![]() |
| Zoey Deutch as De |
5 tahun telah berlalu.
De sudah lulus kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan jasa travel sebagai staf
biasa. Mungkin itu sedikit berbeda dengan jurusan kuliahnya. Tapi, mencari
pekerjaan jaman sekarang sungguhlah sulit. De menerima pekerjaan itu karena
hanya perusahaan itulah yang mau menampungnya. Ibunya sudah kembali ke semarang
dan menetap di sana karena ia kena PHK. Yang ia lakukan sekarang adalah
berkebun dan mengurus ternak di kampung. Jadi, De-lah yang sekarang menjadi
tulang punggung keluarga.
Ia masih tinggal di rumah kontrakannya yang
lama karena hanya tempat itulah yang sewanya paling murah. Sementara Ita,
sahabat baiknya sudah menikah dengan seorang pegawai Bank. Tapi ia masih sering
berkunjung ke rumah De dan mereka mengobrol tentang banyak hal. Termasuk
tentang Suhe. Ia tak tahu lagi kabar tentang lelaki tersebut karena setelah
kepindahannya ke Amerika, ia tak mendengar apapun lagi tentang dirinya.
Ita sudah beberapa kali menyarankannya untuk
membuka hati pada lelaki lain. Tapi De hanya mengiyakan dengan malas. Tidak,
sepertinya ia takkan mampu untuk mengenyahkan Suhe dari kepalanya! Entah sampai
kapan?
“Apa kau masih yakin kalau dia akan kembali?”
Tanya Ita.
De tersenyum kecut.
“Kembali? Ah, entahlah. Peut-etre oui (mungkin ya). Peut-etre
non (mungkin tidak). Je ne sais pas
(aku tak tahu),” jawabnya.
“Il va
trop loin, (Dia pergi terlalu jauh), Ta,” lanjutnya kemudian.
Ita menatap sahabatnya dengan tatapan iba.
“Ah, sudahlah. Just forget about that guy! Lusa, aku dan suamiku akan mengadakan
pesta kecil-kecilan di rumah. Bisakah kau datang?” Tanya Ita. De terkekeh.
“Pesta? Siapa lagi yang ingin kau jodohkan
denganku? Pindah profesi jadi mak comblang?” sindir De. Ya, Ita memang sering
mengadakan pesta yang ujung-ujungnya mempertemukan De dengan seorang bujangan.
Tujuannya, tentu saja supaya De mau membuka hati dan mulai berhubungan dengan
lelaki lain sehingga ia tak senantiasa mengingat Suhe.
“enggak,
ini benar-benar pesta. Tapi, suamiku memang mengundang beberapa rekannya. Dan
tentu saja, mereka tampan-tampan dan belum menikah,” jawab Ita sambil
tersenyum. De tertawa.
“Well, ku hargai usahamu, Ta. Tapi, aku
benar-benar tak bisa datang. Besok aku harus ke luar kota,”
“ke luar kota?”
“Ya, aku dapat tugas ke luar kota sekitar
seminggu,”
“Lama sekali,”
De manggut-manggut.
“Tapi, pesta selanjutnya kau akan datang
‘kan?”
De mendelik.
“Sampai kapan kau akan mengadakan pesta, Ta?
Apa harus sesering itu?”
“Yup, sampai kau menikah,”
De mendesah, pasrah. “Oke deh, mungkin next
time aku akan datang,” jawabnya kemudian, menyerah.
Ita kembali tersenyum penuh kemenangan.
***
Aku masih di sini, Suhe….
Aku masih di sini menantimu dengan sepenggal asa yang masih
tersisa.
Tak peduli akan berapa lama, tak peduli apapun yang
berubah, asa itu tidak akan pernah sirna.
Kisah di antara kita belum sepenuhnya usai.
Kau pergi begitu saja dengan sebuah cerita yang belum
terselesaikan.
Dan aku yakin, kau akan kembali untuk menuntaskannya……
Hari itu De selesai menyelesaikan beberapa
pekerjaan dari luar kota. Ia sampai di rumah pukul 9 malam dan langsung
merentangkan tubuhnya di ranjang karena kelelahan. Tapi sesaat kemudian,
terdengar seseorang mengetuk pintu. Ternyata bu tutik, tetangga rumahnya yang
ramah dan baik hati. Ia datang untuk menyodorkan sepucuk surat tanpa pengirim.
Bu tutik bilang, surat itu sampai sekitar 5 hari yang lalu. Tapi karena De
masih berada di luar kota, bu tutik menyimpannya dengan baik.
“Terima
kasih ya buk,” ujar De.
“Iya neng, sama-sama,” jawab bu tutik seraya
beranjak meninggalkan rumah De.
De memperhatikan surat tanpa pengirim tersebut
dengan seksama dan dengan penasaran ia membukanya. Tampak olehnya sebuah
tulisan tangan yang berbaris rapi di atas kertas surat berwarna biru muda.
2 Agustus 2003
Aku kembali.
Tanggal 8 agustus 2003 jam 9 malam, ku tunggu di halte bus
depan kampus kita. Seperti biasanya.
Aku ingin ketemu dan bicara.
Terima kasih.
De membelalak. Berulangkali
ia kembali membaca goresan pena tersebut sekedar untuk memastikan dirinya bahwa
nama yang tertera di bawah surat tersebut adalah : Suhe!
Ya, itu memang dia dan
tulisan tersebut memang tulisannya. De masih ingat dengan betul tulisan tangan
pemuda tersebut.
De terduduk lemas. Ia tertawa
getir. Tanggal 8 agustus? Tapi sekarang sudah tanggal 9 !
Perempuan cantik itu kembali
menatap surat yang berada di tangannya. Air matanya menitik. Ingin ia menyeruak
dan berlari dengan sekuat tenaga ke halte bus depan kampus. Tapi, itu tak
mungkin. Suhe pasti sudah tak berada di sana lagi.
Akhirnya, yang mampu De
lakukan hanyalah terisak, beberapa saat.
***
“kapan surat ini datang?” tanya Ita.
“Sekitar seminggu yang lalu,”
jawab De.
“Astaga, dan kau baru
memberitahuku sekarang? Apa kau menangis sendirian selama beberapa hari ini?
Apa kau merana sendirian beberapa
hari ini?” tanya Ita kesal. De hanya mengangguk. Matanya sembab.
“Sebenarnya kau ini kenapa?
Apa kau sudah tak menganggapku sahabatmu lagi? Bukankah aku sudah bilang, aku
selalu siap kapanpun kau butuhkan ketika kau mengalami hal-hal sulit! Tidakkah
kau ingin berbagi kepedihan denganku? Tidakkah kau memperbolehkanku
menghiburmu?” Ita nyerocos dengan kesal.
“Maaf,” jawab De lirih.
“Jadi, kau yakin dia sudah
kembali?”
De kembali mengangguk.
“Kau sudah menemuinya?”
‘Tidak, surat itu sampai
tanggal 9. Dia mengajakku ketemu tanggal 8,”
“Astaga, De,” Ita seakan ikut
merasakan kepedihan yang di alami sahabatnya tersebut.
“Katakan padaku apa yang
harus kulakukan untukmu?” tanya Ita lagi dengan lembut.
De tersenyum dan menggeleng.
“Nggak apa-apa, Ta. Aku
baik-baik aja,” jawabnya.
‘Apa kau perlu bantuanku
untuk mencari info tentang dirinya? Mungkin aku bisa memastikan bahwa dia
benar-benar telah kembali ke Indonesia?”
“Tidak, itu tidak perlu. Kupikir ___”
Obrolan mereka terhenti
ketika pintu diketuk seseorang. De beranjak diikuti Ita. Tampak seorang lelaki
setengah baya berdiri di dekat pintu.
“Apa ini benar rumahnya mbak
Dewi?” tanya lelaki itu. De mengiyakan.
“Saya diminta untuk
mengantarkan surat undangan ini kepada mbak. Silahkan mbak,” lelaki itu
menyerahkan sepucuk undangan kepada De lalu mohon diri dengan sopan.
De menatap undangan di
tangannya. Undangan pernikahan. Ia membukanya dengan sedikit tak sabar.
Pernikahan antara Afandi Suherman dengan Rossa Kristina…..
Deg, De merasakan dadanya
sesak. Afandi Suherman? Suhe?
“De, bukankah ini Suhe?” Ita
nyaris berteriak.
De hanya mampu diam mematung
tanpa mampu berkata apa-apa.
Sepenggal asa itu telah menghilang…
Terbang ditiup sang bayu.
Melayang-layang entah kemana?
Tak ada sedikitpun yang tersisa.
Kecuali rasa sakit, yang teramat luar biasa…
***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar