Senin, 18 Januari 2016

[FF/SVT] Bokura Ga Ita #6




~~~~~~~~~~

Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....

~~~~~~~~~~~~
Berkhianat adalah ketika kau memperlakukan seseorang dengan begitu manis, lalu kau hancurkan hatinya, kau injak-injak, kemudian kau tinggalkan dia begitu saja.

~~~~~~~~~~~~

Part 6

Jisoo berlari-lari kecil menghampiri Nana yang telah menunggunya di depan pintu gerbang. Sebenarnya kemarin ia telah mengutarakan niatnya untuk mengajak Nana berjalan-jalan di pinggir sungai. Jisoo mengatakan bahwa ada dua anak anjing liar yang terlantar di sana dan saat ini belum ada yang mau mengadopsi. Jisoo berniat melakukannya, tapi sayang orang tuanya tak mengijinkannya memelihara binatang karena mereka punya usaha toko makanan.

Jisoo tahu Nana  suka binatang. Ketika ia menceritakan tentang dua anak anjing itu, Nana antusias untuk mengadopsinya.
“Ah, ku pikir kau lupa.” Ujar Nana. Jisoo meringis hingga menunjukkan barisan giginya yang rapi.
“Maaf, Nana-ssi. Ada sesuatu yang harus ku kerjakan lebih dulu. Tapi, hari ini jadi ‘kan?”
Nana mengangguk. Ia menunjukkan tas yang ditentengnya.
“Lihat, aku membawa banyak makanan untuk anjingnya. Mereka harus di rayu-rayu dulu agar mau diajak pulang.” Ujarnya.
“Whoa, kau pengalaman juga ya?”
Nana kembali mengangguk dengan antusias.
“Aku sudah berhasil membawa 2 ekor kucing dan seekor anjing liar.” Jawabnya lagi.
Mereka berjalan beriringan menuju halte bis.  

“Jisoo-ssi, gomawo.” Ucap Nana ketika mereka duduk bersebelahan di halte karena bis yang akan mereka tumpangi belum datang.
“Untuk apa?” Jisoo menatapnya bingung.
“Aku tahu akhir-akhir ini kau berusaha menghiburku atas apa yang terjadi antara aku dan Mingyu.” Jawabnya. Jisoo manggut-manggut.
“Aku hanya tak suka melihatmu murung. Kau lebih cantik kalau sering tersenyum dan ceria seperti biasanya.” jawabnya.

Nana memeluk tas di pangkuannya. Ia menatap ke arah jalanan yang tidak terlalu ramai.
“Kau pernah berkata bahwa mencintai Mingyu ibarat ikut lomba lari. Tak peduli seberapa sering aku harus jatuh bangun, jungkir balik, aku harus berlari sampai selesai. Tapi, ternyata itu tak mudah, Jisoo-ssi. Aku mencintai Mingyu dengan segenap hatiku. Tapi jika ia masih saja terpuruk dengan kenangan Nana sunbae, maka  aku takkan bisa membahagiakannya. Karena orang yang ia harapkan ternyata bukanlah aku, melainkan perempuan lain.” Ucap Nana.

Jisoo menarik nafas panjang. Ia menatap yeoja di sampingnya dengan lembut.
“Semua orang butuh waktu, Nana-ssi. Sama seperti dirimu yang seolah-olah butuh waktu untuk menerima Mingyu apa adanya, Mingyu juga butuh waktu untuk melupakan Nana sunbae selamanya.” Ujarnya.
Nana terdiam.

“Jisoo-ssi, dalam hal ini, apa aku yang bersalah?” Kali ini Ia menatap Jisoo.
“Apa aku bersalah karena tak bisa memahami Mingyu sepenuhnya? Apa aku bersalah karena tak bisa menerima Mingyu hanya karena ia masih mencintai Nana sunbae?”
Jisoo menggeleng pelan.
“Aku tak tahu, Nana-ssi. Hanya kau yang bisa menjawab pertanyaan itu. Tapi satu hal yang pasti, kau tak akan pernah bisa menandingi Nana sunbae. Kau tahu kenapa? Karena kau masih hidup, dan dia sudah tidak ada. Orang hidup, takkan pernah bisa bersaing dengan orang mati.” Ujarnya lirih.
Nana termangu.

“Oh, itu bis nya datang.” Jisoo bangkit. “Yuk.” Ajaknya ketika ia menyadari Nana masih duduk mematung.
Nana tergagap dan mendongak. “Ya.” Ia bangkit. Bis baru saja berhenti di depan halte ketika mereka melihat Mingyu berlari ke arah mereka dengan nafas terengah-engah.

“Nana-ah!!” teriaknya.
Nana dan Jisoo menatapnya dengan bingung. Mingyu berhenti tak jauh dari mereka, menumpukan kedua tangannya di lutut lalu menata nafasnya yang naik turun.

“Aku tak mau putus denganmu.” Ucapnya dengan nafas tersengal. Tatapannya lurus ke arah Nana.
“Jika kau menganggap aku kurang baik untukmu, maka aku akan berusaha lebih baik. Jika kau memintaku melakukan apapun untukmu, maka akan kulakukan.” Mingyu menelan ludah. 
Ia menegakkan tubuhnya.

“Jika kau memintaku melupakan Im Nana selamanya, maka akan kulakukan. Apapun itu, akan kulakukan untukmu!” Teriaknya.
Nana terhenyak.
“Aku mungkin masih belum melupakan Im Nana seutuhnya. Tapi apa yang kurasakan padamu adalah nyata. Cintaku nyata, perhatianku nyata, rasa sayangku nyata. Kembalilah padaku, Nana-ah!” Ia kembali berteriak.

Nana mematung. Jisoo beranjak memasuki bis.
“Nana-ssi. Bis-nya akan segera berjalan.” Panggilnya seraya mengulurkan tanganya ke arah yeoja yang tampak bingung tersebut.
Nana menatap ke arah Jisoo, lalu kembali ke arah Mingyu. Tapi akhirnya ia menerima uluran tangan Jisoo dan melangkahkan kakinya memasuki bis. Pintu tertutup dan kendaraan itu mulai berjalan.
Mingyu berlari mendekati pintu.

“Aku akan menunggumu, Nana-ah! Aku akan menunggumu kembali padaku!”
Teriaknya. Bis berjalan semakin cepat, dan langkah Mingyu terhenti.

***

Nana memeluk tas di dekapannya dengan lebih erat. Pikirannya terasa kalut. Bis yang ia tumpangi terus berjalan, tapi ia tahu hatinya tertinggal di sana,  di halte, tempat Mingyu berada.

“Kau ingin turun di pemberhentian berikutnya?” Pertanyaan Jisoo seakan membuat Nana terjaga dari tidur.
“Nde?” Ia bingung. Namja yang duduk di sampingnya tersenyum.
“Pemberhentian selanjutnya tidak terlalu jauh dengan sekolah. Kau bisa kembali ke sana.” Ucapnya lagi. Nana menunduk. Batinnya bergolak.
“Jisoo-ssi, apa menurutmu saat ini Mingyu sedang menangis?” suaranya pelan.
Jisoo tak segera menjawab. “Sepertinya begitu.” Jawabnya kemudian, lebih pelan.
Nana merasakan dadanya sesak.

“Jika kita menunda acara hari ini, kau tak keberatan ‘kan?” Ia mendongak, menatap Jisoo. Namja itu balas menatapnya. Ia tersenyum lalu mengangguk.
“Gwaencana. Kita bisa menyusun jadwal ulang. Kembalilah ke sekolah.” Ujarnya.
“Dia di halaman belakang, di pojok, dekat ruang seni. Itu tempat persembunyiannya ketika suasana hatinya sedang tak baik.” Lanjutnya. Nana tak bersuara, tapi Jisoo tahu bahwa yeoja itu telah memutuskan untuk kembali ke sekolah, menemui Mingyu.

***

Sesuai perkiraan Jisoo, Mingyu ada di sana. Di halaman belakang, dekat ruang seni. Namja itu merebahkan tubuhnya di rerumputan dengan posisi terlentang. Salah satu tangannya mengepal di atas rumput, sementara lengan tangan yang satunya ia gunakan untuk menutupi kedua matanya.
“Mingyu-ssi.” Panggil Nana lirih. Namja itu tak bersuara. Tapi ia yakin panggilannya di dengar olehnya.

Nana melangkahkan kakinya untuk mendekatinya. Hatinya tercabik-cabik. Ia hanya tak bisa mengerti dengan hubungan mereka. Ada apa dengan mereka berdua?
Nana tak ingin menyakiti hati Mingyu. Begitu pula sebaliknya, ia tak ingin disakiti olehnya. Kenyataannya, namja itu telah membuat hatinya terluka sehingga ia memutuskan untuk meninggalkannya.
Tapi sekarang, di sinilah dia. Mengejar Mingyu, lagi...

Nana duduk di samping Mingyu.
“Kenapa kau kemari?” Mingyu membuka suara. Suaranya yang parau, seolah menyimpan jutaan luka dan penyesalan. Namja itu tak merubah posisinya. Ia tetap terlentang, tak bergerak. Ia juga tak berusaha menyingkirkan lengan yang menutupi sebagian dari wajahnya.

“Karena ku pikir kau akan menangis.” Jawab Nana seraya menatap Mingyu lagi.
Mingyu terkekeh sinis.
“Aku tak menangis. Aku tak menangis.” Jawabnya. Tapi Nana tahu ia berbohong. Karena ia melihat air bening mengalir di pelipis namja tersebut.

Bibir Nana bergetar. Ia menggigitnya keras hingga terasa sakit. Dan perlahan air matanya pun menitik tanpa bisa ia tahan.
“Kau menyebalkan, Nana-ah.” Desis Mingyu.
“Kau menyebalkan dari awal kita bertemu. Mengatakan sesuatu sekehendak hatimu, mengatakan bahwa kau jatuh cinta padaku, lalu membuat perasaanku jungkir balik. Setelah itu kau pergi, meninggalkanku begitu saja, seenak hatimu.” Lanjutnya. Bibirnya bergetar. Air mata makin deras mengaliri pelipisnya.
“Kau pembohong.” Ucapnya lagi.
“Kau pembohong besar, Nana-ah. Kau telah berjanji untuk senantiasa bersamaku. Kau telah berjanji untuk tidak meninggalkanku. Kenyatannya apa? Kau pergi. Kau pergi begitu saja. Kau ... pengkhianat.”

Nana memeluk lututnya lalu menyembunyikan wajahnya di sana. Dan tangisnya pecah. Ia terisak.
Keduanya sama-sama menangis, selama beberapa menit.

Dan setelah lelah menangis, Mingyu bangkit. Ia menatap Nana yang masih menyembunyikan wajahnya di dekapan lututnya. Namja itu beringsut, meraih kepalanya, lalu memeluk yeoja itu dengan erat.
“Kembalilah padaku, Nana-ah.” Ucapnya tulus.
Nana tak menjawab. Tapi Mingyu merasakan anggukan kepalanya.

***

Jisoo menghempaskan tubuhnya di samping Mingyu yang menghabiskan waktu istirahatnya hanya dengan duduk-duduk di bangku taman.
“Jadi, kalian sudah berbaikan lagi.” Ia bertanya antusias. Mingyu hanya menjawab dengan senyuman.
“Syukurlah. Kalau begitu aku punya hadiah untukmu.”
Mingyu menatap sahabatnya itu dengan bingung. Jisoo mengeluarkan phonselnya. Ia menunjukkan sesuatu. Foto Nana, mengenakan hanbok!
Mingyu membelalak.

“Kau bilang kau sudah menghapusnya?” Spontan ia berteriak. Jisoo tertawa.
“Aku berbohong.” Jawabnya enteng hingga membuat Mingyu kesal.
“Akan ku kirimkan padamu.” Ujarnya lagi. Dan hanya dalam hitungan detik, foto itu sudah terkirim ke phonsel Mingyu.
“Oke. Aku kemari untuk itu saja.” Jisoo bangkit.
“Apa ini artinya kau menyerah akan Nana?” Mingyu bertanya. Sahabatnya itu tertawa. Ia menggeleng.
“Jika kau baik padanya, aku takkan mengejarnya lagi. Tapi jika sampai kau melukai hatinya, aku akan merebutnya darimu.” Jawabnya. Mingyu mencibir.
“Sialan kau.” Desisnya. Jisoo kembali tertawa seraya melambaikan tangannya dan beranjak meninggalkannya.

Ketika sampai di lapangan futsal, namja itu segera di sambut histeris oleh Seok Jin, Doyun dan Leo.
“Kau hebat, Jisoo-ssi. Kau berhasil membuat Mingyu dan Nana berbaikan kembali.” Seru Doyun antusias. Jisoo menatapnya bingung.
“Maksudnya?” Ia menggaruk-garuk kepalanya tak mengerti.
“Coba kalau kau tak berpura-pura menyukai Nana, maka Mingyu tidak akan tergerak untuk membuat Nana kembali padanya.” Jelas Doyun lagi.
“Ide yang cerdas. Sengaja membuat Mingyu cemburu dan akhirnya ....”
“Aku tidak pura-pura.” Potong Jisoo.  Ketiga sahabatnya bengong.
“Aku tidak berpura-pura. Aku memang jatuh cinta dengan Nana.” Lanjutnya.
Mereka terbelalak.
“Haa??” Ketiga namja yang merupakan sahabat baik Jisoo dan Mingyu itu berteriak hampir bersamaan. Tapi dalam hitungan detik kemudian, teriakan histeris mereka segera berubah melow.
“Ooh, kasihan sekali kau, Jisoo-ssi. Kau baik-baik saja ‘kan? Tidak patah hati ‘kan? Apa hatimu masih terluka sekarang?” Mereka bergantian memeluk Jisoo dan menepuk-nepuk pundaknya.
Jisoo hanya nyengir menghadapi ulah rekan-rekannya.

***

Nana sedang merapikan alat-alat tulis di meja belajarnya ketika phonselnya berbunyi dan ia menerima pesan singkat dari Mingyu.

***--- Besok minggu, ayo kita jalan-jalan. Hanya kita berdua saja, seharian penuh. Oke? ---***

Nana tersenyum membaca pesan tersebut. Hatinya gembira bukan main. Yeoja itu menghempaskan tubuhnya di ranjang sambil membaca pesan tersebut berulang-ulang.

Seharian penuh, hanya mereka berdua.

***

Salju mulai turun. Nana duduk di sebuah bangku taman sambil sesekali merapatkan jaketnya. Sebenarnya tadi ia berniat memakai celana panjang mengingat cuaca sedang dingin. Tapi karena hari ini adalah hari spesial bersama Mingyu, ia memutuskan mengenakan sebuah dress selutut yang feminin dipadu ankle boots dengan kaos kaki pendek.
Hari ini ia sengaja berdandan lebih spesial mengingat hari ini kencan pertama semenjak mereka mulai berbaikan kembali. Ia sudah menyusun rencana mengenai aktivitas yang akan mereka lakukan hari ini. Jalan-jalan di taman hiburan, menonton film, menikmati kue dan teh hangat di area food court, lalu  mengobrol tentang banyak hal.  Mereka akan melakukan aktivitas spesial hari ini. Pasti.

Yeoja itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Mereka janjian ketemu jam 7, tapi sekarang sudah hampir jam 8. Ia menatap sekelilingnya, tak ada tanda-tanda kemunculan Mingyu.
Nana nyaris menggigil. Tapi ia tak berniat beranjak. Berkali-kali ia mengecek phonselnya, barangkali saja ada pesan dari Mingyu. Tapi tak ada.
Dan barulah sekitar 15 menit kemudian, phonselnya berdering.

“Mingyu-ssi...” Panggilnya segera setelah ia menekan tombol ‘oke’.

=== Nana-ah, maafkan aku. Sepertinya kita harus menunda acara hari ini.=== Jawab Mingyu dari seberang sana.

“Dimana kau? Apa yang terjadi?” tanya Nana.

=== Tiba-tiba saja ada urusan mendadak yang harus ku kerjakan. Bisakah kau pulang? Nanti aku akan ke rumahmu. ===

“Jam berapa?”

Mingyu tak segera menjawab.

=== Mmm... aku tak tahu. Karena sepertinya, ini akan sedikit lama. ====

Nana terdiam sesaat.
“Katakan padaku apa yang terjadi.” Ucapnya kemudian, tegas.
Hening.

=== Ibunya Yuri pingsan. Sekarang aku bersamanya di rumah sakit.===

Nana serasa membeku seketika. Sesuatu seakan menohok jantungnya hingga membuat dadanya sesak. Yuri! Yuri, lagi! 

“Bagaimana keadaan ibunya?”

=== Sepertinya terkena stroke. Dia belum keluar dari ruang ICU.===

Nana terdiam.
“Kenapa harus kau yang bersamanya?” Desisnya kemudian, menahan amarah.
Mingyu tak segera menjawab.
“Kenapa harus kau yang bersamanya?!!” Teriaknya.

=== Selain ibunya, Yuri tak punya siapa-siapa lagi tempat ia bergantung.  Jadi ... aku tak bisa mengabaikannya.===

Rahang Nana mengeras. Giginya bergemurutuk.
Tak bisa mengabaikannya?

“MINGYU-SSI, AKU TAK PEDULI! ABAIKAN SAJA DIA DAN CEPAT DATANG KEMARI! AKU TAKKAN PULANG!!”

=== Nana-ah ... ===

Pembicaraan terputus. Nana memasukkan phonselnya ke tas dengan kesal. Kedua matanya berkaca-kaca.
Ia takkan pulang.
Bahkan jika dia harus membeku di taman ini, ia takkan pulang sampai Mingyu datang! Itu tekadnya.

***

Jisoo sedang membantu di toko makanan milik orang tuanya ketika phonselnya berdering. Namja bermata indah itu melemparkan apronnya lalu meraih phonselnya yang tergeletak di meja kasir.

“Yoeboseyo, Mingyu-ah?”

=== Yoeboseyo, Jisoo-ah. Aku bisa minta tolong? ===

“Ada apa?”

Mingyu terdiam sesaat.

=== Nana sedang menungguku di taman. Tapi saat ini, aku tak bisa menemuinya. Jadi, bisakah kau menggantikan aku ke sana.===  Suara Mingyu terdengar pelan.

Jisoo terhenyak.
“Masalah apa lagi yang sedang kau buat?” Ia bertanya langsung.
Mingyu tak segera menjawab.

=== Aku di rumah sakit. Ibunya Yuri pingsan. Jadi aku membantu membawanya ke sini.=== Jawabnya kemudian.

Idiot! Kalau begitu kenapa kau tak meninggalkannya sebentar lalu segera menemui Nana? Kenapa harus kau yang bertanggung jawab atas hidup Yuri dan ibunya?!” Jisoo berteriak emosi.

=== Aku tak bisa, Jisoo-ah. Kau tahu Yuri bernasib sama sepertiku. Dia tak punya ayah. Dia tak punya keluarga lain. Yang dia punya hanya ibunya. Jika tidak kepadaku, kepada siapa lagi ia bergantung? ===

Gigi jisoo bergemerutuk.
“Sudah ku bilang, apa yang terjadi antara kau dan Yuri adalah masa lalu. Sampai kapan kau akan terus merasa bersalah padanya?!” teriaknya.
Mingyu tak segera menjawab.

=== Nana masih di sana. Di taman. Ku mohon, ajaklah dia pulang. === ucapnya kemudian.

Jisoo merasakan rahangnya mengeras.
“Aku sudah memperingatkanmu, Mingyu-ah. Jika kau membuat Nana menangis, akan rebut dia darimu, sialan!”
Jisoo menutup telpon dengan marah, lalu beranjak meraih jaketnya kemudian segera berlari menerjang hujan salju, menuju ke tempat Nana berada.

***

Mingyu dan Yuri duduk di ruang tunggu dengan cemas. Beberapa kali Yuri menyeka air matanya yang mengalir dengan deras.
“Bagaimana jika dia meninggal, Mingyu-ssi? Aku tak punya siapa-siapa lagi selain ibuku.” Ucap Yuri di sela isak tangisnya. Mingyu menatapnya.
“Dia akan baik-baik saja.” Jawabnya. Namja itu mengetukkan tangannya di kursi tunggu dengan gusar. Ia khawatir dengan ibu Yuri, tapi di satu sisi, ia juga mencemaskan Nana. Salju turun dengan lebat. Ia pasti kedinginan di taman.

Beberapa menit kemudian dokter keluar dari ruang ICU dan menemui mereka.
Dia mengatakan bahwa kondisi ibu Yuri mulai stabil tapi belum bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Yuri tampak lega. Dan kesempatan itu dimanfaakan Mingyu untuk pamit.

“Kau baik-baik saja ‘kan kalau aku keluar sebentar? Ada suatu urusan yang harus segera ku selesaikan.” Ucapnya. Yuri menatapnya. Tapi perlahan ia mengangguk.
“Terima kasih untuk hari ini.”
“Tak masalah.” Mingyu bangkit lalu beranjak menuju pintu keluar. Yuri mengikuti di belakangya.
“Kau tak ingin makan dulu di kantin?”  Ia menawarkan. Mingyu menggeleng cepat.
“Tidak, terima kasih. Aku harus segera pergi dulu.  Namja itu segera berlari menerjang hujan salju tanpa menunggu Yuri berkata-kata lagi.

***

            Nafas Jisoo terengah-engah. Perlu waktu 10 menit untuk mengitari taman dan mencari keberadaan Nana. Hingga akhirnya ia menemukan yeoja itu, duduk mematung di kursi, kedinginan, dan menangis.
Jisoo mendekatinya dengan pilu.

--- Nana ...
--- Mingyu mencintaimu...
--- Kau juga mencintainya...
--- Kalian pasangan yang sempurna.
--- Aku hanyalah seseorang
--- yang cintanya bertepuk sebelah tangan.
--- Dan aku sudah sering merelakan kalian berdua untuk bersama.
--- Tapi sekarang, aku melihatmu menangis. Lagi.
--- Kau menangis lagi karena dia...
--- Sekarang aku tak peduli lagi. Persetan dengan persahabatan.
--- Aku takkan menyerahkanmu padanya!
--- Aku takkan membiarkanmu menangis lagi karena dia!

Jisoo menyentuh kepala Nana dengan lembut. Yeoja itu mendongak. Matanya basah. Bibirnya mulai membiru.
“Ayo kita pulang.” Ucap Jisoo lirih. Tangis Nana pecah.
“Dia tidak datang, Jisoo-ssi. Dia tidak datang menemuiku.” Ratapnya. Tubuhnya menggigil.
Jisoo mengangguk. Ia merangkul pundak Nana, memeluk cewek itu dengan erat, lalu membelai kepalanya dengan lembut.
“Ayo kita pulang.” Ucapnya lagi, lebih lirih. Lebih kepada sebuah bisikan di telinga Nana.

***

Dan Mingyu terlambat.
Ia terlalu terlambat ketika sampai di taman. Nana sudah tak ada di sana. Berkali-kali ia mencoba menelponnya, tapi phonsel yeoja itu tak aktif. Dengan nafas yang masih tersengal, ia beranjak menghentikan taksi, lalu menyuruh pak sopir memutar arah, menuju rumah Nana.

Ketika sampai di sana, ia masih sempat melihat Nana dan Jisoo.

“Nana-ah!” Panggil Mingyu seraya mendekati yeoja tersebut. Nana mundur beberapa langkah dan memilih bersembunyi di belakang tubuh Jisoo. Ia hanya tak ingin Mingyu melihat dirinya menangis.

“Aku tadi ke taman, mencarimu.” Ucapnya. Nana tak bersuara, Jisoo juga hanya membisu.
“Nana-ah, maafkan aku. Aku tak bermaksud mengingkari janji. Tapi, seseorang membutuhkan bantuanku. Jadi ...”
“Pulanglah, Mingyu-ssi.” Nana membuka suara. Tanpa melihat ke arah namja tersebut.
“Nana-ah, ku mohon.” Mingyu memelas.
“Pulanglah.” Lagi-lagi Nana berkata lirih.

Jisoo balas menatapnya.
“Pulanglah dulu, Mingyu-ah. Biarkan Nana sendirian dulu.” Selanya.
“Aku akan pulang tapi setelah berbicara dengan Nana.” Mingyu ngotot.
Nana terisak di balik punggung Jisoo. Perlahan yeoja itu beringsut dan menghadap Mingyu.
“Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Mingyu-ssi. Kau sudah menentukan pilihan ingin bersama siapa. Pulanglah. Aku tak mau bicara denganmu, aku tak mau melihatmu lagi! Kau senantiasa memintaku untuk tidak mengkhianatimu. Tapi justru kaulah yang telah mengkhianatiku!” Teriaknya.

Mingyu membelalak. Ia bergerak maju, menarik lengan tangan Nana lalu mencengkeramnya erat.

“Siapa yang berkhianat? Berkhianat adalah ketika kau memperlakukan seseorang dengan manis, lalu kau hancurkan hatinya, kau injak-injak, kemudian kau tinggalkan dia begitu saja! Kapan aku pernah melakukannya? Kapan aku pernah meninggalkanmu begitu saja?!” Cengkeraman Mingyu kian kuat hingga membuat Nana meringis.

“Mingyu-ah, kau menyakitinya.” Jisoo menghalau tangan Mingyu lalu mendorongnya mundur. Nana juga mundur beberapa langkah. Sementara Jisoo berdiri di antara mereka.

“Aku menolong Yuri sebagai manusia. Bukan karena alasan yang lainnya. Jika itu terjadi padamu, ada seseorang nyaris mati di hadapanmu, kau juga akan menolongnya ‘kan? Ya ‘kan?” Mingyu menatap langsung ke arah Jisoo.
“Mingyu-ah ...”
“Hanya saja yang kau tolong itu adalah Yuri. Dia bukan orang luar. Dia adalah seseorang yang pernah terlibat langsung dengan masa lalumu. Dan itu membuat hatiku sakit!” Nana berteriak. Air matanya mengalir deras.

Mingyu menatapnya dengan putus asa.
“Pulanglah. Aku tak mau melihatmu lagi.” Yeoja itu kembali berucap, datar.
Mingyu merasakan kedua bahunya lemas. Tatapan matanya seketika gelap, tanpa ekspresi, seolah jiwanya telah menghilang entah kemana.
“Terserah kau saja, Nana-ah. Terserah kau saja.” Suara namja itu parau. Ia berbalik, melangkahkan kakinya dengan gontai, meninggalkan Jisoo dan Nana.

***

Bersambung ....
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar