Senin, 18 Januari 2016

[FF/SVT] Bokura Ga Ita #5




~~~~~~~~~~

Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....

~~~~~~~~~~~~

Part 5

Nana menutup muka dengan kedua tangannya. Bahunya terguncang. Yeoja itu terisak. Sementara Mingyu hanya mampu menatapnya pilu, menunggunya menangis, selama hampir setengah jam.
“Maafkan aku, Nana-ah.” Akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Mingyu setelah tangis Nana agak reda.
“Jika saja aku mampu kembali ke masa lampau, akan ku hapus semua kenangan yang bisa membuatmu menangis. Sayangnya aku tak bisa. Masa lalu itu, akan terus bersamaku, mengikutiku, kemanapun dan dimanapun aku berada.” Suaranya parau.
Nana mendongak dan menatapnya.
Hening lagi.
“Kau dan Yuri, kapan kejadiannya?” Suara yeoja itu bergetar.
“Setelah Im Nana meninggal.”
“Dan kenapa kau melakukannya?”
Mingyu tak segera menjawab.

“Perasaanku pada Im Nana begitu campur aduk. Aku sedih ketika dia meninggal. Tapi aku marah karena dia mengkhianatiku, tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku tahu bahwa selama menjadi pacarku, ia sering keluar dengan namja lain. Teman-temankupun tahu hal itu. Ketika kami mulai berpacaran, mereka sudah memperingatkanku bahwa Im Nana bukan yeoja baik-baik. Tapi, rasa cintaku padanya tak bisa ku bendung...” Kedua mata Mingyu tampak berkaca-kaca.
“Aku bahkan tak datang ke pemakamannya,” ia melanjutkan.
“Beberapa minggu setelahnya, aku baru datang ke rumahnya. Dan yang kutemui waktu itu adalah Yuri. Ia mengenakan baju Im Nana, dan ia menangis sendirian. Waktu itu aku hanya ingin menenangkannya. Tapi, entahlah, semua terjadi begitu saja. Aku melakukan sebuah kesalahan fatal,”
Nana kembali merasakan dadanya sesak.
“Apakah kau mencintai Yuri?”
“Tidak.” Mingyu menggeleng.
“Kalau begitu, apakah kau masih mencintai Nana sunbae?”
Namja itu tak menjawab.
“Atau kau membencinya?”
Lagi-lagi ia tak menjawab.
Nana menggigit bagian dalam bibirnya dengan kesal.
“Jawab aku Mingyu-ssi! Katakan apa yang ada di kepalamu! Katakan apa yang menjadi bebanmu! Apa kau masih mencintai Im Nana? Atau kau membencinya? Perempuan itu memang telah mengkhianatimu berkali-kali, melukai perasaanmu. Jadi jika kau ingin marah, marahlah! Jika kau ingin membenci, bencilah! Jika kau ingin mengutuk, memaki, memakilah! Tapi setelah itu, cukup sampai di sini cerita tentang dia. Dia sudah pergi, selamanya. Jadi kau harus berhenti memikirkannya!” Nana berteriak. Ia tak mampu mengontrol emosinya.

“Bagaimana mungkin aku bisa berhenti memikirkannya!?” Mingyu juga berteriak. Nana menatapnya tak mengerti.
“Aku mungkin marah padanya, tapi aku takkan bisa membenci perempuan yang paling kucintai di muka bumi ini,” ia kembali berkata-kata.
Nana merasakan kakinya tak lagi berpijak di tempatnya semula. Tubuhnya serasa mati rasa.

Perempuan yang paling ia cintai di muka bumi ini ....
Kalimat itu berdentam di kepalanya.

“Apapun yang ia lakukan, berapa kalipun ia mengkhinatiku, melukaiku, aku memaafkannya. Aku memaafkan semua kesalahannya. Bahkan jika mampu, aku ingin ia kembali. Aku ingin ia kembali ke dunia ini dan hidup bersamaku, selamanya!” Mingyu kembali berteriak dan bersamaan dengan itu air matanya menitik.
Hati Nana hancur seketika.
Ia bersandar lemas di kursi dan menatap namja di hadapannya dengan lunglai.
“Lalu aku apa ini apa?” Yeoja itu mendesis.
Mingyu tak bersuara.

Air mata Nana kembali menitik.

Cukup ... Semua cukup sampai di sini .....

Perempuan itu bangkit dengan sedikit tertatih lalu meraih tas nya.
“Aku tak bisa melakukan ini lagi, Mingyu-ssi. Aku tak bisa terus bersamamu jika di kepalamu masih dipenuhi kenangan-kenangan tentang Im Nana. Aku menyerah. Aku-menyerah,” ia beranjak. Meninggalkan ruang kelas. Meninggalkan Mingyu, sendirian.
Ia memutuskan menyerah.
Dan itu artinya, hubungan mereka berakhir...

***

            Hujan turun dengan deras. Mingyu berdiri mematung di teras sekolah. Tatapannya menerawang ke halaman sekolah yang tergenang air hujan. Beberapa kali angin menebarkan air hujan ke arahnya hingga sebagian bajunya, wajahnya dan rambutnya mulai basah. Namun pemuda itu tak berniat beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Ia masih berdiri di sana, seolah menantang hujan, entah untuk apa.

“Kau tak membawa payung?”
Suara itu membuat Mingyu menoleh. Yuri berdiri tak jauh di belakangnya, membawa payung.
“Aku membawa 2 payung jika kau mau pinjam,” ia kembali menawarkan.
“Tidak, terima kasih.” Mingyu menjawab sambil membuang kembali pandangannya ke halaman sekolah.
“Nana mencampakkanku. Kau puas?” Ucap Mingyu lagi. Yuri tak menjawab.

“Aku telah menceritakan apa yang terjadi di antara kita. Dan dia menangis.” Namja itu melanjutkan. Suaranya parau.
“Apa kau patah hati sekarang? Apa kau menghendaki aku membuatmu ‘nyaman’ seperti yang kita lakukan ketika  Nana eonni...”
Mingyu terkekeh sinis hingga kalimat Yuri terhenti.
“Aku tidak akan pernah melakukan kesalahan seperti itu lagi, Yuri. Tidak akan pernah,” jawabnya.
“Itu bukan kesalahan, Mingyu-ssi.” Kilah Yuri.

Mingyu kembali menoleh dan menatapnya. Yuri juga tengah menatapnya lekat.
“Itu bukan kesalahan. Mungkin kau beranggapan bahwa kau telah memanfaatkanku. Tapi sejujurnya, tidak. Apa yang kurasakan padamu adalah nyata, Mingyu-ssi. Aku mencintaimu. Aku bahkan sudah jatuh cinta padamu sejak SMP,  jauh sebelum kau jatuh cinta pada kakakku,” suara Yuri setengah tertahan.

Mingyu menatapnya tanpa ekspresi.
Hening sesaat.
“Terima kasih. Tapi aku tak peduli.” Namja itu beranjak, menerjang hujan, melewati halaman sekolah yang tergenang air. Ia terus melangkah, tanpa menghiraukan dirinya yang basah, tanpa menoleh kembali ke arah Yuri.


***

Sudah seminggu sejak Mingyu dan Nana putus. Dan rumor terus bermunculan tentang penyebab kandasnya hubungan mereka. Tapi rumor akan senantiasa menjadi rumor. Karena baik Mingyu maupun Nana tak pernah mau membicarakannya lagi dengan siapapun.
Situasi menjadi canggung. Mereka saling tak bertegur sapa walau berada dalam kelas yang sama.

***

Jisoo hanya mampu menarik nafas kesal ketika mendapati Mingyu telah meringkuk di ranjangnya. Namja itu pasti masuk ke kamarnya lewat jendela, hal yang selalu ia lakukan selama ini jika kepalanya sedang banyak pikiran.
“Masih patah hati?” Jisoo bertanya sambil duduk di lankan jendela.
Mingyu tak segera menjawab.
“Hari ini aku menelpon Nana sebanyak 50 kali. Tapi ia menolak mengangkatnya.” Jawabnya kemudian.
“Kalau begitu, telponlah seratus kali. Jika ia tetap menolak mengangkatnya, telponlah lagi 200 kali.” Ujar Jisoo.
Mingyu kembali terdiam.
“Jika kau memang mencintai Nana, kau harus mengerahkan seluruh tenagamu. Kau harus menyerahkan seluruh hatimu. Sudah saatnya kau melupakan Nana sunbae. Dia sudah pergi, Mingyu-ah. Kau harus merelakannya.” Ucap Jisoo lagi.
Mingyu terkekeh.
“Bicara tak semudah melakukannya, Jisoo-ah.” Gumamnya.
“Karena kau tak berusaha melakukannya. Hatimu masih diliputi perasaan tentang Nana. Rasa amarah, benci, cinta, semua menjadi satu. Jika kau terus seperti ini, tidak hanya Nana yang terluka, tapi juga kau sendiri.”
Mingyu terdiam lagi. Perlahan ia bangkit.
“Ah sudahlah. Kenyataannya Nana telah menolakku. Putus ya putus saja.” Ia melangkah ke arah jendela.
“Mau kemana?”
“Mencari hiburan. Seok Jin dan Doyun mengajakku ke kafe. Dia bilang, akan ada banyak wanita cantik di sana.” Ia menjawab enteng seraya meraih sepatunya lalu segera meloncat ke luar jendela.

***

Seok Jin dan Doyun mengajak Mingyu ke kafe yang biasa dijadikan tempat nongkrong anak-anak muda. Mereka ternyata telah janjian untuk ketemu beberapa yeoja yang dandannya terlihat lebih dewasa dari umurnya dan yang – entah Seok Jin dan Doyun mengenal mereka dari mana. Toh Mingyu enggan menanyakannya.

Sementara kedua sahabatnya sibuk bercanda dengan mengobrol dengan mereka, Mingyu malah duduk membisu di kursinya sembari terus mengutak-atik phonselnya.
“Hei, kenapa sejak tadi kau diam terus?” Yeoja berambut panjang beringsut mendekati Mingyu. Mingyu hanya tersenyum.
“Dia baru putus.” Celetuk Doyun.
“Oh ya? Kasihan sekali.” Yeoja itu menatap Mingyu dengan iba.
Mingyu hanya terkekeh, meletakkan phonselnya di meja lalu meraih minumannya.
“Biasa saja.” Jawabnya.

Yeoja berambut panjang itu menatap phonsel Mingyu sesaat lalu meraihnya.
“Oh, inikah mantan pacarmu?” Ia menunjukkan layar yang memperlihatkan foto Nana. Mingyu hanya mengangguk cuek seraya membuang pandangannya ke tempat lain.
“Kau masih mencintainya?”
“Tidak.” Mingyu menjawabnya cepat.
Yeoja berambut panjang itu manggut-manggut.

“Kau layak mendapatkan yang lebih baik daripada dia. Lihatlah, dia terlihat biasa saja. Dia bahkan tidak terlihat cantik sama sekali. Pipinya terlalu gemuk. Dan matanya terlalu kecil.”
Mingyu kembali membuang pandangannya ke tempat lain tanpa mempedulikan yeoja berambut panjang yang nyerocos kemana-mana.
“Well, kau harus membuang semua kenangan tentang dia jika ingin move-on. Akan ku bantu kau menghapusnya.” Yeoja itu terus berkomentar.

Mingyu terhenyak. Ia menoleh, dan menyaksikan yeoja itu mengutak-atik phonselnya.
“Apa yang kau lakukan?!” Ia berteriak seraya menyambar phonsel tersebut dari tangannya. Yeoja itu terlihat kaget mendengar teriakan Mingyu.
“Aku ... sudah menghapus fotonya.” Jawabnya ragu.
Mingyu menatapnya dengan tajam, lalu beralih ke arah phonselnya. Layar phonsel itu tampak kosong. Foto Nana yang biasa menjadi wallpaper kini tak ada lagi.

“Apa yang kau lakukan dengan fotonya?!” Ia kembali berteriak marah.
Yeoja itu pucat seketika.
“Kau bilang kau tak mencintainya lagi. Jadi ... aku...”
“Bahkan jika aku tak mencintainya, kau tak punya hak untuk menghapus fotonya! Lancang sekali kau!” Mingyu bangkit dan menatap yeoja itu dengan penuh amarah.
Seok Jin mendekatinya.
“Mingyu-ah, tenanglah. Banyak orang melihat kita.” Ia berbisik.
Mingyu menggigit bibirnya.
“Maafkan aku. Aku tak bermaksud ...” Yeoja itu meminta maaf.

Tanpa menunggu ia menyelesaikan kalimatnya, Mingyu beranjak.
“Aku pulang.” Ucapnya seraya melangkahkan kakinya keluar dari kafe tersebut. Ia tak menghiraukan lagi panggilan Seok Jin dan Doyun. Sepanjang perjalanan, ia sibuk menelpon Jisoo.

“Yoeboseyo, Jisoo-ah ... Kau masih punya foto Nana? Itu, fotonya yang memakai hanbok. Seorang yeoja sok tahu menghapus fotonya dari phonselku. Jadi, tolong kirimkan padaku file-nya. Sekarang juga.” Ucapnya gusar.

=== Foto itu sudah tak ada. ===  Terdengar Take menjawab dari seberang sana.

“Bohong. Kau bilang kau akan menyimpannya sebagai cadangan ‘kan?”

=== Tapi kau sudah memintaku untuk menghapusnya. Jadi foto itu tak ada lagi.===

Mingyu mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.

“Katakan kalau kau bohong,  Jisoo-ah. Kau masih punya fotonya ‘kan?!” Ia berteriak kesal. Entah kesal pada siapa.

=== Sudah ku bilang, aku tak punya.=== Lagi-lagi Jisoo menjawab.

Mingyu meringis. Ia menghentikan langkahnya, menutup pembicaraan dengan Jisoo, lalu menatap layar phonselnya dengan tatapan sendu. Beberapa bulan ini ia akrab dengan foto Nana di wallpaper phonselnya. Tapi sekarang, foto itu tak ada. Hatinya hampa.
Mingyu duduk di pinggir jalan dengan asal, dan perlahan air matanya menitik.

***

Jisoo sedang tertidur lelap ketika ia merasakan seseorang mengguncang-guncang tubuhnya.
“Jisoo-ah, bangunlah. Ayo bangun.” Selimutnya juga ditarik-tarik.
Jisoo menggerutu lalu menyipitkan matanya hanya untuk melihat siapa orang lancang yang telah mengganggu tidurnya.
“Mingyu-ah? Astaga, untuk apa kau di sini?” Ia menggumam kesal ketika menyaksikan Mingyu sudah ada di samping ranjangnya.
Namja itu menatap ke arah jam weker di nakas. Jam 2 dini hari! Ia kembali menggerutu.

“Ya ampun, ini jam 2 dini hari. Apa yang kau lakukan di kamarku?”
“Foto Nana. Di mana kau menyimpannya? Beritahu padaku, sekarang juga.” Mingyu mengomel.
“Malam-malam kau ke sini hanya untuk menanyakan itu?”
“Ya.” Mingyu menjawab cepat.
“Keluar kau dari kamarku, sialan. Aku mau tidur.Jisoo berguling dan membenahi selimutnya. Tapi lagi-lagi Mingyu menarik-narik selimut tersebut.
“Fotonya mana? Kirimkan padaku, sekarang juga.”
“Aku tak punya lagi.” Jawab Jisoo dengan malas-malasan.
“Bohong.”
“Aku ngantuk.” Jisoo kembali menarik selimutnya.
“Mana phonselmu?”
“Sudah ku bilang aku tak punya. Lagipula, apa untungnya menyimpan foto pacar orang lain. Kurang kerjaan.”
“Jisoo-ah!” Mingyu kembali mengguncang-guncang tubuh Jisoo.
Jisoo menggerutu. Kali ini matanya terbuka sepenuhnya dan menatap Mingyu.
“Araseo. Bisakah kau membiarkanku tidur dulu dengan nyenyak. Seharian ini aku sudah capek membantu ibuku di toko. Besok aku akan mencoba me-recover file tersebut karena file tersebut sudah ku hapus. Tapi, biarkan aku tidur lagi. Nde? Mingyu-ah sayang?”
Mingyu menatapnya tak percaya.
“Janji?”
Jisoo mengangguk dengan malas.
“Baiklah. Sekarang kau bisa tidur lagi.” Jawab Mingyu.
“Dan kau bisa pulang dulu. oke?”
“Tidak. Aku di sini saja.” Jawab Mingyu lagi.
Mingyu memutar bola matanya dengan kesal.
“Terserah.” Jawabnya seraya kembali menarik selimut menutupi tubuhnya.
“Selamat tidur, Mingyu-ah.” Ucapnya.

Mingyu tak menjawab. Namja itu duduk di lantai sementara kepalanya ia sandarkan di ranjang Jisoo.
“Jisoo-ah, aku ingin cerita.” Ucapnya pelan.
“Hmm...” Jisoo hanya menjawab dengan gumaman.
“Hari ini yeoja yang kutemui ...”
“Hmm....”
“Ia mengatakan bahwa Nana tidak cantik. Dia bilang, pipinya terlalu gemuk dan matanya terlalu kecil. Hah, memangnya dia siapa berani menilai Nana. Dia bahkan tidak ada apa-apanya di banding Nana. Dia harus bertemu langsung dengan Nana agar ia tahu bahwa Nana adalah yeoja paling cantik di dunia ini. Ia jauh-jauh-jauuuh lebih cantik dari sekedar yeoja yang hobi memakai make-up seperti mereka. Dan pipinya, memangnya ada apa dengan pipinya? Ia punya pipi yang imut. Pipinya memang gemuk. Pipi yang mengingatkanku pada kue kesukaanku, kue bolu kukus.”  Mingyu mengoceh.
Entah mengoceh pada siapa.

Mata Jisoo terpejam. Tapi ia mendengarkan cerita Mingyu dengan seksama.
“Dan matanya. Matanya memang kecil. Tapi itu adalah mata bening terindah yang pernah ku temui.” Ia melanjutkan.
“Aku kangen padanya, Jisoo-ah. Aku kangen pada Nana. Nana-ku.” Kali ini ucapannya lirih, terdengar putus asa dan tak bernyawa.

“Mingyu-ah, siapa yang paling cantik? Nana sunbae? Atau ... Nana?” Kali ini Jisoo tak mampu menahan keinginannya untuk bertanya. Ia bertanya tanpa membuka mata, tanpa merubah posisi tubuhnya.
Mingyu tak segera menjawab.
“Aku tak tahu. Kecuali jika kau bisa membawa mereka berdua ke hadapanku, maka akan ku jawab siapa di antara mereka yang paling cantik.” Ucapnya kemudian.
Mereka terdiam sesaat.

“Bahkan jika Nana sunbae masih hidup, kau tidak akan pernah cocok dengannya, Mingyu-ah?”
“Wae?”
“Karena kalian sama.”
“Kenapa jika kami sama? Bukankah itu lebih baik.” Mingyu terkekeh.
Jisoo membuka mata perlahan.
“Nana sunbae adalah tipe orang yang kekurangan cinta. Dan kau juga. Kau adalah tipe orang yang juga kekurangan cinta. Sementara Nana, Kim Nana ...” Kalimatnya terhenti sesaat.
“Kim Nana, ia adalah tipe orang yang akan memberikan cinta, sebanyak yang ia punya.” Lanjutnya. “Sekarang kau tahu dengan siapa seharusnya kau memberikan seluruh hatimu. Aku benar ‘kan?” Ujar Jisoo lagi.
Mingyu tak bersuara.

“Bagaimana jika aku mendekati Nana?” Ucapan Jisoo membuat Mingyu mengernyit.
“Apa maksudmu?” Namja jangkung ia bertanya spontan.
“Kau sudah resmi putus dengannya ‘kan? Kau juga sudah berlaku tak adil padanya karena hatimu masih dipenuhi kenangan tentang Nana sunbae. Jadi, jika suatu saat nanti Nana bertemu dengan namja lain yang mampu membuatnya bahagia, kau harus merelakannya.”
Mingyu mematung. Tanpa mampu berkata-kata.
Hening lagi.

“Mingyu-ah, cinta itu hanya masalah waktu. Jika kau tidak mengatakan sesuatu yang tepat  di waktu yang tepat, sebesar apapun takdir yang mempertemukan kalian, semuanya tetap akan berantakan. Jika itu terjadi, maka yang kau temukan hanyalah penyesalan. Dan sebesar apapun penyesalan yang kau rasakan, yakinlah, semua sia-sia. Kau tahu kenapa? Karena itu sudah cukup terlambat untuk menyadarinya.”
Mingyu tetap terdiam. Dan keadaan menjadi hening lagi untuk waktu yang lama, sampai mereka sama-sama tertidur.

Keesokan harinya, ketika Jisoo bangun, ia menemukan Mingyu masih tertidur di kamarnya. Namja itu meringkuk di lantai, tanpa selimut, tanpa bantal. Phonsel flip-nya tergeletak begitu saja di sisinya dalam keadaan terbuka.
Jisoo memungut dan mengeceknya. Rupanya, Mingyu tertidur di tengah-tengah menulis pesan yang belum sempat ia selesaikan.


~~~~~ Nana-ah, aku tidak pernah berpikir untuk menjadikanmu sebagai pengganti Im Nana. Apa yang kurasakan padamu selama ini adalah nyata.  Aku menyesal dengan apa yang telah ku lakukan padamu. Semua hal yang telah melukai hatimu. Aku telah melakukan banyak kesalahan. Tapi kumohon, bertemu dan bicaralah denganku lagi dan biarkan aku menjelaskan segalanya. Aku ....~~~~~~~~~

Pesan itu tak sempat ia kirimkan ke nomor Nana.

***

Nana celingukan. Ia menatap seisi kelas.
“Mingyu-ssi kemana?” Ia bertanya. Teman-temannya berpandangan.
“Mungkin di lapangan basket. Perlu ku panggilkan?” Seok Jin bangkit.
“Tidak perlu. Ini hanya masalah ....” Kalimat Nana bahkan belum sempat selesai ketika Seok Jin beranjak dan berlari keluar dari kelas.
Dan beberapa menit kemudian, ia mendengar seseorang berlari-lari di lorong ruangan. Pintu kelas terbuka dan Mingyu muncul dari sana dengan nafas terengah-engah.

“Nana-ah, aku dengar kau mencariku ...” Ucapnya di sela nafasnya yang naik turun. Nana menelan ludah.
“Kau diminta ke ruang guru. Kau satu-satunya siswa yang belum mengumpulkan makalah.” Jawab Nana.
Mingyu menatapnya, nafasnya belum stabil, masih naik turun. Seolah ia baru saja lari marathon. Tapi itu benar. Mendengar bahwa Nana mencarinya, ia segera berlari tanpa henti dari lapangan basket menuju ruang kelas.

“Hanya itu?” Ia kembali bertanya. Nana menangguk.
Mingyu manggut-manggut. Tampak kecewa.
“Baiklah. Gomawo.” Ia berbalik dan kembali menyusuri lorong ruangan menuju kantor guru. Seok Jin menepuk-nepuk pundaknya. Namja itu tersenyum.

“Gwaencana, Seok Jin-ah. Beberapa hari ini, Nana memang mengacuhkanku dan menolak bicara denganku. Tapi kau lihat sendiri ‘kan? Tadi ia bersedia bicara denganku, walau hanya sebentar. Biarlah seluruh orang di sini tahu bahwa aku mencoba mengejar-ngejar Nana, bahwa aku mencoba baikan lagi dengannya. Tak apa. Seperti apa yang Jisoo ajarkan padaku. Bila ia menolakku 50 kali, maka aku akan mendatanginya 100 kali. Begitu pula bila ia menolakku 100 kali, maka aku akan mendatanginya 200 kali. Terlampau awal bagiku untuk menyerah. Ya ‘kan?” Ucapnya. Seok Jin hanya manggut-manggut. Iba.

***

Pulang sekolah.
Mingyu, Jisoo, dan anak-anak klub futsal berhamburan memasuki bis yang baru datang.  
“Mingyu-ssi, kau mau datang ke pesta lagi? Kali ini perempuannya cantik-cantik dan tidak rewel. Yakin deh.” Doyun merangkul pundak Mingyu.
Mingyu terkekeh dan menggeleng.
“Tidak. Aku kapok.” Jawabnya.
“Ah, kau tak asyik. Kau menyia-nyiakan kesempatan. Mengejar Nana terus belum tentu kau berhasil mendapatkannya kembali.”
Mingyu mendelik.
“Setidaknya aku tidak akan pergi ke pesta tak jelas hanya untuk bertemu yeoja-yeoja palsu yang merasa sok kecantikan.” Ujarnya.
“Tapi mereka memang cantik.”
“Tidak.” Potong Mingyu lagi.

“Mingyu. Aku ingat ada sesuatu yang harus ku lakukan.” Sela Jisoo.
Mingyu menatapnya bingung. Sahabatnya sejak kecil itu melompat keluar dari dalam bis.

“Aku sudah memberimu peringatan tadi malam ‘kan.” Ucap Jisoo lagi.
Mingyu mengernyit. Menatap sahabatnya yang kini berada di pinggir jalan.
“Ada hal yang ingin ku jaga dan ku lindungi. Dan kau tahu itu apa? Itu adalah Nana. Tidak ada peraturan yang melarang untuk mendekati mantan pacar sahabat sendiri ‘kan? Jadi, ayo kita bersaing secara sehat.” Jisoo kembali berucap.
Mingyu melotot.

Belum sempat ia mengatakan apapun, pintu bis tertutup otomatis dan kendaraan itu mulai berjalan. Dari balik jendela bis, Mingyu menyaksikan Jisoo berlari-lari kembali ke sekolah.
“Pak, tolong hentikan bis nya!” Mingyu berteriak pada sopir.
“Maaf. Tidak bisa. Bis baru bisa berhenti di halte bis berikutnya.” Sopir itu menjawab dengan ramah.
Mingyu meringis sebal. Ia beranjak, melongokkan kepalanya keluar jendela.

“Jisoo-ah! Jika kau menyentuh Nana, walau hanya sehelai rambut sekalipun, akan ku habisi kau!” Teriaknya. Namja itu nyaris berniat melompati jendela bis jika tidak segera di cegah rekan-rekannya. Seok Jin dan Doyun memegangi tubuhnya sementara Leo menghalau tangannya.
“Brengsek kau Jisoo-ah!! Akan ku habisi kau! JANGAN DEKATI NANA!” Mingyu kembali berteriak kesal sementara teman-temannya terus berusaha menenangkannya.
Keributan di antara mereka mereda ketika pak sopir mengingatkan mereka untuk tidak membuat kegaduhan di dalam bis.

***

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar