~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
*** Kenangan dibuat dengan memadukan
berbagai fragmen dari apa yang terjadi di masa lalu. Jadi bagi sebagian orang,
kenangan tak ubahnya seperti ilusi. ***
Part
8
Selamat
ulang tahun, Nana
Selamat
ulang tahun, sayang ...
Kenangan
kita selalu ada di sana
Di
Korea
17
tahun, aku masih muda, rentan dan tak berdaya
Membuat
kesalahan yang sama, lagi dan lagi
Dan
kau masih tetap saja tegar
Tapi,
di sanalah kenanganku berakhir
Di
tempat itu, saat usia kita masih 17 tahun
Dan
karena itu berakhir di sana, hidupku seperti terhenti
***
Minah berlari-lari keci menghampiri Nana
yang tengah melenggang menyusuri trotoar.
“Selamat. Aku dengar kau dipanggil untuk
wawancara kerja.” Ia menghambur ke arah perempuan tersebut lalu merangkul
pundaknya. Nana tersenyum.
“Iya. Dari 10 surat lamaran yang ku
kirim ke beberapa perusahaan, ini yang pertama kalinya aku mendapat panggilan
wawancara.” Jawabnya.
“Semoga diterima.”
“Terima kasih.” Jawabnya lagi.
“Di perusahaan apa?”
“Periklanan.”
Mereka melangkah beriringan menyusuri
pinggir jalan sambil mengobrol lagi.
“Bagaimana persiapan pernikahanmu?” tanya
Nana.
Minah tersenyum dengan mata berbinar.
“Sudah hampir selesai.” Jawabnya.
Bulan depan, ia akan melangsungkan
pernikahan dengan Seok Jin. Mereka sudah pacaran sejak SMA dan mereka sepakat
untuk mengikat janji suci yang akan dilaksanakan beberapa minggu lagi. Nana
turut gembira dengan berita tersebut, sangat.
“Kau dari stasiun lagi?” Minah menatap
Nana dengan penuh selidik. Perempuan itu hanya tersenyum kecut.
“Nana-ah, ini sudah 5 tahun sejak Mingyu
pergi. Sudah saatnya kau melupakannya. Ia menghilang begitu saja tanpa jejak,
tanpa kabar, itu berarti ia sengaja tak ingin ditemukan. Jadi, lupakan dia
Nana-ah. Kau harus mulai menata hatimu lagi.” Ucap Minah lirih.
Nana tak menjawab. Ia kembali merenung.
Ya, sudah 5 tahun berlalu sejak Mingyu
berangkat ke Tokyo.
Awal keberadaannya di sana, mereka masih
berkomunikasi dengan baik. Mingyu rajin menelponnya, mengiriminya email,
mengiriminya foto kegiatannya selama sekolah di Tokyo, memberitahukan segala
hal yang berkaitan dengan kehidupannya di sana, semuanya.
Mereka rajin berkirim kabar. Tapi
aktivitas itu ternyata tak bertahan lama karena beberapa bulan setelahnya,
Mingyu makin jarang menelponnya. Terkadang ia membalas pesan singkatnya 3 hari
sekali, lalu berubah menjadi seminggu sekali. Dan setelah itu, Mingyu hanya
menelponnya sebulan sekali.
Nana selalu bertanya ada apa dengannya,
tapi Mingyu memastikan bahwa ia baik-baik saja. Ia hanya terlalu sibuk
mengurusi tugas-tugas sekolah dan persiapan ujian.
Dan tepat
beberapa minggu menjelang ujian akhir, beberapa hari menjelang ulang tahunnya
yang ke-18, Mingyu berhenti menghubunginya. Ia tak lagi menerima kabar dari
pemuda itu, sama sekali, sampai detik ini.
Nana gagal masuk
ke Universitas Tokyo, tapi beberapa kali ia datang ke Tokyo untuk mencari tahu
tentang Mingyu. Ia datang ke sekolahnya, ke alamat rumah terakhir yang pernah
ia berikan, tapi ia tak menemukannya. Mingyu menghilang begitu saja, tanpa
jejak, tanpa kabar berita. Dan Nana selalu pulang dari Tokyo dengan tangan
kosong, kecewa.
“Aku tahu kau
selalu datang ke stasiun setiap 3 atau 4 hari sekali. Kau harus segera
menghentikannya, Nana-ah. Usahamu sia-sia. Pencarianmu selama ini ke Tokyo tak
pernah membuahkan hasil. Penantianmu di stasiun juga hanya buang-buang waktu.
Relakan dia, Nana-ah. Mingyu tak akan kembali.” Ucap Minah lagi.
Nana mendesah
pelan.
“Aku hanya ingin
tahu keadaannya, Minah-ah. Bahkan jika dia mencampakkanku, atau bahkan dia menemukan
orang lain yang ia cintai, aku akan
tetap lega jika telah memastikan bahwa dia baik-baik saja.” Jawabnya.
“Aku hanya tak
habis pikir, kenapa dia pergi begitu saja.” Desisnya, parau. Minah mengelus
pundaknya dengan lembut, mencoba untuk senantiasa memberinya semangat. Mereka
saling pandang, tersenyum getir, lalu terus melangkah menyusuri trotoar.
“Oh iya, nanti
malam Jisoo sudah menyiapkan pesta kejutan untuk ulang tahunmu, di kafe
biasanya.” Ucap Minah kemudian. Nana tertawa dan mengangguk.
“Itu bukan pesta
kejutan lagi. Aku toh sudah tahu.
Setiap tahun ‘kan dia selalu melakukan hal yang sama.” ujarnya. Minah ikut
tertawa.
“Jisoo adalah pemuda
yang baik, Nana-ah. Dan kami semua juga tahu kalau ia menyukaimu, sejak dulu.
Jika ada orang yang bisa membahagiakanmu, dialah orangnya.” Nada suara Minah
terdengar serius. Nana menatapnya, tak kalah serius.
“Kami hanya
teman, Minah-ah. Dan aku tak bisa menganggapnya lebih.” Jawabnya.
Dan mereka terus
melangkah, tanpa berkata-kata lagi.
***
Pesta ulang tahun Nana, yang masih saja
disebut sebagai pesta kejutan meskipun yang berulang tahun sudah mengetahuinya,
berlangsung dengan seru dan meriah.
Jisoo menyewa sebuah ruang VIP di kafe
langganan mereka yang dihadiri beberapa teman SMA Nana dan juga beberapa teman
Jisoo dari kantor tempat ia bekerja.
Jisoo bekerja di sebuah kantor pemasaran
tempat hunian. Nana sering mengunjungi tempat kerjanya sehingga ia juga
mengenal hampir seluruh rekan-rekan kerjanya.
“Kau mendapat panggilan wawancara ‘kan?”
Jisoo menyuapi Nana dengan sesendok kue tart. Nana menerima suapan tersebut
lalu mengangguk.
“Selamat ulang tahun dan semoga kau
sukses di wawancara tersebut.” Ucapnya lagi. Nana tersenyum dan kembali
mengangguk.
“Setelah ini, jangan pulang dulu ya.
Ikutlah denganku ke suatu tempat. Ada yang harus kita bicarakan.”
Nana menatap Jisoo bingung. Tapi
akhirnya ia mengangguk. Dan semua orang kembali berpesta, berkaraoke, dan makan
sepuasnya.
***
Nana takjub luar biasa ketika ternyata
Jisoo mengajaknya mengunjungi sekolah mereka yang dulu. Terlebih lagi ketika
ternyata pemuda itu mengajaknya ke atap gedung. Memorinya segera flashback. Ia
jadi teringat masa-masa SMA ketika ia suka merenung di sini, di atap ini,
bersama Mingyu.
“Apa kau menyuap pak satpam agar mau
membukakan pintu gerbang untuk kita?” tanya Nana. Jisoo hanya terkekeh.
Mereka berdiri bersebelahan di pagar
balkon, menatap hamparan ruang kelas dan juga lapangan basket berikut lapangan
bola voli.
“Bicaralah, Jisoo-ah. Ada yang ingin kau
bicarakan ‘kan?” Nana membuka suara setelah beberapa menit mereka larut dalam
lamunan masing-masing. Terdengar Jisoo menarik nafas panjang. Ia memutar
tubuhnya menghadap Nana. Perempuan itu juga melakukan hal yang sama.
Keduanya berpandangan.
“Nana-ah, tidakkah kau capek menunggu?”
Jisoo membuka suara.
Nana mengernyit. “Hm?” ia terlihat
bingung.
“Tidakkah kau capek menunggu Mingyu?”
Jisoo bertanya lagi.
Mingyu?
Nana mematung.
“Nana, tinggallah bersamaku. Dia tidak
akan muncul lagi di hadapanmu.” Ucapan Jisoo membuat tubuh Nana kaku.
“Apa ... maksudmu?” bibir perempuan itu
bergetar. “Mingyu memang tak ada kabar,
tapi aku yakin bahwa ia bukan tipe orang yang pergi begitu saja tanpa berkata
apa-apa. Kenyataan bahwa selama ini aku hilang kontak dengannya, bukan berarti
bahwa ia sengaja tak ingin ditemukan. Aku percaya bahwa ....”
“Nana-ah, mempunyai keyakinan dan
berpura-pura tidak melihat kenyataan adalah dua hal yang berbeda.” Potong Jisoo.
Pemuda itu meraih sesuatu dari dalam tasnya lalu menyodorkannya ke arah Nana.
Nana mengamati benda di tangan Jisoo.
Sebuah syal di dalam kotak tembus pandang.
Kaki perempuan itu gemetar. Ia ingat itu
syal siapa. Syal itu ia yang beli, hadiah pertama kali yang dia beri untuk
Mingyu!
“Apa maksudnya ini?” Ia menggumam lirih.
Tangannya terulur dan meraih syal tersebut.
“Jisoo-ah ... apa maksudnya ini?”
perempuan itu menatap Jisoo dengan bingung.
“Ada sesuatu yang kusembunyikan darimu,
Nana-ah.” Ucap Jisoo dengan ragu.
“Apa?” Tanya Nana penasaran.
Jisoo tak segera menjawab.
“Sekitar empat tahun yang lalu, beberapa
hari setelah ulang tahunmu yang ke-18, Mingyu kembali ke Korea dan menemuiku.”
Ucapnya.
Nana menelan ludah.
“Dia takkan menemuimu lagi, Nana-ah. Dia
sudah memutuskan untuk pergi, menempuh jalannya sendiri, meninggalkanmu. Dan
memintaku untuk menjagamu. Ia ... takkan kembali ke sini.” Jisoo melanjutkan.
Bibir Nana bergetar. Kedua matanya
berkaca-kaca.
“Kenapa? Apa ... yang terjadi ...?” Ia
berucap lirih.
Jisoo menggeleng.
“Dia memutuskan untuk meninggalkan semua
kenangannya di kota ini, semua kenangannya tentangmu, tentang kita. Awalnya aku
mengira, dia hanya butuh waktu untuk kembali ke sini. Tapi ternyata aku salah.
Dia serius. Dia serius ingin pergi.” jawabnya.
Air mata Nana menitik.
“Lupakan dia, Nana-ah. Dia takkan pulang
ke sini lagi.” Jisoo melanjutkan lagi.
Nana limbung. Ia terisak.
“Apa salahku padanya, Jisoo-ah? Apa
salahku pada Mingyu? Kenapa dia melakukan ini padaku?” ucapnya di sela isak
tangisnya.
Jisoo menghampirinya, meraih bahunya,
lalu memeluk tubuhnya erat.
“Mulai sekarang, kau bisa berbagi
kesedihanmu denganku. Kau bisa berbagi keluh kesah denganku. Aku akan
senantiasa di sisimu.” Ia berbisik di dekat telinga Nana dengan pilu. Dan
perempuan itu terus terisak di pelukannya.
***
5 tahun yang lalu ....
***
Nana-ah
....
Setiap
malam aku selalu bermimpi
Aku
bermimpi pergi ke tempatmu
Akan
ku taruh semua pakaianku di tas lalu aku pergi ke bandara
Penerbangannya
memakan waktu beberapa jam
Setelah
tiba di bandara, aku naik kereta menuju kota kita
Aku
melewati lapangan hijau dalam 30 menit
Lalu
naik bis
Aku
menyeberangi lampu pemberhentian
Dan
berlari melewati jalanan
Berlari
ke rumah Jisoo
Meninggalkan
bawaanku di rumahnya lalu naik sepeda
Melewati
taman
Aku
terus melaju, lurus ...
Lurus
Ke
tempatmu...
Lalu
aku akan langsung menemuimu
Memelukmu,
menangis di bahumu
Aku
akan meminta maaf padamu
Lalu
menceritakan segalanya padamu
Maaf
karena aku tak bisa lagi menghubungimu
Maaf
karena aku tak bisa lagi berkirim kabar padamu
Banyak
hal telah terjadi
Beberapa
bulan setelah sampai di Tokyo, ibu didiagnosa kanker
Ia
dipecat dari pekerjaannya, kami tak punya uang lagi
Ibu
keluar masuk rumah sakit
Aku
terpaksa mengambil banyak pekerjaan
Tiga
pekerjaan paruh waktu, sekaligus
Pulang
sekolah aku bekerja paruh waktu di restoran
Malamnya
aku bekerja di sebuah rumah makan cepat saji
Dan
menjelang pagi, aku membantu mengantarkan susu dan koran
Aku
sering tidak masuk sekolah, aku sering ikut ujian susulan
Nilaiku
jelek
Maafkan
aku, Nana-ah
Maafkan
aku
Aku
menyerah.
***
Mingyu! Kim Mingyu!
Mingyu tergagap. Seseorang mengguncang
bahunya hingga ia terbangun dari tidurnya. Segera pemuda itu bangkit. Kepala
pelayan di restoran tempat ia bekerja telah berdiri di sisinya.
“Bangunlah. Waktu istirahatmu sudah
selesai. Kau harus segera kembali bekerja.” Ucapnya.
Mingyu mengangguk. “Baik pak.” Jawabnya seraya merapikan alat-alat tulisnya
yang berserakan di meja yang berada di ruang istirahat.
Waktu istirahat 30 menit, sebenarnya ia
berniat memanfaatkannya untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah, tapi apa
boleh buat, ia malah ketiduran.
Setelah merapikan alat-alat tulisnya,
lelaki itu bergegas mencuci muka, lalu segera kembali bekerja melayani para
tamu di restoran.
***
Mingyu menatap nilai hasil ujian yang di
pasang di papan pengumuman dengan muka kusut. Nilainya turun lagi.
“Kau tidak akan lulus kalau nilaimu
seperti ini.” Aki, teman baiknya selama di Tokyo sekaligus teman satu kelasnya,
berdiri di sisinya sambil menatap Mingyu dengan miris.
Mingyu menarik nafas panjang. “Aku
tahu.” Jawabnya singkat.
“Kau harus mengurangi kerja paruh
waktumu agar kau punya cukup waktu untuk belajar. Lagipula, lihatlah, kau
pucat. Dan kau makin kurus. Ingat, beberapa minggu yang lalu kau tiba-tiba
pingsan di ruang kelas. Petugas UKS mengatakan kau kelelahan. Jadi, jangan
terlalu memaksakan diri, Mingyu.” Ucap Aki lagi.
Mingyu menatap perempuan di sampingnya lalu tersenyum.
“Terima kasih. Aku akan baik-baik saja.”
Jawabnya.
Tapi berhenti dari pekerjaanya adalah
hal yang mustahil ia lakukan karena lusa ibunya harus pergi lagi ke rumah
sakit, dan ia akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencari biaya.
“Lusa ibuku harus kembali ke rumah
sakit, jadi ....” kalimat Mingyu terhenti ketika tiba-tiba saja ia limbung lalu
ambruk di lantai. Anak-anak berteriak lalu berhamburan mendekatinya.
Beberapa anak laki-laki dengan sigap
mengangkat tubuhnya lalu segera melarikannya ke ruang UKS.
***
Ketika Mingyu membuka mata, ia menemukan
dirinya di ruang klinik dengan jarum infus tertancap di tangannya. Ia menemukan
Aki dan beberapa temannya menungguinya.
Pemuda itu bangkit.
“Oh, kau sudah sadar?” Aki berseru.
Beberapa temannya mendekatinya.
“Kau kelelahan dan dehidrasi. Jadi kau
terpaksa di infus.” Mereka menjelaskan.
“Jam berapa sekarang?” Mingyu bertanya.
“5 sore.” Aki menjawab. Mingyu
membelalak.
“Aku harus bekerja.” Jawabnya.
Pemuda itu mencoba turun dari tempat
tidur, tapi beberapa temannya menahannya.
“Ijin dulu untuk satu hari, kesehatanmu
lebih penting.”
“Tapi ...”
“Aku sudah telpon ibumu kalau kau ada
kegiatan mendadak di sekolah. Jadi tenanglah, ia takkan khawatir. Yang penting,
kau harus pulih dulu. Oke?” cegah Aki.
Mingyu menatap meraka satu persatu
dengan tatapan protes.
“Jangan khawatir soal biaya. Kami
mendapatkan bantuan dana dari sekolah.” Aki menjelaskan kembali.
Dan Mingyu tak punya pilihan selain
tinggal semalam di klinik dan menghabiskan beberapa botol infus.
***
Ibu Mingyu sudah berangkat duluan ke
rumah sakit dengan naik taksi ketika Mingyu sampai di rumah, sepulang kerja.
Pemuda itu segera merapikan beberapa baju dan peralatan mandi untuk segera
dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Hari ini ibunya akan menjalani kemotherapy
yang ke 3, total dari 9 kemo yang direncanakan. Dan sudah bisa dipastikan, ia
akan tinggal di rumah sakit selama 2 atau 3 hari.
Setelah acara berkemas-kemas beres,
pemuda itu segera beranjak, bermaksud untuk segera menyusul ibunya ke rumah
sakit. Tapi begitu membuka pintu rumahnya, tubuhnya mematung. Ia menyaksikan
sesosok perempuan mungil berdiri di depannya.
“Yuri?” Ia memanggil lirih. Perempuan
itu tersenyum. Ia menyapa dengan ragu.
“Kenapa kau bisa di sini?” Mingyu langsung
bertanya.
“Aku pindah ke Tokyo, sejak beberapa
bulan yang lalu.” Jawabnya.
“Sekolahmu?”
“Aku berhenti sekolah. Sekarang aku
bekerja, di sebuah toko roti. Ibuku juga ikut bersamaku.” Jelas Yuri.
Mingyu mengernyit.
“Berhenti sekolah? Kenapa kau lakukan
itu?” Ia bertanya kesal. Yuri terdiam sesaat.
“Aku melakukannya untukmu.” Jawabnya
kemudian. Mingyu melongo.
“Aku sengaja ke Tokyo untuk mengikutimu.
Dan hal yang tidak mungkin untukku untuk terus bersekolah. Kau tahu sendiri
‘kan? Biaya hidup di Tokyo mahal, sementara ibuku sakit-sakitan. Jadi aku
memutuskan untuk bekerja saja.” Ia melanjutkan.
Mingyu menatap perempuan di hadapannya
dengan jijik.
“Aku tak peduli apa alasanmu pindah ke
sini. Tapi ku harap, jangan menemuiku lagi.” Ia membanting pintu lalu beranjak
meninggalkan Yuri dengan langkah cepat.
“Mingyu-ssi?” Perempuan itu memanggil.
Mingyu berbalik.
“Aku membencimu! Kau dengar? Jadi jangan
menunjukkan mukamu lagi dihadapanku!” Ia kembali berteriak sebelum akhirnya
kembali melangkah, menuju stasiun kereta, tanpa menoleh lagi ke arah Yuri.
***
Ibu Mingyu tengah berbaring di ranjang
ketika sosok perempuan yang terlihat 10 tahun lebih tua darinya itu memasuki
kamarnya.
“Apa kabar?” Perempuan Jepang itu
menyapa.
Ibu Mingyu menatapnya dengan tatapan
terkejut.
“Michiko, untuk apa kau kemari?” ibu
Mingyu bertanya sinis. Perempuan setengah baya di hadapannya itu tersenyum.
“Jadi kau masih ingat padaku?” Perempuan
yang dipanggil Michiko itu kembali berkata lembut.
Ibu Mingyu tertawa.
“Michiko, tentu saja aku masih ingat
padamu. Kenapa kau kemari? Ingin bersorak atas apa yang menimpaku?” sindirnya.
Michiko tersenyum.
“Aku sudah tahu semua yang menimpamu.
Aku juga sudah tahu tentang penyakit kanker hati yang kau idap. Jadi, aku
datang ke sini untuk memberimu maaf.” Jawabnya.
Ibu Mingyu menatap perempuan itu dengan tatapan
menusuk.
“Aku memaafkan semua perbuatanmu, Mingyu
eomma. Aku memaafkan perselingkuhanmu dengan suamiku. Kita sudah sama-sama tua,
tak ada gunanya menyimpan dendam satu sama lain. Terlebih lagi karena Kazuya
sudah meninggal sekitar 2 tahun yang lalu. Aku memaafkannya, dan juga
memaafkanmu.” Ucapnya.
Ibu Mingyu membelalak.
“Kazuya meninggal?” Ia bertanya. Michiko
mengangguk.
“Karena sakit.” Jawabnya.
“Aku sengaja mencarimu, mencari
keberadaan putera, putera Kazuya. Di mana aku bisa menemuinya? Kim Mingyu.” Ia
melanjutkan.
“Kenapa kau ada perlu dengan puteraku?”
Michiko tak segera menjawab.
“Aku akan menanggung semua biaya pengobatanmu.
Tapi, berikan Kim Mingyu padaku.” Ujarnya kemudian. Ibu Mingyu melotot.
“Apa maksudmu?”
“Aku dan Kazuya tidak memiliki keturunan.
Jadi, aku membutuhkan Mingyu sebagai penerus keluarga kami. Aku ingin dia
menyandang nama keluarga ayahnya. Dan yang terpenting lagi, ada beberapa
perusahaan peninggalan Kazuya yang harus diambil alih oleh ahli warisnya yang
syah.” Ucapnya lagi.
“Jadi ...”
“Tidak.” Ibu Mingyu menjawab cepat.
“Aku datang kemari tidak untuk bertemu
lagi denganmu, dengan keluargamu, dengan semua masa lalu kita. Aku dan puteraku
kemari karena kami memang tak punya pilihan lagi. tapi ...” Suara ibu Mingyu
terhenti sesaat.
“Bahkan jika kau menawarkan seluruh
uangmu, harta kekayaanmu, aku tidak akan memberikan Mingyu padamu. Dia
puteraku, hanya puteraku, dan satu-satunya keluarga yang kumiliki. Ia akan
selalu menyandang nama keluargaku, bukan nama keluarga ayahnya. Jadi, jangan
pernah terpikir untuk mengambilnya dariku.” Ia berucap dengan tegas dengan
tatapan lurus ke arah Michiko.
“Pergilah, Michiko. Jangan datang kemari
lagi.”
Michiko menarik nafas panjang.
“Semoga kau mau memikirkannya lagi.
Hubungi aku jika kau berubah pikiran.” Michiko beranjak.
Ia menutup pintu dari luar dengan
perlahan. Langkahnya urung ketika ia menyaksikan sesosok pemuda jangkung
berdiri bersandar di samping pintu. Mereka bertatapan.
“Kim Mingyu?” Michiko bertanya langsung.
Mingyu mengangguk.
“Kau ... mendengar semua yang kami
bicarakan tadi?”
Mingyu kembali mengangguk.
“Bisa kita bicara sebentar?” Michiko
bertanya dan lagi-lagi Mingyu hanya mengangguk.
Mereka melangkah menuju kantin rumah
sakit.
“Kau seperti ayahmu. Tinggi, tampan dan
sopan.” Michiko membuka suara.
Mingyu hanya mengangguk, berterima
kasih.
“Seperti yang sudah kau dengar. Bertahun-tahun
yang lalu, ibumu punya affair dengan suamiku. Kazuya Nagakura, ayah kandungmu.
Tapi jangan khawatir. Aku tak menyimpan dendam. Kami sudah sama-sama tua. Aku
sudah memaafkan ibumu, dan juga ayahmu. Lagipula, ayahmu sudah pergi dengan
tenang. Tak penting lagi mengingat masa lalu yang buruk.” Ia menjelaskan.
Mingyu terdiam.
“Aku berniat membiayai pengobatan ibumu.
Aku juga akan membiayai pendidikanmu, sampai perguruan tinggi. Kau boleh
bersekolah dimanapun yang kau inginkan. Tapi, ikutlah bersamaku dan jadilah
anakku. Bagaimana?” Michiko bertanya dengan sopan.
Mingyu tersenyum tipis.
“Terima kasih atas niat baik anda. Tapi
seperti yang sudah anda dengar dari ibuku, nama margaku adalah nama marga
ibuku. Jadi, saya adalah anak yatim. Saya tidak punya ayah. Saya mohon, jangan
temui ibu saya lagi. Dia sedang tidak sehat. Saya tidak ingin kesehatannya
makin terganggu. Mohon pengertiannya.” Mingyu membungkuk dengan hormat. Michiko
menelan ludah. Kecewa. Tapi perlahan ia tersenyum.
“Jika kau butuh sesuatu, kau bisa datang
padaku, kapanpun kau mau. Ya?” ia berucap lembut. Mingyu mengangguk lagi.
“Terima kasih.” Ucapnya.
***
Mingyu menatap tiket pesawat di
tangannya dengan mata berbinar. Bibirnya tak berhenti tersenyum. Ia sudah
menunggu saat ini selama berbulan-bulan. Ia juga sudah mati-matian menyisihkan
gajinya demi bisa membeli tiket ini. Lusa, Nana ulang tahun. Ulang tahunnya yang
ke 18. Dan ia akan kesana, mengunjunginya, memberinya kejutan.
“Ibu, aku ingin ke Korea. Aku ingin
mengunjungi Nana, 3 hari saja. Lusa ia ulang tahun.” Ia meminta ijin pada
ibunya ketika sore itu mereka makan bersama di meja makan.
Ibunya menatapnya tajam. Ia bangkit.
“Tidak. kau tak boleh ke sana.” Ia
setengah berteriak. Mingyu bangkit.
“Kalau begitu, sehari saja bu. Aku akan
ke sana, lalu menemuinya sebentar, kemudian segera kembali lagi ke sini. Ya?”
Mingyu memohon.
Ibunya menggeleng.
“Tidak! Kau pasti ingin menemui Michiko
‘kan? Kau ingin pergi ke rumah ayahmu ‘kan?”
Mingyu menarik nafas panjang.
“Ibu, aku akan menemui Nana. Bukan
keluarga ayahku.” Jawabnya.
“Bohong! Kau pasti akan menemui mereka.
Kau akan ikut mereka ‘kan? Kau akan meninggalkanku ‘kan? Tidak, aku tidak
mengijinkanmu.” Ibu Mingyu berlari ke arah pintu, menarik beberapa kursi lalu
mendorongnya ke arah pintu.
“Kau tidak boleh pergi! Kau tidak boleh
bertemu ayahmu!” Ia berteriak, histeris. Mingyu mendekatinya.
“Aku tidak akan meninggalkanmu, ibu. Aku
janji. Aku hanya akan menemui Nana karena ia ulang tahun. Itu saja!” ia juga
ikut berteriak.
“Bohong! Kau pasti ingin menelantarkanku
seperti yang dilakukan ayahmu! Kau akan meninggalkanku sendirian demi uang yang
ditawarkan Michiko padamu! Ya ‘kan?”
“Kenapa ibu tak percaya padaku! Aku
satu-satunya anakmu, satu-satunya keluargamu, aku tidak akan menelantarkanmu!”
Mingyu menarik kursi di belakang pintu lalu mengembalikannya ke tempatnya
semua. Wajahnya merah padam karena marah.
“Aku tidak percaya padamu! Kau pasti
seperti ayahmu yang menelantarkanku sendirian!”
“Sudah ku bilang aku tidak akan
melakukannya! Kenapa sulit bagi ibu untuk mempercayaiku!” Mingyu menendang daun
pintu dengan keras, lalu melangkahkan kakinya keluar apartemen dengan amarah. Ia hanya melangkah, tak tentu arah.
Ia baru saja sampai di anak tangga yang
terakhir ketika ia mendengar orang-orang yang tinggal di kawasan apartemennya
mulai ribut.
“Ada seseorang jatuh! Panggilkan
ambulan!” Mereka berteriak silih berganti.
Mingyu mendongak, menatap kamarnya yang
berada di lantai 3. Dan seketika kakinya lemas. Jendela kamarnya terbuka.
“Ya Tuhan, ibuuuuuu!!”
***
Upacara
pemakaman ibu Mingyu berlangsung sepi. Hanya dihadiri beberapa petugas pemakaman
dan beberapa teman Mingyu, termasuk Aki.
“Kami turut
berbelasungkawa, Mingyu.” Ia memeluk Mingyu dengan erat sambil menepuk-nepuk
punggungnya. Mingyu hanya mengangguk, tanpa mampu berkata-kata. Semalam, ia
sudah menangis tanpa henti. Menangisi kematian ibunya. Dengan penuh penyesalan
dan rasa bersalah. Suaranya habis, begitu pula air matanya.
Setelah
pemakaman selesai, pemuda itu segera kembali ke apartemennya dengan gontai.
Kini, ruangan itu sepi.
Ia mengeluarkan
sebuah lilin, meletakkannya di lantai, lalu menyalakannya.
---- Selamat ulang tahun, Nana-ah ...
---- Selamat ulang tahun yang ke-18, sayang ...
---- Maaf, aku tak bisa menemuimu ....
Mingyu meniup lilin tersebut hingga
padam. Air matanya menitik. Bersamaan dengan padamnya lilin tersebut,
kehidupannya seperti terhenti.
***
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar