Jumat, 18 Desember 2015

[FF SVT] Always It's You #4 - End



Preview :
“Jika kau punya permintaan terakhir padaku, apa yang ingin kau minta dariku?” Hani mengulangi pertanyaannya.
Wonu terdiam sesaat.
“Kau.” Akhirnya ia berkata.
“Permintaanku adalah kau, Hani-ah.” Bersamaan dengan itu air mata Wonu menitik.
“Aku ingin kau, di sisiku, menemani hari-hari terakhirku, sebelum aku mati.” Ia melanjutkan.

Dan ...
Hani beranjak mendekati Wonu yang masih duduk di pinggir ranjang. Tangannya terulur, jemarinya menyentuh pipi lelaki itu dengan lembut. “Dikabulkan.” Jawabnya lirih.
Ia membawa lelaki itu ke dalam dekapannya, dan air matanya juga menitik.

~~~~~
~~~~~

Part 4


Setiap hari Hani rajin mengunjungi Wonu di rumahnya. Terkadang ia membawakan buku, terkadang membawakan makanan kesukaannya, terkadang pula membawakan DVD film. Mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama. Entah itu menonton dvd film di home theatre yang ada di rumah, atau hanya sekedar mengobrol di balkon kamar.

Hani juga yang selalu mengantarkan  Wonu untuk kontrol di Rumah Sakit. Dan ketika keadaan lelaki itu membaik, mereka jalan-jalan di taman kota. Seperti yang mereka lakukan sore itu.
“Kapan kau akan kembali ke Seoul?” tanya Wonu. Ia duduk di bangku taman dengan pandangan ke arah jalan raya. “Entahlah.” Hani menjawab asal.

“Lalu, kapan pernikahanmu?” Lelaki itu kembali bertanya. Kali ini menatap perempuan di sampingnya. Hani menarik nafas dan balas menatapnya.
“Aku sudah bilang padamu, aku tak akan menikah dengannya.” Jawabnya. Bibir Wonu berdecak kecewa. “Hani-ah, aku memintamu bersamaku, menemaniku, bukan berarti aku melarangmu menikah.”
“Kau tak melarangku. Aku yang memutuskannya sendiri.” Potong Hani.
Wonu menggeleng-geleng lirih. “Kau harus menikah, Hani-ah. Kau harus bahagia. Maksudku ... umurku tidak akan lama. Aku bisa mati kapan saja. Nanti, besok, lusa, atau lusanya lagi. Jadi ...”
Tangan Hani terulur dan menggenggam tangan Wonu. Ia menautkan jemari-jemari mereka.
“Aku memilih bersamamu. Oke? Jadi, tolong hargai itu.” Gumamnya lembut. Mereka berpandangan. “Kenapa?” Wonu juga bertanya lembut. Hani tersenyum.
“Karena aku mencintaimu.” Jawabnya.
“Karena aku sakit.” Wonu meralat.
“Tidak. Karena aku mencintaimu.” Hani mengoreksi dengan mantap. “Aku mencintaimu. And always it’s you. Jika aku memilih bersamamu, bukan karena kau sakit. Tapi karena aku mencintaimu, sejak dulu, sampai sekarang. Kau harus percaya itu.”
“Dan tunanganmu?”
Hani mengangkat bahu. “Aku akan menjelaskan semua padanya.” Jawabnya. Dan ia memang akan melakukannya. Besok, ia akan memesan tiket ke Seoul. Karena semalam ia menerima email dari Dojun yang berisi : aku menyelesaikan perjalanan bisnisku lebih awal. Besok aku sudah pulang. I miss you ...

***

Hani melepaskan cincin pertunangannya lalu menyorongkannya ke arah Dojun melewati permukaan meja. Selesai sudah!
Ia sudah menceritakan segalanya pada lelaki tampan itu. Tentang Wonu, tentang penyakitnya, tentang masa lalu mereka, dan tentang keinginannya untuk menemaninya di saat-saat terakhir kehidupannya.
“Aku jauh-jauh pulang dari luar negeri tidak untuk menerima lelucon seperti ini, Hani-ah!” Dojun menatap Hani dengan mata nanar. Hani menunduk, air matanya mengalir deras. Untung restoran tempat mereka bertemu dalam kondisi sepi sehingga obrolan mereka tak mengundang perhatian orang lain.
“Aku tak punya pilihan. Wonu sakit, dan dia membutuhkan aku.” Desisnya.
“Lalu apa aku harus sakit dulu agar kau lebih memilih bersamaku?” suara Dojun serak. Matanya mulai berkaca-kaca. Tenggorokan Hani terasa tersekat.
“Apakah kau mencintaiku?”
“Aku mencintaimu.” Jawab Hani.
“Tapi kau lebih mencintainya ‘kan? Kau lebih mencintai lelaki sekarat itu ‘kan?”
Kali ini Hani tak menjawab. Air matanya terus mengalir. Dojun mengepalkan tangannya. Rahangnya kaku, ia membuang pandangannya keluar jendela.
Ia tahu, jawaban Hani adalah ‘ya’.
“Aku pernah meninggalkan Wonu begitu saja, Dojun-ssi. Jadi untuk saat ini, aku ingin menebus kesalahanku. Aku ingin menemaninya, melewati waktu yang tersisa bersamanya.” Hani membuka suara.
“Lalu dengan apa kau akan menebus kesalahanmu padaku?” Kali ini Dojun kembali menatap Hani dengan tajam. Hani tersentak. Tatapannya beradu dengan lelaki tersebut.
“Dengan-apa-kau-akan-menebus-kesalahanmu-padaku-Hani?” Gigi Dojun terkatub. Tampak ia sedang menahan emosi.
“Kau memilih bersamanya dan meninggalkanku. Bukankah itu sama saja kau juga melakukan kesalahan padaku. Lantas, dengan apa kau akan menebusnya? Membayarnya di kehidupan yang akan datang?” Ia terkekeh sinis. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.
“Aku menyesal membatalkan pernikahan kita, Hani-ah. Aku menyesal telah mengikuti perjalanan bisnis ke Eropa. Dan, aku menyesal karena telah membiarkanmu pergi ke Chanwon.” Ada penyesalan luar biasa pada kalimatnya.
“Mianheo, Dojun-ssi. Mianhae ....” suara Hani nyaris tertelan isak tangisnya.
Dojun menarik nafas berat.
“Oke, pergilah. Pergilah padanya. Tapi jika urusanmu dengannya sudah selesai, kembalilah padaku.” Lelaki itu bangkit. Ia beranjak tanpa mengambil cincin pertunangan mereka.
“Aku takkan kembali padamu, Dojun-ssi. Bahkan jika ia meninggal, aku takkan kembali padamu.” Hani sesenggukan. Dojun berbalik dan menatap perempuan itu dengan pilu. Kedua matanya berkaca-kaca. Kristal-kristal bening itu nyaris berjatuhan.
“Kau akan kembali, Hani-ah. Kau akan kembali padaku. Entah bagaimana caranya.” Ujarnya. Kalimatnya getir, tak bernyawa. Kemudian ia kembali melangkah, meninggalkan Hani sendirian yang terus sesenggukkan.

***

            Wonu duduk bersandar di ujung ranjang. Ia kembali di rawat di Rumah Sakit setelah kemarin sempat drop. Lelaki bermata teduh itu menatap keluar jendela kamarnya dengan bosan. Sudah 2 hari Hani kembali ke Seoul dan sampai  sekarang perempuan itu belum kembali ke Chanwon.
Dan ia merindukannya.
Sempat ada perasaan was-was menghinggapi dirinya.
Akankah Hani akan kembali ke sini? Ke sisinya? Atau ia memutuskan pergi begitu saja, seperti yang ia lakukan dulu?
Tapi toh jika ia tak kembali ke sini, ia tak punya hak untuk marah. Hani orang yang bebas, dan ia berhak pergi kemana saja. 

Lelaki itu memutuskan untuk membaca sebuah buku ketika tiba-tiba pintu terbuka dengan perlahan dan seorang lelaki seumuran dirinya muncul dari sana.
Keduanya berpandangan. Bingung.
“Ya?” Wonu menyapa duluan.
Lelaki berpakaian rapi itu melangkah mendekat. “Jeon Wonu?” ia bertanya sopan. Wonu mengangguk.
“Aku ... Dojun. Kim Dojun. Tunangan Hani.” Lelaki yang baru masuk itu menjawab. “Oh, lebih tepatnya mantan tunangan karena kemarin kami baru saja putus.” Ia malanjutkan.
Wonu tampak terkejut.
Ia tak mengalihkan pandangannya dari lelaki itu.
Keduanya berpandangan dengan canggung.
“Kau datang dari Seoul?” Wonu memberanikan diri bertanya. Dojun mengangguk.
“Hani tak bersamamu?”
Dojun menggeleng. “Aku datang ke sini tanpa sepengetahuannya.” Jawabnya.
Lelaki itu duduk di sofa di dekat jendela tanpa menunggu dipersilahkan. Hening sesaat. Mereka sama-sama tahu apa yang akan mereka bicarakan.
“Aku putus dengan Hani. Pernikahan kami batal karena kau.” Suara Dojun memecah keheningan.
Wonu meletakkan buku yang ada di tangannya ke atas meja lalu menatap lelaki tersebut.
“Aku minta maaf karena ia lebih memilih lelaki sekarat seperti aku.” Ucapnya.
“Tapi seperti yang kau ketahui, hidupku takkan lama. Jadi, kenapa tak kau pinjamkan saja dia padaku sebentar saja?” Ia terkekeh sinis.
Dojun menatap Wonu dengan tajam. Tangannya terkepal. Jika saja yang ia hadapi adalah lelaki sehat, sudah sejak tadi ia mengajaknya berduel.
“Hani bukan barang yang bisa dipinjamkan. Dasar brengsek.” Ia nyaris berteriak.
Wonu kembali terkekeh sinis. Ia tampak tenang.
“Kalau begitu, berikan dia padaku. Kelak jika aku mati, kau bisa mengambilnya kembali.” Ujarnya.
Dojun menggigit kesal. Lagi-lagi ia menatap Wonu dengan tajam. Ada amarah dalam dirinya yang meluap-luap, namun sengaja ia tahan.
“Keparat kau.” umpatnya.

Wonu tertawa hambar. Sekarang tak hanya tubuhnya yang terasa sakit, tapi juga hatinya. Ia tak tahu kenapa Tuhan menempatkan mereka semua dalam situasi seperti ini.

Hening lagi.

“Aku minta maaf.” Kali ini kalimat Wonu terdengar lirih.
“Aku tak bermaksud membuat hubungan kalian berantakan. Aku benar-benar tak mengira bahwa aku akan bertemu dengan Hani lagi dalam keadaan seperti ini.” Kalimatnya terdengar putus asa hingga membuat Dojun tak mampu berkata-kata.
“Demi Tuhan, aku tak berencana bertemu dengannya lagi setelah bertahun-tahun. Ini ... diluar dugaanku.  Aku tak mengira akan bertemu Hani lagi. Tapi kenyataannya, di sinilah kita sekarang. Bertemu, mencintai orang yang sama, dan terlibat dalam situasi rumit.”  Ia menelan ludah.
“Dojun-ssi, situasi seperti ini tidak hanya sulit untuk kita berdua, tapi juga untuk Hani. Aku tak bermaksud menempatkan dia di posisi untuk memilih antara kau dan aku. Tapi percayalah, jika saja aku tak sakit, ia akan tetap memilih bersamamu.” Kalimat Wonu luruh. Menyiratkan rasa sakit luar biasa.

Dojun menunduk sesaat. Perlahan ia menggeleng.
“Tidak. Ia takkan memilihku.” Gumamnya.
“Dia mencintaimu, Wonu-ssi. Itulah yang sebenarnya. Aku bisa melihat itu ketika ia membicarakanmu, menyebutkan namamu.” Ujarnya. “Bahkan jika kau tak sakit, kemungkinan besar ia tetap memilih bersamamu.” Lanjutnya.

Wonu tertegun. Ia tetap mematung bahkan ketika Dojun bangkit dari tempat duduknya.
“Aku lega sudah bertemu denganmu.” Ucap lelaki berhidung mancung tersebut. “Dan ...” Ia menelan ludah. “Aku merelakan Hani bersamamu.” Ia beranjak.

“Dojun-Ssi!” Wonu memanggil hingga langkah Dojun tertahan. Ia berbalik dan menatap Wonu.
“Jika aku sudah tiada, tolong jangan membenci Hani atas keputusan yang ia ambil. Oke?”
Mendengar ucapan Wonu, Dojun tersenyum getir. Ia menggeleng.
“Aku mencintainya, Wonu-ssi. Aku mencintainya dengan sepenuh hatiku walau ia meninggalkanku. Aku takkan sanggup membencinya atau bahkan mengabaikannya, meski ia memilih bersamamu.” Jawabnya. Kemudian ia berbalik, meninggalkan Wonu. Meninggalkan rumah sakit tersebut dengan hati hancur.

Beberapa saat setelah Dojun pergi, kak Im Na datang ke kamar perawatan bersama dokter. Waktunya kontrol rutin.
“Merasa baikan?” Kak Im Na menyapa seraya mengelus lengan Wonu dengan lembut. Wonu hanya tersenyum dan mengangguk lemah. Kak Im Na menatapnya dengan penuh selidik.
“Gwaencana?” Ia memastikan. Wonu menggeleng lemah. Melihat kondisi itu, dokter segera melakukan pemeriksaan pada tekanan darahnya. Raut muka kak Im Na mendadak cemas.
“Dokter ...” Wonu memanggil lirih. Ia mendongak, menatap langsung ke arah dokter yang tengah memeriksanya. “Tolong selamatkan aku.” Ucapnya getir. Bibirnya bergetar.

“Tolong selamatkan aku, dokter. Selamatkan aku!” Bersamaan dengan itu air matanya menitik. Lelaki itu mencengkeram lengan dokter dengan erat.
“Aku tak mau mati. Aku ingin hidup! Aku ingin hidup puluhan tahun lagi! Aku ingin menikah, aku ingin punya anak, aku ingin menghabiskan masa tuaku bersama dengan orang yang ku cintai! Aku tak mau mati... Aku tak mau ....!” Wonu berteriak, histeris. Ia menangis terisak.

Dokter berusaha menenangkannya, namun percuma. Kak Im Na menatap adegan itu dengan pilu. Air matanya juga menitik.
“Selamatkan aku dokter... Tolong selamatkan aku... Aku tak ingin mati...” Wonu kembali meratap. Air matanya terus berderaian. Kak Im Na menghambur ke arah adik satu-satunya tersebut, mendekapnya erat, mengelus punggungnya dengan lembut dan dalam hitungan detik, ia juga terisak.

***

Hani memasuki halaman Rumah Sakit dengan tergesa-gesa. Ia sudah menerima kabar sejak kemarin sore dari kak Im Na bahwa kondisi Wonu drop. Ia juga sudah berusaha secepat mungkin agar bisa segera sampai di Chanwon. Tapi beberapa urusan di Seoul menahan langkahnya.

Ketika ia sampai di lorong rumah sakit tempat Wonu dirawat, ia menyaksikan kak Im Na duduk lesu di kursi tunggu. Sendirian.
“Eonni ...” Panggilnya.
“Bagaimana keadaannya?” Ia bertanya tak sabar. Kak Im Na mendongak. Matanya sembab.
“Aku akan ke kamarnya.” Langkah Hani tertahan ketika kak Im Na melarangnya.
“Jangan. Wonu sedang istirahat. Dokter memberinya obat penenang. Tadi ia sempat ... histeris. Tapi sekarang ia baik-baik saja.” Jelasnya.
Hani menatapnya dengan bingung.
“Ada apa dengannya? Apa kondisinya parah?” raut wajahnya cemas. Kak Im Na menggeleng. “Hanya butuh istirahat.” jawabnya. Perempuan itu terlihat gusar.

“Eonni, ada apa dengannya?” Hani kembali memberondongnya dengan pertanyaan.
Kak Im Na menarik nafas putus asa. Ia menumpukan siku di kedua lututnya lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dan bahunya terguncang. Ia menangis.
Rasa cemas luar biasa segera menyerang benak Hani.
“Apa dia tak sadarkan diri? Apa dia koma? Apa dia ...?”
Kak Im Na menggeleng. Perempuan itu mendongak. Tampak air matanya bercucuran.
“Hani-ah, aku hanya tak mengerti kenapa ia harus bertemu lagi dengamu ...” Ia sesenggukan. Hani mengernyitkan dahinya. “Memangnya kenapa?”
Kak Im Na menghapus air matanya dengan punggung tangan.

“Sejak dia diagnosa penyakit itu, sejak dokter mengatakan ia tak punya harapan lagi untuk sembuh, ia sudah pasrah. Ia ikhlas. Ia berniat pergi dengan tenang. Tapi sejak kau datang ke kehidupan Wonu lagi, harapan-harapan itu kembali muncul di matanya. Ia ingin sembuh, ia ingin hidup, ia ingin ...”
“Apa salahnya ia berharap untuk sembuh?”
“Karena ia takkan pernah bisa sembuh!” Kak Im Na berteriak.
“Dan aku tak tega menyaksikannya merana, menderita, meratapi nasib!” Perempuan itu nyaris menjerit lagi. Ia menatap Hani dengan dalam.
“Ia sudah bicara dengan dokter. Ia setuju untuk melakukan operasi kembali. Dan kau tahu itu artinya apa? Operasi itu hanya akan mempercepat kematiannya!”

Hani tercengang. Kata-kata kak Im Na ibarat pisau yang membelah urat nadinya. “Pasti ada keajaiban. Wonu akan sembuh.” Ia mendesis.
Kak Im Na kembali terisak.
“Tidak akan ada keajaiban untuk Wonu, Hani-ah. Tidak akan ada...” Ia mendesis.
Lutut Hani lemas. Tubuhnya terkulai di samping kak Im Na. Dan perempuan itupun menangis.

***

            Hani menggenggam tangan Wonu dengan erat. Ia menatap lelaki itu dengan perasaan cemas berkepanjangan. Wonu tersenyum. “Aku baik-baik saja. Tak usah cemas.” Ucapnya.

            Wonu serius dengan niatnya. Setelah berdiskusi dengan dokter, dengan kakaknya, dengan beberapa keluarganya, ia sepakat melakukan operasi kembali. Lusa.
Operasi yang teramat beresiko. Mengingat tingkat keberhasilannya hanya sekitar 10%.

            “Ku mohon jangan lakukan ini. Jangan ... Please ....” Hani meratap, suaranya tercekat.
Wonu kembali tersenyum. “Aku akan baik-baik saja. Dokter akan berusaha yang terbaik.  Berdoa saja semoga operasinya berhasil. Kalaupun tidak, aku sudah berusaha. Ya ‘kan?” Ia balas menggenggam tangan Hani dengan erat.

Air mata Hani menitik tanpa mampu ia tahan. Tangan Wonu terulur, menghapus butiran-butiran air di pipi perempuan tersebut dengan lembut.
“Aku mencintaimu, Hani-ah ...”
Hani mengangguk. “Aku juga.”
“Operasinya akan berhasil. Aku akan sembuh.”
Hani kembali mengangguk. “Ya, kau akan sembuh.” Ucapnya getir.
“Tapi jika seandainya saja operasinya tak berhasil dan aku tak bangun lagi ...”
“Kau akan sembuh. Operasinya akan berhasil. Aku yakin itu.” Hani meraih tangan Wonu, mengecupnya berulang-ulang. Wonu menatapnya dengan lembut. Perlahan air matanya juga menitik.

            Ia hanya terlalu mencintainya. Demi Tuhan, ia mencintai Hani, dengan sepenuh hati. Tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan besarnya rasa cinta yang ia rasakan pada perempuan tersebut. Ia tak lelah berdoa agar operasinya berhasil. Agar ia selamat. Agar ia hidup.
Tak ada yang lebih membahagiakan selain bisa menghabiskan waktu bersamanya. Tak ada!
Tapi jika seandainya operasinya gagal, ia berdoa agar Hani senantiasa baik-baik saja setelah dirinya tiada.

            “Aku akan baik-baik saja. Nde?” Wonu tersenyum lagi. Ia menangkupkan tangannya di wajah Hani, lalu mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibirnya.
Hani terus terisak. Ia menyebut nama Wonu dalam hati berulang-ulang seperti merapalkan doa. Berharap bahwa operasinya berhasil dan lelaki itu baik-baik saja. Dan yang terpenting, ia hidup.

***

            Hani berdiri dengan gusar di depan ruang operasi. Kak Im Na juga. Beberapa kerabat dekat juga ada. Wonu sudah berada di ruang operasi selama hampir 4 jam. Dan belum ada tanda-tanda operasinya akan selesai.

            Bibir Hani bergetar. Telapak tangannya berkeringat. Ia terlalu gugup. Rasa cemas menderanya.

            Selang satu jam kemudian, pintu operasi terbuka. Beberapa dokter bedah dan suster keluar dari balik pintu. Mereka berdiri sesaat, membuka masker yang menutup mulut mereka, lalu menatap para penunggu, termasuk kak Im Na dan Hani, dengan tarikan nafas dalam.
            Dan dari raut muka mereka, Hani tahu bahwa operasinya gagal.

            Kak Im Na segera berteriak histeris. Hanya dalam hitungan detik ruang tunggu operasi dibanjiri isak tangis.

            Hani mematung. Dadanya sesak.
            Dan perempuan itu ambruk.

***

            Pemakaman Wonu berlangsung sederhana dan diwarnai hujan tangis. Kak Im Na tak berhenti meraung-raung di depan makam Wonu. Beberapa orang berusaha menenangkannya. Mereka juga sesenggukan.
Dojun juga datang. Hani memberitahunya. Lelaki itu sampai di Chanwon beberapa saat yang lalu dan langsung menyusul Hani di pemakaman.

Hani duduk bersimpuh, di samping makam Wonu.
Ia mematung. Aneh, ia tak menangis.
Ia hanya merasa tak mampu menangis lagi.  Terlampau sakit.
Ini terlampau menyakitkan buatnya.

            “Hani-ah...” Dojun menyentuh pundaknya dengan lembut. Hani mendongak. Perempuan itu bangkit.
“Aku ingin pulang dulu. Ke rumah Wonu.” Ia bangkit. Tertatih. Dojun membantunya bangkit.
“Gwaencana?” Dojun bertanya cemas.
Hani mangangguk.
“Aku akan menemanimu.” Lelaki itu menawarkan tapi Hani menolak.
“Aku perlu waktu untuk menyendiri.” Jawabnya. Ia terus melangkah. Jarak antara makam dengan rumah Wonu hanya sekitar 300 meter. Dan ia pulang dengan berjalan kaki.

Setelah sampai di sana, perempuan itu segera memasuki kamar Wonu.
Menatap seluruh sudut kamar. Tempat tidur yang kosong, foto-foto mereka yang terpajang di meja dan juga dinding, kutipan novel favoritnya yang diabadikan di pigura, semuanya. Dan ... tiba-tiba saja perasaannya hampa. Air matanya mulai menetes.
Satu titik ...
Dua titik ...
Lalu mulai berderaian.

Perempuan itu menyeret kakinya dengan sempoyongan dan duduk di ranjang. Dengan perlahan ia membelai  bantal, sprei dan juga selimut milik Wonu. Dan akhirnya tangisnya pecah. Ia menghabiskan waktunya di kamar tersebut selama hampir satu jam untuk menangis, sepuasnya.

Pintu kamar terbuka dan kak Im Na menghambur ke arahnya. Perempuan itu memeluk Hani dengan lembut. “Dia sudah pergi, Hani-ah. Dia sudah pergi.” Desisnya. Hani hanya membalas dengan anggukan. Mereka sama-sama terisak lagi.

Setelah beberapa saat kemudian mereka sudah agak tenang, kak Im Na beranjak. Menuju ke arah meja belajar Wonu, menarik laci paling bawah, lalu mengambil sesuatu. Perempuan itu berbalik kemudian menyodorkan secarik kertas yang terlipat rapi ke arah Hani.

“Ini pesan terakhir Wonu. Dia berpesan, jika operasinya gagal ...” bibirnya bergetar. “Ia memintaku memberikan ini padamu.” lanjutnya.
Hani menerimanya dengan tangan gemetar. Kak Im Na menepuk pundaknya dengan lembut lalu meninggalkannya sendirian.
Hani membuka lipatan kertas tersebut dengan hati-hati dan mulai membaca barisan kalimat yang tertulis dengan rapi. Itu tulisan tangan Wonu.

___________
Hani-ah ....

Lupakan aku.
Ini selamat tinggal terakhirku.
Kau harus tetap hidup, tanpa aku.

Maaf karena aku pergi lebih dulu.
Maaf karena aku meninggalkanmu.
Kelak, jika Tuhan mengijinkanku untuk dilahirkan kembali
aku akan menepati janjiku.
Untuk bersamamu.

Hiduplah bahagia ...
Senantiasa ...

Aku mencintaimu.
And always it’s you.

--- Jeon Wonu
________________

Hani memeluk secarik kertas itu dengan erat. Dan tangisnya kembali meledak.
Tubuhnya melorot ke lantai. Ia luruh, merasa hancur.
Beberapa kali ia meneriakkan nama Wonu.
Berharap agar dia di sana bisa mendengarnya.
Berharap agar ia bisa memberitahunya bahwa ia akan baik-baik saja.
Berharap bahwa ia bisa memberitahunya – lagi – bahwa iapun mencintainya, dengan sepenuh hati.

***

The End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar