De melangkah ke arah mobilnya dengan tergesa-gesa. Ia
menenteng sebuah kado berisi boneka teddy bear. Kado buat Nabila, putri Ita.
Hari ini adalah ulang tahunnya yang ke empat. Dan De benar-benar sudah
terlambat untuk datang ke pesta ulang tahunnya.
Perempuan itu menggerutu. Ada apa dengannya hari ini? Pekerjaan yang
semalam ia kerjakan belum selesai, ia bangun kesiangan, dan sekarang ia nyaris
tak bisa menghadiri pesta ulang tahun keponakan kecilnya yang lucu!
Perempuan bertubuh semampai
itu baru saja akan menjalankan mobilnya ketika tiba-tiba phonselnya berbunyi.
“Ya, halo?”
“Halo, De? Dimana kau
sekarang? Pestanya sudah di mulai dan kau belum sampai ke sini! Nabila mulai
ngambek nih,” suara dari seberang sana ternyata dari Ita.
“Iya, sori Ta. Aku juga
sedang berusaha nyampek sana dengan cepat. Tapi, semuanya di luar rencana.
Bilang maafku pada Nabila, oke? I’m
coming, soon!”
De menutup telpon dan segera
meluncur menuju kediaman Ita.
Ya, hubungan De dengan
Nabila, putri Ita memang sangat dekat. Ia begitu menyayangi si kecil yang lucu
tersebut, begitu pula sebaliknya. Nabila bahkan memanggil De dengan sebutan
tante cantik. Dia bilang, De adalah tante tercantik di dunia!
Ketika De sampai di kediaman
Ita, acara sudah berjalan separuh. Nabila nampak sedikit murung di samping
bundanya.
“Halo, sayang. Maaf ya tante
terlambat. Tante benar-benar punya pekerjaan yang sangat banyak,” De memeluk
gadis kecil itu dengan lembut.
Gadis kecil itu masih
terlihat murung. Tapi begitu De memberinya sebuah boneka teddy bear, senyum
mulai merekah di bibirnya yang mungil.
“ terima kasih, tante,”
ucapnya. Sesaat kemudian, dia sudah kembali bergembira dan bergabung dengan
teman-temannya.
“Ada apa denganmu hari ini?
Kau terlihat berantakan,” Ita menyodorkan segelas minuman ke arah De. De hanya
mendesah sambil menerima gelas sirup tersebut.
“Ya, aku benar-benar berantakan hari ini.
Banyak pekerjaan yang belum terselesaikan dan aku dikejar-kejar dead line,”
gerutunya. Ita terkekeh.
“apa hanya ada pekerjaan yang
ada di kepalamu?”
“ya,” De menjawab cepat.
Keduanya mengobrol sambil memperhatikan Nabila yang bermain-main dengan
teman-temannya.
“De, ini sudah hampir lima
tahun sejak kau menghadiri pernikahan Suhe. Tidakkah kau ingin mengurangi
pekerjaanmu dan segera mencari suami? Ingat, usiamu semakin bertambah. Sekarang
kau tak muda lagi,” Ita kembali mengingatkan. De hanya tersenyum.
Ya, ini sudah hampir 5 tahun
sejak De terakhir kali bertemu dengan Suhe. Banyak hal yang sudah berubah.
Sekarang De bekerja di sebuah perusahaan besar di Indonesia. Ia mulai menata
ekonominya sedikit demi sedikit. Sekarang ia bahkan sudah bisa membeli rumah,
meskipun kecil dan sederhana. Ia juga sudah bisa membeli sebuah mobil, meskipun
mobil tua dan sederhana pula.
Tapi, ada satu hal yang tidak
berubah. Hatinya.
Ia disibukkan dengan banyak
pekerjaan hingga lupa membuka hatinya untuk sebuah cinta baru. Itu bahkan tidak
pernah terlintas di benaknya.
Jika harus jujur, ia memang
belum bisa melupakan Suhe. Lelaki itu masih melekat denga erat di dalam kepalanya.
Dan, mungkin itulah yang membuatnya enggan untuk bercinta. Ia melampiaskan
semuanya pada pekerjaan dengan harapan bisa melupakan Suhe denga
perlahan-lahan. Nyatanya, ia gagal!
“segala sesuatu di muka bumi
ini sudah ada yang mengatur, Ta. Dan aku percaya, kelak jika waktunya menikah,
aku pasti menikah. Punya keluarga yang bahagia, anak lucu, sama seperti
dirimu,”
“Bagaimana kau akan menikah
kalau kau tak pernah membuka hatimu untuk orang lain?”
De tersenyum.
“Belum waktunya,” jawab De
singkat.
Ita hanya mendesah kesal
melihat tingkah polah sahabat karibnya tersebut.
“Maaf, Ta. Hari ini aku tak
bisa lama-lama, sore nanti jam 4 aku harus terbang ke Bali,”
“ke Bali?”
De mengangguk.
“Biasa, pekerjaan. Mungkin aku akan di sana
sekitar 2 minggu,”
“Lama sekali,”
“Perintah adalah perintah,
tak bisa dibantah. Jangan khawatir, aku pasti akan membawakanmu banyak
oleh-oleh. Oke?” De mengerlingkan matanya dengan manis.
***
De sampai di hotel sekitar
pukul 11 malam dengan fisik kelelahan. Namun begitu, yang ia lakukan pertama
kali setelah menata barang-barangnya dan mandi adalah kembali melanjutkan
pekerjaannya yang sempat tertunda hingga jam 2 dini hari. Hingga akhirnya, ia
tertidur di meja kerjanya dan bangun kesiangan.
“Apa kau baik-baik saja? Kau
terlihat kurang sehat hari ini?” tanya Bagus, rekan kerjanya, ketika mereka
sudah bertemu di ruang pertemuan.
“sepertinya aku kelelahan
sekali. Tapi jangan khawatir, i’m oke,” jawab De.
“kau bisa ijin dan istirahat
di hotel saja kalau kau merasa kurang sehat,” Bagus kembali memberi saran. Ia
tampak khawatir melihat keadaan De.
De baru saja akan memberikan
penjelasan namun kata-katanya terhenti ketika tiba-tiba ia ambruk tak sadarkan
diri..
Ketika ia membuka mata ia
sudah berada di sebuah kamar rumah sakit. Dan ia melihat Bagus di sampingnya.
“Syukurlah kau sudah sadar.
Sudah merasa lebih baik? Kata dokter kau kecapekan dan pola makanmu berantakan.
Typusmu kambuh lagi. Ah, kau benar-benar membuatku khawatir, De,” suara Bagus
terdengar khawatir tapi sekaligus ada kelegaan di sana karena De suah siuman.
De tersenyum dan mengangguk.
Lelaki tampan dan baik hati
itu masih saja perhatian padanya meskipun cintanya telah ia tolak. Ya, Bagus
memang pernah menyatkan cinta padanya. Tapi De menolaknya dengan halus. Dan ia
bersyukur karena mereka masih saja menjadi sahabat yang baik, yang saling
mendukung, tanpa rasa canggung dan kebencian.
“Maafkan aku karena telah
membuatmu khawatir. Ah, aku sakit di saat yang tidak tepat. Banyak pekerjaan
yang seharusnya kita selesaikan secepat mungkin. Apa pak Hasan marah padaku?”
Bagus tersenyum dan
menggeleng.
“Sudahlah, De. Jangan terlalu
memikirkan pekerjaan. Yang terpenting sekarang adalah kau harus membaik dahulu.
Pak Hasan tak marah. Ia memahami betul kondisimu. Ia bahkan menyarankan agar
kau mengambil cuti setelah keluar dari rumah sakit untuk istirahat total dan
memperbaiki kondisimu. Jangan khawatir, aku bisa menghandle semua pekerjaan
kita sendirian, oke?” Bagus kembali meyakinkan De.
De manggut-manggut.
“Maaf merepotkanmu,” jawabnya
kemudian.
“Oke deh, istirahat saja. Aku
harus segera kembali ke tempat pertemuan. Nanti jika acaranya sudah selesai,
aku akan kembali mengunjungimu,” ujar Bagus lagi. De mengangguk dan lelaki
itupun meninggalkannya. Selang beberapa saat kemudian, seorang perawat masuk ke
kamarnya untuk memberikan obat.
“bagaimana bu? Sudah merasa
lebih baik?” suster itu menyapa dengan ramah. De tersenyum dan mengangguk.
“suster, aku pernah alergi
pada obat tertentu. Tapi aku lupa obat apa itu,” De memberikan peringatan.
Suster muda itu mengangguk.
“Baik bu, nanti akan saya
laporkan pada dokter Suhe,” jawabnya ramah.
De kembali mengangguk. Tapi
sesaat kemudian ia terhenyak.
“dokter ___siapa?” tanyanya
kaget.
“dokter Suhe, yang merawat
anda,”
“Suhe?” De mengernyitkan
dahinya.
“Afandi Suherman?” ia kembali bertanya dan
suster itupun kembali mengangguk.
De mematung, mencoba
mengenyahkan kemungkinan – kemungkinan yang sepertinya mustahil. Bisa saja ‘kan
itu kebetulan nama yang sama!?
Tidak mungkin itu adalah
Afandi Suherman, Suhe-nya!
“Bisa saya menemuinya?”
“Iya, nanti dokter Suhe akan
ke sini. Tapi sekarang beliau masih ada meeting, bu,” suster itu kembali
menjelaskan sebelum mohon diri dengan sopan.
De tercenung. Ia berusaha
mengabaikannya, tapi ia tak bisa. Rasa penasarannya seakan mengalahkan rasa
sakit yang mendera seluruh tubuhnya hingga akhirnya ia bangkit, mencabut selang
infus dengan tergesa-gesa, lalu bergerak keluar.
Ketika ia sampai di sebuah
lorong rumah sakit, tatapan matanya menangkap sosok yang hampir ia kenali,
tengah melenggang dari arah berlawanan.
De berdiri mematung dan
menunggu sosok itu mendekatinya hingga jarak di antara mereka hanya beberapa
langkah saja. Dan De yakin bahwa sosok itu memang dia. Suhe!
De menatapnya dengan dalam,
begitu pula dengan lelaki yang ada di depannya. Seketika perempuan itu
merasakan dadanya sesak dan ia limbung. Tapi dengan sigap Suhe beranjak
menangkap tubuhnya hingga tubuhnya tak menghantam kerasnya lantai rumah sakit.
“Apakah ini benar-benar kau?”
tanya De lirih tanpa melepaskan pandangannya dari lelaki yang tengah
memeluknya. Lelaki itu mengangguk pelan. Tanpa bersuara. Kemudian ia
menggendong tubuh De lalu membawanya kembali ke kamarnya. Ia membaringkan tubuh
perempuan itu di tempat tidur dengan perlahan dan hati-hati.
“Aku doktermu dan aku belum
memberikan ijin padamu untuk meninggalkan kamarmu,” akhirnya Suhe membuka
suara. Terdengar ada nada khawatir di sana.
“siapa perawat yang bertugas
hari ini? Sepertinya aku harus menegurnya karena membiarkan seorang pasien yang
butuh istirahat total berkeliaran ke luar,” nada suaranya setengah kesal, tanpa
melihat ke arah De.
“tidak, ini salahku. Aku yang
berinisiatif untuk keluar kamar,” jawab De pelan.
Suhe kembali tak bersuara.
Dengan cekatan ia membersihkan tangan De yang berlumuran darah karena
pencabutan infus yang seenaknya lalu kembali memasangkan jarum infus di tangan
yang satunya. De menatapnya dengan seksama, tanpa berani bersuara. Ia leluasa
menatap lelaki tersebut dan menyadari bahwa tak banyak dari sosok tersebut yang
berubah. Ia masih gagah, tampan, dan menawan. Yang membedakan sekarang mungkin
adalah ia punya kumis tipis yang sekarang ia pelihara entah sejak kapan. Dan
jujur saja, penampilannya yang sekarang jauh lebih dewasa dan berwibawa.
“Apa kau begitu merindukanku
hingga kau terus menatapku seperti itu?” Suhe menatap De dengan tatapan nakal.
Perempuan itu terhenyak, tersadar dari lamunannya.
“Ah, maaf,” De seakan baru
menyadari tindakannya.
“Hei, kenapa kau jadi formal
begitu, De,”
“Ow, maaf, itu__”
“Nah, loh, formal lagi ‘kan?
Kita teman lama ‘kan?” Suhe tersenyum. Dan De-pun ikut tersenyum hingga
akhirnya ketegangan di antara mereka sedikit mencair.
“Aku hanya merasa kaget
karena tiba-tiba saja bertemu denganmu di sini,”
“Aku juga,” jawab Suhe. Ia
duduk di samping De.
“Apa ini akan terus jadi
kebiasaanmu? Kerja tanpa istirahat, makan tak teratur, dan akhirnya kau harus
tinggal di rumah sakit lagi?” Suhe seakan mengingatkan lagi pada De kejadian 5
tahun yang lalu. De menggeleng lemah.
“Ini di luar kontrolku. Aku
benar-benar punya banyak kerjaan yang harus ku selesaikan,” jawabnya.
Suhe mendesah kesal.
“Sepertinya kau benar-benar
harus merubah kebiasaanmu ini, De. Ingat, kau selalu pingsan setiap kita baru
bertemu. Kalau tak salah, ini sudah yang kedua kalinya,”
“Sejak kapan kau kembali ke
Indonesia?” De mengalihkan topik pembicaraan. Tidak, sebenarnya ia benar-benar
penasaran tentang pertemuan mereka di sini.
“Aku sudah pindah ke sini
sejak sekitar satu tahun yang lalu,”
De tercengang. 1 tahun yang
lalu? Sebenarnya banyak sekali yang ingin ia tanyakan. Apakah ia pindah ke sini
dengan keluarganya, istrinya, anak-anaknya, tapi entah kenapa bibirnya serasa
terkunci. Ia takut, entah takut karena apa. Toh ia sudah kehilangan dia sejak
beberapa tahun yang lalu.
“Dan kau menatap di sini?”
“Ya, aku kerasan di sini.
Lingkungan di sini benar-benar membuatku nyaman,”
De manggut-manggut.
“Dan kau bekerja di sini?”
“Ah, tidak. Aku sekedar
mengurus pekerjaan. Mungkin sekitar 2 minggu, lalu kembali lagi ke Jakarta.
Tapi melihat keadaan sekarang, entah aku harus kembali kapan,” De setengah
menyesal karena pekerjaannya terganggu karena sakitnya.
“Istirahat dulu, De. Kita
akan mengobrol lagi nanti kalo keadaanmu benar-benar sudah membaik. Dan demi
Tuhan, jangan pernah meninggalkan kamar ini tanpa seijinku. Ingat, sekarang kau
pasienku,” suara Suhe setengah memerintah. Sebenarnya De tak rela jika Suhe
meninggalkannya karena jujur ia masih ingin mengobrol banyak dengannya. Tapi
akhirnya, ia hanya mengangguk ketika Suhe mohon diri dan meninggalkan dia
sendirian.
***
De sudah merasa jauh lebih baik setelah tinggal beberapa
hari di rumah sakit. Bagus selalu mengunjunginya setiap hari dan menceritakan
tentang perkembangan pekerjaan. Dia juga selalu bertemu Suhe. Hanya saja,
mereka jarang ngobrol lama. Pembicaraan di antara mereka terkesan umum-umum
saja layaknya dokter dan pasien. Bahkan terkesan lebih formal. Mungkin karena
Suhe selalu mengunjunginya dengan ditemani seorang perawat. Atau mungkin,
mereka seolah-olah sengaja membuat jarak, entah karena apa.
Hari itu Bagus kembali
mengunjunginya dan melaporkan perkembangan pekerjaan mereka.
“Pekerjaan kita beres De.
Klien kita banyak yang puas. Jadi, tak ada yang perlu khawatirkan. Oke?”
“terima kasih. Aku benar-benar
merepotkanmu kali ini. Mungkin besok atau lusa aku sudah boleh pulang. Semoga
saja,” ucap De setengah berdo’a.
“Ya, dan segeralah kembali ke
Jakarta untuk mengambil cuti dan istirahat total. Percayalah, kau memerlukannya.
Pekerjaan di sini, biar aku dan rekan-rekan yang lain yang mengatasinya,”
De manggut-manggut.
“Trims ya, Gus,” ucapnya
lagi.
Pembicaraan di antara mereka
terhenti ketika Suhe masuk ke kamar, sendirian, tanpa ditemani seorang perawat
seperti biasanya.
“Maaf, sepertinya saya mengganggu
obrolan kalian,” Suhe berkata sambil melihat ke arah Bagus dan De silih
berganti. Bagus tertawa.
“Ah, tidak dokter. Mungkin
akulah yang mengganggu kerja anda karena berkunjung di jam-jam yang tidak
seharusnya. Mohon maaf, dokter, tapi ada hal penting yang memang harus saya
sampaikan pada De, tentang pekerjaan tentunya,” jawab Bagus. Suhe tersenyum.
“Silahkan anda melanjutkan
tugas anda, dokter. Saya akan mohon diri. Oke, De, aku pergi dulu. Besok aku
akan ke sini lagi,”
Bagus mohon diri dengan sopan
dan meniggalkan Suhe dan De berduaan.
“Sepertinya dia perhatian
sekali padamu. Apa kalian berpacaran?”
Suhe membuka suara. De tergelak.
“Tidak, kami hanya sebatas rekan kerja. Tapi,
ya, dia memang perhatian sekali,” jawab De. Suhe manggut-manggut.
“bagaimana keadaanmu hari
ini? Masih ada keluhan?” tanya Suhe lagi. De menggeleng.
“Aku sudah merasa lebih baik.
Jadi, kapan aku boleh keluar dari rumah sakit ini? Besok, bolehkah?”
Suhe menggeleng cepat.
“Tidak, kau belum sehat betul
untuk keluar dari rumah sakit,”
“Tapi,”
“Percayalah, De. Ini demi
kebaikanmu sendiri,” Suhe mulai memeriksa De seperti biasanya. Begitu ia
mengambil obat di laci, ia menyaksikan tumpukan map di meja tersebut.
“Kau membawa pekerjaan ke
sini?” tanya De sedikit kesal.
“Aku hanya sedikit
mengeceknya,”
Suhe menyambar map-map
tersebut.
“Aku akan membawa map-map ini
untuk sementara agar kau bisa istirahat dengan tenang tanpa harus membebani
dirimu sendiri dengan pekerjaan-pekerjaan semacam ini,”
De ingin protes, tapi tatapan
mata Suhe tampak serius hingga ia mengurungkan niatnya.
***
Hari itu seperti biasa Bagus ingin mengunjungi De. Tapi
begitu memasuki pintu rumah sakit, ia berpapasan dengan Suhe. Suhe meminta
waktu sebentar untuk mengobrol dengannya dan Bagus-pun mengiyakan. Dan
akhirnya, mereka memutuskan untuk mengobrol di kantin sambil minum kopi.
“Maaf, saya tidak bermaksud
untuk mencampuri urusan pekerjaan kalian. Saya tahu bahwa pekerjaan juga
penting untuk kalian tapi saya harap, anda tidak membiarkan De terlalu
kelelahan dengan membiarkan dia membawa pekerjaannya ke dalam kamar perawatan.
Kemarin aku menyita map-map yang anda bawakan untuk dia karena saya tak ingin
dia terlalu banyak aktifitas,” Suhe membuka suara dengan sopan. Bagus
tersenyum.
“Iya, dokter. Saya mengerti maksud
anda. Kelak saya takkan melakukannya lagi. Sebenarnya saya juga melarang dia
untuk melakukan itu. Tapi anda tahu sendiri ‘kan? De begitu keras kepala. Dia
perempuan yang berkemauan keras,” jawab Bagus. Ia tak tersinggung dengan ucapan
Suhe, karena ucapan dokter benarlah adanya.
“Oh iya, bukankah dulu kalian
teman satu kampus?” tanya Bagus.
“De menceritakannya?” Suhe
balik bertanya. Dan Bagus mengangguk.
“Apa lagi yang dia
ceritakan?”
“tidak banyak. Dia hanya
bilang bahwa dulu kalian sempat belajar satu kampus sebelum akhirnya anda
melanjutkan kuliah ke Amerika,” jawab Bagus. Ia menyeruput kopinya dengan
perlahan. Dan Suhe-pun melakukan hal sama.
“Anda kelihatan dekat dengan
De. Perhatian anda terlihat berbeda dari sekedar sahabat. Apa kalian berpacaran?”
Suhe memancing. Bagus tergelak.
“Tidak, kami hanya sahabat.
Aku hanya merasa kasihan karena ia tak punya banyak saudara di sini ataupun di
Jakarta. Itulah kenapa aku senantiasa memperhatikan dan mengkhawatirkannya.
Tapi jika perhatianku padanya lebih dari sahabat, itu benar adanya,” Bagus
berbicara dengan berterus terang.
“Maksud anda?” Suhe
mengernyitkan dahinya.
“Jika harus jujur, aku benar-benar
menyukainya. Dia benar-benar wanita yang luar biasa. Hanya saja, dia menolakku,
dokter,” Bagus terkekeh. Ia menceritakannya dengan ringan. Terlihat sekali
bahwa dia adalah orang yang supel.
“Dia menolak anda?” Suhe
seperti memastikan. Bagus mengangguk.
“Dia bilang, dia hanya
menganggapku sebagai sahabat, dan akhirnya, kami memang tetap bersahabat baik
sampai sekarang. Well, itu tak apa-apa. Dia menolakku, tapi tetap saja saya
lega menjadi sahabatnya,” Bagus kembali terkekeh.
“De memang ahli dalam menolak
cinta seseorang,” Suhe menggumam pelan.
“Maaf?” Bagus menyipitkan
matanya karena ia seolah-olah mendengar Suhe mengatakan sesuatu.
“Ah, tidak. Saya benar-benar
berharap anda bisa membantu saya untuk membuatnya menjauhi pekerjaan sementara
waktu,” Suhe mengalihkan pembicaraan.
“Tentu,” Bagus menjawab
dengan pasti.
“ngomong-ngomong, kapan dia
boleh keluar dari rumah sakit, dokter,”
“Semoga saja lusa,” jawab Suhe tak
pasti. bersambung...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar