Rabu, 11 Juni 2014

De Suhe II part 2 (end)



Hari itu De sudah boleh pulang dari rumah sakit. Ia sedang mengemasi beberapa barang-barang pribadinya ketika Suhe masuk ke dalam kamar, sendirian, tanpa ditemani oleh seorang perawat.
“Bagus tak datang membantu?” Suhe membuka suara.
“tidak. Dia dan rekan-rekanku yang lain sedang sibuk hari ini. Lagipula, tidak banyak barang yang harus kukemasi karena aku sendiripun tak membawa banyak barang,” jawab De.
Suhe membantunya merapikan beberapa barang.
“Jadi, kau akan segera kembali ke Jakarta hari ini?” ia bertanya tanpa melihat ke arah De.
“ya, tapi terlebih dulu aku akan ke hotel sebentar. Masih ada beberapa barangku yang tertinggal di sana dan aku berencana untuk mengambilnya. Setelah itu barulah aku bandara. Aku dapat tiket pesawat jam 5 sore,” ucap De.
“Kau yakin akan pulang hari ini? Apa kau yakin kau akan baik-baik saja dalam perjalananmu ke Jakarta? Jujur, aku mengkhawatirkanmu, De,”
De tersenyum.
“Aku baik-baik saja. Don’t worry, oke?”
“kau__tak berencana mampir ke rumahku dulu?” Suhe bertanya dengan ragu-ragu. Dan itu cukup untuk membuat De terdiam. Perempuan itu tercenung.
Ke rumahmu? Bertemu dengan istrimu? Anak-anakmu? Ah, itu tidak mungkin! Ia menggerutu dalam hati.
“Aku ingin. Tapi, aku harus buru-buru pulang ke Jakarta. Ada begitu banyak pekerjaan yang telah menungguku dan aku harus segera menyelesaikannya. Jika tidak, aku bisa dipecat,” jawab De berbohong karena sebenarnya ia sudah meminta cuti selama seminggu untuk istirahat di rumah.
“Apakah hanya ada pekerjaan dalam hidupmu? Tidakkah kau sadar, kegilaanmu pada pekerjaan telah membuat tubuhmu rentan jatuh sakit?” nada suara Suhe terdengar kesal.
“Ya, hidupku memang hanya untuk bekerja. Dan aku menikmatinya. Kau tak perlu repot-repot mengkhawatirkanku,” jawab De ketus.
Suhe manatapnya, kesal.
 “Mengkhawatirkanmu? Oh, tidak. Aku lupa kalo kau ini De. Wanita tangguh dan keras kepala yang selalu menganggap dirinya kuat,”
“Suhe__”
“Kau bebas melakukan apapun, tapi setidaknya, jangan membuat orang-orang di sekelilingmu repot,”
“Aku tidak berniat membuat orang-orang di sekelilingku repot!”
Keduanya bersitegang.
“Oh ya? Lantas bagaimana dengan Bagus yang harus ke sini bolak balik hanya untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja,”
“Aku tak bisa melarang dia kesini untuk menjengukku ‘kan? Kami berteman. Lagipula apa urusanmu? Aku tak mencampuri urusan pribadimu, jadi kau juga tak punya hak untuk mencampuri urusan pribadiku,”
“Oke, itu bukan urusanku. Yang jelas aku mengkhawatirkanmu, De. Percayalah, terlalu banyak bekerja tidak baik untuk kesehatanmu. Dan aku sudah bilang itu sejak bertahun-tahun yang lalu,”
“aku tahu, terlalu banyak bekerja memang tidak baik untuk diriku. Tapi hanya itulah satu-satunya cara agar aku tidak selalu teringat akan dirimu!!” teriak De. Ia lepas kendali. Hening sesaat.
Suhe membeku. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir De. Perempuan itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Apa maksudmu?” lelaki itu hanya mampu menggumam lirih.
“selama ini aku senantiasa membenamkan diriku dengan banyak pekerjaan dan aktifitas apapun agar aku bisa melupakanmu. Aku ingin sibuk agar aku tak selalu mengingatmu, merindukanmu. Tapi nyatanya, aku gagal, Suhe. Selama ini aku sibuk, tubuhku lelah, tapi tetap saja aku tak mampu mengenyahkanmu dari kepalaku!” Pertahanan De runtuh. Air matanya menitik.
Suhe menatapnya lekat.
“Kau masih mencintaiku?” tanyanya.
“Sayangnya, iya. Jika kau ingin kejujuran, itulah yang sebenarnya. Aku selalu mencintamu, memikirkanmu, merindukanmu. Aku tahu aku tak pantas mengatakan hal-hal seperti ini pada lelaki yang sudah berkeluarga. Hanya saja___”
Kata-kata De terhenti ketika Suhe mendekatinya,  merengkuh tubuhnya lalu mencium bibirnya dengan kasar. Ciuman tak terduga itu sempat membuat nafas De tersengal.
 “Aku sudah bercerai, De,”  desis Suhe di sela-sela nafasnya yang naik turun.
“aku sendirian sekarang,” tambahnya seraya kembali mencium bibir De dengan lembut, hangat dan mesra.

***

            De menerima ajakan Suhe untuk berkunjung ke rumahnya. Suhe menyarankan agar De menginap di rumahnya selama beberapa hari sampai kondisi kesehatannya benar-benar pulih, barulah kemudian ia kembali ke Jakarta. Namun sebelum itu, mereka ke hotel sebentar untuk mengambil barang-barang De yang masih tertinggal di sana.
De memberitahu tahu Bagus bahwa ia akan menginap ke rumah temannya tanpa memberitahu bahwa orang tersebut adalah Suhe.
Hanya perlu waktu sekitar 15 menit untuk sampai di rumah Suhe. Dan De langsung dibuat takjub dengan rumah mungil bercat putih yang berada di atas bukit tersebut. Rumah itu memang tidak semewah rumah Suhe yang pernah ia tempati dahulu. Tapi jika dibandingkan dengan rumah De di jakarta, rumah ini jauh lebih bagus. Berkali-kali bahkan.
Rumah berlantai dua dengan nuansa putih salju, ada taman yang luas di depannya, berisi bermacam-macam bunga yang menyejukkan mata. Dekorasi rumahnya simple, tapi tetap saja sedap di pandang mata. Untuk ukuran Suhe, semua perabot dan furniture di dalam rumah tersebut mungkin terkesan minimalis. Tapi buat De, tetap saja mereka terlihat mewah.
“Ada 5 ruang tidur di rumah ini. 2 di atas dan 3 di bawah. Kau ingin tidur di kamar yang mana?” tanya Suhe.
“Terserah kau saja. Aku bisa tidur di kamar manapun yang kau pilihkan,” jawab De asal-asalan.
“Oh ya? Jika aku yang harus memilih, aku benar-benar akan menempatkanmu di kamarku agar kita bisa tidur satu kamar,” ucap Suhe nakal. De tertawa geli.
“Tidak, jangan yang itu. Aku pasienmu ‘kan? Akan kelihatan aneh kalo pasien dan dokter tidur dalam satu kamar,”
“Ya malah bagus dong. Kau bisa dengan mudah menerima perawatan dariku tanpa harus nunggu karena aku akan siap kapanpun dibutuhkan,”
De kembali tertawa. Begitu pula Suhe.
Akhirnya, De tidur di kamar sebelah kamar Suhe, di lantai dua.
“Aku akan membuatkan minuman untukmu dulu. Kau bebas berkeliling kemana saja yang kau suka. Anggap saja rumah sendiri,” Suhe beranjak meninggalkan De.
De memutuskan untuk menunggu Suhe di balkon lantai dua sambil menikmati pemandangan menakjubkan yang terbentang di depannya. Sawah yang membentang luas, gemericik air dari sungai kecil di samping rumah tersebut, ah, De benar-benar menyukainya.
“aku benar-benar jatuh cinta dengan rumah ini,” tanpa sadar ia menggumam.
“benarkah? Syukurlah, karena kau juga masih jatuh cinta dengan pemiliknya,” Suhe muncul dengan 2 cangkir teh hangat. Setelah meletakkannya di meja ia duduk di samping De. Pipi De segera merona.
“Kau tahu apa yang kupikirkan ketika aku membeli rumah ini?” tanya Suhe. De menggeleng.
“Kau,”
“Aku?”
“Ya, entah kenapa aku berharap bahwa kelak kau-lah yang akan menemaniku di sini, di rumah ini,” ucap Suhe.
 “Kalau begitu, ceritakan tentang semuanya. Tadi kau sudah berjanji untuk menceritakan tentang semuanya padaku ‘kan?”
Suhe terdiam sesaat. Ia menatap De dengan dalam sebelum akhirnya mulai membuka suara lagi.
“pernikahanku dengan rossa hanya bertahan 6 bulan. Di malam pernikahan itu, ia memergoki kita berciuman. Dan mulai sejak itulah, kami sering cekcok,”
“Oh, maafkan aku,”
“Tidak, bukan salahmu, De. Di antara kami memang tidak ada kecocokan. Kami sering ribut bahkan untuk hal-hal sepele. Dan dia selalu membawa-bawa masalah itu jika kami bertengkar. Ah, tidak. Sebenarnya bukan itu masalahnya. Intinya adalah, aku tak pernah bisa untuk mencintainya. Dan itulah yang membuatnya untuk meminta cerai dariku. Dan aku mengabulkannya. Papa dan mamaku tentu marah dengan keputusanku. Tapi aku benar-benar tak punya pilihan lain,” Suhe berhenti sejenak.
“Dan akhirnya, aku memutuskan untuk melakukan apa yang ingin kulakukan. Aku meninggalkan semuanya. Orang tuaku, perusahaan papaku, karirku. Aku mulai berkelana kemanapun yang aku suka. Aku pernah jadi relawan di India, pakistan, Afganistan, dan juga Vietnam. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pindah kesini dan berkarir di sini,”
“Kenapa kau tak memberitahuku segalanya sejak dulu? Kau pasti melewatkan masa-masa sulit sendirian,” desah De.
“Aku ingin, De. Aku ingin sekali kembali ke Indonesia dan menemuimu. Hanya saja, aku takut. Aku takut kau akan menolakku lagi. Aku takut kau sudah punya kekasih atau bahkan sudah menikah. Dan aku takkan sanggup melihatmu menjadi milik orang lain, De. Takkan pernah,” Suhe menatap De dengan lembut, penuh cinta.
“Hari ketika kau dibawa ke rumah sakit, kau nyaris membuatku terkena serangan jantung. Bukan hanya karena aku melihatmu terkulai lemah, tapi juga karena seorang lelaki tengah menggendongmu dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Aku kira dia suamimu, dan aku cemburu bukan main. Tapi akhirnya, aku lega setelah memastikan sendiri bahwa kalian hanya berteman,”
De tersenyum menyaksikan sikap Suhe yang terlihat sedikit kekanak-kanakan.
 “Kau harus tahu bahwa aku telah menolak cinta banyak lelaki hanya karena dirimu,” ucapnya. Suhe hanya tertawa. “Oke, aku percaya itu,” jawabnya.
“Lalu, bagaimana hubunganmu dengan orang tuamu?”
Suhe terdiam sesaat.
“Dulu memang buruk, De. Selama bertahun-tahun kami tak saling kontak. Tapi, beberapa bulan yang lalu ada sebuah kejutan ketika mereka kemari mengunjungiku. Aku bahkan belum pernah mengatakan pada mereka sebelumnya bahwa aku menetap di sini. Mereka tak lagi mempermasalahkan masa lalu dan mereka menghormati semua keputusanku dan langkah apapun yang aku tempuh,” tatapan Suhe menerawang ke bentangan pemandangan yang terukir di hadapannya.
Perlahan De mengangkat tangannya lalu menyentuh wajah lelaki itu dengan lembut hingga membuat ia memalingkan mukan ke arahnya. Dan De semakin leluasa menyentuh rambut, dahi, pipi, tulang rahang, bahkan kumis tipis dan cambang yang sekarang terlihat begitu cocok dengan dirinya.
“Sejak kapan kau memelihara ini?” tanya De.
 “Oh, kumis ini? Entahlah, aku tak ingat sejak kapan aku memilikinya. Kenapa? Kau tak suka? Aku bisa mencukurnya kalo kau menginginkan,”
De menggeleng.
“Tidak, aku menyukainya,” jawab De sedikit malu-malu. Suhe tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya ke arah De lalu mencium bibir perempuan itu dengan lembut.
“Aku sudah berubah, De. Aku bukan lagi Suhe yang dulu. Sekarang aku sudah menjadi orang biasa yang memulai segalanya dari nol dengan keringatku sendiri. Percayalah, sekarang kau bisa mengandalkanku,” bisiknya lembut. Dan ia kembali mencium perempuan tersebut dengan lebih lembut dan mesra. Keduanya berpelukan erat selama sekian menit.
“menikahlah denganku, De. Tinggallah di sini bersamaku dan ayo kita habiskan sisa hidup kita bersama-sama,” ucap Suhe di atas kepala De sambil membelai rambut perempuan tersebut dengan perlahan.
“Di sini? Lalu bagaimana dengan pekerjaanku?” tanya De, tanpa memindahkan dirinya dari pelukan Suhe.
 “Kau bisa mengundurkan diri lalu bekerja di perusahaanku,”
De terhenyak. Ia beringsut menarik dirinya dari pelukan Suhe lalu menatap lelaki tersebut dengan heran.
“Perusahaanmu? Kau juga seorang pebisnis?”
Suhe mengangguk.
“Aku punya perusahaan kecil-kecilan yang bergerak di  bidang ekspor barang-barang kerajinan khas Bali ke Eropa dan Amerika. Sejauh ini, semua berjalan baik. Aku sudah punya sekitar 100 karyawan. Kantorku berada sekitar 10 km dari hotel tempat kau menginap,” jelasnya.
De terkekeh.
“Astaga, kejutan apa lagi yang akan kau berikan padaku? Kau benar-benar berubah dalam waktu 5 tahun ini,”
Suhe tersenyum.
“percaya atau tidak, semua yang ku lakukan demi dirimu. Aku selalu berangan-angan, andaikan kita bertemu lagi, aku ingin kau melihatku menjadi manusia mandiri yang berhasil dengan kemampuanku sendiri,” jawabnya. Ia meraih tangan De dan menggenggamnya dengan erat. Ia kembali menatap perempuan di hadapannya dengan dalam.
“Menikahlah denganku, De. Aku benar-benar serius ingin menghabiskan seluruh sisa hidupku bersamamu. Ini memang belum lamaran resmi karena aku belum menyiapkan cincin untukmu. Tapi percayalah, jika kau mau, aku bisa menyiapkan segalanya dalam waktu yang cepat,”
De terdiam. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Aku ingin menikahimu, di sini, di Bali, dalam waktu dekat ini. Maukah kau menerimaku?” ucap Suhe lagi dengan lembut.
De mengangguk. Air matanya menitik, namun Suhe segera menghapusnya perlahan dengan jemarinya. Ia menarik nafas lega.
“Tidak, jangan menangis, De. Kecuali kalau kau menangis karena bahagia,” ucapnya lagi.
“Aku bahagia, Suhe. Sangat,” jawab De.
Suhe tersenyum, ia kembali memeluk perempuan yang teramat dicintainya itu dengan erat.
“terima kasih, De. Terima kasih karena kau mau menerimaku. Jadi, kapan kau siap menjadi istriku?”
 “Terserah, kapanpun kau mau, aku siap. Jika mungkin, secepatnya. Aku ingin menikah dalam minggu-minggu ini,”
Suhe tertawa mendengar jawaban De.
“apa kau sudah tak sabar untuk jadi istriku?”
“Jujur saja, iya. Kita bahkan memerlukan waktu lebih dari 10 tahun untuk bersama seperti ini. Jadi, aku benar-benar ingin menikah, secepatnya,” De kembali menegaskan.
“Oke, pikiran kita sama,”
Keduanya berpandangan, mereka tersenyum.
“Aku ingin pernikahan yang sederhana, di hadiri oleh keluarga dan sahabat terdekat saja. Aku tak menghendaki gaun mahal, aku juga tak menghendaki cincin berlian, Bisakah? Yang terpenting adalah kita menikah, itu saja,”ucap De.
Suhe manggut-manggut.
“Baiklah, sayang. Apapun yang kau inginkan. Hari ini beristirahatlah dengan tenang. Nikmati kebersamaan kita di sini. Besok, kita akan mulai bekerja. Aku akan menyuruh orang-orang untuk menyiapkan segalanya. Biar aku yang  tentukan, sabtu depan kita menikah. Bagaimana?”
De tersenyum dan mengangguk.
 “Setuju,” jawabnya.
“Ah, kau benar-benar membuatku bahagia, De,” desis Suhe seraya kembali memeluk perempuan tersebut lebih erat.
De tersenyum. Setelah makan siang nanti, ia berencana mengirim email pada Ita dan memberitahunya bahwa ia bertemu dengan seorang lelaki yang cocok di Bali dan akan menikahinya hari sabtu depan. Tentunya, ia takkan bilang bahwa lelaki itu adalah Suhe.
De kembali tersenyum jika membayangkan betapa kagetnya Ita jika mengetahui dengan matanya sendiri bahwa suaminya adalah lelaki yang selama ini ia cintai setengah mati.
“Aku mencintaimu, De. Dengan sepenuh hatiku,” bisik Suhe sebelum mendaratkan sebuah ciuman hangat dan ringan di bibir De.
“Aku juga,” jawab De.
Keduanya berpandangan, dengan penuh kebahagiaan.



selesai 


Sambikerep-Nganjuk, 20.08.2012
22.52
Selamat Hari Raya Idul Fitri



Tidak ada komentar:

Posting Komentar