06-03-2012
RS.
Graha Amerta, Surabaya
Ya,
mimpi itu selalu terulang setiap malam. Lagi dan lagi. Dalam mimpiku, aku
menyaksikan seorang cowok manis yang berdiri di dekat jembatan. Menatapku
dengan sayu, lalu mengulurkan tangannya. “Aku telah menunggumu,” itu kata yang
meluncur dari bibirnya. Selalu kata-kata yang sama. Namun, aku bahkan belum
menggerakkan badanku ketika tiba-tiba dia berbalik lalu menceburkan
dirinya ke dalam sungai dan tubuhnya tak
pernah muncul lagi ke permukaan! Dia tenggelam! Bunuh diri!
“Jadi kamu masih mimpiin tentang hal
itu?” Meta, teman sebangkuku bertanya dengan penuh antusias. Aku mengangguk
pelan.
“bermimpi ketemu cowok cakep, tiap
malem, aih romantis banget. Itu pasti jodohmu, Na. Belahan jiwamu, soulmate-mu.
Suatu saat nanti kalian pasti ketemu dan kalian ditakdirkan untuk bersama
selamanya,” seperti biasa, ia berlebihan. Aku tergelak.
“Kau terlalu banyak nonton sinetron,”
ujarku.
“Tidakkah kau merasa ini adalah hal yang
menarik?”
“Tidak,” jawabku cepat.
“Kamu gak romantis,”
“Emang enggak,” jawabku lagi. Meta
mencibir.
Aku terdiam sesaat. Dan mau tak mau aku
tetap terpikir dengan perkataannya.
Cowok yang senantiasa datang dalam
mimpiku itu __ jodohku? Belahan jiwaku? Busyet, aku gak percaya banget! Adakah
hal-hal seperti itu yang terjadi di dunia nyata? Sepertinya tidak! Hal-hal
serba kebetulan seperti itu hanya ada di dunia sinetron dan film. Lagipula,
dalam mimpiku tersebut, cowok ganteng bermata teduh itu bunuh diri dengan
loncat dari atas jembatan. Jika mimpi itu adalah suatu tanda bahwa kami
berjodoh, bukankah seharusnya dalam mimpi tersebut kami bertemu dengan romantis
kemudian menikah?
“Liburan nanti ada acara kemana?”
“Gak kemana-mana,” jawabku seraya
merapikan semua perlatan tulisku lalu memasukkannya ke dalam tas. “Ikut aku, yuk. Liburan ke kampung. Ke rumah
nenekku,”
“Males,” jawabku sekenanya.
“Males kau bilang? Tahun lalu ku sudah
janji mau ikut. Nyatanya kau ingkar janji. Apa sekarang kau mau ingkar janji
lagi? Ya udah, sebaiknya kita gak usah temenan!”
Meta menatapku dengan tajam. Nyaliku
langsung ciut.
“I-iya deh,” Jawabku kemudian.
“Nah, gitu dong,” ia tersenyum penuh
kemenangan.
Pagi
itu aku sengaja mengambil waktu untuk jalan-jalan sendirian mengelilingi
kampung. Ketika sampai di sebuah tempat, aku hanya bisa melongo takjub. Astaga,
ini luar biasa indah. Hamparan sawah yang menghijau. Bukit-bukit dengan
pepohonan yang menjulang tinggi. Sungai kecil dengan air sebening kristal, ah,
aku benar-benar tak rugi datang ke sini. Aku benar-benar tak menyangka bahwa
kampung nenek Meta akan sebagus ini!
Belum hilang rasa kagum dengan apa yang
ada di sekelilingku, pandanga mataku di buat terpaku pada sebuah jembatan di
atas sungai kecil yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Ini __ mirip
sekali dengan yang ada dalam mimpiku.
Tanpa sadar, aku melangkahkan kakiku
mendekati jembatan tersebut dan ___ sosok itu ada! Seorang cowok jangkung yang
berdiri membelakangiku. Apa aku sedang bermimpi lagi?
“Hei,” tanpa sadar aku membuka suara.
Cowok itu berbalik dan menatapku. Deg,
aku terhenyak. Sama persis! Sama persis dengan yang ada di dalam mimpiku selama
ini! Aku sedang tidak bermimpi ‘kan? Tapi, bagaimana mungkin___?
“Hei,” cowok itu membalas sapaanku lalu
tersenyum. Manis sekali.
“Apa kau akan loncat dari sini?” kalimat
itu meluncur begitu saja dari mulutku. Cowok itu mengernyitkan dahinya. “Apa?”
“apa kau berniat terjun ke sungai?”
“Terjun ke sungai? Buat __ apa? Aku suka
berenang, tapi maaf, untuk hari ini aku lebih suka menikmati pemandangan dari
sini,” jawabnya. Aku mendesah lega.
“Syukurlah kalo begitu,” gumamku pelan.
“Apa kau juga akan menikmati pemandangan
ini bersama-sama denganku? Kemarilah,” cowok itu menggerakkan tangannya. Aku
sedikit ragu. Tapi akhirya, aku melangkahkan kakiku dan berdiri tak jauh
darinya.
“Apa kau tinggal di kampung ini?” ia
bertanya.
“Tidak. Dan kau, apa kau tinggal di
kampung ini?”
“Tidak,”
“Lantas?”
“Nenekku tinggal di sini. Jadi aku
datang untuk berlibur dan mengunjunginya. Kalau kau?”
“Aku juga berlibur mengunjungi nenek.
Tapi dia bukan nenekku. Dia nenek temanku,”
Cowok itu manggut-manggut. Aku
menatapnya sekian detik. Tampan sekali. Iseng aku mencubit lenganku sendiri untuk
memastikan bahwa aku sedang tidak bermimpi. Dan, aw, aku merasakan sakit.
“Kau mencubit lenganmu sendiri? Kenapa?”
“Eh, tidak,” jawabku gelagapan.
“Boleh aku tahu namamu?” ia bertanya
dengan ramah sambil kembali menatapku dengan dalam. Tatapan matanya begitu
teduh. Jantungku berdesir. Ah, aku serasa meleleh.
“Kalo namamu?” aku balik bertanya.
“Yohan,” ia menjawab cepat.
Aku setengah mendelik.
“Yohan? Bukan Yohana?” aku memastikan.
Cowok berhidung mancung itu menggeleng.
“Namaku Yohan. Dan kamu?”
Aku tak segera menjawab.
“Kau keberatan memperkenalkan namamu?”
ia mengulang pertanyaannya.
“Yohana,” jawabku kemudian.
“Heh?” Ia menatapku heran setengah tak
percaya, tepat seperti dugaanku.
“Namamu __ Yohana?” ia seakan
membutuhkan penegasan dariku. Aku mengangguk. Sesaat kemudian ia tertawa.
“Yohan dan Yohana. Wah, manis sekali kedengarannya,”
ia kembali tertawa renyah. Dia bilang, wah,
manis sekali kedengarannya? Aih, entah kenapa aku merasa itu adalah sebuah
pujian dan aku sempat ge-er.
“Kau sudah sering ke sini?” cowok
bernama Yohan itu kembali bertanya.
“Tidak, ini baru pertama kalinya
untukku,” jawabku.
“Oh ya? Aku yakin kau pasti menyukainya.
Pemandangan di sini benar-benar menakjubkan luar biasa. Itulah kenapa, aku
selalu menyempatkan datang ke sini jika sedang liburan,”
Aku mengangguk.
“Kau benar. Pemandangan di sini benar-benar
luar biasa cantik. Aku benar-benar cinta pada tempat ini,” jawabku lagi.
Yohan kembali menatapku dengan dalam
hingga membuatku jengah.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” ia
bertanya. Aku mengernyitkan dahiku.
“Maksudmu?”
Yohan mengangkat bahu.
“Entahlah, hanya saja, aku serasa pernah
bertemu denganmu sebelumnya. Tapi di mana dan kapan, ah, entahlah, mungkin itu
hanya perasaanku saja,” Yohan setengah menggumam.
Aku balas menatap cowok tersebut lalu
tersenyum.
“kurasa kita belum pernah bertemu sebelumnya,”
jawabku.
Yohan manggut-manggut. “Ya, mungkin itu
hanya firasatku saja,” ia kembali menggumam.
Aku melirik arlojiku.
“Maaf, aku harus kembali ke rumah
temanku,” aku beranjak.
“Apa kita bisa bertemu lagi?” teriakan
Yohan membuat langkahku terhenti. Aku kembali berbalik.
“Entahlah, mungkin saja,” jawabku.
“Aku ingin bertemu lagi denganmu.
Bagaimana caranya?”
Aku terpaku dengan kalimat yang meluncur
dari bibir Yohan. Sesaat kami bertatapan. Dan perlahanpun sederet angka meluncur
dari bibirku. Ya, aku memberitahunya nomor telponku!
Yohan tersenyum, begitu pula aku. Ah,
entahlah. Jangan tanya tentang hubungan antara mimpiku dengan kejadian hari ini
karena akupun tak bisa menjelaskannya. Yang pasti, Yohan benar-benar cowok
termanis yang pernah ku kenal selama ini. Dan, hari ini benar-benar
menyenangkan!
selesai
10.03.2012