Senin, 18 Januari 2016

[FF/SVT] Bokura Ga Ita #4



~~~~~~~~~~

Saya nggak tahu harus menyebut ini Fanfiction atau apa. Yang jelas, cerita ini saya tulis karena saking cintanya saya dengan manga Bokura Ga Ita karya Yuuki Obata.
Alur ceritanya pun sama persis dengan versi aslinya. Hanya saja, versi saya adalah gabungan dari Bokura Ga Ita versi manga, live-action dan anime, dan tentunya ... saya tambahi sedikit-sedikit.
Alasan lain yang membuatku menulis ini adalah : ada beberapa orang yang tidak suka membaca manga dan juga menonton anime, sementara kisah cinta di Bokura Ga Ita terlalu sayang untuk dilewatkan.
Jadi anggap saja saya sedang berpura-pura menjadi sutradara, mengerjakan Bokura ga ita live-action, dengan cast utama : MINGYU SEVENTEEN.
Bagi yang sudah membaca Bokura Ga Ita, mian ya kalau ada yang nggak pas. Happy reading ....

~~~~~~~~~~~~

Part 4

“Belum baikan dengan Mingyu?” Minah dan Erin bertanya hampir bersamaan. Nana menatap mereka satu persatu secara bergantian lalu kembali membuang pandangannya ke arah orang-orang yang berlalu lalang. Sore itu mereka menghabiskan waktu mereka dengan hang-out di sebuah pusat perbelanjaan.

“Belum,” jawab Nana pendek. Terdengar Minah membuang nafas.
“Sebenarnya ada apa dengan kalian berdua? Padahal beberapa bulan ini kalian berhasil membuat seluruh siswa di SMA kita iri. Kalian begitu mesra, begitu lengket, begitu manis, begitu ... pokoknya kalian couple terbaik di sekolah kita. Tapi sekarang, aah, menyebalkan sekali melihat kalian tak bertegur sapa,” dengusnya.

Kali ini Nana yang membuang nafas, putus asa.
“Aku juga bingung dengan apa yang terjadi di antara kami. Aku tahu Mingyu masih marah karena aku keluar diam-diam dengan Jisoo. Tapi kurasa, rasa cemburunya kelewatan. Harusnya dia percaya padaku, pada kami, bahwa kami tidak akan pernah mengkhianatinya,” gumamnya, kesal.
“Dia ... posesif,” lanjutnya.

Dan dia memanggilku Im Nana! Gerutunya dalam hati dengan lebih kesal.

“Dia posesif mungkin karena apa yang telah dilakukan Nana sunbae padanya,” celetuk Erin.
“Memang apa yang dia lakukan?” serta merta Nana menatapnya, penasaran.
“Well, aku juga tak tahu ini benar atau tidak. Tapi dari yang aku dengar, Nana sunbae itu playgirl. Dia tipe perempuan yang sering gonta-ganti namja. Ketika ia berpacaran dengan Mingyu, banyak yang mengatakan bahwa ia punya banyak pacar gelap. Bahkan nih, aku juga pernah dengar bahwa hari ketika ia mengalami kecelakaan, ia sedang pergi dengan pacarnya yang lain. Malangnya, mereka mengalamai kecelakaan mobil dan meninggal bersama,” Erin melanjutkan.

Nana terdiam. Ia tahu cerita yang terakhir, bahwa Nana sunbae meninggal dengan selingkuhannya, toh Mingyu sudah pernah cerita itu padanya. Tapi, rumor yang mengatakan bahwa Nana sunbae punya banyak pacar, itu ia tak tahu.

“Eriiin-ah, itu ‘kan baru gosip. Belum tentu benar. Jangan membuat Nana-ah tambah sedih. Lagipula tak baik membicarakan orang yang sudah meninggal,” Minah mengomel. Sementara Erin cuma nyengir.

“Yaaah, kalau keadaannya begini, sepertinya kita tidak akan bisa menghadiri pesta ulang tahun Jisoo,” Minah menggerutu. Nana balik menatapnya ke arahnya.
“Ulang tahun Jisoo?” ia mengulangi kalimat Minah. Sahabatnya itu mengangguk.
“Sebenarnya kita semua diundang ke pesta ulang tahunnya malam ini, jam 7. Karena ini ulang tahunnya Jisoo, pasti teman-teman dekatnya di tim futsal diundang. Termasuk Mingyu. Ia pasti juga hadir di sana. Dan kalau dia di sana, kemungkinan besar, kau tidak akan datang. Dan kalau kau tak datang, kami juga tidak,” Minah menjelaskan.

Nana menatapnya bingung.
“Tunggu. Kenapa kalian di undang. Sejak kapan kalian dekat?” ia bertanya.
“Minah ‘kan pedekate dengan Seok Jin,” Erin nyeletuk.
Nana membelalak. “Sejak kapan?”
“Sekitar satu bulan ini,” jawab Erin lagi.
Nana melotot. Hah?
Yeoja bermata bening itu menatap Minah dengan tajam.
“Kenapa kau tak curhat dari awal??” ia nyaris berteriak ke arah sahabatnya itu sementara yang diteriaki cuma meringis.
“Oke, kita datang ke pesta ulang tahunnya Jisoo,” Nana berucap tegas.

***

Sesuai perkiraan, ulang tahun Jisoo berlangsung sederhana. Bahkan terkesan bukan pesta ulang tahun karena tak ada kue tart. Hidangan yang ada adalah bermacam-macam makanan dan minuman yang telah terhidang di meja makan. Teman-teman yang datang pun hanya sekitar 10 orang, semuanya anggota club futsal. Dan sesuai perkiraan pula, Mingyu juga ada di sana.

Ketika Nana memasuki ruangan, namja itu hanya menatapnya sekilas lalu kembali mengobrol dengan teman-temannya yang lain. Nana menggigit bibir dengan kesal.
Hah, aku dicueki?? Teriaknya dalam hati.

“Nana-ssi, terima kasih karena kau mau datang,” sapa Jisoo. Nana tersenyum.
“Selamat ulang tahun ya,” yeoja itu merogoh sebuah kado dari dalam tas nya lalu menyerahkannya ke arah Jisoo.
“Woa, kau bahkan membawakanku kado,” ucap Jisoo girang sambil menerima kado tersebut.
“Maaf, bukan sesuatu yang mahal. Tapi...”
“Terima kasih. Aku senang menerimanya, apapun itu. Boleh ku buka?”
Nana mengangguk. Dan dengan penuh antusias, Jisoo membuka bungkus kado tersebut. Dan yang ia dapatkan adalah sebuah gantungan kunci lucu berbentuk cumi-cumi.

“Waah, ini lucu sekali,” kedua mata Jisoo berbinar-binar. “Terima kasih ya,”
“Kau suka?” Nana bertanya. Jisoo mengangguk.
“Hah, kado macam apa itu? kekanak-kanakan sekali,” tiba-tiba Mingyu nyeletuk.

Suasana di ruangan tersebut menjadi tak nyaman selama beberapa saat. Bagaimanapun juga semua orang yang ada di situ tahu bahwa Mingyu dan Nana sedang bertengkar dan tak bertegur sapa. Dan mereka juga tahu bahwa penyebab pertengkaran mereka adalah Jisoo.

Jisoo menatap Mingyu dengan kesal.
“Jisoo-ssi, jangan terpancing dengan sikap Mingyu yang kekanak-kanakan, oke?” Seok Jin berbisik di dekat telinga Jisoo, mencoba menenangkannya. Tapi namja itu malah terkekeh. Ia mendekati Mingyu, lalu menggoyang-goyangkan gantungan kunci itu di depan mukanya. 

“Lihatlah. Ini gantungan kunci terlucu yang pernah ku lihat. Dan gantungan kunci di beli khusus oleh Nana, untukku. Untukku. Kau dengar itu? Lihatlah, lucu ‘kan?” Jisoo tertawa penuh kemenangan. Teman-temannya melongo.
“Kenapa dia jadi ikutan kekanak-kanakan begini?” Leo berbisik di dekat telinga Seok Jin.
Seok Jin hanya bengong.

“Kado murahan seperti itu, siapa yang mau?” Mingyu mendengus kesal. Ia menyambar gantungan kunci tersebut, lalu bangkit, kemudian melemparkan benda mungil itu ke luar jendela.

Hening sesaat. Tak ada yang berani bergerak. Mingyu berbalik dan menatap Jisoo dengan jengkel. “Aku sudah membuangnya, kau mau apa?” Ucapnya.
Tiba-tiba Nana bangkit, meraih gelas berisi minuman dan byuurrr.... ia menyiramkannya ke arah Mingyu.
“Kau idiot!” teriaknya lalu beranjak keluar. Mingyu tertegun. Tapi sejurus kemudian, ia ikut beranjak.
“Nana-ah, tunggu!” teriaknya seraya berlari mengejar cewek tersebut.

Ruangan kembali hening.
“Ngomong-ngomong, di mana cumi-cumiku?” celetuk Jisoo kemudian. Sahabat-sahabatnya menatapnya bersamaan, terlihat jengkel. Namja itu meringis.
“Maksudku, gantungan cumi-cumi,” ucapnya.
“Kamu sih kekanak-kanakan!” Seok Jin dan Leo berteriak hampir bersamaan. Dan Jisoo kembali nyengir.

***

“Nana-ah, tunggu!” teriak Mingyu. Ia berusaha menghentikan langkah Nana, tapi yeoja mungil itu terus melangkah tanpa menggubris teriakan Mingyu.
“Nana-ah, ku mohon. Bicaralah denganku,” ia menyentuh pundak Nana tapi yeoja itu menepis tangan Mingyu dengan kasar. Tapi akhirnya ia berbalik lalu menatap namja di hadapannya dengan tajam.

“Mingyu-ssi, sebenarnya ada apa denganmu? Akhir-akhir ini kau ... menyebalkan. Kau mendiamkanku, kau marah-marah padaku, kau memperlakukanku seperti orang lain, kau bahkan ...”
“Aku salah, mianhae,” potong Mingyu. “Aku masih marah padamu karena kau berbohong padaku. Aku masih cemburu padamu karena kau pergi dengan Jisoo tanpa sepengetahuanku. Aku tak percaya padamu,”
“Aku sudah bilang bahwa aku punya alasan,”
“Karena itu aku minta maaf,” ucap Mingyu lagi.
“Maaf karena aku tak percaya padamu. Maaf karena aku cemburu padamu, pada Jisoo. Maaf karena akhir-akhir ini aku menyebalkan. Maaf karena ... aku terlalu takut kehilanganmu,” tatapan Mingyu terlihat sayu. Nana merasakan dadanya sakit. Entah kenapa, ia ingin menangis.

“Kau takkan kehilanganku, Mingyu-ssi. Aku takkan kemana-mana,” Nana setengah berteriak.
“Aku tak tahu luka apa yang ditinggalkan almarhum Nana padamu. Tapi aku janji aku takkan melakukan hal yang sama. Aku takkan meninggalkanmu, aku takkan mengkhianatimu, percayalah padaku,”
Keduanya berpandangan. Hening.
“Janji?” tanya Mingyu lirih.
“Janji,” jawab Nana.

Mingyu mendekatinya, meraih tangannya lalu meletakkan sesuatu di genggaman tangannya yang mungil.
“Berikan ini pada Jisoo kalau aku sedang tak ada di depannya. Aku tak suka kau bersikap manis pada lelaki lain di hadapanku,” ucapnya.
Nana menatapnya dengan bingung. Gantungan kunci berbentuk cumi-cumi, kado ulang tahun Jisoo.
“Tapi, bukankah kau sudah membuangnya? Aku melihatmu melemparnya ke luar jendela,” tanya Nana heran. Mingyu menggeleng.
“Jisoo itu sahabat baikku. Aku takkan tega membuang kado ulang tahunnya. Yang ku lempar tadi, kacang,” jawabnya.

Nana menatap gantungan kunci tersebut lalu ke arah Mingyu dengan terharu. Tak berlama-lama, ia menghambur ke arahnya lalu memeluknya erat.
“Aku janji, aku takkan meninggalkanmu. Aku takkan mengkhianatimu. Bahkan jika mampu, aku janji aku takkan mati sebelum kamu,” bisiknya lirih di telinga Mingyu.
Mingyu balas memeluk yeoja itu dengan erat.
Saranghae,” ia balas berbisik.
“Dan terima kasih untuk hadiahnya. Aku suka syal-nya,” Lanjutnya lirih.

***

            Nana mengulurkan gantungan kunci berbentuk cumi-cumi itu ke arah Jisoo. Jisoo menatapnya dengan mata berbinar.
“Cumi-cumiku!” ia nyaris berteriak kegirangan sambil menerima gantungan kunci tersebut.
“Bagaimana mungkin? Bukankah Mingyu sudah membuangnya?” ia bertanya antusias.
Nana tersenyum menggeleng.
“Tidak. Dia hanya main-main,” jawabnya. Jisoo manggut-manggut.
“Sudah ku duga. Mingyu takkan tega melakukannya, hehe,” jawabnya. “Jadi, kalian sudah berbaikan?” ia kembali bertanya. Nana tersenyum dan mengangguk.
“Maaf kalau kami merusak pesta ulang tahunmu. Kami bertengkar di hadapan kalian seperti anak kecil, ah, aku malu sekali,” dengus Nana.
“Tidak apa-apa. Yang penting, kalian sudah berbaikan,”

Mereka berjalan beriringan menuju lapangan basket.
“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Nana-ssi,”
“Oke, katakanlah,” yeoja itu menghentikan langkah, Jisoo juga. Mereka berdiri berhadapan.
Jisoo terdiam sesaat.
“Aku tahu ini takkan mudah. Mungkin, suatu saat kau akan lelah. Tapi jika mencintai Mingyu ibarat ikut lomba lari, aku harap kau menyelesaikannya sampai selesai,”
Nana mengernyit, bingung.

“Kau harus tahu, Mingyu sudah mengalami banyak hal dalam hidupnya. Ia hidup sendiri dengan ibunya, tanpa ayah, tanpa keluarga lain karena seluruh keluarga ibu Mingyu telah memutuskan ikatan kekeluargaan mereka. Aku ingat, dulu waktu SD dan SMP ia selalu terlibat perkelahian dengan murid-murid lain karena ia diolok-olok sebagai anak haram. Mingyu  anak yang kuat. Ia pantang menyerah. Tapi aku tahu, setiap kali selesai berkelahi, atau setiap kali selesai di hukum guru, ia selalu menangis sendirian di kamar mandi,” suara Jisoo terdengar parau.

“Hubungannya dengan almarhum Nana waktu itu juga tak begitu baik. Mereka sama-sama jatuh cinta, tapi terlalu banyak luka, terlalu banyak pertengkaran. Karena itu ....”
“Aku mengerti,” Nana memotong. Ia menelan ludah. “Aku akan memberikan ia cinta sebanyak yang aku punya. Cinta yang sudah seharusnya ia dapatkan sejak dulu kala,” lanjutnya.
Mereka berpandangan, dalam. Perlahan Jisoo tersenyum lalu mengangguk.

***

Nana menatap buku Matematika di hadapannya dengan kesal sementara Mingyu bergelayut mesra di sisinya. Namja itu menyandarkan kepalanya ke bahu Nana sementara lengan tangannya melingkari pinggang yeoja tersebut. Ia tak henti-hentinya bersenandung, terlihat begitu bahagia.

“Mingyu-ssi, apa yang kau lakukan?” desis Nana, jengkel.
“Menempel padamu,” jawab Mingyu singkat tanpa mendongak ke arah yeoja di sebelahnya.
“Kalau kau terus menempel padaku seperti ini, kita tidak akan bisa mengerjakan PR,”
“Bodo amat,” jawab Mingyu lagi, singkat.
“Dan apa-apaan ini?” Nana menunjuk ke arah tangan Mingyu yang melingkar di pinggangnya.
“Itu tangan, tanganku lebih tepatnya. Siapa bilang itu kaki,” Mingyu terdengar sewot.
Nana mendesah.
“Tapi aku geli.”  Ia memprotes. “Kau seperti Ben-chan.” Lanjutnya.

Mingyu mendongak, beringsut mundur lalu menatap Nana dengan penuh selidik.
“Ben-chan? Siapa itu?” Kedua matanya menyipit. Nana terkekeh. “Dia keponakanku,” jawabnya.
“Apa dia laki-laki?” Mingyu kembali bertanya. Nana mengangguk.
“Berapa umurnya?” Nada suara Mingyu terdengar tak suka.
Nana kembali tertawa lirih.  
“Tenanglah, Mingyu-ssi. Dia hanya anak laki-laki berumur 5 tahun, kau tak perlu sewot seperti itu.” Ucapnya.
Bibir Mingyu mencibir. “Kelak aku takkan membiarkan anak itu bermanja-manja padamu,” desisnya. Nana kembali tergelak.

Tiba-tiba pintu diketuk.
“Mingyu-ah, ada temanmu di luar sana.” Ibu Mingyu berujar dari  luar kamar. Mingyu dan Nana berpandangan. Dengan bermalas-malasan namja itu bangkit lalu melongokkan kepalanya dari jendela untuk melihat siapa yang datang.

“Nana-ah, kau di sini dulu sebentar.” Mingyu beranjak keluar kamar lalu menutup pintunya. Nana menatapnya bingung. Yeoja itu bangkit, melongokkan kepalanya lewat jendela dan ia melihat siapa gerangan yang ada di depan rumah.
Yuri.
Untuk apa dia ke sini? Ia bertanya bingung.

Nana melangkahkan kakinya menuju pintu. Tapi ia terkejut ketika mendapati pintu itu terkunci.
“Mingyu-ssi, apa yang kau lakukan? Kenapa kau mengunci pintunya?” Nana berteriak sambil menggerak-gerakkan knop pintu. Tapi, pintu itu benar-benar terkunci dari luar.
Nana menatap sekelilingnya dengan bingung.

Ada apa? Kenapa Mingyu menguncinya di dalam kamar? Apa yang ingin ia bicarakan pada Yuri? Kenapa ia tak boleh tahu?

Nana berlari ke arah jendela. Ia melongokkan kepalanya untuk menyaksikan Mingyu dan Yuri terlibat pembicaraan serius.
Apa yang mereka rahasiakan? Apa yang tidak Nana ketahui? Tanya Nana dalam hati.

Yeoja itu mondar-mandir dengan frustasi. Dan selang beberapa menit kemudian, pintu terbuka.
“Maaf, aku hanya sekedar membereskan urusan,” ucap Mingyu.

Nana menatapnya dengan tajam. Ia merapikan peralatan tulisnya lalu memasukkannya ke dalam tas.
“Aku pulang,” ucapnya. Ia beranjak. Mingyu menarik tangannya.
“Tunggu, ada apa Nana-ah?” ia bertanya bingung.
Nana terkekeh.
“Ada apa? Harusnya aku yang bertanya. Ada apa antara kau dan Yuri? Kenapa kau tak memperbolehkanku menemuinya? Aku tahu ada sesuatu yang kalian rahasiakan. Hubungan kalian aneh, tak wajar. Katakan Mingyu-ssi! Ada apa antara kau danYuri!?” Nana berteriak.
Mingyu mematung.
“Tak ada apa-apa di antara kami.” Jawabnya. Nana tersenyum sinis. Ia merasakan matanya berkaca-kaca.
“Kau bohong, Mingyu-ssi. Aku bukan yeoja bodoh. Jika memang tak ada apa-apa antara kau dan Yuri, kau takkan mengunciku di dalam kamar. Aku bukan orang luar lagi, aku pacarmu, harusnya kau bisa bicara banyak hal padaku,” Nana menepis tangan Mingyu.
“Jangan bicara dulu denganku,” ucapnya lagi seraya beranjak.
“Nana-ah, tunggu,” Mingyu mengekor di belakangnya.
“Aku bersungguh-sungguh,” ia memohon.

Nana menatapnya dengan dalam. Air matanya menitik. Yeoja itu menggeleng lirih.
“Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Mingyu-ssi. Aku tahu itu,” desisnya. Dan ia kembali melangkah, tanpa mempedulikan panggilan Mingyu.

***

Mingyu meringkuk di ranjang Jisoo. Ia dan Nana kembali tak bertegur sapa selama beberapa hari. Dan ia merasa frustasi luar biasa.

“Mingyu-ah, sampai kapan kau akan begini terus?” Jisoo menatapnya dengan putus asa.
“Saling berdiam diri tidak akan menyelesaikan masalah,” ia menambahkan.
“Aku mencoba bicara dengannya. Tapi dia menolak bicara denganku,” jawab Mingyu lirih.
“Kalau begitu, cobalah bicara lagi dengannya, lagi dan lagi,” ujar Jisoo kesal.

“Kau harus bicara jujur padanya. Kau harus mengatakan semua tentang apa yang terjadi antara kau dan Yuri. Jika tidak, kau akan semakin melukai Nana,” Jisoo nyaris berteriak.
Mingyu menutup matanya dengan lengan tangannya. Ia terdiam sesaat.
“Aku tak bisa, Jisoo-ah. Aku tak bisa jujur padanya,” jawabnya.
“Kenapa?”
“Karena jika aku mengatakan padanya, dia akan menangis. Dan aku tak mau dia menangis,” suara Mingyu bergetar.
Jisoo menatapnya dengan pilu. Ia tahu, saat ini, Mingyu sedang menahan tangis.

“Nana akan menangis, tentu saja. Tapi setidaknya, dia berhak mendapatkan penjelasan darimu,” ucap Jisoo lagi.
Mingyu tak menjawab. Dan tanpa mampu ia bendung, air mata keluar dari sudut-sudut matanya dan mengalir  melewati pelipisnya.

***

Sekolah sudah sepi. Nana tengah duduk termangu di kursinya ketika Mingyu beranjak mendekatinya lalu duduk di bangku depannya.
Ia dengan sabar menunggu namja itu berkata-kata.
“Aku akan jujur padamu, tentang apa yang terjadi antara aku dan Yuri,” ucapnya lirih.
Nana menatapnya.
“Aku akan memberimu tiga pilihan, dan kau bebas menentukan mana yang benar,” ia menambahkan.
Nana mengernyit.
“Apa-apaan kau ini?” Yeoja itu berucap dengan kesal. Tapi ia sudah menyiapkan diri untuk mendengarkan pengakuan Mingyu.

“Satu, aku pernah jatuh cinta pada Yuri, tapi ia menolakku,” Mingyu memulai.
Nanami terkekeh.
“Itu tidak mungkin,” jawabnya.
Bukan itu jawabannya.

“Dua, aku adalah pengagum rahasia Yuri. Aku mencintainya sejak kecil.”
Nana kembali terkekeh.
“Itu lebih tidak masuk akal lagi,” desisnya.
Dan yang kedua, juga bukan jawabannya.

“Dan Tiga ...” kalimat Mingyu terhenti, ia menelan ludah.

“Tiga, aku dan Yuri pernah tidur bersama,” ia melanjutkan.
Nana tertegun. Ia menatap mata kelam Mingyu dengan dalam. Mata itu sayu, seolah tak bernyawa. Dan dada Nana seketika sesak. Yeoja itu tertawa, tapi sekian detik kemudian ia terisak.

Air matanya mengalir deras tanpa bisa ia bendung. Ia tahu, jawaban ketiga-lah yang benar...

Mingyu dan Yuri, pernah tidur bersama....

***

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar