Kamis, 14 Januari 2016

[FF/SVT] Bokura Ga Ita #3




~~~~~~~~~~

Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....

~~~~~~~~~~~~

Part 3

“Jadiii, sekarang kau pacaran dengan Mingyu, begitu?” Minah menatap Nana dengan penuh selidik. Yang ditanya cuma nyengir sambil garuk-garuk kepala.

“Sepertinya ... begitu,” jawabnya, bingung.

Sepertinya begitu? Maksudnya bagaimana sih?” Minah terlihat tak sabar.
“Mmm, bagimana ya? Mestinya sih iya, tapi ....” kalimat Nana terhenti.

Ya, sejak kejadian semalam, mestinya mereka sudah resmi pacaran. Tapi, Mingyu tak mengatakan apapun setelahnya. Setelah mereka pulang bersama, bahkan ketika Nana sudah di rumah, dan juga tadi pagi, Mingyu tak mengatakan apapun walau hanya lewat pesan singkat.
Bukankah sepasang kekasih seharusnya bersikap manis? Rajin mengirimkan sms walau hanya sekedar mengucapkan salam?
Bukankah sebelum tidur seharusnya ia menerima pesan singkat berbunyi : selamat malam sayang...
 Hal yang biasa di lakukan teman-temannya yang punya kekasih. Ya ‘kan? Seharusnya begitu ‘kan? Tapi ....
“Tapi bagaimana kau tahu kalau kami berpacaran?” tanya Nana kemudian. Minah dan Erin berpandangan. Kesal.
“Ya ampun, Nana-ah. Semua orang juga sudah tahu hal itu. Mingyu menyatakan perasaannya ketika pesta api unggun dan semua melihatnya. Memangnya kau pikir waktu itu tak ada orang. Kami semua juga melihat ketika ia menggenggam erat tanganmu lalu ... menciummu,”
“Hah,” Nana nyaris terjungkal dari kursinya. Oh, sialan. Benar juga!

Semalam, setelah Mingyu mengungkapkan perasaannya, dan ia membalas dengan anggukan, namja itu meraih tangannya, menggenggamnya dengan erat kemudian ... ia mencium bibirnya!
“Oh tidaaaakkk! Maksudmu, ada yang melihat kami berciuman?!” Nana memekik.
“Sebagian siswa melihatnya, kalau kau mau tahu persisnya,” Erin mengoreksi.
Nana menelangkupkan tangan di pipinya. Mukanya merah padam karena malu.
“Oh, ini memalukan sekali,” desisnya. Berciuman di depan banyak siswa, mereka bahkan baru kelas 2 SMA!
“Dan kalau kau mau tahu, ini sudah jadi trending topic di sekolah kita,” Erin menambahkan. Nana mendesah, ia melipat tangannya di meja lalu menyembunyikan wajahnya.

Hampir semua siswa menyaksikannya berciuman dengan namja paling populer di sekolah? Bagaimana kalau Mingyu hanya main-main? Atau sekedar taruhan? Hal yang biasa ia temui di drama-drama. Aduh, bagaimana ini?

Ditengah-tengah meratapi pikirannya yang campur aduk, tiba-tiba ia merasakan seseorang menyentuh kepalanya dengan lembut.
“Kau sakit?”
Suara itu, suara Mingyu!
Nana mendongak. Dan itu memang benar dia. Ia menatap sekelilingnya, mencoba mencari Minah dan Erin yang tadi bersamanya tapi mereka tak ada. Yang ada hanyalah dia dan ... Mingyu.
“Minah dan Erin? Tuh,” Mingyu menunjuk ke luar jendela. Ternyata 2 sahabatnya itu sudah berdiri di luar kelas, menatap ke arahnya sambil melambaikan tangannya. Ia melihat Minah komat-kamit mengatakan : Selamat berpacaran. Kami pergi dulu.
Dan mereka benar-benar pergi.

“Jadi, ada apa denganmu? Kau sakit?” Mingyu kembali mengulangi pertanyaanya. Ia duduk di bangku di depan Nana.
Nana menggeleng.
“Yakin? Sejak kau datang aku melihatmu tak bersemangat. Apa kau kurang tidur?”
Nana hanya terkekeh bingung mendengar pertanyaan Mingyu.
Kurang tidur? Well, jika mau jujur, iya. Semalam ia tak bisa tidur sama sekali setelah Mingyu mengungkapkan cintanya lalu menciumnya. Bagaimanapun juga ini hal baru baginya.

“Aku baik-baik saja,” jawab Nana kemudian.
Mingyu merapikan rambut Nana yang berjuntaian lalu menyelipkan ke belakang telinganya. Tindakan sederhana itu membuat jantung Nana berdebaran.
“Nanti sore, jam 4. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan dan nonton film,” ujar Mingyu kemudian.
“Jalan-jalan dan nonton film? Sepulang sekolah?”
Mingyu mengangguk.
“Kencan pertama kita,” jawabnya. Ia tersenyum.
Nana merasakan kakinya tak berpijak lagi di lantai. Ia bahagia luar biasa. Kencan.
Nah, sekarang ia tahu status hubungannya dengan Mingyu.
Mereka adalah sepasang kekasih.

***

            Mereka menghabiskan sore hari itu dengan menonton film kemudian berjalan-jalan di taman.
“Kencan pertama kita mestinya aku berdandan lebih cantik. Ini, malah pakai seragam sekolah,” Nana setengah menggerutu. Mingyu tertawa sambil terus menggenggam tangan perempuan tersebut.
“Pacaran memakai seragam sekolah itu seru. Tidak akan bisa terulang lagi kalau kita sudah tua,” jawab Mingyu. Nana manyun.
“Lagipula, jam 8 nanti aku harus kerja paruh waktu di sebuah mini market. Jadi, kita hanya bisa melakukan kencan sepulang sekolah,” namja itu menambahkan. Nana manggut-manggut.
“Kau lelah?”
“Sedikit,” jawab Nana.
“Kalau begitu kita duduk di sana dulu,” Mingyu mengajaknya duduk di sebuah bangku di taman.
“Akan kubelikan minuman,” Mingyu sudah ngacir sebelum Nana sempat mengatakan apapun. Beberapa saat kemudian ia kembali membawa 2 kaleng minuman lalu memberikan yang satunya kepada Nana.

“Kenapa sikapmu sekarang berbeda?”
Mingyu mengernyitkan dahinya. “Maksudnya?” ia balik bertanya.
“Biasanya kau sering mendebatku. Kita sering berselisih pendapat dan kau suka berteriak-teriak padaku. Kau juga sering menggodaku dan juga mencandai aku. Bahkan, sepertinya kita lebih sering bertengkar. Tapi sekarang, sikapmu manis. Kau berbicara lembut padaku, dan kau juga sangat perhatian padaku. Kenapa?” tanya Nana bingung.
Mingyu tertawa.
“Kau yang aneh, Nana-ah. Memperlakukan sahabat dan pacar itu berbeda. Kemarin kita masih bersahabat, jadi sikapku ya selayaknya sahabat. Tapi sekarang kau pacarku, aku harus bersikap lebih baik padamu,” jawab Mingyu. Ia meraih tangan Nana lalu kembali menggenggamnya erat.
“Mari kita jalani ini pelan-pelan, Nana-ah. Mari kita saling memperhatikan dan lebih mengenal satu sama lain. Aku akan selalu berusaha memperlakukanmu dengan baik, oke?”
Nana tersenyum. Ia mengangguk.
“Ow, ada lagi. Ini, hanya bisa dilakukan pada pacar, bukan pada sahabat,” tiba-tiba saja Mingyu mendekat lalu mencium bibir Nana dengan ringan. Nana tersentak kaget.
“Mingyu-ssi, banyak orang melihat,” gerutunya. Pipinya segera bersemu merah.
Mingyu nyengir, penuh kemenangan.
“Kau makin cantik kalau merona seperti itu,” cetusnya. Bibir Nana mengerut sebal.

***

            Lapangan futsal yang biasanya ramai oleh anak-anak yang latihan kini makin ramai ketika Mingyu datang dengan membawa sekarung barang-barang bekas.
“Eh, apa-apaan kau? Apa sekarang kau sudah ganti profesi jadi pedagang barang loak?” celetuk Seok Jin, salah satu sahabatnya. Mingyu meringis.

“Barang-barang ini sudah tak terpakai. Jadi aku berniat menjualnya. Lumayan, uangnya bisa kugunakan untuk membeli barang yang lebih baru,” jawabnya seraya menumpahkan semua isi karung tersebut. Ada sepatu bekas, sandal bekas, kaos bekas, celana bekas, topi bekas, beberapa buku bekas, bahkan beberapa mainan bekas.

Teman-temannya melongo. Namun begitu mereka segera mengerubunginya dengan antusias.
"Diobral! Diobral! Mari sini, silahkan lihat, silahkan beli. Di jamin, barang-barang ini kualitasnya masih bagus. Lihat saja kalau tidak percaya.  Harganya murah-murah kok,” teriak Mingyu.
Jisoo menatapnya dengan heran.
“Ada apa denganmu?” tanyanya bingung. Mingyu tersenyum.
“Aku ingin membeli sesuatu untuk Nana. Tapi tabunganku tak cukup. Jadi aku melakukan cara ini,” bisiknya.
Jisoo manggut-manggut.
“Oke, kalau begitu aku beli yang ini. Berapa harganya?” Ia meraih sepatu olah raga berwarna biru kusam, namun masih terlihat lumayan bagus.
Diluar dugaan, Mingyu malah meraihnya kembali.

“Tidak. Semua orang di sini boleh membeli barang-barangku, tapi kau tidak,” ia meletakkan kembali sepatu tersebut di tempatnya semula.
“Kenapa?” Jisoo bertanya bingung.
“Aku menolak menerima uang darimu karena kau sering bilang bahwa Nana cantik,” jawab Mingyu dongkol. Jisoo menggaruk-garuk kepalanya. “Lantas?”
Ia nampak bingung.
Mingyu menyipitkan matanya dan menatap Jisoo dengan dalam.
“Aku tidak suka ada lelaki lain yang memuji Nana. Dia pacarku, jadi akulah satu-satunya lelaki yang boleh mengatakan dia cantik,” jawabnya bangga.
Jisoo tergelak.
“Yaa, Mingyu-ah. Kau kekanak-kanakan sekali. Kenyataannya Nana memang cantik, manis, imut dan ...”
“Stop! Nah ‘kan? Kau mengulanginya lagi. Silahkan mundur 2 langkah tuan Jisoo, atau aku terpaksa melemparmu dengan sepatu,” ujar Mingyu lagi.
“Ha?” Jisoo melongo.
Mingyu bersedekap dengan angkuh. “Aku serius,” ia melanjutkan.
Mau tak mau Jisoo mundur dua langkah.
“Kau tidak adil. Yang sering mengatakan Nana cantik bukan aku saja. Mereka juga sering bilang begitu kok. Ya ‘kan?”
Jisoo menunjuk ke arah sahabat-sahabatnya yang lain. Seok Jin, Leo, Do Joon, dan juga anggota tim futsal lainnya. Mingyu juga menoleh ke arah mereka.
“Beee-naaarr-kaaaah?” Alis mata Mingyu terangkat dan ia bertanya dengan gigi terkatub. Mereka cuma meringis.
“Ti-tidak. Kami tidak pernah mengatakan apa-apa soal Nana, percayalah,” mereka menjawab kompak.
Jisoo melotot.
“Do Joon-ah! Baru tadi pagi ‘kan kau bilang bahwa Nana makin cantik?!” Jisoo kembali berteriak. Do Joon meringis. Ia menggeleng.
“Aku tidak bilang begitu,” jawabnya. Ji Soo mendengus. Mingyu kembali menatapnya.
“Kau pembohong besar tuan Jisoo,” desisnya.
Jisoo menatapnya jengkel.
“Aku tidak bohong. Akhir-akhir ini mereka sering membicarakan Nana. Mereka bilang, semakin hari Nana semakin cantik,” kilahnya. Mingyu  mendesis.
“Aku tak percaya,”
“Terserah,”
“Dan aku tidak suka kau masih menyimpan foto Nana. Itu, foto dia yang memaki hanbok. Aku sudah memintamu menghapusnya ‘kan? Tapi kau tetap  menyimpannya di hapemu,” gerutunya.
“Itu, sebagai file cadangan. Siapa tahu file yang ada di hapemu terhapus, makanya yang ada dihapeku kubiarkan saja,” Jisoo ngotot.
“Bohong,” Mingyu manyun.
“Terserah. Terserah lagi deh,”
“Pokoknya kau tak boleh membeli barang-barangku, titik,” kata Mingyu lagi, tegas, lalu kembali menawarkan barang-barang dagangannya pada temannya yang lain.

Jisoo berkacak pinggang dengan kesal. Tapi selanjutnya ia terkekeh. Begitulah Mingyu, sahabat terbaiknya sejak SD. Terkadang ia ceria, terkadang ia kasar, terkadang ia begitu kekanak-kanakan.
Tapi ia tahu dengan pasti, Mingyu hanyalah seorang anak laki-laki yang membutuhkan limpahan kasih sayang dari banyak orang, termasuk dari dirinya.

***

            Nana menatap kotak perhiasan berisi cincin perak bermotif bunga semanggi yang disodorkan Mingyu ke arahnya. Kedua mata perempuan itu berkaca-kaca.
“Ini pemberian pertama dariku. Aku sudah melihat ukuran jemarimu. Pasti pas. Semoga kau suka,” ucap Mingyu tulus, lalu menyematkan cincin itu ke jari manis Nana.
“Tuh, pas ‘kan?”
Nana menatap cincin itu di jari manisnya. Sebuah cincin sederhana yang sangat cantik.
“Kau senang?” tanya Mingyu lagi.
Nana mengangguk. Air matanya menitik tanpa bisa ia bendung. Kemudian cewek itu menghambur ke arah Mingyu, lalu memeluknya erat.
“Terima kasih. Aku senang sekali,” ucapnya lirih.

***

            “Jisoo-sii!” Nana melambaikan tangan ke arah pemuda jangkung yang tengah berlari-lari kecil ke arahnya.
“Maaf aku terlambat. Aku baru tahu pesan singkatmu beberapa waktu yang lalu,” jawab Jisoo dengan nafas terengah-engah. Ia menyapu butiran keringat di keningnya.
“Aku yang harus minta maaf, Jisoo-ssi. Karena sepertinya kali ini aku akan sangat merepotkanmu. Minum dulu, nih,” Nana menyodorkan sekaleng minuman dingin yang sudah sejak tadi ia bawa, ke arah Jisoo.
Jisoo menerimanya dengan senang lalu segera membukanya dan menenggaknya hingga tersisa separo.
“Trims,” ucapnya kemudian setelah dahaganya hilang. “Jadi, ada apa kau memanggilku ke sini?” Ia bertanya  kemudian.
Nana tersenyum.
“Nih, coba lihat,” ia memamerkan cincin bermotif daun semanggi yang melingkar di jari manisnya. Jisoo menatapnya seksama. Ia tahu cincin perak itu tidak murah.
“Mingyu memberikan ini. Kejutan. Cantik ‘kan?” ucap Nana lagi.

Bibir Jisoo berdecak kagum. Pemuda itu manggut-manggut.
Jadi beberapa hari yang lalu Mingyu menjual barang-barang bekas untuk membelikan Nana ini? ucapnya dalam hati.
“Cantik, kau cocok memakainya,” puji Jisoo. Dan ia tak bohong.
“Gomawo,” jawab Nana senang.
“Dan apa hubungannya kau memintaku ke sini?” tanya Jisoo lagi.
“Aku ingin memberi kejutan pada Mingyu. Aku ingin membelikannya sesuatu. Tapi aku tak tahu barang apa yang ia suka dan yang paling ia butuhkan saat ini. Jadi, aku meminta bantuanmu untuk membantuku memilih. Kau lama mengenalnya, tentu kau tahu barang apa yang paling ia suka,” jawab Nana.
Jisoo mengernyit.
“Dengan kata lain, kau ingin mengajakku belanja?” ia bertanya ragu.
Nana mengangguk.
“Jalan-jalan dan belanja, lebih tepatnya,” ia menambahkan.
Jisoo menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Entahlah, tapi mengajakku jalan-jalan dan belanja, sepertinya bukan ide yang baik,” jawabnya.
“Kenapa?” pertanyaan Nana terdengar kecewa.
“Jika Mingyu tahu kita jalan berduaan, dia pasti menghabisiku,” jawab Jisoo kemudian. Nana tertawa.
“Mana mungkin? Kalian ‘kan bersahabat baik. Dia tidak mungkin cemburu padamu. Mingyu memang sedikit kekanak-kanakan, tapi ...”
“Tidak hanya sedikit, Nana-ssi. Jika menyangkut dirimu, dia selalu kekanak-kanakan. Bahkan, saaangat kekanak-kanakan,” potong Jisoo.
Nana kembali tertawa.
“Baiklah, baiklah. Hanya sebentar saja. Kalau Mingyu tahu dan marah, biar aku yang jelaskan. Oke?” ujarnya, sedikit memaksa.
Jisoo meringis.
“Oke,” jawabnya kemudian. Dan segera mereka berdua beranjak, menuju kawasan pertokoan yang membentang di belakang mereka.

***

            Minah dan Erin menatap Nana dengan tatapan penuh selidik.
“Apakah ini hanya perasaan kami saja atau memang benar bahwa sejak kemarin kau dan Mingyu tak bertegur sapa?” Erin bertanya duluan.
Nana duduk merosot di kursinya.
“Kalian benar. Sejak kemarin kami memang tak bertegur sapa,” jawabnya.
“Kenapa?” mereka bertanya hampir bersamaan.
Nana mengangkat bahu. Ia sendiri tak tahu alasannya.  Sejak kemarin, ia memang dicuekin olehnya.

Biasanya setiap pagi, Mingyu akan menyapanya dengan riang sambil mengelus kepalanya dengan manja. Tapi kemarin tidak, pagi ini juga tidak.
Setiap hari namja itu akan selalu punya cara agar bisa berdekatan dengannya, duduk di sampingnya, atau hanya sekedar berada di sisinya. Tapi sejak kemarin, Mingyu tetap duduk dengan tenang di bangkunya sendiri, bangku paling ujung sebelah kanan, bagian depan. Hari ini juga begitu, bahkan sampai istirahat jam terakhir. Ia bahkan tak mencuri-curi pandang ke arahnya, hal yang senantiasa ia lakukan selama beberapa bulan ini, sejak mereka resmi jadian.

Biasanya sepulang sekolah, mereka akan pulang bareng sembari bergandengan tangan sampai halte bis, dan terkadang Mingyu mengantarkannya pulang walau rumah mereka tak searah. Tapi kemarin, untuk pertama kalinya aktivitas itu tak mereka lakukan. Mingyu pulang dulu, begitu saja. Tanpa mengatakan apapun padanya. Tadi pagi Nana sudah mencoba menyapanya dulu, tapi Mingyu tak mengatakan sepatah katapun.

“Aku tak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ia menolak berbicara denganku,” jawab Nana kemudian seraya melirik ke arah bungkusan di dalam tas-nya. Sebuah hadiah yang dibungkus indah dengan kertas kado warna biru muda. Sebenarnya ia ingin memberikannya sejak kemarin, tapi suasana hati Mingyu yang tidak bagus membuatnya urung memberikannya.

“Ingin kami berbicara dengannya?” Minah dan Erin bertanya hampir bersamaan.
Nana menatap mereka dengan tegas.
“Tidak, biar aku saja yang berbicara sendiri dengannya,” Nana bangkit. Tapi ketika ia berbalik, tanpa sengaja ia bertabrakan dengan Yuri yang tengah membawa setumpuk buku, entah buku apa.
Yuri terjatuh ke lantai dan buku-buku itu berserakan.
“Yuri-sii, mianhae. Aku tak sengaja,” Ucap Nana penuh penyesalan. Ia segera berjongkok dan membantu memungut buku-buku tersebut lalu menyerahkannya ke arah Yuri.

“Jangan terlalu senang karena telah menjadi pacar Mingyu. Kau hanyalah pengganti kakak-ku,” kalimat yang meluncur dari mulut Yuri terdengar dingin. Yeoja berkaca mata itu bahkan mengucapkannya tanpa melihat ke arah Nana.
Nana menatapnya bingung.
“Yuri, kata-katamu itu keterlaluan!” teriak Minah.
Yuri bangkit, lalu berlalu begitu saja. Nana mematung.
“Nana-ah, sudahlah. Jangan diambil hati. Ga-ja, kita cari saja Mingyu,” Erin membantu Nanami bangkit.
“Tidak, aku mau duduk dulu,” jawab Nana lalu kembali ke tempat duduknya semula.
Yeoja itu kembali terdiam.

Pengganti kakak-ku...
Pengganti Nana...
Aku?

***

            “Mingyu-ssi! Berhenti!” Nana belari-lari kecil mengejar Mingyu. Namja itu berhenti, menatap Nana sekilas, lalu kembali melangkah lagi.
“Aku bilang berhentiii!” Nana kembali berlari lalu menarik lengan tangannya. Mau tak mau langkah Mingyu terhenti. Namja itu menatap Nana dengan tatapan kesal bercampur jijik.

“Ada apa denganmu? Kenapa kau menolak berbicara denganku?” tanya Nana.
“Aku hanya sedang marah padamu,” jawab Mingyu datar.
Nana melepaskan pegangan tangannya, mundur beberapa langkah, lalu melipat tangannya di dada dengan angkuh.
“Jelaskan padaku kenapa kau marah padaku.” Perintahnya.
Bibir Mingyu berdecak kesal.
“Karena kau keluar jalan-jalan dengan Jisoo tanpa sepengetahuanku,” jawabnya kemudian.
“Ha?” Nana melongo.
“Aku mengawasimu. Jadi aku tahu kau keluar dengannya secara diam-diam tanpa memberitahuku,”
“Itu tidak seperti yang kau pikirkan,” bantah Nana.
“Aku tak peduli apa yang terjadi. Tapi tetap saja aku tak suka jika kau keluar dengan lelaki lain di belakangku,”
“Tapi Jisoo ‘kan sahabatmu? Mestinya kau percaya padanya, percaya padaku,” jawa Nana kesal.

“Ini bukan masalah percaya atau tidak, Nana-ah. Kenyataannya kau bohong padaku. Kau keluar jalan-jalan dengan lelaki lain tanpa sepengetahuanku. Bagaimana jika aku yang melakukannya, kau pasti marah ‘kan?”
“Oke, aku minta maaf jika itu telah menyakitimu perasaanmu. Tapi kami hanya keluar jalan-jalan sebentar untuk membeli sesuatu,”
“Kenapa kau mengajaknya? Kenapa bukan aku?”
“Karena ....” Nana bingung harus menjawab apa.
“Tak bisa jawab ‘kan? Dasar pembohong,” Mingyu kembali beranjak. Ia melangkah meninggalkan Nana.
“Mingyu-ssi!” panggil Nana. Tapi namja itu tak menggubris.

Nana menggigit bibirnya kesal. Ia mengambil bungkusan kado dari dalam tasnya lalu melemparkannya ke arah Mingyu. Dan tepat mengenai kepalanya.
Mingyu mengaduh kesakitan seraya memegangi kepalanya. Ia menoleh, menatap ke arah Nana, lalu ke arah bungkusan kado yang tergeletak di bawahnya.
“Hadiah untukmu! Idiot!” teriak Nana.
“Aku ingin memberikan kejutan untukmu. Aku ingin membelikan sesuatu untukmu! Makanya aku mengajak Jisoo karena dia tahu barang apa yang paling kamu suka!” teriak Nana.
“Dan jika ada yang membuatmu marah, bicaralah langsung padaku! Aku berhak mendapatkan penjelasan! Mendiamkanku tidak akan menyelesaikan masalah! Dan aku benci kau diamkan seperti ini!” teriak Nana lagi. Kedua matanya berkaca-kaca. Lalu ia barbalik, meninggalkan Mingyu.

Mingyu tertegun sesaat. Ia nampak merasa bersalah.
“Im Nana, tunggu!” panggilnya.

Nana terbelalak.
Langkahnya terhenti seketika. Ia berbalik dan menatap Mingyu dengan tajam.
“Kim Nana! Namaku Kim Nana, bukan Im Nana! Im Nana sudah mati!!” teriaknya. Dan air matanya menitik. Sebelum Mingyu sempat berkata apa-apa lagi, yeoja itu berlari meninggalkannya.

***

Bersambung ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar