~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Berkhianat adalah ketika kau
memperlakukan seseorang dengan begitu manis, lalu kau hancurkan hatinya, kau
injak-injak, kemudian kau tinggalkan dia begitu saja.
~~~~~~~~~~~~
Part 6
Jisoo berlari-lari kecil menghampiri Nana
yang telah menunggunya di depan pintu gerbang. Sebenarnya kemarin ia telah
mengutarakan niatnya untuk mengajak Nana berjalan-jalan di pinggir sungai.
Jisoo mengatakan bahwa ada dua anak anjing liar yang terlantar di sana dan saat
ini belum ada yang mau mengadopsi. Jisoo berniat melakukannya, tapi sayang
orang tuanya tak mengijinkannya memelihara binatang karena mereka punya usaha
toko makanan.
Jisoo tahu Nana suka binatang. Ketika ia menceritakan tentang
dua anak anjing itu, Nana antusias untuk mengadopsinya.
“Ah, ku pikir kau lupa.” Ujar Nana.
Jisoo meringis hingga menunjukkan barisan giginya yang rapi.
“Maaf, Nana-ssi. Ada sesuatu yang harus
ku kerjakan lebih dulu. Tapi, hari ini jadi ‘kan?”
Nana mengangguk. Ia menunjukkan tas yang
ditentengnya.
“Lihat, aku membawa banyak makanan untuk
anjingnya. Mereka harus di rayu-rayu dulu agar mau diajak pulang.” Ujarnya.
“Whoa, kau pengalaman juga ya?”
Nana kembali mengangguk dengan antusias.
“Aku sudah berhasil membawa 2 ekor
kucing dan seekor anjing liar.” Jawabnya lagi.
Mereka berjalan beriringan menuju halte
bis.
“Jisoo-ssi, gomawo.” Ucap Nana ketika
mereka duduk bersebelahan di halte karena bis yang akan mereka tumpangi belum
datang.
“Untuk apa?” Jisoo menatapnya bingung.
“Aku tahu akhir-akhir ini kau berusaha
menghiburku atas apa yang terjadi antara aku dan Mingyu.” Jawabnya. Jisoo
manggut-manggut.
“Aku hanya tak suka melihatmu murung.
Kau lebih cantik kalau sering tersenyum dan ceria seperti biasanya.” jawabnya.
Nana memeluk tas di pangkuannya. Ia
menatap ke arah jalanan yang tidak terlalu ramai.
“Kau pernah berkata bahwa mencintai
Mingyu ibarat ikut lomba lari. Tak peduli seberapa sering aku harus jatuh
bangun, jungkir balik, aku harus berlari sampai selesai. Tapi, ternyata itu tak
mudah, Jisoo-ssi. Aku mencintai Mingyu dengan segenap hatiku. Tapi jika ia
masih saja terpuruk dengan kenangan Nana sunbae, maka aku takkan bisa membahagiakannya. Karena
orang yang ia harapkan ternyata bukanlah aku, melainkan perempuan lain.” Ucap
Nana.
Jisoo menarik nafas panjang. Ia menatap
yeoja di sampingnya dengan lembut.
“Semua orang butuh waktu, Nana-ssi. Sama
seperti dirimu yang seolah-olah butuh waktu untuk menerima Mingyu apa adanya,
Mingyu juga butuh waktu untuk melupakan Nana sunbae selamanya.” Ujarnya.
Nana terdiam.
“Jisoo-ssi, dalam hal ini, apa aku yang
bersalah?” Kali ini Ia menatap Jisoo.
“Apa aku bersalah karena tak bisa
memahami Mingyu sepenuhnya? Apa aku bersalah karena tak bisa menerima Mingyu
hanya karena ia masih mencintai Nana sunbae?”
Jisoo menggeleng pelan.
“Aku tak tahu, Nana-ssi. Hanya kau yang
bisa menjawab pertanyaan itu. Tapi satu hal yang pasti, kau tak akan pernah
bisa menandingi Nana sunbae. Kau tahu kenapa? Karena kau masih hidup, dan dia
sudah tidak ada. Orang hidup, takkan pernah bisa bersaing dengan orang mati.”
Ujarnya lirih.
Nana termangu.
“Oh, itu bis nya datang.” Jisoo bangkit.
“Yuk.” Ajaknya ketika ia menyadari Nana masih duduk mematung.
Nana tergagap dan mendongak. “Ya.” Ia
bangkit. Bis baru saja berhenti di depan halte ketika mereka melihat Mingyu
berlari ke arah mereka dengan nafas terengah-engah.
“Nana-ah!!” teriaknya.
Nana dan Jisoo menatapnya dengan
bingung. Mingyu berhenti tak jauh dari mereka, menumpukan kedua tangannya di
lutut lalu menata nafasnya yang naik turun.
“Aku tak mau putus denganmu.” Ucapnya
dengan nafas tersengal. Tatapannya lurus ke arah Nana.
“Jika kau menganggap aku kurang baik
untukmu, maka aku akan berusaha lebih baik. Jika kau memintaku melakukan apapun
untukmu, maka akan kulakukan.” Mingyu menelan ludah.
Ia menegakkan tubuhnya.
“Jika kau memintaku melupakan Im Nana
selamanya, maka akan kulakukan. Apapun itu, akan kulakukan untukmu!” Teriaknya.
Nana terhenyak.
“Aku mungkin masih belum melupakan Im
Nana seutuhnya. Tapi apa yang kurasakan padamu adalah nyata. Cintaku nyata,
perhatianku nyata, rasa sayangku nyata. Kembalilah padaku, Nana-ah!” Ia kembali
berteriak.
Nana mematung. Jisoo beranjak memasuki
bis.
“Nana-ssi. Bis-nya akan segera
berjalan.” Panggilnya seraya mengulurkan tanganya ke arah yeoja yang tampak
bingung tersebut.
Nana menatap ke arah Jisoo, lalu kembali
ke arah Mingyu. Tapi akhirnya ia menerima uluran tangan Jisoo dan melangkahkan
kakinya memasuki bis. Pintu tertutup dan kendaraan itu mulai berjalan.
Mingyu berlari mendekati pintu.
“Aku akan menunggumu, Nana-ah! Aku akan
menunggumu kembali padaku!”
Teriaknya. Bis berjalan semakin cepat,
dan langkah Mingyu terhenti.
***
Nana memeluk tas di dekapannya dengan
lebih erat. Pikirannya terasa kalut. Bis yang ia tumpangi terus berjalan, tapi ia
tahu hatinya tertinggal di sana, di
halte, tempat Mingyu berada.
“Kau ingin turun di pemberhentian
berikutnya?” Pertanyaan Jisoo seakan membuat Nana terjaga dari tidur.
“Nde?” Ia bingung. Namja yang duduk di
sampingnya tersenyum.
“Pemberhentian selanjutnya tidak terlalu
jauh dengan sekolah. Kau bisa kembali ke sana.” Ucapnya lagi. Nana menunduk.
Batinnya bergolak.
“Jisoo-ssi, apa menurutmu saat ini
Mingyu sedang menangis?” suaranya pelan.
Jisoo tak segera menjawab. “Sepertinya
begitu.” Jawabnya kemudian, lebih pelan.
Nana merasakan dadanya sesak.
“Jika kita menunda acara hari ini, kau
tak keberatan ‘kan?” Ia mendongak, menatap Jisoo. Namja itu balas menatapnya.
Ia tersenyum lalu mengangguk.
“Gwaencana. Kita bisa menyusun jadwal
ulang. Kembalilah ke sekolah.” Ujarnya.
“Dia di halaman belakang, di pojok,
dekat ruang seni. Itu tempat persembunyiannya ketika suasana hatinya sedang tak
baik.” Lanjutnya. Nana tak bersuara, tapi Jisoo tahu bahwa yeoja itu telah
memutuskan untuk kembali ke sekolah, menemui Mingyu.
***
Sesuai perkiraan Jisoo, Mingyu ada di
sana. Di halaman belakang, dekat ruang seni. Namja itu merebahkan tubuhnya di
rerumputan dengan posisi terlentang. Salah satu tangannya mengepal di atas
rumput, sementara lengan tangan yang satunya ia gunakan untuk menutupi kedua
matanya.
“Mingyu-ssi.” Panggil Nana lirih. Namja
itu tak bersuara. Tapi ia yakin panggilannya di dengar olehnya.
Nana melangkahkan kakinya untuk mendekatinya.
Hatinya tercabik-cabik. Ia hanya tak bisa mengerti dengan hubungan mereka. Ada
apa dengan mereka berdua?
Nana tak ingin menyakiti hati Mingyu.
Begitu pula sebaliknya, ia tak ingin disakiti olehnya. Kenyataannya, namja itu
telah membuat hatinya terluka sehingga ia memutuskan untuk meninggalkannya.
Tapi sekarang, di sinilah dia. Mengejar
Mingyu, lagi...
Nana duduk di samping Mingyu.
“Kenapa kau kemari?” Mingyu membuka
suara. Suaranya yang parau, seolah menyimpan jutaan luka dan penyesalan. Namja
itu tak merubah posisinya. Ia tetap terlentang, tak bergerak. Ia juga tak
berusaha menyingkirkan lengan yang menutupi sebagian dari wajahnya.
“Karena ku pikir kau akan menangis.” Jawab
Nana seraya menatap Mingyu lagi.
Mingyu terkekeh sinis.
“Aku tak menangis. Aku tak menangis.” Jawabnya. Tapi Nana tahu ia berbohong. Karena ia
melihat air bening mengalir di pelipis namja tersebut.
Bibir Nana bergetar. Ia menggigitnya
keras hingga terasa sakit. Dan perlahan air matanya pun menitik tanpa bisa ia
tahan.
“Kau menyebalkan, Nana-ah.” Desis Mingyu.
“Kau menyebalkan dari awal kita bertemu.
Mengatakan sesuatu sekehendak hatimu, mengatakan bahwa kau jatuh cinta padaku,
lalu membuat perasaanku jungkir balik. Setelah itu kau pergi, meninggalkanku
begitu saja, seenak hatimu.” Lanjutnya. Bibirnya bergetar. Air mata makin deras
mengaliri pelipisnya.
“Kau pembohong.” Ucapnya lagi.
“Kau pembohong besar, Nana-ah. Kau telah
berjanji untuk senantiasa bersamaku. Kau telah berjanji untuk tidak
meninggalkanku. Kenyatannya apa? Kau pergi. Kau pergi begitu saja. Kau ...
pengkhianat.”
Nana memeluk lututnya lalu
menyembunyikan wajahnya di sana. Dan tangisnya pecah. Ia terisak.
Keduanya sama-sama menangis, selama
beberapa menit.
Dan setelah lelah menangis, Mingyu
bangkit. Ia menatap Nana yang masih menyembunyikan wajahnya di dekapan
lututnya. Namja itu beringsut, meraih kepalanya, lalu memeluk yeoja itu dengan
erat.
“Kembalilah padaku, Nana-ah.” Ucapnya
tulus.
Nana tak menjawab. Tapi Mingyu merasakan
anggukan kepalanya.
***
Jisoo menghempaskan tubuhnya di samping
Mingyu yang menghabiskan waktu istirahatnya hanya dengan duduk-duduk di bangku
taman.
“Jadi, kalian sudah berbaikan lagi.” Ia
bertanya antusias. Mingyu hanya menjawab dengan senyuman.
“Syukurlah. Kalau begitu aku punya
hadiah untukmu.”
Mingyu menatap sahabatnya itu dengan
bingung. Jisoo mengeluarkan phonselnya. Ia menunjukkan sesuatu. Foto Nana,
mengenakan hanbok!
Mingyu membelalak.
“Kau bilang kau sudah menghapusnya?”
Spontan ia berteriak. Jisoo tertawa.
“Aku berbohong.” Jawabnya enteng hingga
membuat Mingyu kesal.
“Akan ku kirimkan padamu.” Ujarnya lagi.
Dan hanya dalam hitungan detik, foto itu sudah terkirim ke phonsel Mingyu.
“Oke. Aku kemari untuk itu saja.” Jisoo
bangkit.
“Apa ini artinya kau menyerah akan
Nana?” Mingyu bertanya. Sahabatnya itu tertawa. Ia menggeleng.
“Jika kau baik padanya, aku takkan
mengejarnya lagi. Tapi jika sampai kau melukai hatinya, aku akan merebutnya
darimu.” Jawabnya. Mingyu mencibir.
“Sialan kau.” Desisnya. Jisoo kembali
tertawa seraya melambaikan tangannya dan beranjak meninggalkannya.
Ketika sampai di lapangan futsal, namja
itu segera di sambut histeris oleh Seok Jin, Doyun dan Leo.
“Kau hebat, Jisoo-ssi. Kau berhasil
membuat Mingyu dan Nana berbaikan kembali.” Seru Doyun antusias. Jisoo
menatapnya bingung.
“Maksudnya?” Ia menggaruk-garuk
kepalanya tak mengerti.
“Coba kalau kau tak berpura-pura menyukai
Nana, maka Mingyu tidak akan tergerak untuk membuat Nana kembali padanya.”
Jelas Doyun lagi.
“Ide yang cerdas. Sengaja membuat Mingyu
cemburu dan akhirnya ....”
“Aku tidak pura-pura.” Potong Jisoo. Ketiga sahabatnya bengong.
“Aku tidak berpura-pura. Aku memang
jatuh cinta dengan Nana.” Lanjutnya.
Mereka terbelalak.
“Haa??” Ketiga namja yang merupakan
sahabat baik Jisoo dan Mingyu itu berteriak hampir bersamaan. Tapi dalam
hitungan detik kemudian, teriakan histeris mereka segera berubah melow.
“Ooh, kasihan sekali kau, Jisoo-ssi. Kau
baik-baik saja ‘kan? Tidak patah hati ‘kan? Apa hatimu masih terluka sekarang?”
Mereka bergantian memeluk Jisoo dan menepuk-nepuk pundaknya.
Jisoo hanya nyengir menghadapi ulah
rekan-rekannya.
***
Nana sedang merapikan alat-alat tulis di
meja belajarnya ketika phonselnya berbunyi dan ia menerima pesan singkat dari
Mingyu.
***--- Besok minggu, ayo kita jalan-jalan. Hanya
kita berdua saja, seharian penuh. Oke? ---***
Nana tersenyum membaca pesan tersebut. Hatinya
gembira bukan main. Yeoja itu menghempaskan tubuhnya di ranjang sambil membaca
pesan tersebut berulang-ulang.
Seharian
penuh, hanya mereka berdua.
***
Salju mulai turun. Nana duduk di sebuah
bangku taman sambil sesekali merapatkan jaketnya. Sebenarnya tadi ia berniat
memakai celana panjang mengingat cuaca sedang dingin. Tapi karena hari ini adalah
hari spesial bersama Mingyu, ia memutuskan mengenakan sebuah dress selutut yang
feminin dipadu ankle boots dengan kaos kaki pendek.
Hari ini ia sengaja berdandan lebih
spesial mengingat hari ini kencan pertama semenjak mereka mulai berbaikan
kembali. Ia sudah menyusun rencana mengenai aktivitas yang akan mereka lakukan
hari ini. Jalan-jalan di taman hiburan, menonton film, menikmati kue dan teh
hangat di area food court, lalu
mengobrol tentang banyak hal. Mereka
akan melakukan aktivitas spesial hari ini. Pasti.
Yeoja itu melirik arloji di pergelangan
tangannya. Mereka janjian ketemu jam 7, tapi sekarang sudah hampir jam 8. Ia
menatap sekelilingnya, tak ada tanda-tanda kemunculan Mingyu.
Nana nyaris menggigil. Tapi ia tak
berniat beranjak. Berkali-kali ia mengecek phonselnya, barangkali saja ada
pesan dari Mingyu. Tapi tak ada.
Dan barulah sekitar 15 menit kemudian,
phonselnya berdering.
“Mingyu-ssi...” Panggilnya segera
setelah ia menekan tombol ‘oke’.
=== Nana-ah, maafkan aku. Sepertinya kita
harus menunda acara hari ini.=== Jawab Mingyu dari seberang sana.
“Dimana kau? Apa yang terjadi?” tanya
Nana.
=== Tiba-tiba saja ada urusan mendadak
yang harus ku kerjakan. Bisakah kau pulang? Nanti aku akan ke rumahmu. ===
“Jam berapa?”
Mingyu tak segera menjawab.
=== Mmm... aku tak tahu. Karena sepertinya,
ini akan sedikit lama. ====
Nana terdiam sesaat.
“Katakan padaku apa yang terjadi.”
Ucapnya kemudian, tegas.
Hening.
=== Ibunya Yuri pingsan. Sekarang aku
bersamanya di rumah sakit.===
Nana serasa membeku seketika. Sesuatu
seakan menohok jantungnya hingga membuat dadanya sesak. Yuri! Yuri, lagi!
“Bagaimana keadaan ibunya?”
=== Sepertinya terkena stroke. Dia belum
keluar dari ruang ICU.===
Nana terdiam.
“Kenapa harus kau yang bersamanya?” Desisnya
kemudian, menahan amarah.
Mingyu tak segera menjawab.
“Kenapa harus kau yang bersamanya?!!” Teriaknya.
=== Selain ibunya, Yuri tak punya
siapa-siapa lagi tempat ia bergantung.
Jadi ... aku tak bisa mengabaikannya.===
Rahang Nana mengeras. Giginya
bergemurutuk.
Tak
bisa mengabaikannya?
“MINGYU-SSI, AKU TAK PEDULI! ABAIKAN
SAJA DIA DAN CEPAT DATANG KEMARI! AKU TAKKAN PULANG!!”
=== Nana-ah ... ===
Pembicaraan terputus. Nana memasukkan
phonselnya ke tas dengan kesal. Kedua matanya berkaca-kaca.
Ia takkan pulang.
Bahkan jika dia harus membeku di taman ini,
ia takkan pulang sampai Mingyu datang! Itu tekadnya.
***
Jisoo sedang membantu di toko makanan
milik orang tuanya ketika phonselnya berdering. Namja bermata indah itu
melemparkan apronnya lalu meraih phonselnya yang tergeletak di meja kasir.
“Yoeboseyo, Mingyu-ah?”
=== Yoeboseyo, Jisoo-ah. Aku bisa minta
tolong?
===
“Ada apa?”
Mingyu terdiam sesaat.
=== Nana sedang menungguku di taman.
Tapi saat ini, aku tak bisa menemuinya. Jadi, bisakah kau menggantikan aku ke
sana.=== Suara Mingyu terdengar pelan.
Jisoo terhenyak.
“Masalah apa lagi yang sedang kau buat?”
Ia bertanya langsung.
Mingyu tak segera menjawab.
=== Aku di rumah sakit. Ibunya Yuri
pingsan. Jadi aku membantu membawanya ke sini.=== Jawabnya
kemudian.
“Idiot!
Kalau begitu kenapa kau tak meninggalkannya sebentar lalu segera menemui Nana?
Kenapa harus kau yang bertanggung jawab atas hidup Yuri dan ibunya?!” Jisoo
berteriak emosi.
=== Aku tak bisa, Jisoo-ah. Kau tahu
Yuri bernasib sama sepertiku. Dia tak punya ayah. Dia tak punya keluarga lain.
Yang dia punya hanya ibunya. Jika tidak kepadaku, kepada siapa lagi ia
bergantung?
===
Gigi jisoo bergemerutuk.
“Sudah ku bilang, apa yang terjadi
antara kau dan Yuri adalah masa lalu. Sampai kapan kau akan terus merasa
bersalah padanya?!” teriaknya.
Mingyu tak segera menjawab.
=== Nana masih di sana. Di taman. Ku
mohon, ajaklah dia pulang. === ucapnya kemudian.
Jisoo merasakan rahangnya mengeras.
“Aku sudah memperingatkanmu, Mingyu-ah.
Jika kau membuat Nana menangis, akan rebut dia darimu, sialan!”
Jisoo menutup telpon dengan marah, lalu
beranjak meraih jaketnya kemudian segera berlari menerjang hujan salju, menuju
ke tempat Nana berada.
***
Mingyu dan Yuri duduk di ruang tunggu
dengan cemas. Beberapa kali Yuri menyeka air matanya yang mengalir dengan
deras.
“Bagaimana jika dia meninggal,
Mingyu-ssi? Aku tak punya siapa-siapa lagi selain ibuku.” Ucap Yuri di sela
isak tangisnya. Mingyu menatapnya.
“Dia akan baik-baik saja.” Jawabnya.
Namja itu mengetukkan tangannya di kursi tunggu dengan gusar. Ia khawatir
dengan ibu Yuri, tapi di satu sisi, ia juga mencemaskan Nana. Salju turun
dengan lebat. Ia pasti kedinginan di taman.
Beberapa menit kemudian dokter keluar
dari ruang ICU dan menemui mereka.
Dia mengatakan bahwa kondisi ibu Yuri
mulai stabil tapi belum bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Yuri tampak lega.
Dan kesempatan itu dimanfaakan Mingyu untuk pamit.
“Kau baik-baik saja ‘kan kalau aku
keluar sebentar? Ada suatu urusan yang harus segera ku selesaikan.” Ucapnya.
Yuri menatapnya. Tapi perlahan ia mengangguk.
“Terima kasih untuk hari ini.”
“Tak masalah.” Mingyu bangkit lalu
beranjak menuju pintu keluar. Yuri mengikuti di belakangya.
“Kau tak ingin makan dulu di
kantin?” Ia menawarkan. Mingyu
menggeleng cepat.
“Tidak, terima kasih. Aku harus segera
pergi dulu.” Namja
itu segera berlari menerjang hujan salju tanpa menunggu Yuri berkata-kata lagi.
***
Nafas
Jisoo terengah-engah. Perlu waktu 10 menit untuk mengitari taman dan mencari
keberadaan Nana. Hingga akhirnya ia menemukan yeoja itu, duduk mematung di
kursi, kedinginan, dan menangis.
Jisoo mendekatinya dengan pilu.
--- Nana ...
--- Mingyu mencintaimu...
--- Kau juga mencintainya...
--- Kalian pasangan yang sempurna.
--- Aku hanyalah seseorang
--- yang cintanya bertepuk sebelah
tangan.
--- Dan aku sudah sering merelakan
kalian berdua untuk bersama.
--- Tapi sekarang, aku melihatmu
menangis. Lagi.
--- Kau menangis lagi karena dia...
--- Sekarang aku tak peduli lagi. Persetan
dengan persahabatan.
--- Aku takkan menyerahkanmu padanya!
--- Aku takkan membiarkanmu menangis
lagi karena dia!
Jisoo menyentuh kepala Nana dengan
lembut. Yeoja itu mendongak. Matanya basah. Bibirnya mulai membiru.
“Ayo kita pulang.” Ucap Jisoo lirih.
Tangis Nana pecah.
“Dia tidak datang, Jisoo-ssi. Dia tidak
datang menemuiku.” Ratapnya. Tubuhnya menggigil.
Jisoo mengangguk. Ia merangkul pundak
Nana, memeluk cewek itu dengan erat, lalu membelai kepalanya dengan lembut.
“Ayo kita pulang.” Ucapnya lagi, lebih lirih.
Lebih kepada sebuah bisikan di telinga Nana.
***
Dan Mingyu terlambat.
Ia terlalu terlambat ketika sampai di
taman. Nana sudah tak ada di sana. Berkali-kali ia mencoba menelponnya, tapi
phonsel yeoja itu tak aktif. Dengan nafas yang masih tersengal, ia beranjak
menghentikan taksi, lalu menyuruh pak sopir memutar arah, menuju rumah Nana.
Ketika sampai di sana, ia masih sempat
melihat Nana dan Jisoo.
“Nana-ah!” Panggil Mingyu seraya
mendekati yeoja tersebut. Nana mundur beberapa langkah dan memilih bersembunyi
di belakang tubuh Jisoo. Ia hanya tak ingin Mingyu melihat dirinya menangis.
“Aku tadi ke taman, mencarimu.” Ucapnya.
Nana tak bersuara, Jisoo juga hanya membisu.
“Nana-ah, maafkan aku. Aku tak bermaksud
mengingkari janji. Tapi, seseorang membutuhkan bantuanku. Jadi ...”
“Pulanglah, Mingyu-ssi.” Nana membuka suara.
Tanpa melihat ke arah namja tersebut.
“Nana-ah, ku mohon.” Mingyu memelas.
“Pulanglah.” Lagi-lagi Nana berkata
lirih.
Jisoo balas menatapnya.
“Pulanglah dulu, Mingyu-ah. Biarkan Nana
sendirian dulu.” Selanya.
“Aku akan pulang tapi setelah berbicara
dengan Nana.” Mingyu ngotot.
Nana terisak di balik punggung Jisoo.
Perlahan yeoja itu beringsut dan menghadap Mingyu.
“Tak ada yang perlu dibicarakan lagi,
Mingyu-ssi. Kau sudah menentukan pilihan ingin bersama siapa. Pulanglah. Aku
tak mau bicara denganmu, aku tak mau melihatmu lagi! Kau senantiasa memintaku
untuk tidak mengkhianatimu. Tapi justru kaulah yang telah mengkhianatiku!”
Teriaknya.
Mingyu membelalak. Ia bergerak maju,
menarik lengan tangan Nana lalu mencengkeramnya erat.
“Siapa yang berkhianat? Berkhianat
adalah ketika kau memperlakukan seseorang dengan manis, lalu kau hancurkan hatinya,
kau injak-injak, kemudian kau tinggalkan dia begitu saja! Kapan aku pernah
melakukannya? Kapan aku pernah meninggalkanmu begitu saja?!” Cengkeraman Mingyu
kian kuat hingga membuat Nana meringis.
“Mingyu-ah, kau menyakitinya.” Jisoo
menghalau tangan Mingyu lalu mendorongnya mundur. Nana juga mundur beberapa
langkah. Sementara Jisoo berdiri di antara mereka.
“Aku menolong Yuri sebagai manusia.
Bukan karena alasan yang lainnya. Jika itu terjadi padamu, ada seseorang nyaris
mati di hadapanmu, kau juga akan menolongnya ‘kan? Ya ‘kan?” Mingyu menatap langsung
ke arah Jisoo.
“Mingyu-ah ...”
“Hanya saja yang kau tolong itu adalah
Yuri. Dia bukan orang luar. Dia adalah seseorang yang pernah terlibat langsung
dengan masa lalumu. Dan itu membuat hatiku sakit!” Nana berteriak. Air matanya
mengalir deras.
Mingyu menatapnya dengan putus asa.
“Pulanglah. Aku tak mau melihatmu lagi.”
Yeoja itu kembali berucap, datar.
Mingyu merasakan kedua bahunya lemas.
Tatapan matanya seketika gelap, tanpa ekspresi, seolah jiwanya telah menghilang
entah kemana.
“Terserah kau saja, Nana-ah. Terserah kau saja.” Suara namja itu
parau. Ia berbalik, melangkahkan kakinya dengan gontai, meninggalkan Jisoo dan
Nana.
***
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar