Kamis, 14 Januari 2016

[FF/SVT] Bokura Ga Ita #2




~~~~~~~~~~

Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....

~~~~~~~~~~~~

Part 2                                                          

Anak-anak baru saja akan berlatih seperti biasanya ketika Nana masuk ke kelas dengan wajah lesu.
“Ada kabar buruk,” ucapnya sambil melangkahkan kakinya dengan lunglai ke depan kelas. Kontan seluruh kelas menatapnya dengan heran.
“Ada apa?” Mereka bertanya hampir bersamaan. Nana menarik nafas panjang lalu menatap mereka secara acak.
“Sepertinya kita tidak bisa menampilkan paduan suara di festival seni nanti,” jawabnya kemudian.
Seisi kelas langsung riuh.
“Kenapa?”
“Mereka bilang penampilan serupa sudah terlalu banyak. Jadi, kita diminta mengganti penampilan kita. Kalau tidak drama, role play, atau yang lainnya. Asal bukan paduan suara,” jawab Nana kemudian.
Kelas yang tadinya sempat tenang ketika Nana berbicara, sekarang kembali ramai lagi.
“Itu tidak mungkin, Nana-ssi. Kita sudah berlatih dua minggu. Selain itu, waktunya terlalu mepet. Kalau kita mengganti performance kita dengan drama atau yang lainnya, latihannya tidak akan cukup. Bikin script, kostum, dekorasi, aduh, kenapa mendadak begini sih?”
Beberapa orang mulai berpendapat.
“Kenapa kau tidak mencoba protes dan menjelaskan semua pada panitia?”
“Aku sudah mencobanya, tapi mereka tak mau mendengarku,” jawab Nana.
“Kalau begitu bicaralah lagi. Yakinkan mereka kalau kita tetap akan menampilkan paduan suara,”
“Aku sudah mencobanya, tapi ...” Nana mengelus pelipisnya, bingung.
Untuk kesekian kalinya kelas kembali ribut tak terkendali. Nana kembali mendesah putus asa.
“Biar aku yang bicara,” suara itu secara ajaib membuat seisi kelas tenang. Mingyu bangkit.
“Seluruh panitia masih ada di ruang rapat ‘kan?” Ia bertanya pada Nana. Yang ditanya hanya mengangguk bingung.
“Oke, biar aku yang bicara pada mereka,” tanpa menunggu jawaban, namja itu beranjak keluar dari kelas.
Dan setengah jam kemudian, ia kembali.

“Bagaimana?” seluruh kelas bertanya dengan antusias.
Mingyu mengangguk.
“Boleh. Asal kita menampilan paduan suara yang berbeda,” jawabnya. Seluruh kelas bersorak. Nana menarik nafa lega.

Mingyu melangkah dan berdiri di sebelahnya. Sekarang ia yang berbicara di depan kelas.
“Yuri, kau bisa bermain piano ‘kan?” Ia menatap langsung ke arah Yuri.
Yeoja itu sedikit canggung, tapi akhirnya ia mengangguk.
“Kita akan menampilkan paduan suara yang diiringi instrument musik. Yuri bermain piano, Seok Jin bermain gitar, Erin bermain biola, dan beberapa anak  laki-laki akan memainkan seruling. Mempersiapkan instrument sepertinya lebih mudah daripada kita harus menggantinya dengan drama. Bagaimana?”
Seluruh kelas bersorak tanda setuju. Nana menatap Mingyu dengan takjub.
“Harusnya kau yang jadi ketua kelas, bukan aku,” gerutunya pelan.
Mingyu terkekeh dan menatapnya.
“Boleh, asal kau mentraktirku makan siang selama sebulan,” ucapnya.
Nana mendelik.
“Aku tak mau bangkrut,” jawabnya kesal. Ia kembali berbalik menghadap teman-teman sekelasnya yang mulai ramai.
“Teman-teman, jangan lupa lusa acara pembukaan festival kembang lagi. Semua wajib hadir, nde?!” teriaknya.
“Ndeeee,” dan teman-temannya menjawab dengan antusias.
Sesaat sebelum Nana kembali ke tempat duduknya, ia merasakan tangan Mingyu mengelus kepalanya dengan ringan. Sentuhan itu sederhana, tapi tetap saja dadanya berdebar.
“Semoga berhasil, Leader-nim,” ucapnya.
Nana menatapnya dan menangkap senyum manis di bibir Mingyu. Dan Nana pun ikut tersenyum. Bersyukur.

***

Nana datang ke pembukaan pesta kembang api dengan mengenakan hanbok paling manis yang dipilihkan ibunya. Rambutnya yang sebahu tetap ia gelung rapi. Tapi kali ini, ia menambahkan jepit berhiaskan bunga cherry yang serasi dengan warna hanbok-nya.

Bayangan akan bertemu dengan Mingyu di festival kembang api tersebut membuatnya antusias berdandan, hal yang jarang ia lakukan selama ini. Terlebih lagi, mengenakan hanbok yang terkadang ia anggap merepotkan, tetap juga ia lakukan. Ia ingin menampilkan sisi yang berbeda pada namja itu. Nana ingin agar kali ini Mingyu melihatnya sebagai sosok yeoja yang benar-benar menawan. Tidak sekedar perempun mungil berpipi chubby yang selalu kikuk bila berhadapan dengan orang banyak.

Nana tiba di sekolah 20 menit sebelum acara dimulai. Anak-anak yang lain sudah heboh berkumpul hampir di seluruh penjuru lapangan, maupun bagian sekolah yang lain. Mereka antusias, terlebih lagi karena semuanya berpakaian tradisional.
“Waaa, Nana, neomu kyeowo,” Minah dan Erin langsung menyerbu Nana ketika yeoja itu tiba.
“Hehe, gomawo. Kalian juga,” balas Nana, tersipu.
Beberapa anak lelaki yang berpakaian tradisional juga menghampiri Nana dan memuji penampilannya.
“Kau terlihat begitu manis, Nana-ssi,” puji mereka.
“Hehe, gomawo. Kalau saja seragam sekolah kita diganti dengan hanbok, aku pasti jadi murid populer di sekolah ini,” jawab Nana asal. Dan semuanya tergelak.

“Apa Mingyu sudah datang?” tanya Nana kemudian.
Teman-teman mereka melihat sekeliling.
“Sepertinya belum,” jawab mereka.
“Aku juga belum melihat Yuri,” ujar Minah.
Nana manggut-manggut. Kecewa.
Kekecewaannya bertambah ketika ternyata Mingyu tak muncul sampai acara selesai. Yuri juga.
“Harusnya aku tak berharap terlalu tinggi,” desis Nana pelan. Ia berjalan lunglai di samping Minah dan Erin.

“Aku mau cari minum dulu,” ucapnya sambil berbalik, meninggalkan kedua temannya. Tapi baru beberapa langkah, matanya menangkap sosok tinggi yang tengah mengarahkan phonsel ke arahnya.

Klik! Klik! Klik!

Ia memotret beberapa kali.
Nana mengerjap.
“Jisoo-ssi!” ia berseru seraya berlari kecil menghampiri namja tersebut. Jisoo tertawa lirih.
“Mian, tapi kau cantik sekali dengan hanbok itu. Jadi aku memotretnya. Untuk kenang-kenangan saja,” ucapnya seraya nyengir.
Nana manyun.
“Curang. Kau mengambil fotoku tanpa ijin. Setidaknya bilang dulu kalau mau memotret. ‘Kan aku bisa eksyen dulu,” gerutunya.
Jisoo tertawa.
“Kalau begitu, boleh dicoba lagi?”
“Andwe,” cetus Nana.
Keduanya tertawa lagi.
“Mmm, Mingyu tak bersamamu?” Nana menatap sekelilingnya.
Jisoo terdiam sesaat. Ia menggeleng.
“Hari ini hari kematian Nana. Nana noona. Jadi... ia tak bisa datang,” jawabnya.
Nana mematung sesaat. Hari kematian Nana?
“Ow, begitu. Pantas saja Yuri juga tidak ada,” ucapnya. Tiba-tiba rasa haus yang tadi menyerangnya hilang seketika.
“Aku mau pulang. Kau?” Keinginan untuk pulang muncul secara tiba-tiba di benak Nana.
Jisoo mengangguk. “Iya, aku juga mau pulang,” jawabnya.
“Kalau begitu, bareng saja. Rumah kita searah ‘kan?” Nana nyerocos, seperti biasanya.
Jisoo meringis seraya menggaruk-garuk kepalanya.
“Sebetulnya ... rumah kita tidak searah,” jawabnya.
Nana mengernyit.
“Masa? Tapi beberapa kali kita naik bis yang sama ‘kan?” Ia bertanya tak mengerti.
Jisoo menggeleng, salah tingkah.
“Mmm, waktu itu kebetulan saja aku punya kepentingan hingga kita naik bis yang sama. Jadi ...” Kalimatnya terhenti sesaat. Ia nampak bingung. “Oke deh, aku duluan saja ya. annyeong,” Jisoo ngacir sebelum Nana sempat bertanya apa-apa lagi padanya.
Ia menatapnya kepergian namja itu dengan bingung.

***

Keesokan harinya, Mingyu tak masuk. Esoknya lagi, juga. Di jadwal latihanpun ia juga tak datang. Hingga akhirnya dengan penuh keraguan, Nana memutuskan untuk datang ke rumah Mingyu. Tentunya, setelah terlebih dahulu mencari tahu alamatnya secara sembunyi-sembunyi.

Yeoja itu berdiri mematung di rumah sederhana berlantai dua yang berada di depannya. Ia sudah mondar-mandir di depan rumah tersebut selama hampir 15 menit. Ia hanya tak tahu kenapa ia bisa sampai ke sini? Ke rumah Mingyu? Untuk apa ia ke sini? Untuk apa?

Beberapa kali ia sudah mencoba menekan bel di pagar, tapi batinnya lagi-lagi bersitegang. Ini memalukan! Untuk apa ia ke sini? Untuk apa? Mengkhawatirkan Mingyu? Memang dia siapa?

Masuk? Tidak! masuk? Tidak!

Nana mendesah. Lelah berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya ia memutuskan, “Sebaiknya aku pulang. Kekhawatiranku tak beralasan,” gumamnya.
Ia baru saja akan berbalik ketika tiba-tiba jendela di lantai dua terbuka dan kepala Mingyu nongol dari sana.
“Ibuuu!! Ada penguntit di depan rumah kitaa!!” teriaknya.
Nana melotot kaget, ia mendongak dan menatap Mingyu dengan bingung.
“Siapa? Siapa yang penguntit??!” ia juga berteriak seraya menatap kanan dan kirinya.
“Kau,” Mingyu menunjuk ke arah Nana.
Mata Nana makin melebar.
“Aku?! Aku bukan penguntit!” teriaknya lagi.
“Lalu untuk apa kau mondar-mandir di depan rumahku selama hampir 15 menit?”
“Aku hanya ingin berkunjung. Aku .... Tunggu! Jadi kau tahu aku sudah mondar-mandir di depan rumahmu selama hampir 15 menit?!” Nana menjerit.
Mingyu tersenyum licik seraya mengangguk.
Nana menggigit bibirnya dengan sebal.

“Kalau begitu kenapa kau tidak segera menyuruhku masuk, sialan!” Nana berteriak lagi.
“Karena menyenangkan sekali melihatmu mondar-mandir di sana,” jawab Mingyu enteng.
“Buka pintunya! Cepat buka! Kau harus segera diberi pelajaran!” Nana tak berhenti berteriak dengan kesal seraya mendorong-dorong pagar dengan kasar.
“Ibuuuuu! Ada perempuan gila yang mau merobohkan pagar rumah kitaaa!” Mingyu kembali berteriak dengan jahil hingga membuat Nana berhenti mendorong pagar.
“Siapa yang mau merobohkan pagar?! Aku ingin bertamu baik-baik, dasar bocah tengik! Nih, lihat buktinya!”
Nana menekan bel berkali-kali dengan kesal.
“Mingyu eomma yang terhormat, saya Nana. Tolong buka pintunya ya. Saya ingin bertamu,” ucapnya kemudian. Kontan saja hal ini membuat Mingyu tertawa terpingkal-pingkal hingga matanya berair.

***

“Maaf ya, Mingyu memang begitu. Dia masih saja jahil seperti anak kecil. Tadinya ibu ingin membukakan pintu, tapi ia melarang. Dia bilang, kau lucu seperti hiburan,” ucap ibu Mingyu, setelah ia membukakan pintu dan menyilakan Nana masuk ke kamar Mingyu. Ia juga membawakan secangkir teh dan sepiring puding.

Mingyu masih saja tertawa, tanpa beranjak dari atas tempat tidurnya. Sementara Nana cuma meringis, malu bercampur sebal.
“Silahkan dinikmati. Anggap saja rumah sendiri,” ucap ibu Mingyu dengan ramah.
“Maaf merepotkan,” ucap Nana ramah. Ibu Mingyu tersenyum lalu beranjak.
Nana menatap Mingyu dengan tatapan menusuk.
“Puas?” desisnya.
“Puas,” jawab Mingyu, tetap dengan tawanya yang tak kunjung berhenti.

Nana masih jengkel. Tapi melihat Mingyu yang tertawa lepas seperti itu, tiba-tiba saja hatinya lega. Setidaknya, tak ada yang perlu ia khawatirkan.
“Jadi, kenapa kau tak masuk sekolah? Kau juga tak datang di latihan,” tanya Nana seraya duduk di satu-satunya kursi yang ada di kamar tersebut.
Tawa Mingyu terhenti.
“Kau tak lihat aku ada di atas tempat tidur? Itu tandanya aku sedang sakit,” jawabnya seraya nyengir.
“Mana ada orang sakit yang tertawa keras kayak gitu? Kau terlihat baik-baik saja kok,” sangkal Nana.
Mingyu nyengir.
“Dua hari ini aku bangun kesiangan, hehehe...” ucapnya. Tapi Nana tahu ia bohong.
“Dasar pembohong,” dengusnya.
“Tapi sekarang sudah baikan ‘kan? Besok masuk tidak? Latihan bisa datang ‘kan? Ada masalah dengan lagu? Tangga nada?.....”
“Sudahlah. Jangan banyak nanya. Makan saja pudingnya,” potong Mingyu.
“Memangnya aku ke sini cuma mau makan puding?”
“Ya sudah, kalau begitu jangan dimakan,”
“Akan ku makan!” jawab Nana kesal seraya memasukan sesendok puding ke mulutnya.

Hening sesaat. Nana asyik menyantap puding, sementara Mingyu menatapnya secara sembunyi-sembunyi.
“Aku tak menyangka kamarmu rapi,” Nana membuka suara sambil menatap sekelilingnya.
“Dan aku yakin, kamarku lebih rapi dari kamarmu, ya ‘kan?” jawab Mingyu. Nana nyaris tersedak.
“Kok tahu?” desisnya. Mingyu terkekeh.
Nana bangkit dan menatap sebuah album foto di rak di samping Mingyu.
“Album foto. Boleh ku lihat?” tanya Nana antusias.
Mingyu meraihnya.
“Boleh. Tapi sebentar... akan ku singkirkan beberapa foto pornonya,” ucap Mingyu lagi sambil meringis. Ia mengambil beberapa gambar dari album foto tersebut lalu menyerahkan albumnya ke arah Nana.
“Dasar mesum,” Nana bergidik.

Ia membuka-buka album foto tersebut. Dan ia bisa melihat foto Mingyu dari dia SD sampai SMP. Melihat foto-foto Mingyu, Nana merasa senang bukan main.
“Mana fotonya Nana sunbae?” tanya Nana tanpa melihat ke arah Mingyu, tangannya sibuk membolak-balik halaman foto.
“Nih,” Mingyu menunjuk foto di tangannya.
“Boleh ku lihat?”
“Yakin ingin melihat? Ini foto porno lho?” tatapan Mingyu kembali terlihat jahil.
Nana seperti hilang kesabaran. Ia berjingkat, naik ke ranjang Mingyu lalu menyambar foto tersebut dari tangannya.
“Whoa, kau nafsu sekali ya?” ujar Mingyu jahil.
“Diamlah,” jawab Nana pendek seraya menatap foto di tangannya. Ia mengernyit.
“Ini bukan foto Nana Sunbae. Ini ‘kan fotomu dengan Jisoo,” desisnya seraya menatap Mingyu dengan kesal. Mingyu kembali tertawa.
“Itu foto kesayanganku. Foto itu pertanda bahwa persahabatanku dengan Jisoo abadi. Lagipula ... aku tak punya foto Im Nana,” jelasnya.
“Kenapa tak punya?” tanya Nana lagi.
Mingyu mengangkat bahu.
“Sepertinya tak penting lagi aku menyimpan fotonya,” kalimat Mingyu terdengar ragu. Nana tahu ia pasti sedang berjuang dengan semua kenangan tentang Nana sunbae.
“Ngomong-ngomong, Nana-ah... Kau, berani sekali ya,”

Nana mengernyit.
“Apa?” ia bertanya bingung.
“Kau sadar kau berada di mana?” Mingyu tersenyum. “Kau ... di atas ranjangku,” ucapnya lagi.
“Lalu?” Nana kembali mengernyit.
“Ada yang mengatakan bahwa jika seorang perempuan berani naik ke ranjang seorang laki-laki, itu tandanya ... dia ... bersedia untuk di ajak ....kau tahulah, hubungan antara perempuan dan laki-laki,”
Nana membelalak. Tiba-tiba saja Mingyu bergerak mendekatinya dan secara reflek, Nana  bergerak mundur hingga akhirnya .... grubyakkk!!

Yeoja mungil itu terjungkal dari tempat tidur dan keningnya membentur lantai dari kayu. Ia mengaduh sementara Mingyu ngakak.
“Hahaha, aku hanya bercanda, Nana-ah,” ucapnya tanpa bisa menahan tawanya.
Nana menatapnya tajam.
“Yaaaaaaa!!!” jeritnya kesal seraya memegangi keningnya yang mulai benjol.
“Mian, mian,” ucap Mingyu, ia beranjak turun dari tempat tidurnya. “Sini, biar ku lihat,” ia mengulurkan tangannya menyentuh kening Nana.
“Sakit,” Nana menepis pelan tangannya lalu memijit-mijit keningnya sendiri. Ia bangkit lalu meraih tasnya di lantai.
“Datang ke sini dan mengkhawatirkanmu adalah sia-sia,” ucapnya.
“Aku pulang,” ia beranjak.
“Nana-ah,” panggil Mingyu lirih.
“Apalagi sih?” Nana berbalik kesal.
Mingyu menatapnya dalam.
“Terima kasih, atas kunjungannya,” ucapnya lirih. Tatapannya lembut.
“Kalau begitu, sampai jumpa besok,” Nana melangkahkan kakinya keluar dari kamar Mingyu.

Tapi sekian detik kemudian, ia berbalik dan kembali ke kamar.
Mingyu masih berdiri, menatap ke arah pintu, dan sekarang menatap ke arahnya.
Nana menelan ludah.
“Mingyu-ssi, mungkin orang yang kau sayangi sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tapi, sekarang ada seseorang di sini yang akan menyayangimu dengan tulus. Percayalah, kau tidak sendirian. Bahkan jika kau merasa sedih dan terpuruk, ada aku di sini. Mulai sekarang dan seterusnya, aku akan selalu memperhatikanmu. Percayalah padaku, aku akan selalu memperhatikanmu, oke? annyeong,”
Yeoja itu segera berlalu tanpa membiarkan Mingyu membuka suara.
Dan laki-laki itu memang tak sanggup berkata-kata. Ia hanya menatap kepergian Nana dengan takjub.

***

            Festival seni berlangsung dengan meriah. Kelas Nana sukses menampilkan paduan suara yang diiringi dengan instrument. Semua orang terlihat puas dan bersenang-senang. Mereka semakin antusias ketika hari terakhir festival diisi dengan malam api unggun dan pesta kembang api.

“Bersiap-siap untuk malam api unggun, yeeaaaahhh,” mereka bersorak.
“Dan pesta kembang api, yeaahhh,” Nana menambahkan.
“Ngomong-ngomong ... cincinmu bagus sekali, Nana-ah,” Minah menunjuk ke arah cincin bermata biru berbentuk hati di jari manis Nana.
“Terima kasih,” jawab Nana, bangga.
“Apa seorang namja membelikannya untukmu?”
“Tidak, aku membelinya sendiri,” jawab Nana, enteng.

Minah dan Erin melongo.
“Nana-ah, membeli cincin untuk diri sendiri itu semakin menunjukkan kalau kau adalah jomblo sejati, itu menyedihkan,” keluh Minah.
Nana tertawa.
“Kenapa? Cincin ini bagus kok. Dan aku tak peduli soal namja,” jawabnya lagi, asal.
“Berdoa saja agar di malam api unggun nanti akan ada anak laki-laki yang menembakmu,” tukas Minah lagi.
“Kenapa harus di malam api unggun?”
Minah dan Erin berpandangan.
“Ow, jadi kau belum tahu ya? Setiap akhir festival yang ditandai dengan pesta api unggun dan kembang api, akan ada sesi ‘confession night’. Istilah lainnya adalah malam ‘pernyataan cinta’. Biasanya, para namja atau yeoja akan menyatakan cinta mereka pada orang yang mereka cintai. Hal ini sudah jadi tradisi di sekolah kita selama bertahun-tahun. Dan percaya atau tidak, kebanyakan orang yang menyatakan cinta di malam api unggun itu selalu diterima. Mereka bilang, itu adalah kekuatan doa dari para leluhur di sekolah ini, ” Erin menjelaskan. Nana manggut-manggut.
“Mau mencobanya?” Minah berbisik.
“Mencoba apa?” Nana balik bertanya.
“Mencoba menyatakan cintamu pada Mingyu?”
Nana tertawa lirih.
“Aku sudah menyatakan cintaku padanya, dan kenyataannya aku digantung. Aku anggap itu penolakan. Dan aku takkan mengulangi pernyataan itu lagi,” jawab Nana tegas.
Minah menepuk pundaknya dengan lembut.
“Sabar ya,” ucapnya. Yeoja itu manggut-manggut.
“Oh, ayo kita bersiap-siap, acara puncaknya akan segera dimulai,” celetuk Erin.
Mereka beranjak dengan antusias.
***

            Acara api unggun dan pesta kembang api berlangsung dengan meriah. Semua bersorak riang, larut dalam suasana. Terlebih lagi ketika sampai pada acara yang ditunggu-tunggu, ‘confession night’. Mulanya Nana tak percaya dengan acara tersebut, tapi ternyata Minah dan Erin benar.

Acara itu adalah acara khusus ‘tembak-menembak’. Ia takjub ketika beberapa anak laki-laki yang kelihatannya pendiam, ternyata punya keberanian untuk mengakui cintanya secara terang-terangan di depan orang banyak.
Begitu pula sebaliknya, ia juga menemui beberapa anak perempuan yang memberanikan diri ‘menembak’ namja yang ditaksirnya. Sungguh tak dapat dipercaya, Nana akan melihat ini semua!

Minah dan Erin heboh tiada henti. Mereka bersorak girang, menjerit-jerit, dan jingkrak-jingkrak manakala ada yang melakukan ‘pernyataan cinta’ lalu diterima. Padahal mereka berdua tidak dalam posisi ‘ditembak’ ataupun ‘menembak’.

Berbeda dengan kedua sahabatnya itu, Nana hanya manggut-manggut mengikuti alunan musik, lalu kembali meratapi cincinnya. Beberapa kali ia menatap cincin di jari manisnya dengan miris.

Permata berbentuk hati di cincinnya hilang entah kemana. Yang ia ingat, cincinnya masih ‘utuh’ ketika ia berganti kostum di ruang ganti. Setelah itu ia kembali ke kelas untuk mengambil phonsel, dan kemudian ... ketika ia sampai di sini ia menyadari bahwa cincinnya tak utuh lagi.
Tadinya ia sempat berniat kembali ke kelas untuk mencari permata yang hilang itu, tapi jika dipikir-pikir lagi, sepertinya mustahil bisa ketemu karena bentuknya yang lumayan kecil.

“Ah, sayang sekali. Padahal cincin itu manis sekali. Aku bahkan baru membelinya kemarin,” ia manyun. Karena terlalu asyik meratapi cincin di tangannya, ia tak menyadari ketika seseorang memanggil namanya.
“Nana? Naaa-naaa?”
Baru panggilan ke sekian, Nana menoleh. Mingyu ada di sampingnya, nyengir.
“Sedang menyusun rencana untuk melakukan ‘pernyataan cinta’?” ia menyapa.
Nana mendelik.
“Melakukan pernyataan cinta pada siapa? Padamu? Ih, tidak. kau sudah menolakku, dan aku takkan mengulangi pernyataan itu,” jawabnya dengan bersungut-sungut.
Ia menunjukkan cincin di jari manisnya yang tak enak dipandang dimata.
“Ini, aku sedang meratapi ini, puas?” jawabnya kesal. Mingyu terkekeh.
“Oh, kebetulan. Aku punya sesuatu untukmu,” ucapnya.

Nana memutar tubuhnya menghadap Mingyu dengan malas-malasan.
“Apa? Hari ini aku sedang tidak ingin bercanda,” ucapnya jengkel. Ia sudah hafal dengan kelakuan Mingyu yang jahil dan tengil.
“Sama, aku juga sedang tidak bercanda,” jawab Mingyu seraya meraih sesuatu dari saku celananya lalu menyodorkannya ke arah Nana.
Nana kembali mendelik ketika melihat benda yang disodorkan Mingyu padanya.
“Lem? Kau memberiku lem? Tuh ‘kan, kau bercanda lagi ‘kan?” ucapnya kesal.
Mingyu menyeringai.
“Tunggu, masih ada lagi kok,” ia meraih sesuatu dari saku kemeja seragamnya.

“Ini,” ia menunjukkan sebuah permata kecil berbentuk hati berwarna biru. Nana mencondongkan tubuhnya dan menatap permata kecil di antara jemari tangan Mingyu.
“Ini ...?”
“Punyamu ‘kan? Aku tahu hari ini kau mengenakan cincin baru tapi permatanya hilang. Dan aku menemukannya di kelas, secara tak sengaja, hehehe... Luar biasa ‘kan?” jawab Mingyu.
“Sini, biar kuperbaiki,” ia meraih tangan Nana,  melepaskan cincin di jari manisnya, lalu dengan cekatan menempelkan kembali permata yang terlepas tersebut dengan lem yang telah ia bawa tadi.
“Selesai.” Dan ia kembali memasangkan cincin itu ke jari manis Nana.
“Hei, kita seperti orang yang bertunangan saja ya?” celetuk Mingyu hingga membuat pipi Nana bersemu merah.
“Terima kasih,” ucap Nana tulus.
“Kembali kasih,” balas Mingyu.
Keduanya terdiam sesaat.

“Nana, mungkin ini sedikit terlambat. Tapi aku tetap ingin mengatakan ini padamu. Kau ... sangat cantik mengenakan hanbok,” ujar Mingyu kemudian.
Alis Nana berkerut. Ia menatap Mingyu lalu menatap dirinya sendiri.
“Mingyu-ssi, aku sedang tidak mengenakan hanbok. Aku mengenakan baju olah raga. Sejak kapan kau tak bisa membedakan antara hanbok dengan baju olah raga?” jawab Nana kesal.

Senyum terulum di bibir Mingyu. “Maksudku bukan yang itu.” jawabnya.
Ia mengeluarkan phonsel dari sakunya lalu menunjukkan layarnya ke arah Nana.
“Maksudnya yang ini.” Ucapnya.
Bola mata Nana mengerjap lalu melihat layar phonsel Mingyu dengan seksama. Dan seketika ia terkesiap. Foto dirinya, mengenakan hanbok di acara pesta kembang api, menjadi wallpaper di phonsel Mingyu!

“Darimana kau ... mendapatkan foto ini?” Tanya Nana bingung.
“Aku memintanya dari Jisoo. Dia bilang kau terlihat sangat cantik di festival pembukaan kembang api. Dia menunjukkan fotomu padaku, dan aku segera memintanya. Maaf karena waktu itu aku tak bisa datang hingga tak bisa menyaksikan sendiri kau mengenakan hanbok,” jelasnya.

Nana menatap Mingyu dengan haru. Ia tak tahu apa maksud semua ini.
Tetapi hal ini terasa sudah cukup baginya. Mingyu menggunakan foto dirinya sebagai wallpaper di phonselnya! Astaga, ia senang sekali!
Mingyu memasukkan kembali phonsel itu ke sakunya lalu menatap Nana dengan gugup. Ia juga terlihat gelisah.
“Nana-ah, aku akan mengatakan ini sekali. Jadi, dengarkan baik-baik ya?” pintanya. Nana mengangguk pelan.
“Aku mencintaimu,” lanjutnya. Dengan suara yang teramat sangat jelas.
Nana melotot. Eh??
“Jika kau bertanya apakah aku sangat mencintaimu, aku belum tahu jawabannya. Tapi kau pernah bertanya padaku apakah aku mencintaimu, maka jawabanku adalah : ya. Aku mencintaimu,” jelasnya lagi.
Ia meraih kedua tangan Nana dan menggenggamnya erat.
“Maukah kau jadi pacarku? Kelak, kau tidak akan lagi memakai cincin yang kau beli sendiri. Tapi kau akan memakai cincin yang dibelikan olehku, maukah kau?”
Nana menelan ludah. Tak mampu berkata-kata
.
Tapi ia bisa merasakan kedua matanya berkaca-kaca karena terharu. Dan perlahanpun, ia mengangguk...

***

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar