Televisi..
Aku
merasakan bulu kudukku merinding. Ngeri. Astaga, kenapa saat ini tayangan
televisi semakin banyak yang tidak mendidik. Dimana-mana channel yang ditayangkan sinetron melulu. Sinetron-sinetron yang
menurutku kurang memberikan pesan moral pada para penontonnya. Pastinya
ceritanya itu-itu terus. Kisah percintaan, perebutan harta, perebutan pacar,
intrik-intrik sesat, mengumbar hawa nafsu, nafsu untuk marah-marah,
memaki-maki, aduh... belum lagi banyak bermunculannya sinetron remaja yang
hanya memberikan cerita-cerita cinta, hura-hura, senang-senang, dugem, anak
sekolah yang pintar memaki-maki, pintar ngeles, pintar main curang, pinter
pacaran. Belum lagi gaya berpakaiannya yang sekarang jadi panutan remaja se-Nusantara.
Baju kedodoran, ikat pinggang melorot, panjang rok di atas lutut. Aih.....
Pikiranku
langsung tertuju pada kedua putra-putriku yang sudah duduk di bangku sekolah.
Si sulung Mia yang sudah duduk di kelas 1 SMP, dan si bungsu Andi yang baru
duduk di kelas 3 SD. Apa jadinya kalau mereka terus menonton tayangan-tayangan
yang tidak sehat seperti ini? Jangan-jangan Mia akan jadi cewek ‘korban mode’
seperti yang ada di sinetron? Atau, Andi akan terpengaruh dengan gaya polisi
Indonesia yang suka menangkap penjahat ala koboy? Dikit-dikit, Dar Der Dor! Dar Der
Dor! Kekerasan di mana -di mana.. Sekarang putra-putriku masih baik-baik saja,
tapi satu tahun mendatang? Dua tahun mendatang, bagaimana? Siapa yang tahu? Astaga....
“Ayah,
kalau televisinya kita jual bagaimana?”
Suamiku yang baru pulang dari kerja menatapku dengan keheranan. “Televisi
yang mana? Yang di ruang keluarga? Atau yang ada di kamar atas?” “dua-duanya,” “Lho,memangnya kenapa? Televisinya rusak?”
Aku menggeleng. “lantas,Ibu lagi butuh
uang?” Aku kembali menggeleng. “Terus,
kenapa Ibu ingin menjualnya?”
Perlahan-lahan aku menceritakan kekhawatiranku tentang dampak tayangan
televisi pada anak-anak. Suamiku hanya tersenyum. “Bu, jangan berlebihan gitu
dong. Ibu terlalu paranoid. Percaya deh, Mia dan Andi bukan anak seperti
itu,” “Ayah, jangan menggampangkan
sesuatu. Ingat, ini berkaitan dengan masa depan mereka. Mungkin sekarang mereka
belum merasakan dampak negatif dari tayangan televisi, tapi lambat laun, siapa
tahu? Yang pasti, kita harus melakukan langkah preventif dulu,” “Apa harus dengan menjual televisi? Apa
tidak ada jalan lain selain menjual televisi? Mungkin, jam menontonnya aja yang
kita batasi buat mereka. Supaya mereka tidak menonton tayangan-tayangan yang
tidak semestinya. Tanpa televisi, nanti kita
malah kekurangan informasi dari dunia luar. Lagian, apakah Ibu sudah siap untuk kehilangan
sinetron-sinetron keluarga kesayangan ibu? Nanti Ibu tidak bisa mengikuti
lho...?” “Kalau tak mau ketinggalan
informasi, kita ‘kan bisa membaca koran setiap hari. Yang jelas, televisi itu
harus segera di ungsikan dari tempat ini!”
Setelah berdebat cukup lama, akhirnya suamiku ‘menyerah’.
Siang
itu, putriku Mia yang baru pulang dari sekolah menghampiriku di dapur dengan
tergesa-gesa. Ia belum sempat ganti baju, lepas sepatu ataupun meletakkan tas
ransel yang masih menempel di punggungnya. “Bunda, TV-nya kemana?”tanya-nya.
Sesaat aku terdiam. “rusak,” “terus,
tv yang ada di kamar atas kemana?”
“rusak juga,” Mia mengangkat alis. “kok bisa rusak bareng?” “ya...mana bunda tahu?” “waduh, gawat nih. Padahal ada tayangan tv
kesukaanku, Bunda. Aku gak bisa nonton dong...”
Mia menepuk keningnya dengan telapak tangan lalu berlalu dengan kecewa.
Selang beberapa menit, si bungsu berlari-lari kecil ke arahku. “bunda, tv-nya
kemana? Aku mau nonton spongebob nih,”
“sayang, tv-nya masih rusak. Sekarang masih diperbaiki di tukang servis.
Nonton tv-nya libur dulu ya..” “Yaaah,
capeek dech...”
Beberapa hari tanpa televisi, ternyata malah menimbulkan masalah baru bagiku. Setiap hari kedua buah hatiku merengek-rengek pada ayahnya untuk dibelikan tv baru!
“gimana, bu? Apa sebaiknya kita beli tv lagi?
Kasihan anak-anak...” sesaat aku
terdiam. “gak usah,Yah. Biar besok tv-nya aku ambil lagi aja,” “memangnya dijual dimana?” “gak dijual kok. Tv-nya aku titipkan pada
Bulik Siti,” “Bulik Siti yang ada
diluar kota...?” Aku mengangguk. “Ya ampuuun.....”
Suamiku menyentuh pundakku dengan lembut. “Bu, saat ini tayangan tv memang
banyak yang tidak mendidik. Tapi, dengan meniadakan tv bukanlah jalan terbaik
untuk melindungi anak-anak. Ada kok tayangan yang bagus. Aku mengerti
kekhawatiran ibu yang serba ingin melindungi. Tapi, kita sebagai orang tualah
yang harus pintar-pintar mengontrol, mengawasi, dan mendampingi apa yang mereka
tonton. Itulah tanggung jawab kita....” Sesaat aku kembali terdiam. Akhirnya,
aku memutuskan untuk mengambil lagi tv yang tadinya ku ‘ungsikan’ di rumah
bulik Siti. Ketika TV sudah berada di rumah, kami malah dibuat pusing karena TV
tak bisa dinyalakan sama sekali!
“kemarin Ibu bilang apa ke anak-anak soal tv
ini...?” tanya suamiku. “yaa... aku terpaksa bohong dengan mengatakan bahwa
tv-nya sedang rusak,” jawabku pelan.
Ayah menatapku dengan lekat. “Bu, jangan-jangan tv-nya rusak
beneran...!!??”
Aku membelalak. Haah...!!??

Tidak ada komentar:
Posting Komentar