Jumat, 06 Juni 2014

"De Suhe" part 2





Avan Jogia as Suhe
De tersenyum melihat sebuah nama yang tertera di layar phonselnya.
“Hallo__”
“Hallo? Moshi moshi? Bisa bicara dengan wanita tercantik di muka bumi ini?” suara Suhe terdengar renyah dari seberang sana. De terkekeh.
“Ya, kau sedang berbicara dengan wanita tercantik di muka bumi ini. Jadi, bersikaplah lebih sopan,” jawab De.
Suhe tertawa.
“Sedang apa?”
“Belajar,”
“Idih, malam minggu belajar. Keluar yuk,”
“Keluar kemana?”
“Jalan-jalan. Plis? Aku bosan di rumah. Ku jemput ya?” Suhe merajuk.
Excusez-moi. Je n’ai pas le temps. (Maaf. Aku tak punya waktu). Habis ini aku harus nganterin ibu ke rumah saudara. Ada kepentingan,”
“ya udah, ku antarin sekalian aja. Ya?”
“Gak usah, makasih,”
“Kenapa sih? Alasan nolak lagi?”
No, that’s true. Beberapa hari yang lalu ‘kan aku sudah menemanimu makan siang. Apa sekarang kau ingin memintaku menemani makan malam?”
“Ya, asal kau tahu, De. Jika mungkin, aku ingin makan dengan ditemani olehmu. Setiap waktu, seumur hidupku,” suara Suhe terdengar meninggi.
“Kapan-kapan aja ya?”
Terdengar Suhe menarik nafas kesal.
“ya udah deh, kapan-kapan juga boleh. Semoga kau tak membohongiku,”
I’m so sorry,
Well, you’ve done this to me so many times. And I still feel okay,
Pembicaraan mereka terhenti. De mendesah. Maafkan aku. Ia menggumam dalam hati.
Beberapa saat kemudian, ibunya masuk ke kamar.
“Ada tamu,”
De mengernyitkan dahinya.
“Siapa bu? Suhe?”
“bukan. Temuilah dulu,”
Suhe merapikan rambutnya dan segera beranjak menuju ruang tamu. Seorang cowok berkaca mata duduk di salah satu kursi kayu di ruang tamu.
 “Fery? Tumben ke sini. Ada perlu apa?”
Fery tersenyum. Ia mengeluarkan beberapa novel berbahasa perancis dari dalam tasnya.
“Aku tahu selama ini kau suka membaca novel berbahasa perancis dan bahasa inggris. Jadi aku membawakanmu ini,” ujarnya. De sempat melongo.
“astaga, sebanyak ini? Darimana kau mendapatkannya? Yang kau pinjamkan padaku terakhir kali itupun belum selesai kubaca,”
“It’s okay. Kau bisa menjadikannya stok kalo yang kemarin sudah selesai kau baca. Aku mendapatkan ini dari temen-temenku. Jangan khawatir, temen-temenku yang punya novel masih banyak kok. Dan yakinlah, mereka gak pelit kalo dipinjami,” Fery tersenyum manis. De juga tersenyum.
“Kau sibuk?” Tanya Fery lagi. De menggeleng.
“Bisa minta bantuannya?”
“Apa?”
“Besok Nia ulang tahun. Bisa nemenin aku untuk nyari kado buat dia? Aku bingung harus ngasih apa. Selama ini ‘kan kau dekat dengannya, jadi kau pasti lebih tahu apa yang dia suka,”
“Nia ulang tahun?”
Fery mengangguk.
“Wah, aku juga harus ngasih sesuatu nih. Kapan nyari kado?”
“Sekarang. Bisa?”
De terdiam sesaat. “Oke deh, aku ganti baju dulu ya?”
Fery tersenyum dan mengangguk. Akhirnya, mereka berdua pergi ke sebuah mall terbesar di kota tersebut untuk mencari kado buat Nia, adik Fery.

***

            “Bagaimana dengan itu? Kayaknya cocok juga buat Nia,” ujar Fery sembari menunjuk ke sebuah kota musik berwarna biru muda. De menggeleng.
“Nia itu terlalu tomboy. Dia gak akan suka dengan kado semacam itu,”
“Lantas?”
“Agak mahal, tapi kayaknya dia akan suka,”
“Apa?”
“Gitar,”
Fery terdiam sesaat. Perlahan ia manggut-manggut. “iya deh, yuk ke toko musik,” Fery menarik tangan De lalu mengajaknya ke tempat penjualan alat musik. Dan akhirnya, jadilah ia membeli sebuah gitar buat Nia.
 “Aku ingin membelikannya sebuah sepatu olah raga. Tidak mahal sih, tapi aku yakin bisa memilihkan yang bagus untuk dia,” ujar De kemudian.
“Oke, akan kuantarkan kau membelinya,” sahut Fery.
Ketika  mereka sedang asyik memilih sebuah sepatu olahraga, tatapan De menangkap sesosok tubuh jangkung yang berdiri tak jauh dari tempat mereka berada dan menatap mereka dengan tatapan tak suka. De termangu. “Suhe?” desisnya. Ia beranjak dan ingin menghampiri sosok itu, tapi pemuda itu berbalik dan segera menghilang di antara kerumunan orang.
“Kenapa De?” Tanya Fery.
“Ah__tidak apa-apa,” jawab De sedikit terbata-bata.
“Setelah ini nanti, aku ingin mengajakmu makan. Kau ingin makan apa?”
“Makan? Mmm, apa aja deh,” jawab De gelagapan.
“Kau kenapa sih?” Tanya Fery keheranan ketika menyadari konsentrasi De tengah kacau. De hanya nyengir, kemudian melanjutkan kembali memilih sepatu.
“Besok aku gak bisa datang ke ulang tahunnya, jadi kadonya kutitipkan padamu aja ya?”
“Yaa, kok gitu sih? Nia pasti akan senang kalo kau bersedia datang ke pesta ulang tahunnya,”
De tersenyum. “Maaf, tapi besok aku akan sangat repot sekali,” jawabnya kemudian.
Fery manggut-manggut, sedikit  kecewa.

***
            De celingukan di dekat kelas Suhe. Berharap bisa menemukan sosok itu tapi ternyata dia tak ada. Dia juga sudah berkali-kali mengirimkan pesan sejak semalam tapi tak satupun yang dibalas. De ingin menemuinya secara langsung dan menjelaskan tentang kejadian semalam. Oke, diantara mereka memang tidak ada apa-apa. Tapi entah mengapa, De seperti punya kewajiban untuk menjelaskan padanya dengan panjang lebar!
“Cari Suhe? Dia gak ada,” jawab Doni ketika De menanyakan perihal Suhe padanya.
“Oke deh, trims,” jawab De sambil beranjak.
“Kenapa sih mukamu suntuk begitu?” Tanya Ita. De tak menjawab. Ia masih asyik dengan phonsel di tangannya.
“Berantem lagi sama Suhe?”
De memonyongkan bibirnya.
“Heran deh, kalian ini nggak pacaran., tapi tiap kali berantem kayak orang pacaran aja. Atau ____ kalian pacaran secara sembunyi-sembunyi!?” teriak Ita. De tergelak.
“Angan-anganmu terlalu tinggi. Enggaklah, suer. Udah deh, cepat ke kelasmu sana. Tuh, kelasmu dah dimulai,” jawabnya kemudian.
“Awas kau, jika kau membohongiku dan memacarinya secara sembunyi-sembunyi, tamat riwayatmu!,” Ita kembali berteriak sebelum beranjak meninggalkan De. De hanya tertawa. Sesaat, ia kembali asyik dengan phonsel di tangannya.
De,”
Ia menoleh ketika seseorang menyapanya dengan lembut. Tampak Fery tersenyum manis seraya beranjak mendekatinya.
“Kau ada kuliah hari ini?” Tanya dia. De tersenyum seraya mengangguk.
“Oh iya, Nia mo ngucapin terimakasih atas kado yang kamu berikan kemarin.”
“Dia sudah membukanya?”
Fery mengangguk.
“Kalo bisa, dia pingin kamu datang sendiri ke pesta ulang tahunnya. Kalo kau bersedia, aku bisa menjemputmu kok,”
 “Mmm, gimana ya? Pingin sih datang, tapi aku benar-benar gak bisa. Sampaikan maafku ya?”
“Waah, dia pasti akan sangat kecewa sekali,”
“Maaf___”
“Apa kalian sedang berpacaran di sini?”
De dan Fery menoleh. Tampak Suhe sudah berdiri tak jauh dari mereka dan menatap mereka dengan tatapan kesal.
“Kalian bisa cari tempat lain yang lebih enak untuk dijadikan tempat pacaran ‘kan? Jangan pacaran di jalanan seperti ini. Ini mengganggu sekali,” Suhe beranjak begitu saja tanpa melihat kembali ke arah De.
De ingin menyapanya, tapi melihat ekspresi Suhe, ia urung melakukannya.
“Kenapa dia? Apa dia cemburu?” gumam Fery.
“Eh__cemburu? Mm, enggaklah,”
“Tapi itu kelihatan banget dari raut wajahnya,” ujar Fery lagi.
“Ah, itu hanya perasaanmu saja,” De berusaha mengacuhkannya, mengacuhkan sikap Suhe, tapi, ia tak bisa!
 “Maaf ya Fer, aku harus pergi dulu. Sampaikan maafku pada Nia  karena tak bisa datang ke pesta ulang tahunnya,” cewek manis itu beranjak meninggalkan Fery tanpa membiarkannya berkata apa-apa.

“Suhe, tunggu!” De berusaha menyamai langkah Suhe. Tapi cowok itu tak menggubris. Ia terus melangkah tanpa menghiraukan De.
“Suhe, plis! Bisa kita bicara sebentar?” De menarik lengan tangannya hingga membuat langkah cowok tersebut terhenti. Keduanya berpandangan.
“Oke, bicaralah,” ujar Suhe kemudian.
“Kenapa kau menghindariku? Smsku tak kau balas satupun,” jawab De.
“Memang,” ucapan Suhe terdengar ketus.
“Kau marah padaku?”
“Ya,”
“Kenapa?”
“Karena aku tak suka melihatmu berduaan dengan Fery tadi malam,”
“kami hanya jalan-jalan,”
“Aku juga mengajakmu jalan-jalan, kenapa kau menolak?”
“Semua di luar rencana,”
“Dia memaksamu?”
“Tidak,”
Suhe mendesah.
“Iya juga sih. Untuk apa aku marah. Untuk apa aku cemburu. Kau toh bukan apa-apaku. Jadi, kau bebas keluar dengan cowok manapun yang kau suka,”
“Kau kekanak-kanakan,”
“Terserah. Aku sibuk sekali hari ini. Jika masih ada yang ingin kau bicarakan, tunggu sampai aku tak sibuk lagi,” Suhe beranjak.
“Jam berapa kau selesai kuliah? Aku akan menunggumu di halte bus depan kampus. Oke?” teriak De.
“Terserah,” jawab Suhe singkat tanpa melihat ke  arah De.

***

Bersambung .......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar