Senin, 18 Januari 2016

[FF/SVT] Bokura Ga Ita #7

~~~~~~~~~~

Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....

~~~~~~~~~~~~

Part 7

            Nana menatap bangku Mingyu yang kosong. Sudah 3 hari ini ia tak masuk sekolah. Namja itu tak datang ke sekolah sejak pertengkaran mereka di tengah hujan salju beberapa waktu yang lalu.   
Berdasarkan surat ijin yang ia kirimkan, ia tak masuk karena sakit.

Sebenarnya Nana khawatir. Ia ingin segera berlari ke rumah Mingyu dan melihat keadaannya. Tapi begitu mengingat kejadian ketika Mingyu membatalkan janji kencan dengannya hanya untuk menemani Yuri di rumah sakit, amarahnya kembali membuncah. Ia masih belum bisa terima.
Bayangan akan apa yang pernah terjadi antara Yuri dan Mingyu di masa lalu, perasaan Nana campur aduk. Cemburu, benci, marah, semuanya jadi satu. Hanya dengan mengingatnya saja, luka di hatinya seperti kembali ternganga.

“Kau tak ingin menjenguk Mingyu?” Erin menanyakan hal yang sama seperti yang di tanyakan Minah maupun Jisoo sejak beberapa saat yang lalu.
Nana menggeleng.
“Nana-ah?”
“Dia akan baik-baik saja. Mingyu akan baik-baik saja.” Potong Nana. Ia bangkit, meninggalkan kedua rekannya yang menatapnya dengan tak mengerti.

***

Sosok itu masuk ke kamar Mingyu dengan canggung meskipun ibu Mingyu sudah mempersilakannya dengan ramah. Mingyu hanya menatapnya sekilas lalu kembali membuang pandangannya ke luar jendela. Ia tak beranjak dari atas tempat tidur.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah membaik?” Yuri bertanya dengan ragu.

Mingyu tak segera menjawab. “Baik.” Jawabnya kemudian tanpa melihat ke arah Yuri.
Yuri duduk dengan bimbang. Hening sesaat. Kemudian ia membuka tas nya dan mengeluarkan sebuah buku catatan.
“Aku sudah membuatkanmu rangkuman pelajaran selama kau tak masuk. Sebentar lagi ujian, aku tak ingin kau ketinggalan pelajaran.” Yuri meletakkan buku itu di atas meja. Mingyu tak menjawab.
“Aku juga membawakanmu soal-soal latihan untuk ujian nanti dan ...”
“Pergilah, Yuri.” Ucap Mingyu lirih.
Yuri menatap namja itu dengan bingung. Namja yang bicara tanpa melihat  ke arahnya.

“Pulanglah. Dan tolong, jangan datang kemari lagi.” Ucapnya lagi.
“Kenapa?” Yuri memberanikan diri untuk bertanya.
“Karena aku tak mau pacarku marah jika ia sampai melihatmu di sini.” Jawab Mingyu.
“Tapi ...”
“Pulanglah.”

Yuri menggigit bibirnya dengan sedih. Yeoja berkaca mata itu bangkit, meraih tasnya lalu segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar Mingyu tanpa mengatakan apapun. Mingyu tetap tak melihat ke arahnya.

***

Nana termangu di depan rumah Mingyu. Ia menatap ke arah kamar Mingyu yang jendelanya tertutup. Ia ingin menekan bel untuk bertamu, tapi ia ragu.
Jujur ia khawatir dengan keadaan namja itu, ia ingin tahu Mingyu sakit apa, ia ingin tahu keadaannya. Tapi, lagi-lagi ia belum bisa mengenyahkan kemarahannya. Ia masih marah karena namja itu mengabaikannya.
Mengabaikannya hanya untuk menemani Yuri di Rumah sakit!

Tapi, ia tak bisa berhenti mengkhawatirkan namja itu. Tak pernah bisa.

Nana menarik nafas sesaat lalu mengulurkan tangannya untuk memencet bel. Tapi belum sempat jemarinya menekan, pintu rumah terbuka, dan ia melihat sosok yeoja berkaca mata itu keluar dari sana. Yuri.
Nana mundur beberapa langkah. Yuri menatapnya sekilas lalu kembali melangkahkan kakinya hingga mereka berpapasan.

“Untuk apa kau ke sini?” Tanya Nana. Yuri menghentikan langkahnya lalu menatap Nana dengan dingin.
“Menjenguk Mingyu.” Jawabnya singkat.
“Tinggalkan dia, Yuri. Jangan pernah menemui Mingyu lagi. Jangan pernah berdekatan lagi dengannya!” teriakan Nanami setengah tertahan.
Yuri menatapnya tajam.
“Kenapa aku harus melakukannya?”
“Karena Mingyu adalah pacarku. Dan aku tak suka kau selalu hadir di antara kami.” Jawab Nana tegas.
Yuri tersenyum sinis.

“Kau bahkan belum ada setahun menjadi pacarnya, tapi lagakmu seolah kaulah yang paling pantas mendampinginya. Jika ada orang yang paling pantas bersamanya, orang itu adalah aku. Kenapa? Karena aku lebih mengenalnya daripada kau. Aku mengenalnya sejak kecil, aku bersamanya ketika dia jatuh, aku bersamanya ketika hatinya terluka. Aku bahkan bersamanya ketika kakakku mencampakannya, berselingkuh darinya. Aku juga masih bersamanya ketika dia memikirkan yeoja lain. Kau tahu kenapa aku mau melakukannya? Karena aku mencintai dia apa adanya! Aku mencintai Mingyu, dengan semua masa lalunya!” Yuri juga nyaris berteriak.

Kaki Nana terasa terpaku di tanah. Ia mematung.

Mencintai dia apa adanya... Mencintai dia dan juga masa lalunya...

“Bisakah kau melakukannya? Bisakah kau melakukan apa yang telah kulakukan padanya? Tidak ‘kan? Kau bahkan menjauh darinya ketika ia mengatakan semua masa lalunya. Kau bahkan meninggalkannya ketika hatinya hancur. Kau tak pantas mendapatkannya, Nana! Kau tak pantas bersamanya.” Yuri kembali berucap tajam.
“Yuri, jaga bicaramu.”
Yuri dan Nana menoleh. Jisoo berdiri tak jauh pada mereka.

“Tidakkah kata-katamu itu keterlaluan?” Namja itu mendekatinya. Raut wajahnya kesal. Yuri menatapnya dengan marah lalu berbalik, melangkahkan kakinya meninggalkan mereka berdua.

Jisoo menatap Nana yang masih tampak syok. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Nana-ssi, jangan pedulikan kata-kata Yuri. Dia ...”
Kalimat Jisoo terhenti ketika tiba-tiba ia mendengar jendela dari kamar Mingyu terbuka.
Serta merta Nana berjingkat, lalu menyembunyikan dirinya di balik pagar sehingga ia tak terlihat dari kamar Mingyu.

“Jisoo-ah? Untuk apa kau berdiri di situ?” Mingyu melongokkan kepalanya dan menatap langsung ke arah Jisoo.
Jisoo hanya meringis. Ia melirik ke arah Nana yang bersembunyi di balik pagar.
“Aku ingin menjengukmu.” Jawab Jisoo kemudian. Mingyu tertawa lirih.
“Woa, kau manis sekali. Tapi pulanglah. Aku tak apa-apa. Hanya terkena flu saja. Tak perlu masuk ke sini. Kau bisa ketularan flu-ku.” Ucap Mingyu. Ia melihat sekelilingnya.

“Apa kau datang sendiri? Kau tak bersama Nana?” Ia bertanya lagi tanpa ragu.
Jisoo kembali melirik ke arah Nana, yeoja itu menggeleng.
“E, tidak. Aku datang sendiri.” Jawab Jisoo kemudian. Mingyu manggut-manggut.
“Ya sudahlah. Tak apa-apa. Pulanglah, Jisoo-ah.” Mingyu menutup jendela. Tapi  baru beberapa detik, jendela kamarnya kembali terbuka.

“Ada apa lagi? Tutuplah jendelanya. Nanti flu-mu makin parah.” Ucap Jisoo. Mingyu menatapnya bingung.
“Jisoo-ah, aku benar-benar tak tahu caranya.” Jawabnya. Jisoo mengernyit.
“Tak tahu caranya, apa?”
“Aku tak tahu bagaimana caranya untuk selalu bersama Nana tanpa harus menyakitinya.” Jawab Mingyu.

Jisoo terdiam. Ia kembali melirik lagi ke arah Nana, yeoja itu tampak tertegun.
“Aku selalu saja salah mengambil keputusan. Alih-alih membuatnya bahagia, aku malah selalu menyakitinya.” Kali ini kalimat Mingyu terdengar lebih lirih. Tapi, baik Jisoo maupun Nana yang terus bersembunyi di balik pagar, tetap bisa mendengarnya dengan jelas.

“Kepercayaan diriku luntur, Jisoo-ah. Aku takut.” Lanjutnya.
Jisoo terkekeh demi bisa mencairkan suasana.
“Kenapa tak percaya diri? Kenapa harus takut? Toh ini bukan yang pertama kalinya bagimu punya pacar. Ya ‘kan?” Ujarnya.
Mingyu terdiam.
“Kau benar. Tapi ini untuk pertama kalinya ....” Ia menarik nafas panjang. “Ini untuk pertama kalinya aku takut. Aku takut tak bisa membuat Nana bahagia.” Jawabnya.
Hening.
Nana merasakan air matanya menitik. Ia meringkuk di bawah pagar sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Ah, sudahlah, Jisoo-ah. Pulanglah. Aku akan segera membaik. Sampaikan salamku pada Nana kalau kau bertemu dengannya. Bilang padanya ... aku minta maaf.” Mingyu menutup jendela.
Jisoo menatap Nana. Tampak yeoja itu tengah menahan isak tangisnya.

***

Ibu Mingyu mendekati Mingyu dan menyentuh keningnya dengan lembut.
“Tuh ‘kan? Panasmu sepertinya naik lagi. Jangan membuka jendela lagi ya. Cuaca di luar sedang tidak bagus.” Perempuan itu mengomel sambil merapikan selimut putranya.

“Eomma, apa Nana tidak datang kemari?” Mingyu bertanya.
Ibu Mingyu menggeleng.
“Ah, dia tega sekali ya. Aku ‘kan masih pacarnya. Harusnya sebagai pacar yang baik, dia menjengukku ‘kan?” Ia mengomel.
Ibu Mingyu menarik nafas panjang. Perlahan ia bangkit, keluar dari kamar putranya, dan beberapa saat kemudian ia kembali membawa sekeranjang buah-buahan.
“Untukmu.” Ucapnya. Mingyu menatap ke arah keranjang di tangan ibunya.
“Bukan dari Yuri ‘kan?”
Ibunya menggeleng.
“Dari Jisoo?”
Ibunya kembali menggeleng.
“Dari Nana.” Jawabnya kemudian. Mingyu bangkit seketika.
“Dia kemari?”
Ibunya mengangguk. “Iya, tadi. Berbarengan dengan Jisoo.” Jawabnya.

Mingyu menyibakkan selimutnya, melonjakkan kakinya dari tempat tidur, lalu segera berlari dari kamarnya. Ia keluar dari rumah, menerjang hujan salju, dengan bertelanjang kaki.
“Mingyu-ah, jangan seperti itu. Masuklah.” Ibunya berlari mengejarnya sambil membawakan jaket.
Mingyu menatap ke arah ujung jalan secara bergantian. Berharap ia masih menemukan sosok Nana.

“Ia sudah pergi sejak 15 menit yang lalu. Saat ini, pastilah ia sudah naik bis.” Ucap Ibu Mingyu sambil melingkarkan jaket yang dibawanya ke tubuh Mingyu.
“Masuklah. Flumu bisa tambah parah.”
“Tapi, bu ...”
“Masuklah. Ada yang harus kita bicarakan.” Ibunya berucap lagi hingga membuat Mingyu tak punya pilihan selain mengikuti ibunya kembali ke kamar.

***

“Kita akan pindah ke Tokyo.”
Ucapan ibunya membuat Mingyu mematung di tempat tidurnya. “Pindah?” Ia mengulangi kata itu.
Ibu Mingyu mengangguk.
“Pindah. Kau dan aku. Selamanya.” Perempuan itu memastikan.

“Kenapa? Dan Kenapa harus ke Tokyo? Itu jauh. Lagipula, sekolahku ‘kan tinggal satu tahun lagi.” Mingyu menatap ibunya dengan tak mengerti.
Perempuan itu duduk di sisi tempat tidur Mingyu dan menatap putranya dengan dalam.
“Ibu di pecat. Ibu tak punya pekerjaan lagi, dan ibu juga tak punya tabungan. Kontrakan rumah ini akan berakhir bulan depan. Jadi, kita harus pergi.”
“Kenapa ke Tokyo?”
“Salah satu teman ibu di Tokyo membantu ibu mencarikan pekerjaan di sana. Dia juga akan membantu mencarikan rumah kontrakan yang murah. Jadi, kita tak punya pilihan selain ke sana.” Lanjutnya.
“Kenapa ibu tak mencari pekerjaan di sini saja?”
“Ibu sudah mencarinya sejak beberapa minggu yang lalu. Tapi, hasilnya nihil. Tak ada yang mau menerima perempuan setengah tua seperti ibu. Mencari pekerjaan bukan hal yang mudah.” Jawabnya.

Mingyu terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.

***

Salju turun dengan lebat. Tapi itu tak menyurutkan niat Mingyu untuk datang ke rumah Jisoo. Sahabatnya itu tampak kaget mendapati dirinya di depan rumahnya.

“Apa keadaanmu sudah membaik? Masuklah. Cuaca sedang tidak bagus.” Jisoo mengajaknya masuk dengan nada cemas. Setelah Mingyu duduk di sofa hangat yang berada di kamarnya, ia segera membuatkannya teh hangat.
“Ada sesuatu ‘kan?” Jisoo segera bisa menebak. Mingyu tak menjawab.
“Bicaralah. Aku akan mendengarmu.” Ucap Mingyu lagi.

Mingyu menyeruput teh hangatnya lalu meremas-remas tangannya sendiri.
“Aku tak tahu harus bercerita kepada siapa lagi. Biasanya aku akan segera ke rumah Nana. Tapi kau sendiri tahu ‘kan? Ia masih marah padaku.”
Jisoo mengangguk. “Bicaralah.”

“Ibuku di pecat. Rumah kontrakan kami akan segera berakhir bulan depan. Jadi dia mengajakku pindah ke Tokyo.”
Jisoo ternganga.
“Pindah ke Tokyo? Selamanya?”
“Bisa jadi.” Jawab Mingyu.
“Tapi sekolahmu ‘kan tinggal satu tahun lagi?”
Mingyu manggut-manggut. “Aku sedang berencana untuk menolak ajakan ibuku. Dia bisa ke Tokyo, dan aku tetap ingin di sini. Toh aku punya pekerjaan paruh waktu ‘kan? Aku bisa mencari rumah di atap yang murah. Hidup sendiri memang bukan hal yang mudah. Tapi, aku pasti bisa. Ya ‘kan? Selain itu ... ” Mingyu menghentikan kalimatnya sesaat. “Aku tak bisa berjauhan dengan Nana.”

Mingyu kembali menarik nafas berat. Terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat baginya.
“Tapi, jika aku tetap tinggal di sini. Maka ibuku akan sendirian di Tokyo. Ya ‘kan? Di luar negeri, sendirian. Ia tak punya siapa-siapa selain aku. Karena itu ... aku tak tahu harus bagaimana Jisoo-ah?” Ia  menatap sahabatnya dengan tatapan putus asa.
Jisoo menyandarkan punggunggnya di kursi dengan lemas. Ia juga bingung ingin menjawab apa.
“Tolong jangan ceritakan dulu ini pada Nana ya?” pintanya.
Jisoo tak menjawab karena ia tahu bahwa ia memang tak bisa menjanjikan untuk tidak menceritakan hal itu pada Nana.

Karena sesaat setelah Mingyu pulang dari rumahnya, namja itu menyambar jaketnya lalu ia menerjang hujan salju, menuju rumah Nana.

Ia memang mencintai Nan. Tapi ia takkan mendapatkan cintanya dengan cara seperti ini. Tidak!

***

Nana menatap Jisoo dengan heran ketika namja itu ada di depan pintu rumahnya dengan nafas terengah-engah. Terlihat ia baru saja menerjang lebatnya hujan salju.

“Jisoo-ssi, ada apa? Masuklah. Di luar dingin sekali.” Ia segera mengajak namja itu masuk namun ia menolaknya.
“Kau harus bicara dengan Mingyu, Nana-ssi. Ini tak adil. Ini tak adil untuk kalian berdua.” Ucapnya dengan nafas  tersengal.
Nana mengernyitkan dahinya. “Ada apa?” Ia bertanya heran.
“Mingyu, akan ke Tokyo. Ibunya mengajaknya pindah ke sana. Kondisi keuangan keluarganya sedang tidak bagus. Jadi ...” Jisoo menelan ludah.
“Bicaralah dengannya Nana-ssi. Ku mohon.” Lanjutnya.

Nana mematung. Mingyu, pindah ke Tokyo?

***

Sudah 2 hari ini Mingyu masuk sekolah seperti biasanya.
Tapi ia tak banyak bicara. Yang ia lakukan di kelas hanyalah diam atau sekedar mencoret-coret bukunya. Dan ketika waktu istirahat tiba, ia menghilang entah kemana.
Namja itu seperti sengaja menghindari Nana. Menghindarinya? Tidak.
Bukan Mingyu yang menghindari Nana, tapi, Nana-lah yang masih menjaga jarak dengannya.
Nana ingin mengajaknya bicara, tapi ia tak tahu bagaimana caranya. Ia tak tahu.

Egonya masih tinggi, begitu pula harga dirinya. Mingyu bersalah padanya.
Bukankah dia yang harus menemuinya terlebih dahulu? Bukankah dia yang seharusnya mengajak bicara terlebih dahulu? Bukankah dia yang seharusnya meminta maaf lagi, ratusan kali, mengingat apa yang telah ia lakukan padanya selama ini? Bukankah ...

Nana bersikeras bahwa ia takkan bicara dengan Mingyu sebelum namja itu bicara terlebih dulu dengannya. Tapi mengingat kata-kata Jisoo bahwa ia akan pindah ke Tokyo, pertahanannya runtuh. Ia menyerah.

Dan sekarang ...
Di sinilah ia akhirnya.
Di rumah Mingyu.

***

Mingyu terlihat kaget luar biasa ketika ia pulang dari kerja paruh waktunya, ia mendapati Nana sudah ada di rumahnya. Sedang mengobrol dengan ibunya di ruang tamu.
Yeoja itu tersenyum melihat kepulangannya. Ia tersenyum lepas seolah-olah di antara mereka sedang tak terjadi apa-apa. Mingyu tampak bengong hingga lupa mengucapkan salam ‘pulang’.

“Nana-ah sudah di sini sejak tadi sore. Kami mengobrol tentang banyak hal. Sekarang kalian mengobrollah.” Ibu Mingyu mengucapkan kalimat tersebut sambil melihat ke arah Mingyu dan Nana secara bergantian. Kemudian ia bangkit.  Meninggalkan mereka berdua.

“Mau ke kamarku?” Mingyu bertanya dengan ragu. Nana mengangguk. Mereka melangkah menaiki tangga menuju kamar di lantai dua.
“Maaf, aku tak mengira kau akan ke sini.” Ucap Mingyu.
“Dan maaf karena aku lancang ke sini ketika kau tak ada. Aku ingin mengobrol terlebih dulu dengan ibumu.” Jawab Nana. Mereka duduk dengan canggung.
Hening sesaat.

“Aku ...”
“Aku ...”
Mereka membuka suara hampir bersamaan.
“Kau dulu.” Mingyu mengalah. Nana menatap namja di hadapannya.
“Aku sudah dengar dari Jisoo. Tentang rencana kepindahanmu ke Tokyo dengan ibumu.” Ucap Nana.

Mingyu tampak tertegun. Tapi ia tak menyanggah. Perlahan ia mengangguk.
“Maafkan aku, Nana-ah.” Desisnya lirih.
“Ibuku membutuhkanku. Satu-satunya keluarga yang ia punya adalah aku. Jadi ...”
“Aku mengerti.” Nana memotong. Ia menelan ludah.
“Aku sudah bicara dengan ibumu. Jika dia memang membutuhkanmu, pergilah.” Hati Nana hancur ketika mengucapkan itu. Tapi ia tak punya pilihan. Ia tak ingin menghalangi kepergian Mingyu dengan ibunya. Ibunya sendirian. Ia membutuhkan Mingyu, putra satu-satunya, dan juga satu-satunya keluarga yang ia punya.

“Maafkan aku Nana-ah. Aku benar-benar ...”
“Aku tak mau putus denganmu, Mingyu-ssi.” Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir mungil Nana. Ia tak mampu lagi membendung perasaannya. Apapun yang terjadi antara dia dengan Mingyu, sebesar apapun pertengkaran yang mereka alami, rasa cintanya pada namja itu tak berkurang sedikitpun.

Mingyu menatap Nana dengan lekat. Yeoja itu juga melakukan hal yang sama.

“Meskipun kau pergi ke Tokyo dengan ibumu, kau tak berencana putus denganku ‘kan?” Kedua mata Nana tampak berkaca-kaca. Mingyu menatapnya sendu. Ia beringsut, menghampiri Nana, lalu memeluknya erat. Ia menggeleng tegas.
“Tidak, Nana-ah. Aku tak berencana putus denganmu. Bahkan jika aku ke Tokyo, aku tetap akan berhubungan denganmu. Lewat telpon, sms, email, semuanya.” Suara Mingyu tampak bergetar.
“Janji?”
“Janji.” Jawab Mingyu.

Nana mencoba tak menangis. Tapi air matanya menitik begitu saja.
“Kau harus sering menelponku.” Ucapnya. Mingyu mengangguk.
“Jika kau sudah mendapat sekolah baru, kau harus menceritakan padaku tentang semuanya. Tentang sekolahmu, teman-teman barumu, kegiatanmu. Semuanya.”
Mingyu kembali mengangguk.
“Jangan lupa, kirimi juga fotomu selama di sana. oke?”
Lagi-lagi Mingyu hanya mengangguk. Ia hanya tak sanggup berbicara lagi karena air matanya juga telah menitik.
“Aku akan belajar dengan tekun. Agar nilaiku bagus, dan aku bisa menyusulmu ke Tokyo.”
Nana merasakan Mingyu mengangguk.
“Tunggu aku di sana, Mingyu-ssi. Tunggu aku satu tahun lagi. Aku pasti akan menyusulmu ke sana. Nde?” Nanami terisak.
Mingyu mempererat pelukannya, dan lagi-lagi ia hanya mampu mengangguk. Bibirnya bergetar, dan ia terisak.

***

“Aku memutuskan untuk ikut ibuku ke Tokyo.” Ucap Mingyu.
Jisoo membuang tatapannya ke arah pantai yang membentang di hadapannya. Sore itu, Mingyu yang berinisiatif untuk mengajak Jisoo jalan-jalan. Dia bilang, ia ingin bicara dengannya secara laki-laki.
“Kau yakin?” Jisoo bertanya.
“Kau pikir aku punya pilihan yang lebih baik?” Namja itu balik bertanya. Jisoo manggut-manggut.
“Kau sudah bicara dengan Nana?”
Mingyu mengangguk.
“Dia bilang apa?” Jisoo ganti bertanya.
“Dia juga tak punya pilihan lain.” Jawab Mingyu.
Keduanya menarik nafas berat. Seraya terus menatap laut lepas.
“Jisoo-ah, aku ingin kau menjaga Nana. Tapi berjanjilah satu hal padaku.”
“Apa?”
“Jangan menikamku dari belakang.” Ucap Mingyu seraya menoleh dan menatap sahabat baiknya tersebut. Jisoo terkekeh seraya balik menatapnya.
“Aku takkan selicik itu. Aku takkan pernah mengambil pacar sahabat sendiri. Kecuali ...”
“Kecuali apa?” Mingyu bertanya penasaran.
“Kecuali jika kau mengabaikannya, jika kau tak rajin mengirim kabar kepadanya, atau jika kau menghilang begitu saja, maka akan ku ambil dia darimu hanya dalam sedetak jantung.” Jawab Jisoo.
Mingyu tertawa miris.
“Aku takkan melakukannya. Aku akan selalu mengiriminya kabar.” Jawabnya.
“Oke, ku pegang kata-katamu.”
Mereka beradu kepalan tangan. Lalu tertawa.
“Janji lelaki sejati.” Ucap mereka hampir bersamaan.

***

Platform itu tampak ramai. Tidak hanya Nana, Jisoo, Minah dan Erin tapi juga hampir semua anggota club futsal yang mengantarkan keberangkatan Mingyu ke stasiun. Mingyu dan ibunya akan terlebih dahulu naik kereta untuk selanjutnya menuju ke bandara. Menaiki pesawat yang akan membawa mereka ke Tokyo.
“Kau harus ikut klub futsal di sekolahmu yang baru.” Saran Doyun. Mingyu mengangguk.
“Tidak hanya futsal. Aku juga berencana ikut semua kegiatan olah raga di sana. Kalian ‘kan tahu, aku punya banyak bakat di bidang olah raga.” Mingyu terkekeh. Doyun meninju lengannya dengan pelan. Mereka tertawa.

Sesaat sebelum kereta berangkat, Mingyu beranjak menghampiri Nana. Teman-teman mereka sengaja menjauh demi memberi privasi pada mereka untuk berpamitan.
Kedua mata Nana tampak sembab. Ia tak bisa berhenti menangis sejak semalam.
“Jaga dirimu baik-baik, Nana-ah.” Kalimat Mingyu parau. Nana mengangguk.
“Kau juga.” Jawabnya. Bibirnya bergetar, dan air matanya kembali menitik.
“Maaf aku cengeng. Aku tak bermaksud mengantarkan keberangkatanmu dengan air mata. Tapi entahlah, aku tak bisa membendungnya.” Ujar Nana.
Mingyu menatapnya pilu. Ia meraih tubuh Nana ke dekapannya lalu mencium puncak kepalanya dengan lembut.
“Mingyu-ssi, jangan pernah merasa sendiri. Apapun yang terjadi, kau tidak sendirian. Ada aku di sini, yang setia memikirkanmu, yang setia mencintaimu, yang setia menantimu. Nde?” ucap Nana disela isak tangisnya.
Mingyu mengangguk.
“Jika kau tak bisa menyusulku ke Tokyo, maka, tunggulah. Aku yang akan kembali ke sini, menemuimu. Oke?”
Nana mengangguk.

Dengan berat hati Mingyu melepaskan pelukannya lalu beranjak memasuki kereta. Pintu tertutup, dan mereka hanya bisa saling memandang dengan tatapan sedih. Perlahan kereta berjalan. Dan secara reflek saja, Nana berlari. Menyusuri platform, mengejar kereta yang semakin cepat berjalan. Ia terisak, meneriakkan nama Mingyu. Langkah kakinya baru terhenti ketika kereta semakin menjauh, membawa mingyu pergi dari hadapannya, dan membawa seluruh hatinya.
Yeoja itu terisak.

---- Tuhan ...
---- Lindungi Mingyu dimanapun dia berada
---- Jaga hatinya untukku
---- Pertemukan dia dengan orang-orang yang baik
---- Tak peduli berapa banyak ia menangis dan roboh, buatlah agar dia bisa bangkit lagi

---- Itulah doaku...

***

            Mingyu menatapnya.  Menatap tubuh mungil Nana belari-lari kecil mengejar kereta. Menatap wajah manisnya yang basah oleh air mata. Hatinya sesak.
Sekarang ia sadar, ia mencintai Nana, dengan seluruh jiwanya.

---- Tuhan ...
---- Lindungi Nana dimanapun dia berada
---- Jaga hatinya untukku
---- Pertemukan dia dengan orang-orang yang baik
---- Tak peduli berapa banyak ia menangis dan roboh, buatlah agar dia bisa bangkit lagi

---- Itulah doaku...

Dan air mata Mingyu kembali menitik.

***

           
            Hari mulai senja. Cahayanya yang jingga keemasan menyeruak di ufuk barat  dan menampilkan landscape bangunan di sepanjang rel kereta dengan menakjubkan.
Nana mematung. Tatapannya menerawang di sepanjang rel kereta yang membentang di hadapannya. Hampir setiap hari ia menghabiskan waktunya di sini. Di stasiun ini.
Menunggu. Menunggu seseorang yang sekarang entah berada di mana.

            5 tahun yang lalu ia mengantarkan Mingyu di sini. Mengantarkan keberangkatannya ke Tokyo. Saat di mana ia bertemu dengannya untuk yang terakhir kalinya. Karena setelah itu, ia hilang kontak dengannya.

            Pemuda itu menghilang entah kemana.
            Tanpa kabar.

***

Bersambung...

Apa yang terjadi pada Mingyu? Kenapa ia menghilang begitu saja? Apakah terjadi sesuatu padanya di Jepang?
Tunggu part selanjutnya yaaa.....
Arigatou...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar