Selasa, 03 Juni 2014

Cerpen "Namaku Mimin Nyamintuk"



Namaku Mimin Nyamintuk

Pesta perpisahan kelas tiga berlangsung dengan meriah. Semua siswa larut dalam acara. Perasaan kami campur aduk. Seneng karena sudah lulus, sedih karena kami harus berpisah dengan sahabat-sahabat kami dan kenangan-kenangan kami selama di es-em-a. Sebentar-sebentar kami ketawa ketiwi, sekian menit kemudian kami menangis sesenggukan, saling berpelukan. Ampun deh, ini kayak naik roller coaster... Perasaan kami naik turun, nggak menentu, berdebar-debar. Seneng, sedih, takut, campur aduk..
“Mimin mana?” aku bertanya sambil celingukan ketika kusadari salah satu sahabat terbaikku itu tak nampak batang hidungnya. Panggung perpisahan kembali membahana ketika giliran dari anak-anak musik tampil membawakan lagu rock..
“Nyariin Mimin ya?!” Rike berteriak di dekat telingaku karena suaranya jelas kalah dengan sound system. Suara musik makin menghentak di hadapan kami. Aku hanya mengangguk.
“Di-sana,” cewek berambut keriting itu menunjuk kantin dengan telunjuknya. Aku kembali mengangguk. Lalu dengan beringsut perlahan, aku meninggalkan temen-temenku yang asyik menikmati musik rock, lalu beranjak menuju kantin. Dan Rike benar. Mimin ada di sana. Di depan mejanya tampak sudah ada 2 mangkok bakso yang sudah kosong, dan dia sendiri terlihat asyik menyantap bakso- mangkok ke 3 nya – dengan lahap.
Astaga, nih anak makannya banyak, tapi badannya tetep aja kerempeng!
“emang kamu tadi nggak kebagian konsumsi ya? Sampai harus nyari makan tambahan di sini?” aku duduk di sampingnya. Mimin cuma nyengir.
“Kebagian sih, tapi sekarang lapar lagi. Lagian, besok-besok aku dah nggak bisa merasakan bakso kantin kita lagi. So, dipuas-puasin deh makannya,” jawabnya lagi, dengan mulut penuh pentol bakso.
Aku cuma mencibir.
“Aku sudah membeli tiket kereta untuk kita berdua. Besok kita berangkat ke Surabaya jam 8 pagi,” aku melanjutkan kembali. Mimin manggut-manggut. Besok kami memang berencana ke Surabaya untuk mengikuti pendaftaran di sebuah universitas di Surabaya. Kami sepakat melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah dan kami sama-sama pengen jadi guru. Itu adalah rencana kami sejak bertahun-tahun yang lalu...
Tapi, semua berantakan ketika sore harinya Mimin berkunjung ke rumahku dan mengatakan bahwa ia berniat membatalkan rencananya untuk kuliah. Sungguh pengakuan yang menohok jantungku!
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Aku sudah daftar jadi TKI. Lusa aku berangkat ke Jakarta,” ia menjawabnya dengan enteng tanpa dosa.
Ke Jakarta? Ia bahkan tak memberitahuku sebelumnya!
“Kenapa kau berubah pikiran? Bukankah kita sepakat untuk kuliah di tempat yang sama, dan sama-sama pula menjadi guru,”
“Aku nggak bisa, Ta. Aku nggak punya cukup biaya untuk kuliah. Jadi, aku harus bekerja. Dan aku memutuskan untuk menjadi ke TKI ke Hongkong,” jawabnya lagi. Aku mencibir sinis.
“Kamu pasti bohong, Min. Keluargamu memang tidak kaya, tapi aku tahu mereka sanggup membiayai kuliahmu. Carilah alasan yang lebih logis. Aku sahabatmu sejak kecil, dan kau takkan bisa membohongiku,” ucapku tajam.
Mimin tak segera menjawab.
“Aku malu dengan namaku,” ucapnya kemudian dengan lirih. Aku membeliak.
“Apa?”
“Aku malu dengan namaku. Mimin Nyamintuk. Itu nama yang sangat aneh buatku,”
“Tapi itu adalah nama pemberian orang tuamu?”
“Iya, aku tahu. Tapi coba deh kamu pikir. Kalo saja aku jadi guru, pasti murid-muridku akan memanggilku dengan cekikikan, bu mintuk, bu mintuk. Itu memalukan sekali,”
Aku menatapnya, tak habis pikir.
“Min, bukankah selama ini kamu baik-baik saja dengan namamu. Kenapa sekarang kamu baru mempermasalahkannya? Apa ada aturan yang melarang guru punya nama ‘Mintuk’?”
“Kamu nggak nggerti, Ta. Namamu bagus, kamu pasti nggak bisa ngerti dengan penderitaanku. Pokoknya aku nggak sanggup kalo harus jadi guru dengan nama seperti ini. Aku juga nggak sanggup dengan profesi lain. Satu-satunya cara, aku ingin melarikan diri dari negara ini. Aku ingin berada di suatu tempat yang tidak menganggap nama ini adalah nama yang aneh dan lucu,”
“Aku tidak menganggap namamu aneh ataupun lucu. Itu hanya perasaanmu saja,” bantahku.
“Iya buat kamu. Tapi bagi orang lain?”
Aku mendesah kesal.
“Aku nggak ngerti dengan jalan pikiranmu, Min. Ayolah, ini hanya masalah nama. It’s not a big deal! Sejak kapan nama bisa menjadi penghalang bagi seseorang untuk meraih cita-citanya?”
Not big deal katamu?” Mimin terdengar emosi.
“iya, ini hanya masalah nama. It’s not big deal, puas? Toh kamu bukan satu-satunya manusia di muka bumi ini yang punya nama yang nggak sesuai dengan keinginannya,”
Kami bersitegang.
“Kamu nggak ngerti, Ta,” ia kembali menuduhku. Aku mendengus.
“Ya, dan aku juga nggak bisa ngerti jalan pikiranmu. Dimana Mimin yang selama ini ku kenal? Mimin yang cuek, yang apa adanya, yang tegar?”
Mimin bangkit.
“Anggap aja Mimin itu sudah nggak ada. Lusa aku ke Jakarta. Dan nggak ada seseorang pun yang mampu mencegahku untuk berangkat ke Hongkong,” ia beranjak, meninggalkanku, dalam diam.
Dan itu adalah terakhir kalinya aku bertemu dengannya. Ia tetap berangkat ke Hongkong sebagai TKI. Kami berpisah dalam marah. Ia marah padaku karena menganggap aku tak mengerti posisinya. Dan aku marah padanya karena menganggap dia adalah pengkhianat! Ia ingkar janji padaku. Janji untuk kuliah di kota yang sama, di universitas yang sama, fakultas yang sama, jurusan yang sama, dia ingkar semuanya!
Well, aku tetap kuliah di jurusan keguruan. Tapi tidak di Surabaya, tidak di Universitas itu. Bagiku, Mimin tidak, aku juga tidak!

Dan aku tak berkomunikasi dengannya selama hampir 5 tahun.  Tapi, siang itu sepulang mengajar, aku dibuat terkejut dengan kedatangannya ke rumahku. Mimin Nyamintuk yang menghilang 5 tahun lalu telah berubah. Ia makin cantik. Baju yang ia kenakan lebih berwibawa dan bersahaja. Aku sempat pangling sesaat, walaupun akhirnya aku dengan cepat mampu mengenalinya.
Ni hao ma? (Apa kabar?)” Ia menyapa dengan bahasa mandarian. Karena tak tahu jawabannya, aku menjawabnya dengan bahasa inggris. “Pretty well,” jawabku. Dan kami tertawa bersama-sama. seolah-olah amarah di antara kami mencair seketika.
“Apa ini artinya hubungan kita sudah membaik?” ia bertanya. Aku kembali tertawa.
“Kita selalu baik-baik saja, Min,” aku merentangkan tanganku lalu memeluknya. Kami sempat sesenggukan sesaat, menangis..
Kami duduk di kursi yang berada di teras rumah. Kami bahkan tak sempat masuk ke rumah karena terlalu antusias untuk bercerita satu sama lain.
“Jadi, sekarang kau sudah jadi guru?” ia bertanya.
Aku mengangguk.
“Maaf, aku tak bermaksud mengkhianatimu. Aku tetap kuliah jadi guru, hanya saja tidak di tempat yang kita impikan,” jawabku. Mimin manggut-manggut.
“Aku senang mendengarnya. Maaf kalo aku harus mengingkarinya, mengingkari perjanjian kita untuk kuliah di tempat yang sama, universitas yang sama, fakultas yang sama ..”
“Sudahlah, tak perlu di bahas. Itu sudah berlalu, dan nggak ada gunanya di omongin lagi. Intinya, sekarang kita sudah berbaikan, oke?”
Mimin mengangguk.
“Jadi, bagaimana kabarmu di Hongkong?”
“Baik-baik saja. Semunya menyenangkan,”
“Banyak uang dong sekarang?”
“Alhamdulillah,” jawabnya dengan senyum lebar.
“Kau berniat kembali lagi ke Hongkong?”
Ia menggeleng.
“Petualanganku sudah cukup. Aku ingin kembali ke sini, selamanya,” jawabnya.
“Dan, apakah kau berganti nama sekarang?”
Mimin tertawa. Ia menggeleng.
“Tidak, namaku sudah bagus. Orang tuaku memberikannya dengan penuh kasih sayang. Dan untuk apa aku harus mengubahnya? Kau benar, Ta. Ini hanya masalah nama. It’s not big deal. Bertahun-tahun ini aku merenung, dan aku sadar bahwa, aku memang salah karena menghina namaku sendiri. Sekarang, aku baik-baik saja. Jika ada yang menanyakan namaku, dengan bangga akan ku jawab : namaku Mimin Nyamintuk,” ucapnya.
Aku tersenyum terharu.
“Dan, aku ingin menepati janjiku padamu. Itupun jika tidak terlambat,”
“Apa?”
“Aku ingin kuliah. Di keguruan. Aku ingin jadi guru,” jawabnya.
Aku merasakan air mataku menitik.
“Tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu,” jawabku seraya kembali memeluknya.
Aku mengucap syukur pada Tuhan karena telah mengembalikan salah satu sahabat terbaikku ...

Selesai.
Nganjuk, 2004
Wiwin Setyobekti


Di muat di Media Jatim, tapi lupa edisi kapan, hehe...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar