~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Part 10 (End)
Tubuh Mingyu melorot di lantai kamar
mandi yang lembab. Phonselnya tergeletak begitu saja di antara dua kakinya.
Ia sesenggukan, putus asa. Ia ingin
berlari ke tempat Nana, tapi itu mustahil. Kereta yang ia naiki baru akan berhenti di stasiun
selanjutnya, dan itu paling cepat setengah jam kemudian. Setelah itu, jika
ingin kembali ke tempat Nana, maka cara tercepat ia harus naik taksi. Tapi
tetap saja, ia baru akan sampai di sana beberapa jam kemudian. Itupun kalau
jalannya lancar, tak ada macet.
Mingyu mengacak rambut-rambutnya
sendiri. Putus asa.
Ia sempat terkejut ketika phoselnya
kembali berdering. Segera ia menyambar benda tersebut dengan tak sabar.
“Jisoo-ah?” Ia menyapa panik. Hening
sesaat.
=== Mingyu-ah
... dia masih di ICU. Dia ... ===
Terdengar Jisoo terisak.
=== Kau
harus ke sini, Mingyu-ah! Bagaimanapun caranya, kau harus ke sini. Ini tak adil
untuk Nana. Ini tak adil baginya! ===
Suara Jisoo serak.
Mingyu menelan ludah.
=== Kembalilah.
Temui Nana. Kau berutang banyak padanya. Kau berutang air mata, penderitaan,
kesedihan, penjelasan dan ... waktu. === jawab Jisoo lagi.
Mingyu menggigit bibirnya keras. Air
matanya tak bisa berhenti mengalir.
=== Dengar
sobat ... kau mendapat kehormatan dariku. Aku merelakan Nana untukmu padahal
kau tahu bahwa dia satu-satunya wanita yang ku inginkan di dunia ini. Karena
itu ... karena itu ... jangan sia-siakan pengorbananku, idiot! === Jisoo
terdengar tak mampu mengontrol emosinya.
Bibir Mingyu bergetar.
“Aku akan kembali, Jisoo-ah. Aku pasti
kembali.” Ucapnya.
===
Kami menunggumu.===
“Aku akan berhenti di stasiun berikutnya
lalu ke sana dengan naik taksi. Paling cepat aku akan sampai di sana beberapa
jam lagi.”
===
Oke.===
Hening sesaat.
“Jisoo-ah...” Panggil Mingyu dengan
suara serak.
===
Ya? ===
“Jika terjadi sesuatu pada Nana ... Jika
hal terburuk menimpanya ... tolong jangan pernah memaafkanmu.” Jawab Mingyu.
Hening lagi.
=== Aku
memang tak berniat memaafkanmu jika hal buruk menimpa Nana, Mingyu-ah. ===
Jawab Jisoo.
Mingyu
manggut-manggut.
“Baguslah. Karena jika Nana pergi, aku
juga tak berencana hidup lagi.” Ia memutus pembicaraan.
Lelaki itu kembali menegakkan tubuhnya
lalu menyandarkan punggungnya ke dinding. Kepalanya menengadah hingga air mata
mengalir di pelipisnya.
---
Nana-ah ...
---
Jika ada orang yang mampu membuatku bertahan sampai saat ini
---
Kaulah orangnya.
---
Kenyataan bahwa kita masih berada di bawah langit yang sama
---
Membuatku kuat menghadapi semua cobaan hidup.
---
Karena itu ....
---
Kau harus bertahan.
---
Kau harus hidup
---
Aku akan menebus semua kesalahanku padamu.
---
Semuanya.
***
Mingyu sampai di stasiun berikutnya dan
segera mendapatkan taksi untuk membawanya kembali ke tempat Nana.
Pemuda itu menatap phonselnya sesaat
setelah taksi yang ia tumpangi berjalan.
Battery
low.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, sebelum
phonselnya mati, ia memutuskan untuk melakukan satu panggilan : ke nomor Nana.
Seperti yang sudah ia duga, phonsel Nana masih tidak aktif.
Ia diterima mesin penjawab. Dan dengan suara serak, ia berinisiatif meninggalkan
pesan suara di sana.
“Nana-ah ...” Panggilnya lirih. Air
matanya kembali menitik.
“Aku akan pulang menemuimu. Aku akan
kembali, padamu. Aku akan meninggalkan segalanya, meninggalkan Tokyo, untukmu. Hanya
kau yang paling penting. Hanya kau yang paling kuinginkan. Karena itu, bertahanlah.
Tunggu kedatanganku. Nde?”
Dan phonselnya mati.
***
Nana sudah sadarkan diri. Keningnya
memang menerima beberapa jahitan. Tapi cedera kepala yang ia alami tidak parah.
Ia bahkan sudah bisa duduk dan mengobrol dengan lancar dengan para dokter dan
suster.
Setelah ruangan sepi, ia kembali menatap phonselnya di atas meja.
Phonsel itu sudah menyala.
Ia juga sudah mengecek phonsel tersebut.
Ia sudah membaca beberapa pesan singkat yang masuk ketika ia tak sadarkan diri.
Ia juga sudah menerima pesan suara
tersebut.
Pesan suara dari Mingyu ...
Perempuan itu baru saja meletakkan
phonselnya kembali ke atas meja ketika ia mendengar derap langkah kaki yang
kemudian di susul dengan pintu kamarnya yang terbuka secara kasar dan ....
Mingyu muncul dari sana!
Ia mengenakan baju kasual dengan atasan
lengan pendek. Tangannya menenteng jaket, sementara tangan yang satunya
menenteng tas hitam yang seukuran tak ransel. Pemuda itu bermandikan peluh. Ia
menatap langsung ke arah Nana dengan nafas ngos-ngosan.
Keduanya berpandangan.
Sepi.
“Aku ... baik-baik saja.” Nana membuka suara.
Ia tersenyum kaku, mencoba memberitahu kepada lelaki yang berdiri di tengah
pintu tersebut untuk tidak khawatir lagi.
Mingyu menelan ludah. Perlahan ia
tersenyum, lalu tertawa terbahak-bahak.
Namun sekian detik kemudian ia menangis.
Tas dan jaket yang ia tenteng meluncur begitu saja. Pemuda itu ambruk. Ia menjatuhkan
lututnya ke lantai, melipat kedua tangannya di keramik yang lembab tersebut
kemudian menyembunyikan wajahnya di sana. Dan bahunya terguncang. Pemuda itu
terisak dengan hebat.
Nana melihat adegan itu dengan pilu. Air
matanya menitik. Perlahan ia menyingkap selimut yang menutupi kakinya, lalu
dengan tertatih-tatih ia turun dari tempat tidur dan mendekati Mingyu yang
masih terisak dengan hebat.
Dengan menahan nyeri di kening, ia duduk bersimpuh di dekat pemuda tersebut.
Ia mengulurkan tangan dan membelai
rambutnya dengan lembut, lalu meraih kepalanya ke pangkuannya. Dan
tangis pemuda itu kian menjadi-jadi. Ia menangis meraung-raung seperti anak
kecil, di pangkuan Nana.
“Aku sudah mendengar pesanmu. Aku
baik-baik saja... Aku menunggu kepulanganmu... Aku menepati janjiku ‘kan?” Nana
kembali membelai rambut Mingyu dengan lembut. Ia mencium puncak kepala lelaki
tersebut dan tangisnyapun ikut pecah.
---
Kim Mingyu ...
---
Sekarang aku sadar
---
Kau tidak melarikan diri
---
Kau tidak menghilang
---
Kau hanya jalan-jalan sebentar
---
Lalu tersesat ....
---
Kemudian kompasmu rusak
---
Tapi syukurlah
---
Kau menemukan jalan pulang
---
Kau kembali, padaku
---
Selama ini
---
Kau telah mengalami banyak hal
---
Kau pasti lelah, ya ‘kan?
---
Apa semua terlalu menyakitkan buatmu?
---
Apa semua terlalu berat untukmu?
---
Ssssttt....
---
Tenanglah
---
Semua baik-baik saja sekarang
---
Tak ada yang perlu dikhawatirkan
---
Tinggalah di sini, bersamaku
---
Dan beristirahatlah...
***
Nana menatap bayangannya di cermin.
Perempuan itu tak berhenti tersenyum. Beberapa hari setelah ia diijinkan pulang
dari Rumah Sakit, Mingyu kembali ke Tokyo. Bukan untuk selamanya. Ia kesana
untuk membereskan beberapa pekerjaan dan juga meminta maaf pada Yuri karena tak
bisa hadir di pemakaman ibunya.
Dan hari ini, tepat satu bulan setelah
Mingyu ke Tokyo, lelaki itu akan pulang ke sini, selamanya, sesuai janjinya. Ia
bahkan sudah membereskan beberapa hal demi bisa
melakukan semua pekerjaannya di sini.
“Ibu, aku berangkat dulu.” Ia berpamitan
pada ibunya yang tengah memasak di dapur. Ibunya tampak heran.
“Kau mau kemana, Nana-ah?”
“Ke stasiun.” Jawab Nana tanpa berhenti
tersenyum.
“Untuk apa?”
“Ibu lupa ya? Hari ini Mingyu kembali.
Dan aku berniat menjemputnya.”
Ibu Nana menatap jam di dinding sekilas.
“Tapi ini baru jam setengah lima pagi.
Bukankah keretanya baru akan datang jam 7?”
Nana tersenyum lagi.
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak ingin
terlambat menjemputnya saja.” Ia beranjak dengan lincah.
Dan benarlah, ketika ia sampai di
stasiun, tempat itu masih lengang. Kereta yang ditumpangi Mingyu memang baru
akan datang jam 7 nanti. Tapi ia tak keberatan menunggu.
Perempuan itu mematung di platform,
tepat di tepi rel kereta. Pandangannya menerawang ke arah ujung rel, tempat
datangnya kereta yang baru akan muncul sekitar 2 jam lagi.
Tiba-tiba ingatannya kembali pada
peristiwa beberapa tahun yang lalu.
Di stasiun inilah ia mengantarkan Mingyu
pertama kali ketika ia akan pindah ke Tokyo. Dan di sini pulalah ia nyaris
patah arang menanti ia kembali, tanpa kabar, selama bertahun-tahun.
Nana sempat berpikir bahwa segala kisah
cintanya dengan Mingyu telah berakhir di sini.
Tapi ternyata ia salah. Justru di
sinilah, segalanya di mulai.
Lamunan Nana buyar ketika ia merasakan
kehadiran seseorang di belakangnya. Aroma cologne yang amat familar. Sosok itu
mendekatinya, menyentuh pundaknya, menelusuri lengan tangannya yang terbuka
dengan gerakan perlahan, lalu tangan kekar itu menggenggam tangannya untuk
kemudian menautkan jemari mereka.
Tidak. Nana tidak perlu berbalik. Karena
ia tahu, siapa sosok yang tengah berdiri di belakangnya, yang sekarang tengah
menggenggam erat tangannya.
“Aku
kembali.” Ia berbisik lembut di dekat telinga Nana.
Suara itu adalah suara yang amat ia
kenal. Suara dari sosok manusia yang teramat ia rindukan. Yang teramat ia
cintai, sepenuh hati.
Nana tersenyum. Kedua matanya
berkaca-kaca.
“Selamat
datang kembali.” Jawabnya.
Ia memutar tubuh dan Mingyu sudah berdiri
dengan gagah di depannya. Pemuda itu tersenyum.
“Apa kau ke sini pagi-pagi buta begini
hanya untuk melamun?” Ia bertanya dengan disertai tawa kecil. Mata itu
berbinar-binar, begitu hidup.
“Aku menjemputmu.” Jawab Nana.
“Sepagi ini?”
Nana kembali mengangguk.
“Aku hanya tak ingin terlambat saja.
Lagipula, bukankah keretamu seharusnya datang jam 7?”
Kali ini Mingyu nyengir.
“Aku sengaja naik kereta dengan jadwal
lebih awal. Aku sudah ada di sini sejak setengah jam yang lalu. Aku tak mau
terlambat saja.” Jawabnya. Ia menarik tangan Nana, mendekatinya lalu mengecup
kening perempuan itu dengan lembut.
“Saranghae.” Bisiknya.
Nana tersenyum.
Dengan isak haru, ia menghambur ke arah
Mingyu dan memeluk pemuda itu erat.
***
Musim panas.
Mingyu dan Nana berjalan menyusuri
pantai dengan bergandengan tangan. Mereka sepakat menghabiskan sore di hari minggu yang cerah itu dengan
berjalan-jalan di sana.
“Kapan
Jisoo berangkat ke Amerika?” tanya Mingyu.
“Sudah dua minggu yang lalu.” Jawab Nana.
Mingyu manggut-manggut. Ia tahu bahwa
Jisoo memang memutuskan untuk menerima sebuah pekerjaan di Amerika. Sahabat
terbaiknya itu juga sudah bicara secara pribadi kepadanya untuk berpamitan.
Tapi ia tak bisa mengantar keberangkatannya karena waktu itu ia masih berada di
Jepang.
“Bagaimana dengan Yuri?” Nana ganti
bertanya.
“Baik-baik saja. Ia melanjutkan hidup
dan tetap bekerja di toko roti. Ia juga sudah mencari tempat tinggal sendiri.”
Jawab Mingyu.
Nana manggut-manggut. Keduanya terus
melangkah menikmati pasir putih yang sesekali disapu ombak tenang.
“Aku mencintaimu, Nana-ah.” Ucap Mingyu.
“Aku juga.” Jawab Nana.
“Aku mencintaimu.”
“Ya.”
“Aku mencintaimu.”
“O-ke...”
“Aku mencintaimu.”
“Hm...” Nana manggut-manggut.
“Aku mencintaimu.”
“Hari ini aku sudah mendengarmu
mengatakan kata-kata itu ratusan kali. Jadi cukup. Aku percaya. Oke.” Nana
menatap lelaki di sampingnya dengan sebal. Mingyu malah tertawa.
“Aku hanya ingin membayar waktu 5 tahun
yang telah kusia-siakan. Ibaratnya setiap hari aku ingin mengatakan ‘aku
mencintaimu’ sepuluh kali, dan seharusnya kata-kata itu selalu kuucapkan sejak
5 tahun yang lalu, jadi berapa kata yang sudah kulewatkan? Apa kita perlu
menghitungnya? Kau bawa kalkulator?”
Nana tergelak. Sebuah toyoran di terima
Mingyu di pundaknya. Lelaki itu ikut tertawa.
“Ada hal penting yang ingin ku katakan
padamu.” Ucap Mingyu. Langkah Nana terhenti tiba-tiba, begitu pula lelaki di
sampingnya.
“Apa lagi?” Nana menatap Mingyu dengan
penuh selidik dan was-was.
Mingyu tersenyum. Ia melepaskan pegangan
tangannya lalu mundur beberapa langkah. Lelaki itu menatap lurus ke mata Nana.
“Kim Nana...”
“Ya?” Jawab Nana dengan sedikit gugup.
“Aku mencintaimu.”
Nana tersenyum.
“Kau tahu bahwa hatiku adalah milikmu.
Sejak dulu. Tapi aku akan tetap mengatakan ini padamu, ratusan kali. Jadi,
maukah kau menerimanya lagi? Maukah kau menerima hatiku?” ucap Mingyu lagi.
Nana masih terus tersenyum.
“Hatimu terlalu berat. Bagaimana jika
aku tak mampu menerimanya?”
“Karena hati itu berharga, bukankah
memang sudah seharusnya berat?” ujar Mingyu sebal.
Nana tergelak. “Kau benar. Baik, akan
kuterima.” Jawabnya.
“Dan ... kau tahu bahwa aku tak punya
siapa-siapa lagi di dunia ini. Jadi ....”
Nana berubah takjub ketika tiba-tiba
Mingyu berlutut di hadapannya, lalu merogoh sesuatu dari saku celananya. Kedua
matanya segera berkaca-kaca ketika lelaki itu menyodorkan sebuah cincin emas
bermata emerald ke arahnya.
“Jadilah keluargaku, Nana-ah.” Ucapnya.
“Will
you be my family?”
Lanjutnya.
“Aku sudah bicara dengan keluarga ayahku
untuk menanggalkan nama Jepangku dan memutuskan untuk memakai kembali nama Kim
Mingyu. Jadi, jika kau mau jadi keluargaku, kau tak perlu berganti marga.
Karena toh marga kita sama. Kim Nana, aku suka namamu. Nama terbaik di dunia.”
Tanpa sadar, air mata Nana menitik, ia
terharu.
“Tapi aku tak bisa masak?” Suaranya
bergetar.
Mingyu menggeleng. “Tak masalah. Aku
pernah bekerja di rumah makan. Aku pernah hidup sendiri. Ketika ibuku sakit,
akulah yang memasak untuknya. Kelak, biar aku yang memasak untukmu.” Jawabnya.
“Beberapa bulan ini aku makin gendut.”
Ujar Nana lagi.
Mingyu mengangkat bahu cuek. “Aku tak suka perempuan
kurus.” Jawabnya. “Oke, apa lagi?” Kali ini ia bangkit, melangkah perlahan
mendekati perempuan di hadapannya.
“Setelah kecelakaan itu, aku cuti
terlalu lama. Mungkin aku akan dipecat dan ... aku akan jadi pengangguran.”
Ucap Nana lagi. Air matanya terus menitik.
“Setelah kita berkeluarga, aku ingin kau
di rumah. Mengantarkanku ketika aku berangkat kerja, dan menyambutku ketika aku
pulang ke rumah. Jadi, tak masalah jika kau tak punya pekerjaan.” Jawab Mingyu.
“Oh, ada lagi. Jika kau bersedia, ayo
kita buat keluarga besar. 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Karena itu,
kau memang sudah seharusnya di rumah saja mengurus mereka.” Lanjutnya.
Tawa Nana bercampur dengan tangis.
“Dan dokter bilang, jahitan di keningku
tidak akan bisa hilang.” Perempuan itu sesenggukan.
Mingyu memiringkan kepalanya dan
mengamati luka di kening Nanami.
“Luka itu seksi. Tak masalah juga.”
Jawab Mingyu. “Jadi ...”
Nana menatap lelaki dihadapannya dengan
perasaan haru luar biasa. Perlahan ia mengangguk.
“Iya, aku bersedia.” Jawabnya.
Mingyu tersenyum. Ia meraih tangan Nana,
lalu menyematkan cincin itu di jari manisnya. Dan tanpa mengatakan apapun, ia
merengkuh perempuan itu ke dekapannya lalu memeluknya. Erat.
Ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan
sebagai pembayaran atas tahun-tahun yang telah mereka lewatkan. Tapi untuk saat
ini, cukup seperti ini saja.
Ia berjanji, ia pasti akan segera
membayarnya, berkali lipat.
Ia
akan memberi Nana cinta, sebanyak yang ia minta.
Untuknya.
Hanya
untuknya.
“Aku
mencintaimu.” Mingyu kembali berbisik. Dan ia sadar, air matanya juga menitik.
Karena bahagia.
***
----------------
----------------
Kim Mingyu ....
Seseorang
mengatakan bahwa kenangan dibuat dengan memadukan berbagai fragmen dari apa
yang terjadi di masa lalu. Dan untuk sebagian orang, kenangan tak ubahnya
seperti ilusi.
Dulu aku juga
berpikir seperti itu.
Tapi kenyataan
bahwa sekarang kita berada di sini adalah bukti bahwa kita ... ada.
Ibarat sebuah
perjalanan...
Ada kalanya kita
tersesat.
Ada kalanya kita
salah jalan.
Apakah
seharusnya kita berhenti?
Atau memutar
arah?
Atau tetap
berjalan meski jalannya berbatu?
Pilihan apapun
yang kita ambil, itulah yang membawa kita pada kehidupan kita yang sekarang.
Kadang kita
salah, kadang kita benar.
Tapi, itulah
yang disebut kenangan.
Jejak kehidupan.
Kim Mingyu ...
Setelah apa yang
kita alami selama ini.
Sekarang aku
sadar.
Aku dilahirkan, untuk bertemu denganmu.
---------------
---------------
Kim
Nana ....
Maaf
karena aku tersesat.
Maaf
karena aku membutuhkan waktu yang lama
untuk menemukan jalan pulang.
Maaf
karena aku melewatkan banyak hal darimu.
Tapi
sekarang aku kembali.
Untukmu.
Dan
aku janji.
Aku
akan memberimu banyak cinta.
Sebanyak
yang kau minta.
Segalanya.
Karena
aku sadar.
Aku
dilahirkan, untuk bertemu denganmu.
Bokura
Ga Ita.
Kita,
ada.
----------------
----------------
*** Selesai ***
Yeeeaaayyyyy ........
Akhirnya selesai juga. Terima kasih bagi
yang sudah mengikuti kisah cinta mereka dari awal sampai akhir. Maaf kalau ada
yang tidak sesuai dengan manga aslinya. Semoga cerita yang saya sampaikan bisa
memberikan hiburan tersendiri ...
Salam cinta dari sang tokoh asli.
Yano Motoharu dan Nanami Takahashi.
~~ Wiwin.