Astuti menatap Prasetyo dengan penuh
harap. Lelaki yang telah dipacarinya selama hampir 8 tahun itu hanya terdiam.
“Gimana
mas? Mas pras sudah bilang ke orang tua mas tentang rencana pernikahan kita?”
Astuti membuka suara. Prasetyo tak segera menjawab. Ia membalas tatapan Astuti
lalu menggeleng perlahan.
“Maksud
mas?” Astuti bertanya keheranan.
“As,
aku sudah bilang pada orang tuaku untuk melamarmu agar kita bisa segera menikah
dulu. Tapi...”
“Ditolak
lagi?” Astuti memotong dengan cepat. Prasetyo mengangguk lemah hingga membuat
perempuan di sampingnya menghela nafas panjang, kecewa.
“As,
kumohon mengertilah posisiku. Mengertilah keadaan keluargaku. Aku masih punya 3
kakak laki-laki yang belum menikah dan orang tuaku melarangku untuk mendahului
mereka. Kamu sendiri ‘kan tahu, kedua orang tuaku kejawen sekali. Mereka tidak
akan mengijinkanku menikah sebelum kakak-kakakku menikah. Intinya, aku nggak
boleh ‘nglangkahi’ mereka. Nggak baik katanya,”
Astuti
tertawa sinis, tanpa menatap lelaki di sampingnya.
“Nunggu
giliran? Maksud mas, urut absen gitu?,”
Prasetyo
mengangguk.
“Nunggu
sampai kapan, Mas?”
“Aku
nggak tau, As. Aku nggak bisa memastikan. Aku mengharapkan pengertianmu,
keikhlasanmu untuk menunggu,” Prasetyo meraih tangan Astuti, tapi perempuan itu
menyentakkannya. Sekarang ia menatap lelaki itu dengan tatapan tajam.
“Menunggu
sampai kapan? 3 tahun? 4 tahun? Atau 5 tahun? Kenapa bukan Mas saja yang
mencoba mengerti posisiku? Umurku sudah hampir 30 tahun! Dan kita sudah
berpacaran sekian lama, tapi seolah-olah hubungan kita tak beranjak
kemana-mana. Aku malu dengan tetanggaku. Apa kata orang-orang nanti tentang aku
dan keluargaku. Bisakah mas mengerti posisiku?” Astuti seolah menantang.
“Aku
nggak bisa apa-apa, As. Aku nggak mungkin melawan kehendak orang tuaku, aku tak
mau kuwalat. Mereka tetap tak akan mengijinkan kita menikah, jika ketiga
kakakku belum menikah. Dan aku takkan menikah, tanpa restu dari orang tuaku!”
Prasetyo menjawab tak kalah sengit.
Astuti
merasakan hatinya remuk redam.
“Oke,”
perempuan itu meraih tasnya. “mau kemana kamu?” Prasetyo sempat menarik lengan
tangannya.
“Aku
muak dengan semua ini, Mas. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri,” ia menepis
tangan Prasetyo lalu melangkah meninggalkan lelaki tersebut.
Jujur,
Astuti merasa kecewa dan terpukul. Ia tak menyangka perjalanan cintanya akan
menemukan batu sandungan yang demikian besar. Batu sandungan yang membuat
langkahnya tertatih-tatih dan membuat kepalanya pusing tujuh keliling! Menikah,
adat jawa, urut absen, aduh, apa-apaan semua?
Prasetyo
dan Astuti memang sama-sama orang Jawa asli. Dan dalam kepercayaan orang jawa,
saudara yang lebih tua harus menikah dulu. Dan inilah permasalahannya : urut
absen!
Prasetyo
anak ragil dari 4 bersaudara. Dan kakak-kakak Prasetyo semuanya masih lajang!
Dan jika ia ingin berkeluarga, ia harus menunggu sampai kakak-kakaknya menikah
terlebih dahulu. No excuse!
Sementara
Astuti sendiri anak sulung dari 2 bersaudara, dan tentu saja keluarganya
sendiri menghendaki agar ia segera menikah mengingat umurnya yang tak bisa lagi
dikatakan muda.
Selain
itu, terkadang timbul perasaan risih pada diri Astuti manakala teman-temannya (yang hampir semuanya sudah
berkeluarga) bertanya padanya kapan ia menikah. Tak jarang pula bapak dan
ibunya memberikan nasihat padanya untuk menyudahi saja hubungannya dengan Prasetyo. Lebih-lebih
ketika beberapa hari yang lalu datang seorang pemuda yang merupakan putra dari
salah satu teman bapak Astuti, datang padanya dengan maksud meminangnya.
“Nduk,
bukannya bapak ndak suka dengan Prasetyo. Jujur, sebenarnya bapak senang sekali
dengannya. Dia pemuda yang sopan, baik dan bertanggung jawab. Terus terang,
bapak sreg dengannya. Hanya saja, keadaannya berbeda. Kamu pasti tahu apa yang
bapak maksudkan. Lagipula, umurmu semakin bertambah. Perempuan ndak baik
menikah telat. Bahaya buat kehamilanmu nanti. Bapak juga ngerti banget posisi
Prasetyo. Sulit baginya untuk menikahimu jika ketiga kakaknya belum menikah.
Bapak juga ndak mau kalo ia mendahului kakak-kakaknya dan menikah tanpa restu
orang tua mereka. Itu ndak baik, nduk..”
itu kalimat bapak Astuti yang membuatnya semakin putus asa.
“Jadi,
saya harus bagaimana pak?” perempuan itu bertanya lemah.
“Ikhlaskan
saja Prasetyo. Barangkali dia memang bukan jodohmu. Lepaskan dia, dan terimalah
pinangan Budiman. Bapak tahu ini sulit bagimu. Tapi menurut bapak, ini jalan
terbaik untukmu, untuk kalian berdua,”
Astuti
terdiam. Pikirannya berkecamuk. Ayahnya benar, ia memang harus membuat
keputusan. Apapun itu.
Prasetyo menatap Astuti dengan
tatapan sayu. Dadanya bergetar. Ada semacam rasa sakit di sana, hingga membuat
dadanya sesak.
“Astuti,
apa tekadmu untuk berpisah denganku sudah bulat?” ia bertanya dengan suara
parau. Astuti mengangguk. Bersamaan dengan itu, air matanya menitik.
“Apa
kesabaranmu untuk menunggu sudah habis?” Prasetyo kembali bertanya, kali ini
dengan suara bergetar. Dan Astuti kembali mengangguk, lemah.
“Aku
lelah menunggu, mas. Terlalu lelah. Barangkali ini yang terbaik untuk kita,
meski ini menyakitkan,” suara Astuti nyaris tertelan oleh isak tangis. Prasetyo
menelan ludah. Dan ... ada kristal-kristal bening di sudut matanya.
“Aku
mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Tapi mungkin cinta memang tidak harus di
akhiri dengan kebersamaan. Kita akan sama-sama terluka, tapi yakinlah, waktu
pasti akan menyembuhkannya. Semoga Mas mengerti dengan keputusanku,” Astuti
melanjutkan.
Prasetyo
mengangguk-angguk.
“Maafkan
aku, As,”
“Aku
juga minta maaf ya, Mas,”
“Semoga
kau bahagia,”
“Dan
semoga kau juga bahagia,”
Keduanya
kembali berpandangan. Kristal-kristal bening di sudut mata Prasetyo menitik,
dan tangis Astuti pun pecah.
Dan
di sore hari yang mendung itu, mereka menghabiskan waktu dengan sama-sama ...
menangis!
selesai
Wiwin
setyobekti
Nganjuk,
Juni 2007

Tidak ada komentar:
Posting Komentar