Senin, 02 Juni 2014

Cerpen "Televisi"



Televisi..

            Aku merasakan bulu kudukku merinding. Ngeri. Astaga, kenapa saat ini tayangan televisi semakin banyak yang tidak mendidik. Dimana-mana channel yang ditayangkan sinetron melulu. Sinetron-sinetron yang menurutku kurang memberikan pesan moral pada para penontonnya. Pastinya ceritanya itu-itu terus. Kisah percintaan, perebutan harta, perebutan pacar, intrik-intrik sesat, mengumbar hawa nafsu, nafsu untuk marah-marah, memaki-maki, aduh... belum lagi banyak bermunculannya sinetron remaja yang hanya memberikan cerita-cerita cinta, hura-hura, senang-senang, dugem, anak sekolah yang pintar memaki-maki, pintar ngeles, pintar main curang, pinter pacaran. Belum lagi gaya berpakaiannya yang sekarang jadi panutan remaja se-Nusantara. Baju kedodoran, ikat pinggang melorot, panjang rok di atas lutut. Aih.....
            Pikiranku langsung tertuju pada kedua putra-putriku yang sudah duduk di bangku sekolah. Si sulung Mia yang sudah duduk di kelas 1 SMP, dan si bungsu Andi yang baru duduk di kelas 3 SD. Apa jadinya kalau mereka terus menonton tayangan-tayangan yang tidak sehat seperti ini? Jangan-jangan Mia akan jadi cewek ‘korban mode’ seperti yang ada di sinetron? Atau, Andi akan terpengaruh dengan gaya polisi Indonesia yang suka menangkap penjahat  ala koboy? Dikit-dikit, Dar Der Dor! Dar Der Dor! Kekerasan di mana -di mana.. Sekarang putra-putriku masih baik-baik saja, tapi satu tahun mendatang? Dua tahun mendatang, bagaimana? Siapa yang tahu? Astaga....
            “Ayah, kalau televisinya kita jual bagaimana?”  Suamiku yang baru pulang dari kerja menatapku dengan keheranan. “Televisi yang mana? Yang di ruang keluarga? Atau yang ada di kamar atas?”    “dua-duanya,”     “Lho,memangnya kenapa? Televisinya rusak?”  Aku menggeleng. “lantas,Ibu lagi butuh uang?”  Aku kembali menggeleng. “Terus, kenapa Ibu ingin menjualnya?”  Perlahan-lahan aku menceritakan kekhawatiranku tentang dampak tayangan televisi pada anak-anak. Suamiku hanya tersenyum. “Bu, jangan berlebihan gitu dong. Ibu terlalu paranoid. Percaya deh, Mia dan Andi bukan anak seperti itu,”      “Ayah, jangan menggampangkan sesuatu. Ingat, ini berkaitan dengan masa depan mereka. Mungkin sekarang mereka belum merasakan dampak negatif dari tayangan televisi, tapi lambat laun, siapa tahu? Yang pasti, kita harus melakukan langkah preventif dulu,”       “Apa harus dengan menjual televisi? Apa tidak ada jalan lain selain menjual televisi? Mungkin, jam menontonnya aja yang kita batasi buat mereka. Supaya mereka tidak menonton tayangan-tayangan yang tidak semestinya.  Tanpa televisi, nanti kita malah kekurangan informasi dari dunia luar.  Lagian, apakah Ibu sudah siap untuk kehilangan sinetron-sinetron keluarga kesayangan ibu? Nanti Ibu tidak bisa mengikuti lho...?”     “Kalau tak mau ketinggalan informasi, kita ‘kan bisa membaca koran setiap hari. Yang jelas, televisi itu harus segera di ungsikan dari tempat ini!”    Setelah berdebat cukup lama, akhirnya suamiku ‘menyerah’.

            Siang itu, putriku Mia yang baru pulang dari sekolah menghampiriku di dapur dengan tergesa-gesa. Ia belum sempat ganti baju, lepas sepatu ataupun meletakkan tas ransel yang masih menempel di punggungnya. “Bunda, TV-nya kemana?”tanya-nya. Sesaat aku terdiam. “rusak,”    “terus, tv yang ada di kamar atas kemana?”   “rusak juga,” Mia mengangkat alis. “kok bisa rusak bareng?”   “ya...mana bunda tahu?”   “waduh, gawat nih. Padahal ada tayangan tv kesukaanku, Bunda. Aku gak bisa nonton dong...”  Mia menepuk keningnya dengan telapak tangan lalu berlalu dengan kecewa. Selang beberapa menit, si bungsu berlari-lari kecil ke arahku. “bunda, tv-nya kemana? Aku mau nonton spongebob nih,”      “sayang, tv-nya masih rusak. Sekarang masih diperbaiki di tukang servis. Nonton tv-nya libur dulu ya..”   “Yaaah, capeek dech...”

        
    Beberapa hari tanpa televisi, ternyata malah menimbulkan masalah baru bagiku. Setiap  hari kedua buah hatiku merengek-rengek pada ayahnya untuk dibelikan tv baru!
“gimana, bu? Apa sebaiknya kita beli tv lagi? Kasihan anak-anak...”  sesaat aku terdiam. “gak usah,Yah. Biar besok tv-nya aku ambil lagi aja,”     “memangnya dijual dimana?”    “gak dijual kok. Tv-nya aku titipkan pada Bulik Siti,”      “Bulik Siti yang ada diluar kota...?”   Aku mengangguk. “Ya ampuuun.....” Suamiku menyentuh pundakku dengan lembut. “Bu, saat ini tayangan tv memang banyak yang tidak mendidik. Tapi, dengan meniadakan tv bukanlah jalan terbaik untuk melindungi anak-anak. Ada kok tayangan yang bagus. Aku mengerti kekhawatiran ibu yang serba ingin melindungi. Tapi, kita sebagai orang tualah yang harus pintar-pintar mengontrol, mengawasi, dan mendampingi apa yang mereka tonton. Itulah tanggung jawab kita....” Sesaat aku kembali terdiam. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil lagi tv yang tadinya ku ‘ungsikan’ di rumah bulik Siti. Ketika TV sudah berada di rumah, kami malah dibuat pusing karena TV tak bisa dinyalakan sama sekali!
“kemarin Ibu bilang apa ke anak-anak soal tv ini...?” tanya suamiku. “yaa... aku terpaksa bohong dengan mengatakan bahwa tv-nya sedang rusak,” jawabku pelan.   Ayah menatapku dengan lekat.    “Bu, jangan-jangan tv-nya rusak beneran...!!??”
Aku membelalak. Haah...!!??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar