Namaku Mimin Nyamintuk
Pesta perpisahan kelas tiga berlangsung
dengan meriah. Semua siswa larut dalam acara. Perasaan kami campur aduk. Seneng
karena sudah lulus, sedih karena kami harus berpisah dengan sahabat-sahabat
kami dan kenangan-kenangan kami selama di es-em-a. Sebentar-sebentar kami
ketawa ketiwi, sekian menit kemudian kami menangis sesenggukan, saling
berpelukan. Ampun deh, ini kayak naik roller coaster... Perasaan kami naik
turun, nggak menentu, berdebar-debar. Seneng, sedih, takut, campur aduk..
“Mimin
mana?” aku bertanya sambil celingukan ketika kusadari salah satu sahabat
terbaikku itu tak nampak batang hidungnya. Panggung perpisahan kembali
membahana ketika giliran dari anak-anak musik tampil membawakan lagu rock..
“Nyariin Mimin ya?!” Rike berteriak di
dekat telingaku karena suaranya jelas kalah dengan sound system. Suara musik
makin menghentak di hadapan kami. Aku hanya mengangguk.
“Di-sana,” cewek berambut keriting itu
menunjuk kantin dengan telunjuknya. Aku kembali mengangguk. Lalu dengan
beringsut perlahan, aku meninggalkan temen-temenku yang asyik menikmati musik
rock, lalu beranjak menuju kantin. Dan Rike benar. Mimin ada di sana. Di depan
mejanya tampak sudah ada 2 mangkok bakso yang sudah kosong, dan dia sendiri
terlihat asyik menyantap bakso- mangkok ke 3 nya – dengan lahap.
Astaga, nih anak makannya banyak, tapi
badannya tetep aja kerempeng!
“emang kamu tadi nggak kebagian konsumsi
ya? Sampai harus nyari makan tambahan di sini?” aku duduk di sampingnya. Mimin cuma
nyengir.
“Kebagian sih, tapi sekarang lapar lagi.
Lagian, besok-besok aku dah nggak bisa merasakan bakso kantin kita lagi. So,
dipuas-puasin deh makannya,” jawabnya lagi, dengan mulut penuh pentol bakso.
Aku cuma mencibir.
“Aku sudah membeli tiket kereta untuk kita
berdua. Besok kita berangkat ke Surabaya jam 8 pagi,” aku melanjutkan kembali.
Mimin manggut-manggut. Besok kami memang berencana ke Surabaya untuk mengikuti
pendaftaran di sebuah universitas di Surabaya. Kami sepakat melanjutkan
pendidikan ke bangku kuliah dan kami sama-sama pengen jadi guru. Itu adalah
rencana kami sejak bertahun-tahun yang lalu...
Tapi, semua berantakan ketika sore
harinya Mimin berkunjung ke rumahku dan mengatakan bahwa ia berniat membatalkan
rencananya untuk kuliah. Sungguh pengakuan yang menohok jantungku!
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Aku sudah daftar jadi TKI. Lusa aku
berangkat ke Jakarta,” ia menjawabnya dengan enteng tanpa dosa.
Ke Jakarta? Ia bahkan tak memberitahuku
sebelumnya!
“Kenapa kau berubah pikiran? Bukankah
kita sepakat untuk kuliah di tempat yang sama, dan sama-sama pula menjadi
guru,”
“Aku nggak bisa, Ta. Aku nggak punya
cukup biaya untuk kuliah. Jadi, aku harus bekerja. Dan aku memutuskan untuk
menjadi ke TKI ke Hongkong,” jawabnya lagi. Aku mencibir sinis.
“Kamu pasti bohong, Min. Keluargamu
memang tidak kaya, tapi aku tahu mereka sanggup membiayai kuliahmu. Carilah
alasan yang lebih logis. Aku sahabatmu sejak kecil, dan kau takkan bisa
membohongiku,” ucapku tajam.
Mimin tak segera menjawab.
“Aku malu dengan namaku,” ucapnya
kemudian dengan lirih. Aku membeliak.
“Apa?”
“Aku malu dengan namaku. Mimin
Nyamintuk. Itu nama yang sangat aneh buatku,”
“Tapi itu adalah nama pemberian orang
tuamu?”
“Iya, aku tahu. Tapi coba deh kamu
pikir. Kalo saja aku jadi guru, pasti murid-muridku akan memanggilku dengan
cekikikan, bu mintuk, bu mintuk. Itu memalukan sekali,”
Aku menatapnya, tak habis pikir.
“Min, bukankah selama ini kamu baik-baik
saja dengan namamu. Kenapa sekarang kamu baru mempermasalahkannya? Apa ada
aturan yang melarang guru punya nama ‘Mintuk’?”
“Kamu nggak nggerti, Ta. Namamu bagus,
kamu pasti nggak bisa ngerti dengan penderitaanku. Pokoknya aku nggak sanggup
kalo harus jadi guru dengan nama seperti ini. Aku juga nggak sanggup dengan
profesi lain. Satu-satunya cara, aku ingin melarikan diri dari negara ini. Aku
ingin berada di suatu tempat yang tidak menganggap nama ini adalah nama yang
aneh dan lucu,”
“Aku tidak menganggap namamu aneh
ataupun lucu. Itu hanya perasaanmu saja,” bantahku.
“Iya buat kamu. Tapi bagi orang lain?”
Aku mendesah kesal.
“Aku nggak ngerti dengan jalan
pikiranmu, Min. Ayolah, ini hanya masalah nama. It’s not a big deal! Sejak kapan nama bisa menjadi penghalang bagi
seseorang untuk meraih cita-citanya?”
“Not
big deal katamu?” Mimin terdengar emosi.
“iya, ini hanya masalah nama. It’s not big deal, puas? Toh kamu bukan
satu-satunya manusia di muka bumi ini yang punya nama yang nggak sesuai dengan
keinginannya,”
Kami bersitegang.
“Kamu nggak ngerti, Ta,” ia kembali
menuduhku. Aku mendengus.
“Ya, dan aku juga nggak bisa ngerti
jalan pikiranmu. Dimana Mimin yang selama ini ku kenal? Mimin yang cuek, yang
apa adanya, yang tegar?”
Mimin bangkit.
“Anggap aja Mimin itu sudah nggak ada.
Lusa aku ke Jakarta. Dan nggak ada seseorang pun yang mampu mencegahku untuk
berangkat ke Hongkong,” ia beranjak, meninggalkanku, dalam diam.
Dan itu adalah terakhir kalinya aku
bertemu dengannya. Ia tetap berangkat ke Hongkong sebagai TKI. Kami berpisah
dalam marah. Ia marah padaku karena menganggap aku tak mengerti posisinya. Dan
aku marah padanya karena menganggap dia adalah pengkhianat! Ia ingkar janji
padaku. Janji untuk kuliah di kota yang sama, di universitas yang sama,
fakultas yang sama, jurusan yang sama, dia ingkar semuanya!
Well, aku tetap kuliah di jurusan
keguruan. Tapi tidak di Surabaya, tidak di Universitas itu. Bagiku, Mimin
tidak, aku juga tidak!
Dan aku tak
berkomunikasi dengannya selama hampir 5 tahun.
Tapi, siang itu sepulang mengajar, aku dibuat terkejut dengan
kedatangannya ke rumahku. Mimin Nyamintuk yang menghilang 5 tahun lalu telah
berubah. Ia makin cantik. Baju yang ia kenakan lebih berwibawa dan bersahaja.
Aku sempat pangling sesaat, walaupun akhirnya aku dengan cepat mampu
mengenalinya.
“Ni
hao ma? (Apa kabar?)” Ia menyapa dengan bahasa mandarian. Karena tak tahu
jawabannya, aku menjawabnya dengan bahasa inggris. “Pretty well,” jawabku. Dan
kami tertawa bersama-sama. seolah-olah amarah di antara kami mencair seketika.
“Apa ini artinya hubungan kita sudah
membaik?” ia bertanya. Aku kembali tertawa.
“Kita selalu baik-baik saja, Min,” aku
merentangkan tanganku lalu memeluknya. Kami sempat sesenggukan sesaat,
menangis..
Kami duduk di kursi yang berada di teras
rumah. Kami bahkan tak sempat masuk ke rumah karena terlalu antusias untuk
bercerita satu sama lain.
“Jadi, sekarang kau sudah jadi guru?” ia
bertanya.
Aku mengangguk.
“Maaf, aku tak bermaksud mengkhianatimu.
Aku tetap kuliah jadi guru, hanya saja tidak di tempat yang kita impikan,”
jawabku. Mimin manggut-manggut.
“Aku senang mendengarnya. Maaf kalo aku
harus mengingkarinya, mengingkari perjanjian kita untuk kuliah di tempat yang
sama, universitas yang sama, fakultas yang sama ..”
“Sudahlah, tak perlu di bahas. Itu sudah
berlalu, dan nggak ada gunanya di omongin lagi. Intinya, sekarang kita sudah
berbaikan, oke?”
Mimin mengangguk.
“Jadi, bagaimana kabarmu di Hongkong?”
“Baik-baik saja. Semunya menyenangkan,”
“Banyak uang dong sekarang?”
“Alhamdulillah,” jawabnya dengan senyum
lebar.
“Kau berniat kembali lagi ke Hongkong?”
Ia menggeleng.
“Petualanganku sudah cukup. Aku ingin
kembali ke sini, selamanya,” jawabnya.
“Dan, apakah kau berganti nama
sekarang?”
Mimin tertawa. Ia menggeleng.
“Tidak, namaku sudah bagus. Orang tuaku
memberikannya dengan penuh kasih sayang. Dan untuk apa aku harus mengubahnya?
Kau benar, Ta. Ini hanya masalah nama. It’s
not big deal. Bertahun-tahun ini aku merenung, dan aku sadar bahwa, aku
memang salah karena menghina namaku sendiri. Sekarang, aku baik-baik saja. Jika
ada yang menanyakan namaku, dengan bangga akan ku jawab : namaku Mimin
Nyamintuk,” ucapnya.
Aku tersenyum terharu.
“Dan, aku ingin menepati janjiku padamu.
Itupun jika tidak terlambat,”
“Apa?”
“Aku ingin kuliah. Di keguruan. Aku
ingin jadi guru,” jawabnya.
Aku merasakan air mataku menitik.
“Tidak ada kata terlambat untuk menuntut
ilmu,” jawabku seraya kembali memeluknya.
Aku mengucap syukur pada Tuhan karena
telah mengembalikan salah satu sahabat terbaikku ...
Selesai.
Nganjuk, 2004
Wiwin Setyobekti

Tidak ada komentar:
Posting Komentar