Jumat, 06 Juni 2014

"De Suhe" part 3



        De merapatkan jaketnya ketika ia merasakan dinginnya malam kian menusuk tulang-tulangnya. Arloji di tangannya menunjukkan tepat pukul 11 malam. Ia mendesah dan menatap sekitar halte bus tempatnya berada. Mulai sepi, gumamnya dalam hati. Ia melirik phonselnya, tak ada pesan ataupun panggilan masuk. Suhe tak muncul, padahal ia sudah berjanji untuk menemuinya di sini. Atau, dia lupa?
Ataukah, dia sudah pulang ke rumah? Setidaknya, dia bisa memberikannya sedikit pesan ‘kan? Ingin ia pergi meninggalkan tempat tersebut, tapi takut Suhe akan datang mencarinya. Tapi jika tetap menunggunya di sini, ia tak tahu harus pulang dengan apa karena sudah tak ada kendaraan umum yang menuju rumahnya.
Pikiran De menerawang kemana-mana sampai-sampai ia tak sadar ketika seseorang duduk di sampingnya.
“Kenapa kau masih di sini?”
De menoleh.
“Suhe?” desisnya sedikit lega ketika ia melihat Suhe sudah duduk di sampingnya. Keduanya berpandangan.
“De, kau ini bodoh atau apa? Aku menyuruhmu menunggu di sini, tapi tidak sampai selarut ini. Kumohon, berhentilah bersikap seperti ini. Jika tidak, aku benar-benar akan salah paham padamu. Kau menolak cintaku, tapi sikapmu seperti ini seolah-olah kau tak memperkenanku pergi,”
“Suhe, aku___”
“Ingin menjelaskan lagi tentang kesalahpahamanku antara kau dan Fery? Ya, aku memang cemburu melihat kalian berdua. Dan setengah mati aku tak menyukainya. Tapi, kau tak perlu repot-repot untuk menjelaskannya. Kita toh tidak ada hubungan apa-apa. Kita bukan sepasang kekasih. Bukankah kita hanya bersahabat?”
De tak bersuara.
“Aku hanya tidak ingin kau terluka,” jawabnya kemudian.
“Terluka? Kau bahkan sudah menghancurkan hatiku berkeping-keping ketika kau menolakku. Tidakkah kau bayangkan betapa terlukanya aku?”
De menelan ludah, tanpa tahu harus berkata apa.
Suhe bangkit. Ia beranjak ke bibir jalan. Tatapannya menerawang entah kemana.
“apakah masih ada gunanya aku bicara panjang lebar padamu seperti ini,” gumamnya. De kembali tak bersuara hingga membuat Suhe membalikkan badannya dan menatapnya lekat.
“De, sebenarnya apa yang kurang dari diriku hingga kau tetap  tak bisa menerima cintaku? Kenapa aku tetap tak bisa meluluhkan hatimu?” tanyanya kemudian.
Kau sudah meluluhkan hatiku, Suhe! Teriak De dalam hati.
“Suhe, kita sudah pernah membicarakannya,”
“Tapi selama ini pembicaraan kita tak pernah tuntas,”
 “Kita sudah pernah membahasnya dan aku tak ingin membahasnya lagi,”
“Lantas, apa yang kita dapat? Persahabatan? Omong kosong!”
“Suhe, kau bisa mendapatkan yang lebih dariku____”
“Bagiku kau yang  terbaik!” Suhe berteriak.
De kembali menelan ludah.
“Suhe, dengarkan aku baik-baik dan pikirkanlah dengan baik-baik pula. Ayahku sudah meninggal sejak aku dilahirkan. Ibuku hanya bekerja sebagai buruh pabrik. Selama ini kamipun masih tinggal di rumah kontrakan. Lantas, apa yang bisa kau harapkan dari orang semacam aku? Apa istimewaku? Ketahuilah, suka tidak suka, mau tidak mau, kau harus mengakui bahwa kita berada di tempat yang terlalu  jauh berbeda. Aku tidak akan pernah bisa memasuki duniamu, begitu pula sebaiknya,”
“jangan munafik, De. Aku bahkan bisa memasuki duniamu,”
“Oh ya? Lantas bagaimana dengan keluargamu? Tidakkah kau ingat, ketika kau mengajakku berkunjung ke rumahmu, papa dan mamamu dengan jelas dan tegas menolak jika kita punya hubungan lebih dari sahabat. Bahkan sampai matipun, mereka tidak akan pernah membiarkanku menjadi bagian dari keluargamu,”
“Yang mau bercinta aku, De. Bukan orang tuaku,”
“Ini tidak semudah itu!” De nyaris berteriak.
Suhe menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“De__ pernahkah kau mencintaiku?” tanyanya getir.
De tak menjawab.
“Aku bertanya padamu, pernahkah kau mencintaiku!?” Suhe berteriak.
De tak segera menjawab. Perlahan ia bangkit dan menatap Suhe dengan lekat.
Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku, Suhe. Gumamnya dalam hati.
“Aku hanya bisa mencintai orang biasa. Aku tak bisa mencintai pangeran muda kaya raya,” jawabnya dengan suara parau.
“Aku bukan pengeran,”
“Tapi kau kaya,”
“Itu punya orang tuaku, bukan punyaku,”
“Tapi kau anaknya, otomatis itu juga milikmu,”
Suhe menarik nafas, putus asa.
“Begitukah? Kalau begitu, biarkan aku mencobanya, menjadi orang biasa. Jika kau mau, aku sanggup meninggalkan semuanya untukmu. Aku bisa mulai segalanya dari awal, aku bisa mencari pekerjaan yang layak, tanpa campur tangan keluargaku hingga kau bisa mengandalkanku sepenuhnya,”
De menggeleng pelan. Air matanya menitik.
 “Sudahlah, Suhe. Jangan membicarakan tentang hal ini lagi. Dinding pembatas itu tetap ada. Dan mohon maaf, aku tak berani melewatinya,”
“Dinding? Dinding yang mana?”
Suhe beranjak mendekati De, merengkuh tubuhnya, memeluknya dengan erat, lalu mencium bibirnya dengan lembut.
De terbelalak. Reflek ia mendorong tubuh Suhe menjauh.
“Apa-apaan kau ini?” teriaknya.
Suhe tersenyum sinis.
“Kau lihat ‘kan? Aku bisa menyentuhmu, memelukmu, menciummu, lantas, dinding mana yang kau maksud?” suaranya bergetar.
“Suhe ___”
“Oke, cukup. Pembicaraan hari ini sudah menyelesaikan segalanya. Aku sudah puas. Tak ada lagi yang harus dibahas,”
De mengernyitkan dahinya.
“Setelah ini, jangan menemuiku lagi, De. Aku akan sangat sibuk sekali. Aku banyak pekerjaan. Aku harus belajar,”
“Kau ada ujian?”
 “Tidak, aku sedang belajar untuk menghindarimu. Aku sedang belajar untuk jauh darimu. Meskipun aku tahu bahwa hidup jauh darimu sama seperti hidup dengan separuh nyawaku,”
De terkesiap. Kata-kata Suhe begitu dalam hingga menohok jantungnya. Dadanya terasa sesak seketika.
“Aku___”
Kata-kata De tertahan ketika sebuah mobil mewah berhenti tak jauh dari mereka. Dan seorang lelaki setengah bayapun keluar dari mobil tersebut. Ia menghampiri Suhe.
“Pulang sekarang mas?” Tanya dia.
“Aku akan pulang naik taksi, pak. Nona ini temanku. Antarkan saja dia pulang ke rumahnya. Jika dia menolak, seret dan paksa dia. Yang jelas, dia harus sampai rumah dengan keadaan baik-baik saja,” ujar Suhe.
“Baik, mas. Mari mbak,” lelaki itu menatap De.
De mengernyitkan dahinya, bingung.
“Tak usah takut, De. Dia sopirku, dia yang akan mengantarkanmu pulang. Aku akan naik taksi saja. Selamat malam dan jaga dirimu baik-baik,” Suhe beranjak, menghentikan taksi yang sedang melintas dan segera meluncur meninggalkan tempat tersebut tanpa memberi kesempatan pada De untuk mengatakan sesuatu.
Perempuan itu hanya mematung menatap kepergiannya.

***

Zoey Deutch as De
            De memarkir sepeda motornya dengan perlahan. Sudah 3 hari ia tak ke kampus. Sepulang dari pertemuannya dengan Suhe beberapa hari yang lalu, ia langsung jatuh sakit. Dan sejak saat itu pula, ia tak bertemu dengan Suhe. Pesan pendek yang sering ia kirimkan tak ada satupun yang dibalas. Panggilan telponnyapun tak pernah ia jawab. Dulu ketika De sakit, Suhe selalu datang mengunjunginya tiap hari. Tapi kemarin, tidak lagi. Suhe seakan menghilang di telan bumi. Dan De merasa sangat kesepian. Ia merindukannya…
“Kau sudah baikan? Mukamu masih pucat sekali, De,” Tanya Ita.
De tersenyum.
“Aku sudah jauh lebih baik kok. Hanya demam biasa aja. Oh iya, kau ketemu Suhe gak?”
Ita menggeleng.
 “Beberapa hari ini aku juga tak melihatnya di kampus. Apa kalian belum baikan?”
De hanya mengangkat bahu.
“Kemana dia? Jangan-jangan dia juga sakit?” ia menggumam.
“Sepertinya aku harus mengecek ke kelasnya,” ia menambahkan. Ita hanya mengekor.
Ketika mereka menyusuri lorong kelas, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Doni, teman sekelas Suhe. De menanyakan perihal Suhe padanya.
“Suhe? Dia ‘kan udah pindah ke Amerika,”
De dan Ita terhenyak.
“Pindah ke Amerika?”
Doni mengangguk.
“Jadi kalian belum tahu? Suhe udah pindah ke Amerika dan dia udah berangkat dua hari lagi. Katanya sih, dia nggak akan balik lagi ke Indonesia,” Doni melanjutkan.
De merasa kakinya tak berpijak lagi di bumi. Dan akhirnya, ia ambruk tak sadarkan diri.


***


Dia telah pergi…
Membawa hatiku …
Membawa cintaku …
Dan, membawa separuh dari jiwaku ….



***

Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar