Kamis, 19 Juni 2014

Cerpen "The Boy In My Dream"



06-03-2012
RS. Graha Amerta, Surabaya



            Ya, mimpi itu selalu terulang setiap malam. Lagi dan lagi. Dalam mimpiku, aku menyaksikan seorang cowok manis yang berdiri di dekat jembatan. Menatapku dengan sayu, lalu mengulurkan tangannya. “Aku telah menunggumu,” itu kata yang meluncur dari bibirnya. Selalu kata-kata yang sama. Namun, aku bahkan belum menggerakkan badanku ketika tiba-tiba dia berbalik lalu menceburkan dirinya  ke dalam sungai dan tubuhnya tak pernah muncul lagi ke permukaan! Dia tenggelam! Bunuh diri!
“Jadi kamu masih mimpiin tentang hal itu?” Meta, teman sebangkuku bertanya dengan penuh antusias. Aku mengangguk pelan.
“bermimpi ketemu cowok cakep, tiap malem, aih romantis banget. Itu pasti jodohmu, Na. Belahan jiwamu, soulmate-mu. Suatu saat nanti kalian pasti ketemu dan kalian ditakdirkan untuk bersama selamanya,” seperti biasa, ia berlebihan. Aku tergelak.
“Kau terlalu banyak nonton sinetron,” ujarku.
“Tidakkah kau merasa ini adalah hal yang menarik?”
“Tidak,” jawabku cepat.
“Kamu gak romantis,”
“Emang enggak,” jawabku lagi. Meta mencibir.
Aku terdiam sesaat. Dan mau tak mau aku tetap terpikir dengan perkataannya.
Cowok yang senantiasa datang dalam mimpiku itu __ jodohku? Belahan jiwaku? Busyet, aku gak percaya banget! Adakah hal-hal seperti itu yang terjadi di dunia nyata? Sepertinya tidak! Hal-hal serba kebetulan seperti itu hanya ada di dunia sinetron dan film. Lagipula, dalam mimpiku tersebut, cowok ganteng bermata teduh itu bunuh diri dengan loncat dari atas jembatan. Jika mimpi itu adalah suatu tanda bahwa kami berjodoh, bukankah seharusnya dalam mimpi tersebut kami bertemu dengan romantis kemudian menikah?
“Liburan nanti ada acara kemana?”
“Gak kemana-mana,” jawabku seraya merapikan semua perlatan tulisku lalu memasukkannya ke dalam tas.  “Ikut aku, yuk. Liburan ke kampung. Ke rumah nenekku,”
“Males,” jawabku sekenanya.
“Males kau bilang? Tahun lalu ku sudah janji mau ikut. Nyatanya kau ingkar janji. Apa sekarang kau mau ingkar janji lagi? Ya udah, sebaiknya kita gak usah temenan!”
Meta menatapku dengan tajam. Nyaliku langsung ciut.
“I-iya deh,” Jawabku kemudian.
“Nah, gitu dong,” ia tersenyum penuh kemenangan.


           
            Pagi itu aku sengaja mengambil waktu untuk jalan-jalan sendirian mengelilingi kampung. Ketika sampai di sebuah tempat, aku hanya bisa melongo takjub. Astaga, ini luar biasa indah. Hamparan sawah yang menghijau. Bukit-bukit dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Sungai kecil dengan air sebening kristal, ah, aku benar-benar tak rugi datang ke sini. Aku benar-benar tak menyangka bahwa kampung nenek Meta akan sebagus ini!
Belum hilang rasa kagum dengan apa yang ada di sekelilingku, pandanga mataku di buat terpaku pada sebuah jembatan di atas sungai kecil yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Ini __ mirip sekali dengan yang ada dalam mimpiku.
Tanpa sadar, aku melangkahkan kakiku mendekati jembatan tersebut dan ___ sosok itu ada! Seorang cowok jangkung yang berdiri membelakangiku. Apa aku sedang bermimpi lagi?
“Hei,” tanpa sadar aku membuka suara.
Cowok itu berbalik dan menatapku. Deg, aku terhenyak. Sama persis! Sama persis dengan yang ada di dalam mimpiku selama ini! Aku sedang tidak bermimpi ‘kan? Tapi, bagaimana mungkin___?
“Hei,” cowok itu membalas sapaanku lalu tersenyum. Manis sekali.
“Apa kau akan loncat dari sini?” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Cowok itu mengernyitkan dahinya. “Apa?”
“apa kau berniat terjun ke sungai?”
“Terjun ke sungai? Buat __ apa? Aku suka berenang, tapi maaf, untuk hari ini aku lebih suka menikmati pemandangan dari sini,” jawabnya. Aku mendesah lega.
“Syukurlah kalo begitu,” gumamku pelan.
“Apa kau juga akan menikmati pemandangan ini bersama-sama denganku? Kemarilah,” cowok itu menggerakkan tangannya. Aku sedikit ragu. Tapi akhirya, aku melangkahkan kakiku dan berdiri tak jauh darinya.
“Apa kau tinggal di kampung ini?” ia bertanya.
“Tidak. Dan kau, apa kau tinggal di kampung ini?”
“Tidak,”
“Lantas?”
“Nenekku tinggal di sini. Jadi aku datang untuk berlibur dan mengunjunginya. Kalau kau?”
“Aku juga berlibur mengunjungi nenek. Tapi dia bukan nenekku. Dia nenek temanku,”
Cowok itu manggut-manggut. Aku menatapnya sekian detik. Tampan sekali. Iseng aku mencubit lenganku sendiri untuk memastikan bahwa aku sedang tidak bermimpi. Dan, aw, aku merasakan sakit.
“Kau mencubit lenganmu sendiri? Kenapa?”
“Eh, tidak,” jawabku gelagapan.
“Boleh aku tahu namamu?” ia bertanya dengan ramah sambil kembali menatapku dengan dalam. Tatapan matanya begitu teduh. Jantungku berdesir. Ah, aku serasa meleleh.
“Kalo namamu?” aku balik bertanya.
“Yohan,” ia menjawab cepat.
Aku setengah mendelik.
“Yohan? Bukan Yohana?” aku memastikan. Cowok berhidung mancung itu menggeleng.
“Namaku Yohan. Dan kamu?”
Aku tak segera menjawab.
“Kau keberatan memperkenalkan namamu?” ia mengulang pertanyaannya.
“Yohana,” jawabku kemudian.
“Heh?” Ia menatapku heran setengah tak percaya, tepat seperti dugaanku.
“Namamu __ Yohana?” ia seakan membutuhkan penegasan dariku. Aku mengangguk. Sesaat kemudian ia tertawa.
“Yohan dan Yohana. Wah, manis sekali kedengarannya,” ia kembali tertawa renyah. Dia bilang, wah, manis sekali kedengarannya? Aih, entah kenapa aku merasa itu adalah sebuah pujian dan aku sempat ge-er.
“Kau sudah sering ke sini?” cowok bernama Yohan itu kembali bertanya.
“Tidak, ini baru pertama kalinya untukku,” jawabku.
“Oh ya? Aku yakin kau pasti menyukainya. Pemandangan di sini benar-benar menakjubkan luar biasa. Itulah kenapa, aku selalu menyempatkan datang ke sini jika sedang liburan,”
Aku mengangguk.
“Kau benar. Pemandangan di sini benar-benar luar biasa cantik. Aku benar-benar cinta pada tempat ini,” jawabku lagi.
Yohan kembali menatapku dengan dalam hingga membuatku jengah.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” ia bertanya. Aku mengernyitkan dahiku.
“Maksudmu?”
Yohan mengangkat bahu.
“Entahlah, hanya saja, aku serasa pernah bertemu denganmu sebelumnya. Tapi di mana dan kapan, ah, entahlah, mungkin itu hanya perasaanku saja,” Yohan setengah menggumam.
Aku balas menatap cowok tersebut lalu tersenyum.
“kurasa kita belum pernah bertemu sebelumnya,” jawabku.
Yohan manggut-manggut. “Ya, mungkin itu hanya firasatku saja,” ia kembali menggumam.
Aku melirik arlojiku.
“Maaf, aku harus kembali ke rumah temanku,” aku beranjak.
“Apa kita bisa bertemu lagi?” teriakan Yohan membuat langkahku terhenti. Aku kembali berbalik.
“Entahlah, mungkin saja,” jawabku.
“Aku ingin bertemu lagi denganmu. Bagaimana caranya?”
Aku terpaku dengan kalimat yang meluncur dari bibir Yohan. Sesaat kami bertatapan. Dan perlahanpun sederet angka meluncur dari bibirku. Ya, aku memberitahunya nomor telponku!
Yohan tersenyum, begitu pula aku. Ah, entahlah. Jangan tanya tentang hubungan antara mimpiku dengan kejadian hari ini karena akupun tak bisa menjelaskannya. Yang pasti, Yohan benar-benar cowok termanis yang pernah ku kenal selama ini. Dan, hari ini benar-benar menyenangkan!

selesai


10.03.2012




Rabu, 18 Juni 2014

Cerpen "Urut Absen"



            Astuti menatap Prasetyo dengan penuh harap. Lelaki yang telah dipacarinya selama hampir 8 tahun itu hanya terdiam.
“Gimana mas? Mas pras sudah bilang ke orang tua mas tentang rencana pernikahan kita?” Astuti membuka suara. Prasetyo tak segera menjawab. Ia membalas tatapan Astuti lalu menggeleng perlahan.
“Maksud mas?” Astuti bertanya keheranan.
“As, aku sudah bilang pada orang tuaku untuk melamarmu agar kita bisa segera menikah dulu. Tapi...”
“Ditolak lagi?” Astuti memotong dengan cepat. Prasetyo mengangguk lemah hingga membuat perempuan di sampingnya menghela nafas panjang, kecewa.
“As, kumohon mengertilah posisiku. Mengertilah keadaan keluargaku. Aku masih punya 3 kakak laki-laki yang belum menikah dan orang tuaku melarangku untuk mendahului mereka. Kamu sendiri ‘kan tahu, kedua orang tuaku kejawen sekali. Mereka tidak akan mengijinkanku menikah sebelum kakak-kakakku menikah. Intinya, aku nggak boleh ‘nglangkahi’ mereka. Nggak baik katanya,”
Astuti tertawa sinis, tanpa menatap lelaki di sampingnya.
“Nunggu giliran? Maksud mas, urut absen gitu?,”
Prasetyo mengangguk.
“Nunggu sampai kapan, Mas?”
“Aku nggak tau, As. Aku nggak bisa memastikan. Aku mengharapkan pengertianmu, keikhlasanmu untuk menunggu,” Prasetyo meraih tangan Astuti, tapi perempuan itu menyentakkannya. Sekarang ia menatap lelaki itu dengan tatapan tajam.
“Menunggu sampai kapan? 3 tahun? 4 tahun? Atau 5 tahun? Kenapa bukan Mas saja yang mencoba mengerti posisiku? Umurku sudah hampir 30 tahun! Dan kita sudah berpacaran sekian lama, tapi seolah-olah hubungan kita tak beranjak kemana-mana. Aku malu dengan tetanggaku. Apa kata orang-orang nanti tentang aku dan keluargaku. Bisakah mas mengerti posisiku?” Astuti seolah menantang.
“Aku nggak bisa apa-apa, As. Aku nggak mungkin melawan kehendak orang tuaku, aku tak mau kuwalat. Mereka tetap tak akan mengijinkan kita menikah, jika ketiga kakakku belum menikah. Dan aku takkan menikah, tanpa restu dari orang tuaku!” Prasetyo menjawab tak kalah sengit.
Astuti merasakan hatinya remuk redam.
“Oke,” perempuan itu meraih tasnya. “mau kemana kamu?” Prasetyo sempat menarik lengan tangannya.
“Aku muak dengan semua ini, Mas. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri,” ia menepis tangan Prasetyo lalu melangkah meninggalkan lelaki tersebut.
Jujur, Astuti merasa kecewa dan terpukul. Ia tak menyangka perjalanan cintanya akan menemukan batu sandungan yang demikian besar. Batu sandungan yang membuat langkahnya tertatih-tatih dan membuat kepalanya pusing tujuh keliling! Menikah, adat jawa, urut absen, aduh, apa-apaan semua?
Prasetyo dan Astuti memang sama-sama orang Jawa asli. Dan dalam kepercayaan orang jawa, saudara yang lebih tua harus menikah dulu. Dan inilah permasalahannya : urut absen!
Prasetyo anak ragil dari 4 bersaudara. Dan kakak-kakak Prasetyo semuanya masih lajang! Dan jika ia ingin berkeluarga, ia harus menunggu sampai kakak-kakaknya menikah terlebih dahulu. No excuse!
Sementara Astuti sendiri anak sulung dari 2 bersaudara, dan tentu saja keluarganya sendiri menghendaki agar ia segera menikah mengingat umurnya yang tak bisa lagi dikatakan muda.
Selain itu, terkadang timbul perasaan risih pada diri Astuti manakala  teman-temannya (yang hampir semuanya sudah berkeluarga) bertanya padanya kapan ia menikah. Tak jarang pula bapak dan ibunya memberikan nasihat padanya untuk menyudahi  saja hubungannya dengan Prasetyo. Lebih-lebih ketika beberapa hari yang lalu datang seorang pemuda yang merupakan putra dari salah satu teman bapak Astuti, datang padanya dengan maksud meminangnya.
“Nduk, bukannya bapak ndak suka dengan Prasetyo. Jujur, sebenarnya bapak senang sekali dengannya. Dia pemuda yang sopan, baik dan bertanggung jawab. Terus terang, bapak sreg dengannya. Hanya saja, keadaannya berbeda. Kamu pasti tahu apa yang bapak maksudkan. Lagipula, umurmu semakin bertambah. Perempuan ndak baik menikah telat. Bahaya buat kehamilanmu nanti. Bapak juga ngerti banget posisi Prasetyo. Sulit baginya untuk menikahimu jika ketiga kakaknya belum menikah. Bapak juga ndak mau kalo ia mendahului kakak-kakaknya dan menikah tanpa restu orang  tua mereka. Itu ndak baik, nduk..” itu kalimat bapak Astuti yang membuatnya semakin putus asa.
“Jadi, saya harus bagaimana pak?” perempuan itu bertanya lemah.
“Ikhlaskan saja Prasetyo. Barangkali dia memang bukan jodohmu. Lepaskan dia, dan terimalah pinangan Budiman. Bapak tahu ini sulit bagimu. Tapi menurut bapak, ini jalan terbaik untukmu, untuk kalian berdua,”
Astuti terdiam. Pikirannya berkecamuk. Ayahnya benar, ia memang harus membuat keputusan. Apapun itu.
 
gambar dari : http://kemonbaca.blogspot.com/2012/11/puisi-puisi-patah-hati.html
            Prasetyo menatap Astuti dengan tatapan sayu. Dadanya bergetar. Ada semacam rasa sakit di sana, hingga membuat dadanya sesak.
“Astuti, apa tekadmu untuk berpisah denganku sudah bulat?” ia bertanya dengan suara parau. Astuti mengangguk. Bersamaan dengan itu, air matanya menitik.
“Apa kesabaranmu untuk menunggu sudah habis?” Prasetyo kembali bertanya, kali ini dengan suara bergetar. Dan Astuti kembali mengangguk, lemah.
“Aku lelah menunggu, mas. Terlalu lelah. Barangkali ini yang terbaik untuk kita, meski ini menyakitkan,” suara Astuti nyaris tertelan oleh isak tangis. Prasetyo menelan ludah. Dan ... ada kristal-kristal bening di sudut matanya.
“Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Tapi mungkin cinta memang tidak harus di akhiri dengan kebersamaan. Kita akan sama-sama terluka, tapi yakinlah, waktu pasti akan menyembuhkannya. Semoga Mas mengerti dengan keputusanku,” Astuti melanjutkan.
Prasetyo mengangguk-angguk.
“Maafkan aku, As,”
“Aku juga minta maaf ya, Mas,”
“Semoga kau bahagia,”
“Dan semoga kau juga bahagia,”
Keduanya kembali berpandangan. Kristal-kristal bening di sudut mata Prasetyo menitik, dan tangis Astuti pun pecah.
Dan di sore hari yang mendung itu, mereka menghabiskan waktu dengan sama-sama ... menangis!

selesai

Wiwin setyobekti
Nganjuk, Juni 2007

Cerpen "Reuni atau Reuni?"




            Sore itu, tak seperti biasanya, suamiku pulang dengan wajah lesu. Ia bahkan lupa mengucapkan salam. Begitu datang, ia langsung duduk di kursi panjang di ruang tamu tanpa melepas sepatu.
“Ada apa pak? Apa ada masalah di pabrik?” tanyaku khawatir. Suamiku menggeleng.
“Ah, tidak buk. Hanya saja, ini,” lelaki yang telah menjadi suamiku selama 15 tahun itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas bututnya lalu menyodorkannya ke arahku. Aku menerimanya dengan penasaran. Sebuah undangan reuni es-em-a. Dan akupun merasa lega karena tadinya aku sempat mengira bahwa suamiku sedang mengalami hal-hal buruk dengan pekerjaannya.
“dapat undangan reuni kenapa bapak jadi tak bersemangat begini?” tanyaku.
Suamiku tak segera menjawab.
“Ya itu masalahnya. Apa aku harus datang ke reuni tersebut?”
Aku terkekeh mendengar pertanyaan suamiku.
“Bapak ini gimana? Ini ‘kan reuni es-em-a bapak, kenapa bapak bertanya padaku?” aku seakan mengingatkan dirinya bahwa dulu kami tidak satu sekolah. Aku kembali melihat wajah tak bersemangat di dirinya.
Perlahan aku duduk di sampingnya.
“kenapa sih pak?” tanyaku lagi. Kami berpandangan.
“sebenarnya aku senang dengan reuni tersebut. Toh aku juga sudah kangen dengan sahabat-sahabat lamaku semasa es-em-a. Hanya saja  aku malu kalau harus datang ke reuni tersebut,”jawabnya. Aku mengernyitkan dahiku.
“Alasannya?”  
“rata-rata temanku jadi orang sukses semua buk. Ada yang jadi pebisnis, pegawai negeri, guru, tentara, bahkan ada yang jadi pejabat. Ekonomi mereka berkecukupan. Rumah mereka mewah, kendaraan mereka juga mewah. Lha, sementara aku? Aku hanya wiraswasta, buruh pabrik biasa. Kita tinggal di rumah kontrakan. Kendaraan yang kita punya pun hanya sepeda motor. Itupun masih nyicil. Tentu saja, aku malu kalau harus bertemu mereka,” suamiku menjelaskan panjang lebar.
“Reuni ‘kan bukan ajang pamer pak?” aku setengah menyela.
“Ya, bapak juga tahu itu. Tapi, tetap saja aku merasa minder. Coba ibu bayangkan, kita datang ke gedung tempat diselenggarakannya reuni, naik sepeda motor, sedangkan yang lainnya naik mobil mewah, berpakaian bagus, parlente semua, ah jujur bapak malu,”
Aku ingin menyanggah lagi, tapi untuk saat ini, sepertinya percuma. Akhirnya, aku beranjak ke dapur dan mengambilkan suamiku segelas air dingin.
“Kalo begitu, kita nyewa mobil saja pak?” ucapku setelah suamiku selesai menghabiskan segelas air dingin tersebut.
“Maksud ibuk?” ia menatapku keheranan.
“Kita sewa mobil saja. Jadi kita bisa datang ke reuni dengan naik mobil. Kalo ada yang nanya, bilang aja itu mobil kita. Toh gak ada yang tau kalo itu mobil rental. Dengan begitu, bapak bisa di anggap sebagai orang sukses, dan bapak tak malu datang ke reuni tersebut untuk bertemu dengan teman-teman lama bapak,” aku menjelaskan panjang lebar. Sebenarnya aku sedikit ragu mengungkapkan ide gila ini. Tapi aku penasaran dengan reaksi yang diberikan suamiku. Jujur, aku berharap ia menolak! Aku tetap berharap ia masih tetap seperti suamiku yang seperti biasanya. Bersahaja dan apa adanya!
“Maksud ibuk, bapak harus membohongi mereka?” ia bertanya dengan ragu pula.
“Ya, toh mereka tak tahu. Tak ada yang tahu, pak. Kecuali Tuhan,” jawabku.
Suamiku tak menjawab. Terlihat ia juga sedang berpikir keras. Bergulat dengan batinnya sendiri, antara mengiyakan hati nuraninya sendiri ataukah ide sintingku!
Pembicaraan hari itu berakhir begitu saja. Ia tak memberikan tanggapan apa-apa tentang rencanaku ke reuni tersebut. Tapi, tepat pada hari diselenggarakannya reuni tersebut, suamiku mengajakku ikut serta untuk datang ke acara tersebut dan kami ke sana dengan naik sepeda motor!
“Apa adanya saja bu. Kita punya sepeda motor, ya kita ke sana naik ini. Kita tak perlu nambah dosa dengan berkata bohong. Kalo mereka tanya tentang pekerjaanku, ya bapak akan jawab bahwa bapak hanya bekerja sebagai karyawan biasa di pabrik tekstil,” ucapnya. Dan akupun tersenyum lega. Ah, terima kasih Tuhan. Terima kasih karena suamiku masih menjadi orang yang sama. Lelaki jujur, baik hati dan apa adanya, yang bertahun-tahun yang lalu telah membuatku jatuh hati setengah mati!
Ketika kami sampai di acara reuni, kami membaur dengan tamu undangan yang lain. Sepanjang acara, aku tetap bisa melihat senyum yang merekah di bibir suamiku. Ia begitu gembira bertemu dengan teman-temannya. Ia juga begitu antusias menceritakan tentang pekerjaannya. Senyumnya tulus, dan aku tahu itu. Penampilannya memang tidak semewah penampilannya rekan-rekannya. Tapi, dia tetap saja terlihat istimewa. Ah, aku kembali bersyukur pada Tuhan. Thanks God, he is my man! 
dari : http://ikatanalumni96.wordpress.com/2011/06/06/apa-sih-pentingnya-reuni/

            Siang itu, aku menemani salah satu saudara iparku berkeliling kota untuk mencari mobil rental dengan harga murah karena keluarganya akan mengadakan acara ngunduh mantu ke Yogyakarta. Ketika ia sedang asyik tawar menawar dengan pemilik mobil, aku melihat seorang lelaki seumuran suamiku. Aku mengenalnya, ia salah satu teman suamiku yang kemarin ku lihat di acara reuni. Aku ingin menyapanya tapi niat itu urung karena sepertinya ia lupa padaku. Terbukti ketika kami berpapasan, ia tak menyapaku sama sekali. Dan dari pegawai tempat tersebut aku tahu bahwa lelaki itu datang ke sini untuk mengembalikan mobil yang kemarin habis ia sewa. Dan mobil itu yang kemarin ia gunakan untuk datang ke reuni dan ia mengatakan bahwa itu adalah mobilnya!
Wah, aku nyaris saja tertawa. Ternyata ada juga orang seperti itu? Aku menggumam dalam hati.
Ketika aku sampai kembali di rumah, aku tak menceritakan tentang kejadian itu pada suamiku, tidak juga pada siapapun. Itu tak perlu.

selesai..

Catatan:
Cerita ini hanya fiktif belaka, bila ada kesamaan tokoh, tempat dan kejadian, mohon maaf yang sebesar-besarnya. (cieeehhh, kayak sinetron ajah!)


Wiwin setyobekti
Di muat di media Jatim, tapi lupa edisi apa...

Rabu, 11 Juni 2014

De Suhe II part 2 (end)



Hari itu De sudah boleh pulang dari rumah sakit. Ia sedang mengemasi beberapa barang-barang pribadinya ketika Suhe masuk ke dalam kamar, sendirian, tanpa ditemani oleh seorang perawat.
“Bagus tak datang membantu?” Suhe membuka suara.
“tidak. Dia dan rekan-rekanku yang lain sedang sibuk hari ini. Lagipula, tidak banyak barang yang harus kukemasi karena aku sendiripun tak membawa banyak barang,” jawab De.
Suhe membantunya merapikan beberapa barang.
“Jadi, kau akan segera kembali ke Jakarta hari ini?” ia bertanya tanpa melihat ke arah De.
“ya, tapi terlebih dulu aku akan ke hotel sebentar. Masih ada beberapa barangku yang tertinggal di sana dan aku berencana untuk mengambilnya. Setelah itu barulah aku bandara. Aku dapat tiket pesawat jam 5 sore,” ucap De.
“Kau yakin akan pulang hari ini? Apa kau yakin kau akan baik-baik saja dalam perjalananmu ke Jakarta? Jujur, aku mengkhawatirkanmu, De,”
De tersenyum.
“Aku baik-baik saja. Don’t worry, oke?”
“kau__tak berencana mampir ke rumahku dulu?” Suhe bertanya dengan ragu-ragu. Dan itu cukup untuk membuat De terdiam. Perempuan itu tercenung.
Ke rumahmu? Bertemu dengan istrimu? Anak-anakmu? Ah, itu tidak mungkin! Ia menggerutu dalam hati.
“Aku ingin. Tapi, aku harus buru-buru pulang ke Jakarta. Ada begitu banyak pekerjaan yang telah menungguku dan aku harus segera menyelesaikannya. Jika tidak, aku bisa dipecat,” jawab De berbohong karena sebenarnya ia sudah meminta cuti selama seminggu untuk istirahat di rumah.
“Apakah hanya ada pekerjaan dalam hidupmu? Tidakkah kau sadar, kegilaanmu pada pekerjaan telah membuat tubuhmu rentan jatuh sakit?” nada suara Suhe terdengar kesal.
“Ya, hidupku memang hanya untuk bekerja. Dan aku menikmatinya. Kau tak perlu repot-repot mengkhawatirkanku,” jawab De ketus.
Suhe manatapnya, kesal.
 “Mengkhawatirkanmu? Oh, tidak. Aku lupa kalo kau ini De. Wanita tangguh dan keras kepala yang selalu menganggap dirinya kuat,”
“Suhe__”
“Kau bebas melakukan apapun, tapi setidaknya, jangan membuat orang-orang di sekelilingmu repot,”
“Aku tidak berniat membuat orang-orang di sekelilingku repot!”
Keduanya bersitegang.
“Oh ya? Lantas bagaimana dengan Bagus yang harus ke sini bolak balik hanya untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja,”
“Aku tak bisa melarang dia kesini untuk menjengukku ‘kan? Kami berteman. Lagipula apa urusanmu? Aku tak mencampuri urusan pribadimu, jadi kau juga tak punya hak untuk mencampuri urusan pribadiku,”
“Oke, itu bukan urusanku. Yang jelas aku mengkhawatirkanmu, De. Percayalah, terlalu banyak bekerja tidak baik untuk kesehatanmu. Dan aku sudah bilang itu sejak bertahun-tahun yang lalu,”
“aku tahu, terlalu banyak bekerja memang tidak baik untuk diriku. Tapi hanya itulah satu-satunya cara agar aku tidak selalu teringat akan dirimu!!” teriak De. Ia lepas kendali. Hening sesaat.
Suhe membeku. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir De. Perempuan itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Apa maksudmu?” lelaki itu hanya mampu menggumam lirih.
“selama ini aku senantiasa membenamkan diriku dengan banyak pekerjaan dan aktifitas apapun agar aku bisa melupakanmu. Aku ingin sibuk agar aku tak selalu mengingatmu, merindukanmu. Tapi nyatanya, aku gagal, Suhe. Selama ini aku sibuk, tubuhku lelah, tapi tetap saja aku tak mampu mengenyahkanmu dari kepalaku!” Pertahanan De runtuh. Air matanya menitik.
Suhe menatapnya lekat.
“Kau masih mencintaiku?” tanyanya.
“Sayangnya, iya. Jika kau ingin kejujuran, itulah yang sebenarnya. Aku selalu mencintamu, memikirkanmu, merindukanmu. Aku tahu aku tak pantas mengatakan hal-hal seperti ini pada lelaki yang sudah berkeluarga. Hanya saja___”
Kata-kata De terhenti ketika Suhe mendekatinya,  merengkuh tubuhnya lalu mencium bibirnya dengan kasar. Ciuman tak terduga itu sempat membuat nafas De tersengal.
 “Aku sudah bercerai, De,”  desis Suhe di sela-sela nafasnya yang naik turun.
“aku sendirian sekarang,” tambahnya seraya kembali mencium bibir De dengan lembut, hangat dan mesra.

***

            De menerima ajakan Suhe untuk berkunjung ke rumahnya. Suhe menyarankan agar De menginap di rumahnya selama beberapa hari sampai kondisi kesehatannya benar-benar pulih, barulah kemudian ia kembali ke Jakarta. Namun sebelum itu, mereka ke hotel sebentar untuk mengambil barang-barang De yang masih tertinggal di sana.
De memberitahu tahu Bagus bahwa ia akan menginap ke rumah temannya tanpa memberitahu bahwa orang tersebut adalah Suhe.
Hanya perlu waktu sekitar 15 menit untuk sampai di rumah Suhe. Dan De langsung dibuat takjub dengan rumah mungil bercat putih yang berada di atas bukit tersebut. Rumah itu memang tidak semewah rumah Suhe yang pernah ia tempati dahulu. Tapi jika dibandingkan dengan rumah De di jakarta, rumah ini jauh lebih bagus. Berkali-kali bahkan.
Rumah berlantai dua dengan nuansa putih salju, ada taman yang luas di depannya, berisi bermacam-macam bunga yang menyejukkan mata. Dekorasi rumahnya simple, tapi tetap saja sedap di pandang mata. Untuk ukuran Suhe, semua perabot dan furniture di dalam rumah tersebut mungkin terkesan minimalis. Tapi buat De, tetap saja mereka terlihat mewah.
“Ada 5 ruang tidur di rumah ini. 2 di atas dan 3 di bawah. Kau ingin tidur di kamar yang mana?” tanya Suhe.
“Terserah kau saja. Aku bisa tidur di kamar manapun yang kau pilihkan,” jawab De asal-asalan.
“Oh ya? Jika aku yang harus memilih, aku benar-benar akan menempatkanmu di kamarku agar kita bisa tidur satu kamar,” ucap Suhe nakal. De tertawa geli.
“Tidak, jangan yang itu. Aku pasienmu ‘kan? Akan kelihatan aneh kalo pasien dan dokter tidur dalam satu kamar,”
“Ya malah bagus dong. Kau bisa dengan mudah menerima perawatan dariku tanpa harus nunggu karena aku akan siap kapanpun dibutuhkan,”
De kembali tertawa. Begitu pula Suhe.
Akhirnya, De tidur di kamar sebelah kamar Suhe, di lantai dua.
“Aku akan membuatkan minuman untukmu dulu. Kau bebas berkeliling kemana saja yang kau suka. Anggap saja rumah sendiri,” Suhe beranjak meninggalkan De.
De memutuskan untuk menunggu Suhe di balkon lantai dua sambil menikmati pemandangan menakjubkan yang terbentang di depannya. Sawah yang membentang luas, gemericik air dari sungai kecil di samping rumah tersebut, ah, De benar-benar menyukainya.
“aku benar-benar jatuh cinta dengan rumah ini,” tanpa sadar ia menggumam.
“benarkah? Syukurlah, karena kau juga masih jatuh cinta dengan pemiliknya,” Suhe muncul dengan 2 cangkir teh hangat. Setelah meletakkannya di meja ia duduk di samping De. Pipi De segera merona.
“Kau tahu apa yang kupikirkan ketika aku membeli rumah ini?” tanya Suhe. De menggeleng.
“Kau,”
“Aku?”
“Ya, entah kenapa aku berharap bahwa kelak kau-lah yang akan menemaniku di sini, di rumah ini,” ucap Suhe.
 “Kalau begitu, ceritakan tentang semuanya. Tadi kau sudah berjanji untuk menceritakan tentang semuanya padaku ‘kan?”
Suhe terdiam sesaat. Ia menatap De dengan dalam sebelum akhirnya mulai membuka suara lagi.
“pernikahanku dengan rossa hanya bertahan 6 bulan. Di malam pernikahan itu, ia memergoki kita berciuman. Dan mulai sejak itulah, kami sering cekcok,”
“Oh, maafkan aku,”
“Tidak, bukan salahmu, De. Di antara kami memang tidak ada kecocokan. Kami sering ribut bahkan untuk hal-hal sepele. Dan dia selalu membawa-bawa masalah itu jika kami bertengkar. Ah, tidak. Sebenarnya bukan itu masalahnya. Intinya adalah, aku tak pernah bisa untuk mencintainya. Dan itulah yang membuatnya untuk meminta cerai dariku. Dan aku mengabulkannya. Papa dan mamaku tentu marah dengan keputusanku. Tapi aku benar-benar tak punya pilihan lain,” Suhe berhenti sejenak.
“Dan akhirnya, aku memutuskan untuk melakukan apa yang ingin kulakukan. Aku meninggalkan semuanya. Orang tuaku, perusahaan papaku, karirku. Aku mulai berkelana kemanapun yang aku suka. Aku pernah jadi relawan di India, pakistan, Afganistan, dan juga Vietnam. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pindah kesini dan berkarir di sini,”
“Kenapa kau tak memberitahuku segalanya sejak dulu? Kau pasti melewatkan masa-masa sulit sendirian,” desah De.
“Aku ingin, De. Aku ingin sekali kembali ke Indonesia dan menemuimu. Hanya saja, aku takut. Aku takut kau akan menolakku lagi. Aku takut kau sudah punya kekasih atau bahkan sudah menikah. Dan aku takkan sanggup melihatmu menjadi milik orang lain, De. Takkan pernah,” Suhe menatap De dengan lembut, penuh cinta.
“Hari ketika kau dibawa ke rumah sakit, kau nyaris membuatku terkena serangan jantung. Bukan hanya karena aku melihatmu terkulai lemah, tapi juga karena seorang lelaki tengah menggendongmu dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Aku kira dia suamimu, dan aku cemburu bukan main. Tapi akhirnya, aku lega setelah memastikan sendiri bahwa kalian hanya berteman,”
De tersenyum menyaksikan sikap Suhe yang terlihat sedikit kekanak-kanakan.
 “Kau harus tahu bahwa aku telah menolak cinta banyak lelaki hanya karena dirimu,” ucapnya. Suhe hanya tertawa. “Oke, aku percaya itu,” jawabnya.
“Lalu, bagaimana hubunganmu dengan orang tuamu?”
Suhe terdiam sesaat.
“Dulu memang buruk, De. Selama bertahun-tahun kami tak saling kontak. Tapi, beberapa bulan yang lalu ada sebuah kejutan ketika mereka kemari mengunjungiku. Aku bahkan belum pernah mengatakan pada mereka sebelumnya bahwa aku menetap di sini. Mereka tak lagi mempermasalahkan masa lalu dan mereka menghormati semua keputusanku dan langkah apapun yang aku tempuh,” tatapan Suhe menerawang ke bentangan pemandangan yang terukir di hadapannya.
Perlahan De mengangkat tangannya lalu menyentuh wajah lelaki itu dengan lembut hingga membuat ia memalingkan mukan ke arahnya. Dan De semakin leluasa menyentuh rambut, dahi, pipi, tulang rahang, bahkan kumis tipis dan cambang yang sekarang terlihat begitu cocok dengan dirinya.
“Sejak kapan kau memelihara ini?” tanya De.
 “Oh, kumis ini? Entahlah, aku tak ingat sejak kapan aku memilikinya. Kenapa? Kau tak suka? Aku bisa mencukurnya kalo kau menginginkan,”
De menggeleng.
“Tidak, aku menyukainya,” jawab De sedikit malu-malu. Suhe tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya ke arah De lalu mencium bibir perempuan itu dengan lembut.
“Aku sudah berubah, De. Aku bukan lagi Suhe yang dulu. Sekarang aku sudah menjadi orang biasa yang memulai segalanya dari nol dengan keringatku sendiri. Percayalah, sekarang kau bisa mengandalkanku,” bisiknya lembut. Dan ia kembali mencium perempuan tersebut dengan lebih lembut dan mesra. Keduanya berpelukan erat selama sekian menit.
“menikahlah denganku, De. Tinggallah di sini bersamaku dan ayo kita habiskan sisa hidup kita bersama-sama,” ucap Suhe di atas kepala De sambil membelai rambut perempuan tersebut dengan perlahan.
“Di sini? Lalu bagaimana dengan pekerjaanku?” tanya De, tanpa memindahkan dirinya dari pelukan Suhe.
 “Kau bisa mengundurkan diri lalu bekerja di perusahaanku,”
De terhenyak. Ia beringsut menarik dirinya dari pelukan Suhe lalu menatap lelaki tersebut dengan heran.
“Perusahaanmu? Kau juga seorang pebisnis?”
Suhe mengangguk.
“Aku punya perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di  bidang ekspor barang-barang kerajinan khas Bali ke Eropa dan Amerika. Sejauh ini, semua berjalan baik. Aku sudah punya sekitar 100 karyawan. Kantorku berada sekitar 10 km dari hotel tempat kau menginap,” jelasnya.
De terkekeh.
“Astaga, kejutan apa lagi yang akan kau berikan padaku? Kau benar-benar berubah dalam waktu 5 tahun ini,”
Suhe tersenyum.
“percaya atau tidak, semua yang ku lakukan demi dirimu. Aku selalu berangan-angan, andaikan kita bertemu lagi, aku ingin kau melihatku menjadi manusia mandiri yang berhasil dengan kemampuanku sendiri,” jawabnya. Ia meraih tangan De dan menggenggamnya dengan erat. Ia kembali menatap perempuan di hadapannya dengan dalam.
“Menikahlah denganku, De. Aku benar-benar serius ingin menghabiskan seluruh sisa hidupku bersamamu. Ini memang belum lamaran resmi karena aku belum menyiapkan cincin untukmu. Tapi percayalah, jika kau mau, aku bisa menyiapkan segalanya dalam waktu yang cepat,”
De terdiam. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Aku ingin menikahimu, di sini, di Bali, dalam waktu dekat ini. Maukah kau menerimaku?” ucap Suhe lagi dengan lembut.
De mengangguk. Air matanya menitik, namun Suhe segera menghapusnya perlahan dengan jemarinya. Ia menarik nafas lega.
“Tidak, jangan menangis, De. Kecuali kalau kau menangis karena bahagia,” ucapnya lagi.
“Aku bahagia, Suhe. Sangat,” jawab De.
Suhe tersenyum, ia kembali memeluk perempuan yang teramat dicintainya itu dengan erat.
“terima kasih, De. Terima kasih karena kau mau menerimaku. Jadi, kapan kau siap menjadi istriku?”
 “Terserah, kapanpun kau mau, aku siap. Jika mungkin, secepatnya. Aku ingin menikah dalam minggu-minggu ini,”
Suhe tertawa mendengar jawaban De.
“apa kau sudah tak sabar untuk jadi istriku?”
“Jujur saja, iya. Kita bahkan memerlukan waktu lebih dari 10 tahun untuk bersama seperti ini. Jadi, aku benar-benar ingin menikah, secepatnya,” De kembali menegaskan.
“Oke, pikiran kita sama,”
Keduanya berpandangan, mereka tersenyum.
“Aku ingin pernikahan yang sederhana, di hadiri oleh keluarga dan sahabat terdekat saja. Aku tak menghendaki gaun mahal, aku juga tak menghendaki cincin berlian, Bisakah? Yang terpenting adalah kita menikah, itu saja,”ucap De.
Suhe manggut-manggut.
“Baiklah, sayang. Apapun yang kau inginkan. Hari ini beristirahatlah dengan tenang. Nikmati kebersamaan kita di sini. Besok, kita akan mulai bekerja. Aku akan menyuruh orang-orang untuk menyiapkan segalanya. Biar aku yang  tentukan, sabtu depan kita menikah. Bagaimana?”
De tersenyum dan mengangguk.
 “Setuju,” jawabnya.
“Ah, kau benar-benar membuatku bahagia, De,” desis Suhe seraya kembali memeluk perempuan tersebut lebih erat.
De tersenyum. Setelah makan siang nanti, ia berencana mengirim email pada Ita dan memberitahunya bahwa ia bertemu dengan seorang lelaki yang cocok di Bali dan akan menikahinya hari sabtu depan. Tentunya, ia takkan bilang bahwa lelaki itu adalah Suhe.
De kembali tersenyum jika membayangkan betapa kagetnya Ita jika mengetahui dengan matanya sendiri bahwa suaminya adalah lelaki yang selama ini ia cintai setengah mati.
“Aku mencintaimu, De. Dengan sepenuh hatiku,” bisik Suhe sebelum mendaratkan sebuah ciuman hangat dan ringan di bibir De.
“Aku juga,” jawab De.
Keduanya berpandangan, dengan penuh kebahagiaan.



selesai 


Sambikerep-Nganjuk, 20.08.2012
22.52
Selamat Hari Raya Idul Fitri