Kamis, 05 Juni 2014

"De Suhe" part 1



De Suhe
( ... adalah cinta)



Dewita Ayu Anggraeni, atau yang akrab di panggil De, tersenyum manis ketika seorang cowok jangkung berlari-lari kecil ke arahnya.
“Kok baru nongol?” Cowok itu menyapa dengan pertanyaan.
“Nongol? Maksudnya?”
“Jam pertama tadi ada kuliah ‘kan? Kok gak kelihatan?”
De tak segera menjawab.
“Telat lagi? Motormu mogok lagi? Trus, kesini tadi naik apa?” cowok itu kembali memborbardir De dengan pertanyaan.
“Bisa gak nanya satu-satu?”
“Gak bisa,” cowok itu menjawab cepat.
“Suhe, cepat! Kita udah di tunggu!”
Obrolan mereka terhenti ketika seorang perempuan melambaikan tangan ke arah Suhe, cowok jangkung yang ada di hadapan De.
“Aku harus pergi dulu. Ada janji dengan dosen. Setelah kuliah selesai, jangan pulang dulu. Kalo kau melakukannya, awas kau!” cowok itu beranjak.
De hanya tersenyum menyaksikan kepergian Suhe.
Afandi Suherman, itu nama cowok jangkung tersebut. Hanya saja, ia hanya mau di panggil Suhe. Lebih keren katanya.  Haha, De kembali tertawa.

***

           
Avan Jogia as Suhe
Suhe memarkir mobilnya di seberang jalan, di depan bengkel tempat De membetulkan sepeda motornya yang tadi pagi kembali mogok. Ia keluar dari mobil dan dengan wajah kesal ia melangkahkan kakinya mendekati De yang duduk di salah satu kursi tunggu. De tersenyum dan melambaikan tangannya. Suhe tak membalas senyuman De.
Traitor. Bukankah aku sudah memintamu untuk tidak pulang dulu,” cowok tampan itu ikut duduk di samping De.
“Sori, aku tidak bermaksud mengkhianatimu. Hanya saja, aku takut bengkel keburu tutup. Makanya aku kesini dulu,” De tersenyum manis ke arah Suhe hingga membuat cowok ganteng itu tak berkutik.
“Oke, karena alasanmu masuk akal. Aku akan memaafkanmu,” jawab Suhe kemudian.
“Masih kurang berapa lama lagi?” Suhe bertanya dengan tak sabar.
“Bentar lagi juga selesai,”
“Ya udah, ku temani sampek motormu selesai diperbaiki,”
“Gak usah. Kamu pulang dulu aja, gak lama kok,”
“Tapi De ___”
“Plis,” De merujuk hingga membuat Suhe kembali tak berkutik dan akhirnya menuruti permintaan De untuk pulang dulu.
“Oke deh, aku pulang dulu ya, bye,”
De tersenyum sambil mengangguk. Suhe beranjak. Dengan berat melangkahkan kakinya meninggalkan De dan menuju mobilnya yang terparkir di seberang jalan, dan segera memacu mobilnya meniggalkan tempat tersebut. De menatap kepergian cowok bermata teduh selama sekian menit sebelum akhirnya melayangkan pandangan ke arah teknisi bengkel yang sibuk mengutak-atik sepeda motor tuwirnya.
“Gimana mas? Masih lama?” tanya De pada teknisi tersebut.
“Maaf mbak. Tapi sepertinya motornya harus menginap disini sampai besok. Banyak hal yang harus diperbaiki,”
“Yah, gimana dong? Masak gak bisa selesai hari ini?” tanya De kecewa.
“Maaf, mbak. Kami sudah berusaha secepat mungkin. Tapi tetap saja motornya gak bisa selesai hari ini,” jawab teknisi tersebut.
De kembali mendesah kecewa. Ia melirik arloji di tangannya. Jam 17.20. Sudah terlalu sore untuk mendapatkan kendaraan umum.
“Ya udah deh, mas. Besok aku ke sini,” De beranjak seraya meraih phonsel bututnya dari dalam tas. Ia
mengirimkan pesan kepada Ita, teman dekatnya, untuk menjemputnya. Tapi belum sempat ia mengirim pesan tersebut, seseorang menyentuh pundaknya dengan lembut. Ia menoleh. 
“Suhe?” ia mendesis heran.
Suhe hanya tersenyum manis. De menatapnya dengan keheranan. Suhe masih di sini? Tapi ia yakin bahwa sekitar 5 menit yang lalu Suhe sudah memacu mobilnya dan meninggalkannya!
“Kau masih di sini?” tanyanya keheranan. Suhe manggut-manggut. Ia menunjuk ke arah mobilnya yang terparkir agak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Aku sudah menduga bahwa ini akan terjadi. Jadi, aku sengaja menungguimu di sana __" ia menunjuk ke arah mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat mereka. De tak menyadarinya karena Suhe sengaja memilih tempat yang terhalang pepohonan. 
"Dan __ aku siap memberikan tumpangan kapanpun kau butuhkan,” jawab Suhe sambil nyengir. De terkekeh. Ya, harusnya ia menyadarinya sejak tadi. Ini Suhe, cowok ini tak akan menyerah dengan mudah. Dia takkan mau di suruh pergi begitu saja dan meninggalkannya sendirian.
“Yuk, aku akan mengantarkanmu pulang. Dan kau sudah tak punya alasan lagi untuk menolaknya,” Suhe menarik lengan tangan De dan mengajaknya menuju mobil yang berada sekitar 100 meter dari tempat mereka berada. De hanya mampu mendesah. Ya, ia sudah tak punya alasan lagi untuk menolaknya.

***
            De memarkir sepeda motor bututnya dan segera beranjak dengan tergesa-gesa menuju kelas Suhe. Ia tahu hari ini ia ada kuliah jam pertama. Ketika ia sampai di sana kelas Suhe sudah berlangsung selama 10 menit. Tapi, itu tak menyurutkan niatnya untuk bertemu dengan Suhe.
“Maaf pak, bisakah saya meminta ijin untuk berbicara sebentar dengan Suhe? Ada hal penting yang harus kami bicarakan,” De meminta ijin pada pak Agus, dosen Suhe. Pak Agus diam beberapa detik, tapi selanjutnya ia tersenyum dan mengangguk.
De mengarahkan pandangannya ke penjuru kelas dan menemukan Suhe duduk di bangku paling samping dekat jendela. Suhe tampak sedikit bingung, tapi akhirnya ia berdiri dan beranjak mendekati De. Cewek itu menarik tangannya dan mengajaknya menjauh dari keramaian kampus.
“Ada apa sih? Bukannya hari ini kau tak ada kuliah?” Tanya Suhe keheranan.
De menatapnya dengan tajam.
“Kau ‘kan yang mengirim motor baru ke rumah?”
“Motor? Oh, itu. Ya, aku membelikanmu motor baru agar kau tak sering terlambat ke kampus. Gimana? Apa kau ___”
“cepat ambil kembali motor itu!”
“Apa?”
“Ambil kembali motor itu! Aku tak sudi menerimanya!”
“Kenapa sih? Niatku baik dengan memberikanmu motor. Motor bututmu itu sudah tak layak pakai. Aku hanya ingin membantumu,”
“memberikanku dengan cuma-cuma. Memang aku ini siapa? Itu sama saja dengan menghinaku,” jawab De kesal.
“Oke, jika kau tak bisa menerimanya dengan cuma-cuma, kau bisa membayarnya ‘kan?”
“Aku tak punya uang sebanyak itu,”
“aku tidak menyuruhmu untuk membayar tunai. Kau bisa menyicilnya sedikit demi sedikit,”
“Tetap saja aku aku tak punya uang, kau ‘kan tahu aku tak punya pekerjaan tetap,”
Suhe mendesah. “Jadi?” Ia menyerah.
“Ambil kembali motor itu atau kita takkan berteman lagi,” ancam De. Ia beranjak.
“Tapi De__”
“Just take it back! Ok?” De melangkahkan kakinya meninggalkan Suhe yang berdiri kebingungan.
Ketika sampai di parkiran, De berpapasan dengan Ita.
“kenapa De? Mukamu kusut begitu?”
“gak ada apa-apa tuh,”
“Bertengkar dengan Suhe?”
De mengernyitkan dahinya.
“bagimana kau tahu?”
“aku melihat kalian sedikit adu argumen di taman,”
De menarik nafas panjang.
“Dia membelikanku sebuah sepeda motor dan aku memintanya untuk mengambilnya kembali,”
Ita melotot.
“Apa!? Dia membelikanmu sepeda motor?”
De mengangguk. “Ya, dia membelikanku sebuah sepeda motor. Bukankah ini gila?”
Ita terkekeh.
“Gila? Ya, kurasa kaulah yang gila. Seorang pangeran tampan, calon dokter, kaya raya, putra tunggal salah satu orang terkaya di Indonesia, mencintaimu dengan tulus, tapi kau? Kau malah  menolaknya! Kurasa kaulah yang tak waras!”
De mendelik. “maksudmu?”
“Suhe adalah cowok yang sangat baik, De. Dan kau juga tahu dia mencintaimu dengan tulus. Aku yakin dia mampu membuatmu bahagia baik dari segi materi ataupun yang lainnya. Tapi, kau malah menolaknya? Bukankah ini gila?” Ita mencibir sahabat baiknya itu. De kembali mendesah.
“Ah, sudahlah, Ta. Jangan bicarakan hal-hal tak penting seperti itu. Aku pulang dulu ya,” De berlalu dari hadapan Ita menuju sepeda motornya lalu memacunya dengan perlahan.
“kesempatan tidak datang dua kali, De. Kuharap  kau tak menyesalinya,” teriak Ita. De hanya tersenyum kecut. Dan ia kembali teringat akan Suhe..
Ya, iapun tahu bahwa Suhe mencintainya dengan sungguh-sungguh. Itu bahkan sudah lama. Sudah sekitar satu tahun yang lalu. Hanya saja, De benar-benar tak bisa menerimanya. Bukan karena ia tak mencintai cowok jangkung bermata teduh itu. Jika harus jujur, De benar-benar menyukainya. Ia jatuh cinta pada cowok itu pada pandangan pertama. Tapi, ia merasa Suhe terlalu tinggi untuk digapai. Ia merasa tak punya kepercayaan diri untuk meraihnya dengan tangannya yang kecil.
Ita benar sepenuhnya. Suhe berasal dari keluarga kaya, putra tunggal salah satu orang terkaya di Indonesia. Ia bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan mudah tanpa harus bersusah payah. Apa yang kurang dari dirinya? Tidak ada. Tapi, ia benar-benar tak bisa menerimanya. Siapa dia? Dia hanya seorang gadis biasa. Keluarganya miskin. Ayahnya sudah meninggal ketika ia masih kecil dan ibunya hanyalah buruh pabrik. Mereka bahkan masih tinggal di rumah kontrakan. Dia sendiri harus bekerja paruh waktu di sebuah lembaga bimbingan belajar sebagai guru bahasa perancis. Sebandingkah dia dengan Suhe? Tidak, De tak berani membayangkannya. Dunia mereka terlalu jauh berbeda. Suhe takkan pernah bisa memasuki dunianya, begitu pula sebaliknya!
Dan De sudah bertekad bahwa ia akan mencintai Suhe dengan caranya sendiri!
***

            Suhe menatap De dengan manyun. “Maaf. Sorry. Gomenasai. Joesong hamnida. Mm, apa lagi ya?”  ekspresi Suhe yang lucu memancing tawa De. “Ah sudahlah, Suhe. Jangan ngaco lagi,”
“Jadi, kau tak marah lagi? Kau tak sewot lagi?”
“bukankah kau sudah mengambil kembali sepeda motor itu. Jadi, buat apa aku harus marah lagi? Yang penting, jangan kau ulangi lagi,”
“Benarkah? Kau sudah memaafkanku?”
De manggut-manggut. Suhe memeluknya dengan erat hingga membuat De berteriak-teriak.
“Lepasin dong. Dilihat orang tuh,”
Suhe tertawa.
“Aku benar-benar bahagia kau tak marah lagi padaku. Kau tahu, kemarahanmu itu benar-benar sebuah mimpi buruk bagiku. Aku dilanda stress berkepanjangan. Aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Aku tak bisa makan dengan lahap. Aku bahkan tak bisa hidup dengan tenang. Tidakkah kau lihat aku makin kurus?”
De tertawa. “Lebay deh,” ujarnya.
Suhe mengacak-acak rambut De dengan gemas.
“Kita akan mengobrol lagi nanti. Aku harus ke kelas. Jangan pulang dulu karena aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Ingat, jangan pulang dulu. Awas jika kau berani mengkhianatiku lagi, aku serius,”
De kembali tertawa mendengar ucapan Suhe yang sedikit mengancam.
“Aku hanya menerima ajakan makan siang. Tidak ke tempat yang lain. Tidak ke mall, tidak ke boutique, tidak ke toko perhiasan, tidak ke tempat-tempat seperti itu lagi,” jawab De.
“oke, fine. Akan kuturuti apa maumu,” teriak Suhe sambil beranjak. De manggut-manggut. Ya, ia sudah hafal kebiasaan Suhe. Jika ia ingin mengajak De keluar, ujung-ujungnya pasti ingin membelikan De sesuatu. Baju, perhiasan, alat elektronik, apa saja. Dan sejauh ini, De selalu berhasil menolaknya!
“Kalian sudah baikan?”
De menoleh. Ita sudah berada di sampingnya.
“Begitulah,” jawab De singkat.
“bagus dong kalo begitu. Oh iya, dapat salam,”
“Dari?”
“Fery,”
“Oh, anak fakultas hukum itu?”
“Ya, calon pengacara. Putra pengacara terbaik di Indonesia. Kaya raya, baik hati, pintar, tampan, oh astaga, bagaimana kau bisa kenal dia? Kalian kenal baik?”
“Lumayan, aku sudah agak lama mengenalnya. Kami ‘kan satu organisasi,”
“Kok aku gak tau?”
De tersenyum. “kamu ‘kan sudah sibuk pacaran. Makanya gak pernah dengar ceritaku lagi,” De beranjak. Ita mengekor.
“De, ceritain dong lebih banyak lagi. Bagaimana bisa hidupmu dikelilingi oleh cowok-cowok tampan, kaya raya, baik hati semua?”
De hanya tertawa sambil mengangkat bahu tanpa menghiraukan teriakan Ita. Tentu ia mengenal Fery dengan baik karena selama ini De memberikan les privat bahasa perancis pada adiknya, Nia.

***

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar