~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
*** Jika ada orang yang tenggelam di
hadapanmu, entah itu sahabat, keluarga, atau kekasih, siapa yang akan kau
selamatkan?
Entah itu sahabat, keluarga atau
kekasih, selamatkanlah yang tidak bisa berenang. ***
Part 9
Mingyu
membuka pintu hanya untuk mendapati Yuri berdiri dengan kikuk di depan
apartemennya. Namja itu baru selesai
berkemas-kemas. Hari ini, ia
sudah memutuskan pindah ke sebuah apartemen yang lebih kecil dan lebih murah
dan tentu saja lebih dekat dengan restoran tempat ia bekerja.
“Untuk apa kau kemari?” Ia bertanya
dengan nada tak ramah ke arah perempuan berkaca mata tersebut.
“Aku, turut berduka cita atas apa yang
menimpa ibumu. Maaf, aku baru mengetahuinya.” Jawabnya, lirih.
“Pulanglah. Jangan datang kemari lagi karena
aku akan pergi.” Ucap Mingyu tetap dengan kalimat yang tak ramah. Ia berbalik,
masuk kembali ke rumahnya. Belum sempat ia menutup pintu, Yuri menyeruak masuk.
“Kau mau kemana?” Yeoja itu bertanya.
“Pindah.” Mingyu menjawab singkat.
“Kenapa?”
Mingyu kembali merapikan
barang-barangnya tanpa melihat ke arah Yuri.
“Sewa apartemen ini terlalu mahal. Aku
tak sanggup membayarnya.” Jawabnya.
“Lalu sekolahmu?”
“Aku berencana berhenti.” Jawab Mingyu
lagi.
Yuri mematung, menatap Namja yang terus
bicara tanpa menatap ke arah dirinya.
“Apa kau sangat membenciku, Mingyu-ssi?”
Yeoja itu bertanya, suaranya tak lagi lirih. Mingyu terdiam. Ia menegakkan
tubuhnya lalu berbalik dan menatap Yuri.
“Kau sudah tahu jawabannya.” Ucapnya
tegas. Kedua mata Yuri berkaca-kaca.
“Bencilah, kalau kau ingin benci. Tapi
fakta bahwa kita pernah melakukan sesuatu yang istimewa, kau takkan bisa
menyangkalnya.”
“Itu sebuah kesalahan! Apa yang terjadi
di antara kita adalah sebuah kesalahan! Jangan pernah mengungkitnya lagi!
Brengsek!” Mingyu berteriak. Ia menendang sebuah kardus di depannya dengan
kesal. Bibir Yuri bergetar.
Hening.
“Apakah kau tidak punya perasaan padaku,
sedikit saja? Walau hanya sedikit saja?” Yuri menatap lurus ke arah Mingyu.
Namja itu juga membalasnya. Lagi-lagi Ia menggeleng.
“Tidak. Maaf.” Jawabnya.
Air mata Yuri menitik.
“Ada sebuah rahasia yang ingin
kuceritakan padamu.” Suara Yuri terdengar bergetar.
Mingyu mengernyit. “Apa?”
Yeoja di hadapannya menelan ludah.
“Ketika kakakku meninggal, dia tidak
mengkhianatimu.” Ucapnya.
“Selama menjadi pacarmu, kak Nana memang
punya banyak pacar gelap. Tapi pada
waktu itu, hari ketika dia mengalami kecelakaan dan meninggal, dia tidak
mengkhianatimu. Lelaki yang bersamanya waktu itu bukan selingkuhannya, tapi
pacar temannya. Dia minta tolong pada kak Nana untuk menemaninya membeli kado.”
Mingyu mematung.
“Bagaimana kau tahu?” Ia mendesis.
“Karena waktu itu aku juga bersama
mereka. Tapi aku tidak ikut mereka berbelanja melainkan turun di tempat les.
Jika saja aku ikut mereka, bisa dipastikan, aku pasti juga meninggal bersamaan
dengan kak Nana.” Jawab Yuri.
“Kenapa kau baru menceritakan ini
padaku?” Tatapan Mingyu tampak kosong.
“Karena aku mencintaimu. Kupikir dengan
kepergian kakakku, kau bisa memberikan sedikit saja perhatianmu kepadaku. Tapi
ternyata aku salah.” Air mata Yuri kembali menitik.
“Lepas dari kakakku, kau malah jatuh
cinta dengan Kim Nana.” Ia mundur beberapa langkah.
Yeoja itu menggeleng dengan putus asa.
“Aku menyerah, Mingyu-ssi. Aku tak bisa
lagi hidup seperti ini. Selamat tinggal.”
Dan
semua terjadi begitu cepat. Tiba-tiba saja Yuri mengeluarkan sebuah gunting
dari tas nya lalu mengarahkan ujung gunting sepanjang 10 cm itu ke lehernya
sendiri. Mingyu membelalak.
“Tidaaakkk!!!”
***
--------------------------
--------------------------
Kim
Mingyu ...
Aku
Kim Nana.
Yang
selalu mencintaimu ...
Masihkah
kau ingat padaku?
5
tahun telah berlalu ....
Tapi
aku tak pernah berhenti berdoa pada Tuhan
Dimanapun
kau berada, dengan siapapun kau saat ini, semoga kau selalu hidup bahagia ....
Itulah doaku.
--------------------------
--------------------------
***
Stasiun
ramai oleh orang yang berlalu lalang berikut kereta yang datang dan berangkat
sesuai jadwal. Nana hanya duduk mematung di salah satu kursi tunggu. Perempuan
yang mengenakan pakaian kantor itu sudah berada di sana selama hampir satu jam.
Ia sudah memutuskan, ini akan menjadi
yang terakhir kalinya.
Ya,
ini akan menjadi terakhir kalinya ia berkunjung ke stasiun untuk menunggu
Mingyu. Ia memutuskan untuk tidak melakukannya lagi. Jisoo bilang, Mingyu sudah
memilih jalannya sendiri, dan Nana akan merelakannya.
Ia
akan merelakannya.
Saatnya
mengucapkan selamat tinggal ...
***
Nana tiba di apartemennya pukul
11 malam. Perempuan itu segera takjub ketika menemui sebuah candle light dinner telah tertata dengan
manis di meja makannya, sementara Jisoo berdiri di samping meja dan menyilakan
perempuan itu dengan senyumnya yang hangat.
Selama ini Jisoo memang sering
berkunjung ke apartemen Nana. Ia bahkan punya kunci duplikatnya. Selain itu,
hubungan mereka juga semakin membaik. Membaik tidak dalam artian mereka pacaran.
Tapi tak bisa dipungkiri, Jisoo adalah satu-satunya lelaki yang bertahun-tahun
ini dekat dengan Nana. Begitu pula sebaliknya.
“Selamat
datang.” Lelaki itu menyapa. Nana tergelak.
“Kau yang menyiapkannya?” Ia bertanya
dengan wajah berseri. Jisoo mengangguk.
“Surprise. Anggap saja ini perayaan
karena hari ini kau resmi naik jabatan di kantor.” Ia menjawab. Nana tersenyum.
“Gomawo,
Jisoo-ah. Ngomong-ngomong, aku hanya menjadi asisten manajer. Tak perlu
dirayakan semewah ini.” Ucapnya.
“Apapun itu harus dirayakan. Itu sebagai
pertanda bahwa kita bersyukur dengan anugerah dari yang maha kuasa. Oke?”
Jisoo menatap Nana dengan lembut. Ia
menarik salah satu kursi lalu membimbing Nana untuk duduk di sana. Sementara ia
sendiri duduk di seberang meja.
“Kau yang terbaik, jisoo-ah.”
“Gomawo.”
Mereka
melewati acara makan malam dengan disertai obrolan tentang kegiatan mereka
masing-masing di tempat kerjanya. Nana menceritakan tentang proses dipilihnya
dia menjadi asisten manajer. Sementara Jisoo bercerita bahwa minggu ini ia
berhasil menjual 5 apartemen mewah kepada beberapa artis ternama. Dan bonus
yang ia terima, tentu saja luar biasa.
Setelah
acara makan malam selesai dan mereka melakukan aktivitas cuci piring
bersama-sama, mereka menghabiskan malam yang tersisa dengan duduk-duduk di
balkon. Angin malam berdesir menerpa untaian rambut Nana ketika Jisoo berdehem.
“Apakah aku belum bisa memenangkan
hatimu, Nana-ah?” Ia bertanya seraya menatap perempuan di sampingnya. Nana
menoleh dan balas menatap Jisoo.
Ini untuk kesekian kalinya Jisoo
menyatakan cinta padanya. Dan mungkin akan menjadi kesekian kalinya ia menjawab
dengan jawaban yang sama.
“Kau sudah tahu siapa yang telah memenangkan
seluruh hatiku, Jisoo-ah. Bahkan jika ia tak berada di sampingku, selamanya, perasaanku
padanya tak pernah berubah.” Jawabnya.
Jisoo
tersenyum kecut seraya manggut-manggut.
“Aku tahu. Apapun yang telah Mingyu
lakukan padamu, bahkan jika ia meninggalkanmu, mengkhianatimu, perasaanmu
padanya takkan pernah berubah. Ya ‘kan?”
Kali ini Nana yang tersenyum getir.
“Maafkan aku, Jisoo-ah. Aku tahu kamu
lelaki yang baik. Tapi, sudah saatnya aku memikul sendiri bebanku, kesedihanku.
Kau harus terus melanjutkan hidup dan menemukan orang yang cocok untukmu.
Percayalah, kau akan menemukan orang yang lebih baik dariku.” Jawabnya.
“Dan kau harus percaya padaku, bahkan
jika kau menolakku berkali-kali, perasaanku padamu juga takkan berubah. Sama
seperti apa yang kau rasakan pada Mingyu.” Jawab Jisoo. Keduanya terdiam.
“Aku ada sesuatu untukmu.” Mingyu
merogoh sesuatu dari saku jasnya. Ia mengeluarkan selembar kertas lalu
menyodorkannya ke arah Nana.
“Apa ini?” Tanya Nana.
“Alamat Mingyu.” Jawab Jisoo. Tubuh Nana
membeku seketika.
“Maaf, selama ini tanpa sepengetahuanmu,
aku terus berusaha mencari keberadaan Mingyu atas bantuan Leo. Kau ingat ‘kan
dia bekerja sebagai detektif swasta? Aku tidak melakukannya untukmu Nana-ah.
Aku melakukannya untukku sendiri. Aku hanya ingin tahu saja pilihan hidup
seperti apa yang telah diambil oleh Mingyu sehingga ia tega meninggalkan
kekasih, teman-temannya, dan juga semua kenangannya di kota ini. Dia berutang
banyak penjelasan padaku. Padaku,
sahabat masa kecilnya, sahabat terbaiknya.” Jelasnya.
Nana tetap mematung. Jisoo meraih
tangannya lalu meletakkan lembaran kertas itu di genggaman tangannya. “Lihatlah
dulu.” Ucapnya.
Nana menatap lembaran kertas di
tangannya kemudian dengan tangan gemetar, ia membuka lipatannya lalu membaca
deretan kalimat yang tertera di sana.
“Yano Nagakura?” Ia mengernyit sambil
menatap Jisoo. Namja itu mengangguk.
“Dia bukan lagi Kim Mingyu, tapi Yano
Nagakura. Aku tidak tahu alasannya kenapa dia berganti nama. Itulah yang akan
kucari tahu selanjutnya. Mau menemuinya bersama-sama?” Jisoo menawarkan.
Nana terdiam. Perlahan ia menggeleng
lalu menyerahkan kembali kertas tersebut ke arah Jisoo.
“Aku takkan menemuinya, Jisoo-ah. Tidak
akan. Dia pasti punya alasan sendiri untuk menghilang. Dan aku takkan mencari
tahu apa alasannya tersebut. Yang terpenting adalah, dia baik-baik saja.” Bibir
Nana bergetar. Jisoo tahu bahwa perempuan itu sedang menahan tangis.
Pemuda
itu beranjak, meraih kepala Nana, lalu membenamkannya ke pelukannya.
“Tak apa-apa. Menangislah kalau kau
ingin menangis. Luapkan semua emosimu. Aku ada di sini untukmu.” Bisiknya. Dan
tak butuh waktu lama hingga akhirnya tangis Nana benar-benar pecah. Bahu
perempuan itu terguncang dan ia terisak di pelukan Jisoo.
***
Yano Nagakura.
Jisoo
menatap ke arah papan nama di samping pintu lalu ke arah kertas di tangannya
secara bergantian. Setelah memastikan ia berada di alamat yang benar, ia
menekan bel. Ia hanya perlu memencet bel satu kali karena setelah itu pintu
perlahan terbuka dan ... sesosok perempuan muncul dari sana. Jisoo terkesiap.
Sosok perempuan itu adalah sosok yang ia
kenal!
“Yuri?” Ia mendesis tak percaya. Yuri
juga tampak mengalami keterjutan yang sama.
“Jisoo-ssi?” Ia memanggil lirih.
Keduanya berpandangan beberapa saat sebelum akhirnya Yuri menyilakan Jisoo
masuk.
***
“Jadi
selama ini kau dan Mingyu tinggal bersama?” Tanya Jisoo langsung. Yuri tak
menjawab. Ia meletakkan secangkir teh ke atas meja, tepat di depan Jisoo.
“Silahkan.” Ucapnya.
“Sudah berapa lama kalian tinggal
bersama?” Jisoo kembali bertanya. Yuri berdiri mematung tanpa menjawab.
“Apa kalian menikah? Atau kalian hanya
tidur bersama?” Jisoo bertanya tak sabar tanpa membuang pandangannya dari
perempuan tersebut.
“Apa kau ke sini hanya untuk
menginterogasiku?” tanya Yuri getir.
“Ya.” Jisoo menjawab cepat. Lelaki itu
menatap Yuri dengan amarah yang nyaris meluap-luap.
“Aku hanya tak mengerti, kenapa harus
kau?! Mingyu meninggalkan segalanya, kekasihnya, teman-temannya,
kenangan-kenangannya, demi ... kau?! Kenapa harus kau?!”Jisoo menyambar cangkir
di meja dan ... prankkk! Cangkir itu meluncur ke lantai dan hancur berkeping-keping.
Yuri tersentak kaget. Jisoo menyisir rambutnya dengan frustasi. Hening sesaat.
“Maaf, aku hanya terlalu emosi.” Ucapnya
kemudian. Tanpa berkata-kata Yuri beranjak, merapikan cangkir yang hancur
berantakan di lantai, lalu membawanya ke dapur. Dan beberapa saat kemudian ia
kembali dengan membawa cangkir baru – masih berisi teh.
“Silahkan.” Ia kembali menyilakan. Jisoo
terdiam kemudian menarik nafas panjang. Ia menatap perempuan di hadapannya
dengan tatapan tak mengerti.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Ia
kembali bertanya. Yuri balas menatap lelaki tersebut.
“Kami memang tinggal bertanya. Tapi dia
hanya menganggapku kerabat.” Jawabnya. “Dia tidak memilihku, Jisoo-ssi. Dia
hanya berusaha menyelamatkanku.” Lanjutnya.
Ia menarik nafas dalam, lalu kembali
berkata-kata.
“Beberapa tahun yang lalu, aku nyaris
mengakhiri hidupku sendiri. Aku hanya merasa frustasi, putus asa. Aku datang ke
Tokyo tanpa bekal apa-apa. Aku terlalu nekat. Segalanya berjalan tak sesuai
rencana. Rumit. Aku kesulitan keuangan, dan tiba-tiba saja ibuku koma karena
terkena stroke. Belum lagi, aku menerima kebencian mendalam dari Mingyu. Aku
putus asa. Aku berniat bunuh diri.” Kedua mata Yuri berkaca-kaca.
“Tapi kemudian Mingyu menyelamatkanku. Dia
mengijinkanku menumpang di apartemennya. Ia juga banting tulang membantu
pengobatan ibuku. Ia bahkan bersedia diadopsi keluarga ayahnya demi bisa
membayar semua biaya rumah sakit karena kau tahu sendiri ‘kan, biaya rumah sakit
sangat mahal. Belum lagi Mingyu masih harus melanjutkan sekolahnya. Sementara
gajiku bekerja di toko roti, tidak seberapa.” Lanjutnya.
“Ayah kandung Mingyu orang Jepang?”
tanya Jisoo. Yuri mengangguk.
“Itukah sebabnya ia berganti nama
menjadi Yano Nagakura?”
Yuri kembali mengangguk.
“Nagakura, itu nama keluarga ayah
kandungnya. Dan Yano, itu nama jepangnya.” Jawab Yuri.
“Lalu ibumu?”
“Dia masih koma. Ia sudah koma selama 4
tahun. Aku sempat menyerah dan meminta dokter mencabut semua alat bantu di
tubuhnya agar ia bisa pergi dengan tenang. Tapi Mingyu melarang. Dia bilang,
bisa hidup adalah anugerah. Maka kita tak boleh membuang kesempatan itu.”
Jawabnya.
Jisoo terdiam.
“Mingyu mengalami trauma dengan apa yang
menimpa ibunya dan kakakku. Mereka meninggal meskipun Mingyu sudah berusaha
melindungi mereka. Itulah sebabnya ia memilih untuk tidak mengabaikan aku dan
ibuku, karena ia tak ingin mengalami penyesalan yang sama seperti yang ia alami
ketika ia kehilangan ibunya dan juga kakakku.” Air mata Yuri menitik, tapi ia
segera menghapusnya.
“Sekarang dimana Mingyu berada?”
“Ia bekerja di salah satu perusahaan
ayahnya sebagai asisten grafis. Jangan membayangkan ia menjadi pangeran muda
dengan gelimpangan harta peninggalan ayahnya. Ia masih pemuda yang sama.
Sederhana dan bersahaja. Ia memang menyandang nama keluarga ayahnya, tapi
secara finansial, ia hidup dengan gajinya sendiri.” Perempuan itu kembali
menjelaskan.
Jisoo bangkit. “Berikan aku alamatnya. Aku
akan menemuinya.” Ujarnya.
***
Mingyu
menatap Jisoo yang berdiri termangu tepat di depan gedung tempat ia bekerja. Ia
mengerutkan keningnya, lalu merapatkan jaketnya untuk selanjutnya melangkah
menghampiri sahabatnya yang saat ini tengah menatap nanar ke arahnya.
“Yano Nagakura?” Jisoo menyapa terlebih
dahulu, dengan nada datar.
Mingyu hanya tersenyum lelah. Ia
menggeleng.
“Tidak. Kau tetap bisa memanggilku
Mingyu. Kim Mingyu.” Jawabnya.
“Kaget karena aku berhasil menemukanmu?”
Kali ini kalimat Jisoo terdengar sinis. Mingyu tersenyum.
“Bagaimana kabarmu, Jisoo-ah? Kau
terlihat makin dewasa dengan stelan jas itu. Kau menjadi pekerja kantoran
sekarang?” Ia balas menyapa dengan pertanyaan. Jisoo terkekeh hambar tanpa
mengalihkan pandangannya dari Mingyu.
“Dan kau masih saja seperti dulu,
Mingyu-ah. Arogan dan menyebalkan. Tapi syukurlah kau baik-baik saja.” Jawabnya.
“Kau juga terlihat sehat. Dan aku senang
melihatnya. Ingin berkunjung ke rumahku?”
Jisoo tersenyum sinis.
“Aku sudah dari sana.” Jawabnya pendek.
Mingyu
tampak tertegun. Mereka berpandangan.
“Mingyu-ah, kenapa harus Yuri?” Tanya
Jisoo dengan suara parau.
“Kenapa kau lebih memilih dia daripada
Nana? Kenapa kau lebih memilih menolong Yuri dan ibunya lalu mengabaikan Nana?”
Laki-laki itu nyaris berteriak.
Mingyu menelan ludah. Ia terdiam sesaat.
“Jisoo-ah, jika ada orang yang tenggelam
di hadapanmu, siapa yang akan kau tolong?” suaranya terdengar lelah.
“Apa maksudmu?” Jisoo bertanya bingung.
Mingyu memasukkan tangannya ke saku
jaket lalu menarik nafas panjang.
Pemuda itu duduk di salah satu kursi di
taman gedung tersebut sebelum akhirnya kembali berkata-kata.
“Jika ada orang yang tenggelam di
hadapanmu, entah itu teman, keluarga, atau kekasih, maka aku akan menyelamatkan
orang yang tidak bisa berenang.” Ucapnya.
Jisoo tak melepaskan tatapannya dari
pemuda tersebut.
“Itulah yang terjadi antara aku, Yuri,
ibunya dan juga ... Nana. Yuri datang ke Tokyo mengikutiku tanpa bekal apa-apa.
Ia terpuruk. Ia mengalami masa-masa sulit. Terlebih lagi ketika ibunya jatuh
sakit dan mengalami koma. Ia tak punya siapa-siapa tempat ia bersandar dan meminta
pertolongan. Dan itulah yang akhirnya kulakukan padanya. Aku berusaha
menyelamatkannya, agar ia tak tenggelam.” Suara Mingyu getir.
“Dan .. Nana?” Jisoo bertanya tak
mengerti.
Mingyu kembali menarik nafas panjang.
“Kim Nana, kekasihku, aku mencintainya.
Dengan sepenuh hatiku. Tapi aku tahu dia perempuan yang kuat, ia tegar. Sebesar
apapun cobaan yang ia hadapi, ia takkan runtuh. Terlebih lagi karena ia
dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Keluarganya, sahabat-sahabatnya,
dan juga kau. Itulah yang mendasari diriku untuk mengambil keputusan itu.”
ucapnya.
“Menolong Yuri dan ibunya lalu
mengabaikan Nana?”
Mingyu mengangguk pelan. Ia menunduk
dengan lemah.
“Aku memang bersalah, Jisoo-ah. Aku
mengabaikannya, aku menghilang darinya. Tapi aku yakin bahwa Nana akan
baik-baik saja. Ia akan melewati semua ini. Karena dia adalah perempuan yang
kuat.” Ucapnya lagi.
Jisoo tertawa sinis. Ia beranjak.
Menarik kerah baju Mingyu, lalu mendaratkan sebuah pukulan telak ke wajahnya.
Mingyu jatuh terjengkang. Ia tak
berusaha membalas pukulan Jisoo. Lelaki itu hanya terduduk letih seraya
menghapus darah yang mulai keluar dari bibirnya yang robek. Ia merasa pantas
menerima pukulan tersebut. Bahkan lebih.
“Kau ingin tahu siapa yang tenggelam, hah?!!”
Jisoo berteriak.
“Kau ingin tahu siapa yang tenggelam??! NANA-LAH ORANGNYA!!!” Namja itu kembali berteriak
marah.
“Nana-lah yang tenggelam! Bukan Yuri!
Bukan ibunya! Kau tak tahu kesedihan yang ia alami sejak kau menghilang! Kau
tak tahu seberapa banyak air mata yang telah ia keluarkan karena dirimu!” Kedua
mata Jisoo berkaca-kaca. Ia terduduk lemas di samping Mingyu.
“Setiap malam, setiap malam, Mingyu-ah. Setiap malam ia menangisimu, mendoakanmu.”
Suaranya meratap.
“Awal kau menghilang, ketika Nana
menyusulmu ke Tokyo tapi harus pulang dengan perasaan hampa karena tak berhasil
menemukanmu, ia mengalami depresi. Dokter bilang, dia mengalami gangguan
kepanikan. Terkadang ia kesulitan bernafas ketika batinnya tertekan. Ia tak
bisa naik kereta, ia tak bisa naik pesawat. Atau ia akan muntah, bahkan ketika
di perutnya tak ada lagi yang bisa dimuntahkan. Dia hampir menyerah, Mingyu-ah.
Dia hampir menyerah.” Kristal-kristal bening mengumpul di sudut mata Jisoo.
Mingyu menatapnya dengan mata terbelalak.
Jisoo mengangguk.
“Karena kau. Kaulah penyebab sehingga ia
harus keluar masuk rumah sakit untuk menjalani pengobatannya.” Lanjutnya.
Kedua bahu Mingyu luruh. Ia bersandar di
kursi dengan lemah.
“Sekarang Nana memang sudah membaik.
Gangguan itu sudah jauh berkurang dari beberapa tahun yang lalu. Seperti yang
kau bilang, Nana gadis yang kuat, ia tegar. Ia bisa bangkit melewati masa-masa
sulitnya. Tapi kenyataan itu akan terus menghantuinya. Kau, orang yang telah membiarkan ia tenggelam.” Tatapan Jisoo lurus
ke arah Mingyu hingga membuat lelaki itu diam mematung tak berdaya.
***
Nana
nyaris menjatuhkan map-map yang ada di dekapannya ketika sosok itu seolah
secara ajaib muncul di hadapannya. Ia berdiri di seberang jalan, menatap lurus
ke arahnya, tersenyum lalu melambaikan tangan. Tenggorokan Nana tercekat. Ingin ia
menjatuhkan map-map di tangannya lalu berlari, menyeberang jalan untuk kemudian
menghambur ke arah sosok itu. Sosok yang menghilang sejak 5 tahun lalu, sosok
yang kini terlihat lebih dewasa dan ... baik-baik saja.
“Mingyu...” Nana mendesis lirih.
Mingyu terus tersenyum seraya
melenggang, menyeberangi jalan, kemudian melangkah mendekati Nana yang masih
berdiri mematung.
“Annyeong.” Mingyu menyapa
seraya melambaikan tangannya.
“Mau makan bolu kukus bersama-sama?” Ia
kembali berujar dengan nada biasa, seolah mereka seperti dua orang manusia yang
setiap hari bertemu. Nana menelan ludah. Perlahan ia bergerak, mendekati Mingyu
dan ... Plakkk! Ia menampar pipi lelaki itu.
Mingyu meringis sesaat seraya memegangi
pipinya.
“Whoa, lama tak ketemu kau makin kuat,
Nana-ah.” Sindir Mingyu seraya terkekeh sinis. Nana menatapnya dengan marah.
“Itu untuk tahun-tahun yang kulewatkan
tanpa dirimu, untuk tahun-tahun setelah kau meninggalkan aku tanpa kabar!” Ia
berteriak.
Mingyu menggigit bibir. Ia
manggut-manggut. “Mian.” Ucapnya, lirih.
“Sekarang, bisa kita makan bolu kukus
bersama-sama?”
Air mata Nana menitik, tapi perlahan ia
mengangguk.
Mingyu menggenggam tangan Nana dan
mereka berjalan menyusuri trotoar menuju toko roti, tempat dijualnya bolu kukus
favorit Mingyu. Mereka sering jajan di sana ketika masih duduk di bangku SMA.
Setelah kenyang dengan bolu kukus,
mereka berjalan-jalan di taman. Mereka duduk-duduk di sana sembari mengobrol
hal biasa.
“Aku tak perlu menanyakan kabarmu karena
kau terlihat baik-baik saja.” Ucap Nana. Mingyu tertawa.
“Dan aku juga tak perlu menanyakan
kabarmu karena kau terlihat baik-baik saja dan ... makin cantik.” Jawab Mingyu.
Nana tersenyum. “Terima kasih.” Jawabnya.
“Tapi kau benar-benar berbeda. Lihatlah,
Nana dengan rok pendek, blouse, dan ... sepatu heel. Woa, keren.” Ucap Mingyu
lagi hingga membuat Nana tertawa.
“Apa yang membuatmu datang kembali ke
Korea?” tanya Nana kemudian.
Mingyu menatapnya. Karena kau, ucapnya dalam hati.
“Ada pekerjaan yang harus ku selesaikan
di sini. Nanti malam aku sudah harus pulang kembali ke Tokyo.” Jawabnya. Nana
manggut-manggut.
“Pulang.”
Ia mendesis. “Sekarang kau menggunakan kata ‘pulang’ untuk Tokyo. Berarti
rumahmu memang di sana ‘kan?”
Mingyu hanya tersenyum kecut. Keduanya
terdiam sesaat.
“Aku sudah dengar semuanya dari jisoo.
Tentang kau, Yuri dan ibunya yang sakit.” Ucap Nana tanpa menatap ke arah
Mingyu. Lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Ia menerawang ke langit yang
mulai gelap.
“Apa ibunya bisa disembuhkan?”
Mingyu menggeleng.
“Dokter bilang, tak ada harapan. Kami
hanya tinggal menunggu waktu sampai ia bisa pergi dengan tenang.” Jawabnya.
“Aku turut sedih.”
“Terima kasih.” Jawab Mingyu.
Hening lagi.
“Setelah mendengar alasanmu pergi, meninggalkanku,
tanpa kabar. Sekarang aku tak marah lagi padamu, Mingyu-ah. Kau tak perlu lagi
merasa bersalah padaku. Aku lega kau baik-baik saja dan ... aku memaafkanmu.”
Ucap Nana lagi.
Mingyu merasakan dadanya sesak. Tadinya
ia kesini untuk berbicara langsung pada Nana, meminta maaf padanya, tapi ia
bahkan tak mampu berucap apa-apa.
Dan sekarang, justru Nana-lah yang
dengan lapang hati memaafkannya.
Oh, betapa ia adalah lelaki brengsek tak
tahu diri. Ia merutuki diri sendiri.
“Aku harus pulang.” Nana bangkit.
“Terima kasih hari ini kau sudah mengajakku jalan-jalan.” Ia menatap Mingyu
dengan lembut.
“Nana-ah, aku ....”
Nana menggeleng.
“Tidak, Mingyu-ah. Jangan katakan
apa-apa lagi. Biarlah seperti ini. Kau tak perlu menjelaskan apa-apa lagi
padaku. Sudah cukup, aku sudah tahu semuanya. Dan ... aku merelakanmu. Hiduplah
dengan baik dan bahagia. Dengan siapapun kau saat ini.” Kalimat Nana parau.
Mingyu bangkit. Ia menyentuh pipi Nana
dengan jemarinya, lalu menyelipkan untaian rambutnya yang tertiup angin ke
belakang telinganya. Pemuda itu menelan ludah. Perlahan ia merapikan jaket dan
juga syal Nana.
“Jangan sampai kedinginan.” Ucapnya
lirih. Nana mengangguk. Yano mendekatinya, menempelkan keningnya pada kening
Nana. Air matanya menitik.
“Pulanglah. Teruslah melangkah, jangan
menoleh lagi ke belakang. Tinggalkan aku, lupakan aku.” Bisiknya. Nana
mengangguk. Air matanya juga menitik.
“Gwaencana. Aku baik-baik saja,
Mingyu-ah. Aku akan baik-baik saja, percayalah padaku.” Balasnya. Lirih.
Lalu perempuan itu berbalik, terus
melangkah meninggalkan Mingyu, tanpa menoleh kembali ke arah lelaki tersebut.
Mingyu menatap kepergian perempuan itu
dengan berlinang air mata. Hatinya hancur, lagi.
Pemuda itu menghempaskan tubuhnya
kembali ke bangku taman. Rasanya kebas. Tak bertenaga.
Ia membiarkan dirinya larut dalam
kesedihan di taman tersebut. Sesenggukan, menangis sendirian. Selama beberapa
saat.
Ia baru saja selesai menghimpun seluruh
tenaganya kembali ketika phonselnya berdering.
“Yoeboseyo.” Ucapnya setelah menekan
tombol ‘oke’. Terdengar suara perempuan dari seberang sana, menangis.
“Yuri?”
“Mingyu-ssi,
ibuku ... meninggal.”
***
Kereta yang ditumpangi Mingyu baru saja
berjalan meninggalkan stasiun sekitar beberapa menit yang lalu. Ia memutuskan
untuk kembali ke Tokyo. Kereta itu akan membawanya ke bandara, dan selanjutnya
ia akan terbang ke Jepang.
Namun pemuda itu duduk dengan gusar. Ia
menimang-nimang phonsel di tangannya dengan tangan gemetar. Tidak, ia tidak
gusar karena ingin menelpon Yuri. Sebaliknya, ia gusar karena ingin menelpon
Nana.
Ia ingin menelpon perempuan tersebut dan
memberitahunya bahwa ia sedang dalam perjalanan kembali ke Tokyo sekaligus ia
ingin memberi tahu bahwa ibu Yuri telah meninggal.
Tapi, ia bingung. Setidaknya ia ingin
menelpon untuk berpamitan. Tapi, ia ragu.
Apa Nana akan menjawab telponnya? Apa
yang akan dikatakan perempuan itu jika ia tahu ia sedang dalam perjalanan
kembali ke Jepang? Demi Yuri?
“Kau baik-baik saja?” Seorang penumpang
yang duduk di samping Mingyu bertanya dengan cemas.
Mingyu tersenyum kaku. “Saya baik-baik
saja. Hanya ... gugup.” Jawabnya. Perempuan itu manggut-manggut.
Mingyu kembali menatap ke arah phonselnya.
Dan akhirnya ia memutuskan, ia akan menelpon Nana untuk berpamitan.
Mingyu sudah melakukan panggilan
sebanyak 3 kali, dan tetap tak ada jawaban. Barulah di panggilan yang ke-empat,
ia mendengar suara perempuan itu dari seberang sana.
===
Yoeboseyo,===
“Yoeboseyo, Nana-ah. Ini ... Mingyu.”
Hening sesaat.
===
Mingyu-ah, ada apa? ===
“Aku sedang dalam perjalanan ke bandara.
Aku akan segera kembali ke Jepang. Maaf, aku tidak bisa berpamitan secara
langsung padamu. Ibu Yuri meninggal. Jadi aku buru-buru.” Jawab Mingyu.
===
Ibu Yuri meninggal? Aku ikut berbela sungkawa. ===
“Terima kasih.”
Hening lagi.
“Kau sedang sibuk?”
===
Tidak. Aku sedang dalam perjalanan pulang. Aku sedang bersiap-siap memanggil
taksi. ====
Keduanya kembali sama-sama terdiam.
“Nana-ah, aku tahu hubungan kita tidak
akan pernah seperti dulu. Tapi ....”
===
Mingyu-ah, aku ..... ====
Tiba-tiba Mingyu mendengar suara ban
berdecit yang kemudian di susul dengan bunyi berdebum yang amat keras. Seperti
sesuatu yang bertabrakan.
Tut .... tut .... tut ....
Pembicaraan antara dia dan Nana
terputus. Mingyu merasakan dadanya berdebar. Tiba-tiba saja ia merasakan
ketakutan luar biasa menghinggapinya. Ia berusaha melakukan penggilan kembali,
berulang-ulang. Tapi nihil. Phonsel Nana tak aktif.
Ada
apa denganmu, Nana?
Teriaknya dalam hati. Setelah gagal menelpon phonsel Nana, Mingyu memutuskan
untuk menelpon Jisoo.
===
Yoeboseyo.===
“Yoeboseyo. Jisoo-ah, aku Mingyu. Bisa
kau hubungi Nana. Beberapa menit yang lalu aku bicara dengannya di telepon.
Tapi kemudian pembicaraan kami terputus. Tolong cari tahu apa sesuatu menimpa
dirinya. Aku cemas.”
=== Dimana
kau sekarang? ===
“Aku sedang berada di kereta, dalam
perjalanan ke bandara.”
===
Oke. Aku akan menemuinya. ===
“Jisoo-ah?”
=== Ya?
===
“Beritahu aku kalau dia baik-baik saja.”
===
Oke.===
Dan pembicaraan di antara mereka
terputus.
***
Mingyu kembali menimang-nimang
phonselnya dengan gusar. Pembicaraannya dengan Jisoo berlangsung sekitar 1 jam
yang lalu. Dan sampai detik ini ia belum menerima kabar tentang keadaan Nana.
“Apa kau sakit?” Perempuan di samping
Mingyu kembali bertanya. Mingyu menggigit bibirnya bingung.
“Saya hanya gugup. Saya baik-baik saja.”
Jawabnya. Karena tak sabar, akhirnya ia memutuskan untuk kembali menelpon Jisoo.
Dan ia bersyukur karena sahabatnya itu menjawab langsung.
“Jisoo-ah, apa yang sebenarnya ....”
===
Nana mengalami kecelakaan. ===
Jawaban itu membuat jantung Mingyu
berhenti berdetak selama sekian detik.
“Apa maksudmu?” Ia mendesis.
=== Ia
tertabrak mobil. Sekarang aku sedang di rumah sakit. Dokter baru saja melakukan
CT scan. kepalanya terluka dan dia belum sadarkan diri, Mingyu-ah. Dia ... belum
sadarkan diri. ===
Suara Jisoo terdengar meratap. Mingyu
menelan ludah. Dadanya sakit.
CT
scan? Belum sadarkan diri?
“Apa dia terluka di tempat lain selain
di kepalanya?” Suara Mingyu nyaris tak terdengar.
=== Entahlah,
Mingyu-ah. Aku tak tahu. Aku ....====
Tiba-tiba saja ia mendengar jisoo
terisak.
=== Aku
melihat darah di tasnya ... di bajunya. Darah .. dimana-mana. Ia mengeluarkan
banyak darah, Mingyu-ah. Aku takut dia ... dia akan ....====
Suara Jisoo terbata-bata.
Phonsel di genggaman tangan mingyu
meluncur ke lantai. Kedua lengannya terkulai lemas. Air matanya menitik.
Ia meratap.
Tidak.
Ini pasti salah.
Seseorang, bantu aku.
Tolong beritahu aku bahwa aku sedang bermimpi.
***
Bersambung...
Next part adalah part terakhir. Akhirnya
akan selesai juga. Yeeaaayyy....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar