Hari itu De sudah boleh pulang dari rumah sakit. Ia sedang
mengemasi beberapa barang-barang pribadinya ketika Suhe masuk ke dalam kamar,
sendirian, tanpa ditemani oleh seorang perawat.
“Bagus tak datang membantu?”
Suhe membuka suara.
“tidak. Dia dan rekan-rekanku
yang lain sedang sibuk hari ini. Lagipula, tidak banyak barang yang harus
kukemasi karena aku sendiripun tak membawa banyak barang,” jawab De.
Suhe membantunya merapikan
beberapa barang.
“Jadi, kau akan segera
kembali ke Jakarta hari ini?” ia bertanya tanpa melihat ke arah De.
“ya, tapi terlebih dulu aku
akan ke hotel sebentar. Masih ada beberapa barangku yang tertinggal di sana dan
aku berencana untuk mengambilnya. Setelah itu barulah aku bandara. Aku dapat
tiket pesawat jam 5 sore,” ucap De.
“Kau yakin akan pulang hari
ini? Apa kau yakin kau akan baik-baik saja dalam perjalananmu ke Jakarta?
Jujur, aku mengkhawatirkanmu, De,”
De tersenyum.
“Aku baik-baik saja. Don’t worry, oke?”
“kau__tak berencana mampir ke
rumahku dulu?” Suhe bertanya dengan ragu-ragu. Dan itu cukup untuk membuat De
terdiam. Perempuan itu tercenung.
Ke rumahmu? Bertemu dengan istrimu? Anak-anakmu? Ah,
itu tidak mungkin! Ia menggerutu dalam hati.
“Aku ingin. Tapi, aku harus
buru-buru pulang ke Jakarta. Ada begitu banyak pekerjaan yang telah menungguku
dan aku harus segera menyelesaikannya. Jika tidak, aku bisa dipecat,” jawab De
berbohong karena sebenarnya ia sudah meminta cuti selama seminggu untuk
istirahat di rumah.
“Apakah hanya ada pekerjaan
dalam hidupmu? Tidakkah kau sadar, kegilaanmu pada pekerjaan telah membuat
tubuhmu rentan jatuh sakit?” nada suara Suhe terdengar kesal.
“Ya, hidupku memang hanya
untuk bekerja. Dan aku menikmatinya. Kau tak perlu repot-repot
mengkhawatirkanku,” jawab De ketus.
Suhe manatapnya, kesal.
“Mengkhawatirkanmu? Oh, tidak. Aku lupa kalo
kau ini De. Wanita tangguh dan keras kepala yang selalu menganggap dirinya
kuat,”
“Suhe__”
“Kau bebas melakukan apapun,
tapi setidaknya, jangan membuat orang-orang di sekelilingmu repot,”
“Aku tidak berniat membuat
orang-orang di sekelilingku repot!”
Keduanya bersitegang.
“Oh ya? Lantas bagaimana
dengan Bagus yang harus ke sini bolak balik hanya untuk memastikan bahwa kau
baik-baik saja,”
“Aku tak bisa melarang dia
kesini untuk menjengukku ‘kan? Kami berteman. Lagipula apa urusanmu? Aku tak
mencampuri urusan pribadimu, jadi kau juga tak punya hak untuk mencampuri
urusan pribadiku,”
“Oke, itu bukan urusanku.
Yang jelas aku mengkhawatirkanmu, De. Percayalah, terlalu banyak bekerja tidak
baik untuk kesehatanmu. Dan aku sudah bilang itu sejak bertahun-tahun yang
lalu,”
“aku tahu, terlalu banyak
bekerja memang tidak baik untuk diriku. Tapi hanya itulah satu-satunya cara
agar aku tidak selalu teringat akan dirimu!!” teriak De. Ia lepas kendali.
Hening sesaat.
Suhe membeku. Kalimat itu
meluncur begitu saja dari bibir De. Perempuan itu menatapnya dengan mata
berkaca-kaca.
“Apa maksudmu?” lelaki itu
hanya mampu menggumam lirih.
“selama ini aku senantiasa
membenamkan diriku dengan banyak pekerjaan dan aktifitas apapun agar aku bisa
melupakanmu. Aku ingin sibuk agar aku tak selalu mengingatmu, merindukanmu.
Tapi nyatanya, aku gagal, Suhe. Selama ini aku sibuk, tubuhku lelah, tapi tetap
saja aku tak mampu mengenyahkanmu dari kepalaku!” Pertahanan De runtuh. Air
matanya menitik.
Suhe menatapnya lekat.
“Kau masih mencintaiku?”
tanyanya.
“Sayangnya, iya. Jika kau
ingin kejujuran, itulah yang sebenarnya. Aku selalu mencintamu, memikirkanmu,
merindukanmu. Aku tahu aku tak pantas mengatakan hal-hal seperti ini pada
lelaki yang sudah berkeluarga. Hanya saja___”
Kata-kata De terhenti ketika
Suhe mendekatinya, merengkuh tubuhnya
lalu mencium bibirnya dengan kasar. Ciuman tak terduga itu sempat membuat nafas
De tersengal.
“Aku sudah bercerai, De,” desis Suhe di sela-sela nafasnya yang naik
turun.
“aku sendirian sekarang,”
tambahnya seraya kembali mencium bibir De dengan lembut, hangat dan mesra.
***
De menerima ajakan Suhe untuk berkunjung ke rumahnya.
Suhe menyarankan agar De menginap di rumahnya selama beberapa hari sampai
kondisi kesehatannya benar-benar pulih, barulah kemudian ia kembali ke Jakarta.
Namun sebelum itu, mereka ke hotel sebentar untuk mengambil barang-barang De
yang masih tertinggal di sana.
De memberitahu tahu Bagus
bahwa ia akan menginap ke rumah temannya tanpa memberitahu bahwa orang tersebut
adalah Suhe.
Hanya perlu waktu sekitar 15
menit untuk sampai di rumah Suhe. Dan De langsung dibuat takjub dengan rumah
mungil bercat putih yang berada di atas bukit tersebut. Rumah itu memang tidak
semewah rumah Suhe yang pernah ia tempati dahulu. Tapi jika dibandingkan dengan
rumah De di jakarta, rumah ini jauh lebih bagus. Berkali-kali bahkan.
Rumah berlantai dua dengan
nuansa putih salju, ada taman yang luas di depannya, berisi bermacam-macam
bunga yang menyejukkan mata. Dekorasi rumahnya simple, tapi tetap saja sedap di
pandang mata. Untuk ukuran Suhe, semua perabot dan furniture di dalam rumah
tersebut mungkin terkesan minimalis. Tapi buat De, tetap saja mereka terlihat
mewah.
“Ada 5 ruang tidur di rumah
ini. 2 di atas dan 3 di bawah. Kau ingin tidur di kamar yang mana?” tanya Suhe.
“Terserah kau saja. Aku bisa
tidur di kamar manapun yang kau pilihkan,” jawab De asal-asalan.
“Oh ya? Jika aku yang harus
memilih, aku benar-benar akan menempatkanmu di kamarku agar kita bisa tidur
satu kamar,” ucap Suhe nakal. De tertawa geli.
“Tidak, jangan yang itu. Aku
pasienmu ‘kan? Akan kelihatan aneh kalo pasien dan dokter tidur dalam satu
kamar,”
“Ya malah bagus dong. Kau
bisa dengan mudah menerima perawatan dariku tanpa harus nunggu karena aku akan
siap kapanpun dibutuhkan,”
De kembali tertawa. Begitu
pula Suhe.
Akhirnya, De tidur di kamar
sebelah kamar Suhe, di lantai dua.
“Aku akan membuatkan minuman
untukmu dulu. Kau bebas berkeliling kemana saja yang kau suka. Anggap saja
rumah sendiri,” Suhe beranjak meninggalkan De.
De memutuskan untuk menunggu
Suhe di balkon lantai dua sambil menikmati pemandangan menakjubkan yang terbentang
di depannya. Sawah yang membentang luas, gemericik air dari sungai kecil di
samping rumah tersebut, ah, De benar-benar menyukainya.
“aku benar-benar jatuh cinta
dengan rumah ini,” tanpa sadar ia menggumam.
“benarkah? Syukurlah, karena
kau juga masih jatuh cinta dengan pemiliknya,” Suhe muncul dengan 2 cangkir teh
hangat. Setelah meletakkannya di meja ia duduk di samping De. Pipi De segera
merona.
“Kau tahu apa yang kupikirkan
ketika aku membeli rumah ini?” tanya Suhe. De menggeleng.
“Kau,”
“Aku?”
“Ya, entah kenapa aku
berharap bahwa kelak kau-lah yang akan menemaniku di sini, di rumah ini,” ucap
Suhe.
“Kalau begitu, ceritakan tentang semuanya.
Tadi kau sudah berjanji untuk menceritakan tentang semuanya padaku ‘kan?”
Suhe terdiam sesaat. Ia
menatap De dengan dalam sebelum akhirnya mulai membuka suara lagi.
“pernikahanku dengan rossa
hanya bertahan 6 bulan. Di malam pernikahan itu, ia memergoki kita berciuman.
Dan mulai sejak itulah, kami sering cekcok,”
“Oh, maafkan aku,”
“Tidak, bukan salahmu, De. Di
antara kami memang tidak ada kecocokan. Kami sering ribut bahkan untuk hal-hal
sepele. Dan dia selalu membawa-bawa masalah itu jika kami bertengkar. Ah,
tidak. Sebenarnya bukan itu masalahnya. Intinya adalah, aku tak pernah bisa
untuk mencintainya. Dan itulah yang membuatnya untuk meminta cerai dariku. Dan
aku mengabulkannya. Papa dan mamaku tentu marah dengan keputusanku. Tapi aku
benar-benar tak punya pilihan lain,” Suhe berhenti sejenak.
“Dan akhirnya, aku memutuskan
untuk melakukan apa yang ingin kulakukan. Aku meninggalkan semuanya. Orang
tuaku, perusahaan papaku, karirku. Aku mulai berkelana kemanapun yang aku suka.
Aku pernah jadi relawan di India, pakistan, Afganistan, dan juga Vietnam.
Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pindah kesini dan berkarir di sini,”
“Kenapa kau tak memberitahuku
segalanya sejak dulu? Kau pasti melewatkan masa-masa sulit sendirian,” desah
De.
“Aku ingin, De. Aku ingin
sekali kembali ke Indonesia dan menemuimu. Hanya saja, aku takut. Aku takut kau
akan menolakku lagi. Aku takut kau sudah punya kekasih atau bahkan sudah
menikah. Dan aku takkan sanggup melihatmu menjadi milik orang lain, De. Takkan
pernah,” Suhe menatap De dengan lembut, penuh cinta.
“Hari ketika kau dibawa ke
rumah sakit, kau nyaris membuatku terkena serangan jantung. Bukan hanya karena
aku melihatmu terkulai lemah, tapi juga karena seorang lelaki tengah
menggendongmu dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Aku kira dia suamimu,
dan aku cemburu bukan main. Tapi akhirnya, aku lega setelah memastikan sendiri
bahwa kalian hanya berteman,”
De tersenyum menyaksikan
sikap Suhe yang terlihat sedikit kekanak-kanakan.
“Kau harus tahu bahwa aku telah menolak cinta
banyak lelaki hanya karena dirimu,” ucapnya. Suhe hanya tertawa. “Oke, aku
percaya itu,” jawabnya.
“Lalu, bagaimana hubunganmu
dengan orang tuamu?”
Suhe terdiam sesaat.
“Dulu memang buruk, De.
Selama bertahun-tahun kami tak saling kontak. Tapi, beberapa bulan yang lalu
ada sebuah kejutan ketika mereka kemari mengunjungiku. Aku bahkan belum pernah
mengatakan pada mereka sebelumnya bahwa aku menetap di sini. Mereka tak lagi
mempermasalahkan masa lalu dan mereka menghormati semua keputusanku dan langkah
apapun yang aku tempuh,” tatapan Suhe menerawang ke bentangan pemandangan yang
terukir di hadapannya.
Perlahan De mengangkat tangannya
lalu menyentuh wajah lelaki itu dengan lembut hingga membuat ia memalingkan
mukan ke arahnya. Dan De semakin leluasa menyentuh rambut, dahi, pipi, tulang
rahang, bahkan kumis tipis dan cambang yang sekarang terlihat begitu cocok
dengan dirinya.
“Sejak kapan kau memelihara
ini?” tanya De.
“Oh, kumis ini? Entahlah, aku tak ingat sejak
kapan aku memilikinya. Kenapa? Kau tak suka? Aku bisa mencukurnya kalo kau
menginginkan,”
De menggeleng.
“Tidak, aku menyukainya,”
jawab De sedikit malu-malu. Suhe tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya ke arah De
lalu mencium bibir perempuan itu dengan lembut.
“Aku sudah berubah, De. Aku
bukan lagi Suhe yang dulu. Sekarang aku sudah menjadi orang biasa yang memulai
segalanya dari nol dengan keringatku sendiri. Percayalah, sekarang kau bisa
mengandalkanku,” bisiknya lembut. Dan ia kembali mencium perempuan tersebut
dengan lebih lembut dan mesra. Keduanya berpelukan erat selama sekian menit.
“menikahlah denganku, De.
Tinggallah di sini bersamaku dan ayo kita habiskan sisa hidup kita
bersama-sama,” ucap Suhe di atas kepala De sambil membelai rambut perempuan
tersebut dengan perlahan.
“Di sini? Lalu bagaimana
dengan pekerjaanku?” tanya De, tanpa memindahkan dirinya dari pelukan Suhe.
“Kau bisa mengundurkan diri lalu bekerja di
perusahaanku,”
De terhenyak. Ia beringsut
menarik dirinya dari pelukan Suhe lalu menatap lelaki tersebut dengan heran.
“Perusahaanmu? Kau juga
seorang pebisnis?”
Suhe mengangguk.
“Aku punya perusahaan
kecil-kecilan yang bergerak di bidang
ekspor barang-barang kerajinan khas Bali ke Eropa dan Amerika. Sejauh ini,
semua berjalan baik. Aku sudah punya sekitar 100 karyawan. Kantorku berada
sekitar 10 km dari hotel tempat kau menginap,” jelasnya.
De terkekeh.
“Astaga, kejutan apa lagi
yang akan kau berikan padaku? Kau benar-benar berubah dalam waktu 5 tahun ini,”
Suhe tersenyum.
“percaya atau tidak, semua
yang ku lakukan demi dirimu. Aku selalu berangan-angan, andaikan kita bertemu
lagi, aku ingin kau melihatku menjadi manusia mandiri yang berhasil dengan
kemampuanku sendiri,” jawabnya. Ia meraih tangan De dan menggenggamnya dengan
erat. Ia kembali menatap perempuan di hadapannya dengan dalam.
“Menikahlah denganku, De. Aku
benar-benar serius ingin menghabiskan seluruh sisa hidupku bersamamu. Ini
memang belum lamaran resmi karena aku belum menyiapkan cincin untukmu. Tapi
percayalah, jika kau mau, aku bisa menyiapkan segalanya dalam waktu yang
cepat,”
De terdiam. Kedua matanya
berkaca-kaca.
“Aku ingin menikahimu, di
sini, di Bali, dalam waktu dekat ini. Maukah kau menerimaku?” ucap Suhe lagi
dengan lembut.
De mengangguk. Air matanya
menitik, namun Suhe segera menghapusnya perlahan dengan jemarinya. Ia menarik
nafas lega.
“Tidak, jangan menangis, De.
Kecuali kalau kau menangis karena bahagia,” ucapnya lagi.
“Aku bahagia, Suhe. Sangat,”
jawab De.
Suhe tersenyum, ia kembali
memeluk perempuan yang teramat dicintainya itu dengan erat.
“terima kasih, De. Terima
kasih karena kau mau menerimaku. Jadi, kapan kau siap menjadi istriku?”
“Terserah, kapanpun kau mau, aku siap. Jika
mungkin, secepatnya. Aku ingin menikah dalam minggu-minggu ini,”
Suhe tertawa mendengar
jawaban De.
“apa kau sudah tak sabar
untuk jadi istriku?”
“Jujur saja, iya. Kita bahkan
memerlukan waktu lebih dari 10 tahun untuk bersama seperti ini. Jadi, aku
benar-benar ingin menikah, secepatnya,” De kembali menegaskan.
“Oke, pikiran kita sama,”
Keduanya berpandangan, mereka
tersenyum.
“Aku ingin pernikahan yang
sederhana, di hadiri oleh keluarga dan sahabat terdekat saja. Aku tak menghendaki
gaun mahal, aku juga tak menghendaki cincin berlian, Bisakah? Yang terpenting
adalah kita menikah, itu saja,”ucap De.
Suhe manggut-manggut.
“Baiklah, sayang. Apapun yang
kau inginkan. Hari ini beristirahatlah dengan tenang. Nikmati kebersamaan kita
di sini. Besok, kita akan mulai bekerja. Aku akan menyuruh orang-orang untuk
menyiapkan segalanya. Biar aku yang
tentukan, sabtu depan kita menikah. Bagaimana?”
De tersenyum dan mengangguk.
“Setuju,” jawabnya.
“Ah, kau benar-benar
membuatku bahagia, De,” desis Suhe seraya kembali memeluk perempuan tersebut
lebih erat.
De tersenyum. Setelah makan
siang nanti, ia berencana mengirim email pada Ita dan memberitahunya bahwa ia
bertemu dengan seorang lelaki yang cocok di Bali dan akan menikahinya hari sabtu
depan. Tentunya, ia takkan bilang bahwa lelaki itu adalah Suhe.
De kembali tersenyum jika
membayangkan betapa kagetnya Ita jika mengetahui dengan matanya sendiri bahwa
suaminya adalah lelaki yang selama ini ia cintai setengah mati.
“Aku mencintaimu, De. Dengan
sepenuh hatiku,” bisik Suhe sebelum mendaratkan sebuah ciuman hangat dan ringan
di bibir De.
“Aku juga,” jawab De.
Keduanya berpandangan, dengan
penuh kebahagiaan.
selesai
22.52
Selamat Hari Raya Idul Fitri

Tidak ada komentar:
Posting Komentar