De Suhe
( ... adalah cinta)
Dewita
Ayu Anggraeni, atau yang akrab di panggil De, tersenyum manis ketika seorang
cowok jangkung berlari-lari kecil ke arahnya.
“Kok baru nongol?”
Cowok itu menyapa dengan pertanyaan.
“Nongol? Maksudnya?”
“Jam pertama tadi
ada kuliah ‘kan? Kok gak kelihatan?”
De tak segera
menjawab.
“Telat lagi? Motormu
mogok lagi? Trus, kesini tadi naik apa?” cowok itu kembali memborbardir De
dengan pertanyaan.
“Bisa gak nanya
satu-satu?”
“Gak bisa,” cowok
itu menjawab cepat.
“Suhe, cepat! Kita
udah di tunggu!”
Obrolan mereka
terhenti ketika seorang perempuan melambaikan tangan ke arah Suhe, cowok
jangkung yang ada di hadapan De.
“Aku harus pergi
dulu. Ada janji dengan dosen. Setelah kuliah selesai, jangan pulang dulu. Kalo
kau melakukannya, awas kau!” cowok itu beranjak.
De hanya tersenyum
menyaksikan kepergian Suhe.
Afandi Suherman, itu
nama cowok jangkung tersebut. Hanya saja, ia hanya mau di panggil Suhe. Lebih
keren katanya. Haha, De kembali tertawa.
***
![]() |
| Avan Jogia as Suhe |
“Traitor. Bukankah aku sudah memintamu
untuk tidak pulang dulu,” cowok tampan itu ikut duduk di samping De.
“Sori, aku tidak
bermaksud mengkhianatimu. Hanya saja, aku takut bengkel keburu tutup. Makanya
aku kesini dulu,” De tersenyum manis ke arah Suhe hingga membuat cowok ganteng
itu tak berkutik.
“Oke, karena
alasanmu masuk akal. Aku akan memaafkanmu,” jawab Suhe kemudian.
“Masih kurang berapa
lama lagi?” Suhe bertanya dengan tak sabar.
“Bentar lagi juga
selesai,”
“Ya udah, ku temani
sampek motormu selesai diperbaiki,”
“Gak usah. Kamu
pulang dulu aja, gak lama kok,”
“Tapi De ___”
“Plis,” De merujuk
hingga membuat Suhe kembali tak berkutik dan akhirnya menuruti permintaan De
untuk pulang dulu.
“Oke deh, aku pulang
dulu ya, bye,”
De tersenyum sambil
mengangguk. Suhe beranjak. Dengan berat melangkahkan kakinya meninggalkan De dan menuju mobilnya yang terparkir di seberang jalan, dan segera memacu mobilnya meniggalkan tempat tersebut. De menatap kepergian cowok bermata teduh selama sekian menit sebelum akhirnya melayangkan pandangan ke arah teknisi bengkel yang sibuk mengutak-atik sepeda motor tuwirnya.
“Gimana mas? Masih
lama?” tanya De pada teknisi tersebut.
“Maaf mbak. Tapi
sepertinya motornya harus menginap disini sampai besok. Banyak hal yang harus
diperbaiki,”
“Yah, gimana dong?
Masak gak bisa selesai hari ini?” tanya De kecewa.
“Maaf, mbak. Kami
sudah berusaha secepat mungkin. Tapi tetap saja motornya gak bisa selesai hari
ini,” jawab teknisi tersebut.
De kembali mendesah
kecewa. Ia melirik arloji di tangannya. Jam 17.20. Sudah terlalu sore untuk
mendapatkan kendaraan umum.
“Ya udah deh, mas.
Besok aku ke sini,” De beranjak seraya meraih phonsel bututnya dari dalam tas.
Ia
mengirimkan pesan
kepada Ita, teman dekatnya, untuk menjemputnya. Tapi belum sempat ia mengirim
pesan tersebut, seseorang menyentuh pundaknya dengan lembut. Ia menoleh.
“Suhe?” ia mendesis heran.
Suhe hanya tersenyum
manis. De menatapnya dengan keheranan. Suhe
masih di sini? Tapi ia yakin bahwa sekitar 5 menit yang lalu Suhe sudah memacu
mobilnya dan meninggalkannya!
“Kau masih di sini?”
tanyanya keheranan. Suhe manggut-manggut. Ia menunjuk ke arah mobilnya yang
terparkir agak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Aku sudah menduga
bahwa ini akan terjadi. Jadi, aku sengaja menungguimu di sana __" ia menunjuk ke arah mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat mereka. De tak menyadarinya karena Suhe sengaja memilih tempat yang terhalang pepohonan.
"Dan __ aku siap
memberikan tumpangan kapanpun kau butuhkan,” jawab Suhe sambil nyengir. De
terkekeh. Ya, harusnya ia menyadarinya sejak tadi. Ini Suhe, cowok ini tak akan
menyerah dengan mudah. Dia takkan mau di suruh pergi begitu saja dan
meninggalkannya sendirian.
“Yuk, aku akan
mengantarkanmu pulang. Dan kau sudah tak punya alasan lagi untuk menolaknya,”
Suhe menarik lengan tangan De dan mengajaknya menuju mobil yang berada sekitar 100 meter dari tempat mereka berada. De hanya mampu mendesah. Ya, ia sudah tak punya alasan lagi
untuk menolaknya.
***
De memarkir sepeda motor bututnya
dan segera beranjak dengan tergesa-gesa menuju kelas Suhe. Ia tahu hari ini ia
ada kuliah jam pertama. Ketika ia sampai di sana kelas Suhe sudah berlangsung
selama 10 menit. Tapi, itu tak menyurutkan niatnya untuk bertemu dengan Suhe.
“Maaf
pak, bisakah saya meminta ijin untuk berbicara sebentar dengan Suhe? Ada hal
penting yang harus kami bicarakan,” De meminta ijin pada pak Agus, dosen Suhe.
Pak Agus diam beberapa detik, tapi selanjutnya ia tersenyum dan mengangguk.
De
mengarahkan pandangannya ke penjuru kelas dan menemukan Suhe duduk di bangku
paling samping dekat jendela. Suhe tampak sedikit bingung, tapi akhirnya ia
berdiri dan beranjak mendekati De. Cewek itu menarik tangannya dan mengajaknya
menjauh dari keramaian kampus.
“Ada
apa sih? Bukannya hari ini kau tak ada kuliah?” Tanya Suhe keheranan.
De
menatapnya dengan tajam.
“Kau
‘kan yang mengirim motor baru ke rumah?”
“Motor?
Oh, itu. Ya, aku membelikanmu motor baru agar kau tak sering terlambat ke
kampus. Gimana? Apa kau ___”
“cepat
ambil kembali motor itu!”
“Apa?”
“Ambil
kembali motor itu! Aku tak sudi menerimanya!”
“Kenapa
sih? Niatku baik dengan memberikanmu motor. Motor bututmu itu sudah tak layak
pakai. Aku hanya ingin membantumu,”
“memberikanku
dengan cuma-cuma. Memang aku ini siapa? Itu sama saja dengan menghinaku,” jawab
De kesal.
“Oke,
jika kau tak bisa menerimanya dengan cuma-cuma, kau bisa membayarnya ‘kan?”
“Aku
tak punya uang sebanyak itu,”
“aku
tidak menyuruhmu untuk membayar tunai. Kau bisa menyicilnya sedikit demi
sedikit,”
“Tetap
saja aku aku tak punya uang, kau ‘kan tahu aku tak punya pekerjaan tetap,”
Suhe
mendesah. “Jadi?” Ia menyerah.
“Ambil
kembali motor itu atau kita takkan berteman lagi,” ancam De. Ia beranjak.
“Tapi
De__”
“Just
take it back! Ok?” De melangkahkan kakinya meninggalkan Suhe yang berdiri
kebingungan.
Ketika
sampai di parkiran, De berpapasan dengan Ita.
“kenapa
De? Mukamu kusut begitu?”
“gak
ada apa-apa tuh,”
“Bertengkar
dengan Suhe?”
De
mengernyitkan dahinya.
“bagimana
kau tahu?”
“aku
melihat kalian sedikit adu argumen di taman,”
De
menarik nafas panjang.
“Dia
membelikanku sebuah sepeda motor dan aku memintanya untuk mengambilnya
kembali,”
Ita
melotot.
“Apa!?
Dia membelikanmu sepeda motor?”
De
mengangguk. “Ya, dia membelikanku sebuah sepeda motor. Bukankah ini gila?”
Ita
terkekeh.
“Gila?
Ya, kurasa kaulah yang gila. Seorang pangeran tampan, calon dokter, kaya raya,
putra tunggal salah satu orang terkaya di Indonesia, mencintaimu dengan tulus,
tapi kau? Kau malah menolaknya! Kurasa
kaulah yang tak waras!”
De
mendelik. “maksudmu?”
“Suhe
adalah cowok yang sangat baik, De. Dan kau juga tahu dia mencintaimu dengan
tulus. Aku yakin dia mampu membuatmu bahagia baik dari segi materi ataupun yang
lainnya. Tapi, kau malah menolaknya? Bukankah ini gila?” Ita mencibir sahabat
baiknya itu. De kembali mendesah.
“Ah,
sudahlah, Ta. Jangan bicarakan hal-hal tak penting seperti itu. Aku pulang dulu
ya,” De berlalu dari hadapan Ita menuju sepeda motornya lalu memacunya dengan
perlahan.
“kesempatan
tidak datang dua kali, De. Kuharap kau
tak menyesalinya,” teriak Ita. De hanya tersenyum kecut. Dan ia kembali
teringat akan Suhe..
Ya,
iapun tahu bahwa Suhe mencintainya dengan sungguh-sungguh. Itu bahkan sudah
lama. Sudah sekitar satu tahun yang lalu. Hanya saja, De benar-benar tak bisa
menerimanya. Bukan karena ia tak mencintai cowok jangkung bermata teduh itu.
Jika harus jujur, De benar-benar menyukainya. Ia jatuh cinta pada cowok itu
pada pandangan pertama. Tapi, ia merasa Suhe terlalu tinggi untuk digapai.
Ia merasa tak punya kepercayaan diri untuk meraihnya dengan tangannya yang
kecil.
Ita
benar sepenuhnya. Suhe berasal dari keluarga kaya, putra tunggal salah satu
orang terkaya di Indonesia. Ia bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan mudah
tanpa harus bersusah payah. Apa yang kurang dari dirinya? Tidak ada. Tapi, ia
benar-benar tak bisa menerimanya. Siapa dia? Dia hanya seorang gadis biasa.
Keluarganya miskin. Ayahnya sudah meninggal
ketika ia masih kecil dan ibunya hanyalah buruh pabrik. Mereka bahkan masih tinggal di
rumah kontrakan. Dia sendiri harus bekerja paruh waktu di sebuah lembaga
bimbingan belajar sebagai guru bahasa perancis. Sebandingkah dia dengan Suhe?
Tidak, De tak berani membayangkannya. Dunia mereka terlalu jauh berbeda. Suhe
takkan pernah bisa memasuki dunianya, begitu pula sebaliknya!
Dan De sudah bertekad bahwa ia akan mencintai
Suhe dengan caranya sendiri!
***
Suhe menatap De dengan manyun.
“Maaf. Sorry. Gomenasai. Joesong hamnida. Mm, apa lagi ya?” ekspresi Suhe yang lucu memancing tawa De.
“Ah sudahlah, Suhe. Jangan ngaco lagi,”
“Jadi,
kau tak marah lagi? Kau tak sewot lagi?”
“bukankah
kau sudah mengambil kembali sepeda motor itu. Jadi, buat apa aku harus marah
lagi? Yang penting, jangan kau ulangi lagi,”
“Benarkah?
Kau sudah memaafkanku?”
De
manggut-manggut. Suhe memeluknya dengan erat hingga membuat De
berteriak-teriak.
“Lepasin
dong. Dilihat orang tuh,”
Suhe
tertawa.
“Aku
benar-benar bahagia kau tak marah lagi padaku. Kau tahu, kemarahanmu itu
benar-benar sebuah mimpi buruk bagiku. Aku dilanda stress berkepanjangan. Aku
tak bisa tidur dengan nyenyak. Aku tak bisa makan dengan lahap. Aku bahkan tak
bisa hidup dengan tenang. Tidakkah kau lihat aku makin kurus?”
De
tertawa. “Lebay deh,” ujarnya.
Suhe
mengacak-acak rambut De dengan gemas.
“Kita
akan mengobrol lagi nanti. Aku harus ke kelas. Jangan pulang dulu karena aku
ingin mengajakmu ke suatu tempat. Ingat, jangan pulang dulu. Awas jika kau
berani mengkhianatiku lagi, aku serius,”
De
kembali tertawa mendengar ucapan Suhe yang sedikit mengancam.
“Aku
hanya menerima ajakan makan siang. Tidak ke tempat yang lain. Tidak ke mall,
tidak ke boutique, tidak ke toko perhiasan, tidak ke tempat-tempat seperti itu
lagi,” jawab De.
“oke,
fine. Akan kuturuti apa maumu,” teriak Suhe sambil beranjak. De manggut-manggut. Ya, ia sudah
hafal kebiasaan Suhe. Jika ia ingin mengajak De keluar, ujung-ujungnya pasti
ingin membelikan De sesuatu. Baju, perhiasan, alat elektronik, apa saja. Dan
sejauh ini, De selalu berhasil menolaknya!
“Kalian
sudah baikan?”
De
menoleh. Ita sudah berada di sampingnya.
“Begitulah,”
jawab De singkat.
“bagus
dong kalo begitu. Oh iya, dapat salam,”
“Dari?”
“Fery,”
“Oh,
anak fakultas hukum itu?”
“Ya,
calon pengacara. Putra pengacara terbaik di Indonesia. Kaya raya, baik hati, pintar, tampan, oh astaga, bagaimana kau bisa kenal dia? Kalian kenal baik?”
“Lumayan,
aku sudah agak lama mengenalnya. Kami ‘kan satu organisasi,”
“Kok
aku gak tau?”
De
tersenyum. “kamu ‘kan sudah sibuk pacaran. Makanya gak pernah dengar ceritaku
lagi,” De beranjak. Ita mengekor.
“De,
ceritain dong lebih banyak lagi. Bagaimana bisa hidupmu dikelilingi oleh
cowok-cowok tampan, kaya raya, baik hati semua?”
De
hanya tertawa sambil mengangkat bahu tanpa menghiraukan teriakan Ita. Tentu ia
mengenal Fery dengan baik karena selama ini De memberikan les privat bahasa
perancis pada adiknya, Nia.
***
Bersambung..

Tidak ada komentar:
Posting Komentar