Jumat, 06 Juni 2014

"De Suhe" part 4



Zoey Deutch as De

5 tahun telah berlalu. De sudah lulus kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan jasa travel sebagai staf biasa. Mungkin itu sedikit berbeda dengan jurusan kuliahnya. Tapi, mencari pekerjaan jaman sekarang sungguhlah sulit. De menerima pekerjaan itu karena hanya perusahaan itulah yang mau menampungnya. Ibunya sudah kembali ke semarang dan menetap di sana karena ia kena PHK. Yang ia lakukan sekarang adalah berkebun dan mengurus ternak di kampung. Jadi, De-lah yang sekarang menjadi tulang punggung keluarga.
Ia masih tinggal di rumah kontrakannya yang lama karena hanya tempat itulah yang sewanya paling murah. Sementara Ita, sahabat baiknya sudah menikah dengan seorang pegawai Bank. Tapi ia masih sering berkunjung ke rumah De dan mereka mengobrol tentang banyak hal. Termasuk tentang Suhe. Ia tak tahu lagi kabar tentang lelaki tersebut karena setelah kepindahannya ke Amerika, ia tak mendengar apapun lagi tentang dirinya.
Ita sudah beberapa kali menyarankannya untuk membuka hati pada lelaki lain. Tapi De hanya mengiyakan dengan malas. Tidak, sepertinya ia takkan mampu untuk mengenyahkan Suhe dari kepalanya! Entah sampai kapan?
“Apa kau masih yakin kalau dia akan kembali?” Tanya Ita.
De tersenyum kecut.
“Kembali? Ah, entahlah. Peut-etre oui (mungkin ya). Peut-etre non (mungkin tidak). Je ne sais pas (aku tak tahu),” jawabnya.
Il va trop loin, (Dia pergi terlalu jauh), Ta,” lanjutnya kemudian.
Ita menatap sahabatnya dengan tatapan iba.
“Ah, sudahlah. Just forget about that guy! Lusa, aku dan suamiku akan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumah. Bisakah kau datang?” Tanya Ita. De terkekeh.
“Pesta? Siapa lagi yang ingin kau jodohkan denganku? Pindah profesi jadi mak comblang?” sindir De. Ya, Ita memang sering mengadakan pesta yang ujung-ujungnya mempertemukan De dengan seorang bujangan. Tujuannya, tentu saja supaya De mau membuka hati dan mulai berhubungan dengan lelaki lain sehingga ia tak senantiasa mengingat Suhe.
 “enggak, ini benar-benar pesta. Tapi, suamiku memang mengundang beberapa rekannya. Dan tentu saja, mereka tampan-tampan dan belum menikah,” jawab Ita sambil tersenyum. De tertawa.
“Well, ku hargai usahamu, Ta. Tapi, aku benar-benar tak bisa datang. Besok aku harus ke luar kota,”
“ke luar kota?”
“Ya, aku dapat tugas ke luar kota sekitar seminggu,”
“Lama sekali,”
De manggut-manggut.
“Tapi, pesta selanjutnya kau akan datang ‘kan?”
De mendelik.
“Sampai kapan kau akan mengadakan pesta, Ta? Apa harus sesering itu?”
“Yup, sampai kau menikah,”
De mendesah, pasrah. “Oke deh, mungkin next time aku akan datang,” jawabnya kemudian, menyerah.
Ita kembali tersenyum penuh kemenangan.

***  


Aku masih di sini, Suhe….
Aku masih di sini menantimu dengan sepenggal asa yang masih tersisa.
Tak peduli akan berapa lama, tak peduli apapun yang berubah, asa itu tidak akan pernah sirna.
Kisah di antara kita belum sepenuhnya usai.
Kau pergi begitu saja dengan sebuah cerita yang belum terselesaikan.
Dan aku yakin, kau akan kembali untuk menuntaskannya……

  ***

Hari itu De selesai menyelesaikan beberapa pekerjaan dari luar kota. Ia sampai di rumah pukul 9 malam dan langsung merentangkan tubuhnya di ranjang karena kelelahan. Tapi sesaat kemudian, terdengar seseorang mengetuk pintu. Ternyata bu tutik, tetangga rumahnya yang ramah dan baik hati. Ia datang untuk menyodorkan sepucuk surat tanpa pengirim. Bu tutik bilang, surat itu sampai sekitar 5 hari yang lalu. Tapi karena De masih berada di luar kota, bu tutik menyimpannya dengan baik.
 “Terima kasih ya buk,” ujar De.
“Iya neng, sama-sama,” jawab bu tutik seraya beranjak meninggalkan rumah De.
De memperhatikan surat tanpa pengirim tersebut dengan seksama dan dengan penasaran ia membukanya. Tampak olehnya sebuah tulisan tangan yang berbaris rapi di atas kertas surat berwarna biru muda. 



2 Agustus 2003

Aku kembali.
Tanggal 8 agustus 2003 jam 9 malam, ku tunggu di halte bus depan kampus kita. Seperti biasanya.
Aku ingin ketemu dan bicara.
Terima kasih.

                                                Suhe.


De membelalak. Berulangkali ia kembali membaca goresan pena tersebut sekedar untuk memastikan dirinya bahwa nama yang tertera di bawah surat tersebut adalah : Suhe!
Ya, itu memang dia dan tulisan tersebut memang tulisannya. De masih ingat dengan betul tulisan tangan pemuda tersebut.
De terduduk lemas. Ia tertawa getir. Tanggal 8 agustus? Tapi sekarang sudah tanggal 9 !
Perempuan cantik itu kembali menatap surat yang berada di tangannya. Air matanya menitik. Ingin ia menyeruak dan berlari dengan sekuat tenaga ke halte bus depan kampus. Tapi, itu tak mungkin. Suhe pasti sudah tak berada di sana lagi.
Akhirnya, yang mampu De lakukan hanyalah terisak, beberapa saat.

***

            “kapan surat ini datang?” tanya Ita.
“Sekitar seminggu yang lalu,” jawab De.
“Astaga, dan kau baru memberitahuku sekarang? Apa kau menangis sendirian selama beberapa hari ini? Apa kau merana sendirian beberapa hari ini?” tanya Ita kesal. De hanya mengangguk. Matanya sembab.

“Sebenarnya kau ini kenapa? Apa kau sudah tak menganggapku sahabatmu lagi? Bukankah aku sudah bilang, aku selalu siap kapanpun kau butuhkan ketika kau mengalami hal-hal sulit! Tidakkah kau ingin berbagi kepedihan denganku? Tidakkah kau memperbolehkanku menghiburmu?” Ita nyerocos dengan kesal.

“Maaf,” jawab De lirih.
“Jadi, kau yakin dia sudah kembali?”
De kembali mengangguk.
“Kau sudah menemuinya?”
‘Tidak, surat itu sampai tanggal 9. Dia mengajakku ketemu tanggal 8,”
“Astaga, De,” Ita seakan ikut merasakan kepedihan yang di alami sahabatnya tersebut. 
“Katakan padaku apa yang harus kulakukan untukmu?” tanya Ita lagi dengan lembut.
De tersenyum dan menggeleng.
“Nggak apa-apa, Ta. Aku baik-baik aja,” jawabnya.
‘Apa kau perlu bantuanku untuk mencari info tentang dirinya? Mungkin aku bisa memastikan bahwa dia benar-benar telah kembali ke Indonesia?”
 “Tidak, itu tidak perlu. Kupikir ___”
Obrolan mereka terhenti ketika pintu diketuk seseorang. De beranjak diikuti Ita. Tampak seorang lelaki setengah baya berdiri di dekat pintu.
“Apa ini benar rumahnya mbak Dewi?” tanya lelaki itu. De mengiyakan.
“Saya diminta untuk mengantarkan surat undangan ini kepada mbak. Silahkan mbak,” lelaki itu menyerahkan sepucuk undangan kepada De lalu mohon diri dengan sopan.
De menatap undangan di tangannya. Undangan pernikahan. Ia membukanya dengan sedikit tak sabar.

Pernikahan antara Afandi Suherman dengan Rossa Kristina…..

Deg, De merasakan dadanya sesak. Afandi Suherman? Suhe?
“De, bukankah ini Suhe?” Ita nyaris berteriak.
De hanya mampu diam mematung tanpa mampu berkata apa-apa.

                                                                            ***  

Sepenggal asa itu telah menghilang…
Terbang ditiup sang bayu.
Melayang-layang entah kemana?
Tak ada sedikitpun yang tersisa.
Kecuali rasa sakit, yang teramat luar biasa…

                                                                          ***


bersambung.... 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar