~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura ga ita versi manga, live-action dan anime.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura ga ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Part 1
------------------------
============
Kim Mingyu.
Waktu itu dia baru berumur 17 tahun. Tapi realita hidup yang harus ia hadapi, melebihi kekuatannya...
============
-----------------------
Tahun ajaran baru, sekolah baru, kelas baru, dan teman-teman baru. Kim Nana sempat berpikir bahwa berada di sekolah baru akan terasa sulit baginya. Maklum, ia bukan orang yang mudah beradaptasi. Terlebih lagi, mencari teman-teman baru juga terasa sulit baginya karena ia orang yang tidak terlalu pintar membuka obrolan dengan orang yang baru kenal.
Tapi ternyata, ia salah. Sekolah barunya bagus, kelas barunya juga bagus. Dan teman-teman barunya, mereka sangat ramah. Pertama kali masuk ke kelas, para anak perempuan dan juga beberapa anak laki-laki sudah langsung menyapa dan mengerubunginya dengan antusias. Mereka menanyakan banyak hal padanya. Mulai dari mana ia berasal, mengapa ia pindah sekolah, dan beberapa hal remeh lainnya. Mereka bahkan memperkenalkan diri mereka satu persatu tanpa ia minta. Suasana hangat itu benar-benar membuat Nana takjub. Dan yang membuat Nana lebih takjub adalah, keberadaan sosok itu.
Sosok remaja laki-laki dengan senyum menawan yang terkadang terkesan cuek dengan kedatangannya. Ia tinggi. Alis matanya tebal. Sorot matanya teduh. Rambutnya berwarna gelap kopi dengan poni yang lumayan panjang menutupi sebagian dahinya. Nana sempat memergokinya mengacak-acak poninya sendiri dengan asal. Dan itu malah menjadikannya terlihat keren.
Dan suara tertawanya ...
Suara tertawa yang membuat dada Nana berdebar.
Nana tak percaya bahwa ia akan mengalami ini. Ia merasakan cinta, untuk yang pertama kalinya. Dan ia jatuh cinta pada pandangan pertama, dengan sosok itu. Sosok yang bahkan belum ia ketahui namanya...
***
Kim Mingyu.
Ada segudang alasan yang bisa membuat semua orang menyukainya. Ada segudang alasan pula hingga para murid perempuan mengidolakannya, bahkan mencintainya. Dia populer, dia tampan, dia pintar olah raga, dia pintar secara akademis, dia ramah, dan dia gampang bergaul dengan semua orang. Adakah alasan yang membuat ia tak disukai? Sepertinya tak ada.
Seiring berjalannya waktu Nana tak bisa menghentikan perasaan cintanya pada sosok itu. Bahkan boleh dibilang, perasaan cinta itu makin membesar. Ia hanya tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Hingga yang bisa ia lakukan, hanyalah memendamnya dan memperhatikan Mingyu secara diam-diam.
“Bagaimana ulangan matematikamu?” Minah, teman yang duduk di sebelah Nana menanyakan hasil ulangan yang baru dibagikan beberapa saat yang lalu.
Nana hanya nyengir.
“Pasti jelek ya?” ia memastikan. Dan Nana hanya meletakkan kepalanya di bangku dengan lemas.
“Aku dapat nol,” jawabnya. Minah melotot.
“Yang benar?” ia nyaris berteriak. Dan Nana kembali mengangguk.
“Aku pasti ikut kelas remidi,” desisnya. Minah menepuk-nepuk pundak yeoja tersebut.
“Tak apa-apa. Eh, tapi ada yang dapat nilai 100 lho,”
Nana mendongak seketika.
“Oh ya? Soal sesulit itu betul semua?”
Minah mengangguk. “Tuh,” ia menunjuk ke arah Yuri. Yeoja berkacamata yang duduk dua baris di depan Nana.
“Waah, daebak,” tanpa sadar Nana bergumam seraya beranjak menuju bangku yeoja tersebut.
“Benar kau dapat nilai 100?” Nana langsung bertanya. Yuri mengangguk.
“Bisa ajari aku? Aku benar-benar lemah di matematika,” Nana berujar tanpa rasa canggung.
Yuri menatapnya sekilas, lalu menggeleng.
“Maaf, aku tak bisa. Aku tak pandai mengajari orang,” jawabnya dingin seraya berdiri, lalu meninggalkan Nana sendirian.
Nana mendesah. Ia sudah menduganya.
Sebenarnya ia tak serius ingin meminta pertolongan Yuri agar mau mengajarinya. Ia hanya mencari alasan saja agar bisa mengobrol dengannya. Jujur, selama hampir satu semester sekolah di sini, ia jarang sekali mendengar suara Yuri. Yeoja itu kelewat pendiam. Ia tak pernah ikut mengobrol, ia tak pernah tertawa, ia bahkan tak punya teman. Setiap hari, ia hanya akan duduk manis di bangkunya. Kalau toh pergi, mungkin hanya ke kamar mandi atau di suruh guru ke kantor.
Nana mengalihkan tatapannya ke arah Minah, sahabatnya itu hanya mengangkat bahu.
“Setidaknya aku sudah berusah mengobrol dan menjadi temannya ‘kan?” ujar Nana lagi sambil beranjak.
“Mau kemana?” teriak Minah.
“Menenangkan diri,” jawab Nana asal. Ia terus melangkahkan kakinya, menaiki tangga, menuju atap gedung.
***
Nana mematung sesaat ketika melihat sosok itu duduk bersandar di pagar pembatas atap gedung. Pandangan mereka bertemu.
“Hai,” Mingyu menyapa duluan.
“Hai,” Jawab Nana. Ia melangkahkan kakinya mendekati namja tersebut lalu ikut duduk di sampingnya.
“Untuk apa ke sini?” Mingyu bertanya terlebih dahulu.
“Menenangkan diri. Kau?”
“Sama,” jawab namja itu pendek. Dan pandangan matanya kembali menerawang ke langit biru.
“Aku menenangkan diri karena mendapat nilai nol di ulangan matematika. Kau? Apa kau juga mendapat nilai nol?” tukas Nana.
Mingyu terkekeh mendengar pertanyaan Nana. Ia mengeluarkan kertas yang dilipat bentuk segitiga dari sakunya lalu menyodorkannya ke arah Nana.
“Lihatlah sendiri, jangan kaget,” ucapnya.
Nana meraih kertas lembaran tersebut dan membukanya dengan tak sabar. Dan ia segera membelalak.
“Kau dapat nilai 100?!” Ia memekik. Kali ini Mingyu menatapnya, lalu tersenyum.
“Woa, daebak,” desis Nana. Ia mengembalikan kertas ulangan tersebut ke arah Mingyu, lalu kembali menyandarkan punggungnya ke pagar. Ia mendesah.
Mingyu menatapnya heran. “Benar kau dapat nilai nol?” ia bertanya tak percaya.
Bibir Nana manyun. Ia mengangguk.
“Well, remidi di depan mata nih,” ucap Mingyu kemudian.
Nana kembali mengangguk lunglai.
“Himnaeyo, Nana-ah.” Mingyu berucap dengan tulus.
Nana kembali mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.
Tapi setelah itu, tatapan mata Mingyu kembali menerawang ke langit biru. Nana menatap namja itu tanpa sadar selama sekian menit. Ada yang tak beres dengan tatapan matanya. Tatapan matanya terlihat ‘gelap’. Tampak ada sesuatu yang bergejolak di pikirannya.
“Ada sesuatu?” tanya Nana. Mingyu mengernyit lalu menoleh ke arah yeoja yang duduk di sampingnya.
“Maksudnya?”
“Kau terlihat ... banyak pikiran,” Nana menebak ragu.
Mingyu kembali tertawa lirih.
“Tentu saja aku banyak pikiran. Bayangkan saja. Satu, aku murid paling populer di sekolah ini. Dua, hampir setiap hari aku selalu menerima pengakuan cinta dari para anak perempuan. Tiga, guru matematika kita selalu saja mencari alasan agar aku mau ikut olimpiade, padahal kau sendiri tahu aku tak tertarik. Empat, guru olah raga juga selalu mencari alasan agar aku bisa ikut kejuaraan atletik. Dan kau juga tahu, lagi-lagi aku tak tertarik. Lima, aku benar-benar cowok paling tampan di sini,” jawabnya seraya menghitung dengan jari-jarinya. Nana tergelak.
“Kau terlalu percaya diri!” teriaknya, tetap dengan tawa kecilnya. Mingyu ikut tertawa lalu bangkit.
“I’m okay. Thank you karena sudah bertanya. Semoga berhasil dengan remidinya,” ia beranjak. Menginggalkan Nana.
Tapi sebelum kakinya sampai di anak tangga, Nana berteriak.
“Mingyu-ssi,” panggil yeoja tersebut.
Langkah Mingyu terhenti. Ia berbalik dan menatap sosok bertubuh mungil tersebut.
“Ya?”
“Jika kau butuh seseorang untuk berbagi, aku bersedia mendengar keluh kesahmu,” jawab Nana.
Ia sempat merutuk dalam hati. Sial! Apa yang ku katakan? Mingyu punya keluh kesah? Ah, aku terlalu percaya diri!
Mingyu tertawa lirih.
“Terima kasih. Tapi aku tak punya keluh kesah apapun untuk dibagi,” jawabnya lalu kembali beranjak meninggalkan Nana.
Nana menepuk jidatnya dengan kesal dan tak berhenti menyesali kalimatnya. Tuh ‘kan? Aku terlalu sok tahu! Teriaknya dalam hati.
***
“Teman-teman, mulai besok kita akan mulai latihan paduan suara untuk acara festival seni bulan depan. Jadi, jangan pulang dulu ya. Aku akan membagikan salinan lagu yang akan kita nyanyikan pada acara itu,” teriak Nana di depan kelas sambil membawa segepok tumpukan kertas berisi not lagu. Sebenarnya ia juga tak bersedia menjadi ketua kelas. Tapi berdasarkan voting di awal semester, mayoritas rekan-rekannya memilihnya. Sehingga mau tak mau, dia menerimanya dengan berat hati.
Nana baru saja menyerahkan kertas lembaran pertama pada Yuri, yang kebetulan duduk di bangku depannya, ketika tiba-tiba saja yeoja itu limbung dan ambruk.
Anak-anak berteriak kaget, begitu pula dengan Nana. Dan ia terkesiap ketika tiba-tiba Mingyu-lah orang pertama yang berlari ke arah yeoja tersebut lalu mengangkat tubuhnya.
“Pasti anemia lagi,” gumamnya.
“Aku akan membawanya ke UKS,” ucapnya seraya membopong Yuri yang tengah tak sadarkan diri.
Nana mematung.
Pasti anemia lagi...
Apa maksudnya itu? Apa semua orang di sini tahu bahwa Yuri punya anemia? Atau ... hanya Mingyu saja yang tahu?
“Akan ku bantu,” Reflek Nana berkata begitu sambil berlari menyusul Mingyu.
“Tidak. Kau lanjutkan saja pembagian kertasnya,” Mingyu menolak. Dan langkah Nana terhenti seketika. Dadanya berdebar, dan ia tak tahu penyebabnya.
***
Nana menarik nafas panjang seraya menatap dua lembar kertas not lagu di tangannya. Satu untuk Mingyu, dan satu untuk Yuri. Sekolah sudah usai, tapi mereka tak kembali ke kelas. Ketika tadi ia menyusul ke UKS, hanya Yuri yang masih terbaring di sana sementara Mingyu entah kemana.
Nana ingin menyerahkan lembaran milik Yuri, tapi melihat keadaan yeoja itu, ia urung melakukannya.
Dan akhirnya mau tak mau, 2 lembar kertas itu ia bawa kembali.
“Jadi ketua kelas benar-benar merepotkan. Semester depan aku berhenti, titik,” desisnya sambil terus melangkahkan kakinya menuju halte bus depan sekolah. Yeoja berpipi chubby itu baru saja hendak duduk di kursi tunggu ketika tatapan matanya melihat sosok namja berambut cepak baru saja keluar dari pintu gerbang.
“Jisoo-ssi!” Nana memanggil seraya berlari menghampirinya.
Jisoo memang berada di kelas yang berbeda dengannya. Tapi ia tahu bahwa ia berteman baik dengan Mingyu. Itu karena selama ini, mereka selalu terlihat berdua. Baik berangkat, ataupun pulang sekolah.
“Mingyu mana?”
Jisoo melihat sekeliling.
“Mungkin ... sudah pulang,” jawabnya, tampak bingung juga seperti dirinya.
“Yaaah,” Nana mendesis kecewa.
“Ada sesuatu?” Tanya namja bermata indah tersebut.
“Nih,” Nana menyodorkan kertas di tangannya. “Tolong kasihkan ini ke Mingyu ya. Ini untuk latihan paduan suara. Belum sempat ku kasihkan karena tadi Yuri pingsan di kelas dan Mingyu yang membawanya ke UKS. Setelah itu, dia menghilang,” jelas Nana.
Jisoo manggut-manggut sambil meraih satu lembar kertas dari tangannya.
“Oke, nanti ku kasihkan padanya,”
“Gomawo,” jawab Nana.
“Aku pergi dulu ya,” sosok mungil itu beranjak, berlari-lari ke arah bis yang baru datang di halte. Ketika ia menginjakkan kakinya memasuki bis, ia seakan baru menyadari bahwa Jisoo berada di belakangnya.
“Oh, kau juga naik bis ini?” ia bertanya.
Jisoo tersenyum canggung seraya mengangguk.
Nana manggut-manggut. Dan akhirnya mereka duduk bersebelahan, tanpa di rencanakan.
“Jadi rumahmu dekat dengan Mingyu ya?” tanya Nana.
Jisoo mengangguk.
“Sejak kapan kalian bersahabat?”
“Sejak kelas 4 SD,”
“Wow,” Nana manggut-manggut.
“Jisoo-ssi, boleh aku menanyakan sesuatu?” Nana terlihat sedikit ragu.
“Apa?” Jisoo balik bertanya.
“Sedekat apa hubungan antara Mingyu dengan Yuri?”
Jisoo mengernyitkan keningnya.
“Maksudnya?” ia balik bertanya.
Nana terdiam sesaat.
“Hubungan di antara mereka terlihat sedikit aneh. Agak ... canggung. Yuri terlihat sinis pada Mingyu. Oke, ia memang tak ramah pada semua orang. Tapi dengan Mingyu, kesinisannya terasa berlipat ganda. Sementara Mingyu, ia seperti tak merasa terganggu sama sekali. Ia selalu membantu Yuri, tanpa pamrih. Tanpa basa basi. Apakah ... mereka mantan pacar?”
Jisoo tersenyum mendengar pertanyaan Nana. Ia menggeleng.
“Bukan. Dulu kami semua satu SMP. Aku, Mingyu, dan Yuri,” jawabnya.
Mata bening Nana melebar.
“Oh ya?”
Jisoo mengangguk.
“Hanya itu?” Nana tak bisa menghentikan keingintahuannya.
Jisoo menatap yeoja di sampingnya dengan heran.
“Jadi kau juga belum tahu?”
“Apa?” Nana berucap bingung.
“Kakak perempuan Yuri adalah mantan pacar Mingyu,”
Nana membelalak. “Heh?”
“Dan dia sudah meninggal sekitar satu tahun yang lalu, karena kecelakaan,” Jisoo melanjutkan.
Kali ini Nana benar-benar syok.
Ya Tuhan.
***
“Jadi itu benar, bahwa kakak Yuri adalah mantan pacar Mingyu yang sudah meninggal sekitar satu tahun lalu karena kecelakaan?” cerocos Nana pada Minah, siang itu di jam istirahat pertama, ketika mereka makan siang di taman belakang.
Minah mengangguk seraya menggigit sepotong sosis dari kotak bekalnya.
“Iya, dia kakak kelas kita,”
Nana nyaris tersedak.
“Kakak kelas kita?”
Lagi-lagi Minah mengangguk.
“Waktu itu Mingyu masih kelas satu, sementara Nana Eonni kelas tiga. Beberapa hari sebelum ujian akhir, dia mengalami kecelakaan lalu lintas, dan meninggal.”
Nana mengernyit.
“Eonni .. nuga? Nana Eonni?” ia bertanya dengan tak percaya. Minah mengangguk.
“Namanya Im Nana,” Minah memastikan.
Nana terdiam. Entah mengapa makanan yang ada di mulutnya terasa hambar seketika.
Hah, bahkan namanya pun hampir sama dengan namanya!
“Apa dia cantik?”
Minah menangkat bahu mendengar pertanyaan Nana.
“Entahlah. Aku juga tak begitu tahu. Tapi kata anak-anak, dia cantik sekali. Dia murid perempuan paling populer di sekolah kita. Kecantikannya belum ada yang bisa menandingi,” penjelasan Minah membuat lutut Nanami lemas.
“Yaa, kenapa tiba-tiba kau tertarik tentang Mingyu?” Minah menatap sahabatnya dengan penuh selidik. Nana mendesah panjang lalu balik menatap Minah dengan tatapan putus asa.
“Sepertinya aku jatuh cinta padanya,” jawabnya lirih.
“Hah?! Jatuh cinta pada Mingyu?!”
Nana segera beranjak dan membekap mulut sahabatnya tersebut.
“Pelankan suaramu, oke. Ini hanya rahasia kita berdua, jebal ...” ia memohon.
Minah manggut-manggut.
“Jangan berteriak,”
Minah kembali manggut-manggut. Setelah sepakat, Nana melepaskan bekapan tangannya.
“Sejak kapan?”
“Sejak pertama kali aku datang ke sini,” jawab Nana jujur. Minah nyaris berteriak, tapi batal karena Nana melotot ke arahnya dengan tatapan menusuk.
“Mian,” Ia nyengir.
“Gwaencana, Nana-ah. Punya perasaan pada Mingyu adalah hal yang wajar di sekolah kita. Kenapa? Karena kau bukan satu-satunya orang yang jatuh cinta padanya. Jadi, kapan kau akan mengakui cintamu padanya?”
Nana menggeleng.
“Belum ada rencana. Sementara seperti ini saja. Janji jangan bilang siapa-siapa ya,”
Minah mengangguk mantap. “Percayalah padaku,” ucapnya.
“Kalau kau penasaran tentang Nana Eonni, aku bisa mencari buku tahunan yang ada fotonya. Yaaa, supaya kau tak penasaran saja tentang kecantikan mantan pacar Mingyu,”
Nana melotot girang.
“Mau!” jawabnya cepat.
Minah hanya bisa garuk-garuk kepala.
***
Kelas sepi. Pelajaran sudah usai sekitar 15 menit yang lalu. Tapi Nana masih mematung di bangkunya sambil menatap buku tahunan yang tergeletak di depannya. Sesuai janji, Minah mendapatkannya. Entah bagaimana caranya, tapi ia berhasil mendapatkan buku itu secara sembunyi-sembunyi.
Tapi buku itu setebal 5 cm dengan total sekitar 300 lulusan. Dan Nana tak tahu harus mulai dari mana untuk mencari tahu foto Nana. Nana-nya Mingyu.
Aku pasti sudah gila karena mau melakukan hal-hal seperti ini! rutuknya dalam hati.
“Astaga, harus mulai mencari darimana? Bisa-bisa nanti malam baru selesai,” desis yeoja tersebut seraya membuka-buka buku itu dari halaman paling depan.
“Foto siapa yang ingin kau cari?”
Suara itu membuat jantung Nana berlompatan. Ia menoleh dan tampak Mingyu sudah berdiri di sampingnya.
“Mingyu-ssi? Kenapa kau masih di sini?” Nana bertanya, spontan.
“Kau sendiri, kenapa masih di sini?” Mingyu beranjak dan duduk di bangku yang berada di depan Nana.
“Mmm, masih ada urusan sedikit,” Yeoja itu nyengir seraya menutup buku tahunan itu dengan buru-buru. Mingyu terkekeh.
“Foto siapa yang ingin yang kau cari?” Ia bertanya lagi.
Nana tak segera menjawab. Tapi akhirnya ia menyerah.
“Nana sunbae. Mantan pacarmu. Beritahu aku yang mana dia,” ucapnya jujur seraya menyodorkan buku tahunan tersebut ke arah Mingyu.
Mingyu menatapnya dengan tak mengerti.
“Kenapa kau ingin mencari tahu tentang dia?”
“Ingin tahu saja. Kau tak berhak melarangku ‘kan?” jawab Nana.
Mingyu menatap buku di tangannya dengan ragu. Tapi akhirnya, ia meraihnya, membuka beberapa lembar halaman dan dalam waktu kurang dari 10 detik, ia menunjukkan foto Nana.
“Nih,” ia menunjuk tepat ke arah foto yeoja cantik berambut sebahu, berkulit bersih dan dengan mata bening yang menawan.
Nana terperangah. Astaga, dia benar-benar cantik.
“Waaa, dia cantik sekali,” ucapnya tanpa sadar.
“Aslinya malah lebih cantik,” jawab Mingyu bangga. Ia tersenyum. Entah mengapa, Nana juga ikut tersenyum.
“Apakah dia cinta pertamamu?”
Mingyu mengangguk. “Ya, aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama,” jawabnya.
“Siapa yang menyatakan cinta duluan?”
“Aku,” jawab Mingyu cepat.
“Hebat. Dan kalian langsung berpacaran setelahnya?” Nana bertanya lagi.
Entah mengapa, obrolan di antara mereka mengalir begitu saja. Nana tak berhenti bertanya, sementara Mingyu juga tak keberatan menjawab.
“Tidak, karena waktu itu ia masih punya pacar. Tapi beberapa hari kemudian, aku berhasil menjadikannya pacarku,”
Nana terkesiap.
“Hah? Maksudmu, kau merebut dia dari pacarnya?”
“Tentu saja,” jawab Mingyu lagi, bangga.
“Whoa, you’re really a bad boy, Mingyu-ssi,” ucap Nana, tapi tak ada nada menyindir di sana. Namja itu tergelak.
“Habisnya ... dia benar-benar cantik. Aku sangat menyukainya. Jadi, aku berjuang keras untuk mendapatkannya,” jawabnya.
Nana manggut-manggut. Dadanya terasa sakit. Tapi melihat Mingyu yang antusias bercerita dengan mata berbinar-binar, rasa sakit itu seperti tak ada apa-apanya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau ingin tahu soal Nana-ku?” tanya Mingyu lagi.
Nana terdiam sesaat.
“Karena sepertinya aku jatuh cinta padamu, Mingyu-ssi,” jawabnya kemudian, dengan tatapan lurus ke arah namja di hadapannya.
Mingyu tampak tertegun. Tak lama.
Keduanya berpandangan. Hening.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita pacaran?” ucap Mingyu kemudian.
Nana terhenyak.
“Apa kau mencintaiku?” ia bertanya dengan heran.
Mingyu tak segera menjawab.
“Entahlah, aku tak tahu,” jawabnya.
Kali ini Nana terkekeh lirih.
“Jangan pernah mengajak seorang yeoja untuk berpacaran jika kau tak tahu tentang perasaanmu, oke?” ia bangkit lalu meraih tasnya.
“Sini, biar aku kembalikan bukunya. Mungkin Minah meminjamnya dari perpustakaan,” tak lupa ia meraih buku tahunan tersebut dari tangan Mingyu.
“Kalau begitu, beri waktu padaku untuk mencari tahu tentang perasaanku padamu,” jawab Mingyu, enteng. Khas dirinya yang terkesan cuek dan tak mau repot. Nana kembali terkekeh.
“Oke,” jawabnya, lalu beranjak meninggalkan namja tersebut.
Astaga, obrolan macam ini? Ia tak berhenti bertanya dalam hati.
***
“Jadi, kau sudah menyatakan perasaanmu pada Mingyu?” tanya Minah ketika sore itu mereka janjian jalan-jalan di pusat perbelanjaan.
“Ya,” jawab Nana pendek.
“Dan ... diterima atau ditolak?” Minah terus bertanya dengan antusias.
Nana terus berjalan melewati orang yang berlalu lalang dengan manyun.
“Tidak dua-duanya. Diterima tidak, ditolak juga tidak,”
“Heh? Mana ada jawaban seperti itu?” Minah menyamai langkah Nana. Yeoja yang hobi menggelung rambutnya itu mengangkat bahu.
“Kenyataannya memang begitu. Tapi, tak masalah. Diterima atau ditolak, aku siap dengan dua kemungkinan itu,” jawabnya cuek. Minah menatapnya dengan takjub.
“Waaah, kau hebat Nana-ah. Sekilas kau memang tampak seperti anak kecil yang lemah dan cengeng. Tapi aslinya, kau benar-benar tabah dan tegar. Aku benar-benar tak menyangka. Salut buatmu,” gumamnya. Nana menatapnya dengan kesal.
“Anak kecil yang lemah dan cengeng? Mentang-mentang karena tubuhku mungil, begitu?” ujarnya jengkel. Minah cuma meringis. Mereka terus berjalan tanpa berhenti melewati kios-kios baju. Tapi ketika sampai di ujung jalan, seseorang menepuk pundak Nana. Yeoja itu menoleh, begitu pula Minah.
“Jisoo-ssi?” mereka memanggil bersamaan. Jisoo tersenyum.
“Tak kusangka akan ketemu kalian di sini. Jalan-jalan? Belanja?” cerocos namja tersebut.
“Nana sedang bad mood, jadi aku mengajaknya jalan-jalan?” celetuk Minah. Nana melotot ke arahnya.
“Minah-ah?” ia mendesis jengkel. Yang dipanggil cuma nyengir.
“Bad mood? Kenapa? Aku sedang berkumpul dengan teman-teman SMP-ku. Tuh, di kafe sebelah. Mingyu juga ada. Mau gabung?” Jisoo menunjuk ke arah Kafe di seberang jalan.
“Mau!” jawab Minah cepat. Nana mendelik. Tapi, akhirnya ia memang ikut bergabung dengan teman-teman Jisoo.
Ketika sampai di kafe yang dimaksud, beberapa anak muda berkumpul di sana, di bangku dekat jendela. Laki-laki dan juga perempuan. Mingyu ada di antara mereka. Ketika melihat kedatangan Nana, anak laki-laki itu bersikap biasa dan tenang. Ia hanya tersenyum sekilas, lalu kembali asyik mengobrol dengan teman-temannya.
“Mereka Nana dan ...” Jisoo melirik ke arah Minah.
“Minah,” jawab yeoja tersebut.
“Oh ya, Nana dan Minah. Mereka sekelas dengan Mingyu,” akhirnya, Jisoo lah yang memperkenalkan mereka. Nana dan Minah tersenyum canggung.
”Sekelas dengan Mingyu? Berarti kau juga sekelas dengan Yuri ‘kan?” Yeoja berambut panjang yang duduk di samping Mingyu bertanya dengan antusias. Nana mengangguk.
“Dia aneh ‘kan?” ia terus berucap dengan antusias.
Nana mengernyit.
“Tak usah kaget. Dulu kami ‘kan satu SMP. Jadi kami sudah hafal seperti apa Yuri itu. Dia anak paling aneh di sekolah kami. Dan aku yakin dia juga akan terus aneh sampai tua. Dulu kami kerap menyebutnya patung hantu, karena yang ia lakukan hanyalah duduk diam tak bersuara. Dia juga seperti alien, ya ‘kan?” yeoja itu tertawa.
Nana menatapnya dengan jijik. Ia paling tak suka jika seseorang membicarakan kejelekan orang lain.
“Iya, dia benar-benar berbeda dengan Nana. Nana orangnya cantik bagaikan dewi. Ia ramah, mudah bergaul, punya banyak teman. Sementara Yuri, aduh, mungkin anak itu akan jadi perawan tua sampai mati,” sahut teman yang satunya.
“Cukup!” Nana berteriak.
Mereka terdiam sesaat lalu menatap Nana dengan kaget.
“Kalian bilang kalian satu SMP, mestinya kalian berteman ‘kan? Lalu kenapa kalian menjelek-jelekkan dia?” ucap Nana geram.
“Hei, kenapa kau marah? Asal kau tahu, kami lebih lama mengenal Yuri daripada kau. Jadi kami tahu betul kalau Yuri memang aneh. Dia orang paling jelek di sekolah kami, dan semua orang tahu itu!”
“Aku tidak berurusan dengan kekurangan-kekurangan Yuri. Tapi setidaknya kau tidak menjelek-jelekkan orang lain. Itu menyedihkan.” Nana terus membantah.
Perdebatan di antara mereka terhenti ketika tiba-tiba Mingyu tertawa ngakak.
“Astaga, apa yang kalian ributkan? Jangan terlalu serius. Yuri memang begitu sejak dulu. Dan Nana, Nana-ku, ah, yang mati ya mati saja. Tak perlu dibicarakan lagi. Nanti dia bisa jadi hantu,” ucapnya. Dan ia kembali tertawa.
Nana menatapnya dengan tajam. Dan ... brakkk!
Reflek ia mengayunkan tasnya ke kepala Mingyu. Tawa namja itu terhenti. Dia mengaduh kesakitan.
“Hei, apa yang kau lakukan? Sakit tahu?!” teriaknya. Nana melotot.
“Kau ... brengsek!” umpatnya seraya bangkit lalu berlari keluar kafe, tanpa menghiraukan panggilan Jisoo dan Minah.
Sejak dulu, Nana tidak suka jika mendengar seseorang menjelek-jelakkan orang lain. Mungkin Yuri memang aneh. Tapi tak seharusnya mereka mengolok-oloknya seperti itu. Mengatakan ia yeoja paling jelek di sekolahnya? Cih, mereka bahkan juga tidak cantik. Dan Mingyu, bagaimana bisa ia bicara tak sopan tentang Nana? Nana-nya. Bagaimanapun, Nana sudah meninggal. Tak seharusnya ia bicara secara enteng seperti itu. Dasar brengsek!
Nana mematung di halte bis. Ia menatap tas tangannya yang terbuka lalu mendesah. Dompetnya ketinggalan! Pasti dompet itu terjatuh di kafe ketika ia memukul kepala Mingyu dengan tas nya tadi! Oh, bagaimana ini?
Ia merutuki kecerobohannya sendiri. Harusnya ia tak perlu susah-susah mengurusi urusan orang lain! Desisnya.
Karena tak punya pilihan lain, Nana memutuskan untuk kembali ke kafe. Ia tak mungkin pulang tanpa dompetnya. Seluruh uangnya ada di sana.
Tapi yeoja itu kembali mematung ketika ia melihat sosok itu. Mingyu tengah berjalan ke arahnya, perlahan. Ada dompet pink di genggaman tangannya.
“Dompetmu,” ucap namja tersebut ketika mereka sudah berhadapan. Nana menerima benda pink tersebut tanpa berkata-kata. Bagaimanapun ia masih marah. Dan ia takkan mau mengucapkan kata terima kasih.
“Kau yeoja pertama yang berani mengataiku brengsek,” Mingyu berucap dengan senyum di bibirnya. Nana menatapnya sinis.
“Oh ya? Kalau begitu akan ku katakan ratusan kali agar kau tahu bahwa kau memang brengsek!” teriaknya.
“Dan karena kau orang brengsek, ku tarik kembali kata-kataku. Aku tak jadi mencintaimu, dengar?” lanjut yeoja berhidung bangir tersebut.
Mingyu menatapnya dalam. Hening sesaat. Nana ingin kembali memaki, tapi tatapan gelap Mingyu seakan mengunci bibirnya.
“Pacarku berselingkuh dariku. Ketika ia meninggal, ia sedang pergi dengan pacarnya yang lain. Mereka mengalami kecelakaan mobil dan meninggal bersama,” Mingyu membuka suara.
Nana tercengang. Apa lelaki itu sedang menceritakan Nana? Im Nana?
“Nana sunbae?” tanpa sadar Nana mendesis.
Mingyu mengangguk samar.
“Tapi itu bukan salahnya. Itu salahku. Jika pacarku selingkuh, itu artinya aku tak memperlakukannya dengan baik sehingga ia mencari lelaki lain yang lebih baik dariku. Ya ‘kan?” ia seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Nana terdiam.
Kenapa ia menceritakan ini padaku? Aku harus bilang apa? Jeritnya dalam hati.
“Dan ibuku... Dia melahirkanku ketika usianya baru 19 tahun dan ... belum menikah. Dia berselingkuh dengan seorang pria beristri. Awalnya ia menggunakan kehamilannya untuk menekan pria itu agar bercerai dengan istrinya. Tapi ternyata cara itu tak berhasil. Mereka tak bercerai. Hingga akhirnya, ibuku terpaksa melahirkanku sendirian. Istilah lainnya adalah ... aku anak haram,” Mingyu kembali melanjutkan kata-katanya.
Tenggorokan Nana tercekat. Ia tak tahu harus berkata apa. Kenapa Mingyu menceritakan semua ini sekarang? Kenapa? Ia benar-benar tak mengerti.
“Jadi... apakah kau masih ingin menarik kata-katamu kemarin? Kau ingin membatalkan pengakuan cintamu padaku?” tatapan mata Mingyu tampak gelap. Seakan tak bernyawa.
Nana merasakan darahnya berdesir. Membatalkan rasa cintanya pada Mingyu? Hah, itu hal yang tak mungin ia lakukan. Ia bahkan sudah jatuh cinta pada sosok jangkung itu tanpa mengetahui namanya. Dan sekarang, bahkan ketika ia menceritakan sisi kelam dalam dirinya, cinta itu takkan bisa ia hapuskan.
Akhirnya tanpa berpikir dua kali, Nana melangkah mendekati Mingyu lalu membalas menatap mata itu dengan dalam. Dan dengan tegas akhirnya ia menjawab : “Tidak,”
***
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar