~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Part 2
Anak-anak baru saja akan berlatih
seperti biasanya ketika Nana masuk ke kelas dengan wajah lesu.
“Ada kabar buruk,” ucapnya sambil
melangkahkan kakinya dengan lunglai ke depan kelas. Kontan seluruh kelas
menatapnya dengan heran.
“Ada apa?” Mereka bertanya hampir
bersamaan. Nana menarik nafas panjang lalu menatap mereka secara acak.
“Sepertinya kita tidak bisa menampilkan paduan
suara di festival seni nanti,” jawabnya kemudian.
Seisi kelas langsung riuh.
“Kenapa?”
“Mereka bilang penampilan serupa sudah
terlalu banyak. Jadi, kita diminta mengganti penampilan kita. Kalau tidak
drama, role play, atau yang lainnya. Asal bukan paduan suara,” jawab Nana
kemudian.
Kelas yang tadinya sempat tenang ketika
Nana berbicara, sekarang kembali ramai lagi.
“Itu tidak mungkin, Nana-ssi. Kita sudah
berlatih dua minggu. Selain itu, waktunya terlalu mepet. Kalau kita mengganti
performance kita dengan drama atau yang lainnya, latihannya tidak akan cukup.
Bikin script, kostum, dekorasi, aduh, kenapa mendadak begini sih?”
Beberapa orang mulai berpendapat.
“Kenapa kau tidak mencoba protes dan
menjelaskan semua pada panitia?”
“Aku sudah mencobanya, tapi mereka tak
mau mendengarku,” jawab Nana.
“Kalau begitu bicaralah lagi. Yakinkan
mereka kalau kita tetap akan menampilkan paduan suara,”
“Aku sudah mencobanya, tapi ...” Nana
mengelus pelipisnya, bingung.
Untuk kesekian kalinya kelas kembali
ribut tak terkendali. Nana kembali mendesah putus asa.
“Biar aku yang bicara,” suara itu secara
ajaib membuat seisi kelas tenang. Mingyu bangkit.
“Seluruh panitia masih ada di ruang rapat
‘kan?” Ia bertanya pada Nana. Yang ditanya hanya mengangguk bingung.
“Oke, biar aku yang bicara pada mereka,”
tanpa menunggu jawaban, namja itu beranjak keluar dari kelas.
Dan setengah jam kemudian, ia kembali.
“Bagaimana?” seluruh kelas bertanya
dengan antusias.
Mingyu mengangguk.
“Boleh. Asal kita menampilan paduan
suara yang berbeda,” jawabnya. Seluruh kelas bersorak. Nana menarik nafa lega.
Mingyu melangkah dan berdiri di
sebelahnya. Sekarang ia yang berbicara di depan kelas.
“Yuri, kau bisa bermain piano ‘kan?” Ia
menatap langsung ke arah Yuri.
Yeoja itu sedikit canggung, tapi
akhirnya ia mengangguk.
“Kita akan menampilkan paduan suara yang
diiringi instrument musik. Yuri bermain piano, Seok Jin bermain gitar, Erin
bermain biola, dan beberapa anak
laki-laki akan memainkan seruling. Mempersiapkan instrument sepertinya
lebih mudah daripada kita harus menggantinya dengan drama. Bagaimana?”
Seluruh kelas bersorak tanda setuju.
Nana menatap Mingyu dengan takjub.
“Harusnya kau yang jadi ketua kelas,
bukan aku,” gerutunya pelan.
Mingyu terkekeh dan menatapnya.
“Boleh, asal kau mentraktirku makan
siang selama sebulan,” ucapnya.
Nana mendelik.
“Aku tak mau bangkrut,” jawabnya kesal. Ia
kembali berbalik menghadap teman-teman sekelasnya yang mulai ramai.
“Teman-teman, jangan lupa lusa acara
pembukaan festival kembang lagi. Semua wajib hadir, nde?!” teriaknya.
“Ndeeee,” dan teman-temannya menjawab
dengan antusias.
Sesaat sebelum Nana kembali ke tempat
duduknya, ia merasakan tangan Mingyu mengelus kepalanya dengan ringan. Sentuhan
itu sederhana, tapi tetap saja dadanya berdebar.
“Semoga berhasil, Leader-nim,” ucapnya.
Nana menatapnya dan menangkap senyum manis
di bibir Mingyu. Dan Nana pun ikut tersenyum. Bersyukur.
***
Nana datang ke pembukaan pesta kembang
api dengan mengenakan hanbok paling
manis yang dipilihkan ibunya. Rambutnya yang sebahu tetap ia gelung rapi. Tapi
kali ini, ia menambahkan jepit berhiaskan bunga cherry yang serasi dengan warna
hanbok-nya.
Bayangan akan bertemu dengan Mingyu di
festival kembang api tersebut membuatnya antusias berdandan, hal yang jarang ia
lakukan selama ini. Terlebih lagi, mengenakan hanbok yang terkadang ia anggap merepotkan, tetap juga ia lakukan.
Ia ingin menampilkan sisi yang berbeda pada namja itu. Nana ingin agar kali ini
Mingyu melihatnya sebagai sosok yeoja yang benar-benar menawan. Tidak sekedar
perempun mungil berpipi chubby yang selalu kikuk bila berhadapan dengan orang
banyak.
Nana tiba di sekolah 20 menit sebelum
acara dimulai. Anak-anak yang lain sudah heboh berkumpul hampir di seluruh
penjuru lapangan, maupun bagian sekolah yang lain. Mereka antusias, terlebih
lagi karena semuanya berpakaian tradisional.
“Waaa, Nana, neomu kyeowo,” Minah dan Erin langsung menyerbu Nana ketika yeoja
itu tiba.
“Hehe, gomawo. Kalian juga,” balas Nana,
tersipu.
Beberapa anak lelaki yang berpakaian tradisional
juga menghampiri Nana dan memuji penampilannya.
“Kau terlihat begitu manis, Nana-ssi,”
puji mereka.
“Hehe, gomawo. Kalau saja seragam
sekolah kita diganti dengan hanbok,
aku pasti jadi murid populer di sekolah ini,” jawab Nana asal. Dan semuanya
tergelak.
“Apa Mingyu sudah datang?” tanya Nana
kemudian.
Teman-teman mereka melihat sekeliling.
“Sepertinya belum,” jawab mereka.
“Aku juga belum melihat Yuri,” ujar
Minah.
Nana manggut-manggut. Kecewa.
Kekecewaannya bertambah ketika ternyata
Mingyu tak muncul sampai acara selesai. Yuri juga.
“Harusnya aku tak berharap terlalu
tinggi,” desis Nana pelan. Ia berjalan lunglai di samping Minah dan Erin.
“Aku mau cari minum dulu,” ucapnya
sambil berbalik, meninggalkan kedua temannya. Tapi baru beberapa langkah,
matanya menangkap sosok tinggi yang tengah mengarahkan phonsel ke arahnya.
Klik! Klik! Klik!
Ia memotret beberapa kali.
Nana mengerjap.
“Jisoo-ssi!” ia berseru seraya berlari
kecil menghampiri namja tersebut. Jisoo tertawa lirih.
“Mian, tapi kau cantik sekali dengan hanbok itu. Jadi aku memotretnya. Untuk
kenang-kenangan saja,” ucapnya seraya nyengir.
Nana manyun.
“Curang. Kau mengambil fotoku tanpa
ijin. Setidaknya bilang dulu kalau mau memotret. ‘Kan aku bisa eksyen dulu,” gerutunya.
Jisoo tertawa.
“Kalau begitu, boleh dicoba lagi?”
“Andwe,” cetus Nana.
Keduanya tertawa lagi.
“Mmm, Mingyu tak bersamamu?” Nana
menatap sekelilingnya.
Jisoo terdiam sesaat. Ia menggeleng.
“Hari ini hari kematian Nana. Nana
noona. Jadi... ia tak bisa datang,” jawabnya.
Nana mematung sesaat. Hari kematian Nana?
“Ow, begitu. Pantas saja Yuri juga tidak
ada,” ucapnya. Tiba-tiba rasa haus yang tadi menyerangnya hilang seketika.
“Aku mau pulang. Kau?” Keinginan untuk
pulang muncul secara tiba-tiba di benak Nana.
Jisoo mengangguk. “Iya, aku juga mau
pulang,” jawabnya.
“Kalau begitu, bareng saja. Rumah kita
searah ‘kan?” Nana nyerocos, seperti biasanya.
Jisoo meringis seraya menggaruk-garuk
kepalanya.
“Sebetulnya ... rumah kita tidak
searah,” jawabnya.
Nana mengernyit.
“Masa? Tapi beberapa kali kita naik bis
yang sama ‘kan?” Ia bertanya tak mengerti.
Jisoo menggeleng, salah tingkah.
“Mmm, waktu itu kebetulan saja aku punya
kepentingan hingga kita naik bis yang sama. Jadi ...” Kalimatnya terhenti
sesaat. Ia nampak bingung. “Oke deh, aku duluan saja ya. annyeong,” Jisoo ngacir sebelum Nana sempat bertanya apa-apa lagi
padanya.
Ia menatapnya kepergian namja itu dengan
bingung.
***
Keesokan harinya, Mingyu tak masuk.
Esoknya lagi, juga. Di jadwal latihanpun ia juga tak datang. Hingga akhirnya
dengan penuh keraguan, Nana memutuskan untuk datang ke rumah Mingyu. Tentunya,
setelah terlebih dahulu mencari tahu alamatnya secara sembunyi-sembunyi.
Yeoja itu berdiri mematung di rumah
sederhana berlantai dua yang berada di depannya. Ia sudah mondar-mandir di
depan rumah tersebut selama hampir 15 menit. Ia hanya tak tahu kenapa ia bisa
sampai ke sini? Ke rumah Mingyu? Untuk apa ia ke sini? Untuk apa?
Beberapa kali ia sudah mencoba menekan
bel di pagar, tapi batinnya lagi-lagi bersitegang. Ini memalukan! Untuk apa ia
ke sini? Untuk apa? Mengkhawatirkan Mingyu? Memang dia siapa?
Masuk?
Tidak! masuk? Tidak!
Nana mendesah. Lelah berdebat dengan
dirinya sendiri, akhirnya ia memutuskan, “Sebaiknya aku pulang. Kekhawatiranku
tak beralasan,” gumamnya.
Ia baru saja akan berbalik ketika
tiba-tiba jendela di lantai dua terbuka dan kepala Mingyu nongol dari sana.
“Ibuuu!! Ada penguntit di depan rumah
kitaa!!” teriaknya.
Nana melotot kaget, ia mendongak dan
menatap Mingyu dengan bingung.
“Siapa? Siapa yang penguntit??!” ia juga
berteriak seraya menatap kanan dan kirinya.
“Kau,” Mingyu menunjuk ke arah Nana.
Mata Nana makin melebar.
“Aku?! Aku bukan penguntit!” teriaknya lagi.
“Lalu untuk apa kau mondar-mandir di
depan rumahku selama hampir 15 menit?”
“Aku hanya ingin berkunjung. Aku ....
Tunggu! Jadi kau tahu aku sudah mondar-mandir di depan rumahmu selama hampir 15
menit?!” Nana menjerit.
Mingyu tersenyum licik seraya mengangguk.
Nana menggigit bibirnya dengan sebal.
“Kalau begitu kenapa kau tidak segera
menyuruhku masuk, sialan!” Nana
berteriak lagi.
“Karena menyenangkan sekali melihatmu mondar-mandir
di sana,” jawab Mingyu enteng.
“Buka pintunya! Cepat buka! Kau harus segera
diberi pelajaran!” Nana tak berhenti berteriak dengan kesal seraya
mendorong-dorong pagar dengan kasar.
“Ibuuuuu! Ada perempuan gila yang mau
merobohkan pagar rumah kitaaa!” Mingyu kembali berteriak dengan jahil hingga
membuat Nana berhenti mendorong pagar.
“Siapa yang mau merobohkan pagar?! Aku
ingin bertamu baik-baik, dasar bocah tengik! Nih, lihat buktinya!”
Nana menekan bel berkali-kali dengan
kesal.
“Mingyu eomma yang terhormat, saya Nana.
Tolong buka pintunya ya. Saya ingin bertamu,” ucapnya kemudian. Kontan saja hal
ini membuat Mingyu tertawa terpingkal-pingkal hingga matanya berair.
***
“Maaf ya, Mingyu memang begitu. Dia
masih saja jahil seperti anak kecil. Tadinya ibu ingin membukakan pintu, tapi
ia melarang. Dia bilang, kau lucu seperti hiburan,” ucap ibu Mingyu, setelah ia
membukakan pintu dan menyilakan Nana masuk ke kamar Mingyu. Ia juga membawakan
secangkir teh dan sepiring puding.
Mingyu masih saja tertawa, tanpa
beranjak dari atas tempat tidurnya. Sementara Nana cuma meringis, malu
bercampur sebal.
“Silahkan dinikmati. Anggap saja rumah
sendiri,” ucap ibu Mingyu dengan ramah.
“Maaf merepotkan,” ucap Nana ramah. Ibu
Mingyu tersenyum lalu beranjak.
Nana menatap Mingyu dengan tatapan
menusuk.
“Puas?” desisnya.
“Puas,” jawab Mingyu, tetap dengan
tawanya yang tak kunjung berhenti.
Nana masih jengkel. Tapi melihat Mingyu
yang tertawa lepas seperti itu, tiba-tiba saja hatinya lega. Setidaknya, tak
ada yang perlu ia khawatirkan.
“Jadi, kenapa kau tak masuk sekolah? Kau
juga tak datang di latihan,” tanya Nana seraya duduk di satu-satunya kursi yang
ada di kamar tersebut.
Tawa Mingyu terhenti.
“Kau tak lihat aku ada di atas tempat
tidur? Itu tandanya aku sedang sakit,” jawabnya seraya nyengir.
“Mana ada orang sakit yang tertawa keras
kayak gitu? Kau terlihat baik-baik saja kok,” sangkal Nana.
Mingyu nyengir.
“Dua hari ini aku bangun kesiangan, hehehe...”
ucapnya. Tapi Nana tahu ia bohong.
“Dasar pembohong,” dengusnya.
“Tapi sekarang sudah baikan ‘kan? Besok
masuk tidak? Latihan bisa datang ‘kan? Ada masalah dengan lagu? Tangga
nada?.....”
“Sudahlah. Jangan banyak nanya. Makan
saja pudingnya,” potong Mingyu.
“Memangnya aku ke sini cuma mau makan
puding?”
“Ya sudah, kalau begitu jangan dimakan,”
“Akan ku makan!” jawab Nana kesal seraya
memasukan sesendok puding ke mulutnya.
Hening sesaat. Nana asyik menyantap
puding, sementara Mingyu menatapnya secara sembunyi-sembunyi.
“Aku tak menyangka kamarmu rapi,” Nana
membuka suara sambil menatap sekelilingnya.
“Dan aku yakin, kamarku lebih rapi dari
kamarmu, ya ‘kan?” jawab Mingyu. Nana nyaris tersedak.
“Kok tahu?” desisnya. Mingyu terkekeh.
Nana bangkit dan menatap sebuah album
foto di rak di samping Mingyu.
“Album foto. Boleh ku lihat?” tanya Nana
antusias.
Mingyu meraihnya.
“Boleh. Tapi sebentar... akan ku
singkirkan beberapa foto pornonya,” ucap Mingyu lagi sambil meringis. Ia
mengambil beberapa gambar dari album foto tersebut lalu menyerahkan albumnya ke
arah Nana.
“Dasar mesum,” Nana bergidik.
Ia membuka-buka album foto tersebut. Dan
ia bisa melihat foto Mingyu dari dia SD sampai SMP. Melihat foto-foto Mingyu,
Nana merasa senang bukan main.
“Mana fotonya Nana sunbae?” tanya Nana
tanpa melihat ke arah Mingyu, tangannya sibuk membolak-balik halaman foto.
“Nih,” Mingyu menunjuk foto di
tangannya.
“Boleh ku lihat?”
“Yakin ingin melihat? Ini foto porno
lho?” tatapan Mingyu kembali terlihat jahil.
Nana seperti hilang kesabaran. Ia
berjingkat, naik ke ranjang Mingyu lalu menyambar foto tersebut dari tangannya.
“Whoa, kau nafsu sekali ya?” ujar Mingyu
jahil.
“Diamlah,” jawab Nana pendek seraya
menatap foto di tangannya. Ia mengernyit.
“Ini bukan foto Nana Sunbae. Ini ‘kan
fotomu dengan Jisoo,” desisnya seraya menatap Mingyu dengan kesal. Mingyu
kembali tertawa.
“Itu foto kesayanganku. Foto itu
pertanda bahwa persahabatanku dengan Jisoo abadi. Lagipula ... aku tak punya
foto Im Nana,” jelasnya.
“Kenapa tak punya?” tanya Nana lagi.
Mingyu mengangkat bahu.
“Sepertinya tak penting lagi aku menyimpan
fotonya,” kalimat Mingyu terdengar ragu. Nana tahu ia pasti sedang berjuang
dengan semua kenangan tentang Nana sunbae.
“Ngomong-ngomong, Nana-ah... Kau, berani
sekali ya,”
Nana mengernyit.
“Apa?” ia bertanya bingung.
“Kau sadar kau berada di mana?” Mingyu
tersenyum. “Kau ... di atas ranjangku,” ucapnya lagi.
“Lalu?” Nana kembali mengernyit.
“Ada yang mengatakan bahwa jika seorang
perempuan berani naik ke ranjang seorang laki-laki, itu tandanya ... dia ...
bersedia untuk di ajak ....kau tahulah, hubungan antara perempuan dan
laki-laki,”
Nana membelalak. Tiba-tiba saja Mingyu
bergerak mendekatinya dan secara reflek, Nana
bergerak mundur hingga akhirnya .... grubyakkk!!
Yeoja mungil itu terjungkal dari tempat
tidur dan keningnya membentur lantai dari kayu. Ia mengaduh sementara Mingyu
ngakak.
“Hahaha, aku hanya bercanda, Nana-ah,”
ucapnya tanpa bisa menahan tawanya.
Nana menatapnya tajam.
“Yaaaaaaa!!!” jeritnya kesal seraya
memegangi keningnya yang mulai benjol.
“Mian, mian,” ucap Mingyu, ia beranjak
turun dari tempat tidurnya. “Sini, biar ku lihat,” ia mengulurkan tangannya
menyentuh kening Nana.
“Sakit,” Nana menepis pelan tangannya
lalu memijit-mijit keningnya sendiri. Ia bangkit lalu meraih tasnya di lantai.
“Datang ke sini dan mengkhawatirkanmu
adalah sia-sia,” ucapnya.
“Aku pulang,” ia beranjak.
“Nana-ah,” panggil Mingyu lirih.
“Apalagi sih?” Nana berbalik kesal.
Mingyu menatapnya dalam.
“Terima kasih, atas kunjungannya,” ucapnya
lirih. Tatapannya lembut.
“Kalau begitu, sampai jumpa besok,” Nana
melangkahkan kakinya keluar dari kamar Mingyu.
Tapi sekian detik kemudian, ia berbalik
dan kembali ke kamar.
Mingyu masih berdiri, menatap ke arah
pintu, dan sekarang menatap ke arahnya.
Nana menelan ludah.
“Mingyu-ssi, mungkin orang yang kau
sayangi sudah tidak ada lagi di dunia ini. Tapi, sekarang ada seseorang di sini
yang akan menyayangimu dengan tulus. Percayalah, kau tidak sendirian. Bahkan
jika kau merasa sedih dan terpuruk, ada aku di sini. Mulai sekarang dan
seterusnya, aku akan selalu memperhatikanmu. Percayalah padaku, aku akan selalu
memperhatikanmu, oke? annyeong,”
Yeoja itu segera berlalu tanpa
membiarkan Mingyu membuka suara.
Dan laki-laki itu memang tak sanggup berkata-kata.
Ia hanya menatap kepergian Nana dengan takjub.
***
Festival
seni berlangsung dengan meriah. Kelas Nana sukses menampilkan paduan suara yang
diiringi dengan instrument. Semua orang terlihat puas dan bersenang-senang. Mereka
semakin antusias ketika hari terakhir festival diisi dengan malam api unggun
dan pesta kembang api.
“Bersiap-siap untuk malam api unggun,
yeeaaaahhh,” mereka bersorak.
“Dan pesta kembang api, yeaahhh,” Nana
menambahkan.
“Ngomong-ngomong ... cincinmu bagus
sekali, Nana-ah,” Minah menunjuk ke arah cincin bermata biru berbentuk hati di
jari manis Nana.
“Terima kasih,” jawab Nana, bangga.
“Apa seorang namja membelikannya
untukmu?”
“Tidak, aku membelinya sendiri,” jawab
Nana, enteng.
Minah dan Erin melongo.
“Nana-ah, membeli cincin untuk diri
sendiri itu semakin menunjukkan kalau kau adalah jomblo sejati, itu
menyedihkan,” keluh Minah.
Nana tertawa.
“Kenapa? Cincin ini bagus kok. Dan aku
tak peduli soal namja,” jawabnya lagi, asal.
“Berdoa saja agar di malam api unggun
nanti akan ada anak laki-laki yang menembakmu,” tukas Minah lagi.
“Kenapa harus di malam api unggun?”
Minah dan Erin berpandangan.
“Ow, jadi kau belum tahu ya? Setiap
akhir festival yang ditandai dengan pesta api unggun dan kembang api, akan ada
sesi ‘confession night’. Istilah lainnya adalah malam ‘pernyataan cinta’.
Biasanya, para namja atau yeoja akan menyatakan cinta mereka pada orang yang
mereka cintai. Hal ini sudah jadi tradisi di sekolah kita selama
bertahun-tahun. Dan percaya atau tidak, kebanyakan orang yang menyatakan cinta
di malam api unggun itu selalu diterima. Mereka bilang, itu adalah kekuatan doa
dari para leluhur di sekolah ini, ” Erin menjelaskan. Nana manggut-manggut.
“Mau mencobanya?” Minah berbisik.
“Mencoba apa?” Nana balik bertanya.
“Mencoba menyatakan cintamu pada Mingyu?”
Nana tertawa lirih.
“Aku sudah menyatakan cintaku padanya,
dan kenyataannya aku digantung. Aku anggap itu penolakan. Dan aku takkan
mengulangi pernyataan itu lagi,” jawab Nana tegas.
Minah menepuk pundaknya dengan lembut.
“Sabar ya,” ucapnya. Yeoja itu
manggut-manggut.
“Oh, ayo kita bersiap-siap, acara
puncaknya akan segera dimulai,” celetuk Erin.
Mereka beranjak dengan antusias.
***
Acara
api unggun dan pesta kembang api berlangsung dengan meriah. Semua bersorak
riang, larut dalam suasana. Terlebih lagi ketika sampai pada acara yang
ditunggu-tunggu, ‘confession night’. Mulanya Nana tak percaya dengan acara
tersebut, tapi ternyata Minah dan Erin benar.
Acara itu adalah acara khusus
‘tembak-menembak’. Ia takjub ketika beberapa anak laki-laki yang kelihatannya
pendiam, ternyata punya keberanian untuk mengakui cintanya secara
terang-terangan di depan orang banyak.
Begitu pula sebaliknya, ia juga menemui
beberapa anak perempuan yang memberanikan diri ‘menembak’ namja yang
ditaksirnya. Sungguh tak dapat dipercaya, Nana akan melihat ini semua!
Minah dan Erin heboh tiada henti. Mereka
bersorak girang, menjerit-jerit, dan jingkrak-jingkrak manakala ada yang
melakukan ‘pernyataan cinta’ lalu diterima. Padahal mereka berdua tidak dalam
posisi ‘ditembak’ ataupun ‘menembak’.
Berbeda dengan kedua sahabatnya itu,
Nana hanya manggut-manggut mengikuti alunan musik, lalu kembali meratapi
cincinnya. Beberapa kali ia menatap cincin di jari manisnya dengan miris.
Permata berbentuk hati di cincinnya
hilang entah kemana. Yang ia ingat, cincinnya masih ‘utuh’ ketika ia berganti
kostum di ruang ganti. Setelah itu ia kembali ke kelas untuk mengambil phonsel,
dan kemudian ... ketika ia sampai di sini ia menyadari bahwa cincinnya tak utuh
lagi.
Tadinya ia sempat berniat kembali ke
kelas untuk mencari permata yang hilang itu, tapi jika dipikir-pikir lagi,
sepertinya mustahil bisa ketemu karena bentuknya yang lumayan kecil.
“Ah, sayang sekali. Padahal cincin itu
manis sekali. Aku bahkan baru membelinya kemarin,” ia manyun. Karena terlalu
asyik meratapi cincin di tangannya, ia tak menyadari ketika seseorang memanggil
namanya.
“Nana? Naaa-naaa?”
Baru panggilan ke sekian, Nana menoleh. Mingyu
ada di sampingnya, nyengir.
“Sedang menyusun rencana untuk melakukan
‘pernyataan cinta’?” ia menyapa.
Nana mendelik.
“Melakukan pernyataan cinta pada siapa?
Padamu? Ih, tidak. kau sudah menolakku, dan aku takkan mengulangi pernyataan
itu,” jawabnya dengan bersungut-sungut.
Ia menunjukkan cincin di jari manisnya
yang tak enak dipandang dimata.
“Ini, aku sedang meratapi ini, puas?”
jawabnya kesal. Mingyu terkekeh.
“Oh, kebetulan. Aku punya sesuatu
untukmu,” ucapnya.
Nana memutar tubuhnya menghadap Mingyu
dengan malas-malasan.
“Apa? Hari ini aku sedang tidak ingin
bercanda,” ucapnya jengkel. Ia sudah hafal dengan kelakuan Mingyu yang jahil
dan tengil.
“Sama, aku juga sedang tidak bercanda,”
jawab Mingyu seraya meraih sesuatu dari saku celananya lalu menyodorkannya ke
arah Nana.
Nana kembali mendelik ketika melihat
benda yang disodorkan Mingyu padanya.
“Lem? Kau memberiku lem? Tuh ‘kan, kau
bercanda lagi ‘kan?” ucapnya kesal.
Mingyu menyeringai.
“Tunggu, masih ada lagi kok,” ia meraih
sesuatu dari saku kemeja seragamnya.
“Ini,” ia menunjukkan sebuah permata
kecil berbentuk hati berwarna biru. Nana mencondongkan tubuhnya dan menatap
permata kecil di antara jemari tangan Mingyu.
“Ini ...?”
“Punyamu ‘kan? Aku tahu hari ini kau
mengenakan cincin baru tapi permatanya hilang. Dan aku menemukannya di kelas,
secara tak sengaja, hehehe... Luar biasa ‘kan?” jawab Mingyu.
“Sini, biar kuperbaiki,” ia meraih
tangan Nana, melepaskan cincin di jari
manisnya, lalu dengan cekatan menempelkan kembali permata yang terlepas
tersebut dengan lem yang telah ia bawa tadi.
“Selesai.” Dan ia kembali memasangkan
cincin itu ke jari manis Nana.
“Hei, kita seperti orang yang bertunangan
saja ya?” celetuk Mingyu hingga membuat pipi Nana bersemu merah.
“Terima kasih,” ucap Nana tulus.
“Kembali kasih,” balas Mingyu.
Keduanya terdiam sesaat.
“Nana, mungkin ini sedikit terlambat.
Tapi aku tetap ingin mengatakan ini padamu. Kau ... sangat cantik mengenakan hanbok,” ujar Mingyu kemudian.
Alis Nana berkerut. Ia menatap Mingyu
lalu menatap dirinya sendiri.
“Mingyu-ssi, aku sedang tidak mengenakan
hanbok. Aku mengenakan baju olah
raga. Sejak kapan kau tak bisa membedakan antara hanbok dengan baju olah raga?”
jawab Nana kesal.
Senyum terulum di bibir Mingyu.
“Maksudku bukan yang itu.” jawabnya.
Ia mengeluarkan phonsel dari sakunya
lalu menunjukkan layarnya ke arah Nana.
“Maksudnya yang ini.” Ucapnya.
Bola mata Nana mengerjap lalu melihat layar
phonsel Mingyu dengan seksama. Dan seketika ia terkesiap. Foto dirinya,
mengenakan hanbok di acara pesta kembang
api, menjadi wallpaper di phonsel Mingyu!
“Darimana kau ... mendapatkan foto ini?”
Tanya Nana bingung.
“Aku memintanya dari Jisoo. Dia bilang
kau terlihat sangat cantik di festival pembukaan kembang api. Dia menunjukkan
fotomu padaku, dan aku segera memintanya. Maaf karena waktu itu aku tak bisa
datang hingga tak bisa menyaksikan sendiri kau mengenakan hanbok,” jelasnya.
Nana menatap Mingyu dengan haru. Ia tak
tahu apa maksud semua ini.
Tetapi hal ini terasa sudah cukup
baginya. Mingyu menggunakan foto dirinya sebagai wallpaper di phonselnya!
Astaga, ia senang sekali!
Mingyu memasukkan kembali phonsel itu ke
sakunya lalu menatap Nana dengan gugup. Ia juga terlihat gelisah.
“Nana-ah, aku akan mengatakan ini
sekali. Jadi, dengarkan baik-baik ya?” pintanya. Nana mengangguk pelan.
“Aku mencintaimu,” lanjutnya. Dengan
suara yang teramat sangat jelas.
Nana melotot. Eh??
“Jika kau bertanya apakah aku sangat
mencintaimu, aku belum tahu jawabannya. Tapi kau pernah bertanya padaku apakah
aku mencintaimu, maka jawabanku adalah : ya. Aku mencintaimu,” jelasnya lagi.
Ia meraih kedua tangan Nana dan
menggenggamnya erat.
“Maukah kau jadi pacarku? Kelak, kau
tidak akan lagi memakai cincin yang kau beli sendiri. Tapi kau akan memakai
cincin yang dibelikan olehku, maukah kau?”
Nana menelan ludah. Tak mampu berkata-kata
.
Tapi ia bisa merasakan kedua matanya
berkaca-kaca karena terharu. Dan perlahanpun, ia mengangguk...
***
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar