~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....
~~~~~~~~~~~~
Part 3
“Jadiii, sekarang kau pacaran dengan
Mingyu, begitu?” Minah menatap Nana dengan penuh selidik. Yang ditanya cuma
nyengir sambil garuk-garuk kepala.
“Sepertinya ... begitu,” jawabnya,
bingung.
“Sepertinya
begitu? Maksudnya bagaimana sih?” Minah terlihat tak sabar.
“Mmm, bagimana ya? Mestinya sih iya,
tapi ....” kalimat Nana terhenti.
Ya, sejak kejadian semalam, mestinya
mereka sudah resmi pacaran. Tapi, Mingyu tak mengatakan apapun setelahnya.
Setelah mereka pulang bersama, bahkan ketika Nana sudah di rumah, dan juga tadi
pagi, Mingyu tak mengatakan apapun walau hanya lewat pesan singkat.
Bukankah sepasang kekasih seharusnya
bersikap manis? Rajin mengirimkan sms walau hanya sekedar mengucapkan salam?
Bukankah sebelum tidur seharusnya ia
menerima pesan singkat berbunyi : selamat
malam sayang...
Hal yang biasa di lakukan teman-temannya
yang punya kekasih. Ya ‘kan? Seharusnya begitu ‘kan? Tapi ....
“Tapi bagaimana kau tahu kalau kami
berpacaran?” tanya Nana kemudian. Minah dan Erin berpandangan. Kesal.
“Ya ampun, Nana-ah. Semua orang juga
sudah tahu hal itu. Mingyu menyatakan perasaannya ketika pesta api unggun dan
semua melihatnya. Memangnya kau pikir waktu itu tak ada orang. Kami semua juga
melihat ketika ia menggenggam erat tanganmu lalu ... menciummu,”
“Hah,” Nana nyaris terjungkal dari
kursinya. Oh, sialan. Benar juga!
Semalam, setelah Mingyu mengungkapkan
perasaannya, dan ia membalas dengan anggukan, namja itu meraih tangannya,
menggenggamnya dengan erat kemudian ... ia mencium bibirnya!
“Oh tidaaaakkk! Maksudmu, ada yang melihat
kami berciuman?!” Nana memekik.
“Sebagian siswa melihatnya, kalau kau
mau tahu persisnya,” Erin mengoreksi.
Nana menelangkupkan tangan di pipinya.
Mukanya merah padam karena malu.
“Oh, ini memalukan sekali,” desisnya.
Berciuman di depan banyak siswa, mereka bahkan baru kelas 2 SMA!
“Dan kalau kau mau tahu, ini sudah jadi
trending topic di sekolah kita,” Erin menambahkan. Nana mendesah, ia melipat
tangannya di meja lalu menyembunyikan wajahnya.
Hampir semua siswa menyaksikannya
berciuman dengan namja paling populer di sekolah? Bagaimana kalau Mingyu hanya
main-main? Atau sekedar taruhan? Hal yang biasa ia temui di drama-drama. Aduh, bagaimana ini?
Ditengah-tengah meratapi pikirannya yang
campur aduk, tiba-tiba ia merasakan seseorang menyentuh kepalanya dengan
lembut.
“Kau sakit?”
Suara itu, suara Mingyu!
Nana mendongak. Dan itu memang benar
dia. Ia menatap sekelilingnya, mencoba mencari Minah dan Erin yang tadi
bersamanya tapi mereka tak ada. Yang ada hanyalah dia dan ... Mingyu.
“Minah dan Erin? Tuh,” Mingyu menunjuk
ke luar jendela. Ternyata 2 sahabatnya itu sudah berdiri di luar kelas, menatap
ke arahnya sambil melambaikan tangannya. Ia melihat Minah komat-kamit
mengatakan : Selamat berpacaran. Kami
pergi dulu.
Dan mereka benar-benar pergi.
“Jadi, ada apa denganmu? Kau sakit?”
Mingyu kembali mengulangi pertanyaanya. Ia duduk di bangku di depan Nana.
Nana menggeleng.
“Yakin? Sejak kau datang aku melihatmu
tak bersemangat. Apa kau kurang tidur?”
Nana hanya terkekeh bingung mendengar
pertanyaan Mingyu.
Kurang tidur? Well, jika mau jujur, iya.
Semalam ia tak bisa tidur sama sekali setelah Mingyu mengungkapkan cintanya lalu
menciumnya. Bagaimanapun juga ini hal baru baginya.
“Aku baik-baik saja,” jawab Nana
kemudian.
Mingyu merapikan rambut Nana yang
berjuntaian lalu menyelipkan ke belakang telinganya. Tindakan sederhana itu membuat
jantung Nana berdebaran.
“Nanti sore, jam 4. Aku ingin mengajakmu
jalan-jalan dan nonton film,” ujar Mingyu kemudian.
“Jalan-jalan dan nonton film? Sepulang
sekolah?”
Mingyu mengangguk.
“Kencan pertama kita,” jawabnya. Ia
tersenyum.
Nana merasakan kakinya tak berpijak lagi
di lantai. Ia bahagia luar biasa. Kencan.
Nah, sekarang ia tahu status hubungannya
dengan Mingyu.
Mereka
adalah sepasang kekasih.
***
Mereka
menghabiskan sore hari itu dengan menonton film kemudian berjalan-jalan di
taman.
“Kencan pertama kita mestinya aku
berdandan lebih cantik. Ini, malah pakai seragam sekolah,” Nana setengah
menggerutu. Mingyu tertawa sambil terus menggenggam tangan perempuan tersebut.
“Pacaran memakai seragam sekolah itu
seru. Tidak akan bisa terulang lagi kalau kita sudah tua,” jawab Mingyu. Nana
manyun.
“Lagipula, jam 8 nanti aku harus kerja
paruh waktu di sebuah mini market. Jadi, kita hanya bisa melakukan kencan
sepulang sekolah,” namja itu menambahkan. Nana manggut-manggut.
“Kau lelah?”
“Sedikit,” jawab Nana.
“Kalau begitu kita duduk di sana dulu,”
Mingyu mengajaknya duduk di sebuah bangku di taman.
“Akan kubelikan minuman,” Mingyu sudah
ngacir sebelum Nana sempat mengatakan apapun. Beberapa saat kemudian ia kembali
membawa 2 kaleng minuman lalu memberikan yang satunya kepada Nana.
“Kenapa sikapmu sekarang berbeda?”
Mingyu mengernyitkan dahinya.
“Maksudnya?” ia balik bertanya.
“Biasanya kau sering mendebatku. Kita
sering berselisih pendapat dan kau suka berteriak-teriak padaku. Kau juga
sering menggodaku dan juga mencandai aku. Bahkan, sepertinya kita lebih sering
bertengkar. Tapi sekarang, sikapmu manis. Kau berbicara lembut padaku, dan kau
juga sangat perhatian padaku. Kenapa?” tanya Nana bingung.
Mingyu tertawa.
“Kau yang aneh, Nana-ah. Memperlakukan
sahabat dan pacar itu berbeda. Kemarin kita masih bersahabat, jadi sikapku ya
selayaknya sahabat. Tapi sekarang kau pacarku, aku harus bersikap lebih baik
padamu,” jawab Mingyu. Ia meraih tangan Nana lalu kembali menggenggamnya erat.
“Mari kita jalani ini pelan-pelan,
Nana-ah. Mari kita saling memperhatikan dan lebih mengenal satu sama lain. Aku
akan selalu berusaha memperlakukanmu dengan baik, oke?”
Nana tersenyum. Ia mengangguk.
“Ow, ada lagi. Ini, hanya bisa dilakukan
pada pacar, bukan pada sahabat,” tiba-tiba saja Mingyu mendekat lalu mencium
bibir Nana dengan ringan. Nana tersentak kaget.
“Mingyu-ssi, banyak orang melihat,”
gerutunya. Pipinya segera bersemu merah.
Mingyu nyengir, penuh kemenangan.
“Kau makin cantik kalau merona seperti
itu,” cetusnya. Bibir Nana mengerut sebal.
***
Lapangan
futsal yang biasanya ramai oleh anak-anak yang latihan kini makin ramai ketika
Mingyu datang dengan membawa sekarung barang-barang bekas.
“Eh, apa-apaan kau? Apa sekarang kau
sudah ganti profesi jadi pedagang barang loak?” celetuk Seok Jin, salah satu
sahabatnya. Mingyu meringis.
“Barang-barang ini sudah tak terpakai.
Jadi aku berniat menjualnya. Lumayan, uangnya bisa kugunakan untuk membeli
barang yang lebih baru,” jawabnya seraya menumpahkan semua isi karung tersebut.
Ada sepatu bekas, sandal bekas, kaos bekas, celana bekas, topi bekas, beberapa
buku bekas, bahkan beberapa mainan bekas.
Teman-temannya melongo. Namun begitu mereka
segera mengerubunginya dengan antusias.
"Diobral! Diobral! Mari sini,
silahkan lihat, silahkan beli. Di jamin, barang-barang ini kualitasnya masih
bagus. Lihat saja kalau tidak percaya. Harganya
murah-murah kok,” teriak Mingyu.
Jisoo menatapnya dengan heran.
“Ada apa denganmu?” tanyanya bingung.
Mingyu tersenyum.
“Aku ingin membeli sesuatu untuk Nana.
Tapi tabunganku tak cukup. Jadi aku melakukan cara ini,” bisiknya.
Jisoo manggut-manggut.
“Oke, kalau begitu aku beli yang ini.
Berapa harganya?” Ia meraih sepatu olah raga berwarna biru kusam, namun masih
terlihat lumayan bagus.
Diluar dugaan, Mingyu malah meraihnya
kembali.
“Tidak. Semua orang di sini boleh membeli
barang-barangku, tapi kau tidak,” ia meletakkan kembali sepatu tersebut di
tempatnya semula.
“Kenapa?” Jisoo bertanya bingung.
“Aku menolak menerima uang darimu karena
kau sering bilang bahwa Nana cantik,” jawab Mingyu dongkol. Jisoo
menggaruk-garuk kepalanya. “Lantas?”
Ia nampak bingung.
Mingyu menyipitkan matanya dan menatap
Jisoo dengan dalam.
“Aku tidak suka ada lelaki lain yang
memuji Nana. Dia pacarku, jadi akulah satu-satunya lelaki yang boleh mengatakan
dia cantik,” jawabnya bangga.
Jisoo tergelak.
“Yaa, Mingyu-ah. Kau kekanak-kanakan
sekali. Kenyataannya Nana memang cantik, manis, imut dan ...”
“Stop! Nah ‘kan? Kau mengulanginya lagi.
Silahkan mundur 2 langkah tuan Jisoo, atau aku terpaksa melemparmu dengan
sepatu,” ujar Mingyu lagi.
“Ha?” Jisoo melongo.
Mingyu bersedekap dengan angkuh. “Aku
serius,” ia melanjutkan.
Mau tak mau Jisoo mundur dua langkah.
“Kau tidak adil. Yang sering mengatakan
Nana cantik bukan aku saja. Mereka juga sering bilang begitu kok. Ya ‘kan?”
Jisoo menunjuk ke arah sahabat-sahabatnya
yang lain. Seok Jin, Leo, Do Joon, dan juga anggota tim futsal lainnya. Mingyu juga
menoleh ke arah mereka.
“Beee-naaarr-kaaaah?” Alis mata Mingyu
terangkat dan ia bertanya dengan gigi terkatub. Mereka cuma meringis.
“Ti-tidak. Kami tidak pernah mengatakan
apa-apa soal Nana, percayalah,” mereka menjawab kompak.
Jisoo melotot.
“Do Joon-ah! Baru tadi pagi ‘kan kau
bilang bahwa Nana makin cantik?!” Jisoo kembali berteriak. Do Joon meringis. Ia
menggeleng.
“Aku tidak bilang begitu,” jawabnya. Ji
Soo mendengus. Mingyu kembali menatapnya.
“Kau pembohong besar tuan Jisoo,”
desisnya.
Jisoo menatapnya jengkel.
“Aku tidak bohong. Akhir-akhir ini mereka
sering membicarakan Nana. Mereka bilang, semakin hari Nana semakin cantik,”
kilahnya. Mingyu mendesis.
“Aku tak percaya,”
“Terserah,”
“Dan aku tidak suka kau masih menyimpan
foto Nana. Itu, foto dia yang memaki hanbok.
Aku sudah memintamu menghapusnya ‘kan? Tapi kau tetap menyimpannya di hapemu,” gerutunya.
“Itu, sebagai file cadangan. Siapa tahu
file yang ada di hapemu terhapus, makanya yang ada dihapeku kubiarkan saja,”
Jisoo ngotot.
“Bohong,” Mingyu manyun.
“Terserah. Terserah lagi deh,”
“Pokoknya kau tak boleh membeli barang-barangku,
titik,” kata Mingyu lagi, tegas, lalu kembali menawarkan barang-barang
dagangannya pada temannya yang lain.
Jisoo berkacak pinggang dengan kesal.
Tapi selanjutnya ia terkekeh. Begitulah Mingyu, sahabat terbaiknya sejak SD.
Terkadang ia ceria, terkadang ia kasar, terkadang ia begitu kekanak-kanakan.
Tapi ia tahu dengan pasti, Mingyu
hanyalah seorang anak laki-laki yang membutuhkan limpahan kasih sayang dari
banyak orang, termasuk dari dirinya.
***
Nana
menatap kotak perhiasan berisi cincin perak bermotif bunga semanggi yang
disodorkan Mingyu ke arahnya. Kedua mata perempuan itu berkaca-kaca.
“Ini pemberian pertama dariku. Aku sudah
melihat ukuran jemarimu. Pasti pas. Semoga kau suka,” ucap Mingyu tulus, lalu
menyematkan cincin itu ke jari manis Nana.
“Tuh, pas ‘kan?”
Nana menatap cincin itu di jari
manisnya. Sebuah cincin sederhana yang sangat cantik.
“Kau senang?” tanya Mingyu lagi.
Nana mengangguk. Air matanya menitik
tanpa bisa ia bendung. Kemudian cewek itu menghambur ke arah Mingyu, lalu
memeluknya erat.
“Terima kasih. Aku senang sekali,”
ucapnya lirih.
***
“Jisoo-sii!”
Nana melambaikan tangan ke arah pemuda jangkung yang tengah berlari-lari kecil
ke arahnya.
“Maaf aku terlambat. Aku baru tahu pesan
singkatmu beberapa waktu yang lalu,” jawab Jisoo dengan nafas terengah-engah.
Ia menyapu butiran keringat di keningnya.
“Aku yang harus minta maaf, Jisoo-ssi.
Karena sepertinya kali ini aku akan sangat merepotkanmu. Minum dulu, nih,” Nana
menyodorkan sekaleng minuman dingin yang sudah sejak tadi ia bawa, ke arah
Jisoo.
Jisoo menerimanya dengan senang lalu
segera membukanya dan menenggaknya hingga tersisa separo.
“Trims,” ucapnya kemudian setelah
dahaganya hilang. “Jadi, ada apa kau memanggilku ke sini?” Ia bertanya kemudian.
Nana tersenyum.
“Nih, coba lihat,” ia memamerkan cincin
bermotif daun semanggi yang melingkar di jari manisnya. Jisoo menatapnya
seksama. Ia tahu cincin perak itu tidak murah.
“Mingyu memberikan ini. Kejutan. Cantik ‘kan?”
ucap Nana lagi.
Bibir Jisoo berdecak kagum. Pemuda itu
manggut-manggut.
Jadi
beberapa hari yang lalu Mingyu menjual barang-barang bekas untuk membelikan
Nana ini?
ucapnya dalam hati.
“Cantik, kau cocok memakainya,” puji
Jisoo. Dan ia tak bohong.
“Gomawo,” jawab Nana senang.
“Dan apa hubungannya kau memintaku ke
sini?” tanya Jisoo lagi.
“Aku ingin memberi kejutan pada Mingyu.
Aku ingin membelikannya sesuatu. Tapi aku tak tahu barang apa yang ia suka dan
yang paling ia butuhkan saat ini. Jadi, aku meminta bantuanmu untuk membantuku
memilih. Kau lama mengenalnya, tentu kau tahu barang apa yang paling ia suka,”
jawab Nana.
Jisoo mengernyit.
“Dengan kata lain, kau ingin mengajakku
belanja?” ia bertanya ragu.
Nana mengangguk.
“Jalan-jalan dan belanja, lebih
tepatnya,” ia menambahkan.
Jisoo menggaruk-garuk kepalanya yang tak
gatal.
“Entahlah, tapi mengajakku jalan-jalan
dan belanja, sepertinya bukan ide yang baik,” jawabnya.
“Kenapa?” pertanyaan Nana terdengar
kecewa.
“Jika Mingyu tahu kita jalan berduaan,
dia pasti menghabisiku,” jawab Jisoo kemudian. Nana tertawa.
“Mana mungkin? Kalian ‘kan bersahabat
baik. Dia tidak mungkin cemburu padamu. Mingyu memang sedikit kekanak-kanakan,
tapi ...”
“Tidak hanya sedikit, Nana-ssi. Jika menyangkut dirimu, dia selalu kekanak-kanakan. Bahkan, saaangat
kekanak-kanakan,” potong Jisoo.
Nana kembali tertawa.
“Baiklah, baiklah. Hanya sebentar saja.
Kalau Mingyu tahu dan marah, biar aku yang jelaskan. Oke?” ujarnya, sedikit
memaksa.
Jisoo meringis.
“Oke,” jawabnya kemudian. Dan segera
mereka berdua beranjak, menuju kawasan pertokoan yang membentang di belakang
mereka.
***
Minah
dan Erin menatap Nana dengan tatapan penuh selidik.
“Apakah ini hanya perasaan kami saja
atau memang benar bahwa sejak kemarin kau dan Mingyu tak bertegur sapa?” Erin
bertanya duluan.
Nana duduk merosot di kursinya.
“Kalian benar. Sejak kemarin kami memang
tak bertegur sapa,” jawabnya.
“Kenapa?” mereka bertanya hampir
bersamaan.
Nana mengangkat bahu. Ia sendiri tak
tahu alasannya. Sejak kemarin, ia memang
dicuekin olehnya.
Biasanya setiap
pagi, Mingyu akan menyapanya dengan riang sambil mengelus kepalanya dengan
manja. Tapi kemarin tidak, pagi ini juga tidak.
Setiap hari
namja itu akan selalu punya cara agar bisa berdekatan dengannya, duduk di
sampingnya, atau hanya sekedar berada di sisinya. Tapi sejak kemarin, Mingyu
tetap duduk dengan tenang di bangkunya sendiri, bangku paling ujung sebelah
kanan, bagian depan. Hari ini juga begitu, bahkan sampai istirahat jam
terakhir. Ia bahkan tak mencuri-curi pandang ke arahnya, hal yang senantiasa ia
lakukan selama beberapa bulan ini, sejak mereka resmi jadian.
Biasanya
sepulang sekolah, mereka akan pulang bareng sembari bergandengan tangan sampai
halte bis, dan terkadang Mingyu mengantarkannya pulang walau rumah mereka tak
searah. Tapi kemarin, untuk pertama kalinya aktivitas itu tak mereka lakukan.
Mingyu pulang dulu, begitu saja. Tanpa mengatakan apapun padanya. Tadi pagi
Nana sudah mencoba menyapanya dulu, tapi Mingyu tak mengatakan sepatah katapun.
“Aku tak tahu
apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ia menolak berbicara denganku,” jawab Nana
kemudian seraya melirik ke arah bungkusan di dalam tas-nya. Sebuah hadiah yang
dibungkus indah dengan kertas kado warna biru muda. Sebenarnya ia ingin
memberikannya sejak kemarin, tapi suasana hati Mingyu yang tidak bagus
membuatnya urung memberikannya.
“Ingin kami berbicara dengannya?” Minah
dan Erin bertanya hampir bersamaan.
Nana menatap mereka dengan tegas.
“Tidak, biar aku saja yang berbicara
sendiri dengannya,” Nana bangkit. Tapi ketika ia berbalik, tanpa sengaja ia
bertabrakan dengan Yuri yang tengah membawa setumpuk buku, entah buku apa.
Yuri terjatuh ke lantai dan buku-buku
itu berserakan.
“Yuri-sii, mianhae. Aku tak sengaja,”
Ucap Nana penuh penyesalan. Ia segera berjongkok dan membantu memungut
buku-buku tersebut lalu menyerahkannya ke arah Yuri.
“Jangan terlalu senang karena telah
menjadi pacar Mingyu. Kau hanyalah pengganti kakak-ku,” kalimat yang meluncur
dari mulut Yuri terdengar dingin. Yeoja berkaca mata itu bahkan mengucapkannya
tanpa melihat ke arah Nana.
Nana menatapnya bingung.
“Yuri, kata-katamu itu keterlaluan!”
teriak Minah.
Yuri bangkit, lalu berlalu begitu saja.
Nana mematung.
“Nana-ah, sudahlah. Jangan diambil hati.
Ga-ja, kita cari saja Mingyu,” Erin membantu Nanami bangkit.
“Tidak, aku mau duduk dulu,” jawab Nana
lalu kembali ke tempat duduknya semula.
Yeoja itu kembali terdiam.
Pengganti
kakak-ku...
Pengganti
Nana...
Aku?
***
“Mingyu-ssi!
Berhenti!” Nana belari-lari kecil mengejar Mingyu. Namja itu berhenti, menatap
Nana sekilas, lalu kembali melangkah lagi.
“Aku bilang berhentiii!” Nana kembali
berlari lalu menarik lengan tangannya. Mau tak mau langkah Mingyu terhenti.
Namja itu menatap Nana dengan tatapan kesal bercampur jijik.
“Ada apa denganmu? Kenapa kau menolak berbicara
denganku?” tanya Nana.
“Aku hanya sedang marah padamu,” jawab
Mingyu datar.
Nana melepaskan pegangan tangannya,
mundur beberapa langkah, lalu melipat tangannya di dada dengan angkuh.
“Jelaskan padaku kenapa kau marah
padaku.” Perintahnya.
Bibir Mingyu berdecak kesal.
“Karena kau keluar jalan-jalan dengan
Jisoo tanpa sepengetahuanku,” jawabnya kemudian.
“Ha?” Nana melongo.
“Aku mengawasimu. Jadi aku tahu kau
keluar dengannya secara diam-diam tanpa memberitahuku,”
“Itu tidak seperti yang kau pikirkan,”
bantah Nana.
“Aku tak peduli apa yang terjadi. Tapi
tetap saja aku tak suka jika kau keluar dengan lelaki lain di belakangku,”
“Tapi Jisoo ‘kan sahabatmu? Mestinya kau
percaya padanya, percaya padaku,” jawa Nana kesal.
“Ini bukan masalah percaya atau tidak,
Nana-ah. Kenyataannya kau bohong padaku. Kau keluar jalan-jalan dengan lelaki
lain tanpa sepengetahuanku. Bagaimana jika aku yang melakukannya, kau pasti
marah ‘kan?”
“Oke, aku minta maaf jika itu telah
menyakitimu perasaanmu. Tapi kami hanya keluar jalan-jalan sebentar untuk
membeli sesuatu,”
“Kenapa kau mengajaknya? Kenapa bukan
aku?”
“Karena ....” Nana bingung harus
menjawab apa.
“Tak bisa jawab ‘kan? Dasar pembohong,”
Mingyu kembali beranjak. Ia melangkah meninggalkan Nana.
“Mingyu-ssi!” panggil Nana. Tapi namja
itu tak menggubris.
Nana menggigit bibirnya kesal. Ia
mengambil bungkusan kado dari dalam tasnya lalu melemparkannya ke arah Mingyu.
Dan tepat mengenai kepalanya.
Mingyu mengaduh kesakitan seraya
memegangi kepalanya. Ia menoleh, menatap ke arah Nana, lalu ke arah bungkusan
kado yang tergeletak di bawahnya.
“Hadiah untukmu! Idiot!” teriak Nana.
“Aku ingin memberikan kejutan untukmu. Aku
ingin membelikan sesuatu untukmu! Makanya aku mengajak Jisoo karena dia tahu
barang apa yang paling kamu suka!” teriak Nana.
“Dan jika ada yang membuatmu marah,
bicaralah langsung padaku! Aku berhak mendapatkan penjelasan! Mendiamkanku
tidak akan menyelesaikan masalah! Dan aku benci kau diamkan seperti ini!”
teriak Nana lagi. Kedua matanya berkaca-kaca. Lalu ia barbalik, meninggalkan
Mingyu.
Mingyu tertegun sesaat. Ia nampak merasa
bersalah.
“Im Nana, tunggu!” panggilnya.
Nana terbelalak.
Langkahnya terhenti seketika. Ia
berbalik dan menatap Mingyu dengan tajam.
“Kim Nana! Namaku Kim Nana, bukan Im
Nana! Im Nana sudah mati!!” teriaknya. Dan air matanya menitik. Sebelum Mingyu sempat
berkata apa-apa lagi, yeoja itu berlari meninggalkannya.
***
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar