De merapatkan jaketnya ketika ia merasakan
dinginnya malam kian menusuk tulang-tulangnya. Arloji di tangannya menunjukkan
tepat pukul 11 malam. Ia mendesah dan menatap sekitar halte bus tempatnya
berada. Mulai sepi, gumamnya dalam hati. Ia melirik phonselnya, tak ada pesan
ataupun panggilan masuk. Suhe tak muncul, padahal ia sudah berjanji untuk
menemuinya di sini. Atau, dia lupa?
Ataukah, dia sudah pulang ke rumah?
Setidaknya, dia bisa memberikannya sedikit pesan ‘kan? Ingin ia pergi
meninggalkan tempat tersebut, tapi takut Suhe akan datang mencarinya. Tapi jika
tetap menunggunya di sini, ia tak tahu harus pulang dengan apa karena sudah tak
ada kendaraan umum yang menuju rumahnya.
Pikiran De menerawang kemana-mana
sampai-sampai ia tak sadar ketika seseorang duduk di sampingnya.
“Kenapa kau masih di sini?”
De menoleh.
“Suhe?” desisnya sedikit lega ketika ia
melihat Suhe sudah duduk di sampingnya. Keduanya berpandangan.
“De, kau ini bodoh atau apa? Aku menyuruhmu
menunggu di sini, tapi tidak sampai selarut ini. Kumohon, berhentilah bersikap
seperti ini. Jika tidak, aku benar-benar akan salah paham padamu. Kau menolak
cintaku, tapi sikapmu seperti ini seolah-olah kau tak memperkenanku pergi,”
“Suhe, aku___”
“Ingin menjelaskan lagi tentang
kesalahpahamanku antara kau dan Fery? Ya, aku memang cemburu melihat kalian
berdua. Dan setengah mati aku tak menyukainya. Tapi, kau tak perlu repot-repot
untuk menjelaskannya. Kita toh tidak ada hubungan apa-apa. Kita bukan sepasang
kekasih. Bukankah kita hanya bersahabat?”
De tak bersuara.
“Aku hanya tidak ingin kau terluka,” jawabnya
kemudian.
“Terluka? Kau bahkan sudah menghancurkan
hatiku berkeping-keping ketika kau menolakku. Tidakkah kau bayangkan betapa
terlukanya aku?”
De menelan ludah, tanpa tahu harus berkata
apa.
Suhe bangkit. Ia beranjak ke bibir jalan.
Tatapannya menerawang entah kemana.
“apakah masih ada gunanya aku bicara panjang
lebar padamu seperti ini,” gumamnya. De kembali tak bersuara hingga membuat
Suhe membalikkan badannya dan menatapnya lekat.
“De, sebenarnya apa yang kurang dari diriku
hingga kau tetap tak bisa menerima
cintaku? Kenapa aku tetap tak bisa meluluhkan hatimu?” tanyanya kemudian.
Kau sudah meluluhkan hatiku, Suhe! Teriak De dalam hati.
“Suhe, kita sudah pernah membicarakannya,”
“Tapi selama ini pembicaraan kita tak pernah tuntas,”
“Kita
sudah pernah membahasnya dan aku tak ingin membahasnya lagi,”
“Lantas, apa yang kita dapat? Persahabatan?
Omong kosong!”
“Suhe, kau bisa mendapatkan yang lebih
dariku____”
“Bagiku kau yang terbaik!” Suhe berteriak.
De kembali menelan ludah.
“Suhe, dengarkan aku baik-baik dan pikirkanlah
dengan baik-baik pula. Ayahku sudah meninggal sejak aku dilahirkan. Ibuku hanya
bekerja sebagai buruh pabrik. Selama ini kamipun masih tinggal di rumah
kontrakan. Lantas, apa yang bisa kau harapkan dari orang semacam aku? Apa
istimewaku? Ketahuilah, suka tidak suka, mau tidak mau, kau harus mengakui
bahwa kita berada di tempat yang terlalu
jauh berbeda. Aku tidak akan pernah bisa memasuki duniamu, begitu pula
sebaiknya,”
“jangan munafik, De. Aku bahkan bisa memasuki
duniamu,”
“Oh ya? Lantas bagaimana dengan keluargamu?
Tidakkah kau ingat, ketika kau mengajakku berkunjung ke rumahmu, papa dan
mamamu dengan jelas dan tegas menolak jika kita punya hubungan lebih dari
sahabat. Bahkan sampai matipun, mereka tidak akan pernah membiarkanku menjadi
bagian dari keluargamu,”
“Yang mau bercinta aku, De. Bukan orang
tuaku,”
“Ini tidak semudah itu!” De nyaris berteriak.
Suhe menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“De__ pernahkah kau mencintaiku?” tanyanya
getir.
De tak menjawab.
“Aku bertanya padamu, pernahkah kau
mencintaiku!?” Suhe berteriak.
De tak segera menjawab. Perlahan ia bangkit
dan menatap Suhe dengan lekat.
Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku, Suhe. Gumamnya dalam hati.
“Aku hanya bisa mencintai orang biasa. Aku tak
bisa mencintai pangeran muda kaya raya,” jawabnya dengan suara parau.
“Aku
bukan pengeran,”
“Tapi
kau kaya,”
“Itu
punya orang tuaku, bukan punyaku,”
“Tapi
kau anaknya, otomatis itu juga milikmu,”
Suhe
menarik nafas, putus asa.
“Begitukah? Kalau begitu, biarkan aku
mencobanya, menjadi orang biasa. Jika kau mau, aku sanggup meninggalkan
semuanya untukmu. Aku bisa mulai segalanya dari awal, aku bisa mencari
pekerjaan yang layak, tanpa campur tangan keluargaku hingga kau bisa
mengandalkanku sepenuhnya,”
De menggeleng pelan. Air matanya menitik.
“Sudahlah,
Suhe. Jangan membicarakan tentang hal ini lagi. Dinding pembatas itu tetap ada.
Dan mohon maaf, aku tak berani melewatinya,”
“Dinding? Dinding yang mana?”
Suhe beranjak mendekati De, merengkuh
tubuhnya, memeluknya dengan erat, lalu mencium bibirnya dengan lembut.
De terbelalak. Reflek ia mendorong tubuh Suhe
menjauh.
“Apa-apaan kau ini?” teriaknya.
Suhe tersenyum sinis.
“Kau lihat ‘kan? Aku bisa menyentuhmu,
memelukmu, menciummu, lantas, dinding mana yang kau maksud?” suaranya bergetar.
“Suhe ___”
“Oke, cukup. Pembicaraan hari ini sudah
menyelesaikan segalanya. Aku sudah puas. Tak ada lagi yang harus dibahas,”
De mengernyitkan dahinya.
“Setelah ini, jangan menemuiku lagi, De. Aku
akan sangat sibuk sekali. Aku banyak pekerjaan. Aku harus belajar,”
“Kau ada ujian?”
“Tidak,
aku sedang belajar untuk menghindarimu. Aku sedang belajar untuk jauh darimu.
Meskipun aku tahu bahwa hidup jauh darimu sama seperti hidup dengan separuh
nyawaku,”
De terkesiap. Kata-kata Suhe begitu dalam
hingga menohok jantungnya. Dadanya terasa sesak seketika.
“Aku___”
Kata-kata De tertahan ketika sebuah mobil
mewah berhenti tak jauh dari mereka. Dan seorang lelaki setengah bayapun keluar
dari mobil tersebut. Ia menghampiri Suhe.
“Pulang sekarang mas?” Tanya dia.
“Aku akan pulang naik taksi, pak. Nona ini
temanku. Antarkan saja dia pulang ke rumahnya. Jika dia menolak, seret dan
paksa dia. Yang jelas, dia harus sampai rumah dengan keadaan baik-baik saja,”
ujar Suhe.
“Baik, mas. Mari mbak,” lelaki itu menatap De.
De mengernyitkan dahinya, bingung.
“Tak usah takut, De. Dia sopirku, dia yang
akan mengantarkanmu pulang. Aku akan naik taksi saja. Selamat malam dan jaga
dirimu baik-baik,” Suhe beranjak, menghentikan taksi yang sedang melintas dan
segera meluncur meninggalkan tempat tersebut tanpa memberi kesempatan pada De
untuk mengatakan sesuatu.
Perempuan itu hanya mematung menatap
kepergiannya.
***
![]() |
| Zoey Deutch as De |
“Kau sudah baikan? Mukamu masih pucat sekali,
De,” Tanya Ita.
De tersenyum.
“Aku sudah jauh lebih baik kok. Hanya demam
biasa aja. Oh iya, kau ketemu Suhe gak?”
Ita menggeleng.
“Beberapa
hari ini aku juga tak melihatnya di kampus. Apa kalian belum baikan?”
De hanya mengangkat bahu.
“Kemana dia? Jangan-jangan dia juga sakit?” ia
menggumam.
“Sepertinya aku harus mengecek ke kelasnya,”
ia menambahkan. Ita hanya mengekor.
Ketika mereka menyusuri lorong kelas, tanpa
sengaja ia berpapasan dengan Doni, teman sekelas Suhe. De menanyakan perihal
Suhe padanya.
“Suhe? Dia ‘kan udah pindah ke Amerika,”
De dan Ita terhenyak.
“Pindah ke Amerika?”
Doni mengangguk.
“Jadi kalian belum tahu? Suhe udah pindah ke
Amerika dan dia udah berangkat dua hari lagi. Katanya sih, dia nggak akan balik
lagi ke Indonesia,” Doni melanjutkan.
De merasa kakinya tak berpijak lagi di bumi.
Dan akhirnya, ia ambruk tak sadarkan diri.
***
Dia telah pergi…
Membawa hatiku …
Membawa cintaku …
Dan, membawa separuh dari
jiwaku ….
***
Bersambung ...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar