~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Part 7
Nana
menatap bangku Mingyu yang kosong. Sudah 3 hari ini ia tak masuk sekolah. Namja
itu tak datang ke sekolah sejak pertengkaran mereka di tengah hujan salju
beberapa waktu yang lalu.
Berdasarkan surat ijin yang ia kirimkan,
ia tak masuk karena sakit.
Sebenarnya Nana khawatir. Ia ingin
segera berlari ke rumah Mingyu dan melihat keadaannya. Tapi begitu mengingat
kejadian ketika Mingyu membatalkan janji kencan dengannya hanya untuk menemani
Yuri di rumah sakit, amarahnya kembali membuncah. Ia masih belum bisa terima.
Bayangan akan apa yang pernah terjadi
antara Yuri dan Mingyu di masa lalu, perasaan Nana campur aduk. Cemburu, benci,
marah, semuanya jadi satu. Hanya dengan mengingatnya saja, luka di hatinya
seperti kembali ternganga.
“Kau tak ingin menjenguk Mingyu?” Erin
menanyakan hal yang sama seperti yang di tanyakan Minah maupun Jisoo sejak
beberapa saat yang lalu.
Nana menggeleng.
“Nana-ah?”
“Dia akan baik-baik saja. Mingyu akan
baik-baik saja.” Potong Nana. Ia bangkit, meninggalkan kedua rekannya yang
menatapnya dengan tak mengerti.
***
Sosok itu masuk ke kamar Mingyu dengan
canggung meskipun ibu Mingyu sudah mempersilakannya dengan ramah. Mingyu hanya
menatapnya sekilas lalu kembali membuang pandangannya ke luar jendela. Ia tak
beranjak dari atas tempat tidur.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah membaik?”
Yuri bertanya dengan ragu.
Mingyu tak segera menjawab. “Baik.”
Jawabnya kemudian tanpa melihat ke arah Yuri.
Yuri duduk dengan bimbang. Hening
sesaat. Kemudian ia membuka tas nya dan mengeluarkan sebuah buku catatan.
“Aku sudah membuatkanmu rangkuman
pelajaran selama kau tak masuk. Sebentar lagi ujian, aku tak ingin kau
ketinggalan pelajaran.” Yuri meletakkan buku itu di atas meja. Mingyu tak
menjawab.
“Aku juga membawakanmu soal-soal latihan
untuk ujian nanti dan ...”
“Pergilah, Yuri.” Ucap Mingyu lirih.
Yuri menatap namja itu dengan bingung.
Namja yang bicara tanpa melihat ke
arahnya.
“Pulanglah. Dan tolong, jangan datang
kemari lagi.” Ucapnya lagi.
“Kenapa?” Yuri memberanikan diri untuk
bertanya.
“Karena aku tak mau pacarku marah jika
ia sampai melihatmu di sini.” Jawab Mingyu.
“Tapi ...”
“Pulanglah.”
Yuri menggigit bibirnya dengan sedih.
Yeoja berkaca mata itu bangkit, meraih tasnya lalu segera melangkahkan kakinya
keluar dari kamar Mingyu tanpa mengatakan apapun. Mingyu tetap tak melihat ke
arahnya.
***
Nana termangu di depan rumah Mingyu. Ia
menatap ke arah kamar Mingyu yang jendelanya tertutup. Ia ingin menekan bel
untuk bertamu, tapi ia ragu.
Jujur ia khawatir dengan keadaan namja
itu, ia ingin tahu Mingyu sakit apa, ia ingin tahu keadaannya. Tapi, lagi-lagi
ia belum bisa mengenyahkan kemarahannya. Ia masih marah karena namja itu
mengabaikannya.
Mengabaikannya hanya untuk
menemani Yuri di Rumah sakit!
Tapi, ia tak bisa berhenti mengkhawatirkan
namja itu. Tak pernah bisa.
Nana menarik nafas sesaat lalu
mengulurkan tangannya untuk memencet bel. Tapi belum sempat jemarinya menekan,
pintu rumah terbuka, dan ia melihat sosok yeoja berkaca mata itu keluar dari
sana. Yuri.
Nana mundur beberapa langkah. Yuri
menatapnya sekilas lalu kembali melangkahkan kakinya hingga mereka berpapasan.
“Untuk apa kau ke sini?” Tanya Nana.
Yuri menghentikan langkahnya lalu menatap Nana dengan dingin.
“Menjenguk Mingyu.” Jawabnya singkat.
“Tinggalkan dia, Yuri. Jangan pernah
menemui Mingyu lagi. Jangan pernah berdekatan lagi dengannya!” teriakan Nanami
setengah tertahan.
Yuri menatapnya tajam.
“Kenapa aku harus melakukannya?”
“Karena Mingyu adalah pacarku. Dan aku
tak suka kau selalu hadir di antara kami.” Jawab Nana tegas.
Yuri tersenyum sinis.
“Kau bahkan belum ada setahun menjadi
pacarnya, tapi lagakmu seolah kaulah yang paling pantas mendampinginya. Jika
ada orang yang paling pantas bersamanya, orang itu adalah aku. Kenapa? Karena
aku lebih mengenalnya daripada kau. Aku mengenalnya sejak kecil, aku bersamanya
ketika dia jatuh, aku bersamanya ketika hatinya terluka. Aku bahkan bersamanya
ketika kakakku mencampakannya, berselingkuh darinya. Aku juga masih bersamanya
ketika dia memikirkan yeoja lain. Kau tahu kenapa aku mau melakukannya? Karena
aku mencintai dia apa adanya! Aku mencintai Mingyu, dengan semua masa lalunya!”
Yuri juga nyaris berteriak.
Kaki Nana terasa terpaku di tanah. Ia
mematung.
Mencintai
dia apa adanya... Mencintai dia dan juga masa lalunya...
“Bisakah kau melakukannya? Bisakah kau
melakukan apa yang telah kulakukan padanya? Tidak ‘kan? Kau bahkan menjauh
darinya ketika ia mengatakan semua masa lalunya. Kau bahkan meninggalkannya
ketika hatinya hancur. Kau tak pantas mendapatkannya, Nana! Kau tak pantas
bersamanya.” Yuri kembali berucap tajam.
“Yuri, jaga bicaramu.”
Yuri dan Nana menoleh. Jisoo berdiri tak
jauh pada mereka.
“Tidakkah kata-katamu itu keterlaluan?”
Namja itu mendekatinya. Raut wajahnya kesal. Yuri menatapnya dengan marah lalu
berbalik, melangkahkan kakinya meninggalkan mereka berdua.
Jisoo menatap Nana yang masih tampak
syok. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Nana-ssi, jangan pedulikan kata-kata
Yuri. Dia ...”
Kalimat Jisoo terhenti ketika tiba-tiba
ia mendengar jendela dari kamar Mingyu terbuka.
Serta merta Nana berjingkat, lalu
menyembunyikan dirinya di balik pagar sehingga ia tak terlihat dari kamar Mingyu.
“Jisoo-ah? Untuk apa kau berdiri di
situ?” Mingyu melongokkan kepalanya dan menatap langsung ke arah Jisoo.
Jisoo hanya meringis. Ia melirik ke arah
Nana yang bersembunyi di balik pagar.
“Aku ingin menjengukmu.” Jawab Jisoo
kemudian. Mingyu tertawa lirih.
“Woa, kau manis sekali. Tapi pulanglah.
Aku tak apa-apa. Hanya terkena flu saja. Tak perlu masuk ke sini. Kau bisa
ketularan flu-ku.” Ucap Mingyu. Ia melihat sekelilingnya.
“Apa kau datang sendiri? Kau tak bersama
Nana?” Ia bertanya lagi tanpa ragu.
Jisoo kembali melirik ke arah Nana,
yeoja itu menggeleng.
“E, tidak. Aku datang sendiri.” Jawab
Jisoo kemudian. Mingyu manggut-manggut.
“Ya sudahlah. Tak apa-apa. Pulanglah,
Jisoo-ah.” Mingyu menutup jendela. Tapi
baru beberapa detik, jendela kamarnya kembali terbuka.
“Ada apa lagi? Tutuplah jendelanya.
Nanti flu-mu makin parah.” Ucap Jisoo. Mingyu menatapnya bingung.
“Jisoo-ah, aku benar-benar tak tahu
caranya.” Jawabnya. Jisoo mengernyit.
“Tak tahu caranya, apa?”
“Aku tak tahu bagaimana caranya untuk
selalu bersama Nana tanpa harus menyakitinya.” Jawab Mingyu.
Jisoo terdiam. Ia kembali melirik lagi
ke arah Nana, yeoja itu tampak tertegun.
“Aku selalu saja salah mengambil
keputusan. Alih-alih membuatnya bahagia, aku malah selalu menyakitinya.” Kali
ini kalimat Mingyu terdengar lebih lirih. Tapi, baik Jisoo maupun Nana yang
terus bersembunyi di balik pagar, tetap bisa mendengarnya dengan jelas.
“Kepercayaan diriku luntur, Jisoo-ah.
Aku takut.” Lanjutnya.
Jisoo terkekeh demi bisa mencairkan
suasana.
“Kenapa tak percaya diri? Kenapa harus
takut? Toh ini bukan yang pertama kalinya bagimu punya pacar. Ya ‘kan?”
Ujarnya.
Mingyu terdiam.
“Kau benar. Tapi ini untuk pertama
kalinya ....” Ia menarik nafas panjang. “Ini untuk pertama kalinya aku takut.
Aku takut tak bisa membuat Nana bahagia.” Jawabnya.
Hening.
Nana merasakan air matanya menitik. Ia
meringkuk di bawah pagar sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Ah, sudahlah, Jisoo-ah. Pulanglah. Aku
akan segera membaik. Sampaikan salamku pada Nana kalau kau bertemu dengannya.
Bilang padanya ... aku minta maaf.” Mingyu menutup jendela.
Jisoo menatap Nana. Tampak yeoja itu
tengah menahan isak tangisnya.
***
Ibu Mingyu mendekati Mingyu dan
menyentuh keningnya dengan lembut.
“Tuh ‘kan? Panasmu sepertinya naik lagi.
Jangan membuka jendela lagi ya. Cuaca di luar sedang tidak bagus.” Perempuan
itu mengomel sambil merapikan selimut putranya.
“Eomma, apa Nana tidak datang kemari?”
Mingyu bertanya.
Ibu Mingyu menggeleng.
“Ah, dia tega sekali ya. Aku ‘kan masih
pacarnya. Harusnya sebagai pacar yang baik, dia menjengukku ‘kan?” Ia mengomel.
Ibu Mingyu menarik nafas panjang.
Perlahan ia bangkit, keluar dari kamar putranya, dan beberapa saat kemudian ia
kembali membawa sekeranjang buah-buahan.
“Untukmu.” Ucapnya. Mingyu menatap ke
arah keranjang di tangan ibunya.
“Bukan dari Yuri ‘kan?”
Ibunya menggeleng.
“Dari Jisoo?”
Ibunya kembali menggeleng.
“Dari Nana.” Jawabnya kemudian. Mingyu bangkit
seketika.
“Dia kemari?”
Ibunya mengangguk. “Iya, tadi.
Berbarengan dengan Jisoo.” Jawabnya.
Mingyu menyibakkan selimutnya,
melonjakkan kakinya dari tempat tidur, lalu segera berlari dari kamarnya. Ia
keluar dari rumah, menerjang hujan salju, dengan bertelanjang kaki.
“Mingyu-ah, jangan seperti itu.
Masuklah.” Ibunya berlari mengejarnya sambil membawakan jaket.
Mingyu menatap ke arah ujung jalan
secara bergantian. Berharap ia masih menemukan sosok Nana.
“Ia sudah pergi sejak 15 menit yang
lalu. Saat ini, pastilah ia sudah naik bis.” Ucap Ibu Mingyu sambil
melingkarkan jaket yang dibawanya ke tubuh Mingyu.
“Masuklah. Flumu bisa tambah parah.”
“Tapi, bu ...”
“Masuklah. Ada yang harus kita
bicarakan.” Ibunya berucap lagi hingga membuat Mingyu tak punya pilihan selain
mengikuti ibunya kembali ke kamar.
***
“Kita akan pindah ke Tokyo.”
Ucapan ibunya membuat Mingyu mematung di
tempat tidurnya. “Pindah?” Ia mengulangi kata itu.
Ibu Mingyu mengangguk.
“Pindah. Kau dan aku. Selamanya.”
Perempuan itu memastikan.
“Kenapa? Dan Kenapa harus ke Tokyo? Itu
jauh. Lagipula, sekolahku ‘kan tinggal satu tahun lagi.” Mingyu menatap ibunya
dengan tak mengerti.
Perempuan itu duduk di sisi tempat tidur
Mingyu dan menatap putranya dengan dalam.
“Ibu di pecat. Ibu tak punya pekerjaan
lagi, dan ibu juga tak punya tabungan. Kontrakan rumah ini akan berakhir bulan
depan. Jadi, kita harus pergi.”
“Kenapa ke Tokyo?”
“Salah satu teman ibu di Tokyo membantu
ibu mencarikan pekerjaan di sana. Dia juga akan membantu mencarikan rumah
kontrakan yang murah. Jadi, kita tak punya pilihan selain ke sana.” Lanjutnya.
“Kenapa ibu tak mencari pekerjaan di
sini saja?”
“Ibu sudah mencarinya sejak beberapa
minggu yang lalu. Tapi, hasilnya nihil. Tak ada yang mau menerima perempuan
setengah tua seperti ibu. Mencari pekerjaan bukan hal yang mudah.” Jawabnya.
Mingyu terdiam. Tak tahu harus menjawab
apa.
***
Salju turun dengan lebat. Tapi itu tak
menyurutkan niat Mingyu untuk datang ke rumah Jisoo. Sahabatnya itu tampak
kaget mendapati dirinya di depan rumahnya.
“Apa keadaanmu sudah membaik? Masuklah.
Cuaca sedang tidak bagus.” Jisoo mengajaknya masuk dengan nada cemas. Setelah
Mingyu duduk di sofa hangat yang berada di kamarnya, ia segera membuatkannya
teh hangat.
“Ada sesuatu ‘kan?” Jisoo segera bisa
menebak. Mingyu tak menjawab.
“Bicaralah. Aku akan mendengarmu.” Ucap
Mingyu lagi.
Mingyu menyeruput teh hangatnya lalu
meremas-remas tangannya sendiri.
“Aku tak tahu harus bercerita kepada
siapa lagi. Biasanya aku akan segera ke rumah Nana. Tapi kau sendiri tahu ‘kan?
Ia masih marah padaku.”
Jisoo mengangguk. “Bicaralah.”
“Ibuku di pecat. Rumah kontrakan kami
akan segera berakhir bulan depan. Jadi dia mengajakku pindah ke Tokyo.”
Jisoo ternganga.
“Pindah ke Tokyo? Selamanya?”
“Bisa jadi.” Jawab Mingyu.
“Tapi sekolahmu ‘kan tinggal satu tahun
lagi?”
Mingyu manggut-manggut. “Aku sedang
berencana untuk menolak ajakan ibuku. Dia bisa ke Tokyo, dan aku tetap ingin di
sini. Toh aku punya pekerjaan paruh waktu ‘kan? Aku bisa mencari rumah di atap
yang murah. Hidup sendiri memang bukan hal yang mudah. Tapi, aku pasti bisa. Ya
‘kan? Selain itu ... ” Mingyu menghentikan kalimatnya sesaat. “Aku tak bisa
berjauhan dengan Nana.”
Mingyu kembali menarik nafas berat.
Terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat baginya.
“Tapi, jika aku tetap tinggal di sini.
Maka ibuku akan sendirian di Tokyo. Ya ‘kan? Di luar negeri, sendirian. Ia tak
punya siapa-siapa selain aku. Karena itu ... aku tak tahu harus bagaimana
Jisoo-ah?” Ia menatap sahabatnya dengan
tatapan putus asa.
Jisoo menyandarkan punggunggnya di kursi
dengan lemas. Ia juga bingung ingin menjawab apa.
“Tolong jangan ceritakan dulu ini pada
Nana ya?” pintanya.
Jisoo tak menjawab karena ia tahu bahwa
ia memang tak bisa menjanjikan untuk tidak menceritakan hal itu pada Nana.
Karena sesaat setelah Mingyu pulang dari
rumahnya, namja itu menyambar jaketnya lalu ia menerjang hujan salju, menuju
rumah Nana.
Ia memang mencintai Nan. Tapi ia takkan
mendapatkan cintanya dengan cara seperti ini. Tidak!
***
Nana menatap Jisoo dengan heran ketika
namja itu ada di depan pintu rumahnya dengan nafas terengah-engah. Terlihat ia
baru saja menerjang lebatnya hujan salju.
“Jisoo-ssi, ada apa? Masuklah. Di luar
dingin sekali.” Ia segera mengajak namja itu masuk namun ia menolaknya.
“Kau harus bicara dengan Mingyu,
Nana-ssi. Ini tak adil. Ini tak adil untuk kalian berdua.” Ucapnya dengan
nafas tersengal.
Nana mengernyitkan dahinya. “Ada apa?”
Ia bertanya heran.
“Mingyu, akan ke Tokyo. Ibunya
mengajaknya pindah ke sana. Kondisi keuangan keluarganya sedang tidak bagus. Jadi
...” Jisoo menelan ludah.
“Bicaralah dengannya Nana-ssi. Ku
mohon.” Lanjutnya.
Nana mematung. Mingyu, pindah ke Tokyo?
***
Sudah 2 hari ini Mingyu masuk sekolah
seperti biasanya.
Tapi ia tak banyak bicara. Yang ia
lakukan di kelas hanyalah diam atau sekedar mencoret-coret bukunya. Dan ketika
waktu istirahat tiba, ia menghilang entah kemana.
Namja itu seperti sengaja menghindari
Nana. Menghindarinya? Tidak.
Bukan Mingyu yang menghindari Nana,
tapi, Nana-lah yang masih menjaga jarak dengannya.
Nana ingin mengajaknya bicara, tapi ia
tak tahu bagaimana caranya. Ia tak tahu.
Egonya masih tinggi, begitu pula harga
dirinya. Mingyu bersalah padanya.
Bukankah dia yang harus menemuinya
terlebih dahulu? Bukankah dia yang seharusnya mengajak bicara terlebih dahulu? Bukankah
dia yang seharusnya meminta maaf lagi, ratusan kali, mengingat apa yang telah
ia lakukan padanya selama ini? Bukankah ...
Nana bersikeras bahwa ia takkan bicara
dengan Mingyu sebelum namja itu bicara terlebih dulu dengannya. Tapi mengingat
kata-kata Jisoo bahwa ia akan pindah ke Tokyo, pertahanannya runtuh. Ia
menyerah.
Dan sekarang ...
Di sinilah ia akhirnya.
Di rumah Mingyu.
***
Mingyu terlihat kaget luar biasa ketika
ia pulang dari kerja paruh waktunya, ia mendapati Nana sudah ada di rumahnya.
Sedang mengobrol dengan ibunya di ruang tamu.
Yeoja itu tersenyum melihat
kepulangannya. Ia tersenyum lepas seolah-olah di antara mereka sedang tak
terjadi apa-apa. Mingyu tampak bengong hingga lupa mengucapkan salam ‘pulang’.
“Nana-ah sudah di sini sejak tadi sore.
Kami mengobrol tentang banyak hal. Sekarang kalian mengobrollah.” Ibu Mingyu
mengucapkan kalimat tersebut sambil melihat ke arah Mingyu dan Nana secara
bergantian. Kemudian ia bangkit.
Meninggalkan mereka berdua.
“Mau ke kamarku?” Mingyu bertanya dengan
ragu. Nana mengangguk. Mereka melangkah menaiki tangga menuju kamar di lantai
dua.
“Maaf, aku tak mengira kau akan ke sini.”
Ucap Mingyu.
“Dan maaf karena aku lancang ke sini
ketika kau tak ada. Aku ingin mengobrol terlebih dulu dengan ibumu.” Jawab Nana.
Mereka duduk dengan canggung.
Hening sesaat.
“Aku ...”
“Aku ...”
Mereka membuka suara hampir bersamaan.
“Kau dulu.” Mingyu mengalah. Nana
menatap namja di hadapannya.
“Aku sudah dengar dari Jisoo. Tentang
rencana kepindahanmu ke Tokyo dengan ibumu.” Ucap Nana.
Mingyu tampak tertegun. Tapi ia tak
menyanggah. Perlahan ia mengangguk.
“Maafkan aku, Nana-ah.” Desisnya lirih.
“Ibuku membutuhkanku. Satu-satunya
keluarga yang ia punya adalah aku. Jadi ...”
“Aku mengerti.” Nana memotong. Ia
menelan ludah.
“Aku sudah bicara dengan ibumu. Jika dia
memang membutuhkanmu, pergilah.” Hati Nana hancur ketika mengucapkan itu. Tapi
ia tak punya pilihan. Ia tak ingin menghalangi kepergian Mingyu dengan ibunya.
Ibunya sendirian. Ia membutuhkan Mingyu, putra satu-satunya, dan juga
satu-satunya keluarga yang ia punya.
“Maafkan aku Nana-ah. Aku benar-benar
...”
“Aku tak mau putus denganmu, Mingyu-ssi.”
Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir mungil Nana. Ia tak mampu lagi
membendung perasaannya. Apapun yang terjadi antara dia dengan Mingyu, sebesar
apapun pertengkaran yang mereka alami, rasa cintanya pada namja itu tak berkurang
sedikitpun.
Mingyu menatap Nana dengan lekat. Yeoja
itu juga melakukan hal yang sama.
“Meskipun kau pergi ke Tokyo dengan
ibumu, kau tak berencana putus denganku ‘kan?” Kedua mata Nana tampak
berkaca-kaca. Mingyu menatapnya sendu. Ia beringsut, menghampiri Nana, lalu
memeluknya erat. Ia menggeleng tegas.
“Tidak, Nana-ah. Aku tak berencana putus
denganmu. Bahkan jika aku ke Tokyo, aku tetap akan berhubungan denganmu. Lewat
telpon, sms, email, semuanya.” Suara Mingyu tampak bergetar.
“Janji?”
“Janji.” Jawab Mingyu.
Nana mencoba tak menangis. Tapi air
matanya menitik begitu saja.
“Kau harus sering menelponku.” Ucapnya.
Mingyu mengangguk.
“Jika kau sudah mendapat sekolah baru,
kau harus menceritakan padaku tentang semuanya. Tentang sekolahmu, teman-teman
barumu, kegiatanmu. Semuanya.”
Mingyu kembali mengangguk.
“Jangan lupa, kirimi juga fotomu selama
di sana. oke?”
Lagi-lagi Mingyu hanya mengangguk. Ia
hanya tak sanggup berbicara lagi karena air matanya juga telah menitik.
“Aku akan belajar dengan tekun. Agar
nilaiku bagus, dan aku bisa menyusulmu ke Tokyo.”
Nana merasakan Mingyu mengangguk.
“Tunggu aku di sana, Mingyu-ssi. Tunggu
aku satu tahun lagi. Aku pasti akan menyusulmu ke sana. Nde?” Nanami terisak.
Mingyu mempererat pelukannya, dan
lagi-lagi ia hanya mampu mengangguk. Bibirnya bergetar, dan ia terisak.
***
“Aku memutuskan untuk ikut ibuku ke
Tokyo.” Ucap Mingyu.
Jisoo membuang tatapannya ke arah pantai
yang membentang di hadapannya. Sore itu, Mingyu yang berinisiatif untuk
mengajak Jisoo jalan-jalan. Dia bilang, ia ingin bicara dengannya secara
laki-laki.
“Kau yakin?” Jisoo bertanya.
“Kau pikir aku punya pilihan yang lebih
baik?” Namja itu balik bertanya. Jisoo manggut-manggut.
“Kau sudah bicara dengan Nana?”
Mingyu mengangguk.
“Dia bilang apa?” Jisoo ganti bertanya.
“Dia juga tak punya pilihan lain.” Jawab
Mingyu.
Keduanya menarik nafas berat. Seraya
terus menatap laut lepas.
“Jisoo-ah, aku ingin kau menjaga Nana.
Tapi berjanjilah satu hal padaku.”
“Apa?”
“Jangan menikamku dari belakang.” Ucap
Mingyu seraya menoleh dan menatap sahabat baiknya tersebut. Jisoo terkekeh
seraya balik menatapnya.
“Aku takkan selicik itu. Aku takkan
pernah mengambil pacar sahabat sendiri. Kecuali ...”
“Kecuali apa?” Mingyu bertanya
penasaran.
“Kecuali jika kau mengabaikannya, jika
kau tak rajin mengirim kabar kepadanya, atau jika kau menghilang begitu saja,
maka akan ku ambil dia darimu hanya dalam sedetak jantung.” Jawab Jisoo.
Mingyu tertawa miris.
“Aku takkan melakukannya. Aku akan
selalu mengiriminya kabar.” Jawabnya.
“Oke, ku pegang kata-katamu.”
Mereka beradu kepalan tangan. Lalu
tertawa.
“Janji lelaki sejati.” Ucap mereka
hampir bersamaan.
***
Platform itu tampak
ramai. Tidak hanya Nana, Jisoo, Minah dan Erin tapi juga hampir semua anggota
club futsal yang mengantarkan keberangkatan Mingyu ke stasiun. Mingyu dan
ibunya akan terlebih dahulu naik kereta untuk selanjutnya menuju ke bandara.
Menaiki pesawat yang akan membawa mereka ke Tokyo.
“Kau harus ikut klub futsal di sekolahmu
yang baru.” Saran Doyun. Mingyu mengangguk.
“Tidak hanya futsal. Aku juga berencana
ikut semua kegiatan olah raga di sana. Kalian ‘kan tahu, aku punya banyak bakat
di bidang olah raga.” Mingyu terkekeh. Doyun meninju lengannya dengan pelan.
Mereka tertawa.
Sesaat sebelum kereta berangkat, Mingyu
beranjak menghampiri Nana. Teman-teman mereka sengaja menjauh demi memberi
privasi pada mereka untuk berpamitan.
Kedua mata Nana tampak sembab. Ia tak
bisa berhenti menangis sejak semalam.
“Jaga dirimu baik-baik, Nana-ah.” Kalimat
Mingyu parau. Nana mengangguk.
“Kau juga.” Jawabnya. Bibirnya bergetar,
dan air matanya kembali menitik.
“Maaf aku cengeng. Aku tak bermaksud
mengantarkan keberangkatanmu dengan air mata. Tapi entahlah, aku tak bisa
membendungnya.” Ujar Nana.
Mingyu menatapnya pilu. Ia meraih tubuh
Nana ke dekapannya lalu mencium puncak kepalanya dengan lembut.
“Mingyu-ssi, jangan pernah merasa
sendiri. Apapun yang terjadi, kau tidak sendirian. Ada aku di sini, yang setia
memikirkanmu, yang setia mencintaimu, yang setia menantimu. Nde?” ucap Nana
disela isak tangisnya.
Mingyu mengangguk.
“Jika kau tak bisa menyusulku ke Tokyo,
maka, tunggulah. Aku yang akan kembali ke sini, menemuimu. Oke?”
Nana mengangguk.
Dengan berat hati Mingyu melepaskan
pelukannya lalu beranjak memasuki kereta. Pintu tertutup, dan mereka hanya bisa
saling memandang dengan tatapan sedih. Perlahan kereta berjalan. Dan secara
reflek saja, Nana berlari. Menyusuri platform, mengejar kereta yang semakin
cepat berjalan. Ia terisak, meneriakkan nama Mingyu. Langkah kakinya baru
terhenti ketika kereta semakin menjauh, membawa mingyu pergi dari hadapannya,
dan membawa seluruh hatinya.
Yeoja itu terisak.
---- Tuhan ...
---- Lindungi Mingyu dimanapun dia berada
---- Jaga hatinya untukku
---- Pertemukan dia dengan orang-orang yang baik
---- Tak peduli berapa banyak ia menangis dan roboh,
buatlah agar dia bisa bangkit lagi
---- Itulah doaku...
***
Mingyu
menatapnya. Menatap tubuh mungil Nana
belari-lari kecil mengejar kereta. Menatap wajah manisnya yang basah oleh air
mata. Hatinya sesak.
Sekarang ia sadar, ia mencintai Nana,
dengan seluruh jiwanya.
---- Tuhan ...
---- Lindungi Nana dimanapun dia berada
---- Jaga hatinya untukku
---- Pertemukan dia dengan orang-orang yang baik
---- Tak peduli berapa banyak ia menangis dan roboh,
buatlah agar dia bisa bangkit lagi
---- Itulah doaku...
Dan air mata Mingyu kembali menitik.
***
Hari
mulai senja. Cahayanya yang jingga keemasan menyeruak di ufuk barat dan menampilkan landscape bangunan di
sepanjang rel kereta dengan menakjubkan.
Nana mematung. Tatapannya menerawang di
sepanjang rel kereta yang membentang di hadapannya. Hampir setiap hari ia
menghabiskan waktunya di sini. Di stasiun ini.
Menunggu. Menunggu seseorang yang
sekarang entah berada di mana.
5
tahun yang lalu ia mengantarkan Mingyu di sini. Mengantarkan keberangkatannya
ke Tokyo. Saat di mana ia bertemu dengannya untuk yang terakhir kalinya. Karena
setelah itu, ia hilang kontak dengannya.
Pemuda
itu menghilang entah kemana.
Tanpa
kabar.
***
Bersambung...
Apa
yang terjadi pada Mingyu? Kenapa ia menghilang begitu saja? Apakah terjadi
sesuatu padanya di Jepang?
Tunggu
part selanjutnya yaaa.....
Arigatou...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar