Rabu, 18 Juni 2014

Cerpen "Reuni atau Reuni?"




            Sore itu, tak seperti biasanya, suamiku pulang dengan wajah lesu. Ia bahkan lupa mengucapkan salam. Begitu datang, ia langsung duduk di kursi panjang di ruang tamu tanpa melepas sepatu.
“Ada apa pak? Apa ada masalah di pabrik?” tanyaku khawatir. Suamiku menggeleng.
“Ah, tidak buk. Hanya saja, ini,” lelaki yang telah menjadi suamiku selama 15 tahun itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas bututnya lalu menyodorkannya ke arahku. Aku menerimanya dengan penasaran. Sebuah undangan reuni es-em-a. Dan akupun merasa lega karena tadinya aku sempat mengira bahwa suamiku sedang mengalami hal-hal buruk dengan pekerjaannya.
“dapat undangan reuni kenapa bapak jadi tak bersemangat begini?” tanyaku.
Suamiku tak segera menjawab.
“Ya itu masalahnya. Apa aku harus datang ke reuni tersebut?”
Aku terkekeh mendengar pertanyaan suamiku.
“Bapak ini gimana? Ini ‘kan reuni es-em-a bapak, kenapa bapak bertanya padaku?” aku seakan mengingatkan dirinya bahwa dulu kami tidak satu sekolah. Aku kembali melihat wajah tak bersemangat di dirinya.
Perlahan aku duduk di sampingnya.
“kenapa sih pak?” tanyaku lagi. Kami berpandangan.
“sebenarnya aku senang dengan reuni tersebut. Toh aku juga sudah kangen dengan sahabat-sahabat lamaku semasa es-em-a. Hanya saja  aku malu kalau harus datang ke reuni tersebut,”jawabnya. Aku mengernyitkan dahiku.
“Alasannya?”  
“rata-rata temanku jadi orang sukses semua buk. Ada yang jadi pebisnis, pegawai negeri, guru, tentara, bahkan ada yang jadi pejabat. Ekonomi mereka berkecukupan. Rumah mereka mewah, kendaraan mereka juga mewah. Lha, sementara aku? Aku hanya wiraswasta, buruh pabrik biasa. Kita tinggal di rumah kontrakan. Kendaraan yang kita punya pun hanya sepeda motor. Itupun masih nyicil. Tentu saja, aku malu kalau harus bertemu mereka,” suamiku menjelaskan panjang lebar.
“Reuni ‘kan bukan ajang pamer pak?” aku setengah menyela.
“Ya, bapak juga tahu itu. Tapi, tetap saja aku merasa minder. Coba ibu bayangkan, kita datang ke gedung tempat diselenggarakannya reuni, naik sepeda motor, sedangkan yang lainnya naik mobil mewah, berpakaian bagus, parlente semua, ah jujur bapak malu,”
Aku ingin menyanggah lagi, tapi untuk saat ini, sepertinya percuma. Akhirnya, aku beranjak ke dapur dan mengambilkan suamiku segelas air dingin.
“Kalo begitu, kita nyewa mobil saja pak?” ucapku setelah suamiku selesai menghabiskan segelas air dingin tersebut.
“Maksud ibuk?” ia menatapku keheranan.
“Kita sewa mobil saja. Jadi kita bisa datang ke reuni dengan naik mobil. Kalo ada yang nanya, bilang aja itu mobil kita. Toh gak ada yang tau kalo itu mobil rental. Dengan begitu, bapak bisa di anggap sebagai orang sukses, dan bapak tak malu datang ke reuni tersebut untuk bertemu dengan teman-teman lama bapak,” aku menjelaskan panjang lebar. Sebenarnya aku sedikit ragu mengungkapkan ide gila ini. Tapi aku penasaran dengan reaksi yang diberikan suamiku. Jujur, aku berharap ia menolak! Aku tetap berharap ia masih tetap seperti suamiku yang seperti biasanya. Bersahaja dan apa adanya!
“Maksud ibuk, bapak harus membohongi mereka?” ia bertanya dengan ragu pula.
“Ya, toh mereka tak tahu. Tak ada yang tahu, pak. Kecuali Tuhan,” jawabku.
Suamiku tak menjawab. Terlihat ia juga sedang berpikir keras. Bergulat dengan batinnya sendiri, antara mengiyakan hati nuraninya sendiri ataukah ide sintingku!
Pembicaraan hari itu berakhir begitu saja. Ia tak memberikan tanggapan apa-apa tentang rencanaku ke reuni tersebut. Tapi, tepat pada hari diselenggarakannya reuni tersebut, suamiku mengajakku ikut serta untuk datang ke acara tersebut dan kami ke sana dengan naik sepeda motor!
“Apa adanya saja bu. Kita punya sepeda motor, ya kita ke sana naik ini. Kita tak perlu nambah dosa dengan berkata bohong. Kalo mereka tanya tentang pekerjaanku, ya bapak akan jawab bahwa bapak hanya bekerja sebagai karyawan biasa di pabrik tekstil,” ucapnya. Dan akupun tersenyum lega. Ah, terima kasih Tuhan. Terima kasih karena suamiku masih menjadi orang yang sama. Lelaki jujur, baik hati dan apa adanya, yang bertahun-tahun yang lalu telah membuatku jatuh hati setengah mati!
Ketika kami sampai di acara reuni, kami membaur dengan tamu undangan yang lain. Sepanjang acara, aku tetap bisa melihat senyum yang merekah di bibir suamiku. Ia begitu gembira bertemu dengan teman-temannya. Ia juga begitu antusias menceritakan tentang pekerjaannya. Senyumnya tulus, dan aku tahu itu. Penampilannya memang tidak semewah penampilannya rekan-rekannya. Tapi, dia tetap saja terlihat istimewa. Ah, aku kembali bersyukur pada Tuhan. Thanks God, he is my man! 
dari : http://ikatanalumni96.wordpress.com/2011/06/06/apa-sih-pentingnya-reuni/

            Siang itu, aku menemani salah satu saudara iparku berkeliling kota untuk mencari mobil rental dengan harga murah karena keluarganya akan mengadakan acara ngunduh mantu ke Yogyakarta. Ketika ia sedang asyik tawar menawar dengan pemilik mobil, aku melihat seorang lelaki seumuran suamiku. Aku mengenalnya, ia salah satu teman suamiku yang kemarin ku lihat di acara reuni. Aku ingin menyapanya tapi niat itu urung karena sepertinya ia lupa padaku. Terbukti ketika kami berpapasan, ia tak menyapaku sama sekali. Dan dari pegawai tempat tersebut aku tahu bahwa lelaki itu datang ke sini untuk mengembalikan mobil yang kemarin habis ia sewa. Dan mobil itu yang kemarin ia gunakan untuk datang ke reuni dan ia mengatakan bahwa itu adalah mobilnya!
Wah, aku nyaris saja tertawa. Ternyata ada juga orang seperti itu? Aku menggumam dalam hati.
Ketika aku sampai kembali di rumah, aku tak menceritakan tentang kejadian itu pada suamiku, tidak juga pada siapapun. Itu tak perlu.

selesai..

Catatan:
Cerita ini hanya fiktif belaka, bila ada kesamaan tokoh, tempat dan kejadian, mohon maaf yang sebesar-besarnya. (cieeehhh, kayak sinetron ajah!)


Wiwin setyobekti
Di muat di media Jatim, tapi lupa edisi apa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar