” Nana ganti bertanya.
“Baik-baik saja. Ia melanjutkan hidup dan tetap bekerja di toko roti. Ia juga sudah mencari tempat tinggal sendiri.” Jawab Mingyu.
Nana manggut-manggut. Keduanya terus melangkah menikmati pasir putih yang sesekali disapu ombak tenang.

“Aku mencintaimu, Nana-ah.” Ucap Mingyu.
“Aku juga.” Jawab Nana.
“Aku mencintaimu.”
“Ya.”
“Aku mencintaimu.”
“O-ke...”
“Aku mencintaimu.”
“Hm...” Nana manggut-manggut.
“Aku mencintaimu.”
“Hari ini aku sudah mendengarmu mengatakan kata-kata itu ratusan kali. Jadi cukup. Aku percaya. Oke.” Nana menatap lelaki di sampingnya dengan sebal. Mingyu malah tertawa.
“Aku hanya ingin membayar waktu 5 tahun yang telah kusia-siakan. Ibaratnya setiap hari aku ingin mengatakan ‘aku mencintaimu’ sepuluh kali, dan seharusnya kata-kata itu selalu kuucapkan sejak 5 tahun yang lalu, jadi berapa kata yang sudah kulewatkan? Apa kita perlu menghitungnya? Kau bawa kalkulator?”

Nana tergelak. Sebuah toyoran di terima Mingyu di pundaknya. Lelaki itu ikut tertawa.
“Ada hal penting yang ingin ku katakan padamu.” Ucap Mingyu. Langkah Nana terhenti tiba-tiba, begitu pula lelaki di sampingnya. 
“Apa lagi?” Nana menatap Mingyu dengan penuh selidik dan was-was.  

Mingyu tersenyum. Ia melepaskan pegangan tangannya lalu mundur beberapa langkah. Lelaki itu menatap lurus ke mata Nana.
“Kim Nana...”
“Ya?” Jawab Nana dengan sedikit gugup.
“Aku mencintaimu.”
Nana tersenyum.
“Kau tahu bahwa hatiku adalah milikmu. Sejak dulu. Tapi aku akan tetap mengatakan ini padamu, ratusan kali. Jadi, maukah kau menerimanya lagi? Maukah kau menerima hatiku?” ucap Mingyu lagi.

Nana masih terus tersenyum.
“Hatimu terlalu berat. Bagaimana jika aku tak mampu menerimanya?”
“Karena hati itu berharga, bukankah memang sudah seharusnya berat?” ujar Mingyu sebal.
Nana tergelak. “Kau benar. Baik, akan kuterima.” Jawabnya.
“Dan ... kau tahu bahwa aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Jadi ....”

Nana berubah takjub ketika tiba-tiba Mingyu berlutut di hadapannya, lalu merogoh sesuatu dari saku celananya. Kedua matanya segera berkaca-kaca ketika lelaki itu menyodorkan sebuah cincin emas bermata emerald ke arahnya.
“Jadilah keluargaku, Nana-ah.” Ucapnya.  
“Will you be my family?” Lanjutnya.

“Aku sudah bicara dengan keluarga ayahku untuk menanggalkan nama Jepangku dan memutuskan untuk memakai kembali nama Kim Mingyu. Jadi, jika kau mau jadi keluargaku, kau tak perlu berganti marga. Karena toh marga kita sama. Kim Nana, aku suka namamu. Nama terbaik di dunia.”

Tanpa sadar, air mata Nana menitik, ia terharu.
“Tapi aku tak bisa masak?” Suaranya bergetar.
Mingyu menggeleng. “Tak masalah. Aku pernah bekerja di rumah makan. Aku pernah hidup sendiri. Ketika ibuku sakit, akulah yang memasak untuknya. Kelak, biar aku yang memasak untukmu.” Jawabnya.

“Beberapa bulan ini aku makin gendut.” Ujar Nana lagi.
Mingyu  mengangkat bahu cuek. “Aku tak suka perempuan kurus.” Jawabnya. “Oke, apa lagi?” Kali ini ia bangkit, melangkah perlahan mendekati perempuan di hadapannya.

“Setelah kecelakaan itu, aku cuti terlalu lama. Mungkin aku akan dipecat dan ... aku akan jadi pengangguran.” Ucap Nana lagi. Air matanya terus menitik.

“Setelah kita berkeluarga, aku ingin kau di rumah. Mengantarkanku ketika aku berangkat kerja, dan menyambutku ketika aku pulang ke rumah. Jadi, tak masalah jika kau tak punya pekerjaan.” Jawab Mingyu.
“Oh, ada lagi. Jika kau bersedia, ayo kita buat keluarga besar. 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Karena itu, kau memang sudah seharusnya di rumah saja mengurus mereka.” Lanjutnya.
Tawa Nana bercampur dengan tangis.

“Dan dokter bilang, jahitan di keningku tidak akan bisa hilang.”  Perempuan itu sesenggukan.
Mingyu memiringkan kepalanya dan mengamati luka di kening Nanami.
“Luka itu seksi. Tak masalah juga.” Jawab Mingyu.  “Jadi ...”

Nana menatap lelaki dihadapannya dengan perasaan haru luar biasa. Perlahan ia mengangguk.
“Iya, aku bersedia.” Jawabnya.
Mingyu tersenyum. Ia meraih tangan Nana, lalu menyematkan cincin itu di jari manisnya. Dan tanpa mengatakan apapun, ia merengkuh perempuan itu ke dekapannya lalu memeluknya. Erat.
Ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan sebagai pembayaran atas tahun-tahun yang telah mereka lewatkan. Tapi untuk saat ini, cukup seperti ini saja.
Ia berjanji, ia pasti akan segera membayarnya, berkali lipat.

          Ia akan memberi Nana cinta, sebanyak yang ia minta.
          Untuknya.
          Hanya untuknya.

          “Aku mencintaimu.” Mingyu kembali berbisik. Dan ia sadar, air matanya juga menitik. Karena bahagia.


***
----------------
----------------

Kim Mingyu ....

Seseorang mengatakan bahwa kenangan dibuat dengan memadukan berbagai fragmen dari apa yang terjadi di masa lalu. Dan untuk sebagian orang, kenangan tak ubahnya seperti ilusi.

Dulu aku juga berpikir seperti itu.
Tapi kenyataan bahwa sekarang kita berada di sini adalah bukti bahwa kita ... ada.

Ibarat sebuah perjalanan...
Ada kalanya kita tersesat.
Ada kalanya kita salah jalan.

Apakah seharusnya kita berhenti?
Atau memutar arah?
Atau tetap berjalan meski jalannya berbatu?

Pilihan apapun yang kita ambil, itulah yang membawa kita pada kehidupan kita yang sekarang.

Kadang kita salah, kadang kita benar.
Tapi, itulah yang disebut kenangan.
Jejak kehidupan.

Kim Mingyu ...
Setelah apa yang kita alami selama ini.
Sekarang aku sadar.

Aku dilahirkan, untuk bertemu denganmu.

---------------
---------------

Kim Nana ....

Maaf  karena aku tersesat.
Maaf  karena aku membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan jalan pulang.
Maaf  karena aku melewatkan banyak hal darimu.

Tapi sekarang aku kembali.
Untukmu.

Dan aku janji.
Aku akan memberimu banyak cinta.
Sebanyak yang kau minta.

Segalanya.

Karena aku sadar.
Aku dilahirkan, untuk bertemu denganmu.

Bokura Ga Ita.
Kita, ada.

----------------
----------------

*** Selesai ***


Yeeeaaayyyyy ........
Akhirnya selesai juga. Terima kasih bagi yang sudah mengikuti kisah cinta mereka dari awal sampai akhir. Maaf kalau ada yang tidak sesuai dengan manga aslinya. Semoga cerita yang saya sampaikan bisa memberikan hiburan tersendiri ...

Salam cinta dari sang tokoh asli.
Yano Motoharu dan Nanami Takahashi.


~~ Wiwin.

[FF/SVT] Bokura Ga Ita #9

~~~~~~~~~~

Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....

~~~~~~~~~~~~

*** Jika ada orang yang tenggelam di hadapanmu, entah itu sahabat, keluarga, atau kekasih, siapa yang akan kau selamatkan?
Entah itu sahabat, keluarga atau kekasih, selamatkanlah yang tidak bisa berenang.  ***

Part 9

            Mingyu membuka pintu hanya untuk mendapati Yuri berdiri dengan kikuk di depan apartemennya. Namja itu baru selesai  berkemas-kemas.  Hari ini, ia sudah memutuskan pindah ke sebuah apartemen yang lebih kecil dan lebih murah dan tentu saja lebih dekat dengan restoran tempat ia bekerja.
“Untuk apa kau kemari?” Ia bertanya dengan nada tak ramah ke arah perempuan berkaca mata tersebut.
“Aku, turut berduka cita atas apa yang menimpa ibumu. Maaf, aku baru mengetahuinya.” Jawabnya, lirih.
“Pulanglah. Jangan datang kemari lagi karena aku akan pergi.” Ucap Mingyu tetap dengan kalimat yang tak ramah. Ia berbalik, masuk kembali ke rumahnya. Belum sempat ia menutup pintu, Yuri menyeruak masuk.

“Kau mau kemana?” Yeoja itu bertanya.
“Pindah.” Mingyu menjawab singkat.
“Kenapa?”
Mingyu kembali merapikan barang-barangnya tanpa melihat ke arah Yuri.
“Sewa apartemen ini terlalu mahal. Aku tak sanggup membayarnya.” Jawabnya.
“Lalu sekolahmu?”
“Aku berencana berhenti.” Jawab Mingyu lagi.
Yuri mematung, menatap Namja yang terus bicara tanpa menatap ke arah dirinya.

“Apa kau sangat membenciku, Mingyu-ssi?” Yeoja itu bertanya, suaranya tak lagi lirih. Mingyu terdiam. Ia menegakkan tubuhnya lalu berbalik dan menatap Yuri.
“Kau sudah tahu jawabannya.” Ucapnya tegas. Kedua mata Yuri berkaca-kaca.

“Bencilah, kalau kau ingin benci. Tapi fakta bahwa kita pernah melakukan sesuatu yang istimewa, kau takkan bisa menyangkalnya.”
“Itu sebuah kesalahan! Apa yang terjadi di antara kita adalah sebuah kesalahan! Jangan pernah mengungkitnya lagi! Brengsek!” Mingyu berteriak. Ia menendang sebuah kardus di depannya dengan kesal. Bibir Yuri bergetar.
Hening.
“Apakah kau tidak punya perasaan padaku, sedikit saja? Walau hanya sedikit saja?” Yuri menatap lurus ke arah Mingyu. Namja itu juga membalasnya. Lagi-lagi Ia menggeleng.
“Tidak. Maaf.” Jawabnya.
Air mata Yuri menitik.
“Ada sebuah rahasia yang ingin kuceritakan padamu.” Suara Yuri terdengar bergetar.
Mingyu mengernyit. “Apa?”

Yeoja di hadapannya menelan ludah.
“Ketika kakakku meninggal, dia tidak mengkhianatimu.” Ucapnya.
“Selama menjadi pacarmu, kak Nana memang punya banyak pacar gelap. Tapi pada  waktu itu, hari ketika dia mengalami kecelakaan dan meninggal, dia tidak mengkhianatimu. Lelaki yang bersamanya waktu itu bukan selingkuhannya, tapi pacar temannya. Dia minta tolong pada kak Nana untuk menemaninya membeli kado.”
Mingyu mematung.
“Bagaimana kau tahu?” Ia mendesis.
“Karena waktu itu aku juga bersama mereka. Tapi aku tidak ikut mereka berbelanja melainkan turun di tempat les. Jika saja aku ikut mereka, bisa dipastikan, aku pasti juga meninggal bersamaan dengan kak Nana.” Jawab Yuri.

“Kenapa kau baru menceritakan ini padaku?” Tatapan Mingyu tampak kosong.
“Karena aku mencintaimu. Kupikir dengan kepergian kakakku, kau bisa memberikan sedikit saja perhatianmu kepadaku. Tapi ternyata aku salah.” Air mata Yuri kembali menitik.
“Lepas dari kakakku, kau malah jatuh cinta dengan Kim Nana.” Ia mundur beberapa langkah.
Yeoja itu menggeleng dengan putus asa.
“Aku menyerah, Mingyu-ssi. Aku tak bisa lagi hidup seperti ini. Selamat tinggal.”

            Dan semua terjadi begitu cepat. Tiba-tiba saja Yuri mengeluarkan sebuah gunting dari tas nya lalu mengarahkan ujung gunting sepanjang 10 cm itu ke lehernya sendiri. Mingyu membelalak.
“Tidaaakkk!!!”

***
--------------------------
--------------------------

Kim Mingyu ...
Aku Kim Nana.
Yang selalu mencintaimu ...

Masihkah kau ingat padaku?

5 tahun telah berlalu ....
Tapi aku tak pernah berhenti berdoa pada Tuhan

Dimanapun kau berada, dengan siapapun kau saat ini, semoga kau selalu hidup bahagia ....

Itulah doaku.

--------------------------
--------------------------



***

            Stasiun ramai oleh orang yang berlalu lalang berikut kereta yang datang dan berangkat sesuai jadwal. Nana hanya duduk mematung di salah satu kursi tunggu. Perempuan yang mengenakan pakaian kantor itu sudah berada di sana selama hampir satu jam.

Ia sudah memutuskan, ini akan menjadi yang terakhir kalinya.

            Ya, ini akan menjadi terakhir kalinya ia berkunjung ke stasiun untuk menunggu Mingyu. Ia memutuskan untuk tidak melakukannya lagi. Jisoo bilang, Mingyu sudah memilih jalannya sendiri, dan Nana akan merelakannya.
Ia akan merelakannya.

Saatnya mengucapkan selamat tinggal ...

***

            Nana tiba di apartemennya pukul 11 malam. Perempuan itu segera takjub ketika menemui sebuah candle light dinner telah tertata dengan manis di meja makannya, sementara Jisoo berdiri di samping meja dan menyilakan perempuan itu dengan senyumnya yang hangat.

Selama ini Jisoo memang sering berkunjung ke apartemen Nana. Ia bahkan punya kunci duplikatnya. Selain itu, hubungan mereka juga semakin membaik. Membaik tidak dalam artian mereka pacaran. Tapi tak bisa dipungkiri, Jisoo adalah satu-satunya lelaki yang bertahun-tahun ini dekat dengan Nana. Begitu pula sebaliknya.

Selamat datang.” Lelaki itu menyapa. Nana tergelak.
“Kau yang menyiapkannya?” Ia bertanya dengan wajah berseri. Jisoo mengangguk.
“Surprise. Anggap saja ini perayaan karena hari ini kau resmi naik jabatan di kantor.” Ia menjawab. Nana tersenyum.
Gomawo, Jisoo-ah. Ngomong-ngomong, aku hanya menjadi asisten manajer. Tak perlu dirayakan semewah ini.” Ucapnya.
“Apapun itu harus dirayakan. Itu sebagai pertanda bahwa kita bersyukur dengan anugerah dari yang maha kuasa. Oke?”
Jisoo menatap Nana dengan lembut. Ia menarik salah satu kursi lalu membimbing Nana untuk duduk di sana. Sementara ia sendiri duduk di seberang meja.
“Kau yang terbaik, jisoo-ah.”
“Gomawo.”

            Mereka melewati acara makan malam dengan disertai obrolan tentang kegiatan mereka masing-masing di tempat kerjanya. Nana menceritakan tentang proses dipilihnya dia menjadi asisten manajer. Sementara Jisoo bercerita bahwa minggu ini ia berhasil menjual 5 apartemen mewah kepada beberapa artis ternama. Dan bonus yang ia terima, tentu saja luar biasa.

            Setelah acara makan malam selesai dan mereka melakukan aktivitas cuci piring bersama-sama, mereka menghabiskan malam yang tersisa dengan duduk-duduk di balkon. Angin malam berdesir menerpa untaian rambut Nana ketika Jisoo berdehem.
“Apakah aku belum bisa memenangkan hatimu, Nana-ah?” Ia bertanya seraya menatap perempuan di sampingnya. Nana menoleh dan balas menatap Jisoo.
Ini untuk kesekian kalinya Jisoo menyatakan cinta padanya. Dan mungkin akan menjadi kesekian kalinya ia menjawab dengan jawaban yang sama.
“Kau sudah tahu siapa yang telah memenangkan seluruh hatiku, Jisoo-ah. Bahkan jika ia tak berada di sampingku, selamanya, perasaanku padanya tak pernah berubah.” Jawabnya.

            Jisoo tersenyum kecut seraya manggut-manggut.
“Aku tahu. Apapun yang telah Mingyu lakukan padamu, bahkan jika ia meninggalkanmu, mengkhianatimu, perasaanmu padanya takkan pernah berubah. Ya ‘kan?”
Kali ini Nana yang tersenyum getir.
“Maafkan aku, Jisoo-ah. Aku tahu kamu lelaki yang baik. Tapi, sudah saatnya aku memikul sendiri bebanku, kesedihanku. Kau harus terus melanjutkan hidup dan menemukan orang yang cocok untukmu. Percayalah, kau akan menemukan orang yang lebih baik dariku.” Jawabnya.
“Dan kau harus percaya padaku, bahkan jika kau menolakku berkali-kali, perasaanku padamu juga takkan berubah. Sama seperti apa yang kau rasakan pada Mingyu.” Jawab Jisoo. Keduanya terdiam.

“Aku ada sesuatu untukmu.” Mingyu merogoh sesuatu dari saku jasnya. Ia mengeluarkan selembar kertas lalu menyodorkannya ke arah Nana.
“Apa ini?” Tanya Nana.
“Alamat Mingyu.” Jawab Jisoo. Tubuh Nana membeku seketika.
“Maaf, selama ini tanpa sepengetahuanmu, aku terus berusaha mencari keberadaan Mingyu atas bantuan Leo. Kau ingat ‘kan dia bekerja sebagai detektif swasta? Aku tidak melakukannya untukmu Nana-ah. Aku melakukannya untukku sendiri. Aku hanya ingin tahu saja pilihan hidup seperti apa yang telah diambil oleh Mingyu sehingga ia tega meninggalkan kekasih, teman-temannya, dan juga semua kenangannya di kota ini. Dia berutang banyak penjelasan padaku. Padaku, sahabat masa kecilnya, sahabat terbaiknya.” Jelasnya.

Nana tetap mematung. Jisoo meraih tangannya lalu meletakkan lembaran kertas itu di genggaman tangannya. “Lihatlah dulu.” Ucapnya.
Nana menatap lembaran kertas di tangannya kemudian dengan tangan gemetar, ia membuka lipatannya lalu membaca deretan kalimat yang tertera di sana.
“Yano Nagakura?” Ia mengernyit sambil menatap Jisoo. Namja itu mengangguk.
“Dia bukan lagi Kim Mingyu, tapi Yano Nagakura. Aku tidak tahu alasannya kenapa dia berganti nama. Itulah yang akan kucari tahu selanjutnya. Mau menemuinya bersama-sama?” Jisoo menawarkan.
Nana terdiam. Perlahan ia menggeleng lalu menyerahkan kembali kertas tersebut ke arah Jisoo.

“Aku takkan menemuinya, Jisoo-ah. Tidak akan. Dia pasti punya alasan sendiri untuk menghilang. Dan aku takkan mencari tahu apa alasannya tersebut. Yang terpenting adalah, dia baik-baik saja.” Bibir Nana bergetar. Jisoo tahu bahwa perempuan itu sedang menahan tangis.

            Pemuda itu beranjak, meraih kepala Nana, lalu membenamkannya ke pelukannya.
“Tak apa-apa. Menangislah kalau kau ingin menangis. Luapkan semua emosimu. Aku ada di sini untukmu.” Bisiknya. Dan tak butuh waktu lama hingga akhirnya tangis Nana benar-benar pecah. Bahu perempuan itu terguncang dan ia terisak di pelukan Jisoo.

***

            Yano Nagakura.

            Jisoo menatap ke arah papan nama di samping pintu lalu ke arah kertas di tangannya secara bergantian. Setelah memastikan ia berada di alamat yang benar, ia menekan bel. Ia hanya perlu memencet bel satu kali karena setelah itu pintu perlahan terbuka dan ... sesosok perempuan muncul dari sana. Jisoo terkesiap.
Sosok perempuan itu adalah sosok yang ia kenal!

“Yuri?” Ia mendesis tak percaya. Yuri juga tampak mengalami keterjutan yang sama.
“Jisoo-ssi?” Ia memanggil lirih. Keduanya berpandangan beberapa saat sebelum akhirnya Yuri menyilakan Jisoo masuk.

***

            “Jadi selama ini kau dan Mingyu tinggal bersama?” Tanya Jisoo langsung. Yuri tak menjawab. Ia meletakkan secangkir teh ke atas meja, tepat di depan Jisoo. “Silahkan.” Ucapnya.

“Sudah berapa lama kalian tinggal bersama?” Jisoo kembali bertanya. Yuri berdiri mematung tanpa menjawab.
“Apa kalian menikah? Atau kalian hanya tidur bersama?” Jisoo bertanya tak sabar tanpa membuang pandangannya dari perempuan tersebut.
“Apa kau ke sini hanya untuk menginterogasiku?” tanya Yuri getir.
“Ya.” Jisoo menjawab cepat. Lelaki itu menatap Yuri dengan amarah yang nyaris meluap-luap.

“Aku hanya tak mengerti, kenapa harus kau?! Mingyu meninggalkan segalanya, kekasihnya, teman-temannya, kenangan-kenangannya, demi ... kau?! Kenapa harus kau?!”Jisoo menyambar cangkir di meja dan ... prankkk! Cangkir itu meluncur ke lantai dan hancur berkeping-keping. Yuri tersentak kaget. Jisoo menyisir rambutnya dengan frustasi. Hening sesaat.

“Maaf, aku hanya terlalu emosi.” Ucapnya kemudian. Tanpa berkata-kata Yuri beranjak, merapikan cangkir yang hancur berantakan di lantai, lalu membawanya ke dapur. Dan beberapa saat kemudian ia kembali dengan membawa cangkir baru – masih berisi teh.
“Silahkan.” Ia kembali menyilakan. Jisoo terdiam kemudian menarik nafas panjang. Ia menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan tak mengerti.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Ia kembali bertanya. Yuri balas menatap lelaki tersebut.
“Kami memang tinggal bertanya. Tapi dia hanya menganggapku kerabat.” Jawabnya. “Dia tidak memilihku, Jisoo-ssi. Dia hanya berusaha menyelamatkanku.” Lanjutnya.

Ia menarik nafas dalam, lalu kembali berkata-kata.
“Beberapa tahun yang lalu, aku nyaris mengakhiri hidupku sendiri. Aku hanya merasa frustasi, putus asa. Aku datang ke Tokyo tanpa bekal apa-apa. Aku terlalu nekat. Segalanya berjalan tak sesuai rencana. Rumit. Aku kesulitan keuangan, dan tiba-tiba saja ibuku koma karena terkena stroke. Belum lagi, aku menerima kebencian mendalam dari Mingyu. Aku putus asa. Aku berniat bunuh diri.” Kedua mata Yuri berkaca-kaca.

“Tapi kemudian Mingyu menyelamatkanku. Dia mengijinkanku menumpang di apartemennya. Ia juga banting tulang membantu pengobatan ibuku. Ia bahkan bersedia diadopsi keluarga ayahnya demi bisa membayar semua biaya rumah sakit karena kau tahu sendiri ‘kan, biaya rumah sakit sangat mahal. Belum lagi Mingyu masih harus melanjutkan sekolahnya. Sementara gajiku bekerja di toko roti, tidak seberapa.” Lanjutnya.

“Ayah kandung Mingyu orang Jepang?” tanya Jisoo. Yuri mengangguk.

“Itukah sebabnya ia berganti nama menjadi Yano Nagakura?”
Yuri kembali mengangguk.
“Nagakura, itu nama keluarga ayah kandungnya. Dan Yano, itu nama jepangnya.” Jawab Yuri.

“Lalu ibumu?”
“Dia masih koma. Ia sudah koma selama 4 tahun. Aku sempat menyerah dan meminta dokter mencabut semua alat bantu di tubuhnya agar ia bisa pergi dengan tenang. Tapi Mingyu melarang. Dia bilang, bisa hidup adalah anugerah. Maka kita tak boleh membuang kesempatan itu.” Jawabnya.

Jisoo terdiam.

“Mingyu mengalami trauma dengan apa yang menimpa ibunya dan kakakku. Mereka meninggal meskipun Mingyu sudah berusaha melindungi mereka. Itulah sebabnya ia memilih untuk tidak mengabaikan aku dan ibuku, karena ia tak ingin mengalami penyesalan yang sama seperti yang ia alami ketika ia kehilangan ibunya dan juga kakakku.” Air mata Yuri menitik, tapi ia segera menghapusnya.

“Sekarang dimana Mingyu berada?”
“Ia bekerja di salah satu perusahaan ayahnya sebagai asisten grafis. Jangan membayangkan ia menjadi pangeran muda dengan gelimpangan harta peninggalan ayahnya. Ia masih pemuda yang sama. Sederhana dan bersahaja. Ia memang menyandang nama keluarga ayahnya, tapi secara finansial, ia hidup dengan gajinya sendiri.” Perempuan itu kembali menjelaskan.
Jisoo bangkit. “Berikan aku alamatnya. Aku akan menemuinya.” Ujarnya.

***

            Mingyu menatap Jisoo yang berdiri termangu tepat di depan gedung tempat ia bekerja. Ia mengerutkan keningnya, lalu merapatkan jaketnya untuk selanjutnya melangkah menghampiri sahabatnya yang saat ini tengah menatap nanar ke arahnya.

“Yano Nagakura?” Jisoo menyapa terlebih dahulu, dengan nada datar.
Mingyu hanya tersenyum lelah. Ia menggeleng.
“Tidak. Kau tetap bisa memanggilku Mingyu. Kim Mingyu.” Jawabnya.

“Kaget karena aku berhasil menemukanmu?” Kali ini kalimat Jisoo terdengar sinis. Mingyu tersenyum.
“Bagaimana kabarmu, Jisoo-ah? Kau terlihat makin dewasa dengan stelan jas itu. Kau menjadi pekerja kantoran sekarang?” Ia balas menyapa dengan pertanyaan. Jisoo terkekeh hambar tanpa mengalihkan pandangannya dari Mingyu.

“Dan kau masih saja seperti dulu, Mingyu-ah. Arogan dan menyebalkan. Tapi syukurlah kau baik-baik saja.” Jawabnya.
“Kau juga terlihat sehat. Dan aku senang melihatnya. Ingin berkunjung ke rumahku?”
Jisoo tersenyum sinis.
“Aku sudah dari sana.” Jawabnya pendek.
Mingyu tampak tertegun. Mereka berpandangan.

“Mingyu-ah, kenapa harus Yuri?” Tanya Jisoo dengan suara parau.
“Kenapa kau lebih memilih dia daripada Nana? Kenapa kau lebih memilih menolong Yuri dan ibunya lalu mengabaikan Nana?” Laki-laki itu nyaris berteriak.

Mingyu menelan ludah. Ia terdiam sesaat.
“Jisoo-ah, jika ada orang yang tenggelam di hadapanmu, siapa yang akan kau tolong?” suaranya terdengar lelah.
“Apa maksudmu?” Jisoo bertanya bingung.
Mingyu memasukkan tangannya ke saku jaket lalu menarik nafas panjang.

Pemuda itu duduk di salah satu kursi di taman gedung tersebut sebelum akhirnya kembali berkata-kata.
“Jika ada orang yang tenggelam di hadapanmu, entah itu teman, keluarga, atau kekasih, maka aku akan menyelamatkan orang yang tidak bisa berenang.” Ucapnya.
Jisoo tak melepaskan tatapannya dari pemuda tersebut.

“Itulah yang terjadi antara aku, Yuri, ibunya dan juga ... Nana. Yuri datang ke Tokyo mengikutiku tanpa bekal apa-apa. Ia terpuruk. Ia mengalami masa-masa sulit. Terlebih lagi ketika ibunya jatuh sakit dan mengalami koma. Ia tak punya siapa-siapa tempat ia bersandar dan meminta pertolongan. Dan itulah yang akhirnya kulakukan padanya. Aku berusaha menyelamatkannya, agar ia tak tenggelam.” Suara Mingyu getir.
“Dan .. Nana?” Jisoo bertanya tak mengerti.

Mingyu kembali menarik nafas panjang.
“Kim Nana, kekasihku, aku mencintainya. Dengan sepenuh hatiku. Tapi aku tahu dia perempuan yang kuat, ia tegar. Sebesar apapun cobaan yang ia hadapi, ia takkan runtuh. Terlebih lagi karena ia dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan juga kau. Itulah yang mendasari diriku untuk mengambil keputusan itu.” ucapnya.

“Menolong Yuri dan ibunya lalu mengabaikan Nana?”
Mingyu mengangguk pelan. Ia menunduk dengan lemah.
“Aku memang bersalah, Jisoo-ah. Aku mengabaikannya, aku menghilang darinya. Tapi aku yakin bahwa Nana akan baik-baik saja. Ia akan melewati semua ini. Karena dia adalah perempuan yang kuat.” Ucapnya lagi.

Jisoo tertawa sinis. Ia beranjak. Menarik kerah baju Mingyu, lalu mendaratkan sebuah pukulan telak ke wajahnya.
Mingyu jatuh terjengkang. Ia tak berusaha membalas pukulan Jisoo. Lelaki itu hanya terduduk letih seraya menghapus darah yang mulai keluar dari bibirnya yang robek. Ia merasa pantas menerima pukulan tersebut. Bahkan lebih.

“Kau ingin tahu siapa yang tenggelam, hah?!!” Jisoo berteriak.
“Kau ingin tahu siapa yang tenggelam??!  NANA-LAH ORANGNYA!!!” Namja itu kembali berteriak marah.

“Nana-lah yang tenggelam! Bukan Yuri! Bukan ibunya! Kau tak tahu kesedihan yang ia alami sejak kau menghilang! Kau tak tahu seberapa banyak air mata yang telah ia keluarkan karena dirimu!” Kedua mata Jisoo berkaca-kaca. Ia terduduk lemas di samping Mingyu.

“Setiap malam, setiap malam, Mingyu-ah. Setiap malam ia menangisimu, mendoakanmu.” Suaranya meratap.
“Awal kau menghilang, ketika Nana menyusulmu ke Tokyo tapi harus pulang dengan perasaan hampa karena tak berhasil menemukanmu, ia mengalami depresi. Dokter bilang, dia mengalami gangguan kepanikan. Terkadang ia kesulitan bernafas ketika batinnya tertekan. Ia tak bisa naik kereta, ia tak bisa naik pesawat. Atau ia akan muntah, bahkan ketika di perutnya tak ada lagi yang bisa dimuntahkan. Dia hampir menyerah, Mingyu-ah. Dia hampir menyerah.” Kristal-kristal bening mengumpul di sudut mata Jisoo.

Mingyu menatapnya dengan mata terbelalak. Jisoo mengangguk.
“Karena kau. Kaulah penyebab sehingga ia harus keluar masuk rumah sakit untuk menjalani pengobatannya.” Lanjutnya.
Kedua bahu Mingyu luruh. Ia bersandar di kursi dengan lemah.

“Sekarang Nana memang sudah membaik. Gangguan itu sudah jauh berkurang dari beberapa tahun yang lalu. Seperti yang kau bilang, Nana gadis yang kuat, ia tegar. Ia bisa bangkit melewati masa-masa sulitnya. Tapi kenyataan itu akan terus menghantuinya. Kau, orang yang telah membiarkan ia tenggelam.” Tatapan Jisoo lurus ke arah Mingyu hingga membuat lelaki itu diam mematung tak berdaya.


***

            Nana nyaris menjatuhkan map-map yang ada di dekapannya ketika sosok itu seolah secara ajaib muncul di hadapannya. Ia berdiri di seberang jalan, menatap lurus ke arahnya, tersenyum lalu melambaikan tangan.  Tenggorokan Nana tercekat. Ingin ia menjatuhkan map-map di tangannya lalu berlari, menyeberang jalan untuk kemudian menghambur ke arah sosok itu. Sosok yang menghilang sejak 5 tahun lalu, sosok yang kini terlihat lebih dewasa dan ... baik-baik saja.

“Mingyu...” Nana mendesis lirih.

Mingyu terus tersenyum seraya melenggang, menyeberangi jalan, kemudian melangkah mendekati Nana yang masih berdiri mematung.
“Annyeong.” Mingyu menyapa seraya melambaikan tangannya.
“Mau makan bolu kukus bersama-sama?” Ia kembali berujar dengan nada biasa, seolah mereka seperti dua orang manusia yang setiap hari bertemu. Nana menelan ludah. Perlahan ia bergerak, mendekati Mingyu dan ... Plakkk! Ia menampar pipi lelaki itu.

Mingyu meringis sesaat seraya memegangi pipinya.
“Whoa, lama tak ketemu kau makin kuat, Nana-ah.” Sindir Mingyu seraya terkekeh sinis. Nana menatapnya dengan marah.
“Itu untuk tahun-tahun yang kulewatkan tanpa dirimu, untuk tahun-tahun setelah kau meninggalkan aku tanpa kabar!” Ia berteriak.

Mingyu menggigit bibir. Ia manggut-manggut. “Mian.” Ucapnya, lirih.
“Sekarang, bisa kita makan bolu kukus bersama-sama?”
Air mata Nana menitik, tapi perlahan ia mengangguk.

Mingyu menggenggam tangan Nana dan mereka berjalan menyusuri trotoar menuju toko roti, tempat dijualnya bolu kukus favorit Mingyu. Mereka sering jajan di sana ketika masih duduk di bangku SMA.

Setelah kenyang dengan bolu kukus, mereka berjalan-jalan di taman. Mereka duduk-duduk di sana sembari mengobrol hal biasa.
“Aku tak perlu menanyakan kabarmu karena kau terlihat baik-baik saja.” Ucap Nana. Mingyu tertawa.
“Dan aku juga tak perlu menanyakan kabarmu karena kau terlihat baik-baik saja dan ... makin cantik.” Jawab Mingyu. Nana tersenyum. “Terima kasih.” Jawabnya.

“Tapi kau benar-benar berbeda. Lihatlah, Nana dengan rok pendek, blouse, dan ... sepatu heel. Woa, keren.” Ucap Mingyu lagi hingga membuat Nana tertawa.
“Apa yang membuatmu datang kembali ke Korea?” tanya Nana kemudian.
Mingyu menatapnya. Karena kau, ucapnya dalam hati.

“Ada pekerjaan yang harus ku selesaikan di sini. Nanti malam aku sudah harus pulang kembali ke Tokyo.” Jawabnya. Nana manggut-manggut.
Pulang.” Ia mendesis. “Sekarang kau menggunakan kata ‘pulang’ untuk Tokyo. Berarti rumahmu memang di sana ‘kan?”
Mingyu hanya tersenyum kecut. Keduanya terdiam sesaat.

“Aku sudah dengar semuanya dari jisoo. Tentang kau, Yuri dan ibunya yang sakit.” Ucap Nana tanpa menatap ke arah Mingyu. Lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Ia menerawang ke langit yang mulai gelap.
“Apa ibunya bisa disembuhkan?”
Mingyu menggeleng.
“Dokter bilang, tak ada harapan. Kami hanya tinggal menunggu waktu sampai ia bisa pergi dengan tenang.” Jawabnya.
“Aku turut sedih.”
“Terima kasih.” Jawab Mingyu.
Hening lagi.

“Setelah mendengar alasanmu pergi, meninggalkanku, tanpa kabar. Sekarang aku tak marah lagi padamu, Mingyu-ah. Kau tak perlu lagi merasa bersalah padaku. Aku lega kau baik-baik saja dan ... aku memaafkanmu.” Ucap Nana lagi.

Mingyu merasakan dadanya sesak. Tadinya ia kesini untuk berbicara langsung pada Nana, meminta maaf padanya, tapi ia bahkan tak mampu berucap apa-apa.
Dan sekarang, justru Nana-lah yang dengan lapang hati memaafkannya.
Oh, betapa ia adalah lelaki brengsek tak tahu diri. Ia merutuki diri sendiri.

“Aku harus pulang.” Nana bangkit. “Terima kasih hari ini kau sudah mengajakku jalan-jalan.” Ia menatap Mingyu dengan lembut.
“Nana-ah, aku ....”
Nana menggeleng.
“Tidak, Mingyu-ah. Jangan katakan apa-apa lagi. Biarlah seperti ini. Kau tak perlu menjelaskan apa-apa lagi padaku. Sudah cukup, aku sudah tahu semuanya. Dan ... aku merelakanmu. Hiduplah dengan baik dan bahagia. Dengan siapapun kau saat ini.” Kalimat Nana parau.

Mingyu bangkit. Ia menyentuh pipi Nana dengan jemarinya, lalu menyelipkan untaian rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinganya. Pemuda itu menelan ludah. Perlahan ia merapikan jaket dan juga syal Nana.
“Jangan sampai kedinginan.” Ucapnya lirih. Nana mengangguk. Yano mendekatinya, menempelkan keningnya pada kening Nana. Air matanya menitik.

“Pulanglah. Teruslah melangkah, jangan menoleh lagi ke belakang. Tinggalkan aku, lupakan aku.” Bisiknya. Nana mengangguk. Air matanya juga menitik.

Gwaencana. Aku baik-baik saja, Mingyu-ah. Aku akan baik-baik saja, percayalah padaku.” Balasnya. Lirih.
Lalu perempuan itu berbalik, terus melangkah meninggalkan Mingyu, tanpa menoleh kembali ke arah lelaki tersebut.

Mingyu menatap kepergian perempuan itu dengan berlinang air mata. Hatinya hancur, lagi.
Pemuda itu menghempaskan tubuhnya kembali ke bangku taman. Rasanya kebas. Tak bertenaga.
Ia membiarkan dirinya larut dalam kesedihan di taman tersebut. Sesenggukan, menangis sendirian. Selama beberapa saat.

Ia baru saja selesai menghimpun seluruh tenaganya kembali ketika phonselnya berdering.

“Yoeboseyo.” Ucapnya setelah menekan tombol ‘oke’. Terdengar suara perempuan dari seberang sana, menangis.
“Yuri?”
“Mingyu-ssi, ibuku ... meninggal.”

***

Kereta yang ditumpangi Mingyu baru saja berjalan meninggalkan stasiun sekitar beberapa menit yang lalu. Ia memutuskan untuk kembali ke Tokyo. Kereta itu akan membawanya ke bandara, dan selanjutnya ia akan terbang ke Jepang.

Namun pemuda itu duduk dengan gusar. Ia menimang-nimang phonsel di tangannya dengan tangan gemetar. Tidak, ia tidak gusar karena ingin menelpon Yuri. Sebaliknya, ia gusar karena ingin menelpon Nana.

Ia ingin menelpon perempuan tersebut dan memberitahunya bahwa ia sedang dalam perjalanan kembali ke Tokyo sekaligus ia ingin memberi tahu bahwa ibu Yuri telah meninggal.
Tapi, ia bingung. Setidaknya ia ingin menelpon untuk berpamitan. Tapi, ia ragu.
Apa Nana akan menjawab telponnya? Apa yang akan dikatakan perempuan itu jika ia tahu ia sedang dalam perjalanan kembali ke Jepang? Demi Yuri?

“Kau baik-baik saja?” Seorang penumpang yang duduk di samping Mingyu bertanya dengan cemas.
Mingyu tersenyum kaku. “Saya baik-baik saja. Hanya ... gugup.” Jawabnya. Perempuan itu manggut-manggut.
Mingyu kembali menatap ke arah phonselnya. Dan akhirnya ia memutuskan, ia akan menelpon Nana untuk berpamitan.

Mingyu sudah melakukan panggilan sebanyak 3 kali, dan tetap tak ada jawaban. Barulah di panggilan yang ke-empat, ia mendengar suara perempuan itu dari seberang sana.

=== Yoeboseyo,===

“Yoeboseyo, Nana-ah. Ini ... Mingyu.”

Hening sesaat.

=== Mingyu-ah, ada apa? ===

“Aku sedang dalam perjalanan ke bandara. Aku akan segera kembali ke Jepang. Maaf, aku tidak bisa berpamitan secara langsung padamu. Ibu Yuri meninggal. Jadi aku buru-buru.” Jawab Mingyu.

=== Ibu Yuri meninggal? Aku ikut berbela sungkawa. ===

“Terima kasih.”

Hening lagi.

“Kau sedang sibuk?”

=== Tidak. Aku sedang dalam perjalanan pulang. Aku sedang bersiap-siap memanggil taksi. ====

Keduanya kembali sama-sama terdiam.

“Nana-ah, aku tahu hubungan kita tidak akan pernah seperti dulu. Tapi ....”

=== Mingyu-ah, aku ..... ====

Tiba-tiba Mingyu mendengar suara ban berdecit yang kemudian di susul dengan bunyi berdebum yang amat keras. Seperti sesuatu yang bertabrakan.

Tut .... tut .... tut ....
Pembicaraan antara dia dan Nana terputus. Mingyu merasakan dadanya berdebar. Tiba-tiba saja ia merasakan ketakutan luar biasa menghinggapinya. Ia berusaha melakukan penggilan kembali, berulang-ulang. Tapi nihil. Phonsel Nana tak aktif.

Ada apa denganmu, Nana? Teriaknya dalam hati. Setelah gagal menelpon phonsel Nana, Mingyu memutuskan untuk menelpon Jisoo.

=== Yoeboseyo.===

“Yoeboseyo. Jisoo-ah, aku Mingyu. Bisa kau hubungi Nana. Beberapa menit yang lalu aku bicara dengannya di telepon. Tapi kemudian pembicaraan kami terputus. Tolong cari tahu apa sesuatu menimpa dirinya. Aku cemas.”

=== Dimana kau sekarang? ===

“Aku sedang berada di kereta, dalam perjalanan ke bandara.”

=== Oke. Aku akan menemuinya. ===

“Jisoo-ah?”

=== Ya? ===

“Beritahu aku kalau dia baik-baik saja.”

=== Oke.===

Dan pembicaraan di antara mereka terputus.

***

Mingyu kembali menimang-nimang phonselnya dengan gusar. Pembicaraannya dengan Jisoo berlangsung sekitar 1 jam yang lalu. Dan sampai detik ini ia belum menerima kabar tentang keadaan Nana.
“Apa kau sakit?” Perempuan di samping Mingyu kembali bertanya. Mingyu menggigit bibirnya bingung.
“Saya hanya gugup. Saya baik-baik saja.” Jawabnya. Karena tak sabar, akhirnya ia memutuskan untuk kembali menelpon Jisoo. Dan ia bersyukur karena sahabatnya itu menjawab langsung.
“Jisoo-ah, apa yang sebenarnya ....”

=== Nana mengalami kecelakaan. ===

Jawaban itu membuat jantung Mingyu berhenti berdetak selama sekian detik.
“Apa maksudmu?” Ia mendesis.

=== Ia tertabrak mobil. Sekarang aku sedang di rumah sakit. Dokter baru saja melakukan CT scan. kepalanya terluka dan dia belum sadarkan diri, Mingyu-ah. Dia ... belum sadarkan diri. ===

Suara Jisoo terdengar meratap. Mingyu menelan ludah. Dadanya sakit.

CT scan? Belum sadarkan diri?

“Apa dia terluka di tempat lain selain di kepalanya?” Suara Mingyu nyaris tak terdengar.

=== Entahlah, Mingyu-ah. Aku tak tahu. Aku ....====

Tiba-tiba saja ia mendengar jisoo terisak.

=== Aku melihat darah di tasnya ... di bajunya. Darah .. dimana-mana. Ia mengeluarkan banyak darah, Mingyu-ah. Aku takut dia ... dia akan ....====

Suara Jisoo terbata-bata.

Phonsel di genggaman tangan mingyu meluncur ke lantai. Kedua lengannya terkulai lemas. Air matanya menitik.

Ia meratap.

Tidak.
Ini pasti salah.
Seseorang, bantu aku.
Tolong beritahu aku bahwa aku sedang bermimpi.


***

Bersambung...

Next part adalah part terakhir. Akhirnya akan selesai juga.  Yeeaaayyy....