Rabu, 11 Juni 2014

De Suhe II part 1



De melangkah ke arah mobilnya dengan tergesa-gesa. Ia menenteng sebuah kado berisi boneka teddy bear. Kado buat Nabila, putri Ita. Hari ini adalah ulang tahunnya yang ke empat. Dan De benar-benar sudah terlambat untuk datang ke pesta ulang tahunnya.  Perempuan itu menggerutu. Ada apa dengannya hari ini? Pekerjaan yang semalam ia kerjakan belum selesai, ia bangun kesiangan, dan sekarang ia nyaris tak bisa menghadiri pesta ulang tahun keponakan kecilnya yang lucu!
Perempuan bertubuh semampai itu baru saja akan menjalankan mobilnya ketika tiba-tiba phonselnya berbunyi.
“Ya, halo?”
“Halo, De? Dimana kau sekarang? Pestanya sudah di mulai dan kau belum sampai ke sini! Nabila mulai ngambek nih,” suara dari seberang sana ternyata dari Ita.
“Iya, sori Ta. Aku juga sedang berusaha nyampek sana dengan cepat. Tapi, semuanya di luar rencana. Bilang maafku pada Nabila, oke? I’m coming, soon!
De menutup telpon dan segera meluncur menuju kediaman Ita.
Ya, hubungan De dengan Nabila, putri Ita memang sangat dekat. Ia begitu menyayangi si kecil yang lucu tersebut, begitu pula sebaliknya. Nabila bahkan memanggil De dengan sebutan tante cantik. Dia bilang, De adalah tante tercantik di dunia!
Ketika De sampai di kediaman Ita, acara sudah berjalan separuh. Nabila nampak sedikit murung di samping bundanya.
“Halo, sayang. Maaf ya tante terlambat. Tante benar-benar punya pekerjaan yang sangat banyak,” De memeluk gadis kecil itu dengan lembut.
Gadis kecil itu masih terlihat murung. Tapi begitu De memberinya sebuah boneka teddy bear, senyum mulai merekah di bibirnya yang mungil.
“ terima kasih, tante,” ucapnya. Sesaat kemudian, dia sudah kembali bergembira dan bergabung dengan teman-temannya.
“Ada apa denganmu hari ini? Kau terlihat berantakan,” Ita menyodorkan segelas minuman ke arah De. De hanya mendesah sambil menerima gelas sirup tersebut.
 “Ya, aku benar-benar berantakan hari ini. Banyak pekerjaan yang belum terselesaikan dan aku dikejar-kejar dead line,” gerutunya. Ita terkekeh.
“apa hanya ada pekerjaan yang ada di kepalamu?”
“ya,” De menjawab cepat. Keduanya mengobrol sambil memperhatikan Nabila yang bermain-main dengan teman-temannya.
“De, ini sudah hampir lima tahun sejak kau menghadiri pernikahan Suhe. Tidakkah kau ingin mengurangi pekerjaanmu dan segera mencari suami? Ingat, usiamu semakin bertambah. Sekarang kau tak muda lagi,” Ita kembali mengingatkan. De hanya tersenyum.
Ya, ini sudah hampir 5 tahun sejak De terakhir kali bertemu dengan Suhe. Banyak hal yang sudah berubah. Sekarang De bekerja di sebuah perusahaan besar di Indonesia. Ia mulai menata ekonominya sedikit demi sedikit. Sekarang ia bahkan sudah bisa membeli rumah, meskipun kecil dan sederhana. Ia juga sudah bisa membeli sebuah mobil, meskipun mobil tua dan sederhana pula.
Tapi, ada satu hal yang tidak berubah. Hatinya.
Ia disibukkan dengan banyak pekerjaan hingga lupa membuka hatinya untuk sebuah cinta baru. Itu bahkan tidak pernah terlintas di benaknya.
Jika harus jujur, ia memang belum bisa melupakan Suhe. Lelaki itu masih melekat denga erat di dalam kepalanya. Dan, mungkin itulah yang membuatnya enggan untuk bercinta. Ia melampiaskan semuanya pada pekerjaan dengan harapan bisa melupakan Suhe denga perlahan-lahan. Nyatanya, ia gagal!
“segala sesuatu di muka bumi ini sudah ada yang mengatur, Ta. Dan aku percaya, kelak jika waktunya menikah, aku pasti menikah. Punya keluarga yang bahagia, anak lucu, sama seperti dirimu,”
“Bagaimana kau akan menikah kalau kau tak pernah membuka hatimu untuk orang lain?”
De tersenyum.
“Belum waktunya,” jawab De singkat.
Ita hanya mendesah kesal melihat tingkah polah sahabat karibnya tersebut.
“Maaf, Ta. Hari ini aku tak bisa lama-lama, sore nanti jam 4 aku harus terbang ke Bali,”
“ke Bali?”
De mengangguk.
 “Biasa, pekerjaan. Mungkin aku akan di sana sekitar 2 minggu,”
“Lama sekali,”
“Perintah adalah perintah, tak bisa dibantah. Jangan khawatir, aku pasti akan membawakanmu banyak oleh-oleh. Oke?” De mengerlingkan matanya dengan manis.

***

       De sampai di hotel sekitar pukul 11 malam dengan fisik kelelahan. Namun begitu, yang ia lakukan pertama kali setelah menata barang-barangnya dan mandi adalah kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda hingga jam 2 dini hari. Hingga akhirnya, ia tertidur di meja kerjanya dan bangun kesiangan.
“Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat kurang sehat hari ini?” tanya Bagus, rekan kerjanya, ketika mereka sudah bertemu di ruang pertemuan.
“sepertinya aku kelelahan sekali. Tapi jangan khawatir, i’m oke,” jawab De.
“kau bisa ijin dan istirahat di hotel saja kalau kau merasa kurang sehat,” Bagus kembali memberi saran. Ia tampak khawatir melihat keadaan De.
De baru saja akan memberikan penjelasan namun kata-katanya terhenti ketika tiba-tiba ia ambruk tak sadarkan diri..
Ketika ia membuka mata ia sudah berada di sebuah kamar rumah sakit. Dan ia melihat Bagus di sampingnya.
“Syukurlah kau sudah sadar. Sudah merasa lebih baik? Kata dokter kau kecapekan dan pola makanmu berantakan. Typusmu kambuh lagi. Ah, kau benar-benar membuatku khawatir, De,” suara Bagus terdengar khawatir tapi sekaligus ada kelegaan di sana karena De suah siuman. De tersenyum dan mengangguk.
Lelaki tampan dan baik hati itu masih saja perhatian padanya meskipun cintanya telah ia tolak. Ya, Bagus memang pernah menyatkan cinta padanya. Tapi De menolaknya dengan halus. Dan ia bersyukur karena mereka masih saja menjadi sahabat yang baik, yang saling mendukung, tanpa rasa canggung dan kebencian.
“Maafkan aku karena telah membuatmu khawatir. Ah, aku sakit di saat yang tidak tepat. Banyak pekerjaan yang seharusnya kita selesaikan secepat mungkin. Apa pak Hasan marah padaku?”
Bagus tersenyum dan menggeleng.
“Sudahlah, De. Jangan terlalu memikirkan pekerjaan. Yang terpenting sekarang adalah kau harus membaik dahulu. Pak Hasan tak marah. Ia memahami betul kondisimu. Ia bahkan menyarankan agar kau mengambil cuti setelah keluar dari rumah sakit untuk istirahat total dan memperbaiki kondisimu. Jangan khawatir, aku bisa menghandle semua pekerjaan kita sendirian, oke?” Bagus kembali meyakinkan De.
De manggut-manggut.
“Maaf merepotkanmu,” jawabnya kemudian.
“Oke deh, istirahat saja. Aku harus segera kembali ke tempat pertemuan. Nanti jika acaranya sudah selesai, aku akan kembali mengunjungimu,” ujar Bagus lagi. De mengangguk dan lelaki itupun meninggalkannya. Selang beberapa saat kemudian, seorang perawat masuk ke kamarnya untuk memberikan obat.
“bagaimana bu? Sudah merasa lebih baik?” suster itu menyapa dengan ramah. De tersenyum dan mengangguk.
“suster, aku pernah alergi pada obat tertentu. Tapi aku lupa obat apa itu,” De memberikan peringatan. Suster muda itu mengangguk.
“Baik bu, nanti akan saya laporkan pada dokter Suhe,” jawabnya ramah.
De kembali mengangguk. Tapi sesaat kemudian ia terhenyak.
“dokter ___siapa?” tanyanya kaget.
“dokter Suhe, yang merawat anda,”
“Suhe?” De mengernyitkan dahinya.
 “Afandi Suherman?” ia kembali bertanya dan suster itupun kembali mengangguk.
De mematung, mencoba mengenyahkan kemungkinan – kemungkinan yang sepertinya mustahil. Bisa saja ‘kan itu kebetulan nama yang sama!?
Tidak mungkin itu adalah Afandi Suherman, Suhe-nya!
“Bisa saya menemuinya?”
“Iya, nanti dokter Suhe akan ke sini. Tapi sekarang beliau masih ada meeting, bu,” suster itu kembali menjelaskan sebelum mohon diri dengan sopan.
De tercenung. Ia berusaha mengabaikannya, tapi ia tak bisa. Rasa penasarannya seakan mengalahkan rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya hingga akhirnya ia bangkit, mencabut selang infus dengan tergesa-gesa, lalu bergerak keluar.
Ketika ia sampai di sebuah lorong rumah sakit, tatapan matanya menangkap sosok yang hampir ia kenali, tengah melenggang dari arah berlawanan.
De berdiri mematung dan menunggu sosok itu mendekatinya hingga jarak di antara mereka hanya beberapa langkah saja. Dan De yakin bahwa sosok itu memang dia. Suhe!
De menatapnya dengan dalam, begitu pula dengan lelaki yang ada di depannya. Seketika perempuan itu merasakan dadanya sesak dan ia limbung. Tapi dengan sigap Suhe beranjak menangkap tubuhnya hingga tubuhnya tak menghantam kerasnya lantai rumah sakit.
“Apakah ini benar-benar kau?” tanya De lirih tanpa melepaskan pandangannya dari lelaki yang tengah memeluknya. Lelaki itu mengangguk pelan. Tanpa bersuara. Kemudian ia menggendong tubuh De lalu membawanya kembali ke kamarnya. Ia membaringkan tubuh perempuan itu di tempat tidur dengan perlahan dan hati-hati.
“Aku doktermu dan aku belum memberikan ijin padamu untuk meninggalkan kamarmu,” akhirnya Suhe membuka suara. Terdengar ada nada khawatir di sana.
“siapa perawat yang bertugas hari ini? Sepertinya aku harus menegurnya karena membiarkan seorang pasien yang butuh istirahat total berkeliaran ke luar,” nada suaranya setengah kesal, tanpa melihat ke arah De.
“tidak, ini salahku. Aku yang berinisiatif untuk keluar kamar,” jawab De pelan.
Suhe kembali tak bersuara. Dengan cekatan ia membersihkan tangan De yang berlumuran darah karena pencabutan infus yang seenaknya lalu kembali memasangkan jarum infus di tangan yang satunya. De menatapnya dengan seksama, tanpa berani bersuara. Ia leluasa menatap lelaki tersebut dan menyadari bahwa tak banyak dari sosok tersebut yang berubah. Ia masih gagah, tampan, dan menawan. Yang membedakan sekarang mungkin adalah ia punya kumis tipis yang sekarang ia pelihara entah sejak kapan. Dan jujur saja, penampilannya yang sekarang jauh lebih dewasa dan berwibawa. 
“Apa kau begitu merindukanku hingga kau terus menatapku seperti itu?” Suhe menatap De dengan tatapan nakal. Perempuan itu terhenyak, tersadar dari lamunannya.
“Ah, maaf,” De seakan baru menyadari tindakannya.
“Hei, kenapa kau jadi formal begitu, De,”
“Ow, maaf, itu__”
“Nah, loh, formal lagi ‘kan? Kita teman lama ‘kan?” Suhe tersenyum. Dan De-pun ikut tersenyum hingga akhirnya ketegangan di antara mereka sedikit mencair.
“Aku hanya merasa kaget karena tiba-tiba saja bertemu denganmu di sini,”
“Aku juga,” jawab Suhe. Ia duduk di samping De.
“Apa ini akan terus jadi kebiasaanmu? Kerja tanpa istirahat, makan tak teratur, dan akhirnya kau harus tinggal di rumah sakit lagi?” Suhe seakan mengingatkan lagi pada De kejadian 5 tahun yang lalu. De menggeleng lemah.
“Ini di luar kontrolku. Aku benar-benar punya banyak kerjaan yang harus ku selesaikan,” jawabnya.
Suhe mendesah kesal.
“Sepertinya kau benar-benar harus merubah kebiasaanmu ini, De. Ingat, kau selalu pingsan setiap kita baru bertemu. Kalau tak salah, ini sudah yang kedua kalinya,”
“Sejak kapan kau kembali ke Indonesia?” De mengalihkan topik pembicaraan. Tidak, sebenarnya ia benar-benar penasaran tentang pertemuan mereka di sini.
“Aku sudah pindah ke sini sejak sekitar satu tahun yang lalu,”
De tercengang. 1 tahun yang lalu? Sebenarnya banyak sekali yang  ingin ia tanyakan. Apakah ia pindah ke sini dengan keluarganya, istrinya, anak-anaknya, tapi entah kenapa bibirnya serasa terkunci. Ia takut, entah takut karena apa. Toh ia sudah kehilangan dia sejak beberapa tahun yang lalu.
“Dan kau menatap di sini?”
“Ya, aku kerasan di sini. Lingkungan di sini benar-benar membuatku nyaman,”
De manggut-manggut.
 “Dan kau bekerja di sini?”
“Ah, tidak. Aku sekedar mengurus pekerjaan. Mungkin sekitar 2 minggu, lalu kembali lagi ke Jakarta. Tapi melihat keadaan sekarang, entah aku harus kembali kapan,” De setengah menyesal karena pekerjaannya terganggu karena sakitnya.
“Istirahat dulu, De. Kita akan mengobrol lagi nanti kalo keadaanmu benar-benar sudah membaik. Dan demi Tuhan, jangan pernah meninggalkan kamar ini tanpa seijinku. Ingat, sekarang kau pasienku,” suara Suhe setengah memerintah. Sebenarnya De tak rela jika Suhe meninggalkannya karena jujur ia masih ingin mengobrol banyak dengannya. Tapi akhirnya, ia hanya mengangguk ketika Suhe mohon diri dan meninggalkan dia sendirian.



***



            De sudah merasa jauh lebih baik setelah tinggal beberapa hari di rumah sakit. Bagus selalu mengunjunginya setiap hari dan menceritakan tentang perkembangan pekerjaan. Dia juga selalu bertemu Suhe. Hanya saja, mereka jarang ngobrol lama. Pembicaraan di antara mereka terkesan umum-umum saja layaknya dokter dan pasien. Bahkan terkesan lebih formal. Mungkin karena Suhe selalu mengunjunginya dengan ditemani seorang perawat. Atau mungkin, mereka seolah-olah sengaja membuat jarak, entah karena apa.
Hari itu Bagus kembali mengunjunginya dan melaporkan perkembangan pekerjaan mereka.
“Pekerjaan kita beres De. Klien kita banyak yang puas. Jadi, tak ada yang perlu khawatirkan. Oke?”
“terima kasih. Aku benar-benar merepotkanmu kali ini. Mungkin besok atau lusa aku sudah boleh pulang. Semoga saja,” ucap De setengah berdo’a.
“Ya, dan segeralah kembali ke Jakarta untuk mengambil cuti dan istirahat total. Percayalah, kau memerlukannya. Pekerjaan di sini, biar aku dan rekan-rekan yang lain yang mengatasinya,”
De manggut-manggut.
“Trims ya, Gus,” ucapnya lagi.
Pembicaraan di antara mereka terhenti ketika Suhe masuk ke kamar, sendirian, tanpa ditemani seorang perawat seperti biasanya.
“Maaf, sepertinya saya mengganggu obrolan kalian,” Suhe berkata sambil melihat ke arah Bagus dan De silih berganti. Bagus tertawa.
“Ah, tidak dokter. Mungkin akulah yang mengganggu kerja anda karena berkunjung di jam-jam yang tidak seharusnya. Mohon maaf, dokter, tapi ada hal penting yang memang harus saya sampaikan pada De, tentang pekerjaan tentunya,” jawab Bagus. Suhe tersenyum.
“Silahkan anda melanjutkan tugas anda, dokter. Saya akan mohon diri. Oke, De, aku pergi dulu. Besok aku akan ke sini lagi,”
Bagus mohon diri dengan sopan dan meniggalkan Suhe dan De berduaan.
“Sepertinya dia perhatian sekali padamu. Apa kalian berpacaran?”  Suhe membuka suara. De tergelak.
 “Tidak, kami hanya sebatas rekan kerja. Tapi, ya, dia memang perhatian sekali,” jawab De. Suhe manggut-manggut.
“bagaimana keadaanmu hari ini? Masih ada keluhan?” tanya Suhe lagi. De menggeleng.
“Aku sudah merasa lebih baik. Jadi, kapan aku boleh keluar dari rumah sakit ini? Besok, bolehkah?”
Suhe menggeleng cepat.
“Tidak, kau belum sehat betul untuk keluar dari rumah sakit,”
“Tapi,”
“Percayalah, De. Ini demi kebaikanmu sendiri,” Suhe mulai memeriksa De seperti biasanya. Begitu ia mengambil obat di laci, ia menyaksikan tumpukan map di meja tersebut.
“Kau membawa pekerjaan ke sini?” tanya De sedikit kesal.
“Aku hanya sedikit mengeceknya,”
Suhe menyambar map-map tersebut.
“Aku akan membawa map-map ini untuk sementara agar kau bisa istirahat dengan tenang tanpa harus membebani dirimu sendiri dengan pekerjaan-pekerjaan semacam ini,”
De ingin protes, tapi tatapan mata Suhe tampak serius hingga ia mengurungkan niatnya.

***
            Hari itu seperti biasa Bagus ingin mengunjungi De. Tapi begitu memasuki pintu rumah sakit, ia berpapasan dengan Suhe. Suhe meminta waktu sebentar untuk mengobrol dengannya dan Bagus-pun mengiyakan. Dan akhirnya, mereka memutuskan untuk mengobrol di kantin sambil minum kopi.
“Maaf, saya tidak bermaksud untuk mencampuri urusan pekerjaan kalian. Saya tahu bahwa pekerjaan juga penting untuk kalian tapi saya harap, anda tidak membiarkan De terlalu kelelahan dengan membiarkan dia membawa pekerjaannya ke dalam kamar perawatan. Kemarin aku menyita map-map yang anda bawakan untuk dia karena saya tak ingin dia terlalu banyak aktifitas,” Suhe membuka suara dengan sopan. Bagus tersenyum.
“Iya, dokter. Saya mengerti maksud anda. Kelak saya takkan melakukannya lagi. Sebenarnya saya juga melarang dia untuk melakukan itu. Tapi anda tahu sendiri ‘kan? De begitu keras kepala. Dia perempuan yang berkemauan keras,” jawab Bagus. Ia tak tersinggung dengan ucapan Suhe, karena ucapan dokter benarlah adanya.
“Oh iya, bukankah dulu kalian teman satu kampus?” tanya Bagus.
“De menceritakannya?” Suhe balik bertanya. Dan Bagus mengangguk.
“Apa lagi yang dia ceritakan?”
“tidak banyak. Dia hanya bilang bahwa dulu kalian sempat belajar satu kampus sebelum akhirnya anda melanjutkan kuliah ke Amerika,” jawab Bagus. Ia menyeruput kopinya dengan perlahan. Dan Suhe-pun melakukan hal sama.
“Anda kelihatan dekat dengan De. Perhatian anda terlihat berbeda dari sekedar sahabat. Apa kalian berpacaran?” Suhe memancing. Bagus tergelak.
“Tidak, kami hanya sahabat. Aku hanya merasa kasihan karena ia tak punya banyak saudara di sini ataupun di Jakarta. Itulah kenapa aku senantiasa memperhatikan dan mengkhawatirkannya. Tapi jika perhatianku padanya lebih dari sahabat, itu benar adanya,” Bagus berbicara dengan berterus terang.
“Maksud anda?” Suhe mengernyitkan dahinya.
 “Jika harus jujur, aku benar-benar menyukainya. Dia benar-benar wanita yang luar biasa. Hanya saja, dia menolakku, dokter,” Bagus terkekeh. Ia menceritakannya dengan ringan. Terlihat sekali bahwa dia adalah orang yang supel.
“Dia menolak anda?” Suhe seperti memastikan. Bagus mengangguk.
“Dia bilang, dia hanya menganggapku sebagai sahabat, dan akhirnya, kami memang tetap bersahabat baik sampai sekarang. Well, itu tak apa-apa. Dia menolakku, tapi tetap saja saya lega menjadi sahabatnya,” Bagus kembali terkekeh.
“De memang ahli dalam menolak cinta seseorang,” Suhe menggumam pelan.
“Maaf?” Bagus menyipitkan matanya karena ia seolah-olah mendengar Suhe mengatakan sesuatu.
“Ah, tidak. Saya benar-benar berharap anda bisa membantu saya untuk membuatnya menjauhi pekerjaan sementara waktu,” Suhe mengalihkan pembicaraan.
“Tentu,” Bagus menjawab dengan pasti.
“ngomong-ngomong, kapan dia boleh keluar dari rumah sakit, dokter,”
“Semoga saja lusa,” jawab Suhe tak pasti. 


bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar