Senin, 18 Januari 2016

[FF/SVT] Bokura Ga Ita #8



~~~~~~~~~~

Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....

~~~~~~~~~~~~

*** Kenangan dibuat dengan memadukan berbagai fragmen dari apa yang terjadi di masa lalu. Jadi bagi sebagian orang, kenangan tak ubahnya seperti ilusi. ***


Part 8



Selamat ulang tahun, Nana
Selamat ulang tahun, sayang ...

Kenangan kita selalu ada di sana
Di Korea

17 tahun, aku masih muda, rentan dan tak berdaya
Membuat kesalahan yang sama, lagi dan lagi
Dan kau masih tetap saja tegar

Tapi, di sanalah kenanganku berakhir
Di tempat itu, saat usia kita masih 17 tahun

Dan karena itu berakhir di sana, hidupku seperti terhenti



***

Minah berlari-lari keci menghampiri Nana yang tengah melenggang menyusuri trotoar.
“Selamat. Aku dengar kau dipanggil untuk wawancara kerja.” Ia menghambur ke arah perempuan tersebut lalu merangkul pundaknya. Nana tersenyum.
“Iya. Dari 10 surat lamaran yang ku kirim ke beberapa perusahaan, ini yang pertama kalinya aku mendapat panggilan wawancara.” Jawabnya.
“Semoga diterima.”
“Terima kasih.” Jawabnya lagi.
“Di perusahaan apa?”
“Periklanan.”
Mereka melangkah beriringan menyusuri pinggir jalan sambil mengobrol lagi.
“Bagaimana persiapan pernikahanmu?” tanya Nana.
Minah tersenyum dengan mata berbinar. “Sudah hampir selesai.” Jawabnya.
Bulan depan, ia akan melangsungkan pernikahan dengan Seok Jin. Mereka sudah pacaran sejak SMA dan mereka sepakat untuk mengikat janji suci yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi. Nana turut gembira dengan berita tersebut, sangat.
“Kau dari stasiun lagi?” Minah menatap Nana dengan penuh selidik. Perempuan itu hanya tersenyum kecut.

“Nana-ah, ini sudah 5 tahun sejak Mingyu pergi. Sudah saatnya kau melupakannya. Ia menghilang begitu saja tanpa jejak, tanpa kabar, itu berarti ia sengaja tak ingin ditemukan. Jadi, lupakan dia Nana-ah. Kau harus mulai menata hatimu lagi.” Ucap Minah lirih.
Nana tak menjawab. Ia kembali merenung.

Ya, sudah 5 tahun berlalu sejak Mingyu berangkat ke Tokyo.
Awal keberadaannya di sana, mereka masih berkomunikasi dengan baik. Mingyu rajin menelponnya, mengiriminya email, mengiriminya foto kegiatannya selama sekolah di Tokyo, memberitahukan segala hal yang berkaitan dengan kehidupannya di sana, semuanya.
Mereka rajin berkirim kabar. Tapi aktivitas itu ternyata tak bertahan lama karena beberapa bulan setelahnya, Mingyu makin jarang menelponnya. Terkadang ia membalas pesan singkatnya 3 hari sekali, lalu berubah menjadi seminggu sekali. Dan setelah itu, Mingyu hanya menelponnya sebulan sekali.

Nana selalu bertanya ada apa dengannya, tapi Mingyu memastikan bahwa ia baik-baik saja. Ia hanya terlalu sibuk mengurusi tugas-tugas sekolah dan persiapan ujian.

Dan tepat beberapa minggu menjelang ujian akhir, beberapa hari menjelang ulang tahunnya yang ke-18, Mingyu berhenti menghubunginya. Ia tak lagi menerima kabar dari pemuda itu, sama sekali, sampai detik ini.

Nana gagal masuk ke Universitas Tokyo, tapi beberapa kali ia datang ke Tokyo untuk mencari tahu tentang Mingyu. Ia datang ke sekolahnya, ke alamat rumah terakhir yang pernah ia berikan, tapi ia tak menemukannya. Mingyu menghilang begitu saja, tanpa jejak, tanpa kabar berita. Dan Nana selalu pulang dari Tokyo dengan tangan kosong, kecewa.

“Aku tahu kau selalu datang ke stasiun setiap 3 atau 4 hari sekali. Kau harus segera menghentikannya, Nana-ah. Usahamu sia-sia. Pencarianmu selama ini ke Tokyo tak pernah membuahkan hasil. Penantianmu di stasiun juga hanya buang-buang waktu. Relakan dia, Nana-ah. Mingyu tak akan kembali.” Ucap Minah lagi.
Nana mendesah pelan.
“Aku hanya ingin tahu keadaannya, Minah-ah. Bahkan jika dia mencampakkanku, atau bahkan dia menemukan orang lain yang ia cintai, aku akan  tetap lega jika telah memastikan bahwa dia baik-baik saja.” Jawabnya.

“Aku hanya tak habis pikir, kenapa dia pergi begitu saja.” Desisnya, parau. Minah mengelus pundaknya dengan lembut, mencoba untuk senantiasa memberinya semangat. Mereka saling pandang, tersenyum getir, lalu terus melangkah menyusuri trotoar.

“Oh iya, nanti malam Jisoo sudah menyiapkan pesta kejutan untuk ulang tahunmu, di kafe biasanya.” Ucap Minah kemudian. Nana tertawa dan mengangguk.
“Itu bukan pesta kejutan lagi. Aku toh sudah tahu. Setiap tahun ‘kan dia selalu melakukan hal yang sama.” ujarnya. Minah ikut tertawa.
“Jisoo adalah pemuda yang baik, Nana-ah. Dan kami semua juga tahu kalau ia menyukaimu, sejak dulu. Jika ada orang yang bisa membahagiakanmu, dialah orangnya.” Nada suara Minah terdengar serius. Nana menatapnya, tak kalah serius.
“Kami hanya teman, Minah-ah. Dan aku tak bisa menganggapnya lebih.” Jawabnya.
Dan mereka terus melangkah, tanpa berkata-kata lagi.

***

Pesta ulang tahun Nana, yang masih saja disebut sebagai pesta kejutan meskipun yang berulang tahun sudah mengetahuinya, berlangsung dengan seru dan meriah.
Jisoo menyewa sebuah ruang VIP di kafe langganan mereka yang dihadiri beberapa teman SMA Nana dan juga beberapa teman Jisoo dari kantor tempat ia bekerja.
Jisoo bekerja di sebuah kantor pemasaran tempat hunian. Nana sering mengunjungi tempat kerjanya sehingga ia juga mengenal hampir seluruh rekan-rekan kerjanya.
“Kau mendapat panggilan wawancara ‘kan?” Jisoo menyuapi Nana dengan sesendok kue tart. Nana menerima suapan tersebut lalu mengangguk.
“Selamat ulang tahun dan semoga kau sukses di wawancara tersebut.” Ucapnya lagi. Nana tersenyum dan kembali mengangguk.
“Setelah ini, jangan pulang dulu ya. Ikutlah denganku ke suatu tempat. Ada yang harus kita bicarakan.”
Nana menatap Jisoo bingung. Tapi akhirnya ia mengangguk. Dan semua orang kembali berpesta, berkaraoke, dan makan sepuasnya.

***

Nana takjub luar biasa ketika ternyata Jisoo mengajaknya mengunjungi sekolah mereka yang dulu. Terlebih lagi ketika ternyata pemuda itu mengajaknya ke atap gedung. Memorinya segera flashback. Ia jadi teringat masa-masa SMA ketika ia suka merenung di sini, di atap ini, bersama Mingyu.

“Apa kau menyuap pak satpam agar mau membukakan pintu gerbang untuk kita?” tanya Nana. Jisoo hanya terkekeh.
Mereka berdiri bersebelahan di pagar balkon, menatap hamparan ruang kelas dan juga lapangan basket berikut lapangan bola voli.
“Bicaralah, Jisoo-ah. Ada yang ingin kau bicarakan ‘kan?” Nana membuka suara setelah beberapa menit mereka larut dalam lamunan masing-masing. Terdengar Jisoo menarik nafas panjang. Ia memutar tubuhnya menghadap Nana. Perempuan itu juga melakukan hal yang sama.
Keduanya berpandangan.

“Nana-ah, tidakkah kau capek menunggu?” Jisoo membuka suara.
Nana mengernyit. “Hm?” ia terlihat bingung.
“Tidakkah kau capek menunggu Mingyu?” Jisoo bertanya lagi.
Mingyu?
Nana mematung.
“Nana, tinggallah bersamaku. Dia tidak akan muncul lagi di hadapanmu.” Ucapan Jisoo membuat tubuh Nana kaku.
“Apa ... maksudmu?” bibir perempuan itu bergetar. “Mingyu  memang tak ada kabar, tapi aku yakin bahwa ia bukan tipe orang yang pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa. Kenyataan bahwa selama ini aku hilang kontak dengannya, bukan berarti bahwa ia sengaja tak ingin ditemukan. Aku percaya bahwa ....”
“Nana-ah, mempunyai keyakinan dan berpura-pura tidak melihat kenyataan adalah dua hal yang berbeda.” Potong Jisoo. Pemuda itu meraih sesuatu dari dalam tasnya lalu menyodorkannya ke arah Nana.

Nana mengamati benda di tangan Jisoo. Sebuah syal di dalam kotak tembus pandang.
Kaki perempuan itu gemetar. Ia ingat itu syal siapa. Syal itu ia yang beli, hadiah pertama kali yang dia beri untuk Mingyu!
“Apa maksudnya ini?” Ia menggumam lirih. Tangannya terulur dan meraih syal tersebut.
“Jisoo-ah ... apa maksudnya ini?” perempuan itu menatap Jisoo dengan bingung.
“Ada sesuatu yang kusembunyikan darimu, Nana-ah.” Ucap Jisoo dengan ragu.
“Apa?” Tanya Nana penasaran.
Jisoo tak segera menjawab.
“Sekitar empat tahun yang lalu, beberapa hari setelah ulang tahunmu yang ke-18, Mingyu kembali ke Korea dan menemuiku.” Ucapnya.
Nana menelan ludah.
“Dia takkan menemuimu lagi, Nana-ah. Dia sudah memutuskan untuk pergi, menempuh jalannya sendiri, meninggalkanmu. Dan memintaku untuk menjagamu. Ia ... takkan kembali ke sini.” Jisoo melanjutkan.
Bibir Nana bergetar. Kedua matanya berkaca-kaca.

“Kenapa? Apa ... yang terjadi ...?” Ia berucap lirih.
Jisoo menggeleng.
“Dia memutuskan untuk meninggalkan semua kenangannya di kota ini, semua kenangannya tentangmu, tentang kita. Awalnya aku mengira, dia hanya butuh waktu untuk kembali ke sini. Tapi ternyata aku salah. Dia serius. Dia serius ingin pergi.” jawabnya.
Air mata Nana menitik.
“Lupakan dia, Nana-ah. Dia takkan pulang ke sini lagi.” Jisoo melanjutkan lagi.
Nana limbung. Ia terisak.
“Apa salahku padanya, Jisoo-ah? Apa salahku pada Mingyu? Kenapa dia melakukan ini padaku?” ucapnya di sela isak tangisnya.

Jisoo menghampirinya, meraih bahunya, lalu memeluk tubuhnya erat.
“Mulai sekarang, kau bisa berbagi kesedihanmu denganku. Kau bisa berbagi keluh kesah denganku. Aku akan senantiasa di sisimu.” Ia berbisik di dekat telinga Nana dengan pilu. Dan perempuan itu terus terisak di pelukannya.

***

5 tahun yang lalu ....

***



Nana-ah ....
Setiap malam aku selalu bermimpi
Aku bermimpi pergi ke tempatmu

Akan ku taruh semua pakaianku di tas lalu aku pergi ke bandara
Penerbangannya memakan waktu beberapa jam
Setelah tiba di bandara, aku naik kereta menuju kota kita
Aku melewati lapangan hijau dalam 30 menit
Lalu naik bis
Aku menyeberangi lampu pemberhentian
Dan berlari melewati jalanan

Berlari ke rumah Jisoo
Meninggalkan bawaanku di rumahnya lalu naik sepeda
Melewati taman
Aku terus melaju, lurus ...
Lurus
Ke tempatmu...
Lalu aku akan langsung menemuimu
Memelukmu, menangis di bahumu
Aku akan meminta maaf padamu
Lalu menceritakan segalanya padamu

Maaf karena aku tak bisa lagi menghubungimu
Maaf karena aku tak bisa lagi berkirim kabar padamu

Banyak hal telah terjadi

Beberapa bulan setelah sampai di Tokyo, ibu didiagnosa kanker
Ia dipecat dari pekerjaannya, kami tak punya uang lagi
Ibu keluar masuk rumah sakit
Aku terpaksa mengambil banyak pekerjaan

Tiga pekerjaan paruh waktu, sekaligus
Pulang sekolah aku bekerja paruh waktu di restoran
Malamnya aku bekerja di sebuah rumah makan cepat saji
Dan menjelang pagi, aku membantu mengantarkan susu dan koran
Aku sering tidak masuk sekolah, aku sering ikut ujian susulan
Nilaiku jelek

Maafkan aku, Nana-ah
Maafkan aku

Aku menyerah.




***

Mingyu! Kim Mingyu!

Mingyu tergagap. Seseorang mengguncang bahunya hingga ia terbangun dari tidurnya. Segera pemuda itu bangkit. Kepala pelayan di restoran tempat ia bekerja telah berdiri di sisinya.
“Bangunlah. Waktu istirahatmu sudah selesai. Kau harus segera kembali bekerja.” Ucapnya.
Mingyu mengangguk. “Baik pak.”  Jawabnya seraya merapikan alat-alat tulisnya yang berserakan di meja yang berada di ruang istirahat.

Waktu istirahat 30 menit, sebenarnya ia berniat memanfaatkannya untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah, tapi apa boleh buat, ia malah ketiduran.
Setelah merapikan alat-alat tulisnya, lelaki itu bergegas mencuci muka, lalu segera kembali bekerja melayani para tamu di restoran.

***

Mingyu menatap nilai hasil ujian yang di pasang di papan pengumuman dengan muka kusut. Nilainya turun lagi.
“Kau tidak akan lulus kalau nilaimu seperti ini.” Aki, teman baiknya selama di Tokyo sekaligus teman satu kelasnya, berdiri di sisinya sambil menatap Mingyu dengan miris.
Mingyu menarik nafas panjang. “Aku tahu.” Jawabnya singkat.
“Kau harus mengurangi kerja paruh waktumu agar kau punya cukup waktu untuk belajar. Lagipula, lihatlah, kau pucat. Dan kau makin kurus. Ingat, beberapa minggu yang lalu kau tiba-tiba pingsan di ruang kelas. Petugas UKS mengatakan kau kelelahan. Jadi, jangan terlalu memaksakan diri, Mingyu.” Ucap Aki lagi.
Mingyu menatap  perempuan di sampingnya lalu tersenyum.
“Terima kasih. Aku akan baik-baik saja.” Jawabnya.

Tapi berhenti dari pekerjaanya adalah hal yang mustahil ia lakukan karena lusa ibunya harus pergi lagi ke rumah sakit, dan ia akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencari biaya.

“Lusa ibuku harus kembali ke rumah sakit, jadi ....” kalimat Mingyu terhenti ketika tiba-tiba saja ia limbung lalu ambruk di lantai. Anak-anak berteriak lalu berhamburan mendekatinya.
Beberapa anak laki-laki dengan sigap mengangkat tubuhnya lalu segera melarikannya ke ruang UKS.

***

Ketika Mingyu membuka mata, ia menemukan dirinya di ruang klinik dengan jarum infus tertancap di tangannya. Ia menemukan Aki dan beberapa temannya menungguinya.
Pemuda itu bangkit.
“Oh, kau sudah sadar?” Aki berseru. Beberapa temannya mendekatinya.
“Kau kelelahan dan dehidrasi. Jadi kau terpaksa di infus.” Mereka menjelaskan.
“Jam berapa sekarang?” Mingyu bertanya.
“5 sore.” Aki menjawab. Mingyu membelalak.
“Aku harus bekerja.” Jawabnya.
Pemuda itu mencoba turun dari tempat tidur, tapi beberapa temannya menahannya.
“Ijin dulu untuk satu hari, kesehatanmu lebih penting.”
“Tapi ...”
“Aku sudah telpon ibumu kalau kau ada kegiatan mendadak di sekolah. Jadi tenanglah, ia takkan khawatir. Yang penting, kau harus pulih dulu. Oke?” cegah Aki.
Mingyu menatap meraka satu persatu dengan tatapan protes.
“Jangan khawatir soal biaya. Kami mendapatkan bantuan dana dari sekolah.” Aki menjelaskan kembali.
Dan Mingyu tak punya pilihan selain tinggal semalam di klinik dan menghabiskan beberapa botol infus.

***

Ibu Mingyu sudah berangkat duluan ke rumah sakit dengan naik taksi ketika Mingyu sampai di rumah, sepulang kerja. Pemuda itu segera merapikan beberapa baju dan peralatan mandi untuk segera dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Hari ini ibunya akan menjalani kemotherapy yang ke 3, total dari 9 kemo yang direncanakan. Dan sudah bisa dipastikan, ia akan tinggal di rumah sakit selama 2 atau 3 hari.

Setelah acara berkemas-kemas beres, pemuda itu segera beranjak, bermaksud untuk segera menyusul ibunya ke rumah sakit. Tapi begitu membuka pintu rumahnya, tubuhnya mematung. Ia menyaksikan sesosok perempuan mungil berdiri di depannya.
“Yuri?” Ia memanggil lirih. Perempuan itu tersenyum. Ia menyapa dengan ragu.
“Kenapa kau bisa di sini?” Mingyu langsung bertanya.
“Aku pindah ke Tokyo, sejak beberapa bulan yang lalu.” Jawabnya.
“Sekolahmu?”
“Aku berhenti sekolah. Sekarang aku bekerja, di sebuah toko roti. Ibuku juga ikut bersamaku.” Jelas Yuri.
Mingyu mengernyit.
“Berhenti sekolah? Kenapa kau lakukan itu?” Ia bertanya kesal. Yuri terdiam sesaat.
“Aku melakukannya untukmu.” Jawabnya kemudian. Mingyu melongo.
“Aku sengaja ke Tokyo untuk mengikutimu. Dan hal yang tidak mungkin untukku untuk terus bersekolah. Kau tahu sendiri ‘kan? Biaya hidup di Tokyo mahal, sementara ibuku sakit-sakitan. Jadi aku memutuskan untuk bekerja saja.” Ia melanjutkan.

Mingyu menatap perempuan di hadapannya dengan jijik.
“Aku tak peduli apa alasanmu pindah ke sini. Tapi ku harap, jangan menemuiku lagi.” Ia membanting pintu lalu beranjak meninggalkan Yuri dengan langkah cepat.
“Mingyu-ssi?” Perempuan  itu memanggil.
Mingyu berbalik.
“Aku membencimu! Kau dengar? Jadi jangan menunjukkan mukamu lagi dihadapanku!” Ia kembali berteriak sebelum akhirnya kembali melangkah, menuju stasiun kereta, tanpa menoleh lagi ke arah Yuri.

***

Ibu Mingyu tengah berbaring di ranjang ketika sosok perempuan yang terlihat 10 tahun lebih tua darinya itu memasuki kamarnya.
“Apa kabar?” Perempuan Jepang itu menyapa.
Ibu Mingyu menatapnya dengan tatapan terkejut.
“Michiko, untuk apa kau kemari?” ibu Mingyu bertanya sinis. Perempuan setengah baya di hadapannya itu tersenyum.
“Jadi kau masih ingat padaku?” Perempuan yang dipanggil Michiko itu kembali berkata lembut.

Ibu Mingyu tertawa.
“Michiko, tentu saja aku masih ingat padamu. Kenapa kau kemari? Ingin bersorak atas apa yang menimpaku?” sindirnya.
Michiko tersenyum.
“Aku sudah tahu semua yang menimpamu. Aku juga sudah tahu tentang penyakit kanker hati yang kau idap. Jadi, aku datang ke sini untuk memberimu maaf.” Jawabnya.
Ibu Mingyu menatap perempuan itu dengan tatapan menusuk.
“Aku memaafkan semua perbuatanmu, Mingyu eomma. Aku memaafkan perselingkuhanmu dengan suamiku. Kita sudah sama-sama tua, tak ada gunanya menyimpan dendam satu sama lain. Terlebih lagi karena Kazuya sudah meninggal sekitar 2 tahun yang lalu. Aku memaafkannya, dan juga memaafkanmu.” Ucapnya.
Ibu Mingyu membelalak.

“Kazuya meninggal?” Ia bertanya. Michiko mengangguk.
“Karena sakit.” Jawabnya.
“Aku sengaja mencarimu, mencari keberadaan putera, putera Kazuya. Di mana aku bisa menemuinya? Kim Mingyu.” Ia melanjutkan.
“Kenapa kau ada perlu dengan puteraku?”
Michiko tak segera menjawab.
“Aku akan menanggung semua biaya pengobatanmu. Tapi, berikan Kim Mingyu padaku.” Ujarnya kemudian. Ibu Mingyu melotot.
“Apa maksudmu?”
“Aku dan Kazuya tidak memiliki keturunan. Jadi, aku membutuhkan Mingyu sebagai penerus keluarga kami. Aku ingin dia menyandang nama keluarga ayahnya. Dan yang terpenting lagi, ada beberapa perusahaan peninggalan Kazuya yang harus diambil alih oleh ahli warisnya yang syah.” Ucapnya lagi.
“Jadi ...”
“Tidak.” Ibu Mingyu menjawab cepat.

“Aku datang kemari tidak untuk bertemu lagi denganmu, dengan keluargamu, dengan semua masa lalu kita. Aku dan puteraku kemari karena kami memang tak punya pilihan lagi. tapi ...” Suara ibu Mingyu terhenti sesaat.
“Bahkan jika kau menawarkan seluruh uangmu, harta kekayaanmu, aku tidak akan memberikan Mingyu padamu. Dia puteraku, hanya puteraku, dan satu-satunya keluarga yang kumiliki. Ia akan selalu menyandang nama keluargaku, bukan nama keluarga ayahnya. Jadi, jangan pernah terpikir untuk mengambilnya dariku.” Ia berucap dengan tegas dengan tatapan lurus ke arah Michiko.
“Pergilah, Michiko. Jangan datang kemari lagi.”

Michiko menarik nafas panjang.
“Semoga kau mau memikirkannya lagi. Hubungi aku jika kau berubah pikiran.” Michiko beranjak.
Ia menutup pintu dari luar dengan perlahan. Langkahnya urung ketika ia menyaksikan sesosok pemuda jangkung berdiri bersandar di samping pintu. Mereka bertatapan.
“Kim Mingyu?” Michiko bertanya langsung. Mingyu mengangguk.
“Kau ... mendengar semua yang kami bicarakan tadi?”
Mingyu kembali mengangguk.
“Bisa kita bicara sebentar?” Michiko bertanya dan lagi-lagi Mingyu hanya mengangguk.
Mereka melangkah menuju kantin rumah sakit.

“Kau seperti ayahmu. Tinggi, tampan dan sopan.” Michiko membuka suara.
Mingyu hanya mengangguk, berterima kasih.
“Seperti yang sudah kau dengar. Bertahun-tahun yang lalu, ibumu punya affair dengan suamiku. Kazuya Nagakura, ayah kandungmu. Tapi jangan khawatir. Aku tak menyimpan dendam. Kami sudah sama-sama tua. Aku sudah memaafkan ibumu, dan juga ayahmu. Lagipula, ayahmu sudah pergi dengan tenang. Tak penting lagi mengingat masa lalu yang buruk.” Ia menjelaskan. Mingyu terdiam.

“Aku berniat membiayai pengobatan ibumu. Aku juga akan membiayai pendidikanmu, sampai perguruan tinggi. Kau boleh bersekolah dimanapun yang kau inginkan. Tapi, ikutlah bersamaku dan jadilah anakku. Bagaimana?” Michiko bertanya dengan sopan.
Mingyu tersenyum tipis.
“Terima kasih atas niat baik anda. Tapi seperti yang sudah anda dengar dari ibuku, nama margaku adalah nama marga ibuku. Jadi, saya adalah anak yatim. Saya tidak punya ayah. Saya mohon, jangan temui ibu saya lagi. Dia sedang tidak sehat. Saya tidak ingin kesehatannya makin terganggu. Mohon pengertiannya.” Mingyu membungkuk dengan hormat. Michiko menelan ludah. Kecewa. Tapi perlahan ia tersenyum.

“Jika kau butuh sesuatu, kau bisa datang padaku, kapanpun kau mau. Ya?” ia berucap lembut. Mingyu mengangguk lagi. “Terima kasih.” Ucapnya.

***

Mingyu menatap tiket pesawat di tangannya dengan mata berbinar. Bibirnya tak berhenti tersenyum. Ia sudah menunggu saat ini selama berbulan-bulan. Ia juga sudah mati-matian menyisihkan gajinya demi bisa membeli tiket ini. Lusa, Nana ulang tahun. Ulang tahunnya yang ke 18. Dan ia akan kesana, mengunjunginya, memberinya kejutan.
“Ibu, aku ingin ke Korea. Aku ingin mengunjungi Nana, 3 hari saja. Lusa ia ulang tahun.” Ia meminta ijin pada ibunya ketika sore itu mereka makan bersama di meja makan.

Ibunya menatapnya tajam. Ia bangkit.
“Tidak. kau tak boleh ke sana.” Ia setengah berteriak. Mingyu bangkit.
“Kalau begitu, sehari saja bu. Aku akan ke sana, lalu menemuinya sebentar, kemudian segera kembali lagi ke sini. Ya?” Mingyu memohon.
Ibunya menggeleng.
“Tidak! Kau pasti ingin menemui Michiko ‘kan? Kau ingin pergi ke rumah ayahmu ‘kan?”
Mingyu menarik nafas panjang.

“Ibu, aku akan menemui Nana. Bukan keluarga ayahku.” Jawabnya.
“Bohong! Kau pasti akan menemui mereka. Kau akan ikut mereka ‘kan? Kau akan meninggalkanku ‘kan? Tidak, aku tidak mengijinkanmu.” Ibu Mingyu berlari ke arah pintu, menarik beberapa kursi lalu mendorongnya ke arah pintu.
“Kau tidak boleh pergi! Kau tidak boleh bertemu ayahmu!” Ia berteriak, histeris. Mingyu mendekatinya.
“Aku tidak akan meninggalkanmu, ibu. Aku janji. Aku hanya akan menemui Nana karena ia ulang tahun. Itu saja!” ia juga ikut berteriak.
“Bohong! Kau pasti ingin menelantarkanku seperti yang dilakukan ayahmu! Kau akan meninggalkanku sendirian demi uang yang ditawarkan Michiko padamu! Ya ‘kan?”
“Kenapa ibu tak percaya padaku! Aku satu-satunya anakmu, satu-satunya keluargamu, aku tidak akan menelantarkanmu!” Mingyu menarik kursi di belakang pintu lalu mengembalikannya ke tempatnya semua. Wajahnya merah padam karena marah.

“Aku tidak percaya padamu! Kau pasti seperti ayahmu yang menelantarkanku sendirian!”
“Sudah ku bilang aku tidak akan melakukannya! Kenapa sulit bagi ibu untuk mempercayaiku!” Mingyu menendang daun pintu dengan keras, lalu melangkahkan kakinya keluar apartemen dengan  amarah. Ia hanya melangkah, tak tentu arah.

Ia baru saja sampai di anak tangga yang terakhir ketika ia mendengar orang-orang yang tinggal di kawasan apartemennya mulai ribut.
“Ada seseorang jatuh! Panggilkan ambulan!” Mereka berteriak silih berganti.
Mingyu mendongak, menatap kamarnya yang berada di lantai 3. Dan seketika kakinya lemas. Jendela kamarnya terbuka.
“Ya Tuhan, ibuuuuuu!!”

***

Upacara pemakaman ibu Mingyu berlangsung sepi. Hanya dihadiri beberapa petugas pemakaman dan beberapa teman Mingyu, termasuk Aki.
“Kami turut berbelasungkawa, Mingyu.” Ia memeluk Mingyu dengan erat sambil menepuk-nepuk punggungnya. Mingyu hanya mengangguk, tanpa mampu berkata-kata. Semalam, ia sudah menangis tanpa henti. Menangisi kematian ibunya. Dengan penuh penyesalan dan rasa bersalah. Suaranya habis, begitu pula air matanya.

Setelah pemakaman selesai, pemuda itu segera kembali ke apartemennya dengan gontai. Kini, ruangan itu sepi.

Ia mengeluarkan sebuah lilin, meletakkannya di lantai, lalu menyalakannya.

---- Selamat ulang tahun, Nana-ah ...
---- Selamat ulang tahun yang ke-18, sayang ...
---- Maaf, aku tak bisa menemuimu ....

Mingyu meniup lilin tersebut hingga padam. Air matanya menitik. Bersamaan dengan padamnya lilin tersebut, kehidupannya seperti terhenti.

***

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar